Anda di halaman 1dari 71

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI

PADA PASIEN SECSIO CESARIA DENGAN PRE EKLAMSIA


BERAT (PEB) POST OPERASI REGIONAL ANESTESI
DI RSIA Prof dr. H. M. FARID
KOTA MAKASSAR

Dosen : Happy Nurhayati, S. Kep.,S. TrKes.,M.KM

Oleh :
Nurdin Anwar
KELAS B
( 02202204073 )

PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

ITS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2022/2023
KATA PENGANTAR

‫ْــــــــــــــم هللاِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحيْـــــم‬


ِ ‫بِس‬
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-

Nya, kami dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI

PADA PASIEN SECSIO CAESARIA DENGAN PRE EKLAMSIA BERAT (PEB) POST

OPERASI REGIONAL ANESTESI DI RSIA PROF DR.H. M . FARID KOTA MAKASSAR”

tepat pada waktunya.

Tugas ini dapat terselesaikan bukanlah semata-mata atas usaha sendiri melainkan berkat

dorongan serta bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga penyusunan tugas

makalah ini terselesaikan tepat pada waktunya.

Kemajuan selalu menyertai segala sisi kehidupan menuju kearah yang lebih baik,

karenanya sumbangan saran untuk perbaikan sangat kami harapkan dan semoga makalah ini

bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan........................................................................................................... 1
C. Metode Penulisan.......................................................................................................... 2
D. Sistematika Penulisan....................................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Teori Penyakit Pre eklamsia........................................................................... 6
B. Tinjauan Teori Penyakit secsio caesrea......................................................................... 15
C. Pertimbangan Anestesi.................................................................................................. 26
D. Woc............................................................................................................................... 33
E. Tinjauan Teori ASKAN................................................................................................. 36
BAB III TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian Keperawatan Anestesi................................................................................. 38
B. Analisa Data.................................................................................................................. 48
C. Problem ( Masalah Kesehatan Anestesi)........................................................................ 51
D. Rencana Intervensi........................................................................................................ 52
E. Implementasi................................................................................................................. 57
F. Evaluasi......................................................................................................................... 60
BAB IV PEMBAHASAN................................................................................................... 64
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................................... 65
B. Saran.............................................................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 66
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Persalinan merupakan keadaan fisiologis yang normal. Persalinan dapat

dilakukan dua cara yaitu persalinan normal (Pervaginam) dan pembedahan (Sectio

Caesarea). Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan

melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat

rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 4500 gram. Sectio caesarea

biasanya dilakukan karena beberapa indikasi diantaranya komplikasi kehamilan

seperti pre-eklamsi, partus lama, ketuban pecah dini, letak sungsang, panggul

sempit (Padila Pratiwi, 2011). Preeklampsia Berat adalah sekumpulan gejala yang

timbul pada wanita hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, edema dan

protein uria terapi tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi

sebelumnya, sedangkan gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28

minggu atau lebih (Nanda, 2012). Di masyarakat terutama pada ibu hamil

kebanyakan ibu kurang menyadari dan memahami tentang tanda-tanda

preeklampsia berat seperti pembengkakan pada kaki, sakit kepala, peningkatan

berat badan, pusing, mual, muntah dan nyeri perut. Penanganan umumnya hanya

diberi kompres pada bagian yang bengkak namun tidak ada penaganan khusus

misalnya memeriksakan keadaannya kepada ahli medis. Tanda-tanda tersebut

dianggapnya sebagai masalah yang normal yang dialami pada ibu hamil. Di

lingkungan yang terpencil jauh dari fasilitas kesehatan banyak ibu yang kurang

menyadari terhadap pentingnya memeriksakan kehamilan atau biasanya disebut

dengan ANC (Ante Natal Care) sehingga pengetahuan tentang mengatur jarak

kehamilan yaitu 2 tahun dengan umur yang kurang tepat yaitu usia yang beresiko

kurang dari 20 tahun dan diatas 35 tahun serta kurangnya kepedulian kesehatan di

lingkungan tersebut sehingga dapat menyebabkan Pre Eklampsia

Berat(Prawiroharjo, 2008).
2

Preeklampsia sebagai salah satu komplikasi persalinan didefinisikan

sebagai suatu kumpulan gejala pada ibu hamil ditandai dengan peningkatan

tekanan darah sistolik ≥ 140/90 MmHg dan tingginya kadar protein pada urine

(proteinuria) yang sering muncul pada usia kehamilan ≥ 20 minggu. Kedua kriteria

ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, sedangkan untuk edema tidak lagi

dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita

dengan kehamilan normal (POGI, 2016).

Preeklampsia merupakan penyebab kematian kedua terbesar pada

kehmilan di Dunia. Menurut organisasi WHO pada tahun 2012 angka kejadian Pre

Eklampsia Berat sekitar 0,51% - 38,4%. Di Indonesia hasil penelitian ibu yang

melahirkan dengan indikasi Pre Eklampsia Berat sebesar 23,91% (JKS, 2013).

Sedangkan ibu yang melahirkan dengan indikasi Pre Eklampsia Berat di Jawa

Timur di rumah sakit pemerintah rata-rata 19% dan di rumah sakit swasta lebih

dari 36% (Judhita, 2012). Di Indonesia angka kejadian sectio caesarea menurut

data survey nasional pada tahun 2011 adalah 921.000 dari 4.039.000 persalinan

sekitar 22,8% dari seluruh persalinan (IDI, 2012). Penyebab Preeklampsia belum

diketahui secara pasti, namun faktor predisposisi Preeklampsia adalah umur

kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35


3

tahun, penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi kronis, malnutrisi dan

keadaan atau status sosial ekonomi yang rendah. Kemungkinan penyebab Pre

Eklampsia yaitu gangguan aliran darah ke plasenta atau uterus, kerusakan pada

pembuluh darah plasenta dan gizi buruk. Pada wanita dengan Preeklampsia

pertumbuhan dan perkembangan pembuluh darah plasenta terganggu, sehingga

lorong pembuluh darah lebih sempit dari seharusnya serta melakukan reaksi

berbeda terhadap rangsangan hormon. Kondisi itu menyebabkan berkurangnya

jumlah darah yang bisa dialirkan. Para ahli percaya bahwa masalah kelainan

plasenta, tinggi kandungan lemak tubuh, faktor keturunan dan kurangnya aliran

darah ke uterus merupakan faktor utama yang menyebabkan Pre Eklampsia.

Tanda gejala Pre Eklampsia Berat tekanan darah diastolic>110 mmHg, kenaikan

protein urine positif 3, oliguria (Urin, 5gr/L), hiperfleksia, gangguan penglihatan,

nyeri epigastrik, hipertensi, produksi urin menurun, ada kandungan protein yang

tinggi dalam urin (Proteinuria). Salah satunya penanganan yang cepat dan tepat

adalah dengan operasi sectio caesarea karena jika tidak segera ditindak lanjuti

dapat menyebabkan kematian pada ibu dan janinnya (Benson dan Pemol, 2010).

Dampak dari sectio caesarea terdapat infeksi puerperal yang terdiri dari

infeksi ringan dan infeksi berat, infeksi rigan ditandai dengan kenaikan suhu

beberapa hari dalam masa nifas, dan infeksi berat ditandai dengan kenaikan suhu

yang lebih tinggi bisa terjadi sepsis, infeksi ini bisa terjadi karena partus lama dan

ketuban yang telah pecah terlalu lama infeksi pada janin, dapat terjadi infeksi

ringan sampai sepsis yang dapat menyebabkan kematian. Dampak dari Pre

EklampsiaBerat pada janin antara lain : Intrauterine Growth Restiction (IUGR)


4

atau pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, premature, bayi lahir rendah,

dan solusio plasenta.

Pencegahan Preeklampsia hanya dapat dicapai secara umum dengan cara

menganjurkan pola makan yang dapat dicapai secara umum dengan cara

menganjurkan pola makan yang beryodium rendah serta olahraga yang teratur saat

kehamilan (Benson dan Pemol, 2010). Cukup istirahat lebih banyak duduk atau

berbaring kearah punggung janin sehingga aliran darah ke plasenta tidak mengalami

gangguan dan pengawasan antenatal (Ferrer, 2001). Pada Pre Eklampsia tidak perlu

dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal. Untuk pasien post

sectio caesarea dengan indikasi Pre Eklampsia Berat dianjurkan minum air putih

kemudian dilakukan mobilisasi dan diajarkan pasien teknik bledder training

(Syaifuddin, 2010).

B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan memahami asuhan kepenataan anestesi pada pasien secsio Caesaria

dengan pre eklamsia berat (peb) post op regional anestesi di rsia prof dr.H. M . farid kota

makassar

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui teori tentang Pre Eklamsia Berat?

b. Mengetahui teori tentang pertimbangan Anestesi untuk pre eklamsia berat?

c. Mengetahui bentuk format asuhan kepenataan anestesi?

C. METODE PENULISAN

Penulisan laporan kegiatan ini menggunakan Metode Studi Kasus yaitu rancangan penelitian

yang mencakup pengkajian satu unit penelitian secara intensif terhadap satu klien.

Metode Penulisan :

a. Tinjauan teori Penyakit, Askan, serta pertimbangan Anestesi

b. Kasus ASKAN
5

c. Kesenjangan antara tinjauan teori dengan tinjauan kasus (pengkajian, problem, perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi)

d. Kesimpulan dan Saran

D. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan laporan terbagi dalam enam bab dengan rinciaan sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan latar belakang, Tujuan Penulisan metode penulisan laporan,
sistematika penulisan laporan.
BAB II : TINJAUAN TEORI
Menjelaskan Tentang Teori penyakit pre eklamsia berat, sesio caesaria, Woc,
Pertimbangan Anestesi, dan Teori Asuhan Kepenataan Anestesi
BAB III : TINJAUAN KASUS
Menguraikan asuhan keperawatan mulai dari pre anestesi, durante anestesi, dan
pasca anestesi
BAB VI : PEMBAHASAN
Kesenjangan antara tinjauan teori dengan tinjauan kasus (pengkajian, problem,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi)
BAB V : PENUTUP
Menguraikan kesimpulan dan saran.
6

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori Penyakit

1. Pengertian Pre Eklamsia

Preeklampsia merupakan gangguan hipertensi yang terjadi pada ibu hamil dengan

usia kehamilan lebih dari 20 minggu yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah

≥ 140/90 MmHg disertai dengan edema dan proteinuria (Faiqoh, 2014).

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan

tingginya tekanan darah, tingginya kadar protein dalam urine serta edema. Diagnosis

preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan

kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20

minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan

proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria)

(POGI, 2016).

Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa

wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang

menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak

mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria
7

diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal

(POGI, 2016).

2. Klasifikasi

Menurut (Sukarni, 2017) dalam bukunya menjelaskan hipertensi dalam kehamilan

dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

a. Preeklampsia Ringan

Kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah 140/90 MmHg atau lebih

dengan posisi pengukuran tekanan darah pada ibu baik duduk maupun

telentang. Protein Uria 0,3 gr/lt atau +1/+2. Edema pada ekstermitas dan muka

serta diikuti kenaikan berat badan > 1 Kg/per minggu.

b. Preeklampsia Berat

Kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah 160/110 MmHg atau lebih.

