Anda di halaman 1dari 45

PRESENTASI KASUS

General Anestesi dengan Intubasi Endotracheal Tube


pada Internal Bleeding et Causa Trauma Tumpul Abdomen
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Anestesiologi RSUD TjitroWardodjo Purworejo

Diajukan Kepada:
dr. Muh. Ghozali Tahrim, Sp. An

Disusun Oleh:
Adlina Karimina Nurul Husna
20120310144

SMF ANESTESIOLOGI
RSUD TJITROWARDODJO PURWOREJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

General Anestesi (Intubasi Endotracheal Tube)


pada Internal Bleeding et Causa Trauma Tumpul Abdomen

Disusun Oleh:

Adlina Karimina Nurul Husna

20120310144

Telah dipresentasikan pada tanggal 20 Juni 2017

Dan telah disetujui oleh:

Dokter Pembimbing

dr. M. Ghozali Tahrim, Sp. An


BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.TS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 26 th
Pekerjaan : Wiraswasta
Berat Badan : 58 kg
Tinggi Badan : 162 cm
BMI : 22,1 (normal)
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SLTP
Alamat : Kalimati, Pituruh, Purworejo
Tanggal masuk RS : 11 Juni 2017
Diagnosis : Internal bleeding et causa trauma tumpul abdomen
B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama : Terbentur stang motor di bagian perut
2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD diantar oleh istri dan
beberapa warga sekitar dengan keluhan terbentur stang motor di bagian perut karena jatuh
dari sepeda motor beroda 3 kemudian jatuh ke sawah dari ketinggian 20 meter. Pasca
kejadian pasien merasakan nyeri yang amat sangat di bagian perut, sadar (+), riwayat
pingsan (-), sesak nafas (+), mual (+), muntah lendir dan makanan (+), darah (-), BAB
hitam (-), BAB merah (-), BAK (+) tidak nyeri, demam (-).
3. Riwayat penyakit dahulu : Pasien menyangkal pernah mendapat keluhan yang
sama sebelumnya. Trauma (-), riwayat operasi (-), hipertensi (-), riwayat alergi (-),
riwayat batuk lama (-), hepatitis (-), maag (-), riwayat DM (-), pingsan (-), permasalahan
perdarahan (-), riwayat penyakit ginjal (-), stroke (-).
4. Riwayat penyakit keluarga : Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal,
riwayat hipertensi (-), DM (-), asma (-), alergi (-), permasalahan perdarahan (-).
5. Riwayat personal social : Pendidikan terakhir SLTP. Aktifitas sehari-hari sebagai
petani dan peternak sapi yang tinggal bersama Ibunya, istri dan kedua anaknya.
Kehidupan bergantung pada pasien, karena Ayahnya sudah meninggal dan kakak atau
adiknya sudah menikah serta tinggal bersama keluarganya.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Kooperatif, sesuai usia.
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : Tekanan darah : 110/70mmHg
Nadi : 89x/menit
RR : 30x/menit, teratur

Suhu : 36,2C
Status Generalis
a) Kulit : Warna kulit sawo matang, tampak berkeringat, tidak ikterik, tidak sianosis,
turgor kulit cukup, capilary refill < 2 detik dan teraba hangat.
b) Kepala : Bentuk mesosepal, tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, rambut distribusi
merata berwarna hitam.
c) Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
d) Mulut : Bibir tidak tampak sianotik, hilangnya gigi (+), uvula (+), buka mulut > 2 jari,
jarak thyromental >3 jari, pembesaran tonsil (-), gerakan leher maksimal, mallampati
grade II.
e) Pemeriksaan lokalis Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), tampak multiple VE (+), kemerahan di regio umbilicalis (+),
massa (-), hematom (-)
Auskultasi : BU (+) menurun, suara tambahan (-)
Perkusi : Tympani seluruh kwadran (+), pekak hepar (+) dengan batas normal
Palpasi : Nyeri tekan seluruh kwadran abdomen (+), defans muscular (+), hepar dan
lien tidak teraba.
f) Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi : Tidak tampak ictus cordis
b) Palpasi : Ictus cordis tidak bergeser, teraba kuat (-)

c) Perkusi :
Batas kanan atas : SIC II garis parasternal dextra
Batas kanan bawah : SIC IV garis parasternal Sinistra
Batas kiri atas : SIC II garis Parasternalis sinistra
Batas kiri bawah : SIC IV garis medioclavicularis sinistra
d) Auskultasi : S1> S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.
2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis (+), jejas (-),
retraksi (-) dan ketertinggalan gerak (-)
b) Palpasi : Simetris (+), vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan ketertinggalan
gerak (-)
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru (+), tympani di hemithorax sinistra mulai SIC
6 ke bawah
d) Auskultasi : Vesikular (+/+) menurun, ronkhi (-) dan wheezing (-) pada kedua
pulmo.
g) Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (11 Juni 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 13.8 g/dL 12.6 16.8
Leukosit 12.6 H 10^3/ul 4.5 13.9
Hematocrit 39 L % 40 52
Eritrosit 4.5 10^6/ul 3.80 5.20
Trombosit 291 10^3/ul 150 400
MCV 86 fL 80 100
MCH 31 Pg 26 34
MCHC 36 g/Dl 32 36
Hitung Jenis
Netrofil 72.30 H % 50 70
Limfosit 14.90 L % 25 40
Monosit 11.30 H % 28
Eosinophil 0.60 L % 2.00 4.00
Basofil 0.90 % 01
BT 2.30 Min 1-3
CT 4.15 Min 3-6
Golongan Darah B Rh (D) Positive
Sero Imunologi
HBsAg Negative - Negative

Pemeriksaan Kimia Klinik


Jenis Hasil Nilai rujukan
Pemeriksaan
Ureum 41,5 mg/dL 10 50
Creatinin 0,80 mg/dL 0,62 1,10
SGOT 59 U/L H 0 50
SGPT 27 U/L 0 50

Pemeriksaan Foto Polos Thorax (12 Juni 2017)


Kesan :
- Pulmo tak tampak kelainan
- Besar Cor normal
- Fraktur complete os costa 7,8 sinistra aspek lateral, aposisi dan alignment kurang
- Tak tampak pneumothorax maupun hydrothorax
Pemeriksaan Foto Polos Abdomen 3 Posisi (12 Juni 2017)
Kesan :
- Tak tampak tanda bowel obstruction maupun pneumoperitoneum
- Hemiscralisasi VL5 aspek dextra
- Fraktur complete os costa 7,8 sinistra aspek lateral
Pemeriksaan USG Abdomen Atas Bawah (12 Juni 2017)
Kesan :
- Sangat mungkin hematoperitoneum
- VU, Hepar, VF, Lien dan kedua ren normal
- Pancreas tak tervisualisasi

E. KESAN ANESTESI
Laki-laki 27 tahun menderita Internal bleeding Susp Ruptur Lien dengan tanda peritonitis
et causa trauma tumpul abdomen dengan ASA III

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm
b. Pasang NGT
c. Pro Laparotomi Eksplorasi CITO
d. Informed Consent Operasi
e. Konsul ke Bagian Anestesi
f. Informed Consent Pembiusan
g. Rawat ICU pasca operasi
Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA III

G. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis pre operatif : Internal bleeding Susp ruptur Lien et causa trauma tumpul
abdomen dengan tanda peritonitis
Status Operatif : ASA III, Mallampati grade II
Jenis Operasi : Laparotomi Eksplorasi Emergency
Jenis Anastesi : General Anastesi dengan teknik ETT no 7,5
H. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Internal bleeding dengan hemodinamik unstable dengan tanda peritonitis
2. Diagnosis Pasca Bedah
Internal bleeding ec perforasi mesenterium dan jejenum, hematom retroperitoneal
sinistra
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a. Infus RL 500 cc
4. Rencana tindakan Anestesi
a. Jenis Anestesi : General Anestesi dengan teknik ETT no 7.5
b. Pre Operasi :
- Lengkapi Inform Consent
- Lengkapi pemeriksaan penunjang
- Puasa 6-8 jam
- Pasang IV line (transfuse set dan iv cath no 20)
c. Durante Operasi
- Mulai Anestesi : 12 Juni 2017, pukul 18.15 WIB
- Mulai Operasi : 12 Juni 2017, pukul 18.20 WIB
- Premedikasi : Ranitidin 50 mg iv
Sotatic 10 mg iv
- Induksi : Ketamin 80 mg iv + Fresofol 40 mg iv
Sevo 1-2 vol % inhalasi
- Intubasi : Laringoskop blade no.3
ETT no.7.5
- Medikasi tambahan : Fentanyl 50 mg iv
Ketorolac 30 mg iv
- Maintanance : O2 2 lt, N2O 2 lt , Sevo 2 lt.
- Respirasi : Kendali
- Posisi : Supine
- Cairan : RL 500 ml
- Selesai operasi : 19.45 WIB.
d. Post Operasi
- Jalan nafas : Clear
- Pernafasan : Spontan
- Bila Spontan : Adekuat
- Kesadaran : Masih tersedasi
- Skor Aldrette :
Aktivitas_1_sirkulasi_2_pernafasan_1_kesadaran_1_warna_2_
Instruksi pasca sedasi dan anestesi :
- Infus RL 500 ml
- Dapat minum hangat jika sadar penuh, mual (-), muntah (-)
- Pemantauan tensi, nadi selama 15 menit selama 24 jam
- Lain lain : jika emergency lapor dokter anestesi
- Terapi yang diberikan post operasi :
o Inj Ceftriaxon 1 gr/12 jam
o Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
o Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
o Inj. Metronidazol 1 gr/ 8 jam
5. Terapi cairan pembedahan
Maintenance = 2 cc/kg/bb
PP (pergantian puasa sebelum operasi = lama puasa x maintenance)
Stress operasi : kecil = 4, sedang = 6, berat = 8)
SO = BBx jenis operasi (ringan/sedang/berat)
Pemberian pada jam 1 karena pasien terpasang infus maka pengganti puasa akan
diberikan , jadi M + PP + SO, Sedangkan untuk jam II M + PP + SO
Maka kebutuhan cairan pada pasien ini adalah
M 2 x 58 kg = 116 cc
PP 8 x 116 cc = 928 cc
SO 58 kg x 8 = 464 cc

Pemberian pada jam I :


= 116 + 928 + 464
= 116 + 464 + 464
= 1044 cc
pemberian pada jam II :
= 116 + 928 + 464
= 116 + 232 + 464
= 812 cc
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. INTERNAL BLEEDING DAN TRAUMA TUMPUL


1. Definisi
Pendarahan internal (internal yang juga disebut perdarahan) adalah kehilangan
darah yang terjadi dari sistem vaskular ke dalam rongga atau ruang tubuh. Hal ini
berpotensi dapat menyebabkan kematian dan serangan jantung jika pengobatan medis
yang tepat tidak diterima dengan cepat. Perdarahan internal terjadi ketika kerusakan pada
arteri atau vena mengizinkan darah terlepas dari sistim sirkulasi dan terkumpul didalam
tubuh. Jumlah perdarahan tergantung pada jumlah kerusakan pada organ dan pembuluh-
pembuluh darah yang mensuplainya, serta kemampuan tubuh untuk memperbaiki
pecahan-pecahan pada dinding-dinding dari pembuluh-pembuluh darah. Mekanisme-
mekanisme perbaikan yang tersedia termasuk keduanya sistim pembekuan/penggumpalan
darah dan kemampuan pembuluh-pembuluh darah untuk mengejang (spasme) untuk
mengurangi aliran darah ke area yang terluka.
Trauma tumpul abdomen adalah cedera pada abdomen tanpa penetrasi ke dalam
rongga peritoneum. Trauma tumpul abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap
struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul.
Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh
tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya.
Trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa
perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan.
Kejadian trauma tumpul abdomen merupakan kasus kegawatdaruratan bedah yang
harus ditangani dengan baik. Penanganan yang cepat dan tepat akan menurunkan angka
mortalitas dan mortalitas. Pada kasus trauma tumpul abdomen didapatkan trauma pada
duodenum sekitar 5% dan colon sekitar 9%.

2. Anatomi
Abdomen adalah bagian tubuh yang terletak antara diaphragma di bagian atas dan
pintu masuk pelvis dibagian bawah. Abdomen dibagi dalam sembilan regio oleh dua
garis vertikal, dan dua garis horizontal. Masing-masing garis vertikal melalui pertengahan
antara spina iliaca anterior superior dan symphisis pubis. Garis horizontal yang atas
merupakan bidang subcostalis, yang mana menghubungkan titik terbawah pinggir costa
satu sama lain. Garis horizontal yang bawah merupakan bidang intertubercularis, yang
menghubungkan tuberculum pada crista iliaca. Bidang ini terletak setinggi corpus
vertebrae lumbalis V. Pembagian regio pada abdomen yaitu : pada abdomen bagian atas :
regio hypochondrium kanan, regio epigastrium dan regio hypocondrium kiri. Pada
abdomen bagian tengah : regio lumbalis kanan, regio umbilicalis dan regio lumbalis kiri.
Pada abdomen bagian bawah : regio iliaca kanan, regio hypogastrium dan regio iliaca
kiri.

Gambar 1. Pembagian 9 regio abdomen.

Sedangkan pembagian abdomen juga dipermudah menjadi empat kuadran


dengan menggunakan satu garis vertikal dan satu garis horisontal yang saling
berpotongan pada umbilicus. Kuadran tersebut adalah kuadran kanan atas, kuadran kiri
atas, kuadran kanan bawah dan kuadran kiri bawah.

Gambar 2. Pembagian 9 regio abdomen

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di


bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa lapis,
yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan
dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m.oblikus
abdominis eksternus, m.oblikus abdominis internus, dan m.tranversus abdominis; dan
akhirnya lapisan preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas
sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah dipisahkan oleh
linea alba.

Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari
kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica
inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun
vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani
secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis
mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal.
Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale,
sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan
sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ,
menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh
limfe, dan saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar masing-masing organ diberi nama-
nama khusus.

Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya


seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang
mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang membentuk
mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus.
Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon. Lapisan ganda
peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di sebelah atas depan usus
bernama omentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi lambung sebelah bawah ke
dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan melekat pada colon
tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus yang terentang
antara lambung dan liver. Organ dalam rongga abdomen dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Organ Intraperitoneal
1. Hepar

Merupakan kelenjar terbesar dan mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu : (1)
pembentukan dan sekresi empedu yang dimasukkan ke dalam usus halus; (2)
berperan pada aktivitas metabolisme yang berhubungan dengan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein; (3) menyaring darah untuk membuang bakteri dan
benda asing lain yang masuk dalam darah dari lumen usus. Hepar bersifat lunak dan
lentur dan menduduki regio hypochondrium kanan, meluas sampai regio
epigastrium. Permukaan atas hati cembung melengkung pada permukaan bawah
diaphragma. Permukaan postero-inferior atau permukaan viseral membentuk
cetakan visera yang berdekatan, permukaan ini berhubungan dengan pars
abdominalis oesophagus, lambung, duodenum, flexura coli dextra, ginjal kanan,
kelenjar suprarenalis, dan kandung empedu. Dibagi dalam lobus kanan yang besar
dan lobus kiri yang kecil, yang dipisahkan oleh perlekatan peritonium ligamentum
falciforme. Lobus kanan terbagi menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus oleh
adanya kandung empedu, fissura untuk ligamentum teres hepatis, vena cava
inferior, dan fissura untuk ligamentum venosum. Porta hepatis atau hilus hati
ditemukan pada permukaan postero-inferior dengan bagian atas ujung bebas
omentum majus melekat pada pinggirnya. Hati dikelilingi oleh capsula fibrosa yang
membentuk lobulus hati. Pada ruang antara lobulus-lobulus terdapat saluran portal,
yang mengandung cabang arteri hepatica, vena porta, dan saluran empedu (segitiga
portal).

2. Limpa

Merupakan massa jaringan limfoid tunggal yang terbesar dan umumnya


berbentuk oval, dan berwarna kemerahan. Terletak pada regio hypochondrium kiri,
dengan sumbu panjangnya terletak sepanjang iga X dan kutub bawahnya berjalan
ke depan sampai linea axillaris media, dan tidak dapat diraba pada pemeriksaan
fisik. Batas anterior limpa adalah lambung, cauda pankreas, flexura coli sinistra.
Batas posterior pada diaphragma, pleura kiri ( recessus costodiaphragmatica kiri ),
paru kiri, costa IX, X, dan XI kiri.

3. Lambung

Merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan mempunyai 3


fungsi utama: (1) menyimpan makanan dengan kapasitas 1500 ml pada orang
dewasa; (2) mencampur makanan dengan getah lambung untuk membentuk kimus
yang setengah padat, dan (3) mengatur kecepatan pengiriman kimus ke usus halus
sehingga pencernaan dan absorbsi yang efisien dapat berlangsung. Lambung
terletak pada bagian atas abdomen, dari regio hipochondrium kiri sampai regio
epigastrium dan regio umbilikalis. Sebagian besar lambung terletak di bawah iga-
iga bagian bawah. Batas anterior lambung adalah dinding anterior abdomen, arcus
costa kiri, pleura dan paru kiri, diaphragma, dan lobus kiri hati. Sedangkan batas
posterior lambung adalah bursa omentalis, diaphragma, limpa, kelenjar suprarenal
kiri, bagian atas ginjal kiri, arteri lienalis, pankreas, mesocolon tranversum, dan
colon tranversum. Secara kasar lambung berbentuk huruf J dan mempunyai dua
lubang, ostium cardiacum dan ostium pyloricum, dua curvatura yang disebut
curvatura mayor dan minor, serta dua permukaan anterior dan posterior. Lambung
dibagi menjadi fundus, corpus dan antrum. Fundus berbentuk kubah dan menonjol
ke atas terletak di sebelah kiri ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi gas.
Sedangkan corpus adalah badan dari lambung. Antrum merupakan bagian bawah
dari lambung yang berbentuk seperti tabung. Dinding ototnya membentuk sphincter
pyloricum, yang berfungsi mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung ke
duodenum. Membran mukosa lambung tebal dan memiliki banyak pembuluh darah
yang terdiri dari banyak lipatan atau rugae. Dinding otot lambung mengandung
serabut longitudinal, serabut sirkular dan serabut oblik. Serabut longitudinal
terletak paling superficial dan paling banyak sepanjang curvatura, serabut sirkular
yang lebih dalam mengelilingi fundus lambung,dan menebal pada pylorus untuk
membentuk sphincter pyloricum. Sedangkan serabut oblik membentuk lapisan otot
yang paling dalam, mengelilingi fundus berjalan sepanjang anterior dan posterior.

4. Kandung empedu (Vesica Fellia)

Vesica Fellia adalah kantong seperti buah pear yang terletak pada
permukaan viseral hati. Secara umum dibagi menjadi tiga bagian yaitu : fundus,
corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir
inferior hati; dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan
viseral hati dana arahnya keatas, belakang dan kiri. Sedangkan collum dilanjutkan
sebagai ductus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan
sisi kanan ductus hepaticus communis membentuk ductus choledochus. Batas
anterior vesica fellia pada dinding anterior abdomen dan bagian pertama dan kedua
duodenum. Batas posterior pada colon tranversum dan bagian pertama dan kedua
duodenum.

Vesica Fellia berperan sebagai reservoir empedu dengan kapasitas 50 ml.


Vesica Fellia mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Untuk membantu
proses ini, maka mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama
lain saling berhubungan seperti sarang tawon. Empedu dialirkan ke duodenum
sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini
diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum . lemak
menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum; hormon
kemudian masuk ke dalam darah menyebabkan kandung empedu berkontraksi.
Pada saat yang sama otot polos yang terletak pada ujung distal ductus choledochus
dan ampula relaksasi sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke
dalam duodenum. Garam-garam empedu dalam cairan empedu penting untuk
emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan serta absorbsi
lemak.

5. Usus halus

Usus halus merupakan bagian pencernaan yang paling panjang, dibagi


menjadi 3 bagian : duodenum, jejunum, dan ileum. Fungsi utama usus halus adalah
pencernaan dan absorpsi hasil-hasil pencernaan. Duodenum berbentuk huruf C
yang panjangnya sekitar 25 cm, melengkung sekitar caput pankreas, dan
menghubungkan lambung dengan jejunum. Di dalam duodenum terdapat muara
saluran empedu dan saluran pankreas. Sebagian duodenum diliputi peritonium, dan
sisanya terletak retroperitonial. Duodenum terletak pada regio epigastrium dan
regio umbilikalis. Dibagi menjadi 4 bagian :

Bagian pertama duodenum. Panjangnya 5 cm, mulai pada pylorus dan berjalan
keatas dan ke belakang pada sisi kanan vertebra lumbalis pertama. Bagian ini
terletak pada bidang transpilorica. Batas anterior pada lobus quadratus hati dan
kandung empedu. Batas posterior pada bursa omentalis (2,5 cm pertama), arteri
gastroduodenalis, ductus choledochus dan vena porta, serta vena cava inferior.
Batas superior pada foramen epiploicum Winslow dan batas inferior pada caput
pankreas.

Bagian kedua duodenum. Panjangnya 8 cm, berjalan ke bawah di depan hilus


ginjal kanan di sebelah vertebra lumbalis kedua dan ketiga. Batas anterior pada
fundus kandung empedu dan lobus kanan hati, colon tranversum, dan lekukan-
lekukan usus halus. Batas posterior pada hilus ginjal kanan dan ureter kanan. Batas
lateral pada colon ascenden, flexura coli dextra, dan lobus kanan hati. Batas medial
pada caput pancreas.

