Anda di halaman 1dari 39

PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT

RUMAH SAKIT PARU

PANDUAN PELAYANAN ANESTESI SEDASI PADA BRONKOSKOPI


( TEROPONG PARU )

RUMAH SAKIT PARU

PROVINSI JAWA BARAT

Jl. Pangeran Kejaksan PO.BOX 4 Sumber Cirebon Telp. (0231)8330707 FAX


(0231)8330747

Website : www.rsparu.jabarprov.go.id email : rsp@jabarprov.go.id


LEMBAR PENGESAHAN

Telah disahkan

Panduan Pelayanan anestesi Sedasi Pada Bronkoskopi


( Teropong Paru)

Menyetujui,

DIREKTUR

Dr. Rr. Endang Noersita Daim, MPH


Pembina Utama Muda
NIP 19590525 199002 2001
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT kami tim
akreditasi Rumah sakit Paru Provinsi Jawa Barat telah menyelesaikan Panduan
Pelayanan anestesi pada Bronkoskopi ( teropong Paru ) sebagai petunjuk dalam
menjalankan pelayanan tindakan Bronkoskopi di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa
Barat.
Panduan ini memuat beberapa hal tentang definisi Bronkoskopi, Ruang
Lingkup, Tata laksana Bronkoskopi yang tersedia di Rumah Sakit.
Dlam penyusunan panduan ini banyak kesalahan dan kekurangan , maka
untuk itu kami sangat terbuka atas koreksi yang membangun demi
kesempurnaaan panduan ini.

Cirebon, 2016
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I DEFINISI
BAB II RUANG LINGKUP
BAB III TATA LAKSANA BRONKOSKOPI
BAB IV DOKUMENTASI
\

1. Kebijakan-kebijakan
2. SPO-SPO
3. Format Anestesi dan Asesmen
4. Format Laporan Tindakan bronkoskopi premedikasi
5. Format daftar tilik keselamatan tindakan Bronkoskopi
6. Format Asuhan keperawatan di Pelayanan Bronkoskopi
7. Format Pengendalian Mutu.
PANDUAN PELAYANAN ANESTESI
PADA TINDAKAN BRONKOSKOPI ( TEROPONG PARU )
BAB I

A. Pelayanan Anestesi
1. Pengertian

Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan:


1. Rumah Sakit adalah Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa barat.
2. Direktur adalah Direktur Rumah Sakit paru Provinsi Jawa barat.
3. Pelayanan anestesiologi adalah tindakan medis yang dilakukan oleh
dokter spesialis anestesiologi dalam kerja sama tim meliputi penilaian pra
operatif (pra anestesia), intra anestesia dan pasca anestesia serta
pelayanan lain sesuai bidang anestesiologi antara lain terapi intensif,
gawat darurat dan penatalaksanaan nyeri.
4. pelayanan anestesi di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa barat untuk
Pelayanan Bronkoskopi ( di luar kamar operasi )
4. Rencana anestesi dibuat oleh anestesiologis, didiskusikan dengan pasien,
kemudian mendapat persetujuan pasien , semuanya harus dicatat di
rekam medis pasien..
5. Dokter spesialis anestesiologi yaitu dokter yang telah menyelesaikan
pendidikan program studi dokter spesialis anestesiologi di institusi
pendidikan yang diakui atau lulusan luar negeri dan yang telah mendapat
Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktek (SIP).
6. Dokter lain yaitu dokter spesialis lain dan/atau dokter yang telah mengikuti
pendidikan dan pelatihan di bidang anestesiologi atau yang telah bekerja
di pelayanan anestesiologi dan terapi intensif minimal 1 (satu) tahun.
7. kepala instalasi Anestesiologi adalah seorang dokter yang diangkat oleh
direktur Rumah sakit.
7. Perawat anestesi adalah tenaga keperawatan yang telah menyelesaikan
pendidikan dan ilmu keperawatan anestesi.
8. Perawat adalah perawat yang telah mendapat pelatihan anestesia.
9. Kolaborasi adalah tindakan yang dilakukan perawat anestesi dan perawat
dalam ruang lingkup medis dalam melaksanakan instruksi dokter.
10. Kewenangan klinik adalah proses kredensial pada tenaga kesehatan yang
dilakukan di dalam rumah sakit untuk dapat memberikan pelayanan medis
tertentu sesuai dengan peraturan internal rumah sakit.
11. Kredensial adalah penilaian kompetensi/kemampuan (pengetahuan,
ketrampilan, perilaku profesional) profesi didasarkan pada kriteria yang
jelas untuk memverifikasi informasi dan mengevaluasi seseorang yang
meminta atau diberikan kewenangan klinik.
12. Standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-
langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu, berdasarkan standar kompetensi, standar pelayanan kedokteran
dan pedoman nasional yang disusun, ditetapkan oleh rumah sakit sesuai
kemampuan rumah sakit dengan memperhatikan sumber daya manusia,
sarana, prasarana dan peralatan yang tersedia.
13. Pelayanan pra-anestesia adalah penilaian untuk menentukan status medis
pra anestesia dan pemberian informasi serta persetujuan bagi pasien
yang memperoleh tindakan anestesia.
14. Pelayanan intra anestesia adalah pelayanan anestesia yang dilakukan
selama tindakan anestesia meliputi pemantauan fungsi vital pasien secara
kontinu.
15. Pelayanan pasca-anestesia adalah pelayanan pada pasien pasca
anestesia sampai pasien pulih dari tindakan anestesia.
16. Pelayanan kritis adalah pelayanan yang diperuntukkan bagi pasien sakit
kritis.
18. Pelayanan anestesia/analgesia di luar kamar operasi adalah tindakan
pemberian anestetik/analgesik di luar kamar operasi.
2. Jenis Anestesi
Pelayanan anestesi di Rumah sakit Paru Provinsi jawa Barat untuk
memfasilitasi tindakan Bronkoskopi, dimana tindakan ini diluar tindakan
bedah yang dilakukan di kamar operasi, sehingga jenis anestesi yang
diberikan pada Bronkoskopi adalah jenis anestesi sedasi moderat dan
dalam.
3. Teknik anestesi sedasi
Teknik anestesi sedasi yang digunakan pada tindakan Bronkoskopi adalah
teknik bolus intravena ( suntikan ke pembuluh darah )
4. Efek samping anestesi
Anestesi sedasi terdiri dari sejumlah obat, yang dapat menyebabkan efek
samping pada beberapa orang. Beberapa efek samping yang lebih umum
meliputi :
 Merasa mual atau muntah
 Pusing dan perasaan samar
 Sakit kepala
 Rasa gatal
 Memar dan nyeri local pada daerah suntikan
Efek samping biasanya tidak berlangsung dalam waktu yang lama
dan jika perlu mereka dapat diobati dengan pengobatan lebih lanjut.
5. Komplikasi dan resiko
Ada beberapa komplikasi yang lebih serius yang berhubuangan dengan
anestesi tapi untungnya hal ini jarang terjadi ( terjadi kurang dari satu kasu
untuk setiap 10.000 anestesi yang diberikan ). Komplikasi meliputi :
 Kerusakan saraf permanen ( menyebabkan kelumpuhan atau mati
rasa )
 Reaksi alergi serius terhadap obat bius ( anafilaksis )
 Kematian, yang sangat jarang terjadi ( ada sekitar satu kematian
untuk setiap 100.000 anestesi umum diberikan ).
6. Obat anestesi sedasi
Pelayanan anestesi sedasi pada tindakan Bronkoskopi di Ruamah sakit
Paru Provinsi Jawa barat menggunakan obat Midazolam.

