Anda di halaman 1dari 25

I.

PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut (SKA) masih merupakan masalah kardiovaskular


yang utama di Indonesia karena menyebabkan angka perawatan dan kematian
yang tinggi. Oleh karena itu, SKA perlu mendapat perhatian dan tindakan segera
dan tepat. Salah satu kasus SKA, yaitu infark miokard dengan elevasi segmen ST
(ST segment elevation myocardial infarction, STEMI), memerlukan terapi
reperfusi terutama pada kasus yang masih dalam periode terapi, misalnya berupa
intervensi koroner perkutan primer (IKPP).1

IKPP pada kasus STEMI terutama bertujuan untuk membuka dan


mengembalikan aliran darah koroner yang menuju daerah infark (infarct related
artery, IRA). Namun sebagian besar hasil angiografi koroner pada pasien-pasien
STEMI menunjukkan adanya sumbatan di lebih dari satu pembuluh darah
(multiple vessel disease, MVD) atau bahkan lesi oklusi total kronik (chronic total
occlusion, CTO).2

Lesi CTO adalah lesi yang paling sering ditinggalkan dan tidak banyak
disentuh pada bidang kardiologi intervensi. Hingga kini, pasien dengan CTO
banyak yang ditatalaksana dengan bedah dan farmakologi karena sulitnya
revaskularisasi CTO. Namun dengan berkembangnya teknologi kawat penuntun
(guidewire), kateter mikro, dengan teknik-teknik yang baru dikembangkan,
membuat semakin banyaknya lesi CTO yang dapat direvaskularisasi dengan
intervensi koroner perkutan (IKP).3

Walaupun sering dilakukan pada IKP elektif, revaskularisasi CTO sering


menjadi dilema terutama pada keadaan SKA. Masih banyak pendapat pro dan
kontra terhadap boleh tidaknya revaskularisasi CTO pada SKA. Pada tulisan ini
dilaporkan pasien seorang laki-laki dengan STEMI anteroseptal yang dilakukan
revaskularisasi lesi IRA dan CTO pada arteri koroner left main pada prosedur
IKPP.
II. LAPORAN KASUS

Seorang pasien laki-laki berinisial J.A., berusia 65 tahun, datang ke


instalasi rawat darurat dengan keluhan nyeri dada tertindih sejak 4 jam sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan seperti seperti tertindih beban, dirasakan
di dada kiri, tidak dapat ditunjuk, dirasakan menyebar. Nyeri dada dirasakan
Sesak nafas dirasakan tiba-tiba saat aktivitas ringan. Nyeri memberat dengan
aktivitas, dan hanya berkurang sedikit saat istirahat. Nyeri disertai keringat dingin,
mual, serta muntah. Pasien tidak merasakan berdebar, pingsan, dan demam.
Pasien memiliki riwayat hipertensi dan kolesterol tinggi, namun tidak minum
obat.

Pada pemeriksaan fisis, didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang


dengan kesadaran compos mentis. Tinggi badan 158 cm, berat badan 60 kilogram,
dengan indeks massa tubuh 24,03 kg/m2. Tekanan darah 190/100 mmHg, laju nadi
92 kali per menit, laju nafas 20 kali per menit, suhu badan 36,2 derajat celcius,
dengan saturasi oksigen 93%. Pada pemeriksaan kepala dan leher, konjungtiva
tidak anemis, sklera tidak ikterik, tinggi tekanan vena jugular 5+1 cm2. Pada
pemeriksaan thoraks tampak simetris, pergerakan dinding dada kiri sama dengan
kanan. Pada pemeriksaan fisis paru, fremitus kiri sama dengan kanan, perkusi
paru sonor kiri sama dengan kanan. Auskultasi suara pernapasan vesikuler kiri
sama dengan kanan, ronkhi tidak ada, dan wheezing tidak ada. Pada pemeriksaan
fisis jantung, iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis teraba di celah interkosta V
linea midklavikularis sinistra, batas jantung kanan linea parasternalis dekstra dan
batas jantung kiri di 2 cm di lateral dari linea midklavikularis sinistra. Pada
auskultasi didapatkan suara jantung pertama dan kedua normal, dengan frekuensi
90 kali per menit, reguler. Tidak ditemukan adanya bunyi jantung tambahan. Pada
pemeriksaan abdomen, inspeksi tampak datar, auskultasi didapatkan bising usus 8
kali per menit, palpasi perabaan supel dan tidak didapatkan pembesaran hepar
maupun lien, perkusi timpani di seluruh abdomen. Pada pemeriksaan ekstremitas
ditemukan akral hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik, serta tidak
ditemukan edema pada kedua tungkai.

1
Pada pemeriksaan EKG (Gambar 1) didapatkan irama sinus, laju detak
jantung 93 kali per menit, normoaksis, gelombang P normal, lebar gelombang
QRS 0,08 detik dengan progresi gelombang R yang masih normal, segmen ST
tampak elevasi di sadapan V1-V3 dan depresi di II, III, avF, gelombang T inversi
di sadapan V4-V6, I dan avL, interval QT 0,4 detik dengan koreksi menurut
Bazett. Didapatkan kesan infark miokard dengan segmen ST elevasi anteroseptal
dengan resoprokal di sadapan inferior.

Gambar 1: Gambaran EKG Pasien

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan EKG, maka pasien


diberikan diagnosis kerja: STEMI anterseptal TIMI 4/14, kelas Killip 1, awitan 4
jam, dan hipertensi emergensi.

Selama perawatan di instalasi rawat darurat medik, pasien diambil sampel


darah dan diberikan terapi memasang cairan NaCl 0.9%, asam asetil salisilat dosis
loading 320 mg, ticagrelor dosis loading 180 mg, bisoprolol 1.25 mg per 24 jam,
lansoprazole 30 mg 2x1, captopril 25 mg per 8 jam, atorvastatin 40 mg per 24
jam, isosorbide dinitrate intravena mulai 1 mg per jam. Pasien direncanakan untuk
intervensi koroner perkutan primer dan perawatan lanjut di ruang perawatan
intensif jantung (ICCU).