Protein Uria 5 gr/lt atau lebih, terdapat oliguria ( Jumlah urine kuran dari 500

cc per 2 jam) serta adanya edema pada paru serta cyanosis. Adanya gangguan

serebral, gangguan visus dan rasa nyeri pada epigastrium.

3. Etiologi

Sampai dengan saat ini penyebab utama preeklamsia masih belum diketahui

secara pasti. Beberapa ahli percaya bahwa preeklamsia diawali dengan adanya

kelainan pada plasenta, yaitu organ yang berfungsi menerima suplai darah dan

nutrisi bagi bayi selama masih di dalam kandungan.


8

Teori lain menjelaskan preeklampsia sering terjadi pada

Primigravida, Kehamilan Post Matur /Post Term serta Kehamian Ganda.

Berdasarkan teori teori tersebut preeklampsia sering juga disebut“

Deseases Of Theory” . Beberapa landasan teori yang dapat dikemukakan

diantaranya adalah (Nuraini, 2011) :

1) Teori Genetik

Berdasarkan pada teori ini preeklampsia merupakan penyakit yang

dapat diturunkan atau bersifat heriditer, faktor genetik menunjukkan

kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsi pada anak-anak

dari ibu yang menderita preeklampsia, serta peran Renin-Angiotensin-

Aldosteron-System (RAAS) dimana enzim renin merupakan enzim

yang dihasilkan oleh ginjal dan berfungsi untuk meningkatkan tekanan

darah bekerja sama dengan hormon aldosteron dan angiotensin lalu

membentuk sistem.

2) Teori Immunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul

pada kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada

kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen

plasenta tidak sempurna.

3) Teori Prostasiklin & Tromboksan

Pada preeklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,

sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin yang pada kehamilan

normal meningkat, aktifitas penggumpalan dan fibrinolisis, yang


9

kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan

mengkonsumsi antitrombin mentebabkan pelepasan tromboksan dan

serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

Menurut Marianti (2017) selain Primigravida, Kehamilan Ganda

serta Riwayat Preeklampsia, beberapa faktor lainnya yang bisa

meningkatkan resiko preeklamsia antara lain adalah :

1) Malnutrisi Berat.

2) Riwayat penyakit seperti : Diabetes Mellitus, Lupus, Hypertensi dan

Penyakit Ginjal.

3) Jarak kehamilan yang cukup jauh dari kehamilan pertama.

4) Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.

5) Obesitas.

6) Riwayat keluarga dengan preeklampsia.

4. Manifestasi Klinis

Tanda klinis utama dari preeklampsia adalah tekanan darah yang

terus meningkat, peningkatan tekanan darah mencapai 140/90 mm Hg

atau lebih atau sering ditemukan nilai tekanan darah yang tinggi dalam 2

kali pemeriksaan rutin yang terpisah. Selain hipertensi, tanda klinis dan

gejala lainnya dari preeklamsia adalah :

1) Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg

diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan

lengan yang sama.

2) Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter.


10

3) Nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen.

4) Edema Paru.

5) Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.

6) Oligohidramnion

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan

antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga

kondisi protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria

pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi

mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap

preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat

mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan

dalam waktu singkat (POGI, 2016).

5. Patofisiologi

Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah yang disertai

dengan retensi air dan garam. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat

arteriola glomerolus. Pada beberapa kasus, lumen aretriola sedemikan

sempitnya sehingga nyata dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi jika

semua arteriola di dalam tubuh mengalami spasme maka tekanan darah

akan naik, sebagai usaha untuk mengatasai kenaikan tekanan perifer agar

oksigen jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan

edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam

ruangan interstisial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air


11

dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga

terjadi perubahan pada glomerolus.

Vosokontriksi merupakan dasar patogenesis preeklampsia yang

dapat menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan

hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada

endotel setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriola

disertai perdarahan mikro tempat endotel.

Pada preeklampsia serum antioksidan kadarnya menurun dan

plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada

wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan

sulfhidril yang berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase

lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase

lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati termasuk sel-

sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan

mengakibatkan antara lain ; adhesi dan agregasi trombosit, gangguan

permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma, terlepasnya enzim lisosom,

thromboksan dan serotonin sebagai akibat rusaknya trombosit. Produksi

tetrasiklin terhenti, terganggunya keseimbangan prostasiklin dan

tromboksan, terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen dan

perioksidase lemak (Nuraini, 2011).


12

6. Komplikasi

Komplikasi yang terberat dari preeklampsia adalah kematian ibu dan

janin, namun beberapa komplikasi yang dapat terjadi baik pada ibu

maupun janin adalah sebagai berikut (Marianti, 2017) :

1) Bagi Ibu

a. Sindrom HELLP (Haemolysis, elevated liver enzymes, and low

platelet count), adalah sindrom rusaknya sel darah merah,

meningkatnya enzim liver, dan rendahnya jumlah trombosit.

b. Eklamsia, preeklamsia bisa berkembang menjadi eklamsia yang

ditandai dengan kejang-kejang.

c. Penyakit kardiovaskular, risiko terkena penyakit yang berhubungan

dengan fungsi jantung dan pembuluh darah akan meningkat jika

mempunyai riwayat preeklamsia.

d. Kegagalan organ, preeklamsia bisa menyebabkan disfungsi

beberapa organ seperti, paru, ginjal, dan hati.

e. Gangguan pembekuan darah, komplikasi yang timbul dapat berupa

perdarahan karena kurangnya protein yang diperlukan untuk

pembekuan darah, atau sebaliknya, terjadi penggumpalan darah

yang menyebar karena protein tersebut terlalu aktif.

f. Solusio plasenta, lepasnya plasenta dari dinding rahim sebelum

kelahiran dapat mengakibatkan perdarahan serius dan kerusakan

plasenta, yang akan membahayakan keselamatan wanita hamil dan

janin.
13

g. Stroke hemoragik, kondisi ini ditandai dengan pecahnya pembuluh

darah otak akibat tingginya tekanan di dalam pembuluh tersebut.

Ketika seseorang mengalami perdarahan di otak, sel-sel otak akan

mengalami kerusakan karena adanya penekanan dari gumpalan

darah, dan juga karena tidak mendapatkan pasokan oksigen akibat

terputusnya aliran darah, kondisi inilah yang menyebabkan

kerusakan otak atau bahkan kematian.

2) Bagi Janin

a. Prematuritas.

b. Kematian Janin.

c. Terhambatnya pertumbuhan janin.

d. Asfiksia Neonatorum.

7. Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada

preeklampsia adalah sebagai berikut (Abiee, 2012) :

1) Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah :

a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal

hemoglobin untuk wanita hamil adalah 12-14 gr %)

b) Hematokrit meningkat ( nilai rujukan 37 – 43 vol %).

c) Trombosit menurun ( nilai rujukan 150 – 450 ribu/mm3 ).

b. Urinalisis

Ditemukan protein dalam urine.


14

c. Pemeriksaan Fungsi hati

a) Bilirubin meningkat ( N= < 1 mg/dl ).

b) LDH ( laktat dehidrogenase ) meningkat.

c) Aspartat aminomtransferase ( AST ) > 60 ul.

d) Serum Glutamat pirufat transaminase (SGPT ) meningkat (N=

15-45 u/ml).

e) Serum glutamat oxaloacetic trasaminase (SGOT) meningkat

(N= <31 u/l).

f) Total protein serum menurun (N= 6,7-8,7 g/dl)

d. Tes kimia darah

Asam urat meningkat (N= 2,4-2,7 mg/dl)

2) Radiologi

a. Ultrasonografi

Ditemukan retardasi pertumbuhan janin intra uterus. Pernafasan

intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan

ketuban sedikit.

b. Kardiotografi

Diketahui denyut jantung janin lemah.

8. Penatalaksanaan

Menurut (Pratiwi, 2017) penatalaksanaan pada preeklampsi adalah

sebagai berikut :

1) Tirah Baring miring ke satu posisi.

2) Monitor tanda-tanda vital, refleks dan DJJ.


15

3) Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah karbohidrat lemak dan garam.

4) Pemenuhan kebutuhan cairan : Jika jumlah urine < 30 ml/jam

pemberian cairan infus Ringer Laktat 60-125 ml/jam.

5) Pemberian obat-obatan sedative, anti hypertensi dan diuretik.

6) Monitor keadaan janin ( Aminoscopy, Ultrasografi).

Monitor tanda-tanda kelahiran persiapan kelahiran dengan induksi

partus pada usia kehamilan diatas 37 minggu.

B. Konsep Dasar Sectio Caesaria

1. Pengertian

Sectio caesarian adalah suatu tindakan pembedahan guna

melahirkan anak melalui insisi dinding perut abdomen dan uterus (Oxorn

& Forte, 2010). Sedangkan menurut Sarwono, (2011) Sectio Caesarian

adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu

insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim

dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram.

2. Anatomi dan Fisiologi

1) Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi

Anatomi fisiologi sistem reproduksi wanita dibagi menjadi 2

bagian yaitu: alat reproduksi wanita bagian dalam yang terletak di

dalam rongga pelvis, dan alat reproduksi wanita bagian luar yang

terletak di perineum (Bobak, 2010).


16

a. Struktur Eksterna

Gambar. 2.1 Sumber (Wijayanti, 2009)


a) Vulva adalah penutup atau pembungkus yang berbentuk

lonjong, berukuran panjang, mulai klitoris, kanan kiri dibatasi

bibir kecil sampai ke belakang dibatasi perineum.

b) Mons Pubis atau mons veneris merupakan jaringan lemak

subkutan berbentuk bulat yang lunak dan padat serta

merupakan jaringan ikat jarang di atas simfisis pubis.

c) Labia Mayora adalah dua lipatan kulit panjang melengkung

yang menutupi lemak dan jaringan kulit yang menyatu dengan

mons pubis.

d) Labia Minora terletak diantara dua labia mayora merupakan

lipatan kulit yang panjang, sempit, tidak berambut yang

memanjang ke arah dari bawah klitoris dan menyatu dengan

fourchett.

e) Klitoris adalah organ pendek berbentuk silinder dan yang

terletak tepat di bawah arkus pubis. Jumlah pembuluh darah

dan persarafan yang banyak membuat klitoris sangat sensitif

terhadap suhu, sentuhan dan sensasi tekanan.


17

f) Vestibulum suatu daerah yang berbentuk seperti perahu atau

lojong, terletak di antara labia minora, klitoris dan fourchette.

g) Perineum adalah daerah muskular yang ditutupi kulit antara

introitus vagina dan anus. Perineum membentuk dasar badan

perineum.

b. Struktur Interna

Gambar. 2.2 Sumber (Wijayanti, 2009)

a) Ovarium terletak di setiap sisi uterus, di bawah dan di belakang

tuba falopi. Dua ligamen mengikat ovarium pada tempatnya,

yakni bagian mesovarium ligamen lebar uterus, yang

memisahkan ovarium dari sisi dinding pelvis lateral kira-kira

setinggi krista iliaka anterosuperior, dan ligamentum ovarii

proprium, yang mengikat ovarium ke uterus.

b) Tuba Falopii , sepasang tuba fallopi melekat pada fundus

uterus. Tuba ini memanjang ke arah lateral, mencapai ujung

bebas legamen lebar dan berlekuk-lekuk mengelilingi setiap

ovarium.
18

c) Uterus adalah organ berdinding tebal, muskular, pipih, cekung

yang tampak mirip buah pir yang terbalik. Uterus terdiri dari

tiga bagian, fundus, korpus dan istmus. Vagina adalah suatu

tuba berdinding tipis yang dapat melipat dan mampu meregang

secara luas. Mukosa vagina berespon dengan cepat terhadap

stimulai esterogen dan progesteron.