Indikasi:
premedikasi, induksi anestesi dan penunjang anestesi umum; sedasi untuk
tindakan diagnostik & anestesi lokal.

Peringatan:
insomnia pada psikosis, depresi berat, kerusakan otak organik, insufisiensi
pernapasan, mengemudi atau mengoperasikan mesin yang berbahaya pada jam
pertama sampai keenam setelah mendapat obat, orang dewasa lebih dari 60
tahun, hamil, menyusui, gangguan hati, ketergantungan, pemutusan obat
mendadak, pengurangan bertahap setelah pemakaian lama, penggunaan
intravena apabila fasilitas resusitasi tersedia.

Interaksi:
lihat Lampiran 1 (midazolam).

Kontraindikasi:
bayi prematur, miastenia gravis.

Efek Samping:
jarang terjadi efek samping pada kardiorespirasi, mual, muntah, nyeri kepala,
cegukan, laringospamus, dispnea, halusinasi, mengantuk berlebihan, ataksia,
ruam kulit, reaksi paradoksikal, episode amnesia.

Dosis:
injeksi intramuskular premedikasi sebelum operasi: DEWASA 0,07-0,1 mg/kg bb:
ANAK 0,15-0,2 mg/kg bb. Injeksi intravena premedikasi sebelum
diagnostik/intervensi bedah 2,5-5 mg, selanjutnya 1 mg bila diperlukan. Induksi
anestesi dewasa 10-15 mg intravena dalam kombinasi dengan narkotik 0,03-0,3
mg/kg bb/jam. ANAK 0,15-0,2 mg/kg bb intramuskular dalam kombinasi dengan
ketamin. Sedasi dalam unit perawatan intensif (ICU) dosis muatan (loading dose)
0,03-0,3 mg/kg bb; dosis penunjang 0,03-0,2 mg/kg bb/jam.

Untuk anestesi local di sekitar Plika vokalis disemprotkan lidokain spray 4 menit
sebelum tindakan Bronkoskopi

B.Bronkoskopi ( teropong Paru )

Seorang Otolaryngologist berkebangsaan Jerman, Gustav Killian,


melakukan bronkoskopi yang pertama pada tahun 1897, dengan
menggunakan bronkoskopi kaku untuk mengeluarkan tulang babi dari bronkus
utama kanan (mainsterm bronkus). Killian berhasil mengeluarkan benda asing
tersebut dan mencegah dilakukannya trakheostomi. Sampai pada akhir abad
ke-19 metode ini diterima secara medis sebagai alat untuk mengeluarkan
benda asing. Teknik-teknik ini terus dikembangkan Killian sehingga indikasi
bronkoskopi makin meluas. Sebagai hasil dari inovasi dan pengembangan
bronkoskopi di seluruh dunia, Killian secara umum dikenal sebagai Bapak
Bronkoskopi.

Pada akhir abad ke-19, Chevalier Jackson, seorang laryngologist di


Philadelphia, mengembangkan minat pada bronkhoskopi, dan mulai
mengembangkan “tabung” bronkhoskopi. Pada tahun 1904, Jackson merubah
bronkoskopi kaku, dengan menambah ocular langsung, tabung suction dan
ujung distal untuk pencahayaan atau iluminasi. Jackson terus merancang dan
membuat bronkhoskopi baru serta alat-alat tambahan untuk menyempurnakan
teknik-teknik baru untuk evakuasi atau pengeluaran benda asing. Ia juga
mengembangkan dan menekankan pentingnya prosedur untuk protokol
keselamatan selama tindakan yang dilakukan dan teknik ini masih digunakan
sampai sekarang. Pada tahun 1907 Jackson menerbitkan buku
monumentalnya yang berjudul “Tracheobronchoscopy, Esophagology dan
Bronchoscopy”. Jackson memahami pentingnya program-program pelatihan
endoskopi, dan mengajarkan kursus instruksional bronchoesophagology. Dia
dianggap sebagai Bapak Bronchoesophagology Amerika (Raoof, 2001).

Pada tahun 1966 Shigeto Ikeda memperkenalkan bronkoskopi fleksibel


(FB) dengan teknologi pencitraan serat optik. Hal ini merupakan revolusi
dalam bidang bronkoskopi. Kemampuan untuk flexi distal ujung bronkoskopi
memungkinkan bronchoscopist (operator bronkoskopi) untuk mencapai ke
hampir semua bagian dari saluran nafas yang lebih kecil dari pohon
tracheobronchial (segmen bronkus atau saluran udara lebih kecil). Sejak
diperkenalkan penggunaannya pada tahun 1960-an oleh Shigeto Ikeda,
bronkoskopi serat optik telah meningkat kegunaannya, dengan kurang lebih
500.000 prosedur telah dilakukan di USA setiap tahunnya. FOB telah menjadi
prosedur yang tetap oleh ahli paru dan juga sebagai alat diagnostik bagi ahli
bedah toraks, anestesi dan juga intensivist (Ovassapian, 2001).

Serat optik merupakan saluran transmisi atau sejenis kabel yang terbuat
dari kaca atau plastik yang sangat halus dan lebih kecil dari sehelai rambut,
dan dapat digunakan untuk mentransmisikan sinyal cahaya dari suatu tempat
ke tempat lain. Sumber cahaya yang digunakan biasanya adalah laser atau
LED. Kabel ini berdiameter lebih kurang 120 mikrometer. Cahaya yang ada di
dalam serat optik tidak keluar karena indeks bias dari kaca lebih besar
daripada indeks bias dari udara, karena laser mempunyai spektrum yang
sangat sempit. Kecepatan transmisi serat optik sangat tinggi sehingga sangat
bagus digunakan sebagai saluran komunikasi.

