Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gagal ginjal akut (Acute Kidney Injury,AKI) merupakan komplikasi serius pada
penyakit kritis dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi jangka pendek dan jangka
panjang. Insiden AKI dilaporkan pada pasien penyakit kritis sangat bervariasi. (1)

Gagal ginjal akut (Acute Kidney Injury,AKI) berkontribusi pada tingginya angka
mortalitas pada syok kardiogenik. Pasien dengan infark miokard yang menjalani primary PCI
memiliki risiko tambahan untuk AKI yang terkait dengan paparan terhadap zat kontras atau
obat lain dan insiden komplikasi perdarahan yang lebih tinggi. Dalam uji coba SHOCK, 13%
pasien yang direvaskularisasi awal dan 24% yang diobati dengan terapi medis awal dapat
mengalami AKI. Baru-baru ini Marenzi dkk melaporkan 55% kejadian AKI pada pasien syok
kardiogenik dengan ST elevasi miocardial infarction (STEMI). (2)

Pada tahun 2004 definisi AKI menggunakan definisi risiko (risk), cedera (injury),
kegagalan (failure), kehilangan (loss) dan stadium akhir (End-stage) yang disingkat dengan
RIFLE. Kriteria RIFLE menggunakan kriteria kreatinin serum dan jumlah urin. Pada tahun
2007, Acute Kidney Injury Network (AKIN) dan Kidney Disease Improving Global
Outcomes (KDIGO) membagi menjadi tiga stadium. Pada RIFLE dan KDIGO, peningkatan
kreatinin terjadi dalam 7 hari, sedangkan pada AKIN terjadi dalam 48 jam. (1)

Pada AKI terjadi penurunan fungsi ginjal dari tingkat ringan sampai berat yang
membutuhkan Renal Replacement Therapy (RRT). Pada sebuah penelitian prospektif, 25%
pasien syok kardiogenik dengan AKI membutuhkan dialisis, dimana angka mortalitasnya
16% dibandingkan dengan pasien yang tidak memerlukan dialisis (62% vs 46%). (3) Standar
internasional dalam penanganan AKI yang membutuhkan dialisa di ICU adalah dengan
Intermittent Hemodialysis (IHD), dimana tingkat mortalitas di ICU lebih rendah pada pasien
yang dilakukan IHD (41,5%) daripada Continuous Renal Replacement Therapy (CRRT;
59,5%) (4)
1.2. Tujuan

Diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang penatalaksanaan gagal ginjal akut
pada syok kardiogenik dengan topangan hemodinamik tinggi yang dilakukan intemittent
hemodyalisis (IHD) sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas di rawatan
intensif.
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Seorang laki-laki umur 58 tahun datang ke RSUP M. Djamil dengan keluhan nyeri
dada sejak 5,5 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan berat di tengah dada, tidak
menjalar, dirasakan saat aktivitas durasi lebih dari 1 jam, disertai dengan keringat dingin,
mual dan muntah sampai 7 kali. Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada. Sesak nafas
disangkal, tidak ada riwayat sesak nafas sebelumnya dan tidak ada pembengkakan kaki.
Tidak ada keluhan berdebar-debar, tidak ada keluhan pusing maupun riwayat pingsan. Pasien
mempunyai faktor resiko penyakit jantung koroner antara lain; perokok aktif sebanyak 1
bungkus per hari selama lebih dari 30 tahun, DM tipe II tidak pernah kontrol, tidak ada
hipertensi, tidak ada riwayat keluarga yang mengalami sakit jantung, dislipidemia belum
diketahui. Pasien merupakan rujukan dari RSUD Pariaman dengan diagnosa STEMI inferior,
Total AV block, syok kardiogenik, sudah mendapat ASA 160 mg, clopidogrel 300 mg,
morfin 2,5 mg, sulfas atropin 0,5 mg sebanyak 4 kali dan drip dopamin 5 mcg/kg/menit.