Pasien kemudian dilakukan angiografi (Gambar 2) dan intervensi koroner


perkutan primer dengan akses vaskular di arteri radialis dextra. Kemudian
dilakukan angiografi dengan kateter diagnostik hasil, sistem arteri koroner
dominan kanan, arteri left main (LM) oklusi total dan pada arteri right coronary
artery (RCA) ditemukan stenosis 80% di osteal, dengan gambaran berawan
suspek trombus, tampak kolateral klaslifikasi 2 menurut Werner dari RCA menuju

2
ke arteri left anterior descending (LAD). Dari hasil angiografi, disimpulkan
STEMI dengan multivessel disease (MVD).

Gambar 2: Hasil angiografi koroner kiri (kiri) dan koroner kanan (kanan). Tampak
trombus di RCA (dilingkar).

Gambar 3: Tampak kolateral dari RCA ke LAD

3
Oleh sebab STEMI anteroseptal, kemudian diputuskan untuk dilakukan
intervensi koroner perkutan di koroner kiri, dimasukkan kateter penuntun ke
koroner kiri, dengan kawat penuntun Fielder XT-R® (Asahi), namun kawat
penuntun tidak bisa melewati lesi. Dengan ini, disadari bahwa oklusi di kiri
merupakan total oklusi kronik (chronic total occlusion, CTO) pada arteri LM.
Maka kami kemudian memutuskan RCA sebagai lesi kulpritnya, dan kemudian
melakukan pemasangan stent dengan 3.00 x 29 mm. Setelah melakukan
pemasangan stent di RCA (Gambar 4), direncanakan dan dicoba untuk
merevaskularisasi LM dengan pertimbangan menghindari double jeopardy pada
CTO dan SKA. Kami mencoba untuk melewati lesi CTO secara antegrade dengan
kawat penuntun Gaia Second® (Asahi) namun masih tidak dapat melewati lesi.
Kemudian kawat penuntun Conquest Pro® (Asahi) akhirnya dapat melewati
hingga LAD, dan kemudian menggunakan kawat penuntun Gaia Second® (Asahi)
pada arteri left circumflex (LCx). Kemudian dilakukan dilatasi LAD dengan balon
Mini Trek® (Abbott) 2.00 x 15 mm. Setelah itu dilakukan teknik kissing balloon
dengan Mini Trek® (Abbott) 2.00 x 15 mm pada LAD dan Sapphire® (Alex)
2.75 x 15 mm pada LCx. Angiografi terakhir menunjukkan stenosis 70-90% di
LM, stenosis 90-95% diffuse pada LAD, dan stenosis 90-95% diffuse pada LCx.
Revaskularisasi lanjut koroner kiri direncanakan pada staging PCI berikutnya.

Gambar 4: Hasil Revaskularisasi RCA

4
Gambar 5: Hasil Revaskularisasi LCA

Tindakan IKPP selesai. Setelah selesai pasien direncanakan untuk hidrasi


pasca tindakan, pemberian terapi tambahan low molecular weight heparin
(LMWH) fondaparinux per subkutan 2,5 mg per 24 jam, asam asetil salilisat 80
mg per 24 jam, dan ticagrelor 90 mg per 12 jam, dan peningkatan bertahap pada
dosis ACE inhibitor.

Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin 15.4


g/dL, leukosit 7.200/μL, trombosit 232.000/μL, hematokrit 45.6%, SGOT 58 U/L,
SGPT 20 U/L, ureum 23 mg/dL, kreatinin 0,9 mg/dL, gula darah sewaktu 168
mg/dL, natrium 135 mEq/L, kalium 5,00 mEq/L, klorida 101 mEq/L, CK Total
494 U/L, CKMB 97 U/L, troponin tidak dapat diperiksa karena tidak ada reagen,
anti HCV kuantitatif non reaktif, HbsAg kuantitatif non reaktif, dan anti HIV non
reaktif.

Pada perawatan pasca intervensi koroner perkutan, pasien kembali dirawat di


ICCU selama 24 jam. Selama perawatan di ICCU keadaan pasien stabil, tidak ada
keluhan nyeri dada. Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium
lengkap pasca tindakan 12 jam, dengan hasil sebagai berikut: kolesterol total 274
mg/dL, HDL 40 mg/dL, LDL 204 mg/dL, trigliserida 173 mg/dL, ureum 21

5
mg/dL, kreatinin 0,9 mg/dL, natrium 137 mEq/L, kalium 3,85 mEq/L, klorida
95,6 mEq/L. Dislipidemia kemudian ditambahkan dalam diagnosis kerja.

Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan ekokardiografi. Hasil


ekokardiografi pada pasien ini adalah dimensi ruang-ruang jantung normal, tidak
didapatkan hipertrofi ventrikel kiri, fungsi sistolik ventrikel kiri global menurun
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 42% dihitung secara Biplane menurut Simpson,
terdapat hipokinetik di segmen basal-mid anterior, basal-mid anteroseptal,
apikoanterior, disfungsi diastolik gangguan relaksasi, katup-katup dalam batas
normal, tidak ditemukan adanya hipertensi pulmonal, kontraktilitas ventrikel
kanan normal, lebar diameter vena cava inferior 1,6 cm, dengan kolapsibilitas >
50% dengan estimasi tekanan atrium kanan 5 mmHg.

Observasi pasca IKPP, pasien dalam keadaan hemodinamik yang stabil.


Pada perawatan hari ke-3 pasien dipindahkan ke ruang rawat biasa. Selama
perawatan di ruangan, pasien tidak ada keluhan nyeri dada. Tanda-tanda vital
pada saat hari perawatan terakhir, kesadaran compos mentis, tekanan darah
100/60 mmHg, laju nadi 70 kali per menit, laju napas 20 kali per menit. Pasien
kemudian pada hari ke-6 setelah selesai heparinisasi pasca tindakan, pasien
dipulangkan dan dapat kontrol di poliklinik jantung dewasa pada keesokan
harinya. Pasien direncanakan untuk staging PCI pada bulan berikutnya. Pada
bulan berikutnya, dilakukan staging PCI dan direvaskularisasi pada LM dan
bifurkasio LAD dan LCx (Gambar 6).