Perkembangan teknologi serat optik saat ini, telah dapat menghasilkan


pelemahan (attenuation) kurang dari 20 decibels (dB)/km. Dengan lebar jalur
(bandwidth) yang besar sehingga kemampuan dalam mentransmisikan data
menjadi lebih banyak dan cepat dibandingan dengan penggunaan kabel
konvensional. Dengan demikian serat optik sangat cocok digunakan terutama
dalam aplikasi sistem telekomunikasi. Pada prinsipnya serat optik
memantulkan dan membiaskan sejumlah cahaya yang merambat didalamnya.
Efisiensi dari serat optik ditentukan oleh kemurnian dari bahan penyusun
gelas/kaca. Semakin murni bahan gelas, semakin sedikit cahaya yang diserap
oleh serat optik (http://id.wikipedia.org/wiki/Serat_optik)

Hasegawa (1998), 27% bronkhoskopi emergensi dikerjakan untuk


atelektasis dan retensi sekret jalan napas, 17% untuk ARDS dan edem paru,
13% untuk stenosis jalan napas, 13% untuk pneumonia dan empiema, 8%
untuk perdarahan jalan napas dan aspirasi benda asing dan 2% untuk asma
bronkhiale. Dari 198 FOB yang dikerjakan di ICU, 47% dilakukan dengan
alasan terapi, 44% untuk alasan diagnostik dan 9% untuk alasan keduanya
(Raoof, 2001).

Salah satu kegunaan dari FOB adalah mengeluarkan mucous plug yang
merupakan penyebab terjadinya retensi jalan napas dan atelektasis. Pada
penderita dengan atelektasis lobar yang mengancam jiwa atau kolaps paru,
bronkhoskopi tidak boleh ditunda bila fisioterapi dada gagal. Keuntungan
teurapetiknya adalah perbaikan aerasi yang dapat dinilai dengan auskultasi,
pertukaran gas yang lebih baik dan bukti radiografik dari ekspansi volume paru
pada 40%-80% prosedur (Baughman, 2001)
Pada penderita dengan hemoptisis, bronkhoskopi dapat memberi
kemudahan untuk akses ke lobus yang paling atas dan orificium yang lebih
distal. Jika tempat perdarahan aktif tidak dapat diidentifikasi dengan pasti,
bronkhoskopi dapat digunakan untuk membilas segmen paru dan mencari
timbulnya perdarahan. Setelah sumber hemoptisis ditemukan, dilakukan
instilasi langsung saline dingin atau kombinasi salin dengan efineprin.
Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan dan memberikan kesempatan
untuk persiapan torakotomi (Raoof, 2001).

Pada sebuah penelitian dari 60 penderita dengan corpus alienum paru,


sekitar 60% berhasil dikeluarkan dengan FOB, dan 98% dengan RB. Peralatan
fleksibel bermanfaat terutama bila benda asing tersebut terlalu distal untuk
tindakan RB.

Tindakan FOB sering digunakan untuk memperoleh spesimen dari


saluran napas bagian bawah. Metode yang digunakan adalah bronchoalveolar
lavage (BAL), protected samping brush (PSB), dan bronchoscopy lung biopsi
(BLB) yang sering dikerjakan secara bersama-sama untuk mengidentifikasi
patogen yang potensial (Baughman, 2000).

Steven dkk (1991) dalam 92 tindakan bronkhoskopi diagnostiknya,


menemukan penempatan ETT yang buruk pada 15% penderita. Dalam hal ini,
bronkhoskopi dapat mendeteksi komplikasi paska penempatan tube, termasuk
kerusakan trakea, pemasangan tube yang kurang tepat, edema dan erosi
trakea. Hal ini sering barmanfaat dalam penatalaksanaan pasien yang
mengalami stridor setelah ekstubasi (Raoof, 2001).

Seiring dengan perkembangan teknologi bronkhoskopi, beberapa rumah


sakit di Indonesia sudah banyak yang memanfaatkan prosedur bronkhoskopi
sebagai tindakan diagnostik dan terapi, sehingga penderita dapat ditangani
secara langsung dan intensif tanpa harus melakukan rujukan ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang lebih lengkap.
BAB II
RUANG LINGKUP

A. PELAYANAN ANESTESI SEDASI


1. Jenis anestesi
2. Teknik anestesi sedasi
3. Efek samping Anestesi
4. Komplikasi dan resiko
5. Obat anestesi sedasi
6. Pencatatan dan pelaporan
a. Pra anestesi
1) Konsultasi dan pemeriksaan oleh dokter spesialis anestesiologi
2) Dokter spesialis anestesiologi bertanggung jawab untuk
menilai dan menentukan status medis pasien pra anesthesia
berdasarkan prosedur sebagai berikut :
1) Anamnesis dan pemeriksaan pasien
2) Meminta dan atau mempelajari hasil-hasil pemeriksaan
dan konsultasi yang diperlukan untuk anesthesia.
3) Mendiskusikan dan menjelaskan tindakan anesthesia yang
akan dilakukan.
4) Memastikan bahwa pasien/ keluarga telah mengerti dan
menandatangani persetujuan tindakan
5) Mempersiapkan dan memastikan kelengkapan alat
anesthesia dan obat-obat yang akan dipergunakan.
3) Pemeriksaan penunjang pra anesthesia dilakukan sesuai
standar profesi dan standar Prosedur operasional.
4) Tersedianya oksigen dan gas medic yang memenuhi syarat
dan aman.
Pelayanan intra anesthesia ini dilakukaan pada semua pasien
yang akan menjalankan tindkan anesthesia, pada keadaan
yang tidak biasa, misalnya gawat darurat yang ekstrim,
langkah-langkah pelayanan pra-anestesia sebagaimana
diuraikan diatas, dapat diabaikan dan alasannya harus
didokumentasikan di dalam rekam medis pasien.

b. Pelayanan intra anestesi


1) Dokter spesialis anestesiologi dan tim pengelola harus
tetap berada di kamar tindakan selama tindakan
anesthesia sedasi
2) Selama pemberian anestesi sedasi harus dilakukan
pemantauan dan evaluasi secara continual terhadap
oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, suhu dan perfusi jaringan,
serta didokumentasikan pada catatan anesthesia.
3) Pengakhiran anestesi sedasi harus memperhatikan
oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, suhu dan perfusi jariangan
dalam keadaan stabil.
c. Pelayanan paska anestesi
1) Setiap pasien paska tindakan anesthesia harus dipindahkan ke
ruang pulih ( unit Rawat Paska-anestesia/ PACU )
2) Fasilitas, sarana dan peralatan ruang pulih harus memenuhi
persyaratan yang berlaku.
3) Pemindhan pasien ke ruang pulih harus didampingi oleh dokter
spesialis anestesiologi atau anggota tim pengelola anesthesia.
Selama pemindahan, pasien harus dipantau/ dinilai secara
continual dan diberikan bantuan sesuai kondisi pasien.
4) Setelah tiba di ruang pulih dilakukan serah terima pasien
kepada perawat ruang pulih dan disertai laporan kondisi
pasien.
5) Kondisi pasien di ruang pulih harus dinilai secara continual.
6) Tim pengelola anestesi bertanggung jawab atas pengeluaran
pasien dari ruang pulih