Bagian ketiga duodenum. Panjangnya 8 cm, berjalan horisontal ke kiri pada


bidang subcostalis, mengikuti pinggir bawah caput pankreas. Batas anterior pada
pangkal mesenterium usus halus, dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior
pada ureter kanan, muskulus psoas kanan, vena cava inferior, dan aorta. Batas
superior pada caput pankreas, dan batas inferior pada lekukan-lekukan jejunum.

Bagian keempat duodenum. Panjangnya 5 cm, berjalan ke atas dan kiri, kemudian
memutar ke depan pada perbatasan duodenum dan jejunum. Terdapat ligamentum
Treitz yang menahan junctura duodeno-jejunalis. Batas anterior pada permulaan
pangkal mesenterium dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior pada pinggir
kiri aorta dan pinggir medial muskulus psoas kiri.

Jejunum dan Ileum panjangnya 6 m, dua perlima bagian atas merupakan


jejunum. Jejunum mulai pada junctura duodenojejunalis dan ileum berakhir pada
junctura ileocaecalis.

6. Usus besar

Usus besar dibagi dalam caecum, appendix vermiformis, colon ascenden,


colon tranversum, colon descenden, dan colon sigmoideum, rectum dan anus.
Fungsi utama usus besar adalah absorpsi air dan elektrolit dan menyimpan bahan
yang tidak dicernakan sampai dapat dikeluarkan dari tubuh sebagai feses.

Caecum terletak pada fossa iliaca, panjang 6 cm, dan diliputi oleh
peritonium. Batas anterior pada lekukan-lekukan usus halus, sebagian omentum
majus, dan dinding anterior abdomen regio iliaca kanan. Batas posterior pada m.
psoas dan m. iliacus, n. femoralis, dan n. cutaneus femoralis lateralis. Batas medial
pada appendix vermiformis. Appendix vermiformis panjangnya 8 13 cm, terletak
pada regio iliaca kanan. Ujung appendix dapat ditemukan pada tempat berikut : (1)
tergantung dalam pelvis berhadapan dengan dinding kanan pelvis; (2) melekuk di
belakang caecum pada fossa retrocaecalis; (3) menonjol ke atas sepanjang pinggir
lateral caecum; (4) di depan atau di belakang bagian terminal ileum.

Colon ascenden terletak pada regio iliaca kanan dengan panjang 13 cm.
Berjalan ke atas dari caecum sampai permukaan inferior lobus kanan hati, di mana
colon ascenden secara tajam ke kiri, membentuk flexura coli dextra, dan dilanjutkan
sebagai colon tranversum. Peritonium menutupi pinggir dan permukaan depan
colon ascenden dan menghubungkannya dengan dinding posterior abdomen. Batas
anterior pada lekukan-lekukan usus halus, omentum majus, dan dinding anterior
abdomen. Batas posterior pada m. Iliacus, crista iliaca, m. Quadratus lumborum,
origo m. Tranversus abdominis, dan kutub bawah ginjal kanan.

Colon tranversum panjangnya 38 cm dan berjalan menyilang abdomen,


menduduki regio umbilikalis dan hipogastrikum. Batas anterior pada omentum
majus dan dinding anterior abdomen. Batas posterior pada bagian kedua duodenum,
caput pankreas, dan lekukan-lekukan jejunum dan ileum.

Colon descenden terletak pada regio iliaca kiri, dengan panjang 25 cm.
Berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir pelvis. Batas anterior
pada lekukan-lekukan usus halus, omentum majus, dan dinding anterior abdomen.
Batas posterior pada pinggir lateral ginjal kiri, origo m. Tranversus abdominis, m.
Quadratus lumborum, crista iliaca, m. Iliacus, dan m. Psoas kiri.

b. Organ Retroperitoneal

Ginjal

Berperan penting dalam mengatur keseimbangan air dan elektrolit dalam tubuh
dan mempertahankan keseimbangan asam basa darah. Kedua ginjal berfungsi
mengekskresi sebagian besar zat sampah metabolisme dalam bentuk urin. Ginjal
berwarna coklat-kemerahan, terletak tinggi pada dinding posterior abdomen, sebagian
besar ditutupi oleh tulang iga. Ginjal kanan terletak lebih rendah dibanding ginjal kiri,
dikarenakan adanya lobus kanan hati yang besar.

Ginjal dikelilingi oleh capsula fibrosa yang melekat erat dengan cortex ginjal. Di
luar capsula fibrosa terdapat jaringan lemak yang disebut lemak perirenal. Fascia renalis
mengelilingi lemak perirenal dan meliputi ginjal dan kelenjar suprarenalis. Fascia
renalis merupakan kondensasi jaringan areolar, yang di lateral melanjutkan diri sebagai
fascia tranversus. Di belakang fascia renalis terdapat banyak lemak yang disebut lemak
pararenal.

Batas anterior ginjal kanan pada kelenjar suprarenalis, hati, bagian kedua
duodenum, flexura coli dextra. Batas posterior pada diaphragma, recessus
costodiaphragmatica pleura, costa XII, m. Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m.
Tranversus abdominis. Pada ginjal kiri, batas anterior pada kelenjar suprarenalis, limpa,
lambung, pankreas, flexura coli kiri, dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior pada
diaphragma, recessus costodiaphragmatica pleura, costa XI, XII, m. Psoas, m.
Quadratus lumborum, dan m. Tranversus abdominis.

Ureter

Mengalirkan urin dari ginjal ke vesica urinaria, dengan didorong sepanjang


ureter oleh kontraksi peristaltik selubung otot, dibantu tekanan filtrasi glomerulus.
Panjang ureter 25 cm dan memiliki tiga penyempitan : (1) di mana piala ginjal
berhubungan dengan ureter; (2) waktu ureter menjadi kaku ketika melewati pinggir
pelvis;(3) waktu ureter menembus dinding vesica urinaria. Ureter keluar dari hilus ginjal
dan berjalan vertikal ke bawah di belakang peritonium parietal pada m. Psoas,
memisahkannya dari ujung processus tranversus vertebra lumbalis. Ureter masuk ke
pelvis dengan menyilang bifurcatio a. Iliaca comunis di depan articulatio sacroiliaca,
kemudian berjalan ke bawah pada dinding lateral pelvis menuju regio ischiospinalis dan
memutar menuju angulus lateral vesica urinaria.
Pada ureter kanan, batas anterior pada duodenum, bagian terminal ileum, av.
Colica dextra, av. Iliocolica, av. Testicularis atau ovarica dextra, dan pangkal
mesenterium usus halus. Batas posterior pada m. Psoas dextra.Batas anterior ginjal kiri
pada colon sigmoideum, mesocolon sigmoideum, av. Colica sinistra, dan av.
Testicularis atau ovarica sinistra. Batas posterior pada m. Psoas sinistra.

