Disusun oleh:
FAKULTAS KESEHATAN
2. Etiologi
Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi hipertensi
primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana pada hipertensi jenis ini
tidak diketahui penyebabnya. Selain itu terdapat pula hipertensi sekunder
akibat adanya suatu penyakit atau kelainan yang mendasari, seperti stenosis
arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, feokromositoma,
hiperaldosteronism, dan sebagainya.
5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan
farmakologis. Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua
pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan
mengendalikan faktor-faktor resiko penyakit penyerta lainnya.
Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks
massa tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9
kg/m2 ), kontrol diet berdasarkan DASH mencakup konsumsi buah-
buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak jenuh/lemak
total, penurunan asupan garam dimana konsumsi NaCl yang disarankan
adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang disarankan adalah target
aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling tidak 3 hari dalam
seminggu serta pembatasan konsumsi alkohol. Terapi farmakologi
bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga mencapai tujuan terapi
pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan antihipertensi didasarkan
pada ada atau tidaknya usia, ras, serta ada atau tidaknya gagal ginjal
kronik. Apabila terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien harus rutin
kontrol dan mendapat pengaturan dosis setiap bulan hingga target
tekanan darah tercapai. Perlu dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG
dan elektrolit.
Jenis obat antihipertensi:
1) Diuretik
Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh
(lewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang
mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek
pada turunnya tekanan darah. Contoh obat-obatan ini adalah:
Bendroflumethiazide, chlorthizlidone, hydrochlorothiazide, dan
indapamide.
2) ACE-Inhibitor
Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II
(zat yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang
sering timbul adalah 10 batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas.
Contoh obat yang tergolong jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan
lisinopril.
3) Calsium channel blocker
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa
jantung dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas).
Contoh obat yang tergolong jenis obat ini adalah amlodipine,
diltiazem dan nitrendipine.
4) ARB
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat
angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya
pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk golongan ini adalah
eprosartan, candesartan, dan losartan.
5) Beta blocker
Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya
pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang
telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma
bronchial. Contoh obat yang tergolong ke dalam beta blocker adalah
atenolol, bisoprolol, dan beta metoprolol.
C. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya
dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangakan anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri
disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat &
De Jong, 2012).
2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general
anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general
anestesi denggan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan
inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik
intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya
inhalasi dan intravena. Anestesi Umum adalah obat yang dapat
menimbulkan anestesi yaitu suatu keadaan depresi umum dari berbagai
pusat di sistem saraf pusat yang bersifat reversibel, dimana seluruh
perasaan dan kesadaran ditiadakan sehingga lebih mirip dengan keadaan
pinsan. Anestesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai
keadaan pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir
reaksi refleks terhadap manipulasi pembedahan serta menimbulkan
pelemasan otot (relaksasi).Latief (2007).
b. Regional Anestesi
Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai
analgesik. Anestesi regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien
tetap dalam keadaan sadar. Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi
trias anestesi karena hanya menghilangkan persepsi nyeri saja (Pramono,
2017).
c. Lokal Anestesi
Anestesi lokal merupakan tindakan memanfaatkan obat bius yang cara
kerjanya hanya menghilangkan rasa di area tertentu yang akan dilakukan
tindakan. ( Saprol, 2010). Anestetik Lokal menyebabkan hilangnya rasa
sakit tanpa disertai hilangnya kesadaran. Anestetik lokal merupakan obat
yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan kadar yang cukup. (Dani kusumah, 2011).
Anestetik lokal adalah obat yang menghasilkan blokade konduksi pada
dinding saraf yang bersifat sementara. Setelah kerja obat habis maka obat
akan keluar dari sel saraf tanpa menimbulkan kerusakan pada struktur sel
saraf tersebut.
3. Teknik Anestesi
a. General Anestesi
1) Anestesi Inhalasi Menurut Mangku & Senapathi (2018) Anestesi
inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi.
2) Anestesi Intravena Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikan obat anestesia parentral
langsung ke dalam pembuluh darah vena (Mangku & Senapathi,
2018).
3) Anestesi Imbang Menurut Mangku & Senapathi (2018) Anestesi
imbang merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan
kombinasi obatobatan baik obat anestesi intravena maupun obat
anestesi inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan
analgesia regional untuk mencapai trias anestesia secara optimal dan
berimbang, yaitu:
a) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat
hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain.
b) Efek anelgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik
opiat atau obat anestesia umum, atau dengan cara analgesia
regional. Pada pasien dengan penyakit penyerta asma hindari
penggunaan ketorolac untuk pilihan analgetic dikarenakan jenis
obat tersebut menyebabkan histamine release sehingga dapat
memicu bronkokonstriksi pada pasien asma Efek relaksasi,
diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau obat
anestesi umum, atau dengan cara anestesi regional. Pemilihan
obat muscle relaxsan pada penyakit asama sebaiknya hindari
penggunakan antrakurium. Rocuronium dapat menjadi pilihan
pada pasien dengan penyakit komorbid asma
b. Regional Anestesi Tehnik Anestesi Regional yang umum digunakan
menurut Modul IPAI 2018 antara lain :
1) Blok Subaracnoid Obat disuntikkan di tulang punggung dan
diperoleh pembiusan dari kaki sampai tulang dada hanya dalam
beberapa menit. suntikan hanya diberikan satukali
2) Blok Epidural Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh
pembiusan dari kaki sampai tulang dada hanya dalam beberapa
menit. suntikan hanya diberikan satu kali, obat diberikan terus-
menerus melalui sebuah selang kecil selama masih diperlukan
3) Local Anestesi Anestesi lokal terbagi menjadi 3 tipe yang mendasari
teknik- teknik yang ada pada maksila dan mandibula yaitu infiltrasi
lokal, fieldblock, dan blok saraf (Mennito, 2006; Malamed, 2011).