B. TINDAKAN BRONKOSKOPI
1. INDIKASI
a. Indikasi Bronkhoskopi
Indikasi dari bronkoskopi adalah untuk membantu dalam
menegakkan diagnosis, sebagai terapeutik serta evaluasi pre operatif / post
operasi.

i. Indikasi Diagnostik
Yang termasuk indikasi diagnostik bronkoskopi antara lain:

1. Batuk
2. Batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya
3. Wheezing lokal dan stridor
4. Gambaran foto toraks yang abnormal
5. Obstruksi dan atelektasis
6. Adanya benda asing dalam saluran napas
7. Pemeriksaan Bronchoalveolar lavage (BAL)
8. Lymphadenopathy atau massa intrabronkial pada
intra toraks
9. Karsinoma bronkhus
10. Ada bukti sitologi atau masih tersangka
11. Penentuan derajat karsinoma bronkus
12. Follow up karsinoma bronkus
ii. Indikasi Terapi
1. Yang termasuk indikasi terapeutik bronkoskopi
antara lain:
2. Mengeluarkan sekret/gumpalan mukus yang
tertahan penyebab atelektasis, pneumonia dan
abses paru
3. Mengeluarkan benda asing pada trakeobronkial
4. Pemasangan stent pada trakeobronkial
5. Dilatasi bronkus dengan menggunakan balon
6. Kista pada mediastinum
7. Kista pada bronkus
8. Mengeluarkan sesuatu dengan bronkoskopi
9. Brachytherapy
10. Laser therapy
11. Abses paru
12. Trauma dada
13. Therapeutic lavage (pulmonary alveolar proteinosis)

2. KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi tindakan bronkoskopi terdiri dari kontra indikasi
absolut dan relatif.

a. Kontra indikasi absolut antara lain :


1) Penderita kurang kooperatif
2) Keterampilan operator kurang
3) Fasilitas kurang memadai
4) Angina yang tidak stabil
5) Aritmia yang tidak terkontrol
6) Hipoksia yang tidak respon dengan pemberian oksigen
b. Kontra indikasi relatif antara lain :
1) Asma berat
2) Hiperkarbia berat
3) Koagulopati yang serius
4) Bulla emfisema berat
5) Obstruksi trakea
6) High Positive end-expiratory pressure

3. MEKANISME
Berdasarkan bentuk dan sifat alat bronkoskopi, saat ini dikenal dua
macam bronkoskopi, yaitu Rigid Bronkoskopi ( Pipa Kaku ) dan Fiber Optik
Bronkhoskopi ( Serat Optik )

c. Rigid Bronkoskopi ( Pipa Kaku )


Bronkoskopi rigid merupakan alat yang berbentuk tabung lurus
terbuat dari bahan stainless steel. Panjang dan lebar bervariasi, tetapi
bronkoskopi untuk dewasa biasanya berukuran panjang 40 cm dan
diameter berkisar 9-13,5 mm, tebal dinding bronkoskop berkisar 2-3
mm. Bronkoskopi rigid biasanya dilakukan dengan penderita di bawah
anestesi umum. Tindakan ini harus dilakukan oleh bronchoscopist yang
berpengalaman di ruang operasi. Bronkoskopi rigid diindikasikan pada
penderita dengan obstruksi saluran nafas besar dimana dengan FOB
tidak dapat dilakukan. Indikasi umum lainnya adalah:

1) Mengontrol dan penanganan batuk darah massif


2) Mengeluarkan benda asing dari saluran trakeobronkial
3) Penanganan stenosis saluran nafas
4) Penanganan obstruksi saluran nafas akibat neoplasma
5) Pemasangan sten bronkus
6) Laser bronkoskopi

Gambar 2.4. Rigid Bronchoscope

d. Fiber Optic Bronkhoskopi ( Serat Optik )


Fiber Optic Bronkhoskopi sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis pada kelainan yang dijumpai di paru-paru, dan berkembang
sebagai suatu prosedur diagnostik invasif paru.

FOB berupa tabung tipis panjang dengan diameter 5-6 mm,


merupakan saluran untuk tempat penyisipan peralatan tambahan yang
digunakan untuk mendapatkan sampel dahak ataupun jaringan.
Biasanya 55 cm dari total panjang tabung FOB mengandung serat optik
yang memancarkan cahaya. Ujung distal FOB memiliki sumber cahaya
yang dapat memperbesar 120o dari 100o lapangan pandang yang
diproyeksikan ke layar video atau kamera. Tabungnya sangat fleksibel
sehingga memungkinkan operator untuk melihat sudut 160o-180o
keatas dan 100o-130o ke bawah. Hal ini memungkinkan
bronchoscopist FOB untuk melihat ke segmen yang lebih kecil dan
segmen sub cabang bronkus ke atas dan ke bawah dari bronkus utama,
dan juga ke depan belakang (anterior dan superior).
Gambar 2.5. Fiber Optic Bronchoscope

4. KOMPLIKASI
Pada umumnya FOB mempunyai batas keamanan yang tinggi
dengan angka mortaliti 0-0,4 % dengan komplikasi mayor (perdarahan
pada waktu dilakukan biopsi, depresi pernafasan, henti jantung, aritmia,
dan pneumotoraks) < 1 % pada waktu tindakan bronkoskopi.

e. Komplikasi akibat premedikasi


1) Depresi pernapasan
2) Hypotensi
3) Sinkope
4) Henti napas
f. Komplikasi akibat anestesi lokal
1) Spasme laring
2) Methemoglobinemia
g. Komplikasi akibat tindakan bronkhoskopi
1) Spasme laring
2) Gagal napas
3) Pneumonia
4) Pneumothorax
5) Perdarahan
6) Henti jantung (cardiac arrest)
7) Takikardi
5. TEKNIK BRONKOSKOPI
a. Teknik Bronkhoskopi
Ada 3 macam teknik bronkhoskopi, yaitu :

i. Trans nasal
ii. Trans oral (yang sering dilakukan)
iii. Melalui rigid atau endotrakeal

6. KEGAGALAN BRONKOSKOPI
BAB III
TATA LAKSANA BRONKOSKOPI

A. penjadwalan Bronkoskopi
Pelayanan Bronkhoskopi dilaksanakan setiap hari selasa dan kamis. Setelah
pasien diperiksa di rawat inap/ rawat jalan oleh dokter spesialis paru, dibuat
rujukan yang berisi intriksi tindakan Bronkoskopi, dan dilengkapi dengan
pemeriksaan penunjang.