Saat tiba di IGD RSUP M. Djamil, keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 95/55 mmHg , denyut jantung 30-40 kali/menit, laju nafas 20
kali/menit, suhu 37oC, saturasi oksigen 100%, skala nyeri dada 10/10. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan konjungtiva palpebra tidak tampak anemis, tekanan vena jugular 5+0 cm H 2O.
Suara jantung 1 dan 2 teratur, tidak ada murmur, tidak ada gallop. Suara nafas
bronkovesikuler, terdapat ronkhi kasar di lapangan paru kanan, tidak terdengar wheezing.
Akral dingin dan tidak ada oedema. Dari EKG didapatkan gambaran irama total AV block,
laju P 84 kali/menit, laju QRS 42 kali/menit, aksis normal, gelombang P dan PR interval
tidak dapat dinilai, durasi QRS 0,06 detik, ST elevasi 3-5 mm di II, III, aVF, ST depresi I,
aVL, aVR,V2,V4, V5, tidak ada LVH, tidak ada RVH, QTC 280 ms (Gambar 2.1 dan 2.2)

Hasil laboratorium menunjukkan kadar Hb 14,8 mg/dl, leukosit 17.160/lpb,


hematokrit 45%, trombosit 265.000/lpb. Gula darah sewaktu 531 mg/dl, tidak ada ketonuria,
ureum 21 mg/dl, kreatinin 2,3 mg/dl, kreatinin klirens 29,7 ml/menit. Natrium 136 mg/dl,
Kalium 4,3 mg/dl, Klorida 101 mg/dl, Kalsium 8,1 mg/dl. CKMB 84 μ/l, troponin I 5.956,5
ng/ml.
Gambar 2.1. EKG tanggal 2 September 2018 di RSUD Pariaman

Gambar 2.2. EKG tanggal 2 September 2018, 00.47 wib, di IGD RSUP M. Djamil

Pasien didiagnosa dengan STEMI inferior dan RV infark onset 5,5 jam TIMI 6/14,
Total AV block, syok kardiogenik, DM tipe II tidak terkontrol, AKI stage I dd/ CKD stage
IV. Diberikan NaCl 0,9% 2L/24 jam, drip norepinephrin 0,1 mcg/kg/menit, dopamin 5
mcg/kg/menit. Pasien direncanakan untuk primary PCI dan konsultasi ke bagian Penyakit
dalam.
Pasien gelisah dan tidak kooperatif, kemudian pasien diintubasi dengan premedikasi
midazolam total sampai 5 mg dan fentanyl 25 mcg. Namun saat akan dilakukan primary PCI,
terdapat kendala teknis sehingga tindakan primary PCI dibatalkan. Pasien dipidahkan ke
CVCU dan dilakukan pemasangan ventilator dengan mode SCMV(+), PEEP 5, RR 12, TV
480, I:E=1:2, FiO2 60%. Dilakukan pemeriksaan analisa gas darah 1 jam kemudian.

Pasien direncanakan untuk trombolitik, diberikan Alteplase bolus 15 mg selama 15


menit, dilanjutkan dengan dosis 0,75 mg/kg selama 30 menit kemudian 0,5 mg/kg selama 60
menit. Sebelum dimulai pemberian trombolitik, tekanan darah 122/88 mmHg, denyut jantung
96 kali/menit, saturasi oksigen 100%.

Gambar 2.3. EKG setelah pemberian trombolitik

Selama pemberian trombolitik tekanan darah tidak stabil, meningkat sampai dengan
169/84 mmHg kemudian 30 menit setelahnya turun sampai dengan 91/65 mmHg. Nyeri dada
tidak dapat dinilai, tidak ada irama reperfusi yang tampak pada monitor, Setelah pemberian
trombolitik, tekanan darah 105/66 mmHg, denyut jantung 94 kali/menit. Dilakukan
pemeriksaan EKG ulang (Gambar 2.3): irama AF NVR, laju QRS 96 kali/menit, aksis LAD,
gelombang P dan interval PR sulit dinilai, durasi QRS 0,06 detik, ST elevasi turun 2-3 mm
dengan Q patologis di II, III, aVF, V3R, V4R. Kesan trombolitik berhasil. Kemudian pasien
diberikan enoxaparin 0,3 cc intravena dilanjutkan dengan 2x0,6cc subkutan. Terapi lainnya
yaitu ASA 1x80 mg, clopidogrel 1x75 mg, atorvastatin 1x40 mg, norepinephrine 0,1
mcg/kg/menit dan dopamin 5mcg/kg/menit dan drip insulin intravena.