2) Anatomi Fisiologi Kulit & Abdomen

a. Lapisan Epidermis : Epidermis atau lapisan luar, terutama terdiri

dari epitel skuamosa bertingkat. Lapisan luar terdiri dari keratin,

protein bertanduk, Jaringan ini tidak memiliki pembuluh darah

dan selselnya sangat rapat.

b. Lapisan Dermis : Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen

jaringan fibrosa dan elastin. Lapisan yang lebih dalam terletak

pada jaringan subkutan dan fasia, lapisan ini mengandung

pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf.

c. Lapisan Subkutan : Lapisan ini mengandung sejumlah sel lemak,

berisi banyak pembuluh darah dan ujung syaraf. Dalam

hubungannya dengan tindakan Sectio Caesarian, lapisan ini

adalah pengikat organ-organ yang ada di abdomen, khususnya

uterus. Organ-organ di abdomen dilindungi oleh selaput tipis

yang disebut peritonium. Dalam tindakan Sectio Caesarian,

sayatan dilakukan dari kulit lapisan terluar (epidermis) sampai

dinding uterus.
19

d. Fasia : Di bawah kulit fasia superfisialis dibagi menjadi lapisan

lemak yang dangkal, Camper's fasia, dan yang lebih dalam

lapisan fibrosa. Para fasia transversalis dipisahkan dari

peritoneum parietalis oleh variabel lapisan lemak. Fascias adalah

lembar jaringan ikat atau mengikat bersama-sama meliputi

struktur tubuh.

e. Otot dinding perut anterior dan lateral : Rectus abdominis meluas

dari bagian depan margo costalis di atas dan pubis di bagian

bawah. Otot itu disilang oleh beberapa pita fibrosa dan berada

didalam selubung. Linea alba adalah pita jaringan yang

membentang pada garis tengah dari procecuss xiphodius sternum

ke simpisis pubis, memisahkan kedua musculus rectus abdominis.

f. Otot dinding perut posterior : Quadrates lumbolus adalah otot

pendek persegi pada bagian belakang abdomen, dari costa

keduabelas diatas ke crista iliaca

3. Tipe -tipe Sectio Caesaria

Menurut Oxorn & Forte, (2010) tipe – tipe Sectio Caesarian yaitu :

1) Segmen bawah : insisi melintang

Tipe Sectio Caesaria ini memungkinkan abdomen dibuka dan uterus

disingkapkan. Lipatan vesicouterina (bladder flap) yang terletak

dengan sambungan segmen atas dan bawah uterus ditentukan dan

disayat melintang, lipatan ini dilepaskan dari segmen bawah dan

bersama-sama kandung kemih di dorong ke bawah serta ditarik agar


20

tidak menutupi lapang pandang. Keunungan tipe ini adalah otot tidak

dipotong tetatpi dipisah kesamping sehingga dapat mengurangi

perdarahan, kepala janin biasanya dibawah insisi sehingga mudah di

ektraksi. Kerugiannya adalah apabila segmen bawah belum terbentuk

dengan baik, pembedahan melintang sukar dilakukan.

2) Segmen bawah : insisi membujur

Insisi membujur dibuat dengan skalpel den dilebarkan dengan

gunting tumpul untuk menghindari cedera pada bayi. Keuntungan

tipe ini yaitu dapat memperlebar insisi keatas apabila bayinya besar,

pembentukan segmen bawah jelek, ada malposisi janin seperti letak

lintang atau adanya anomali janin seperti kehamilan kembar yang

menyatu. Kerugiannya adalah perdarahan dari tepi sayatan yang lebih

banyak karena terpotongnya otot.

3) Sectio Caesaria secara klasik

Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan skalpel ke dalam

dinding anterior uterus dan dilebarkan keatas serta kebawah dengan

gunting berujung tumpul. Indikasi pada tindakan ini bila bayi

tercekam pada letak lintang, kasus placenta previa anterior serta

malformasi uterus tertentu. Kerugiannya perdarahan lebih banyak

karena myometrium harus dipotong, bayi sering diekstraksi bokong

dahulu sehingga kemungkinan aspirasi cairan ketuban lebih besar

serta insiden ruptur uteri pada kehamilan berikutnya lebih tinggi.


21

4) Sectio Caesaria Extraperitoneal

Pembedahan ini dikerjakan untuk menghindari perlunya histerektomi

pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan mencegah

peritonitis generalisata yang sering bersifat fatal. Tehnik pada

prosedur ini relatif sulit, sering tanpa sengaja masuk kedalam cavum

peritoneal dan insidensi cedera vesica urinaria meningkat.

5) Histerectomi Caesaria

Pembedahan ini merupakan Sectio Caesaria yang dilanjutkan dengan

pengeluaran uterus. Indikasinya adalah perdarahan akibat atonia uteri

setelah terapi konservatif gagal, perdarahan akibat placenta previa

dan abruption placenta, ruptur uteri yang tidak dapat diperbaiki serta

kasus kanker servik dan ovarium.

4. Indikasi Sectio Caesaria

Tindakan Sectio Caesaria dilakukan apabila tidak memungkinkan

dilakukan persalinan pervaginam disebabkan adanya resiko terhadap ibu

atau janin dengan pertimbangan proses persalinan normal yang lama atau

keagagalan dalam proses persalinan normal. Menurut Hartati &

Maryunani, (2015) indikasi persalinan Sectio Caesaria dibagi menjadi :

1) Persalinan atas indikasi gawat ibu :

a. Proses persalinan normal yang lama atau kegagalan dalam proses

persalinan.

b. Kondisi panggul sempit.

c. Plasenta menutupi jalan lahir.


22

d. Komplikasi preeklampsia.

e. Ketuban Pecah Dini.

f. Bayi besar.

g. Kelainan letak

2) Persalinan atas indikasi gawat janin :

a. Tali pusat menumbung.

b. Infeksi intra partum.

c. Kehamilan kembar.

d. Kehamilan dengan kelainan kongenital.

e. Anomaly janin mislanya hidrosefalus.

5. Komplikasi

Komplikasi Sectio Caesaria menurut Oxorn & Forte, (2010) yaitu

sebagai berikut :

1) Perdarahan yang terjadi karena adanya atonia uteri, pelebaran insisi

uterus, kesulitan mengeluarkan plasenta dan hematoma ligamentum

latum.

2) Infeksi Sectio Caesaria bukan hanya terjadi di daerah insisi saja,

tetapi dapat terjadi di daerah lain seperti traktus genitalia, traktus

urinaria, paru-paru dan traktus respiratori atas.

3) Berkurangnya vaskuler bagian atas uterus sehingga dapat

menyebabkan rupture uterus.

4) Ileus dan peritonitis.


23

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksan penunjang yang dapat dilakukan untuk Sectio Caesaria

yaitu:

1) Laboratorium

a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/HT) untuk mengkaji perubahan

dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah

pada pembedahan.

b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi.

c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah.

d. Urinalisis/kultur urine.

e. Pemeriksaan elektrolit.

2) Pemeriksaan ECG.

3) Pemeriksaan USG

4) Amniosentetis terhadap maturitas pari janin sesuai indikasi

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis post Sectio Caesaria antara lain sebagai berikut:

1) Pemberian cairan

Karena 6 jam pertama pasca operasi pasien masih puasa, maka

pemberian cairan melalui intavena harus cukup banyak dan

mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau

komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan

biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan


24

jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan

transfusi darah sesuai kebutuhan.

2) Diet

Pemberian cairan melalui infus biasanya dihentikan setelah penderita

flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral.

Pemberian minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh

dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.

3) Mobilisasi

Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :

a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah

operasi.

b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur

telentang sedini mungkin setelah sadar.

c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5

menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu

menghembuskannya.

d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi

setengah duduk (semifowler).

e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien

dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan

kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca

operasi.
25

4) Kateterisasi

Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak

pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan

perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi

tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.

5) Pemberian obat-obatan

a. Antibiotik

Pemberian antibiotik dapat menurunkan resiko infeksipada luka

post Secto Caesaria, cara pemilihan dan pemberian antibiotic

sangat berbeda-beda setiap institusi.

b. Analgetik

Untuk meredakan rasa nyeri post operasi, pemberian obat ini

umumnya dibarengi dengan pemberian obat umtuk memperlancar

kerja saluran cerna.

c. Obat-obatan lain

Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat

diberikan caboransia seperti neurobian dan vitamin C.

6) Perawatan luka

Pada luka post operasi dilakukan perawatan untuk melihat kondisi

balutan luka apakah ada rembesan darah atau cairan lainnya serta

kondisi luka post operasi itu sendiri.


26

7) Pemeriksaan tanda-tanda vital

Identifikasi perubahan kondisi ibu pasca operasi untuk melihat

adanya tanda-tanda infeksi, perdarahan serta kondisi lainnya.

8) Perawatan payudara

Pemberian ASI dapat dimulai pada hari I post operasi jika

memungkinkan dan kondisi ibu sudah dapat mobilisasi penuh,

maka dapat dilakukan management laktasi.

C. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya dibagi

menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi regional

dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya

kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).

Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan

pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Morgan,

2011)

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa ketika dilakukan

pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa

takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan

pembedahan (Sabiston, 2011).

Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan bahwa

Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat pembedahan atau

melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit dengan cara trias
27

anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.

2. Jenis Anestesi

a. General Anestesi

Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh. Anestesi umum

dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau melalui inhalasi (Royal

College of Physicians (UK), 2011).

Anestesi umum meliputi:

1. Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi (VIMA=Volatile

Induction and Maintenance of Anesthesia)

2. Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena (TIVA=Total

Intravenous Anesthesia)

Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh sensasi dan

kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh. Pembedahan

yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor, yang membutuhkan

manipulasi jaringan yang luas.

b. Regional Anestesi

1. Pengertian anestesi spinal

Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal, secara

langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di bawah level L1/2

dimana medulla spinalis berakhir (Keat, dkk, 2013).

Spinal anestesi merupakan anestesia yang dilakukan pada pasien yang masih dalam

keadaan sadar untuk meniadakan proses konduktifitas pada ujung atau serabut saraf

sensori di bagian tubuh tertentu (Rochimah, dkk, 2011).

2. Tujuan anestesi spinal

Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi spinal dapat digunakan
28

untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri akut maupun kronik.

3. Kontraindikasi anestesi spinal

Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional yang luas

seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi hipovolemia yang belum

terkontrol karena dapat mengakibatkan hipotensi berat.

Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut Sjamsuhidayat & De

Jong tahun 2010, ialah :

a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup

b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan memerlukan

bantuan napas dan jalan napas segera.

c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung pada besarnya
diameter dan bentuk jarum spinal yang digunakan.
4) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang utama
digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1 jam, dan bupivacaine
serta tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam (Reeder, S., 2011). Berikut ini
uraian obat spinal anestesi :
1. Lidokain
a) Onset kerja : cepat
b) Dosis maksimum : 3-5mg/kg
c) Durasi kerja : Pendek 60-180 menit tergantung penggunaan
d) Efek samping : toksisitas kardiak lebih rendah dibandingkan
bupivakain
e) Metabolisme : Hati
Lidocain sangat popular dan digunakan untuk blok saraf, infitrasi dan anestesi
regional intravena begitu juga topical, epidural dan itratekal.
2. Bupivakain
a) Onset kerja : blok nervous 40 menit, epidural 15-20 menit, intratekal 30 detik
b) Durasi kerja : blok saraf sampai 24 jam; epidural 3-4 jam; intrakardial 2-3
jam
29

c) Efek samping : lebih cenderung mengakibatkan toksisitas kardiak berupa


penurunan tekanan darah dibandingkan obat anestesi lokal lainnya
d) Eliminasi : Ginjal
Bupivakain lazim digunakan untuk spinal anestesi. Menggunakan plain
bupivacaine membuatnya dapat naik ke atas atau turun ke bawah, yang dapat
mengakibatkan peningkatan blok yang membahayakan fungsi respirasi dan
kardio. Jika dekstrosa ditambahkan akan menjadi berat (heavy) dan akan
mengalir lebih dapat diprediksi turun ke tulang belakang, hanya memengaruhi
saraf yang non esensial. Larutan plain dapat menyebabkan hipotensi yang lebih
sedikit tapi pasien harus tidur terlentang (Keat, dkk., 2013).
3. Tetrakain
Tetrakain (pantocaine), suatu ester amino kerja – panjang, secara signifikan
lebih paten dan mempunyai durasi kerja lebih panjang daripada anestetik lokal
jenis ester lain yang umum digunakan. Obat ini banyak digunakan pada spinal
anestesi ketika durasi kerja obat yang panjang diperlukan. Tetrakain juga
ditambahkan pada beberapa sediaan anestetik topikal. Tetrakain jarang
digunakan pada blokade saraf perifer karena sering diperlukan dosis yang besar,
onsetnya yang lambat, dan berpotensi menimbulkan toksisitas (Brunton, dkk,
2011)
5) Teknik Pemberian Spinal Anestesi
Teknik pemberian spinal anestesi menurut Gruendemann & fernsebner, tahun
2011 ialah :
a) Klien diletakkan pada satu dari beberapa posisi yang memaksimalkan
kemungkinan pungsi dicelah antara vertebra lumbal kedua dan sakral
pertama. Posisi paling sering diambil adalah decubitus lateral, yang baik bagi
klien yang mendapat sedasi. Selain itu, posisi duduk diindikasikan untuk
klien gemuk apabila tanda – tanda patokan anatomis sulit diidentifikasi.
Kadang- kadang posisi ‘pisau lipat’ telungkup digunakan untuk klien yang
menjalani pembedahan rektum.
b) Sewaktu klien diletakkan dalam posisi decubitus lateral, klien akan berbaring
pada salah satu sisinya, sangat dekat dengan tepi tempat tidur. Panggul,
punggung, dan bahu harus sejajar dengan tepi tempat tidur. Apabila klien
ditempatkan dengan benar, sebuah garis imajiner anatar bagian atas kedua
30

krista iliaka akan berjalan melalui vertebra L4 atau 12 antar – ruang L4-5.
Tanda petunjuk ini digunakan untuk menentukan lokasi antar – ruang lumbal
tempat pungsi dilakukan.
c) Sebelum dilakukan pungsi, klien dibantu untuk menarik kedua lututnya
kearah dada dan menekuk kepala dan leher kearah dada. Dengan demikian,
punggung akan melengkung, sehingga prosesus spinalis terbuka secara
maksimum.
d) Prosedur pungsi spinal pada dasarnya sama dengan berbagai posisi klien,
baik posisi duduk atau ‘pisau lipat’. Klien dalam posisi duduk memerlukan
penopang yang kuat dibawah kaki mereka dan harus dibantu untuk condong
ke depan dengan lengan ditekuk agar punggung melengkung. Dalam posisi
ini, klien dapat ditopang oleh perawat atau oleh sebuah cantelan mayo yang
terpasang kuat.
e) Setelah pungsi dilakukan dan cairan serebrospinalis mengalir melalui aspirasi
lembut alat suntik yang dihubungkan dengan jarum spinal, obat anestetik
lokal dapat disuntikan dengan kecepatan sekitar 1 ml sampai 5 sampai 10
detik. Penyebaran anestetik lokal melalui cairan serebrospinalis dipengaruhi
oleh dosis total yang disuntikkan, konsentrasi larutan, keadaan kanalis
spinalis, dan posisi klien selama dan segera, setelah suntikan anestetik lokal.
f) Setelah obat disuntikkan di klien perlu diposisikan dengan ketinggian
anestesi yang dapat dicapai sehingga memblok serabut yang menpersarafi
kulit dan organ internal yang akan dikenal oleh prosedur operasi.
3. Teknik Anestesi
Sebelum memilih teknik anestesi yang digunakan, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan diantaranya keselamatan dari ibu, keselamatan bayi, kenyamanan ibu serta
kemampuan operator di dalam melakukan operasi pada penggunaan anestesi tersebut.
Menurut Mangku G & Senapathi T tahun 2018 pada sectio caesarea terdapat dua kategori
umum anestesi diantaranya Generał Anesthesia (GA) dan Regional Anesthesia (RA)
dimana pada RA termasuk dua teknik yakni teknik spinal dan teknik epidural. Teknik
anestesi dengan GA biasanya digunakan untuk operasi yang emergensi dimana tindakan
tersebut memerlukan anestesi segera dan secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga
diperlukan apabila terdapat kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya terdapat
peningkatan pada tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di sekitar vertebra.
31

Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan menggunakan teknik
RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik anestesi RA apabila waktu bukan
menupakan suatu prioritas. Penggunaan RA spinal dan RA epidural lebih disarankan untuk
digunakan dibandingkan dengan teknik GA pada sebagian kasus sectio caesarea. Salah satu
alasan utama pemilihan teknik anestesi RA dibandingkan dengan GA adalah adanya resiko
gagalnya intubasi trakea serta aspirasi dari isi lambung pada teknik anestesi GA. Selain itu,
GA juga meningkatkan kebutuhan resusitasi pada neonatus (Fyneface, S. O 2thed)
4. Rumatan Anestesi
a. Regional Anestesi
a) Oksigen nasal 2 Liter/menit
b) Obat Analgetik
c) Obat Hipnotik Sedatif
d) Obat merangsang kontraksi uterus ( Oxitocin dan Metylergometrine)
b. General Anestesi
a) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi (VIMA=Volatile
Induction and Maintenance of Anesthesia).
b) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena (TIVA=Total
Intravenous Anesthesia)
c) Obat Pelumpuh Otot
d) Obat Analgetik
e) Obat Hipnotik Sedatif
f) Obat merangsang kontraksi uterus (Oxitocin dan Metylergometrine)

5. Resiko komplikasi anestesi


a. Gangguan kardiovaskuler :
Penurunan curah jantung
b. Gangguan respirasi :
Pola nafas tidak efektif
c. Gangguan termoregulasi :
Hipotermi
d. Gastrointestinal
Rasa mual dan muntah
e. Resiko infeksi :
32

Luka insisi post operasi


f. Nyeri :
Proses kontraksi
Terputusnya kontinuitas jaringan kulit
g. Resiko Jatuh
Efek obat anestesi, Blok pada saraf motorik
h. Ansietas :Ketakutan akan tindakan pembedahan
33

D. Web of Caution(WOC)

Persalinan tidak normal

 CPD ( ChepaloPelvikDisproportion)
 PEB (Pre-EklamsiBerat)
 KPD (Ketuban PecahDini)
Etiologi
 BayiKembar
 Faktor Hambatan Jalan Lahir Kelainan letakkepala
 Kelainan LetakJanin

Letak bayisungsang

Masalah Pre Anestesi :


 Proses kontraksi
Nyeriakut
Tanda & Gejala
 Penekanan dada oleh
diafragma
Ketidakefektifan pola
nafas
 Kurang pengetahuan
Ansietas
Tindakan
(SectioCaesarea) Masalah Intra Anestesi :
 Prosespembedahan
Resiko perdaharan
 Efek obatanestesi
Hipotensi
 Suhu lingkungan rendah
Hipotermi

Masalah Post Anestesi :


 Adanya luka post
operasi Resiko
infeksi
 Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit post
operasi Nyeriakut
34

Tindakan Regional Anestesi


anestesi

Masalah Intra Operasi:


-Hipotensi

General Anestesi

Masalah Intra Operasi:


Pola nafas tidakefektif
Mualmuntah

Resiko anestesi

Nyeri

Gg. Kardiovaskular
Resiko Infeksi
Gg. Termoregulasi Gg. Respirasi
35

E. Tinjuan Teori AskanPre Intra Pasca Anestesi


1. Pengkajian
a. DataSubjektif
Pasien dalam keadaan hamil 9 bulan dan mengeluh nyeri dibagian rahim
b. DataObjektif
Pasien tampak memegang perutnya yang hamil
2. Masalah Kesehatan Anestesi

a. Pre Anestesi : Ansietas


b. Intra Anestesi : Hipotensi
c. Post Anestesi : Hipotermi
3. Rencana Intervensi

a. Masalah Kesehatan
Anestesi PreAnestesi
Ansietas
1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi selama 15 menit
diharapkan rasa cemas yang dirasakan pasien berkurang dengan kriteria hasil:
2) Kriteria hasil:

a. Tanda – tanda vital pasiennormal

Tekanan Darah : 100 – 120 / 70 – 80 mmhg


Nadi : 60 – 100 x/menit
Suhu : 37°C
Respirasi : 16 – 20 x/menit
36

b. Pasien mengatakan tahu tentang prosedur anestesi danpembedahan


c. Pasien menyatakan siap dilakukanoperasi
d. Pasien tampak tenang dan kooperatif

3). Rencana intervensi:


Mandiri :
a. Kaji tanda – tanda vitalpasien KU pasien
b. Bina hubungan saling percaya dengan pasien
c. Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya
d. Jelaskan jenis prosedur yang akandilakukan
e. Beri dorongan pasien untuk mengurangi rasa cemas

f. Kolaborasi pemberian obat anticemas

Intra Anestesi
Hipotensi

1). Tujuan: Setelah diberikan Asuhan Keperawatan Anestesi selama 30


menit diharapkan kondisi pasien sesuai dengan kriteriahasil
2). Kriteriahasil:

a. Tidak terlihat perubahan warna kulitabnormal


b. Akral pasien tidak terabadingin
c. Tanda – tanda vital dalam batas
normal Tekanan Darah : 100 – 120 /
70 – 80 mmhgNadi : 60 – 100
x/menit
Suhu : 36,5-37,5°C
Respirasi : 16 – 20 x/menit

3). Rencanaintervensi:

a. Observasi tanda tanda penurunan curahjantung


b. Status cairanpasien
c. Delegasi pemberian cairan kristaloid 500 – 1000cc
d. Delegasi pemberian Ephedrine 5 – 10 mg IVbolus
e. Tanda – tanda vital dalam batas
normal Tekanan Darah : 100 – 120
/
37