6
Gambar 6: Hasil Revaskularisasi Staging PCI pada LCA

Kira-kira satu tahun setelah tindakan, pasien kemudian ditindak lanjuti.


Dalam pemeriksaan, pasien masih kadang-kadang merasakan nyeri dada pada
aktivitas sedang-berat. Dari hasil ekokardiografi, didapatkan fraksi ejeksi
ventrikel kiri yang sama seperti tahun lalu 41,9% dihitung biplane secara
Simpson, dan abnormalitas gerakan dinding ventrikel regional yang masih sama.

III. DISKUSI
Tindakan IKPP untuk merekanalisasi pembuluh darah koroner yang oklusi
pada keadaan STEMI akan menurunkan angka mortalitas. Namun secara
kebetulan pula, saat angiografi koroner, pada pasien STEMI akan ditemukan
penyumbatan di koroner lainnya selain lesi kulprit atau arteri yang terkait infark
(infarct related artery, IRA). Oklusi atau stenosis ini disebut juga multivessel
disease (MVD) dan arteri yang bukan terkait infark (non infarct related artery,
non-IRA). Non-IRA berupa MVD dan CTO dapat ditemukan pada 40%-60% dari
pasien STEMI.4, 5
MVD merupakan faktor risiko tersendiri terhadap morbiditas dan
mortalitas pada pasien STEMI. Peningkatan risiko ini disebabkan oleh beban
aterosklerotik yang lebih besar dan jumlah infark miokard rekuren yang lebih
tinggi.6 Oleh karena itu dimungkinkan adanya potensi manfaat dari revaskularisasi

7
MVD pada STEMI yang dapat menurunkan mortalitas jangka panjang dan
pendek, revaskularisasi ulang, dan menurunkan biaya. Sebuah studi retrospektif
yang melibatkan 28.282 pasien dari Park et al menyimpulkan bahwa pasien
dengan non-IRA memiliki angka mortalitas 30 hari lebih tinggi daripada yang
tidak memiliki non-IRA (4,3% berbanding 1,7%).5 Wilar et al melaporkan
pengamatan 6 bulan terhadap kejadian kardiovaskular pada pasien STEMI di
RSUP Kandou Manado pada tahun 2017, didapatkan pasien dengan MVD
memiliki angka kematian dan revaskularisasi ulang yang lebih tinggi
dibandingkan pada single vascular disease (SVD).7

Gambar 6: Grafis Kaplan Meier pada kesintasan pasien dengan non-IRA dan
tanpa non-IRA. Sumber: Park et al.5

Hasil revaskularisasi dan keluaran hasil MVD pada STEMI masih


diperdebatkan dan kontroversial. Sebuah meta analisis dari Bangalore et al,
melibatkan 11 studi dengan 3.150 pasien menemukan bahwa revaskularisasi
MVD pada IKPP berhubungan dengan penurunan risiko kematian atau infark
miokardium (RR 0,52) dibandingkan IKP pada IRA. Menariknya, staging MVD
ditemukan tidak signifikan dalam mengurangi kematian atau infark miokardium.
Hasil ini mungkin dapat memberikan masukan mengenai apakah revaskularisasi
MVD sebaiknya dilakukan saat IKPP atau staging. Hingga kini belum ada
panduan yang menyebutkan secara jelas waktu terbaik untuk melakukan

8
revaskularisasi MVD. Namun Bangalore et al berhipotesis bahwa revaskularisasi
MVD saat IKPP lebih baik karena mencegah kejadian rekuren, IKPP lebih awal
mungkin dapat menyebabkan pemuluhan fungsi ventrikel kiri yang lebih cepat
dan mencegah instabilitas hemodinamik dan kejadian aritmia yang lebih rendah.6

Gambar 7: Hasil Meta-analisis oleh Bangalore et al yang membandingkan


keluaran pada revaskularisasi MVD dan hanya IRA. Sumber: Bangalore et al.6

Pada pasien yang kami laporkan dilakukan revaskularisasi MVD pada


IKPP. Tindakan ini dapat dipertimbangkan, melihat adanya beberapa penelitian
besar yang memungkinkan untuk dilakukannya revaskularisasi MVD dan
memperbaiki keluaran pasien.

Pro dan Kontra Revaskularisasi MVD pada IKPP


Berdasarkan pembaruan pada panduan ACC/AHA/SCAI tahun 2015
mengenai tatalaksana STEMI, pilihan IKP pada pasien dengan STEMI dan MVD
dapat dibagi menjadi:

9
1. IKPP dengan hanya IRA, dengan IKP pada non-IRA hanya pada
penemuan risiko tinggi dan menengah terhadap iskemik spontan;