Pankreas

Merupakan kelenjer eksokrin dan endokrin, organ lunak berlobus yang terletak
pada dinding posterior abdomen di belakang peritonium. Bagian eksokrin kelenjer
menghasilkan sekret yang mengandung enzim yang dapat menghidrolisis protein,
lemak, dan karbohirat. Bagian endokrin kelenjer, yaitu pulau langerhans,
menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang berperan penting dalam metabolisme
karbohidrat. Pankreas menyilang bidang transpilorica.
Dibagi menjadi empat bagian, yaitu : (1) caput pankreas berbentuki seperti cakram,
terletak pada bagian cekung duodenum. Sebagian caput meluas ke kiri di belakang av.
Mesenterica superior dan dinamakan processus uncinatus; (2) collum pancreas
merupakan bagian yang mengecil dan menghubungkan caput dengan corpus pankreas.
Terletak di depan pangkal vena porta dan pangkal arteri mesenterica superior dari
aorta; (3) corpus berjalan ke atas dan kiri menyilang garis tengah; (4) cauda berjalan
menuju ke ligamentum lienorenalis dan berhubungan dengan hilus limpa.

Batas anterior pankreas dari kanan ke kiri : colon tranversum, perlekatan


mesocolon tranversum, bursa omentalis, dan lambung. Sedangkan batas posterior
pankreas dari kanan ke kiri : ductus choledochus, vena porta, vena lienalis, vena cava
inferior, aorta, pangkal arteri mesenterica superior, m. Psoas kiri, kelenjer suprarenalis
kiri, ginjal kiri, dan hilus limpa.

3. Etiologi
Etiologi internal bleeding yaitu :
a. Trauma
Perdarahan yang disebabkan oleh trauma tumpul atau dengan penetrasi trauma.
b. Kondisi Patalogis dan Penyakit
Sejumlah kondisi patalogis dan penyakit dapat menyebabkan perdarahan internal,
pembuluh darah pecah akibat tekanan darah tinggi, varises osofagus, tukak lambung.
Penyakit lainnya seperti hepatoma, kanker hati, trombositopenia, kehamilan ektopik,
kista ovarium, defisiensi vitamin K, hemophilia, dan malaria.
c. Iatrogenik
Perdarahan internal bisa menjadi artefak iatrogenic akibat komplikasi setelah operasi
bedah dan perawatan medis, beberapa efek obat juga dapat menyebabkan perdarahan
internal seperti obat antikoogulan, dan antiplatelet yang digunakan untuk pengobatan
jantung koroner.
Data internasional yang didapat dari World Health Organization mengindikasikan
penyebab utama dari trauma tumpul pada abdomen adalah jatuh dari ketinggian kurang
dari 5 meter dan kecelakaan mobil.data ini mencakup semua jenis luka, bukan luka
akibat trauma tumpul abdomen saja. Penyebab tersering dari trauma tumpul abdomen
akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Penyebab-penyebab umum lainnya termasuk
terjatuh dan kecelakaan industri atau rekreasi. Trauma tumpul abdomen dapat
disebabkan oleh: pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk
pengaman (set-belt).

4. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan
lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka
beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor faktor fisik dari kekuatan
tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan
kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan
karena terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan
disrupsi jaringan. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan
tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang
sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya
walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua
keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya
yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus
dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan
benturan. Hal tersebut dapat terjadi cedera organ intra abdominal yang disebabkan
beberapa mekanisme :
Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari
luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat
mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks.
Terjadi gaya akselerasi deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek
pada organ dan pedikel vaskuler.
Pada trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya
menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering
menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari
pada organ-organ berongga. Cedera pada struktur intraabdomen dapat diklasifikasikan
menjadi dua mekanisme utama yaitu kekuatan kompresi dan deselerasi.
Kekuatan kompresi dapat disebabkan dari aliran langsung atau kompresi
eksternal terhadap objek tetap (misalnya, putaran belt, tulang belakang). Paling sering,
kekuatan yang menghancurkan ini menyebabkan perdarahan dan hematom subcapsular
ke organ dalam yang padat. Kekuatan ini juga dapat menyebabkan cacad pada organ
berongga dan meningkatkan tekanan intraluminal secara transient, sehingga
menyebabkan ruptur. Peningkatkan tekanan yang sementara ini merupakan mekanisme
trauma tumpul pada usus kecil.
Kekuatan deselerasi menyebabkan peregangan dan pemotongan linear antara
benda yang secara relatif tetap dan bebas. Pemotongan longitudinal ini cenderung
menyebabkan ruptur dari struktur penunjang pada penghubung antara segmen bebas dan
tetap. pencukuran pasukan ini cenderung mendukung struktur perpecahan di
persimpangan antara bebas dan tetap segmen. Cedera deselerasi klasik meliputi
perdarahan hepatik sepanjang ligamentum teres dan cedera intima pada arteri-arteri
ginjal. Sebagai loop usus yang berjalanan dari perlekatan mesenterik mereka, trombosis
dan perdarahan mesenterik, cedera pembuluh darah splanchnic dapat terjadi.
5. Klasifikasi
Cedera tumpul abdomen dibagi menjadi :
1. Benturan benda tumpul, dgn akibat :
Perforasi pada organ visera berongga.
Perdarahan pada organ visera padat.
2. Cedera kompresi, dgn akibat :
Robekan dan hematom pada organ visera padat.
Ruptur pada organ visera berongga, krn peningkatan tekanan intra luminer.
3. Cedera perlambatan (deselerasi), dgn akibat :
Peregangan dan ruptur pada jaringan ikat/ penyokong.
Berdasaran jenis organ yang cedera dapat dibagi dua :
1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama perdarahan
2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama adalah
peritonitis
Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu :
1. Organ Intraperitoneal : Ruptur Hati, Ruptur Limpa, Ruptur Usus Halus
2. Organ Retroperitoneal : Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal, ureter,
pancreas, aorta, dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan
diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini memerlukan CT scan,
angiografi, dan intravenous pyelogram.trauma pada daerah ini menyebabkan
ruptur Ginjal, ruptur Pankreas, ruptur Ureter
6. Diagnosa
Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat seperti:
Trauma pada abdomen akibat benturan benda tumpul
Jatuh dari ketinggian
Tindakan kekerasan atau penganiayaan
Cedera akibat hiburan atau wisata.
Selain itu, AMPLE merupakan elemen penting yang harus ditanyakan dalam
anamnesis pasien :
A llergies
M edications
P ast medical history
L ast meal or other intake
E vents leading to presentation.
Initial resuscitation dan penatalaksanaan pasien trauma berdasarkan pada protokol
Advanced Trauma Life Support. Penilaian awal (Primary survey) mengikuti pola
ABCDE, yaitu Airway, Breathing, Circulation, Disability (status neurologis), dan
Exposure.

Intial assesment
Trauma tumpul abdomen akan muncul dalam manifestasi yang sangat bervariasi,
mulai dari pasien dengan vital sign normal dan keluhan minor hingga pasien dengan
shock berat. Bisa saja pasien datang dengan gejala awal yang ringan walaupun
sebenarnya terdapat cedera intraabdominal yang parah. Jika didapati bukti cedera
extraabdominal, harus dicurigai adanya cedera intraabdominal, walaupun hemodinamik
pasien stabil dan tidak ada keluhan abdominal. Pada pasien dengan hemodinamik yang
tidak stabil, resusitasi dan penilaian harus dilakukan segera. Pemeriksaan fisik abdomen
harus dilakukan secara teliti dan sistematis, dengan urutan inspeksi, auskultasi, perkusi,
dan palpasi. Penemuannya positif dan negatif harus dicatat dengan teliti dalam rekam
medik.