70 – 80 mmhgNadi : 60 – 100
x/menit
Suhu : 37°C
Respirasi : 16 – 20 x/menit

Post Anestesi
Hipotermi
1).Tujuan: Setelah dilakukan tindakan Keperawatan Anestesi selama 30 menit
diharapkan hipotermi pasien dapat teratasi dengan kriteri hasil :
2). Kriteria hasil :
a. Tanda – tanda vital dalam batas normal Tekanan Darah : 100 – 120 / 70 – 80 mmhg
Nadi : 60– 100 x/menit
Suhu : 36,5-37,5°C
Respirasi : 16 – 20 x/menit

3). Rencanaintervensi:
a. Observasi TTV dan KU pasien
b. Selimuti pasien menggunakan kain
c. Atur suhu ruangan pasien sesuai dengan kondisi pasien
38

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Identitas
1) Identitas Pasien
Nama : Ny M
Umur : 33 Tahun
Jeniskelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
SukuBangsa : WNI
Status perkawinan : Kawin
Golongandarah :O
Alamat : JL. Panampu lr 3 no 42, Makassar
No.CM : 238749
Diagnosa medis : G4P2A1 Uk 40 mg 1 hari T/H Letak Lintang + PEB
(PreEklamsia berat )
Tindakan Operasi : SC CITO
Tanggal MRS : 7/ 12/2022 (Pukul 20.10 WIB)
Tanggal pengkajian : 7/12/2022 (Pukul 20.30 WIB)
2) Identitas penanggung jawab
Nama : Tn. K
Umur :-
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku Bangsa : WNI
Hubungan dg Klien : Suami
Alamat : JL. Panampu lr 3 no 42, Makassar
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluar darah pervaginam
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSIA Prof dr H. Farid Makassar pukul 20.10 WIB dengan
keluhan keluar darah pervaginam sejak pukul 17.30 WIB (7/12/2022), Pasien
mengatakan mengeluh nyeri perut, keluar air pervaginam dan gerak bayi baik dan pasien
merasa pusing.. Setelah dilakukan perawatan di UGD PONEK di lakukan Tensi 170/100
mmhg, Nadi 110 x/mnit, pernafasan ,28 – 30 x/menit. pukul 20.30 atas instruksi dari
dokter spesialis obgyn, diputuskan akan dilakukan tindakan cito SC tgl 7/12/2022 pukul
39

20.30 WIB dengan jenis anestesi regional anestesi. Pasien makan terakhir pukul 17.00.
Pasien mengatakan takut dan cemas akan dilakukan tindakan operasi karena belum
pernah dilakukan operasi sebelumnya.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
hipertensi
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan ibu miliki riwayat penyakit asma

5) Riwayat Kesehatan
a) Adakah penyakit keturunan? Tidak
b) Sebelumnya pernah masuk Rumah Sakit? Tidak
c) Bagaimana pengobatannya, tuntas atau tidak? Tidak
d) Obat apa saja yang pernah digunakan? Vitamin yang diberikan oleh dokter obgyn
dan penambah darah.
e) Riwayat operasi, anestesi dan komplikasi anestesi sebelumnya. Tidak ada
f) Kebiasaan-kebiasaan pasien (perokok berat, pemakai alkohol atau obat-obatan
terlarang) Tidak ada
g) Riwayat alergi Tidak ada
h) Riwayat Penyakit sistemik Tidak ada

c. Pola Kebutuhan Dasar (Data Bio-psiko-sosio-kultural-spiritual)


1) Udara atau oksigenasi
a) Gangguan pernafasan : Tidak
b) Alat bantu pernafasan : Tidak
c) Sirkulasi udara : Baik
d) Letak tempat tinggal : Baik
2) Air
a) Sebelum sakit
Minum air
(1) Frekuensi : 5-6 gelas/hari
(2) Jenis : Air
(3) Cara : oral
(4) Keluhan :-
a) Saat sakit :
Minum air
(1) Frekuensi : 1-3 gelas/hari
(2) Jenis : Air
(3) Cara : oral
(4) Keluhan : Tidak ada
3) Nutrisi/ makanan
a) Sebelum sakit
(1) Frekuensi : 3x/hari
(2) Jenis : Nasi
40

(3) Porsi : Satu piring penuh


(4) Diet khusus :-
(5) Makanan yang disukai :-
(6) Pantangan :-
(7) Nafsu makan : Baik
b) Saat sakit
(1) Frekuensi : 1 kali (makan pagi)
(2) Jenis : Nasi
(3) Porsi : setengah – satu piring
(4) Diet khusus :-
(5) Makanan yang disukai :-
(6) Pantangan :-
(7) Nafsu makan : Kurang
4) Eliminasi
a) BAB
(1) Sebelum sakit
(a) Frekuensi : 2x/hari
(b) Konsistensi : Padat
(c) Warna : kuning
(d) Bau : Khas feses
(e) Cara : Jongkok
(f) Keluhan :-
(2) Saat Sakit
(a) Frekuensi : 2-3x/hari
(b) Konsistensi : padat
(c) Warna : kuning
(d) Bau : khas feses
(e) Cara : jongkok
(f) Keluhan :-

b) BAK
(1) Sebelum sakit
(a) Frekuensi : 2-4 x/hari
(b) Konsistensi : cair
(c) Warna : bening kekuningan
(d) Bau : khas urine
(e) Cara : jongkok
(f) Keluhan : tidak ada
(2) Saat sakit
(a) Frekuensi : 4-5 X/hari
(b) Konsistensi : cair
(c) Warna : bening kekuningan
(d) Bau : khas urine
(e) Cara : Terpasang Kateter
41

(f) Keluhan : tidak ada

5) Pola aktivitas dan istirahat


a)   Aktivitas
Kemampuan Perawatan Diri 0 1 2 3 4
Makan dan minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Berpindah √
0: mandiri, 1: Alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4:
tergantung total
b)  Istirahat Dan Tidur
(1) Sebelum sakit
(a) Apakah frekuensi waktu anda beraktivitas lebih banyak dari pada waktu
anda beristirahat? Tidak
(b) Apakah anda pernah mengalami insomnia? Tidak
(c) Berapa jam anda tidur: malam 6-7 jam, siang 2 jam
(2) Saat sakit
(a) Apakah anda pernah mengalami insomnia? Sulit tidur, karena Gerakan
terbatas
(b) Berapa jam anda tidur: malam 3-4 jam, siang 2 jam
6) Interaksi sosial
a) Kegiatan Lingkungan : baik
b) Interaksi Sosial : baik
c) Keterlibatan Kegiatan Sosial : baik
7) Pemeliharaan Kesehatan
a) Konsumsi vitamin : Vitamin dari Obgyn
b) Imunisasi :-
c) Olahraga : Jalan-jalan kecil
d) Upaya keharmonisan keluarga : baik
e) Stress dan adaptasi : baik
8) Kesejahteraan dan peningkatan fungsi manusia
a) Hubungan dengan lingkungan masyarakat, keluarga, kelompok, teman:baik
b) Pemanfaatan pelayanan kesehatan: baik
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
GCS : Verbal : 5 Motorik : 6 Mata : 4
Penampilan : Pasien tampak cemas.
Puasa : Tidak Puasa
Tanda-tanda vital : Nadi: 80 x/mnt, Suhu: 36oC. TD: 100/70 mmHg, RR: 18x/mnt . BB
42

: 61,5 kg. TB : 152


2) Pemeriksaan Kepala
a) Inspeksi
Bentuk kepala: normochepalus / normal), kesimetrisan (+), hidrochepalus (-), luka
(-), darah (-), trepanasi (-), kebersihan (+), persebaran rambut merata, terdapat
rambut rontok (-).
b) Palpasi
Nyeri tekan (-), edema (-), fontanella / pada bayi (cekung / tidak)
3) Pemeriksaan Wajah
Inspeksi
Perhatikan ekspresi wajah: tegang, warna dan kondisi wajah: tampak lemah, struktur
wajah: simetris. Kelumpuhan otot-otot fasialis (-), Bentuk dagu: tidak.
4) Pemeriksaan Mata
a) Inspeksi
Mata simetris (+), Ekssoftalmus (-), Endofthalmus (-), Kelopak mata / palpebra:
oedem (-), ptosis - ), peradangan ( - ) luka ( - ), benjolan ( - ), Bulu mata : tidak,
konjunctiva dan sclera : sedikit pucat, Reaksi pupil terhadap cahaya : miosis, isokor (
+ / + ), Kornea : warna hitam, Nigtasmus (- ), Strabismus (- )
(1) Pemeriksaan Visus
Tidak dikaji
(2) Pemeriksaan lapang pandang : tidak dikaji
b) Palpasi
Tidak dikaji
2) Pemeriksaan Telinga
a) Inspeksi dan palpasi
(1) Amati bagian telinga luar : bentuk simetris. Ukuran kanan kiri sama. Warna kulit.
Lesi (-), nyeri tekan (-), peradangan (-), penumpukan serumen (-).
(2) Uji kemampuan kepekaan telinga : Tidak dikaji
(a) Tes bisik : Sama antara kanan dan kiri
(b) Dengan arloji : Sama antara kanan dan kiri
(c) Uji weber : seimbang
(d) Uji rinne : sama dibanding dengan hantaran udara
(e) Uji swabach : sama
3) Pemeriksaan Hidung
a) Inspeksi dan palpasi
(1) Tidak ada pembengkakkan tulang hidung dan posisi septum nasi
(2) Amati meatus : perdarahan ( - ), Kotoran ( - ), Pembengkakan (-), pembesaran /
polip ( - )
4) Pemeriksaan Mulut dan Faring
a) Inspeksi dan Palpasi
(1) Amati bibir : Tidak ada kelainan konginetal (labioseisis, palatoseisis,atau
labiopalatoseisis ), warna bibir sedikit pucat, lesi (-), Bibir pecah ( +),
(2) Amati gigi ,gusi, dan lidah : Caries ( - ), Kotoran ( - ), Gigi palsu ( - ), Gingivitis
( - ) Bentuk gigi seri menonjol (-)
43

(3) Lidah : Warna lidah : merah muda kepucatan , Perdarahan ( - ), Abses ( - ).