2. IKP MVD pada saat IKPP;

3. IKPP pada IRA, dengan IKP staging arteri non-kulprit.

Rekomendasi dari ACC/AHA/SCAI di atas, mengubah rekomendasi kelas


III pada tahun 2013 yang menyatakan bahwa IKP MVD sebaiknya tidak
dilakukan pada pasien saat IKPP pada pasien STEMI dengan keadaan
hemodinamik stabil. Pada tahun 2015, ACC/AHA/SCAI meningkatkan menjadi
kelas IIb dengan menyatakan, IKP pada non-IRA dapat dipertimbangkan pada
pasien tertentu pada STEMI dan MVD yang memiliki hemodinamik stabil, baik
pada saat IKPP maupun direncanakan sebagai prosedur staging.8
Dinamika perubahan juga terjadi pada panduan ESC. Pada panduan ESC
tahun 2017 mengenai tatalaksana pasien STEMI, revaskularisasi rutin non-IRA
dapat dilakukan pada pasien STEMI sebelum pasien pulang (Kelas IIa) dan
revaskularisasi non-IRA pada prosedur pertama dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan syok kardiogenik (Kelas IIa).9 Namun pada pembaharuan di
panduan ESC mengenai revaskularisasi miokardium pada 1 tahun kemudian,
2018, dikatakan revaskularisasi rutin non-IRA pada syok kardiogenik tidak
direkomendasikan (Kelas III), berdasarkan hasil studi CULPRIT-SHOCK (Culprit
Lesion Only PCI versus Multivessel PCI in Cardiogenic Shock).10, 11
Japanese Cardiovascular Interventional Therapeutics (CVIT) pada
rekomendasi tahun 2018 merekomendasikan revaskularisasi rutin non-IRA
sebaiknya dipertimbangkan pada pasien STEMI dengan MVD sebelum pulang
(baik segera atau staging). CVIT saat ini masih merekomendasikan IKP non-IRA
pada pasuen dengan syok kardiogenik, walaupun mereka juga sudah
mempertimbangkan hasil studi CULPRIT-SHOCK yang menurut mereka masih
dapat diperdebatkan.12
Rekomendasi ACC/AHA/SCAI tahun 2013 yang melarang IKP MVD
pada IKPP disebabkan oleh masalah keselamatan, peningkatan risiko komplikasi

10
tindakan, waktu tindakan yang panjang, nefropati akibat kontras, dan trombosis
stent pada keadaan protrombotik dan proinflamasi saat STEMI. Namun beberapa
studi, seperti PRAMI (Preventive Angioplasty in Acute Myocardial Infarction),
CvLPRIT (Complete Versus Culprit-Lesion Only Primary PCI), DANAMI 3
PRIMULTI (Third Danish Study of Optimal Acute Treatment of Patients with ST-
segment Elevation Myocardial Infarction), dan PRAGUE-13 (Primary
Angioplasty in Patients Transferred From General Community Hospitals to
Specialized PTCA Units With or Without Emergency Thrombolysis).
Pada studi PRAMI didapatkan keluaran primer terhadap kematian karena
jantung, infark miokard tak fatal, angina refrakter timbul pada 21 pasien (9%)
yang dilakukan revaskularisasi MVD pada IKPP, dibandingkan 53 pasien (22%)
yang hanya IRA.13 Studi CvLPRIT menghasilkan keluaran primer kematian,
reinfark, gagal jantung, dan revaskularisasi karena iskemik pada 12 bulan
ditemukan pada 15 pasien (10%) yang menjalani IKP MVD, dan 31 pasien (21%)
pada IKP hanya IRA. Begitu pula pada studi DANAMI 3 PRIMULTI yang
menemukan keluaran primer dengan kematian karena semua sebab, infark tak
fatal, revakularisasi karena iskemik terjadi pada 40 pasien (13%) dengan IKP
staging, dan 68 pasien (22%) pada IKP hanya IRA. Hasil ketiga studi ini memiliki
nilai signifikansi yang tinggi. Namun pada PRAGUE-13 menemukan tidak
adanya perbedaaan diantara kedua kelompok ini pada tindak lanjut pada bulan ke-
38.14 Penemuan ini yang menjadi dasar dari perubahan rekomendasi pada
ACC/AHA/SCAI. Mereka juga menegaskan bahwa tindakan revaskularisasi
MVD pada IKPP sebaiknya tidak dilakukan rutin, namun perlu melihat dan
mempertimbangkan kasus per kasus sesuai data klinis dan risiko tindakan.
ACC/AHA/SCAI juga tidak memberikan rekomendasi yang jelas mengenai waktu
untuk IKP staging pada MVD.
Studi HORIZONS-AMI (Harmonizing Outcomes With Revascularization
and Stents in Acute Myocardial Infarction) pada 2011 memberikan hasil yang
berbeda. Studi ini menemukan pasien merekomendasikan staging IKP pada
MVD, daripada dilakukan pada IKPP. Saat itu mereka belum begitu jelas apa
yang menyebabkan intervensi pada IKPP memberikan hasil yang lebih buruk,

11
diduga dengan adanya protrombotik dan proinflamasi seperti rekomendasi
ACC/AHA/SCAI tahun 2013 di atas.15
Dari beberapa studi dan panduan di atas dapat disimpulkan bahwa
revaskularisasi MVD masih kontroversial, dan masih mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian yang dapat ditimbulkan. Beberapa panduan juga begitu
dinamis, bahkan dalam waktu yang sangat berdekatan seperti ESC. Oleh karena
itu, revaskularisasi MVD pada IKP dapat ditarik sebuah hipotesis sementara
bahwa tindakan ini dapat dilakukan jika dipikirkan manfaatnya pada keluaran
utama pasien.
Pada pasien ini terjadi MVD pada STEMI, dan lesi oklusinya berbada
bagian-bagian yang dianggap penting yaitu proksimal RCA sebagai IRA, dan
LCA sebagai non-IRA. Pada kasus ini pasien dalam keadaan iskemik berat karena
proses akut di RCA dan rentan mengalami iskemik ulang yang berat akibat oklusi
di LCA. Walaupun pasien dalam keadaan hemodinamik stabil, rekomendasi
panduan yang ada masih sangat dinamis untuk rekomendasi pada pasien-pasien
syok kardiogenik. Oleh karena itu, diputuskan dalam pasien ini untuk dilakukan
revaskularisasi MVD pada IKPP setelah dilakukannya revaskularisasi IRA.