Nilai analisa gas darah 1 jam setelah pemasangan ventilator; pH 7,20, PCO2 30
mmHg, PO2 339 mmHg, HCO3 11,7 mmol/L, BE -16,3 mmol/L, saturasi O 2 100%. Setting
ventilator diganti dengan SIMV, P control 5, PEEP 5, I:E = 1:2, FiO2 50%.

Gambar 2.4. Rontgen dada

Dari pemeriksaan rontgen dada didapatkan gambaran CTR 50%, segmen aorta
normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung ada, apeks tertanam, infiltrat di paru
kanan, kranialisasi tidak ada. Kemudian pasien dikonsulkan ke bagian Paru dengan suspek
CAP. Dari bagian Paru, pasien didiagnosa sebagai CAP dengan sepsis, mendapat terapi
meropenem 3x500mg, methyl prednisolon 2x125 mg, n acetyl sistein nebu 2x/hari.

Hasil konsultasi dari bagian Penyakit Dalam; DM tipe II tidak terkontrol, AKI stage I
ec pre renal ec dehidrasi. Anjurannya pemberian drip insulin dan rehidrasi dengan NaCl 0,9%
1500cc/24 jam, dan cek ulang ureum dan kreatinin per 3 hari.
Hari ke 2 rawatan, tekanan darah 70/40 mmHg, denyut jantung 88 kali/menit, urin
keluar hanya 85 cc/24 jam. Hasil laboratorium, ureum 36 mg/dl, kreatinin 2,5 mg/dl.
Diberikan cairan NaCl 0,9% 2L/menit, topangan hemodinamik dengan norepinephrin 0,2
mcg/kg/menit dinaikkan sampai dengan 0,6 mcg/kg/menit, dobutamin dimulai dengan 5
mcg/kg/menit naik bertahap sampai dengan 10 mcg/kg/menit.. Analisa gas darah
menunjukkan pH 7,11, PCO2 41 mmHg, PO2 180 mmHg, HCO3 13,0 mmol/L, BE -16,5
mmol/L, SaO2 99%. Setting ventilator diganti dengan BIPAP, P control 12, Ps 10, RR 12,
FiO2 40%. Setelah dikoreksi Bicnat 150 mEq, analisa gas darah berubah menjadi pH 7,30,
PCO2 22 mmHg, PO2 185 mmHg, HCO3 10,8 mmol/L, BE -15,6 mmol/L, SaO 2 100%.
Keluar residu coklat kehitaman dari nasogastric tube (NGT) sebanyak 50 cc. Pasien
mengalami stress ulcer, diberikan drip Lansoprazole 8 mg/jam, Sukralfat 3x10 cc,
Enoxaparin dihentikan. Dosis terapi topangan diturunkan, norepinephrine menjadi 0,35
mcg/kg/menit.

Hari ke tiga rawatan, tekanan darah 100/48 mmHg, denyut jantung 72 kali/menit,
EKG atrial fibrilasi. Pasien dilakukan PCI rutin, dengan loading ASA 80 mg, Ticagrelor 180
mg. Hasil angiografi menunjukkan LM normal, stenosis 60-70% di proksimal LAD lesi tipe
B, stenosis 80-90% di distal LCX lesi tipe B, stenosis 60-70% di oasteal-proksimal RCA lesi
tipe B, thrombus burden garde II. Dilakukan pemasangan 1 stent DES di osteal sampai
dengan proksimal RCA pada CAD 3 VD (incomplete di proksimal LAD dan distal LCX)
dengan trombus burden grade II. Setelah PCI tekanan darah cenderung turun, urin tidak
keluar. Hasil laboratorium 6 jam setelah PCI, ureum 104 mg/dl, kreatinin 7,2 mg/dl. Terapi
topangan dinaikkan, norepinephrine dinaikkan secara bertahap mencapai 0,6 mcg/kg/menit,
dobutamin 10 mcg/kg/menit. Analisa gas darah menunjukkan pH 7,33, PCO 2 30 mmHg, PO2
164 mmHg, HCO3 15,8 mmol/L, BE -10,1 mmol/L, SaO 2 99%. Setting ventilator menjadi
PCV(+), PC 12, PEEP 5, RR 12, I:E 1:2, FiO2 40%.

