Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN SC DENGAN G4P2012+PEB+SUNGSANG

DENGAN PENYAKIT PENYERTA HIPERTENSI ESENSIAL

Disusun oleh:

FAKULTAS KESEHATAN

INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

D-IV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

TAHUN AJAR 2021/2022


A. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Sectio Caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat
insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn & William, 2010). Menurut
Amru Sofian (2012). Menurut Amin & Hardhi (2013) Sectio Caesarea
adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding
uterus melalui dinding depan perut. Sectio Caesarea (SC) adalah suatu cara
untuk melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus
melalui dinding depan perut.(Nurarif & Kusuma, 2015). Sectio Caesarea
(SC) adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan dimana irisan
dilakukan di perut untuk mengeluarkan seorang bayi (Endang Purwoastuti
and Siwi Walyani, 2014).
2. Etiologi
Menurut Manuaba (2012), adapun penyebab sectio caesarea yang
berasal dari ibu yaitu ada sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk,
terdapat kesempitan panggul, plasenta previa terutama pada primigravida,
solutsio plasenta tingkat I-II, komplikasi kehamilan,kehamilan yang
disertai penyakit (jantung, DM), gangguan perjalanan persalinan (kista
ovarium, mioma uteri, dan sebagainya). Selain itu terdapat beberapa
etiologi yang menjadi indikasi medis dilaksanakannya seksio sesaria antara
lain :
Yang berasal dari ibu
a. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
CPD adalah tidak ada kesesuaian antara kepala janin dengan bentuk
dan ukuran panggul. Disproporsi sefalopelvik adalah keadaan yang
menggambarkan ketidaksesuaian antara kepala janin dan panggul ibu
sehingga janin tidak dapat keluar melalui vagina. Disproporsi
sefalopelvik adalah keadaan yang menggambarkan ketidaksesuaian
antara kepala janin dan panggul ibu sehingga janin tidak dapat
keluar melalui vagina. Disproporsi sefalopelvik disebabkan oleh
panggul sempit, janin yang besar ataupun kombinasi keduanya.
Cephalopelvic Disproportion (CPD) adalah diagnosa medis
digunakan ketika kepala bayi dinyatakan terlalu besar untuk muat
melewati panggul ibu
b. Fase Late
Merupakan periode waktu dari awal persalinan hingga ke titik
ketika pembukaan mulai berjalan secara progresif, yang umumnya
dimulai sejak kontraksi mulai muncul hingga pembukaan tiga
sampai empat sentimeter atau permulaan fase aktif berlangsung
dalam 7-8 jam. Selama fase ini presentasi mengalami penurunan
sedikit hingga tidak sama sekali.
c. PEB (Pre-Eklamsi Berat)Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan
penyakit yang langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab
terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-
eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan
perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu
diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan
mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
d. KPD (Ketuban Pecah Dini),
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar
ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di
bawah 36 minggu
e. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat
mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk
dilahirkan secara normal.
f. Faktor Hambatan Jalan Lahir
g. Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan
bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
h. Kelainan Letak Janin
1) Kelainan pada letak kepala
2) Letak kepala tengadah
3) Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam
teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul,
kepala bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar
panggul.
4) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang
terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira
0,27-0,5 %. Presentasi dahi dan Posisi kepala antara fleksi dan
defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan tetap paling depan.
Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan berubah
menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
5) Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di
bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang,
yakni presentasi bokong, presentasi bokong kaki, sempurna,
presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki Yang
berasal dari janin Gawat janin Fetal distress atau gawat janin,
malpresentasi atau malposisi kedudukan janin, prolapsus tali pusat,
dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forceps
ekstraksi.
3. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul sehingga memungkinkan untuk
dilakukan tindakan section caesarea adalah
a. Fetal distress
b. His lemah/melemah
c. Riwayat section caesarea
d. Janin dalam posisi sungsang atau melintang
e. Bayi besar (BBL>/= 4,2 kg)
f. Plasenta previa
g. Kelainan Letak
h. Disproporsi cevalo-pelvik (ketidakseimbangan antar ukuran
kepala dan panggul)
i. Rupture uteri mengancam
j. Hydrocephalus
k. Primi muda atau tua
l. Partus dengan komplikasi
m. Eklampsia
n. Panggul sempit
4. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait
Menurut Yunita Saiful 2020, Pemeriksaan penunjang arau diagnostic
terkait pasien dengan section caesarea antara lain :
a. Elektroensefalogram ( EEG ) Untuk membantu menetapkan jenis dan
fokus dari kejang.
b. Pemindaian CT Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c. Magneti resonance imaging (MRI) Menghasilkan bayangan dengan
menggunakan lapangan magnetic dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila
menggunakan pemindaian CT.
d. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) Untuk
mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan
lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
Uji laboratorium
1) Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
2) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematocrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
5) AGD
6) Kadar kalsium darah
7) Kadar natrium darah
8) Kadar magnesium darah
5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksan Penatalaksanaan Terapi
1) Obat teratogen
2) Asetaminofen
3) Vitamin
4) Asam Folat
5) Zat Besi
b.Penatalaksanaan Operatif
1).Sectio caesarea