Risiko Revaskularisasi MVD pada IKPP


Sebuah studi awal (pilot study) single-center dan prospektif dari Saad et al
melibatkan 50 pasien dengan STEMI akut dengan lesi tipe A dan B menurut
klasifikasi lesi ACC/AHA, membandingkan revaskularisasi MVD pada IKPP
dibandingkan staging. Didapatkan tidak adanya perbedaan antara kedua
kelompok, baik jumlah lesi, jumlah stent, angka komplikasi. Pada kelompok
revaskularisasi MVD pada IKPP didapatkan angka floroskopi dan jumlah kontras
yang banyak. Namun tidak ditemukan penurunan fungsi renal yang signifikan
pada revaskularisasi MVD pada IKPP. Hasil studi kecil ini memberikan
pandangan bahwa intervensi MVD pada IKPP dapat dilakukan (feasible) dan
relatif aman dilakukan dibandingkan staging dan memiliki angka keberhasilan
pre-prosedural yang baik.16

12
Pada pasien ini, berbeda dengan yang kriteria dari Saad et al. Pada pasien
ini ditemukan lesi dengan klasifikasi tipe C menurut ACC/AHA yaitu lesi
kompleks, dan adanya oklusi total kronik dengan kolateral.17 Oleh karena itu
revaskularisasi CTO pada STEMI memerlukan pertimbangan tersendiri.

CTO pada STEMI


CTO merupakan bagian dari MVD yang ditemukan pada sekitar 6,4%
pada angiografi pasien STEMI.5 Van Der Schaaf et al melakukan studi pada 1.147
pasien STEMI dan menemukan CTO sebagai prediktor kuat untuk angka
mortalitas satu tahun pada pasien STEMI yang ditatalaksana dengan IKP,
dibandingkan yang bukan CTO.18 Hal ini juga ditemukan oleh Moreno et al,
dalam meneliti 639 pasien dengan infark miokard dan ditemukan pasien MVD
dengan CTO memiliki keluaran yang lebih buruk dibandingkan SVD dan MVD
tanpa CTO.19 Claessen et al menemukan pasien STEMI dengan CTO memiliki
progres penurunan fungsi fraksi ejeksi ventrikel kiri yang lebih buruk.20 Hal ini
mungkin yang dapat menjelaskan mengapa keluaran yang buruk pada pasien
STEMI dengan CTO.
Peningkatan mortalitas pada pasien STEMI yang memiliki CTO dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pasien seringkali dianggap dalam keadaan double
jeopardy atau dalam bahaya yang berlipat. Bagian koroner distal dari CTO
bergantung kepada kolateral dari IRA, sehingga dapat menyebabkan infark yang
semakin luas. Beberapa studi membuktikan dengan lebih tingginya kadar troponin
I pada pasien STEMI dengan CTO.21
Manfaaat revaskularisasi CTO pada STEMI sendiri juga masih dalam
perdebatan, dan tidak ada panduan yang menyatakan secara khusus mengenai
penanganan CTO sebagai non-IRA pada STEMI.8-10 Sebuah studi tahun 2016,
EXPLORE (Evaluating Xience and Left Ventricular Function in Percutaneous
Coronary Intervention on Occlusions After ST-Elevation Myocardial Infarction),
memeriksa fungsi ventrikel kiri untuk membukti manfaat revaskularisasi CTO
pada STEMI, namun dilakukan tak lama setelah IKPP pada 1 minggu setelahnya.
Pada studi ini, ditemukan 77% angka keberhasilan tindakan, namun tidak adanya

13
perbedaan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan volume diastolik akhir ventrikel kiri.
Namun ketika dilakukan analisis sub-group, ditemukan kelompok dengan CTO
pada LAD ternyata memiliki peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
bermakna setelah dilakukan IKP pada CTO-nya yang diukur dengan pencitraan
resonansi magnetik.22 Hasil ini dapat disebabkan karena kompleksitas kasus, tidak
adanya keseragaman protokol dan teknik revaskularisasi CTO, dan jumlah sampel
yang kecil. Beberapa studi lainnya yang mendukung revaskularisasi MVD pada
IKPP, seperti PRAMI dan CvLPRIT, dan mengeksklusikan pasien dengan CTO
pada studi mereka.13, 23
Perihal revaskularisasi CTO pada STEMI kemudian diolah dalam meta
analisis oleh Tong et al, melibatkan empat studi observasional dan satu studi
kontrol acak dengan 1.038 pasien. Revaskularisasi CTO pada STEMI
berhubungan dengan penurunan angka kematian karena semua sebab. 24
Manfaat revaskularisasi CTO terjadi melalui mekanisme proses pemulihan
dari area pinggir infark yang mengalami stunning. Dengan pemulihan aliran darah
ke miokardium yang stunning akan menjadi viabel. Peningkatan fraksi ejeksi
ventrikel kiri mungkin dapat disebabkan oleh perlambatan proses remodeling
ventrikel, penurunan ketidakstabilan listrik jantung, dan meningkatnya toleransi
jika terjadi kejadian oklusi koroner mendatang.21
Belum ada kesepakatan yang jelas mengenai waktu yang tepat untuk
dilakukan revaskularisasi CTO pada pasien STEMI. Beberapa klinisi melakukan
saat di prosedur IKPP seperti yang dilaporkan oleh Leone et al, dan beberapa
kasus yang disertai syok kardiogenik yang dilaporkan oleh Watanabe et al. 2, 25

Studi EXPLORE melakukan dengan jarak 1 minggu setelah IKPP. Namun dalam
paparan studi EXPLORE tidak dijelaskan mengapa diambil titik potong di waktu
1 minggu.22 Collin Berry dari Universitas Glasgow dalam presentasinya di
Kongres ESC 2018 di Muenchen, menyebutkan revaskularisais lengkap pada
IKPP dapat dilakukan, dengan strategi yang disesuaikan dengan pertimbangan
klinis masinhg-masing operator. Namun dalam pendapatnya ia merujuk pada studi
PRAMI dan CvLPRIT.26 Dalam kongres yang sama, Ciro Indolfi daru Universitas

14
Magna Graceia berpendapat revaskularisasi CTO dilakukan secara staging setelah
pasien pulang dari rawat inap karena STEMI.27
Pada pasien ini dilakukan revaskularisasi CTO pada IKPP atas dasar
pertimbangan klinisnya, dan kemudian dilakukan tindak lanjut 1 tahun, tidak ada
masalah yang fatal, tidak ada kejadian infark miokardium ulang, dan belum ada
revaskularisasi ulang setelah staging terakhir. Walaupun demikian, fraksi ejeksi
ventrikel kiri masih relatif sama seperti pada saat setelah infark. Hal ini sesuai
dengan hasil beberapa studi revaskularisasi CTO pada STEMI.