1. Inspeksi
Baju penderita harus dibuka semua untuk memudahkan penilaian. Bila dipasang
pakaian Pneumatic Anti Shock Garment dan hemodinamik penderita stabil, segmen
abdominal dikempeskan sambil tekanan darah penderita dipantau dengan teliti.
Penurunan tekanan darah sistolik lebih adari 5 mmHG adalah tanda untuk menambah
resusitasi cairan sebelum meneruskan pengempesan (deflasi). Perut depan dan belakang,
dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa apakah ada goresan, robekan,
ekomosis, luka tembus, benda asing yang tertancap, keluarnya omentum atau usus kecil,
dan status hamil. Seat belt sign, dengan tanda konstitusi atau abrasi pada abdomen bagian
bawah, biasanya sangat berhubungan dengan cedera intraperitoneal. Adanya distensi
abdominal, yang biasanya berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi gaster, atau
ileus sebagai akibat dari iritasi peritoneal merupakan hal penting yang harus diperhatikan.
Adanya kebiruan yang melibatkan region flank, punggung bagian bawah (Grey Turner
sign) menandakan adanya perdarahan retroperitoneal yang melibatkan pankreas, ginjal,
atau fraktur pelvis. Kebiruan di sekitar umbilicus (Cullen sign) menandakan adanya
perdarahan peritoneal biasanya selalu melibatkan perdarahan pankreas, akan tetapi tanda-
tanda ini biasanya baru didapati setelah beberapa jam atau hari. Fraktur costa yang
melibatkan dada bagian bawah, biasanya berhubungan dengan cedera lien atau liver.

2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Penurunan suara
usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena perdarahan atau ruptur organ
berongga. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang atau tulang
panggul juga dapat mengakibatkan ileus meskipun tidak ada cedera intraabdominal,
sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intrabdominal. Adanya
suara usus pada thorax menandakan adanya cedera pada diafragma.

3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan
adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukkan adanya bunyi
timpani di kuadran atas akibat dari dilatasi lambung akut atau bunyi redup bila ada
hemoperitoneum.

4. Palpasi
Kecenderungan untuk mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat
menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muskuler (involuntary guarding)
adalah tanda yang andal dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah untuk
mendapatkan apakah didapati nyeri serta menentukan lokasi nyeri tekan superficial, nyeri
tekan dalam, atau nyeri lepas tekan. Nyeri lepas tekan biasanya menandakan adanya
peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus. Pada truma tumpul abdomen
perlu juga disertai kecurigaan adanya fraktur pelvis. Untuk menilai stabilitas pelvis, yaitu
dengan cara menekankan tangan pada tulang-tualng iliaka untuk membangkitkan gerakan
abnormal atau nyeri tulang yang menandakan adanya fraktur pelvis.
Walaupun melalui pemeriksaan fisik dapat dideteksi cedera intraperitoneal,
keakuratan pemeriksaan fisik pada pasien dengan trauma tumpul abdomen hanya
berkisar antara 5565%. Tidak adanya tanda dan gejala yang ditemukan dalam
pemeriksaan fisik tidak menyingkirkan adanya cedera yang serius, sehingga diperlukan
pemeriksaan yang lebih spesifik lagi untuk menghindarkan missed injury.
Walaupun tidak ditemukan tanda dan gejala, adanya perubahan sensoris atau
cedera extraabdominal yang disertai nyeri pada pasien trauma tumpul abdomen harus
lebih mengarahkan kepada cedera intrabdominal. Lebih dari 10% pasien dengan cedera
kepala tertutup, disertai dengan cedera intraabdominal, dan 7% pasien trauma tumpul
dengan cedera extraabdominal memiliki cedera intraabdominal, walaupun tanpa disertai
rasa nyeri.
Pada pasien sadar tanpa cedera luar yang terlihat, gejala yang paling terlihat
dari trauma tumpul abdomen adalah nyeri dan peritoneal findings. Pada 90% kasus,
pasien dengan cedera visceral datang dengan nyeri lokal atau nyeri general. Tanda-
tanda ini bukan merupakan tanda yang spesifik, karena dapat pula ditemukan pada
isolated thoracoabdominal wall constitution atau pada fraktur costa bawah. Dan yang
paling penting, tidak adanya nyeri pada pasien sadar dan stabil lebih menandakan tidak
adanya cedera. Meskipun demikian, cedera intrabdominal bisa didapati pada pasien
sadar dan tanpa nyeri.
Hipotensi pada trauma tumpul abdomen sering sebagai akibat dari perdarahan
organ padat abdomen atau cedera vasa abdominal. Walaupun sumber perdarah
extraabdominal (misalnya, laserasi kulit kepala, cedera dada, atau fraktur tulang
panjang) harus segera diatasi, tapi evaluasi cavitas peritoneal juga tidak boleh
diabaikan. Pasien dengan cedera kepala ringan tidak bisa menyebabkan shock,
kecuali pada pasien dengan cedera intracranial, atau pada bayi dengan perdarahan
intracranial atau cephalohematoma.
Pemeriksaan rectal jarang menunjukkan adanya darah atau subcutaneous
emphysema, tapi jika didapati, tanda tersebut berkaitan dengan cedera abdomen.
Evaluasi tonus rectal merupakan bagian yang sangat penting untuk pasien dengan
kecurigaan cedera spinal. Palpasi high-riding prostate mengarahkan indikasi pada
cedera uretra.
B. ANASTESI PADA TINDAKAN OPERATIF TRAUMA INTERNAL BLEEDING
1. Definisi Anastesi Umum
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Srpada tahun 1846.
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Anestesi
memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan sakit
yang tak tertahankan,mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan
menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.

2. Komponen Anestesi Umum


Pada anestesi umum terdapat trias anestesi yaitu hipnotik (hilang kesadaran),
analgetik dan relaksasi.Hipnotik dapat dilakukan dengan hambatan mental, analgetik
dapat dilakukan dengan hambatan sensoris dan relaksasi dengan hambatan refleks dan
hambatan motoris.
a) ANALGESIA
Terjadi hambatan sensoris,stimulasi nyeri dihambat secara sentral sehingga
tidak dapat diartikan di korteks serebri.Analgesia bisa terjadi dalam berbagai tingkatan
di mulai dengan light analgesia (stadium I) sampai (true analgesia) di mana semua
sensasi hilang.
b) RELAKSASI
Bisa terjadi karena adanya hambatan motorik dan hambatan reflek .pada
hambatan motoris terjadi depresi area motorik di otak dan hambatan implus
efferent,sehingga terjadi relaksasi otot skelet.Efek depresi motoris ini tergantung dari
kedalaman anestesi, di mana otot pernapasan / diafragma yang paling akhir di
tekan.Pada hambatan refrek, terjadi penekanan reflek misalnya ada sistem respirasi
untuk mencegah spasme bronhus, spasme laring, pembentukan mukus.Pada sirkulasi
untuk mencegah terjadinya aritmia dan pada gastrointestinal untuk mencegah mual
dan muntah.
c) HIPNOTIK
Terjadi hambatan mental.Ada beberapa tingkatan dimulai dari tenang,sedasi,
light sleep (hipnosis),deep sleep (narkosis),complete anaesthesia,dan terakhir terjadi
depresi medulla oblongata.