B. Konsep Teori Penyakit Penyerta


1. Definisi
Berdasarkan JNC VII, seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan
sistolik nya melebihi 140 mmHg dan atau diastoliknya melebihi 90 mmHg
berdasarkan rerata dua atau tiga kali kunjungan yang cermat sewaktu duduk
dalam satu atau dua kali kunjungan.
Tabel Klasifikasi Tekanan Darah

2. Etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi hipertensi
primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana pada hipertensi jenis ini
tidak diketahui penyebabnya. Selain itu terdapat pula hipertensi sekunder
akibat adanya suatu penyakit atau kelainan yang mendasari, seperti stenosis
arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, feokromositoma,
hiperaldosteronism, dan sebagainya.

3. Tanda dan Gejala


Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga, kadang-
kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah
intrakranial. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.
Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing,
muka merah,sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba,
tengkuk terasa pegal dan lain- lain.

4. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait


Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat
asimptomatik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa
seperti 8 berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang
kecurigaan ke arah hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-obatan
seperti kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun NSAID,
sakit kepala paroksismal, berkeringat atau takikardi serta adanya riwayat
penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula digali mengenai
faktor resiko kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang
kurang, dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju
GFR, dan riwayat keluarga. Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan
darah pasien diambil rerata dua kali pengukuran pada setiap kali kunjungan
ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih
kunjungan maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan tekanan darah
harus dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset yang
tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar. Pemeriksaan
penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang
terjadi seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum,
kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam urat dan urinalisis.
Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa
elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan ekokardiografi.
Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder dapat dilakukan
pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat. Pada hiper
atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3),
hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+), hiperaldosteronisme primer berupa
kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen, peningkatan
kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan
alkalosis metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan kadar metanefrin, CT
scan/MRI abdomen. Pada sindrom cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24
jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT angiografi arteri
renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi.