Teknik Revaskularisasi CTO


Pada lesi CTO ditemukan beban plak aterosklerotik yang berat, dan
biasanya menghasilkan oklusi total atau hampir total pada pembuluh darah
koroner sehingga menghambat aliran darah antegrade. Walaupun sulit secara
klinis untuk ditentukan, biasanya proses pembentukan lesi CTO telah ada minimal
selama 3 bulan terakhir. Proses tatalaksana CTO seringkali menjadi dilema bagi
kardiolog intervensi karena kompleksitas teknis dan prosedurnya, serta beberapa
komplikasinya seperti perforasi koroner, gagal ginjal, perdarahan, dan cedera
pembuluh darah perifer. Namun dengan berkembangnya teknologi peralatan
intervensi, maka angka keberhasilan revaskularisasi CTO semakin baik. Selain itu
pula perlu diiringi dengan perkembangan kemampuan teknis dan pengalaman
klinis masing-masing operator.3
Pemilihan kateter penuntun (guiding catheter) yang tepat akan
memberikan sokongan maksimal. Pada tindakan rutin, beberapa operator
memerlukan akses melalui arteri femoralis untuk kateter penuntun yang lebih
besar sekitar 7 atau 8 Fr. Pemilihan lebih besar memiliki daya sokong (support)
yang lebih baik, dapat sebagai akses untuk masuknya covered stent graft jika
terjadi perforasi koroner, dan dapat memasukkan intravascular ultrasound
(IVUS).3
Namun pada pasien ini karena dalam keadaan IKPP, maka dilakukan akses
melalui arteri radialis dan karena diperkirakan IRA di koroner kiri maka diberikan

15
kateter penuntun CLS karena kurve kateter yang lebih memberikan sokongan
yang lebih baik untuk koroner kiri.
Penggunaan kawat penuntun merupakan bagian paling penting dalam
revaskularisasi CTO, dan sangat menentukan sukses dan gagalnya tindakan.
Komponen yang penting dari sebuah kawat penuntun adalah pelapis (coating),
besar beban ujung (tip load), kekakuan ujung (tip stiffness), dan fleksibilitas
kawat penuntun (guidewire flexibility).
Pelapis kawat penuntun yang digunakan dapat menggunakan jenis non-
hidrofilik (konvensional) dan hidrofilik (dengan polimer atau lubrikan). Kawat
penuntun non-hidrofilik ditandai dengan rasa taktil dan kontrol torsi yang lebih
baik. Jenis lainnya, kawat penuntun hidrofilik memberikan kemampuan manuver
yang baik pada lesi berkelok (tortous), memiliki resistensi yang minimal dapat
dapat dikendalikan dengan lebih mudah. Kelemahan kawat penuntun hidrofilik
adalah berkurangnya rasa taktil dan kontrol ujung yang berkurang, Jenis kawat ini
cenderung dapat menyebabkan masuknya ke lumen palsu (false lumen).3, 28, 29
Pemilihan kawat penuntun juga tergantung dari pendekatan strategi dalam
revaskularisasi CTO, yaitu dari antegrade (termasuk antegrade wire excalation,
AWE) atau retrograde. Jika dipilih pendekatan antegrade, maka biasanya dipilih
kawat penuntun dengan beban ujung rendah dan tidak kaku. Untuk mendapatkan
daya torsi dan kekuatan yang baik dalam melewati lesi, maka dilakukan
peningkatan karakteristik kawat penuntun, atau yang disebut sebagai ekskalasi.
Selain itu teknik memanipulasi kawat penuntun juga perlu diperhatikan, baik
sliding and drilling, controlled drilling, penetration, dan push and torque.29
Pada pasien ini pada revaskularisasi dilakukan dengan pendekatan AWE
digunakan kawat penuntun (Gambar 8) dengan ekskalasi dari Fielder XT-R®,
Gaia Second®, hingga Conquest Pro®. Dasar dari penggunaan jenis Fielder pada
usaha awal, adalah ujung yang lebih lembut dan runcing (0.010”) dengan teknik
sliding and drilling. Karena kateter penuntun Fielder hanya dapat melewati
tudung ujung dan tidak mampu melewati lesi yang lebih distal, kawat penuntun
kemudian diekskalasi ke jenis Gaia. Gaia memiliki struktur koil ganda yang dapat
memberi tekanan torsi pada distal. Jenis Gaia memiliki ujung lebih runcing dan

16
beban ujung daripada Fielder. Pada kasus ini kateter penuntun Gaia Second®
dimasukkan dengan tekanan dan torsi tinggi, namun belum dapat melewati lesi,
dan diganti Conquest Pro® dengan beban ujung 8.0 g dan pada ujung kateternya
tidak memiliki pelapis sehingga resistensi pada titik masuk lesinya lebih rendah.
Conquest Pro® dapat masuk dengan controlled drilling. Setelah kawat penuntun
melewati lesi kemudian dilakukan dilatasi lumen dengan balon.

Gambar 8: Karakteristik dan spesifikasi ekskalasi


kawat penuntun yang digunakan. Sumber: Rinfret et al.29

CTO pada LM
Stenosis pada LM ditemukan pada 5-6% dari semua pasien yang
menjalani angiografi koroner, dan seringkali menjadi faktor risiko pemicu