Hari rawatan ke empat, tekanan darah 102/57 mmHg, denyut jantung 99 kali/menit
dengan topangan dobutamin 10 μg/kg/menit, norepinephrine 0,8 μg/kg/menit. Gambaran
EKG menunjukkan adanya perubahan irama dari atrial fibrilasi menjadi irama sinus dengan
laju QRS 96 kali/menit, gelombang P normal, interval PR 0,16 ms, durasi QRS 0,06 ms,
gelombang Q di II, III, aVF. Urin tidak keluar, konsultasi ulang ke bagian Penyakit Dalam
dengan jawaban AKI stage III ec prerenal ec contrast induced. Anjuran pemberian IVFD
NaCl 0,9% 2L/24 jam dan persiapan untuk hemodialisa.
Pasien juga dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dengan hasil; fungsi sistolik global
LV menurun, EF 43% (simpson), hipokinetik mid inferolateral, basal inferoseptal, mid
inferior, basal anteroseptal, apikoseptal, segmen lain normokinetik. LVH konsentrik
remodelling dengan disfungsi diastolik LV gangguan relaksasi, katup-katup baik,
kontraktilitas RV baik (TAPSE 1,8), efusi perikard minimal di sekeliling ruang jantung, efusi
pleura sinistra.

Gambar 2.4. EKG tanggal 4 September 2018

Hari rawatan ke lima, tekanan darah 108/61 mmHg, denyut nadi 101 kali/menit,
dengan topangan dobutamin 15 μg/kg/menit, norepinephrin 0,8 μg/kg/menit. Diuresis 0,2
cc/kg/jam, kemudian diberikan furosemide 10mg/jam dan dopamin 3 μg/kg/menit. Pasien
dilakukan pemeriksaan ekokardiografi hemodinamik dengan hasil volume sekuncup 28 ml,
curah jantung 2,8 L/menit, resistensi vaskular sistemik 1.692 dyne/sec/cm 5. Hasil
laboratorium menunjukkan adanya peningkatan ureum menjadi 185 mg/dl dan kreatinin 9,7
mg/dl.

Hari rawatan ke tujuh, urin masih belum keluar, kadar ureum darah semakin
meningkat menjadi 268 mg/dl, kreatinin 13 mg/dl. Dilakukan pemasangan Catheter Double
Lumen (CDL) di kamar operasi. Konsultasi ulang ke bagian Penyakit Dalam untuk
hemodialisa segera.

Hari rawatan ke delapan, tekanan darah 120/67 mmHg, denyut nadi 102 kali/menit
dengan topangan dobutamin 15 μg/kg/menit dan norepinephrin 0,2 μg/kg/menit. Dilakukan
hemodialisa selama 2 jam, tanpa heparin, dengan UFG 500 mL, QB 150 ml/menit. Selama
hemodialisa berlangsung, hemodinamik stabil dengan dosis topangan yang sama.
Hari rawatan ke sembilan, tekanan darah 130/72 mmHg, denyut jantung 96
kali/menit, dosis topangan sudah mulai diturunkan secara bertahap. Diuresis mulai meningkat
sampai dengan 0,9 cc/kg/jam.

Hari rawatan ke sepuluh, tekanan darah 121/66 mmHg, denyut nadi 102 kali/menit,
tanpa topangan. Analisa gas darah menunjukkan pH 7,49, PCO 2 28,2 mmHg, PO2 133,6
mmHg, HCO3 22,7 mmol/L, BE -1,3 mmol/L, SaO2 99,3%. Pasien direncanakan untuk
penyapihan ventilator dan ekstubasi.

Hari rawatan ke dua belas, tekanan darah 135/71 mmHg, denyut nadi 98 kali/menit,
ureum 297 mg/dl, kreatinin 9,1 mg/dl. Dilakukan hemodialisa ulang selama 2,5 jam tanpa
heparin, dengan UFG 500 ml, QB 170 ml/menit.