5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan
farmakologis. Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua
pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan
mengendalikan faktor-faktor resiko penyakit penyerta lainnya.
Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks
massa tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9
kg/m2 ), kontrol diet berdasarkan DASH mencakup konsumsi buah-
buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak jenuh/lemak
total, penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl yang disarankan
adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang disarankan adalah target
aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam
seminggu serta pembatasan konsumsi alkohol. Terapi farmakologi
bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga mencapai tujuan terapi
pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan antihipertensi didasarkan
pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada atau tidaknya gagal ginjal
kronik. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien harus rutin
kontrol dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga target
tekanan darah tercapai. Perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG
dan elektrolit.
Jenis obat antihipertensi:
1) Diuretik
Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh
(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek
pada turunnya tekanan darah. Contoh obat-obatan ini adalah:
Bendroflumethiazide, chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan
indapamide.
2) ACE-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II
(zat yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang
sering timbul adalah 10 batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas.
Contoh obat yang tergolong jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan
lisinopril.
3) Calsium channel blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa
jantung dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas).
Contoh obat yang tergolong jenis obat ini adalah amlodipine,
diltiazem dan nitrendipine.
4) ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat
angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya
pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk golongan ini adalah
eprosartan, candesartan, dan losartan.
5) Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya
pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang
telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma
bronchial. Contoh obat yang tergolong ke dalam beta blocker adalah
atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.
C. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya
dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangakan anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri
disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat &
De Jong, 2012).
2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general
anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general
anestesi denggan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan
inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik
intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya
inhalasi dan intravena. Anestesi Umum adalah obat yang dapat
menimbulkan anestesi yaitu suatu keadaan depresi umum dari berbagai
pusat di sistem saraf pusat yang bersifat reversibel, dimana seluruh
perasaan dan kesadaran ditiadakan sehingga lebih mirip dengan keadaan
pinsan. Anestesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai
keadaan pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir
reaksi refleks terhadap manipulasi pembedahan serta menimbulkan
pelemasan otot (relaksasi).Latief (2007).
b. Regional Anestesi
Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai
analgesik. Anestesi regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien
tetap dalam keadaan sadar. Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi
trias anestesi karena hanya menghilangkan persepsi nyeri saja (Pramono,
2017).
c. Lokal Anestesi
Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara
kerjanya hanya menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan
tindakan. ( Saprol, 2010). Anestetik Lokal menyebabkan hilangnya rasa
sakit tanpa disertai hilangnya kesadaran. Anestetik lokal merupakan obat
yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan kadar yang cukup. (Dani kusumah, 2011).
Anestetik lokal adalah obat yang menghasilkan blokade konduksi pada
dinding saraf yang bersifat sementara. Setelah kerja obat habis maka obat
akan keluar dari sel saraf tanpa menimbulkan kerusakan pada struktur sel
saraf tersebut.
3. Teknik Anestesi
a. General Anestesi
1) Anestesi Inhalasi Menurut Mangku & Senapathi (2018) Anestesi
inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi.
2) Anestesi Intravena Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikan obat anestesia parentral
langsung ke dalam pembuluh darah vena (Mangku & Senapathi,
2018).
3) Anestesi Imbang Menurut Mangku & Senapathi (2018) Anestesi
imbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan
kombinasi obatobatan baik obat anestesi intravena maupun obat
anestesi inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan
analgesia regional untuk mencapai trias anestesia secara optimal dan
berimbang, yaitu:
a) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat
hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain.
b) Efek anelgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik
opiat atau obat anestesia umum, atau dengan cara analgesia
regional. Pada pasien dengan penyakit penyerta asma hindari
penggunaan ketorolac untuk pilihan analgetic dikarenakan jenis
obat tersebut menyebabkan histamine release sehingga dapat
memicu bronkokonstriksi pada pasien asma Efek relaksasi,
diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau obat
anestesi umum, atau dengan cara anestesi regional. Pemilihan
obat muscle relaxsan pada penyakit asama sebaiknya hindari
penggunakan antrakurium. Rocuronium dapat menjadi pilihan
pada pasien dengan penyakit komorbid asma
b. Regional Anestesi Tehnik Anestesi Regional yang umum digunakan
menurut Modul IPAI 2018 antara lain :
1) Blok Subaracnoid Obat disuntikkan di tulang punggung dan
diperoleh pembiusan dari kaki sampai tulang dada hanya dalam
beberapa menit. suntikan hanya diberikan satukali
2) Blok Epidural Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh
pembiusan dari kaki sampai tulang dada hanya dalam beberapa
menit. suntikan hanya diberikan satu kali, obat diberikan terus-
menerus melalui sebuah selang kecil selama masih diperlukan
3) Local Anestesi Anestesi lokal terbagi menjadi 3 tipe yang mendasari
teknik- teknik yang ada pada maksila dan mandibula yaitu infiltrasi
lokal, fieldblock, dan blok saraf (Mennito, 2006; Malamed, 2011).
Teknik infiltrasi merupakan teknik yang dilakukan dengan cara
mendeponir larutan anestesi lokal pada daerah gigi yang akan
dilakukan perawatan. Perawatan dilakukan tepat pada daerah deponir
larutan anestesi lokal.
4)
4. Rumatan Anestesi
Pemeliharaan selama Anestesi. Digunakan inhalasi dengan Isofluran 2 vol%,
Sevofluran 2 vol%, O2 2liter / menit dan N2O 2liter / menit. Pemberian
anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25 %. Gas ini bersifat
anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik
lain. Pada akhir anesthesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat
keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah
hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, diberikan O2 selama 5- 10 menit.
Pada pasien asma rumatan anestesi dapat diberikan volatile agen
sevoflurance agar tidak irritative terhadap sistem pernafasan untuk
penggunaan N2O dapat diberikan berbarengan dengan O2 dengan
perbandingan 50:50 agar menghasilkan tingkat sedasi dan analgetic yang
cukup untuk dilakukan maintenance.

C.Web of cation (WOC)


Persalinan tidak normal

Etiologi
1. CPD (Chepalo Pelvik
Disproportion
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
4. Bayi Kembar
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
6. Kelainan Letak Janin

Tindakan (Sectio Caesarea)