(4) Orofaring atau rongga mulut : uvula simetris, benda asing tidak ada.
(5) Tonsil: Adakah pembesaran: T0
(6) Perhatikan suara klien: Tidak
(7) Malampati score 2
(8) Buka mulut 3 jari (+)
(9) Gigi Palsu : Tidak ada
5) Pemeriksaan Leher
a) Inspeksi dan palpasi amati dan rasakan :
(1) Bentuk leher simetris, peradangan ( - ), jaringan parut ( - ), perubahan warna
( - ), massa ( - )
(2) Kelenjar tiroid, pembesaran ( - )
(3) Vena jugularis : pembesaran ( - ),
(4) Pembesaran kelenjar limfe ( - ), kelenjar tiroid ( - ), posisi trakea simetris
(5) Pemeriksaan leher pendek : 3 jari dari pangkal leher ke angulus mandibula (+)
(6) Gerak leher : Bebas
6) Pemeriksaan Payudara dan Ketiak
a) Inspeksi
(1) Ukuran payudara simetris , pembengkakan ( - ).
(2) Kulit payudara : warna kulit, lesi ( - ), Areola : perubahan warna (+)
(3) Putting : colostrum (+), ulkus ( - ), pembengkakan ( - )
b) Palpasi
Nyri tekan ( - ), kenyal (+), benjolan massa ( -)
7) Pemeriksaan Torak
a) Pemeriksaan Thorak dan Paru
(1) Inspeksi
(a) Bentuk torak normal chest, bentuk dada simetris keadaan kulit normal
(b) Retrasksi otot bantu pernafasan: Retraksi intercosta (-), retraksi suprasternal
( - ), Sternomastoid ( - ), pernafasan cuping hidung (-).
(c) Pola nafas : Eupnea
(d) Amati : cianosis ( - ), batuk (+) kadang-kadang
(2) Palpasi
Pemeriksaan taktil / vocal fremitus : getaran antara kanan dan kiri teraba sama
(3) Perkusi
Area paru : Sonor
(4) Auskultasi
(a) Suara nafas
Area Vesikuler : bersih, Area Bronchial : bersih, Area Bronkovesikuler :
bersih
(b) Suara Ucapan
Terdengar : Bronkophoni ( - ), Egophoni ( - ), Pectoriloqy (-)
(c) Suara tambahan
Terdengar : Rales ( - ), Ronchi ( - ), Wheezing ( - ), Pleural fricion rub (-)
44

b) Pemeriksaan Jantung
(1) Inspeksi
Ictus cordis (-), pelebaran (tidak ada)
(2) Palpasi
Pulsasi pada dinding torak teraba : ( Tidak teraba )
(3) Perkusi
Batas-batas jantung normal adalah :
Batas atas : ICS II
Batas bawah : ICS V
Batas Kiri : ICS V Mid Clavikula Sinistra
Batas Kanan : ICS IV Mid Sternalis Dextra
(4) Auskultasi
BJ I terdengar (tunggal), (reguler)
BJ II terdengar (tunggal), (reguler)
Bunyi jantung tambahan : BJ III ( - ), Gallop Rhythm (-),
Murmur (- )
8) Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi
(1) Bentuk abdomen : (cembung)
(2) Massa/Benjolan ( - ), Kesimetrisan ( + )
(3) Bayangan pembuluhdarah vena (+)
b) Auskultasi
Frekuensi peristaltic usus 18 x/menit. Borborygmi ( -)
c) Palpasi
(1) Palpasi Hepar :
Nyeri tekan (-), pembesaran (-), perabaan (tidak teraba).
(2) Palpasi Lien : Pembesaran lien : ( - )
(3) Palpasi Appendik :
(a) Titik Mc. Burney nyeri tekan ( - ), nyeri lepas ( - ), nyeri menjalar
kontralateral ( - ).
(b) Acites atau tidak : Shiffing Dullnes ( - ), Undulasi ( - )
(4) Palpasi Ginjal :
Nyeri tekan ( - ), pembesaran ( - ).
9) Pemeriksaan Genetalia
a) Genetalia wanita
(1) Inspeksi
Kebersihan rambut pubis (bersih), lesi ( - ),eritema ( - ), keputihan (-),
peradangan ( - ).Lubang uretra : stenosis /sumbatan (-), perdarahan pervagina
(+).
10) Pemeriksaan Anus
a) Inspeksi
45

Atresia ani ( - ), tumor ( - ), haemorroid ( - ), perdarahan ( - ), Perineum : jahitan


( - ), benjolan ( - )
b) Palpasi
Nyeri tekan pada daerah anus ( - )
11) Pemeriksaan Ekstremitas
a) Ekstremitas Atas
(1) Inspeksi
Otot antar sisi kanan dan kiri (simetris), deformitas (-), fraktur (-) terpasang Gib ( - ),
Traksi ( - ), terpasang infus (+ ) di tangan kiri.
(2) Palpasi
Edema : (3), nyeri tekan (-)
Lakukan uji kekuatan otot : (4)
b) Ekstremitas Bawah :
(1) Inspeksi
Otot antar sisi kanan dan kiri (simetris), deformitas (-), fraktur (-), terpasang Gib
( - ), Traksi ( - ), terpasang infus (-).
(2) Palpasi
Edema : (3), nyeri tekan (-)
Lakukan uji kekuatan otot : (4)
Kesimpulan palpasi ekstermitas :

(1) Edema :
3 3
3 3

(2) uji kekuatan otot :

4 4
4 4
e. Pemeriksaan neurologis
1) Menguji tingkat kesadaran secara kuantitaif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale )
a) Menilai respon membuka mata ( 4 )
b) Menilai respon Verbal ( 5 )
c) Menilai respon motorik ( 6 )
2) Pemeriksaan tingkat kesadaran secara kualitatif : Compos mentis
3) Memeriksa tanda-tanda rangsangan otak
Peningkatan suhu tubuh (-), nyeri kepala (-), kaku kuduk (-), mual –muntah (-) kejang (-)
penurunan tingkat kesadaran (-)
4) Memeriksa nervus cranialis
a) Nervus I , Olfaktorius (pembau) : Dapat membedakan bau
b) Nervus II, Opticus (penglihatan): Dapat melihat dengan jelas
c) Nervus III, Ocumulatorius : Refleks pupil kiri kanan(+)
d) Nervus IV, Throclearis : Tatapan mata ke atas / bawah
e) Nervus V, Thrigeminus
(1) Cabang optalmicus : Sentuhan halus kornea (+)
46

(2) Cabang maxilaris : Kemampuan mengatup gigi (+)


(3) Cabang Mandibularis: Kemampuan mengatup gigi (+)
f) Nervus VI, Abdusen : Pandang mata kesamping (+)
g) Nervus VII, Facialis : Ekpresi wajah (+)
h) Nervus VIII, Auditorius : Pendengaran (+)
i) Nervus IX, Glosopharingeal : Lidah mengucapkan A (+)
j) Nervus X, Vagus : Reflek menelan (+)
k) Nervus XI, Accessorius : Melawanan tahanan bahu (+)
l) Nervus XII, Hypoglosal : Menjulurkan lidah (+)
5) Memeriksa fungsi motorik
Ukuran otot (simetris), atropi (-)
6) Memeriksa fungsi sensorik
Kepekaan saraf perifer : benda tumpul mampu membedakan, benda tajam mampu
membedakan, menguji sensasi panas / dingin mampu membedakan, kapas halus mampu
membendakan, minyak wangi mampu membedakan.
7) Memeriksa reflek kedalaman tendon
a) Reflek Fisiologis
Reflek bisep ( + )
Reflek trisep ( + )
Reflek brachiradialis ( + )
Reflek patella ( + )
Reflek achiles ( + )
b) Reflek Pathologis
Reflek babinski (-)
Reflek chaddok (-)
Reflek schaeffer (-)
Reflek Oppenheim (-)
Reflek Gordon (-)
2. Data Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan pada tanggal 7 DESEMBER 2020 ( 20.10 WIB )

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan


HB 11,8 12,2 – 16,1 g/dl
WBC 9,5 3,5 – 10,0 10^3/µɭ
HCT 36,5 35,0 – 55,0 %
LYM 1,6 1.0-5.0 10^3/µɭ
GRA 7,6 2.0-8.0 10^3/µɭ
RBC 3,90 4.00 – 6.20 10^3/µɭ
BT 1’25” 1-5 Menit detik
CT 7’58” 5 – 15 Menit detik
Golongan Darah O
47

b. Pemeriksaan Radiologi : USG


Evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium : Plasenta Letak Rendah
c. Skrining Covid 19 : Skor 8
Rapid Test : Non Reaktif

3. Terapi Lain
Antibiotik Profilaksis : Ampicilin 2 gr

4. Pertimbangan Anestesi
a. Jenis Anestesi: Regional Anestesi
b. Teknik Anestesi: SAB
c. Obat2an Anestesi :
1) Pre-medikasi Ranitidin 50 mg, Ondancetron 4mg (IV), Dexametason
10 mg (IV), Asam traneksamat 500 mg dan antibiotic
ceftriakson 1 gr

2) Induksi Bupicain Bunascan 0.5% Heavy 12,5 mg + fentanyl 25


mg
3) Pelumpuh otot -

4) Obat maintenance a. Midazolam 2 mg IV


b. Pethidine 25 mg IV
c. Ephedrine 10 mg IV
d. Oxytocin 10 iu IV
e. Oxytocin 20 iu drip
f. Metergin 0,25 mg IV
g. Ketorolac 30 mg IV
5) Obat antiemetik Ondancetron 4mg (IV)

6) Obat life saving Ephedrine 10mg IV.


48

B. Analisa Data

No Symptom Etiologi Problem

PRE OP

1 DS: G4P2A1 Uk 40 mg 1 hari T/H Risiko Cedera


Pasien mengatakan belum siap untuk Letak Lintang + PEB (Preeklamsia Anestesi
dilakukan tindakan anestesi berat )
DO:
 Pasien dengan diagnosa G4P2A1 Uk 40
mg 1 hari T/H Letak Lintang + PEB Tindakan SC
(Preeklamsia berat ) akan dilakukan
tindakan SC
 Pasien tiba di ruang persiapan pk. 20.15 Tindakan Anestesi

 Pasien makan terakhir pukul 17.00

 Pasien tampak masih menggunakan


Risiko cedera anestesi
aksesoris
 Persiapan pasien belum dilakukan
keseluruhan

2 DS : Tindakan Pembedahan Ansietas


 Pasien mengatakan takut dan
cemas akan dilakukan tindakan
operasi
Kurang
 Pasien mengatakan tidak pernah Pengetahuan
operasi sebelumnya
DO :
 Pasien tampak gelisah

 Pasien tampak takut Ansietas

 Pasien tampak berkeringat dingin


dan pasien beberapa kali ke kamar
mandi
 TTV pasien :
TD : 170/90 mmHg
N : 110 x/menit
49

INTRA OP

1 DS: G4P2A1 Uk 40 mg 1 hari Risiko Cedera Trauma


Pasien mengatakan takut terasa T/H Pembedahan
nyeri ketika operasi dilakukan Letak Lintang + PEB
DO: (Preeklamsia berat )
Pasien dengan diagnosa G4P2A1 Uk
40 mg 1 hari T/H Letak Lintang +
PEB (Preeklamsia berat ) Tindakan SC
Akan dilakukan tindakan
pembedahan (SC)
Paien tampak sedikit tegang Risiko Cedera Trauma
TTV pasien : Pembedahan
TD : 1700/90 mmHg
N : 110 x/menit

2 DS: - Tindakan anestesi (SAB) PK. Disfungsi


DO: Respirasi
 Pasien akan dilakukan tindakan
SC dengan teknik anestesi RA Posisi pasien tidak sesuai
(SAB)
 Pasien teranestesi blok spinal
Setinggi toracal 6 Risiko high spinal

Oksigenasi tidak adekuat

PK. Disfungsi Respirasi


50

3 DS : Tindakan anestesi (SAB) PK Disfungsi


Pasien mengatakan mual, Kardiovaskuler
pusing dan lemas
DO: Vasodilatasi pembuluh darah
 Pasien tampak pucat
 Tanda Vital Pasien
TD: 80/54 mmHg Intake cairan tidak
N: 120 x/mnt mencukupi
.