17
sindrom koroner akut. LM memberikan sirkulasi darah ventrikel kiri pada 75%
pasien dengan koroner dominan kanan dan 100% pada koroner dominan kiri. Jika
terjadi ada sindrom koroner akut, stenosis LM seringkali mengakibatkan syok
kardiogenik, infark sangat luas, dan angka mortalitas yang tinggi.30, 31
Kasus CTO pada LM sendiri lebih jarang ditemukan dan ditemukan pada
pasien dengan koroner dominan kanan dengan kolateral yang cukup baik.
Kolateral dapat mempertahankan fungsi sistolik ventrikel kiri, namun tidak cukup
untuk mengurangi gejala. Lokasi yang sering terjadi lesi pada LM adalah bagian
distal di dekat bifurkasio, ostium, dan bagian tengah.30
Revaskularisasi CTO pada LM dengan IKP semakin memiliki kemajuan
akhir-akhir ini dengan peningkatan teknologi kawat penuntun. Beberapa kasus
juga melaporkan keberhasilan yang baik pada IKP pada CTO LM, bahkan
Watanabe et al melaporkan 4 kasus revaskularisasi CTO LM saat IKPP dengan
syok kardiogenik.25, 30, 32, 33 Pada registri RECHARGE dari 1253 kasus IKP CTO,
hanya terdapat 4 kasus CTO pada arteri LM, dan semuanya dilakukan dengan
pendekatan AWE dan berhasil.34
Pada pasien ini dilakukan revaskularisasi CTO pada LM dengan kondisi
STEMI dalam IKPP. Kondisi ini merupakan keadaan yang sangat jarang terjadi
dan tidak ada ketentuan baku mengenai apa yang harus dilakukan. Terdapat
beberapa pengalaman klinisi yang berhasil melakukan tindakan ini, walau
demikian sebaiknya tidak dilakukan secara rutin dan benar-benar dipertimbangkan
dengan matang, mengingat keadaan klinis dan tindakan revaskualrisasi sendiri
memiliki risiko yang sangat tinggi. Namun, kondisi double jeopardy pada pasien
CTO, terutama LM, dengan STEMI juga perlu dipertimbangkan.

IV. RINGKASAN
Telah dilaporkan laporan kasus tentang pasien dengan STEMI anteroseptal
yang dilakukan revaskularisasi lesi IRA dan CTO pada arteri koroner left main
pada prosedur IKPP. Keadaan ini merupakan keadaan “bahaya berganda” bagi
pasien dimana perlu dipertimbangkan matang-matang mengenai manfaat tindakan
ini. Hingga kini belum ada panduan khusus yang menyatakan boleh tidaknya

18
tindakan revaskularisasi CTO LM dilakukan pada keadaan sindrom koroner akut
dan IKPP. Sejauh ini studi besar mengenai revaskularisasi MVD pada STEMI
yang ada hanya mencapai keadaan MVD yang kurang kompleks. Bukti
revaskularisasi CTO pada STEMI hanya sebatas pengalaman klinis. Namun
beberapa pendapat memperbolehkan tindakan ini, tidak mustahil untuk dilakukan
selama terdapat penilaian klinis yang kuat dan pengalaman operator.

V. SUMMARY
We reported a case report of anteroseptal STEMI who underwent IRA
lesion revascularization and CTO in the left main coronary artery in the primary
PCI. This situation was called a "double jeopardy" situation for the patient, that it
had to be considered carefully regarding the benefits of the procedure. For our
knowledge, there had been no specific guideline that states whether LM CTO
revascularization, especially in primary PCI setting, is appropriate or not. So far,
a large study of MVD revascularization in primary PCI had only studied until less
complex MVD. Evidence of CTO revascularization in STEMI was limited to
clinical experiences. However, some opinions might allow this procedure, and it
was not impossible to do, as long as there was strong clinical judgement and good
enough operator experience.

19
Daftar Pustaka

1. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 4 ed. Juzar D, editor.


Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2018.
2. Leone AM, Giubilato S, De Caterina AR. Recanalization of a chronic total
occlusion in ST-segment elevation myocardial infarction patients: why and
when? Intev Cardiol. 2010;2(3):427-33.
3. Dave B. Recanalization of Chronic Total Occlusion Lesions: A Critical
Appraisal of Current Devices and Techniques. J Clin Diagn Res.
2016;10(9):OE01-OE7.
4. Patel S, Bailey SR. Revascularization Strategies in STEMI with Multivessel
Disease: Deciding on Culprit Versus Complete—Ad Hoc or Staged. Current
cardiology reports. 2017;19(10):93.
5. Park D-W, Clare RM, Schulte PJ, Pieper KS, Shaw LK, Califf RM, et al.
Extent, location, and clinical significance of non–infarct-related coronary
artery disease among patients with ST-elevation myocardial infarction.
Jama. 2014;312(19):2019-27.
6. Bangalore S, Toklu B, Stone GW. Meta-analysis of culprit-only versus
multivessel percutaneous coronary intervention in patients with ST-segment
elevation myocardial infarction and multivessel coronary disease. The
American journal of cardiology. 2018;121(5):529-36.
7. Wilar GI, Panda AL, Rampengan SH. Pengamatan 6 bulan terhadap
kejadian kardiovaskular mayor pada pasien dengan infark miokard akut
dengan elevasi segmen ST (STEMI) di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Januari-Desember 2017. Jurnal Medik dan Rehabilitasi.
2019;1(3):8.
8. Levine GN, Bittl JA. Focused update on primary percutaneous coronary
intervention for patients with ST-elevation myocardial infarction. JAMA
cardiology. 2016;1(2):226-7.
9. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H,
et al. 2017 ESC Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients presenting with ST-segment elevation: The Task Force