Regional Anestesi

Masalah Pre Anestesi Masalah intra Anestesi Masalah pasca Anestesi


1. Nyeri akut 4. Resiko trauma 3. Resiko Jatuh
2. Resiko cedera anestesi pembedahan
5. RK disfungsional
kardiovaskuler

D. Tinjauan Teori Askan pembedahan Khusus


1. Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Pasien dalam keadaan hamil 9 bulan lebih seminggu dan mengeluh
nyeri dibagian rahim
2) P : Pasien mengatakan nyeri saat bergerak
3) Q : Pasien mengatakan nyeri seperti ditusuk-tusuk
4) R : Pasien mengatakan nyeri di bagian bawah perut
5) T : Pasien mengatakan nyeri hilang timbul
b. Data Objektif
1) Pasien tampak memegang perutnya yang hamil
2) S : Skala nyeri pasien 4
3) Wajah pasien tampak meringis
4) Pasien tampak mengerang kesakitan
5) Skala nyeri : 4 menggunakan VAS (Visual Analog Scale)
6) Pasien akan dilakukan Tindakan anestesi RA dengan Teknik SAB pada
bagian L3-L4
7) Pasien akan diberikan obat bupivacaine
8) ASA II
9) Ttv(awal) : TD : 112/67 mmHg, Nadi : 120 x/menit, RR : 20x / menit,
10) SpO2 : 99% S 36ºC
11) TTV (sudah di blok):86/49mmHg N:99x/menit RR:24x/menit
2. Masalah Kesehatan Anestesi
a. Pre Anestesi
1) Nyeri akut
2) Resiko Cedera Anestesi
b. Intra Anestesi
1) Resiko Trauma Fisik Pembedahan
2) RK Disfungsi KardioVaskuler

c. Post Anestesi
1) Resiko Jatuh
3. Rencana intervensi
a. Pre Anestesi :
1) Nyeri akut
a) Tujuan:Setelah di lakukan asuhan kepenataan anestesi selama 1x
30 menit gangguan rasa nyaman nyeri dapat berkurang dengan
b) )KriteriaHasil:
- Pasien mengatakan nyeri berkurang
- Wajahpasientampaktenang
- TTV dalam batas
normal:Nadi90x/menit,TD:120/80mmHg,Suhu=36°C,RR=20x
/menit,SpO2:99%
c) Intervensi:
- Kaji ulang intensitas,lokasi,frekuensi dan penyebaran nyeri
- kaji ulang skala nyeri dan ekspresi wajah
- Kaji TTV pasien
- Berikan posisi nyaman pada px
- Ajarkan teknik relaksasi
- Delegasi dalam pemberian analgesic

2) Resiko Cedera Anestesi


a) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan kepenataan anestesi diharpakn
resiko cedera anestesi tidak terjadi
b) Kriteria Hasil :
- Pasien siap dilakukan anestesi.
- Tentukan ASA pasien
- Pemilihan jenis dan teknik anestesi sesuai dengan kondisi pasien
dan tindakan pembedahan.
- TTV dalam batas normal :
 TD : 110-120/70- 80 mmHg
 N : 60-100 x/mnt
 RR : 16-18 x/mnt
 S : 36,5-37,5℃
- Evaluasi persiapan pre anestesi meliputi persiapan
pasien,persiapan alat dan mesin,persiapan obat-obatan, persiapan
obat life saving, dan persiapan cairan terpenuhi.
c) Intervensi
- Observasi tanda-tanda vital
- Lakukan pemeriksaan informed consent
- Kaji adanya penyulit
- yang dicurigai akan
- terjadi penyakit
- kardiovaskular, penyakit pernapasan, DM, penyakit hati, dan
- penyakit ginjal.
- Kaji 6B
- Kaji AMPLE
- Kaji LEMON
- Tentukan ASA
- Lakukan persiapan pasien sebelum pembedahan :
 Puasakan pasien
 Pengosongan kandung kemih/pemasangan DC
 Kaji status nutrisi BB dan TB
 Keseimbangan cairan dan elektrolit
 Informed consent (persetujuan tindakan anestesi dan operasi)
 Tanggalkan segala aksesoris pasien
- Periksa aliran infus
- Persiapan alat anestesi:
 Persiapan mesin anestesi, monitor, apparatus anestesi
 Persiapan STATICS (Laringosscope, Stetoscope, ETT sesuai
ukuran, LMA sesuai ukuran, OPA sesuai ukuran, plester,
stylet, conector, selang suction, spuit 3,5,10, dan 20 cc)
 Siapkan obat dan cairan
 Obat emergensi (Dexamethasone, Dipenhidramin, Lidokain,
Ephedrine, Epinefrine, Sulfas Atropine)
 Obat premedikasi ( Midazolam, Fentanyl, SA), antiemetic
(Ondansetron) dan antisifering (petidhine)
 Persiapan local anestesi (bupivachain)
 lakukan dan siapkan oksigenasi
- Persiapan cairan kristaloid
 Kolaborasi dengan dokter anestesi tentang pemberian anestesi
 Pemberian premedikasi dan antiemetic sesuai program terapi