B. Persiapan Bronkoskopi
a. Persiapan Tindakan Bronkhoskopi
Persiapan tindakan bronkhoskopi ada dua macam yaitu persiapan
penderita dan persiapan alat serta obat.

i. Persiapan penderita
1. Informasi yang berkaitan dengan riwayat penyakit
sebelumnya, penyakit sekarang, kondisi fisik dan
mental penderita dan riwayat reaksi alergi terhadap
obat yang akan digunakan untuk tindakan bronkoskopi.
2. Memberikan informasi kepada penderita tentang
tahapan yang akan dilakukan mulai dari persiapan
bronkoskopi sampai pasca bronkoskopi, penjelasan
tentang tindakan anestesi yang dilakukan dan efek
anestesi yang dirasakan penderita
3. Menandatangani surat persetujuan tindakan (informed
consent)
4. Persiapan fisik antara lain :
i. Puasa minimal 6 jam sebelum dilakukan
tindakan
ii. Test lidocain 2% 0.1 cc diberikan
intracutan dan dibaca setelah 15 menit
5. Persiapan penunjang
i. Foto toraks AP Lateral
ii. Faal paru
1. VC > 1000 cc
2. FEV1 > 800 cc
iii. PAO2 > 65 mmHg
iv. Faal hemostatis
1. Hb > 10 gr%
v. EKG
ii. Persiapan alat dan obat
1. Meja anestesi dan premedikasi
i. Lampu kepala (head lamp)
ii. Kaca tenggorok (keel spiegel)
iii. Xylocain spray 10%
iv. Lampu spiritus
v. Disp spuit 5 cc
vi. Tong spatel
vii. Spuit instilasi
viii. Cucing berisi lidocain 2%
ix. Kasa dan tissue secukupnya
x. Obat-obat sulfas atropine dan
dipenhydramin
2. Meja instrument
i. Disp Spuit 50 cc
ii. Disp Spuit 10 cc
iii. Disp Spuit 5 cc
iv. Cucing berisi PZ
v. Cucing berisi lidocain 2%
vi. Hand schoon
vii. Botol penampung washing
viii. Alat untuk aspirasi biopsi
ix. Alat untuk forcep biopsi
x. Alat untuk brushing
xi. Alat bronkhoskopi (fiber optic)
xii. Alkohol 90%
xiii. Alkohol 70%
xiv. Formalin cair 10%
xv. Kasa dan tissue secukupnya
xvi. Objek glass
xvii. Pengaman gigi (mouth piece)
3. Obat-obat emergency
i. Pethidin
ii. Adrenalin
iii. Kalmetason
iv. Midazolam
v. Aminophylin
vi. Valium
vii. Transamin
viii. Epidrin
ix. Alupent
x. Transfusi set
xi. Surflo
xii. Cairan infus
4. Alat-alat penunjang lain
i. Oxymeter
ii. Oksigen
iii. Suction
iv. 2 buah mangkok berisi larutan tepol dan
aquades (untuk mencuci alat
bronkhoskopi)

2. Pelaksanaan Bronkhoskopi
a. Tahap I
1) Diberikan motivasi tentang tujuan dan akibat yang mungkin timbul
dari tindakan bronkhoskopi, diharapkan penderita kooperatif agar
tindakan ini berhasil secara maksimal
2) Menandatangani surat persetujuan tindakan, baik oleh penderita
maupun keluarganya
3) Ukur gejala cardinal ( tekanan darah, nadi)
b. Tahap II
1) Test lidocain 2% 0.1 cc intracutan dan dibaca setelah 15 menit
2) Diberikan dipenhydramin 1 cc (10 mg) dan sulfas atropine 2 amp
(0.5 mg) intramuscular dan ditunggu selama 30 menit
3) Lepas gigi palsu kalau ada (agar tidak tertelan saat penderita batuk,
selama dilakukan tindakan bronkhoskopi)
4) Sesudah 30 menit dilakukan lokal anestesi dengan pemberian
xylocain spray 10% pada pangkal lidah dengan dosis tidak boleh
lebih dari 20 kali semprotan
5) Instilasi lidocain 2% sebanyak 4-6 cc pada plika vokalis dan trakea.
Pemakaian lidocain tidak boleh lebih dari 400 mg
6) Penderita ditidurkan dimeja operasi dengan posisi terlentang dan
mata ditutup dengan mitella
7) Dipasang oxymeter untuk memonitor nadi dan saturasi oksigen
8) Diberikan oksigen 2 lpm melalui nasal kanul
9) Mouth piece (pengaman gigi) dipasang, selanjutnya operator
memasukkan ujung bronkhoskop yang sudah diolesu jelly
(lubricating gel) kedalam mulut melalui mouth piece
10) Posisi perawat berdiri disebelah kiri penderita dan dokter untuk
memudahkan membantu pelaksanaan tindakan tersebut
11) Skop masuk malalui plika vokalis, trakea, karina utama, bronkhus
dan cabang-cabangnya
12) Pada cabang bronkhus yang diduga ada kelainan dilakukan
pengambilan specimen dengan cara :
a) Aspirasi Biopsi
Pengambilan specimen dengan cara memasukkan jarum
panjang ditempat yang dicurigai ada keganasan, dihisap dengan
disp spuit 50 cc dan specimen disemprotkan diatas ojek glass

Gambar 2.6. Aspirasi Biopsi

b) Biopsi Forcep
Cara pengambilan jaringan dengan memakai forcep.
Forcep diarahkan ketempat yang dicurigai adanya keganasan,
mulut forcep dinuka dan ditancapkan ke jaringan tersebut dan
ditutup (sesuai aba-aba operator). Hal ini dilakukan 2-3 kali
sampai didapatkan jaringan untuk bahan pemeriksaan

Gambar 2.7. Forcep Biopsi

c) Bronkhial Brushing
Dilakukan sikatan ditempat yang dicurigai adanya
keganasan atau keradangan untuk mendapatkan bahan
pemeriksaan. Dari hasil sikatan dioleskan pada objek glass yang
sudah disediakan. Setelah selesai tindakan bronkhoskopi
penderita dipindahkan ke ruang khusus untuk observasi
selanjutnya, apakah ada komplikasi dari tindakan tersebut

Gambar 2.8. Bronkhial Brushing


d) Bronkhial Washing
Dilakukan pencucian ditempat yang dicurigai adanya
keganasan dan dilakukan sesuadah biopsi. Pencucian pada luka
bekas biopsi diharapkan ada sisa-sisa jaringan yang ikut dalam
cairan bilas tersebut.