3. Indikasi Anestesi Umum


Indikasi Anestesi Umum adalah :
Infant dan anak anak
Operasi yang luas
Pasien dengan kelainan mental
Bila pasien menolak anestesi lokal
Operasi yang lama
Operasi di mana dengan anestesi lokal tidak praktis dan tidak menguntungkan
Pasien dalam terapi anti koagulan
Pasien yang alergi terhadap obat anestesi lokal
4. Stadium Anastesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi
menjadi 4 plana), yaitu:
a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi
dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan
refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai pernapasan
spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola
mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot
lurik yang sempurna. (tonus otot mulai menurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi
meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks
cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga
dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak
ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,
pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air
mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan
perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur,
denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada
stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
5. Prosedur Anastesi Umum
a. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui
keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan
psikologis serta berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi
penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-
paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi
(infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit
ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi,
obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung
seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase
inhibitor, bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan
pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti: merokok dan alkohol.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan
buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji
laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan
urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto
toraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang
akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan
ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik,
mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada
anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan
perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu
pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
d. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak
perlu harus dihindari.
e. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada
pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk keperluan
minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.
f. Klasifikasi status fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok
atau kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan mencantumkan
tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E.
g. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anesthesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam.
Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin
misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi. Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).
h. Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat
yang bukan saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke
jalan napas atas pasien, tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan
mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan menghisapnya dengan kapur
soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
- Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
- Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off
valve, APL, adjustable pressure limiting valve)
- Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastic transparent anti static, anti tertekuk
- Kantong cadang (reservoir bag)
- Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang
mendadak tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle
system), sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.
i. Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah
pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi
sampai tindakan pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat
kata STATICS:
S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan
usia > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular,
atau rectal.
1) Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi,
pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan
2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada
anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara
intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak
dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160
mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
2) Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
3) Induksi inhalasi
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-
sifat :
- tidak berbau menyengat / merangsang
- baunya enak
- cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran.
Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur
vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas
pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2
> 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai
dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien
batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang
dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk,
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti
dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu
mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
j. Teknik anestesi
- Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut,
keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.Selesai dilakukan induksi,
sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup muka ditempatkan pada
muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang (posisi kepala
ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer.
N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,
bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan
dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak
cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia
sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan
kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi.
Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai
operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk
mencegah hipoksi difusi.
- Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi
dengan sungkup muka.
Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan
sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas.
Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu
dalam yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu
pasang guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup
dengan plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa
endotrakea dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.
- Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi
10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan
pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah
menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha
nafas sendiri secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit
terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal
300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.
- Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini dilakukan beberapa hal untuk memastikan tindakan anastesi dilakukan sesuai dan
aman untuk pasien, yaitu diantaranya :
1. Penilaian pra bedah :
a. Anamnesis
Riwayat apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya, hal ini penting untuk
mengetahui bagaimana efek pembiusan sebelumnya. Apakah pasien pernah
mempunyai penyakit diabetes mellitus, hipertensi, untuk mengetahui adanya
penyakit metabolic sebelumnya, serta apabila pasien mempunyai riwayat sesak nafas,
akan mempengaruhi tindakan anestesi
b. Pemeriksaan fisik
Contohnya : seperti keadaan gigi geligi, leher pendek dan kaku, kemudian
pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi pada semua organ. Pada pasien ini
tidak memiliki keabnormalan kecuali pada mulut yaitu gigi yang hilang, serta
benjolan pada leher. Pertimbangan ada atau tidaknya gigi serta benjolan dileher ini
juga akan mempengaruhi pemilihan general anestesi yang diberikan, dengan kondisi
fisik seperti ini, maka pasien dapat dilakukan GA dengan ETT.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Atas indikasi sesuai penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan hematokrit adalah
studi darah utama nilai dalam evaluasi awal pasien dengan trauma abdomen . Jumlah
leukosit, kreatinin serum, glukosa, serum amilase/lipase, dan penentuan serum
elektrolit sering diperoleh untuk referensi tetapi biasanya memiliki sedikit nilai pada
periode manajemen langsung, tapi sangat penting untuk penilaian serial. Diagnosis
perdarahan masif biasanya jelas dari parameter hemodinamik, dan hematokrit hanya
menegaskan diagnosis. Anemia delusional iatrogenik umum terjadi, dengan adanya
stabilitas hemodinamik, ditoleransi dengan baik. Hematokrit serial yang mengalami
penurunan terus-menerus mengidentifikasi perdarahan yang sedang berlangsung dan
membutuhkan intervensi operasi segera. Urinalisis menegaskan kehadiran hematuria
mikroskopik. Untuk trauma tumpul, evaluasi radiografi (biasanya dengan CT) dari
ginjal dan kandung kemih harus dimulai pada pasien dengan gross hematuria atau
hematuria mikroskopik dan syok (tekanan darah sistolik < 90 mm Hg pada orang
dewasa) pada setiap titik selama pra-rumah sakit atau instalasi gawat darurat. Serum
amilase tidak sensitif dan spesifik sebagai penanda untuk cedera pankreas. Cedera
pada kepala dan wajah sering menyebabkan peningkatan konsentrasi amilase plasma.
Tingkat lipase serum tidak meningkat pada trauma wajah dan mungkin lebih spesifik
daripada tingkat amilase. Sensitivitas dan spesifisitas kadar lipase, bagaimanapun,
terutama pada periode postinjury awal masih relatif rendah.
d. Klasifikasi status ASA
Pada pasien ini ditentukan ASA III dengan alasan bahwa pasien memiliki penyakit
sistemik berat sehingga aktifitas rutin terbatas.
e. Masukan oral
Pasien dewasa sebaiknya melakukan puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada
bayi 3-4 jam. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi.
Pada pasien ini dilakukan puasa 8 jam sebelum operasi.
f. Jenis intubasi
Intubasi yang digunakan untuk pasien ini adalah ETT,
Indikasi dilakukan intubasi trakea antara lain :
- Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun
- Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
- Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan intubasi
- Leher pendek berotot
- Mandibular menonjol
- Maksila/gigi depan menonjol
- Uvula tak terlihat
- Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
- Gerak vertebra servikal terbatas
Untuk kemungkinan kesulitan intubasi, dapat dilakukan pengukuran klasifikasi
Mallampati.
Kelas I : palatum molle, fauce, uvula dan pilar faring terlihat jelas
Kelas II : palatum molle, fauce dan sebagian uvula terlihat
Kelas III : palatum molle, dan dasar uvula saja yang terlihat
Kelas IV : hanya terlihat langit-langit.
Komplikasi intubasi
- Selama intubasi : trauma gigi- geligi, laserasi bibir, gusi, laring, merangsang
saraf simpatis (hipertensi dan takikardi), intubasi bronkus, intubasi eksofagus,
aspirasi, spasme bronkus
- selama ekstubasi : spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema glottis-
subglotis, infeksi laring, faring, trakea.
g. Premedikasi
Adalah diberikannya obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anestesi
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual-muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflex yang membahayakan.
Premedikasi yang digunakan pada pasien ini adalah :
Ranitidin 50 mg iv
Sotatic 10 mg iv

-Ranitidin
Ranitidin adalah obat maag yang termasuk dalam golongan antihistamin, lebih
tepatnya disebut H2-antagonis. Ranitidin digunakan untuk mengurangi produksi
asam lambung sehingga dapat mengurangi rasa nyeri uluhati akibat ulkus atau
tukak lambung, dan masalah asam lambung tinggi lainnya.
-Metoclopramide HCl
Meredakan gastroparesis pada diabetik akut dan rekuren. Pengobatan simtomatik
jangka pendek pada nyeri panas di dada/lambung dan keterlambatan pengosongan
lambung karena refluks esofagitis. Mengurangi mual, muntah metabolik akibat
emetogenik kemoterapi kanker dan setelah operasi. Mencegah mabuk perjalanan.
Memudahkan intubasi usus pada anak dan dewasa. Injeksi : Untuk merangsang
peristaltik atau pengosongan lambung Dewasa : 1 suntikan IV 10 mg disuntikan
selama 1-2 menit.