PK. Disfungsi
Kardiovaskuler

POST OP

1 DS: Tindakan Insisi Nyeri Pasca Operasi


Pasien mengatakan merasakan
nyeri pada sayatan operasi, nyeri
dirasakan seperti tertusuk-tusuk, Stimulus pada reseptor
nyeri dirasakan terus menerus nyeri
O:
1. TD : 150/80 mmHg,
2. N : 110 x/mnt
3. Skala nyeri 5 Nyeri pasca operasi

Pasien tampak meringis

2 DS: Teknik pembiusan Resiko jatuh


 Pasien mengatakan kaki
 kram dan kaki tidak bisa
bergerak
Efek obat anestesi
 Pasien mengatakan kaki
terasa berat
DO: Blok saraf motorik
 Pasien tampak susah
menggerakan kakinya
 Bromage score 3

 Resiko jatuh 65 Kelemahan

Risiko jatuh
51

C. Problem (Masalah Kesehatan Anestesi)


1. Pre Anestesi
a. Risiko cedera anestesi
b. Ansietas
2. Intra Anestesi
a. Risiko cedera trauma pembedahan
b. PK. Disfungsi Respirasi
c. PK Disfungsi Kardiovaskuler
3. Pasca Anestesi
a. Nyeri pasca operasi
b. Resiko jatuh
52

D. Rencana Intervensi
Nama : Ny. M No.CM : 238749
Ruang : OK Umur : 33 Tahun
Diagnosa : G4P2A1 Uk 40 mg 1 hari T/H Letak Lintang + PEB (Preeklamsia berat )

1. Prioritas Masalah Kesehatan Anestesi


Pre Anestesi
a. Risiko cedera anestesi
b. Ansietas
Intra Anestesi
a. Risiko cedera trauma pembedahan
b. PK. Disfungsi Respirasi
c. PK Disfungsi Kardiovaskuler
Pasca Anestesi
a. Nyeri pasca operasi
b. Resiko jatuh
53

No Problem (Masalah Perencanaan


Kesehatan
Anestesi
Tujuan Intervensi

PRE ANESTESI

1 Risiko Cedera Setelah diberikan asuhan kepenataan 1. Lakukan persiapan sebelum


Anestesi anestesi diharapkan tidak terjadi cedera pembedahan
anestesi dengan kriteria hasil : 2. Kaji status nutrisi pasien
1. Pasien siap untuk dilakukan (menimbang BB)
tindakan 3. Anjurkan pasien untuk berpuasa
anestesi 4. Anjurkan pasien untuk
2. Pemilihan teknik anestesi yang mengosongkan kadung kemih
tepat sebelum operasi
sesuai kondisi pasien 5. Lakukan balance cairan
6. Lepaskan aksesoris
7. Lakukan latihan pra anestesi
8. Pantau penyulit yang akan terjadi
9. Tetapkan kriteria mallampati
10. Tentukan status fisik menurut
ASA
11. Delegasi dalam pemberian obat
pramedikasi
12. Kolaborasi penetapan teknik
anestesi
13. Lakukan informed consent
2 Ansietas setelah dilakukan tindakan kepenataan 1. Observasi TTV
anestesi diharapkan ansietas 2. Ajarkan teknik relaksasi
(kecemasan) teratasi dengan kriteria 3. KIE pasien terkait jenis tindakan
hasil : dan anestesi
4. Pasien bersedia menjalani 4. Kolaborasi dengan dokter
operasi anestesi dalam pemberian
5. Pasien tenang, tidak gelisah premedikasi midazolam
6. TTV dalam batas normal ( TD :
150/80, N : 80-100x/mnt, S:
36,5ºC, RR: 14-20 x/menit)
54

INTRA ANESTESI

3 Risiko Cedera Trauma Setelah dilakukan tindakan kepenataan 1. Siapkan peralatan dan obat-obatan
Pembedahan anestesi diharapkan tidak terjadinya sesuai dengan perencanaan teknik
risiko cedera trauma pembedahan anestesi
dengan kriteria hasil : 2. Atur posisi pasien
1. Tidak adanya tanda-tanda 3. Bantu pemasangan alat
trauma pembedahan monitoring non invasif
2. Pasien tampak rilaks selama 4. Monitor vital sign
operasi berlangsung 5. Pantau kecepatan/kelancaran infus
3. Tanda – tanda vital dalam batas 6. Pasang nasal kanul 3 lt/menit
normal TD: 120 – 150 / 70 – 80
7. Bantu pelaksanaan anestesi
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit
(Regional anestesi) sesuai dengan
Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
program kolaboratif spesialis
x/menit
anestesi
4. Saturasi oksigen >95%
8. Atur pasien dalam posisi
5. Pasien telah teranestesi, relaksasi pembedahan
otot cukup, dan tidak
9. Cek tinggi blok spinal
menunjukkan respon nyeri
10. Lakukan monitoring perianestesi
6. Tidak adanya komplikasi
11. Atasi penyulit yang timbul
anestesi selama operasi
12. Lakukan pemeliharaan jalan napas
berlangsung
13. Lakukan pemasangan alat
ventilasi mekanik
14. Lakukan pengakhiran tindakan
anestesi
4 PK. Disfungsi Setelah dilakukan tindakan kepenataan 1. Monitoring Vital sign
Respirasi anestesi diharapkan tidak terjadi 2. Monitoring saturasi oksigen
disfungsi respirasi dengan kriteria hasil: pasien
1. Tidak terjadinya high spinal 3. Atur posisi pasien
2. Pasien dapat bernafas dengan 4. Berikan oksigen
relaks 5. Kolaborasi dengan dokter anestesi
3. RR normal : 16-20 x/menit dalam pemasangan alat ventilasi
4. SaO2 normal : 95–100 % mekanik (k/p)
55

5 PK Disfungsi Setelah dilakukan tindakan kepenataan 1. Observasi TTV


Kardiovaskuler anestesi diharapkan tidak terjadi 2. Observasi kesadaran
disfungsi kardiovaskular dengan 3. Monitoring cairan masuk dan
kriteria hasil: cairan keluar
1. Tanda – tanda vital dalam batas 4. Monitoring efek obat anestesi
normal TD: 120 – 150 / 70 – 80 5. Kolaborasi dengan dokter
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit anestesi dalam tindakan
Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20 perioperatif maintenance cairan
x/menit intravena dan vasopresor
2. CM = CK
3. Tidak terjadi edema/asites
4. Tidak terjadi cyanosis
5. Tidak ada edema paru

POST ANESTESI

6 Nyeri pasca operasi Setelah dilakukan tindakan kepenataan 1. Observasi TTV


anestesi diharapkan nyeri pasca operasi 2. Lakukan pengkajian PQRST
teratasi dengan kriteria hasil : 3. Anjurkan pasien mengatur nafas
1. Tanda – tanda vital dalam batas 4. Ajarkan teknik distraksi
normal TD: 120 – 150 / 70 – 80 relaksasi
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit 5. Delegatif pemberian analgetik
Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
x/menit
2. Skala nyeri 0-3
3. Pasien tampak tenang

7. Risiko Jatuh S setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring TTV


kepenataan anestesi diharapkan 2. Lakukan penilaian bromage score
pasien aman setelah pembedahan 3. Berikan pengaman pada tempat
dengan kriteria hasil: tidur pasien
4. Tanda – tanda vital dalam batas 4. Berikan gelang resiko jatuh
normal TD: 120 – 150 / 70 – 80 5. Latih angkat atau gerakkan
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit ekstremitas bawah
Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
x/menit
5. Bromage score <1
6. Pasien mengatakan kaki dapat
digerakkan
56

7. Pasien tampak tidak lemah

E. Implementasi
Nama : Ny. M No.CM : 238749
Ruang : OK Umur : 33 Tahun
Diagnosa : G4P2A1 Uk 40 mg 1 hari T/H
Letak Lintang + PEB (Pre Eklamsia Berat)

No Hari/Tanggal Problem (Masalah Tindakan Paraf


Kesehatan Anestesi) Jam Pelaksanaan
Pra Anestesi
1 Selasa,7 Risiko Cedera 20.30 a. Melakukan persiapan sebelum
Desember 2022 Anestesi pembedahan
57

b. Mengkaji status nutrisi pasien


(menimbang BB)
c. Mengkaji status puasa pasien
d. Menganjurkan pasien untuk
mengosongkan kadung kemih
sebelum operasi
e. Melakukan balance cairan
f. Melepaskan aksesoris
g. Melakukan latihan pra anestesi
h. Memantau penyulit yang akan
terjadi
i. Menetapkan kriteria mallampati
j. Menentukan status fisik menurut
ASA
k. Melakukan delegasi dalam
pemberian obat pramedikasi
Ranitidin 50 mg (IV),
Ondancetron 4mg (IV),
Dexametason 10 mg (IV),
l. Melakukan kolaborasi penetapan
teknik anestesi
m. Melakukan informed consent
2 Selasa,7 Ansietas 20.30 a. Mengobservasi TTV
Desember 2022 b. Mengajarkan teknik relaksasi
c. Memberi KIE pasien terkait jenis
tindakan dan anestesi
d. Melakukan delegasi dalam
pemberian premedikasi
midazolam

Intra Anestesi
3 Selasa,7 Risiko Cedera Trauma 20.35 Menyiapkan peralatan dan obat-
Desember 2022 Pembedahan obatan untuk regional anestesi
20.40 a. Mengatur posisi pasien
b. Membantu pemasangan alat
monitoring non invasif
c. Monitor vital sign
d. Memantau kecepatan/kelancaran
infus
e. Memasang nasal kanul 3 lt/menit
58

20.45 a. Membantu pelaksanaan anestesi


(SAB) sesuai dengan program
kolaboratif spesialis anestesi
(dengan insersi spinocaine 27G
pada lumbal 3-4 dengan agen
Bupicain Bunascan 0.5% Heavy
12, 5 mg + fentanyl 25 mg.
Cairan cerebrospinalis (+) jernih)
b. Mengatur pasien dalam posisi
pembedahan
c. Mengecek tinggi blok spinal
d. Monitoring intraanestesi
e. Melakukan pengakhiran
tindakan anestesi

4 Selasa,7 PK. Disfungsi 20.45 a. Memonitor Vital sign


Desember 2020 Respirasi b. Memonitor saturasi oksigen
pasien
c. Memberikan oksigen 3 lt/menit
(nasal kanul)

5 Selasa,7 PK Disfungsi 20.45 a. Mengobservasi TTV


Desember 2020 Kardiovaskuler b. Mengobservasi kesadaran
c. Memonitor cairan masuk dan
cairan keluar
d. Memonitor efek obat anestesi
e. Kolaborasi dengan dokter
anestesi dalam tindakan
perioperatif maintenance cairan
intravena dan vasopresor

Post Anestesi
6 Selasa,7 Nyeri pasca operasi 21.45 Mengobservasi TTV
Desember 2022 22.00 a. Melakukan pengkajian PQRST
b. Menganjurkan pasien mengatur
nafas
c. Mengajarkan teknik distraksi
relaksasi
22.15 Melakukan delegasi pemberian
analgetik (Fentanil 75 mg drips Nacl
59

0,9 %, keteroloc 30 mg/8 jam


7 Selasa,7 Risiko Jatuh 21.45 a. Memonitoring TTV
Desember 2020 b. Memberikan gelang resiko jatuh
c. Memasang pengaman pada
tempat tidur pasien
d. Melatih mengangkat atau
menggerakkan ekstremitas
bawah
e. Melakukan penilaian bromage
score
60

F. Evaluasi
Nama : Ny. M No.CM : 238749
Ruang : OK Umur : 33 Tahun
Diagnosa : G4P2A1 Uk 40 mg 1 hari T/H
Letak Lintang + PEB (Pre eklamsia berat)