3. Perawatan Post Bronkhoskopi


a. Perawatan penderita
1) Observasi gejala cardinal
Tekanan darah/nadi, apakah ada tanda-tanda :

a) Aritmia
b) Bradikardi
c) Takikardi
Tanda-tanda lain :

Pusing, mual, muntah, keringat dingin dan adanya


bronkhospasme, catat semua tanda tersebut pada lembar observasi.
Observasi dilakukan diruang tindakan paru dan selanjutnya
dilaksanakan diruang penderita dirawat. Bagi penderita yang rawat
jalan apabila tidak terdapat kelainan-kelainan tersebut diatas, maka
penderita diperbolehkan pulang dengan catatan : bila timbul
keluhan-keluhan diharapkan penderita dibawa kembali atau
langsung dibawa ke IRD

2) Observasi pernapasan dan perdarahan


a) Bila terjadi sesak napas, diberikan oksigen 3 lpm atau dengan
masker oksigen 6 lpm, pemberian bisa ditambah sesuai petunjuk
dokter.
b) Perdarahan bisa terjadi setelah dilakukan biopsi, dan bila terjadi
perdarahan : catat warna dan jumlahnya. Perlu dijelaskan pada
penderita bahwa perdarahan tersebut adalah sisa-sisa dari
tindakan bronkhoskopi dan penderita tidak perlu takut, nanti akan
berhenti sendiri karena sudah diberi obat. Sebaiknya kalau
penderita merasa ingin batuk jangan ditahan, agar sisa-sisa
perdarahan keluar semua, dan tidur penderita dengan posisi
trendelenberg.
3) Penderita puasa minimal 2 jam sesudah tindakan bronkhoskopi.
Dengan tujuan : agar sisa-sisa efek obat anestesi hilang dan fungsi
menelan kembali normal.

b. Perawatan alat
Setelah selesai tindakan bronkhoskopi, alat diusahakan tetap
bersih dengan cara :

1) Usap/lap bagian luar bronkhoskopi dengan larutan tepol (antiseptik)


beberapa kali serta lakukan pembersihan bagian dalam alat
bronkhoskopi dengan cara menghisap larutan tepol melalui channel.
Jika sebelumnya channel dipakai biopsi, maka bersihkan dengan
memakai sikat khusus terlebih dahulu
2) Usap/lap dengan air bersih (aquadest) beberapa kali, lalu hisap
aquadest untuk membersihkan bagian dalam bronkhoskop
3) Rendam dalam larutan cidex selama 15-20 menit, lalu bilas dengan
aquadest
4) Keringkan dengan cara tetap menghubungkan alat bronkhoskopi
dengan alat penghisap (suction) beberapa menit sampai cairan
dalam channel tersedot seluruhnya
5) Simpan dengan cara menggantung alat bronkhoskopi dilemari
khusus dengan sinar ultra violet selama ½ sampai 1 jam.
Perhatian

1) Alat bronkhoskopi tidak boleh ditekuk, karena serat optik bisa


putus yang menyebabkan gambar tidak terang
2) Perendaman didalam larutan cidex tidak boleh terlalu lama,
karena bronkhoskopi bagian luar akan menjadi kasar dan bisa
menyebabkan iritasi mukosa saluran napas.
4. Pemerikasaan Laboratorium
Pada tindakan bronkhoskopi biasanya ada specimen-specimen yang
diperiksa dilaboratorium, yaitu :

a. Bahan sedian langsung


1) Kultur
a) Aerob
b) An aerob
c) Micobacterium TB
2) Smear
a) BTA
b) Gram
b. Bahan sitologi dan fiksasinya
1) Aspirasi biopsi fiksasi alkohol 90%
2) Bronkhial washing fiksasi alkohol 70%
3) Bronkhial brushing fiksasi alkohol 70%

c. Bahan histologi dan fiksasinya


Biopsi forcep dengan fiksasi formalin 6-10%, keadaan tersebut
sesuai dengan permintaan laboratorium yang memeriksa.

C. Penerimaan pasien di ruang Tindakan Bronkoskopi


D. Pelayanan anestesi sedasi pada Bronkoskopi
a. Anestesi Bronkhoskopi
Pemberian anestesi dimaksudkan agar selama dilakukan
bronkhoskopi penderita tidak merasa sakit, rileks dan tenang sehingga
operator dapat bekerja secara maksimal. Pada tindakan bronkhoskopi,
anestesi diberikan dengan dua macam cara, yaitu :

i. Anestesi lokal
1. Secara rutin semua tindakan bronkhoskopi
menggunakan anestesi lokal
2. Anestesi lokal diberikan 30 menit setelah premedikasi,
dengan menyemprotkan xylocain spray 10% pada
pangkal lidah, faring dan laring. Penyemprotan tidak
boleh lebih dari 20 kali semprotan.
3. Selanjutnya dilakukan instilasi lidocain 2% 4-6 cc dan
diharapkan lidocain ini dapat tersebar merata dikedua
bronkhus utama dan cabang-cabangnya.
4. Pemakain keseluruhan tidak boleh lebih dari 400 mg.
ii. Anestesi umum
Pada umumnya tindakan bronkhoskopi tidak memerlukan anestesi
umum kecuali pada keadaan sebagai berikut :

1. Bila penderita sensitif atau peka terhadap obat-obat


anestesi lokal
2. Bila pemakain bronkhoskopi memerlukan waktu yang
lama.
E. Laporan Bronkoskopi dan anestesi
Setiap tindakan Bronkoskopi dilaporkan secara berkala tiap bulan kepada
pihak terkait agar pelaksanaan tindakan dilaporkan dengan baik
F. Prosedur pelaksanaan Bronkoskopi