20
for the management of acute myocardial infarction in patients presenting
with ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC).
European heart journal. 2017;39(2):119-77.
10. Neumann F-J, Sousa-Uva M, Ahlsson A, Alfonso F, Banning AP,
Benedetto U, et al. 2018 ESC/EACTS guidelines on myocardial
revascularization. European Heart Journal. 2018;40(2):87-165.
11. Thiele H, Akin I, Sandri M, Fuernau G, De Waha S, Meyer-Saraei R, et al.
PCI strategies in patients with acute myocardial infarction and cardiogenic
shock. New England Journal of Medicine. 2017;377(25):2419-32.
12. Ozaki Y, Katagiri Y, Onuma Y, Amano T, Muramatsu T, Kozuma K, et al.
CVIT expert consensus document on primary percutaneous coronary
intervention (PCI) for acute myocardial infarction (AMI) in 2018.
Cardiovascular intervention and therapeutics. 2018:1-26.
13. Wald DS, Morris JK, Wald NJ, Chase AJ, Edwards RJ, Hughes LO, et al.
Randomized trial of preventive angioplasty in myocardial infarction. New
England Journal of Medicine. 2013;369(12):1115-23.
14. Hlinomaz O, Groch L, Polokova L, Lehar F, Vekov T, Griva M, et al.,
editors. Multivessel disease diagnosed at the time of primary PCI for
STEMI: complete revascularization versus conservative strategy. European
Heart Journal; 2015: Oxford University Press.
15. Kornowski R, Mehran R, Dangas G, Nikolsky E, Assali A, Claessen BE, et
al. Prognostic impact of staged versus “one-time” multivessel percutaneous
intervention in acute myocardial infarction: analysis from the HORIZONS-
AMI (harmonizing outcomes with revascularization and stents in acute
myocardial infarction) trial. Journal of the American College of Cardiology.
2011;58(7):704-11.
16. Saad M, Rashed A, El-Haddad M, Elkilany W, Wadee B, Nassar A. Staged
versus Multi-vessel Revascularization in Primary Percutaneous Coronary
Intervention for Acute ST segment Elevation Myocardial Infarction based
on Peri-procedural Revascularization Success Rate: A Pilot Study. JACC:
Cardiovascular Interventions. 2015;8(2 Supplement).

21
17. Scanlon PJ, Faxon DP, Audet A-M, Carabello B, Dehmer GJ, Eagle KA, et
al. ACC/AHA guidelines for coronary angiography: a report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force
on Practice Guidelines (Committee on Coronary Angiography) developed in
collaboration with the Society for Cardiac Angiography and Interventions.
Journal of the American College of Cardiology. 1999;33(6):1756-824.
18. van der Schaaf RJ, Vis MM, Sjauw KD, Koch KT, Baan Jr J, Tijssen JG, et
al. Impact of multivessel coronary disease on long-term mortality in patients
with ST-elevation myocardial infarction is due to the presence of a chronic
total occlusion. The American journal of cardiology. 2006;98(9):1165-9.
19. Moreno R, Conde C, Perez-Vizcayno M-J, Villarreal S, Hernandez-Antolin
R, Alfonso F, et al. Prognostic impact of a chronic occlusion in a noninfarct
vessel in patients with acute myocardial infarction and multivessel disease
undergoing primary percutaneous coronary intervention. The Journal of
invasive cardiology. 2006;18(1):16-9.
20. Claessen BE, van der Schaaf RJ, Verouden NJ, Stegenga NK, Engstrom
AE, Sjauw KD, et al. Evaluation of the effect of a concurrent chronic total
occlusion on long-term mortality and left ventricular function in patients
after primary percutaneous coronary intervention. JACC: Cardiovascular
Interventions. 2009;2(11):1128-34.
21. Shi G, He P, Liu Y, Lin Y, Yang X, Chen J, et al. Evaluation of the effect of
concurrent chronic total occlusion and successful staged revascularization
on long-term mortality in patients with ST-elevation myocardial infarction.
The Scientific World Journal. 2014;2014.
22. Henriques JP, Hoebers LP, Råmunddal T, Laanmets P, Eriksen E, Bax M, et
al. Percutaneous intervention for concurrent chronic total occlusions in
patients with STEMI: the EXPLORE trial. Journal of the American College
of Cardiology. 2016;68(15):1622-32.
23. Gershlick AH, Khan JN, Kelly DJ, Greenwood JP, Sasikaran T, Curzen N,
et al. Randomized trial of complete versus lesion-only revascularization in
patients undergoing primary percutaneous coronary intervention for STEMI

22
and multivessel disease: the CvLPRIT trial. Journal of the American
College of Cardiology. 2015;65(10):963-72.
24. Tong J, Yu Q, Li C, Shao X, Xia Y. Successful revascularization of
noninfarct related artery with chronic total occlusion among acute
myocardial infarction patients: A systematic review and meta-analysis.
Medicine. 2018;97(3).
25. Watanabe H. Chronic total occlusion in non-infarct-related artery is closely
associated with increased five-year mortality in patients with ST-segment
elevation acute myocardial infarction undergoing primary percutaneous
coronary intervention (From the CREDO-Kyoto AMI registry). 2017.
26. Berry C. Complete revascularisation should be performed the index
procedure in STEMI = YES. ESC Congress 2018; Muenchen.
27. Indolfi C, editor Revascularization in STEMI: Culprit-only or Complete?
ESC Congress; 2018; Muenchen.
28. Ge J-b. Current status of percutaneous coronary intervention of chronic total
occlusion. Journal of Zhejiang University SCIENCE B. 2012;13(8):589-
602.
29. Rinfret S. Percutaneous intervention for coronary chronic total occlusion. 1
ed. Switzerland: Springer; 2016.
30. Kanabar K, Mehrotra S, Rajan P. Ostial left main coronary artery chronic
total occlusion presenting as chronic stable angina. Indian heart journal.
2018;70(5):745-9.
31. Burgazli KM, Bilgin M, Soydan N, Chasan R, Erdogan A. Acute left main
coronary artery occlusion. Pakistan journal of medical sciences.
2013;29(1):216.
32. Rahadiyan T, Oktaviono YH. TCTAP C-114 Chronic Total Occlusion of
Ostial Left Main Coronary Artery. Journal of the American College of
Cardiology. 2017;69(16 Supplement):S203-S4.
33. Sukardi ES, Firman D, Haryono N, Soerianata S. TCTAP C-070 Chronic
Total Occlusion (CTO) of Ostial Left Main Coronary Artery (LMCA).
Journal of the American College of Cardiology. 2018;71(16):S138-S9.

23
34. Maeremans J, Walsh S, Knaapen P, Spratt JC, Avran A, Hanratty CG, et al.
The hybrid algorithm for treating chronic total occlusions in Europe: the
RECHARGE registry. Journal of the American College of Cardiology.
2016;68(18):1958-70.

24

Anda mungkin juga menyukai