Hari rawatan ke empat belas, tekanan darah 136/64 mmHg, denyut jantung 90
kali/menit, diuresis 1 cc/kg/menit, ureum 222 mg/dl, kreatinin 5,7 mg/dl. Pasien dipindahkan
ke bangsal jantung.

Hari rawatan ke lima belas sampai dengan ke sembilan belas, kondisi semakin
membaik, sudah mulai ada kontak, dilakukan rehabilitasi. Pada hari rawatan ke duapuluh
pasien dipulangkan dengan rencana hemodialisa dua kali seminggu.
BAB III

DISKUSI

Seorang laki-laki berumur 58 tahun masuk ke RSUP M. Djamil Padang dengan


diagnosa STEMI inferior dan RV infark , TIMI 5/14 onset 5,5 jam, syok kardiogenik, TAVB,
DM tipe II, CAP dengan sepsis, AKI stage III ec prerenal, stress ulcer, hipokalsemia,
hipokalemia, hipoalbuminemia. Pasien dengan ventilator mekanik dan obat-obatan topangan
dosis tinggi, sudah dilakukan trombolitik dan PCI, terjadi perburukan fungsi ginjal kemudian
dilakukan hemodialisa. Setelah menjalani IHD (intermittent hemodyalisis) tampak perbaikan
secara klinis sampai akhirnya pasien dapat dilepas dari ventilator dan pulang dalam kondisi
stabil.

Perjalanan penyakit pada pasien tersebut diawali oleh STEMI inferior dan RV infark
yang sudah berlangsung selama 5,5 jam kemudian disertai dengan syok kardiogenik, sudah
mendapat tatalaksana awal di rumah sakit daerah sebelum dirujuk. Makanisme ini dapat
dijelaskan sebagai berikut; infark ventrikel kanan dapat membatasi pengisian jantung kiri
melalui penurunan curah jantung, interdependensi ventrikel atau keduanya. Tatalaksana
pasien dengan disfungsi ventrikel kanan dan syok terfokus pada pemberian tekanan pengisian
jantung kanan yang adekuat untuk mempertahankan curah jantung dan preload jantung kiri
yang adekuat. Namun pasien dengan syok kardiogenik karena disfungsi ventrikel kanan
mempunyai tekanan akhir diastolik ventrikel kanan yang sangat tinggi, sering melebihi 20
mmHg. Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kanan ini menyebabkan septum
interventrikel menggelembung ke ruang ventrikel kiri, yang dapat meningkatkan tekanan
atrium kiri sehingga mengganggu pengisian ventrikel kiri. Perubahan geometri ini pada
akhirnya menyebabkan fungsi sistolik ventrikel kiri terganggu. (5)

Penanganan awal terhadap syok kardiogenik akibat RV infark adalah dengan bolus
cairan untuk mempertahankan preload, menurunkan afterload ventrikel kanan (tekanan vena
pulmonal), menangani bradikardia dan mempertahankan sinkroni atrioventrikular. (6)
Pemberian bolus cairan disertai dengan penilaian cardiac output secara invasif atau
noninvasif (500-1000 ml). Obat-obatan yang selanjutnya diberikan adalah inotropik yang
dapat meningkatkan kontraktilitas dan cardiac output, vasopressor yang dapat meningkatkan
tekanan perfusi ventrikel kanan. Dobutamin merupakan obat inotropik tradisional yang
digunakan pada gagal pompa jantung, bekerja melalui reseptor β1 meningkatkan
kontraktilitas miokard, namun dapat menyebabkan hipotensi melalui stimulasi β2 perifer,
kadang-kadang membutuhkan penambahan vasokonstriktor perifer (contohnya
norepinephrine). Norepinephrine meningkatkan inotropik melalui β1 agonis bersamaan
dengan stimulasi reseptor α1 yang dapat meningkatkan tekanan perfusi ventrikel kanan (7)
Pada kasus ini, resusitasi cairan sudah dilakukan sehingga tekanan darah dapat naik ke 95/55
mmHg, namun bertentangan dengan literatur di atas, topangan awal yang diberikan adalah
norepinephrine, pemberian dobutamin baru dilakukan di hari ke dua rawatan dimana tekanan
darah pasien sudah mengalami penurunan drastis.