Pelaksanaan Bronkhoskopi
a. Tahap I
1) Diberikan motivasi tentang tujuan dan akibat yang mungkin timbul
dari tindakan bronkhoskopi, diharapkan penderita kooperatif agar
tindakan ini berhasil secara maksimal
2) Menandatangani surat persetujuan tindakan, baik oleh penderita
maupun keluarganya
3) Ukur gejala cardinal ( tekanan darah, nadi)
b. Tahap II
1) Test lidocain 2% 0.1 cc intracutan dan dibaca setelah 15 menit
2) Diberikan dipenhydramin 1 cc (10 mg) dan sulfas atropine 2 amp
(0.5 mg) intramuscular dan ditunggu selama 30 menit
3) Lepas gigi palsu kalau ada (agar tidak tertelan saat penderita batuk,
selama dilakukan tindakan bronkhoskopi)
4) Sesudah 30 menit dilakukan lokal anestesi dengan pemberian
xylocain spray 10% pada pangkal lidah dengan dosis tidak boleh
lebih dari 20 kali semprotan
5) Instilasi lidocain 2% sebanyak 4-6 cc pada plika vokalis dan trakea.
Pemakaian lidocain tidak boleh lebih dari 400 mg
6) Penderita ditidurkan dimeja operasi dengan posisi terlentang dan
mata ditutup dengan mitella
7) Dipasang oxymeter untuk memonitor nadi dan saturasi oksigen
8) Diberikan oksigen 2 lpm melalui nasal kanul
9) Mouth piece (pengaman gigi) dipasang, selanjutnya operator
memasukkan ujung bronkhoskop yang sudah diolesi jelly (lubricating
gel) kedalam mulut melalui mouth piece
10) Posisi perawat berdiri disebelah kiri penderita dan dokter untuk
memudahkan membantu pelaksanaan tindakan tersebut
11) Skop masuk malalui plika vokalis, trakea, karina utama, bronkhus
dan cabang-cabangnya
12) Pada cabang bronkhus yang diduga ada kelainan dilakukan
pengambilan specimen dengan cara :
a) Aspirasi Biopsi
Pengambilan specimen dengan cara memasukkan jarum
panjang ditempat yang dicurigai ada keganasan, dihisap dengan
disp spuit 50 cc dan specimen disemprotkan diatas ojek glass

Gambar 2.6. Aspirasi Biopsi

b) Biopsi Forcep
Cara pengambilan jaringan dengan memakai forcep.
Forcep diarahkan ketempat yang dicurigai adanya keganasan,
mulut forcep dinuka dan ditancapkan ke jaringan tersebut dan
ditutup (sesuai aba-aba operator). Hal ini dilakukan 2-3 kali
sampai didapatkan jaringan untuk bahan pemeriksaan

Gambar 2.7. Forcep Biopsi

c) Bronkhial Brushing
Dilakukan sikatan ditempat yang dicurigai adanya
keganasan atau keradangan untuk mendapatkan bahan
pemeriksaan. Dari hasil sikatan dioleskan pada objek glass yang
sudah disediakan. Setelah selesai tindakan bronkhoskopi
penderita dipindahkan ke ruang khusus untuk observasi
selanjutnya, apakah ada komplikasi dari tindakan tersebut

Gambar 2.8. Bronkhial Brushing

d) Bronkhial Washing
Dilakukan pencucian ditempat yang dicurigai adanya
keganasan dan dilakukan sesuadah biopsi. Pencucian pada luka
bekas biopsi diharapkan ada sisa-sisa jaringan yang ikut dalam
cairan bilas tersebut.

c. Perawatan alat
Setelah selesai tindakan bronkhoskopi, alat diusahakan tetap
bersih dengan cara :

1) Usap/lap bagian luar bronkhoskopi dengan larutan tepol (antiseptik)


beberapa kali serta lakukan pembersihan bagian dalam alat
bronkhoskopi dengan cara menghisap larutan tepol melalui channel.
Jika sebelumnya channel dipakai biopsi, maka bersihkan dengan
memakai sikat khusus terlebih dahulu
2) Usap/lap dengan air bersih (aquadest) beberapa kali, lalu hisap
aquadest untuk membersihkan bagian dalam bronkhoskop
3) Rendam dalam larutan cidex selama 15-20 menit, lalu bilas dengan
aquadest
4) Keringkan dengan cara tetap menghubungkan alat bronkhoskopi
dengan alat penghisap (suction) beberapa menit sampai cairan
dalam channel tersedot seluruhnya
5) Simpan dengan cara menggantung alat bronkhoskopi dilemari
khusus dengan sinar ultra violet selama ½ sampai 1 jam.
Perhatian

3) Alat bronkhoskopi tidak boleh ditekuk, karena serat optik bisa


putus yang menyebabkan gambar tidak terang
4) Perendaman didalam larutan cidex tidak boleh terlalu lama,
karena bronkhoskopi bagian luar akan menjadi kasar dan bisa
menyebabkan iritasi mukosa saluran napas.
5. Pemerikasaan Laboratorium
Pada tindakan bronkhoskopi biasanya ada specimen-specimen yang
diperiksa dilaboratorium, yaitu :

d. Bahan sedian langsung


1) Kultur
a) Aerob
b) An aerob
c) Micobacterium TB
2) Smear
c) BTA
d) Gram
e. Bahan sitologi dan fiksasinya
4) Aspirasi biopsi fiksasi alkohol 90%
5) Bronkhial washing fiksasi alkohol 70%
6) Bronkhial brushing fiksasi alkohol 70%

f. Bahan histologi dan fiksasinya


Biopsi forcep dengan fiksasi formalin 6-10%, keadaan tersebut
sesuai dengan permintaan laboratorium yang memeriksa.
G. Asuhan keperawatan pada pasien setelah tindakan
a. Perawatan Post Bronkhoskopi
 Observasi gejala cardinal
Tekanan darah/nadi, apakah ada tanda-tanda :

i. Aritmia
ii. Bradikardi
iii. Takikardi
 Tanda-tanda lain :

Pusing, mual, muntah, keringat dingin dan adanya


bronkhospasme, catat semua tanda tersebut pada lembar observasi.
Observasi dilakukan diruang tindakan paru dan selanjutnya
dilaksanakan diruang penderita dirawat. Bagi penderita yang rawat
jalan apabila tidak terdapat kelainan-kelainan tersebut diatas, maka
penderita diperbolehkan pulang dengan catatan : bila timbul
keluhan-keluhan diharapkan penderita dibawa kembali atau
langsung dibawa ke IRD

 Observasi pernapasan dan perdarahan


Bila terjadi sesak napas, diberikan oksigen 3 lpm atau dengan
masker oksigen 6 lpm, pemberian bisa ditambah sesuai petunjuk dokter.
Perdarahan bisa terjadi setelah dilakukan biopsi, dan bila terjadi perdarahan :
catat warna dan jumlahnya. Perlu dijelaskan pada penderita bahwa perdarahan
tersebut adalah sisa-sisa dari tindakan bronkhoskopi dan penderita tidak perlu
takut, nanti akan berhenti sendiri karena sudah diberi obat. Sebaiknya kalau
penderita merasa ingin batuk jangan ditahan, agar sisa-sisa perdarahan keluar
semua, dan tidur penderita dengan posisi trendelenberg.
Penderita puasa minimal 2 jam sesudah tindakan bronkhoskopi.
Dengan tujuan : agar sisa-sisa efek obat anestesi hilang dan fungsi menelan
kembali normal.
BAB IV
DOKUMENTASI

Pelayanan anestesiologi adalah tindakan medis yang dilakukan melalui


pendekatan tim sesuai dengan kompetensi dan kewenangan yang dimiliki. Tim
pengelola pelayanan anestesiologi dipimpin oleh dokter spesialis anestesiologi
dengan anggota dan/atau dokter lain dan perawat anestesia/ perawat.
Pelayanan anestesiologi dan terapi intensif mencakup tindakan anestesia (pra
anestesia, intra anestesia dan pasca anestesia) serta pelayanan lain sesuai
bidang anestesiologi seperti pelayanan kritis, gawat darurat, penatalaksanaan
nyeri, dan lain-lain.