Teknik infiltrasi merupakan teknik yang dilakukan dengan cara
mendeponir larutan anestesi lokal pada daerah gigi yang akan
dilakukan perawatan. Perawatan dilakukan tepat pada daerah deponir
larutan anestesi lokal.
4)
4. Rumatan Anestesi
Pemeliharaan selama Anestesi. Digunakan inhalasi dengan Isofluran 2 vol%,
Sevofluran 2 vol%, O2 2liter / menit dan N2O 2liter / menit. Pemberian
anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25 %. Gas ini bersifat
anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik
lain. Pada akhir anesthesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat
keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah
hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, diberikan O2 selama 5- 10 menit.
Pada pasien asma rumatan anestesi dapat diberikan volatile agen
sevoflurance agar tidak irritative terhadap sistem pernafasan untuk
penggunaan N2O dapat diberikan berbarengan dengan O2 dengan
perbandingan 50:50 agar menghasilkan tingkat sedasi dan analgetic yang
cukup untuk dilakukan maintenance.
Etiologi
1. CPD (Chepalo Pelvik
Disproportion
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
4. Bayi Kembar
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
6. Kelainan Letak Janin
Regional Anestesi
c. Post Anestesi
1) Resiko Jatuh
3. Rencana intervensi
a. Pre Anestesi :
1) Nyeri akut
a) Tujuan:Setelah di lakukan asuhan kepenataan anestesi selama 1x
30 menit gangguan rasa nyaman nyeri dapat berkurang dengan
b) )KriteriaHasil:
- Pasien mengatakan nyeri berkurang
- Wajahpasientampaktenang
- TTV dalam batas
normal:Nadi90x/menit,TD:120/80mmHg,Suhu=36°C,RR=20x
/menit,SpO2:99%
c) Intervensi:
- Kaji ulang intensitas,lokasi,frekuensi dan penyebaran nyeri
- kaji ulang skala nyeri dan ekspresi wajah
- Kaji TTV pasien
- Berikan posisi nyaman pada px
- Ajarkan teknik relaksasi
- Delegasi dalam pemberian analgesic
b. Intra Anestesi
1) RK Trauma Pembedahan
a) Tujuan:Setelah dilakukan implementasi selama 10 menit , dapat
mencegah terjadinya RK.Trauma Pembedahan
b) Kriteria Hasil:
- Pasien tidak mengalami trauma pembedahan
- Pasien terjaga dan aktivitas fungsional motoric tidak terjadi.
- Tanda-tanda vital dalam rentang normal
TD110/70-120/90mmHg
Nadi60-100x/menit
Suhu36,5°C–37,5°C
RR12-20x/menit
SaO2:95-100%
c) Intervensi
- Monitoring TTV pasien
- Monitoring airway,ventilasi,oksigen,sirkulasi,dan suhu
- Kaji keadaaan umum pasien
2) RK Disfungsi Kardiovaskuler
a) Tujuan: Setelah dilakukan implementasi selama 10 menit dapat
mencegah dengan
b) KriteriaHasil:
- Tekanan darah px normal 120/80mmHg
- Nadi px normal 60-100x/menit
c) Intervensi:
- Observasi KU pasien
- Observasi TTV pasien
- Observasi EKG pasien
- Kaji akral pasien
- Kaji frekuensi dan kekuatan denyut nadi
- Delegasi dalam pemberian Vasopressor
d. Pasca
1) Resiko Jatuh
a) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan kepenataan 1x30 menit
pasien tidak mengalami cedera/jatuh dengan kriteria hasil
b) KriteriaHasil:
- Kesadaran pasien compos metis
- Lingkungan pasien aman
- Pasien tidak pusing
- Pasien tidak jatuh
- Nilai bromage score < 2
- TTV: TD: > 90/60 mmHg, < 130/90 mmHg. Nadi: 60-100
x/menit
c) Intervensi:
- Kaji keadaan umum dan TTV pasien
- Kaji status kesadaran pasien
- Singkirkn bahaya lingkungan dan mendekatkan alat-alat yang
diperlukan pasien
- Pasang sad rail tempat tidur
- Pasang gelang kuning
- Kaji skor pasca anestesi pasien
- Dampingi pasien selama dalam pengarh efek anestesi
- Menlai bromage score
4. Implementasi
Merupakan tahap ke empat dalam proses asuhan kepenataan anestesiologi.
Pada tahap ini terdapat bentuk penanganan yang dilakukan berdasarkan
pertimbangan dan pengetahuan klinis yang bertujuan untuk meningkatkan
hasil perawatan pasien. Dalam implementasi terdapat beberapa
pertimbangan, yaitu tinjau ulang segala kemngkinan intervensi yang sesuai
dengan masalah pasien, tinjau ulang kemungkinan konsekuensi, dan buat
keputusan tentang manfaat dari konsekuensi (Margarita Rehatta, 2016).
5. Evaluasi
Merupakan tahap kelima atau tahap terakhir dari proses asuhan kepenataan
anestesiologi. Tahap evaluasi ini bertujuan untuk menilai atau menentukan
efektifitas dari asuhan kepenataan anestesiologi yang sudah diberikan.
Dalam tahap ini juga dilakukan penentuan apakah telah terjadi perbaikan
dari kondisi atau kesejahteraan pasien (Margarita Rehatta, 2016).
Daftar Pustaka
D Pebrianti, 2014 https://repository.unair.ac.id/29448/9/14.%20BAB
%202%20TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf diakes pada 14 November 2021
pukul 13.30 WITA