b. Intra Anestesi
1) RK Trauma Pembedahan
a) Tujuan:Setelah dilakukan implementasi selama 10 menit , dapat
mencegah terjadinya RK.Trauma Pembedahan
b) Kriteria Hasil:
- Pasien tidak mengalami trauma pembedahan
- Pasien terjaga dan aktivitas fungsional motoric tidak terjadi.
- Tanda-tanda vital dalam rentang normal
 TD110/70-120/90mmHg
 Nadi60-100x/menit
 Suhu36,5°C–37,5°C
 RR12-20x/menit
 SaO2:95-100%
c) Intervensi
- Monitoring TTV pasien
- Monitoring airway,ventilasi,oksigen,sirkulasi,dan suhu
- Kaji keadaaan umum pasien

2) RK Disfungsi Kardiovaskuler
a) Tujuan: Setelah dilakukan implementasi selama 10 menit dapat
mencegah dengan

b) KriteriaHasil:
- Tekanan darah px normal 120/80mmHg
- Nadi px normal 60-100x/menit
c) Intervensi:
- Observasi KU pasien
- Observasi TTV pasien
- Observasi EKG pasien
- Kaji akral pasien
- Kaji frekuensi dan kekuatan denyut nadi
- Delegasi dalam pemberian Vasopressor
d. Pasca
1) Resiko Jatuh
a) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan kepenataan 1x30 menit
pasien tidak mengalami cedera/jatuh dengan kriteria hasil
b) KriteriaHasil:
- Kesadaran pasien compos metis
- Lingkungan pasien aman
- Pasien tidak pusing
- Pasien tidak jatuh
- Nilai bromage score < 2
- TTV: TD: > 90/60 mmHg, < 130/90 mmHg. Nadi: 60-100
x/menit
c) Intervensi:
- Kaji keadaan umum dan TTV pasien
- Kaji status kesadaran pasien
- Singkirkn bahaya lingkungan dan mendekatkan alat-alat yang
diperlukan pasien
- Pasang sad rail tempat tidur
- Pasang gelang kuning
- Kaji skor pasca anestesi pasien
- Dampingi pasien selama dalam pengarh efek anestesi
- Menlai bromage score

4. Implementasi
Merupakan tahap ke empat dalam proses asuhan kepenataan anestesiologi.
Pada tahap ini terdapat bentuk penanganan yang dilakukan berdasarkan
pertimbangan dan pengetahuan klinis yang bertujuan untuk meningkatkan
hasil perawatan pasien. Dalam implementasi terdapat beberapa
pertimbangan, yaitu tinjau ulang segala kemngkinan intervensi yang sesuai
dengan masalah pasien, tinjau ulang kemungkinan konsekuensi, dan buat
keputusan tentang manfaat dari konsekuensi (Margarita Rehatta, 2016).
5. Evaluasi
Merupakan tahap kelima atau tahap terakhir dari proses asuhan kepenataan
anestesiologi. Tahap evaluasi ini bertujuan untuk menilai atau menentukan
efektifitas dari asuhan kepenataan anestesiologi yang sudah diberikan.
Dalam tahap ini juga dilakukan penentuan apakah telah terjadi perbaikan
dari kondisi atau kesejahteraan pasien (Margarita Rehatta, 2016).

Daftar Pustaka
D Pebrianti, 2014 https://repository.unair.ac.id/29448/9/14.%20BAB
%202%20TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf diakes pada 14 November 2021
pukul 13.30 WITA

Dahlia.2014. Asuhan Keperawatan Pada SC. Dikutip dari


http://repository.ump.ac.id/1962/3/DAHLIA%20BAB%20II.pdf. 14 November
2021 pukul 13.35 WITA
Hanifa,A.2017.Tinjauan Teori Anestesi. Dikutip dari
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/415/5/Chapter2.pdf. 14 November 2021
pukul 13.40 WITA
Sintia.2017. Anestetika Anestesi. Dikutip dari
https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/870018443608186f257c409b3f1
8c80f.PDF. 14 November 2021 pukul 13.45 WITA
Uknown.2016.Laporan Pendahuluan SC. Dikutip dari
http://www.academia.edu/download/53825184/LAPORAN_PENDAHULUAN
_SC.doc x. 14 November 2021 pukul 14.00 WITA
Uknown.2017.Konsep Anestesi. Dikutip dari
http://perpustakaan.poltekkesmalang.ac.id/assets/file/kti/1301460050/7_BAB_I
I.pdf. 14 November 2021 pukul 14.05 WITA

Uknwon, 2018 https://www.scribd.com/document/385548810/WOC-CPD-docx


diakes pada 14 November 2021 pukul 13.00 WITA

Anda mungkin juga menyukai