No Tanggal Problem Catatan Perkembangan Pelaksana


(Masalah )
1 Selasa,7 Risiko Cedera S: TTD
Desember Anestesi a. Pasien mengatakan siap dan bersedia untuk
2022 dilakukan tindakan anestesi
20.40 b. Pasien mengatakan telah menjalani semua
instruksi dokter anestesi
c. Pasien mengatakan terakhir makan pukul
17.00
d. Pasien mengatakan sudah BAK sebelum
masuk ke ruangan operasi
e. Pasien mengatakan merasa jauh lebih tenang
O:
a. Pasien tidak memakai aksesoris apapun
b. BB pasien: 60 kg
c. Lama puasa: 8 jam
d. Loading cairan RL : 500 ml
e. Pasien tampak mampu melakukan teknik
relaksasi (mengatur nafas)
f. Skor malampati 2
g. ASA 2
h. Teknik anestesi yang ditetapkan SAB
A : Risiko cedera anestesi tidak terjadi, masalah
teratasi
P : Pertahankan kondisi pasien
61

2 Selasa,7 Ansietas S:
Desember a. Pasien mengatakan bersedia menjalani operasi
2022 b. Pasien mengatakan merasa jauh lebih tenang
20.40 c. Pasien mengatakan telah memahami teknik
anestesi yang akan dilakukan
O:
a. Pasien tampak mampu melakukan teknik relaksasi
(mengatur nafas)
b. Pasien tampak tenang, tidak gelisah
c. TTV dalam batas normal (TD : 120/80 mmHg, N :
80x/mnt, S: 36,5ºC, RR: 16 x/menit)
d. Pasien telah diberikan premedikasi midazolam
1mg/iv
A: Masalah ansietas teratasi
P: Pertahankan kondisi pasien

3 Selasa,7 Risiko Cedera S:


Desember Trauma a. Pasien mengatakan tidak merasakan kesakitan
2022 Pembedahan b. Pasien mengatakan merasa tenang dan berani
21.45
menjalani operasi
O:
a. Pasien telah teranestesi SAB, relaksasi otot
cukup, dan tidak menunjukkan respon nyeri
b. Tidak adanya tanda-tanda trauma
pembedahan
c. Pasien tampak rilaks selama operasi
berlangsung
d. TTV dalam batas normal (TD : 120/80 mmHg,
N : 80x/mnt, S: 36,5ºC, RR: 16 x/menit)
e. Saturasi oksigen 99%
f. Tidak adanya komplikasi anestesi selama
operasi berlangsung
A: Risiko cedera trauma pembedahan tidak terjadi,

masalah teratasi
P: Pertahankan kondisi pasien
4 Selasa,7 PK. Disfungsi S:
Desember Respirasi a. Pasien mengatakan dapat bernapas dengan relaks
2022 b. Pasien mengatakan merasa tenang
21.45 O:
a. Tidak ada tanda-tanda high spinal
62

b. RR normal : 16 x/menit
c. Saturasi oksigen 99%
A:
PK disfungsi respirasi tidak terjadi, masalah teratasi
P:
Pertahankan kondisi pasien
5 Selasa,7 PK Disfungsi S : pasien mengeluh mual muntah, pasien mengeluh
Desember Kardiovaskuler pusing
2022 O : TD: 90/50 mmHg, N:127 x/menit
21.45
A : Pk. Hipotensi,
P:
1. Observasi TTV
2. Observasi kesadaran
3. Monitor cairan masuk dan cairan keluar
(loading cairan)
4. Monitor efek obat anestesi
5. Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam
tindakan perioperatif maintenance cairan
intravena dan vasopresor (effedrin 10 iu)
I:
6. Mengobservasi TTV
7. Mengobservasi kesadaran
8. Memonitor cairan masuk dan cairan keluar
(loading cairan)
9. Memonitor efek obat anestesi
10. Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam
tindakan perioperatif maintenance cairan
intravena dan vasopresor (effedrin 10 iu)
E : Pasien mengatakan sudah tidak mual, pasien
mengatakan sudah tidak merasa pusing , TD:
130/70 mmHg, N:80 x/menit
R : masalah pk hipotensi terartasi

6 Selasa,7 Nyeri pasca S : Pasien mengatakan merasakan sedikit nyeri pada


Desember operasi sayatan operasi,
2022 O:
22.00 a. TTV dalam batas normal (TD : 120/80 mmHg,
N : 80x/mnt, S: 36,5ºC, RR: 16 x/menit)
b. Skala nyeri 2
c. Pasien tampak tenang
63

A:
Nyeri pasca operasi teratasi
P:
Pertahankan kondisi pasien
7 Selasa,7 Risiko Jatuh S:
Desember Pasien mengatakan kaki dapat digerakkan
2022 O:
22.00 a. TTV dalam batas normal (TD : 120/80 mmHg,
N : 80x/mnt, S: 36,5ºC, RR: 16 x/menit)
b. Bromage score <1
c. Pasien tampak tidak lemah
A:
Masalah risiko jatuh teratasi
P:
Pertahankan kondisi pasien

BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengkajian sampai evaluasi pada asuhan keperawatan terhadap Pasien
G4p2a1 Uk 40 Mg 1 Hari T/H Letak Lintang + PEB (Pre Eklamsia Berat ) dengan Regional Anestesi
Di Rumah Sakit Ibu Dan Anak Prof dr. H. M. Farid Makassar, maka dengan ini penulis akan
membahas dan menguraikan tentang tindakan anestesi yang diberikan terhadap klien , sebagai berikut:
A. PENATALAKSANAAN PRE OPERASI
64

Pengkajian yang dilakukan terhadap pasien dilakukan dengan cepat, karena pasien memerlukan
penanganan segera. Awal asuhan yang dilakukan pada Klien dan keluarga adalah diberikan penjelasan
oleh dokter anestesi tentang prosedur anestesi yang akan dilakukan dan persiapan-persiapan yang harus
dijalani. Penata anestesi mengkaji dengan cepat mulai dari keluhan yang dirasakan, mengkaji B6;
AMPLE. Kemudian setelah klien dan keluarga memberikan persetujuan tindakan anestesi, maka dokter
anestesi akan melakukan pemeriksaan fisik kepada klien, dan kemudian dokter anestesi akan
menyimpulkan status pasien. Dalam hal ini status klien PS ASA 2 E dengan PEB. Setelah memastikan
waktu makan minum terakhir pasien sudah dilakukan oleh klien, selanjutnya adalah menyiapkan mesin
anestesi, alat-alat dan obat-obat yang akan digunakan untuk tindakan anestesi. Untuk pengkajian
menyeluruh dilakukan sepanjang pembedahan berlangsung.

B. PENATALAKSANAAN INTRA OPERASI


Anestesi yang dilakukan pada klien Ny. M adalah anestesi (SAB) sesuai dengan program kolaboratif
spesialis anestesi (dengan insersi spinocaine 27G pada lumbal 3-4 dengan agen Bupicain Bunascan
Heavy 12,5 mg + Fentanil 25 mg. Cairan cerebrospinalis (+) jernih). Mengatur pasien dalam posisi
pembedahan. Mengecek tinggi blok spinal. Selama operasi berlangsung dilakukan monitoring tensi,
nadi, respirasi, dan saturasi oksigen tiap 3 menit, Maintenance balance cairan kg/bb/jam. Monitoring
output dan input juga dilakukan selama operasi dengan menghitung EBV (Estimated Blood Volume)
dan EBL (Estimated Blood Loss). Pemberian cairan dilakukan selama operasi berlangsung yaitu
RL 1500 cc, Dextrose 5 % + oxytosin 20 unit.

C. PENATALAKSANAAN PASCA OPERASI


Setelah operasi selesai, klien dibawa ke ruang pulih sadar. Selama di ruang pemulihan klien dimonitor
sampai klien benar-benar sadar. Adapun hal – hal yang dimonitor adalah keadaan umum, kesadaran,
oksigenasi, tekanan darah, pernafasan, kemampuan gerak ekstremitas, suhu, sensibilitas nyeri klien,
perdarahan luka operasi dan drain. Kriteria monitoring selama di ruang pulih sadar ini menggunakan
Aldrete Skor.
Monitoring pada klien dilakukan setiap 5 menit dalam 15 menit pertama hingga stabil. Kemudian
monitoring dilakukan tiap 15 menit. Memperbaiki defisit yang masih ada (mual-muntah, menggigil
karena hipotermi).
Apabila keadaan umum pasien baik, tanda-tanda vital normal dan stabil. Klien dapat dipindahkan ke
ruang perawatan sebelumnya. Berdasarkan kriteria Aldrette Skor nilai 8-10, klien bisa pindah ke ruang
perawatan dengan izin dokter anestesi yang bertanggung jawab.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Asuhan Kepenataan Anestesi merupakan pernyataan yang menguraikan sutau kualitas yang
diinginkan terhadap kegiatan asuhan kepenataan anestesi yang diberikan kepada pasien yang tidak
mampu menolong dirinya sendiri dalam tindakan pelayanan anestesi pada pre, intra, pasca anestesi.
65

Asuhan kepenatan anestesi merupakan suatu rangkaian kegiatan asuhan secara komprehensif
kepada pasien yang tidak mampu menolong dirinya sendiri dalam tindakan pelayanan anestesi pada
pre, intra,pasca anestesi atau situasi lainnya dengan pendekatan metode kepenataan anestesi meliputi
pengkajian, analisa dan penetapan masalah, rencana intervensi, implementasi dan evaluasi.

B. Saran
1. Bagi mahasiswa
Diharapkan bagi mahasiswa agar dapat mencari informasi dan memperluas wawasan
mengenai teori dan studi kasus tentang Asuhan Kepenataan Anestesi . Dengan adanya pengetahuan
dan wawasan yang luas mahasiswa akan mampu mengembangkan diri dalam masyarakat dan
memberikan pendidikan kesehatan bagi masyarakat.
2. Untuk Penata Anestesi
Diharapkan bagi penata anestesi makalah ini dapat menambah wawasan dan dapat dijadikan
acuan dalam pembuatan asuhan keperawatan anestesi khususnya pada pengkajian dan masalah
kesehatan.
3. Untuk pembaca
Kami menyadari jika asuhan keperawatan anestesi di atas masih terdapat banyak kesalahan
dan jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karenanya kami sangat membutuhkan banyak sumber serta
kritikan yang bersifat membangun untuk sempurnanya makalah ini.

DaftarPustaka

Dahlia.2014. Asuhan Keperawatan Pada SC. Dikutip dari


http://repository.ump.ac.id/1962/3/DAHLIA%20BAB%20II.pdf. 8
Januari 2020

Hanifa,A.2017.Tinjauan Teori Anestesi. Dikutip dari


66

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/415/5/Chapter2.pdf. 8
Januari 2020

Sintia.2017. Anestetika Anestesi. Dikutip dari


https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/870018443608186f257c409b3f18c
80f.PD 8 Januari 2020

Uknown.2017. Konsep Anestesi. Dikutip dari


http://perpustakaan.poltekkesmalang.ac.id/assets/file/kti/1301460050/7_BAB_II.pdf. 8
Januari 2020

Uknown.2016.Laporan Pendahuluan SC. Dikutip dari


http://www.academia.edu/download/53825184/LAPORAN_PENDAHULUAN_
SC.docx. 8 Januari 2020
67

Anda mungkin juga menyukai