Pada kasus ini, pasien juga mengalami gagal ginjal akut sebagai komplikasi dari syok
kardiogenik yang tidak teratasi. Cedera iskemia-reperfusi dan syok kardiogenik berhubungan
seperti lingkaran setan, curah jantung yang rendah, tekanan darah rendah dan kompensasi
resistensi vaskular sistemik yang tinggi yang menyebabkan gagal organ-organ, salah satunya
gagal ginjal akut. Lebih lanjut, pasien infark miokard yang dilakukan tindakan Percutaneus
Coronary Intervention (PCI) mempunyai resiko tambahan terhadap paparan zat kontras dan
komplikasi perdarahan yang lebih tinggi. Pada penelitian SHOCK, 13% pasien yang
dilakukan revaskularisai awal dan 24% pasien yang diberikan terapi inisial mengalami gagal
ginjal akut dimana kreatinin serum meningkat sampai 3 mg/dl. (2)

Pedoman KDIGO 2012 mendefinisikan AKI sebagai berikut: (8)

1. Peningkatan kreatinin serum ≥0,3 mg/dl (≥26,5μmol/l) dalam 48 jam, atau


2. Peningkatan kreatinin serum ≥1,5 kali dari baseline, yang diketahui atau diduga
terjadi dalam 7 hari pertama, atau
3. Volume urin <0,5 ml/kg/jam dalam 6 jam.

Tabel 3.1. Kriteria AKI menurut KDIGO 2012: (8)


Stage Kreatinin serum Volume urin
1 1,5-1,9 kali dari baseline,atau <0,5 ml/kg/jam dalam 6-12 jam
meningkat ≥0,3 mg/dl (≥26,5μmol/L)
2 2,0-2,9 kali dari baseline <0,5 ml/kg/jam selama ≥12 jam
3 3,0 kali dari baseline, atau <0,3 ml/kg/jam selama ≥24 jam
Peningkatan kreatinin serum ≥4,0 mg/dl Atau
(≥353,6 μmol/l),atau Anuria ≥12 jam
Inisiasi RRT,atau
Pasien <18 tahun, turunnya eGFR sampai
<35 ml/menit per 1,73 m2
Berdasarkan tingkat keparahannya, KDIGO 2012 membagi 3 tingkatan berdasarkan
kriteria kadar kreatinin serum dan volume urin (Tabel 3.1). (8) Pada pasien ini kreatinin
serum awal 2,3 mg/dl kemudian meningkat menjadi 7,2 mg/dl di hari rawatan ke tiga, dimana
sudah dilakukan tindakan PCI. Di sini diagnosa AKI didifferensial diagnosa dengan contrast-
induced AKI (CI-AKI), karena terjadi peningkatan kreatinin serum >3 kali dari baseline
setelah terpapar kontras. Definisi CI-AKI menurut KDIGO 2012 yaitu terjadi peningkatan
kreatinin serum ≥0,5 mg/dl (≥44μmol/l) atau peningkatan 25% dari nilai awal, yang dinilai
dalam 48 jam setelah tindakan radiologis. (8) Berdasarkan definisi tersebut, kasus pasien ini
ditegakkan sebagai AKI bukan sebagai CI-AKI, karena peningkatan kreatinin serum sudah
terjadi sebelum 48 jam paska tindakan PCI.
Tatalaksana AKI pada prinsipnya mengoptimalkan status hemodinamik dan
mengatasi defisit cairan yang berdampak mengurangi cedera ginjal lebih lanjut. (9) Jumlah
dan pemilihan cairan masih kontroversial. Cairan kristaloid bermanfaat dalam tatalaksana
defisit cairan intravaskular awal. Pada penelitian SAFE yang membandingkan pemakaian
human albumin 4% dengan NaCl 0,9%, menyatakan bahwa pemberian albumin aman tetapi
tidak lebih efektif dari larutan isotonik. (8) Sesuai dengan literatur di atas, pada kasus ini,
pemberian cairan NaCl 0,9% diberikan sebanyak 3L/24 jam, namun tidak ada perbaikan
kadar kreatinin serum maupun jumlah urin yang keluar.
Pemberian vasopressor paling efektif dalam menangani AKI. Sebuah penelitian telah
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kreatinin klirens setelah 6-8 jam pemberian
norepinephrine. (8) Namun, pada penelitian lain yang membandingkan pemakaian dopamin
dan norepinephrine sebagai vasopressor awal pada pasien dengan syok tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan dalam fungsi ginjal atau mortalitas. Lebih lanjut pada penelitian
lain menyatakan bahwa pemberian dopamin pada pasien syok kardiogenik berhubungan
dengan tingkat kejadian aritmia yang lebih tinggi, tetapi tidak pada syok sepsis atau
hipovolemik. (8) Pada kasus ini, pemberian norepinephrine sudah dimulai sejak awal rawatan
namun tidak ada perbaikan terhadap fungsi ginjal pasien tersebut, karena kreatinin serum
meningkat sedikit dari 2,3 mg/dl menjadi 2,5 mg/dl pada hari ke dua rawatan. Pasien ini juga
sudah mendapat dobutamin dari awal rawatan, namun komplikasi terjadinya aritmia tidak
dapat dinilai, karena saat masuk rumah sakit, EKG menunjukkan total AV block sebagai
akibat dari STEMI inferior dan RV infark yang dideritanya.