2. Induksi Anestesi
Adalah tindakan membuat pasien dari sadar mennjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Dapat dilakukan dengan cara :
induksi, intarvena, intramuscular, inhalasi, per rektal, mercuri dan rumatan anesthesia.
Induksi anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah :
Ketamin 80 mg iv + Fresofol 40 mg iv
Sevo 1-2 vol % inhalasi

-Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting non barbiturat general anesthethic termasuk
golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-chlorophenil)2
(methylamino) cyclohexanone hydrochloride. Pertama kali diperkenalkan oleh
Domino dan Carsen pada tahun 1965. Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat
sekali akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan
keadaan lingkungan yang salah (anestesi disosiasi). Ketamin merupakan zat anestesi
dengan aksi satu arah yang berarti efek analgesinya akan hilang bila obat itu telah
didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian pemakaian lama harus dihindarkan.
Anestetik ini adalah suatu derivat dari pencyclidin suatu obat anti psikosa. Induksi
ketamin pada prinsipnya sama dengan tiopental. Namun penampakan pasien pada
saat tidak sadar berbeda dengan bila menggunakan barbiturat. Pasien tidak tampak
tidur. Mata mungkin tetap terbuka tetapi tidak menjawab bila diajak bicara dan
tidak ada respon terhadap rangsangan nyeri. Tonus otot rahang biasanya baik setelah
pemberian ketamin. Demikian juga reflek batuk. Untuk prosedur yang singkat
ketamin dapat diberikan secara iv / im setiap beberapa menit untuk mencegah rasa
sakit.

iv : dosis 1-4 mg/kgBB, dengan dosis rata-rata 2 mg/kgBB dengan lama kerja 15-
20 menit, dosis tambahan 0,5 mg/kgBB sesuai kebutuhan.

im : dosis 6-12 mg/kgBB, dosis rata-rata 10 mg/kgBB dengan lama kerja 10-25
menit, terutama untuk anak dengan ulangan 0,5 dosis permulaan.

Pulih sadar pemberian ketamin kira-kira tercapai antara 10 15 menit, tetapi sulit
untuk menentukan saatnya yang tepat, seperti halnya sulit menentukan permulaan
kerjanya.

Maka untuk pasien ini :


Dosis awal = 2 x 58 kg = 116 mg
Dosis tambahan = 0,5 x 58 kg = 29 mg

- Propofol
Propofol merupakn salah satu obat induksi intarvena yang saat ini paling banyak
digunakan. Senyawa ini bekerja dengan cara menghambat kerja neurotransmitter
yang dimediasi oleh GABA. Propofol bersifat tidak larut air sehingga dibuat
menjadi sediaan emulsi berwarna putih susu yang terdiri atas 1% konsentrasi yang
berisi campuran minyak kedelai, lesitin telur yang berasal dari kuning telur dan
gliserol. Pasien biasanya mengeluh nyeri saat penyuntikan obat ini. Karena itu, dapat
diberikan lidokain 2% dalam campuran sediaan propofol. Waktu paruhnya pendek,
yaitu 2-8 menit, membuat induksi dengan propofol berlangsung dengan onset dan
durasi yang cepat. Dosis induksi sebesar 2-2,5 mg/kgBB yang diberikan secara
intravena.
Maka untuk pasien ini :
Dosis min = 2 x 58 kg = 116 mg
Dosis max = 2,5 x 58 kg = 145 mg
Sedangkan untuk maintenance menggunakan kombinasi N20 + O2 + sevofluran.
a. Sevofluran
Senyawa yang sedikit berbau ini sangat cocok dipakai baik untuk induksi pada
anak anak maupun dewasa. Sevofluran dikenal dengan obat single dose breath
induction, yaitu hanya dalam satu tarikan napas dan membuat pasien langsung
terinduksi/ tertidur dan otot rangka lemas sehingga memudahkan untuk tindakan
intubasi. Efek induksi cepat sevofluran disebabkan karena sifatnya yang mudah
mencapai konsentrasi yang tinggi di alveoulus. Kelarutan dalam darah yang
rendah menyebabkan pasien cepat bangun dari kondisi tertidur begitu obat ini
dihentikan pemberiannya. Metabolism di hepar hanya nya halotan sehingga
cukup aman untuk pasien dengan gangguan fungsi hepar.
b. Dinitrogenoksida
Senyawa berwujud gas anorganik tidak berwarna dan berbau ini sebenarnya
berfungsi sebagai analgesic. Sifat analgesiknya kira-kira setara dengan 15 mg
morfin pada konsentrasi 20%. Kelarutannya dalam darah paling rendah
disbandingkan gas anestesi lainnya, tetapi 35 kali lebih larut dibandingkan gas
nitrogen di udara bebas. Sifat ini menyebabkan N2O mempunyai kecenderungan
menyebabkan emboli udara dan dengan mudah mengisi ruang dalam tubuh
sehingga harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan pneumothorax.
Pada pasien, pemberian N20 harus dihentikan terlebih dahulu sebelum
menghentikan penggunaan oksigen sehingga tidak terjadi apneu akibat
dinitrogen oksida.
BAB IV
KESIMPULAN

Pada kasus internal bleeding karena trauma tumpul sangat penting untuk penatalaksanaan
segera yang mencegah terjadinya komplikasi hingga terjadinya kematian. Pengetahuan mengenai
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat sangat menentukan
tindakan segera yang harus dilakukan. Pada pemeriksaan penunjang USG abdomen atas bawah
dengan kesan hematoperitoneum mengindikasikan tindakan pembedahan segera untuk
menghindari kehilangan darah yang masif sehingga dapat terjadi syok hipovolemik. General
anestesi dengan menggunakan ETT no 7,5 untuk pasien pada kasus ini sudah sesuai, serta
tindakan premedikasi dan intubasi sesuai dengan tinjauan pustaka.
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Latief said A., Suryadi kartini A., Daehlan M. Ruswan, Petunjuk praktis

anestesiologi.2ndedition, Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran

UniversitasIndonesia, 2002.

Pramono, Ardi. 2014. Buku Kuliah Anestesi. Yogyakarta. EGC

Kartini, dkk. 2002. Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan terapi intensif FKUI.

Widjosono Garjitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor Syamsuhidayat R.Jong

WB, Edisi Revisi, EGC,Jakarta, 1997 : 925 952.

Kariadi KS Sri hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme: Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketiga, Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 : 757 778.

Lyberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit Binarupa Aksara,

Jakarta, 1997 : 15 19.

Anda mungkin juga menyukai