A. Pelayanan Anestesia Perioperatif


Pelayanan anestesia peri-operatif merupakan pelayanan anestesia yang
mengevaluasi, memantau dan mengelola pasien pra, intra dan pasca anestesia
berdasarkan keilmuan yang multidisiplin.

1. Pra-Anestesia
a. Konsultasi dan pemeriksaan oleh dokter spesialis anestesiologi harus
dilakukan sebelum tindakan anestesia untuk memastikan bahwa pasien
berada dalam kondisi yang layak untuk prosedur anestesi.
b. Dokter spesialis anestesiologi bertanggung jawab untuk menilai dan
menentukan status medis pasien pra-anestesia berdasarkan prosedur
sebagai berikut :
1) Anamnesis dan pemeriksaan pasien.
2) Meminta dan/atau mempelajari hasil-hasil pemeriksaan dan konsultasi
yang diperlukan untuk melakukan anestesia.
3) Mendiskusikan dan menjelaskan tindakan anestesia yang akan
dilakukan dan memastikan bahwa pasien dan/atau keluarga pasien
telah mengerti dan menandatangani persetujuan tindakan.
4) Mempersiapkan dan memastikan kelengkapan alat anestesia dan obat-
obat yang akan dipergunakan.
c. Pemeriksaan penunjang pra-anestesia dilakukan sesuai Standar Profesi.
d. Tersedianya oksigen dan gas medik yang memenuhi syarat dan aman.
Pelayanan pra-anestesia ini dilakukan pada semua pasien yang akan
menjalankan tindakan anestesia. Pada keadaan yang tidak biasa, misalnya
gawat darurat, langkah-langkah pelayanan praanestesia sebagaimana
diuraikan di atas, dapat diabaikan.

2. Pelayanan Intra Anestesia


a. Tim pengelola harus berada di kamar operasi selama tindakan anestesia
umum dan regional serta prosedur yang memerlukan tindakan sedasi.
b. Selama pemberian anestesia harus dilakukan pemantauan dan evaluasi
secara kontinual terhadap oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, suhu dan perfusi
jaringan, serta didokumentasikan pada catatan anestesia.
c. Pengakhiran anestesia harus memperhatikan oksigenasi, ventilasi,
sirkulasi, suhu dan perfusi jaringan dalam keadaan stabil.

3. Pelayanan Pasca-Anestesia
a. Setiap pasien pasca tindakan anestesia harus dipindahkan ke ruang pulih
(Unit Rawat Pasca-anestesia/PACU) atau ekuivalennya kecuali atas
perintah khusus dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang
bertanggung jawab terhadap pasien tersebut, pasien juga dapat
dipindahkan langsung ke unit perawatan kritis (ICU/HCU).
b. Pemindahan pasien ke ruang pulih harus didampingi salah satu atau lebih
dari tim pengelola anestesia. Selama pemindahan, pasien harus
dipantau/dinilai secara kontinual dan diberikan bantuan sesuai dengan
kondisi pasien.
c. Setelah tiba di ruang pulih dilakukan serah terima pasien kepada perawat
ruang pulih dan disertai laporan kondisi pasien.
d. Kondisi pasien di ruang pulih harus dinilai secara kontinual.
e. Tim pengelola anestesi bertanggung jawab atas pengeluaran pasien dari
ruang pulih.

B. Ketenagaan
Pelayanan anestesiologi di Rumah Sakit Umum Teungku Peukan dilaksanakan
dengan pendekatan tim yang terdiri dari dokter spesialis anestesiologi dan/atau
dokter lain, serta dapat dibantu oleh perawat anestesia/perawat.
Koordinator Pelayanan Anestesi dipimpin oleh dokter spesialis anestesiologi.
Jika tidak ada dokter spesialis anestesiologi maka koordinator pelayanan
ditetapkan oleh direktur rumah sakit yang diatur dalam peraturan internal rumah
sakit.
Jumlah kebutuhan tenaga anestesiologi disesuaikan dengan beban kerja dan
klasifikasi pelayanan anestesiologi diselenggarakan oleh rumah sakit, sesuai
dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.

C. Sarana, Prasarana dan Peralatan


Standar fasilitas, peralatan dan perlengkapan penyelengaraan pelayanan
anestesiologi dan di rumah sakit sesuai dengan strata/klasifikasi pelayanan
rumah sakit adalah:
F. Pengendalian Limbah
Mengikuti pengendalian limbah di rumah sakit. Pengelolaan limbah dirumah
sakit meliputi pengelolaan limbah padat, cair, bahan gas yang bersifat infeksius,
bahan kimia beracun yang diolah secara terpisah.

G. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)


Harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Untuk alat-alat yang menggunakan listrik harus memakai arde dan
stabilisator.
2. Dalam melakukan pelayanan harus memakai pelindung sesuai Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
3. Penataan ruang, aksesibilitas, penerangan dan pemilihan material harus
sesuai dengan ketentuan yang mengacu pada keselamatan pasien.

H. Pencatatan dan Pelaporan


Kegiatan, perubahan-perubahan dan kejadian yang terkait dengan persiapan
dan pelaksanaan pengelolaan pasien selama pra-anestesia, pemilihan tehnik
anestesi, pemantauan durante anestesia dan pasca anestesia di ruang pulih
dicatat secara kronologis dalam catatan anestesia yang disertakan dalam
rekam medis pasien. Pencatatan anestesia ini dilakukan sesuai ketentuan
perundang-undangan.
BAB V
PENUTUP

Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesi sedasi Pada Bronkoskoskopi


di Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat bertujuan untuk memberi acuan bagi
pelaksanaan dan pengembangan serta meningkatkan mutu pelayanan
anestesiologi di Rumah Sakit dan hendaknya dijadikan acuan bagi rumah sakit
dalam pengelolaan penyelenggaraan dan penyusunan standar prosedur
operasional (SPO) pelayanan anestesi sedasi pada Bronkoskopi

Anda mungkin juga menyukai