Setelah pemberian cairan, obat-obat topangan dosis tinggi dan diuretik yang agresif
tidak mampu mengatasi kelebihan cairan pada pasien ini, pasien dikonsulkan ke bagian
Penyakit Dalam untuk dilakukan hemodialisa segera. Karena menurut indikasi klasik untuk
dilakukannya RRT segera pada pasien dengan AKI adalah: (10)
1. Kelebihan cairan yang sulit diatasi
2. Hiperkalemia berat (konsentrasi kalium plasma > 6,5 mEq/L) atau terjadi peningkatan
kadar kalium yang sangat cepat
3. Tanda-tanda uremia, seperti perikarditis, ensefalopati atau penurunan kesadaran yang
tidak dapat dijelaskan
4. Asidosis metabolik berat (pH<7,1)
5. Intoksikasi alkohol dan obat-obatan tertentu.

Waktu yang tepat untuk memulai RRT ini masih kontroversial, beberapa peneliti
menyarankan untuk tidak melakukan RRT terutama jika kadar ureum darah <110 mg/dL.
(10) Berdasarkan pernyataan tersebut, seharusnya pada pasien ini sudah harus dilakukan RRT
pada hari ke lima rawatan dimana kadar ureum darah sudah mencapai 185 mg/dL. Namun,
beberapa penelitian besar menyatakan bahwa tidak ada keuntungan jika dilakukan RRT lebih
awal (6 jam setelah AKI berat ditegakkan) dibandingkan dengan RRT yang tertunda (>72
jam setelah terjadi peningkatan ureum darah >112 mg/dL atau anuria. Mortalitas antara
pasien yang dilakukan RRT awal dan yang tertunda tidak berbeda (48,5% vs 49,7%). (11)

Terdapat beberapa modalitas RRT, diantaranya IHD, CRRT, dialisa peritonium dan
terapi campuran seperti Sustained Low-Efficinecy Hemodialysis (SLED). Tidak ada data
yang mendukung dalam pemilihan modalitas, tergantung keahlian dan fasilitas setempat.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa tingkat survival dan pemulihan fungsi ginjal sama
antara CRRT dan IHD. Panduan dari KDIGO menyarankan untuk menggunakan IHD atau
CRRT sebagai terapi tambahan untuk AKI. (10)

Pada pasien-pasien dengan hemodinamik tidak stabil, pemakaian CRRT lebih


menguntungkan daripada IHD. CRRT dapat meningkatkan stabilitas hemodinamik, hal ini
berhubungan dengan kecepatan pengeluaran volume dan larutan yang lebih lambat,
pengeluaran garam dan cairan yang lebih konsisten sehingga memungkinkan tatalaksana
yang unggul pada pasien dengan kelebihan volume dan kebutuhan nutrisi dengan
hemodinamik yang tidak stabil, (12) (13) akan tetapi hal ini tidak terbukti pada sebuah uji
coba random. CRRT mempunyai beberapa kelemahan, yaitu kebutuhan untuk sirkuit
antikoagulan dan monitoring, immobilitas pasien, keperawatan intensif dan besarnya biaya
yang harus dibayar. (14)
Hipotensi merupakan salah satu komplikasi yang berhubungan denngan IHD, terjadi
sekitar 20-30% dari semua modalitas. Beberapa penyebabnya adalah yang berhubungan
dengan dialisa, seperti volume pengeluaran yang terlalu banyak atau terlalu cepat, perubahan
dalam osmolalitas plasma dan gangguan otonom. Pada pasien dengan penyakit kritis yang
hemodinamiknya tidak stabil, harus dikurangi komplikasi ini, karena dapat menyebabkan
iskemia dan cedera organ yang lebih berat. (15)

Dosis pada IHD tergantung dosis yang diberikan setiap sesi dan frekuensi sesi
tersebut. Tidak ada data yang mengevaluasi efek perbedaan dosis setiap sesi IHD dengan
jadwal yang tetap. Beberapa peneltian menduga bahwa dosis berdampak pada pasien dengan
tingkat keparahan penyakit yang sedang. Contohnya, penelitian retrospektif pada 844 pasien
di ICU dengan AKI yang menggunakan Kt/V sebagai pengukuran dosis pada IHD, terjadi
peningkatan angka survival dengan Kt/V yang lebih tinggi (>1) di antara pasien dengan
keparahan penyakit tingkat sedang. (16)

Pada penelitian lain yang mengevaluasi dampak frekuensi IHD terhadap hasil, 160
pasien dilakukan hemodialisa harian atau dua hari sekali. Dibandingkan dengan dialisa 2 hari
sekali, dialisa harian mempunyai penuruna angka mortalitas yang lebih signifikan, episode
hipotensif yang lebih rendah selam hemodialisa, dan penyembuhan AKI yang lebih cepat.
Pada grup yang dilakukan dialisa 2 hari sekali mendapat dosis Kt/V yang rendah (0,94 per
dialisa). Sedangkan pada grup yang dilakukan hemodialisa harian mendapat dosis yang sama
namun dua kali lebih sering. Hal ini menunjukkan terapi yang inadekuat berhubngan dengan
peningkatan mortalitas. (17)

Panduan dari KDIGO menyarankan dosis Kt/V 3,9 per minggu untuk pasien yanag
dilakukan IHD. Dosis ini dapat dibagi untuk 3 kali sesi dalam seminggu. Jika dosis minimum
tercapai, tidak ada bukti bahwa dengan meningkatkan frekuensi hemodialisa mempunyai
hasil yang lebih baik, kecuali adanya indikasi akut (contohnya hipokalemia). Sebaliknya, jika
dosis minimum tidak dapat tercapai dalam 3 kali seminggu, frekuensi dapat ditingkatkan lagi.
(8)

Pada kasus ini, pasien dilakukan IHD selama 2 jam, tanpa heparin, dengan UFG 500
mL, QB 150ml/menit. Pemakaian antikoagulan merupakan komponen yan penting dalam
terapi RRT untuk mencegah aktivasi trombosit, mediator inflamasi dan protrombotik saat
darah melewati sirkuit. Tetapi antikoagulan sistemik kontraindikasi pada pasien dengan
resiko tinggi perdarahan. Karena durasi yang lebih pendek dan aliran darah yang lebih tinggi ,
memungkinkan untuk melakukan IHD tanpa antikoagulan terutama pada pasien dengan
koagulopati. Pada dialisa bebas heparin, aliran darah dipertahankan antara 250-500 ml/menit
dan normal salin didorong setiap 15-30 menit ke arteri tempat sirkuit dipasang untuk
meminimalkan hemokonsentrasi dan membilas benang-benang fibrin dari ginjal. (15)

RRT biasanya dilanjutkan sampai pasien menunjukkan tanda-tanda perbaikan fungsi


ginjal. Pada pasein dengan oliguria, manifestasi klinis perbaikan fungsi ginjalnya adalah
meningkatnya pengeluaran urin spontan ≥1.000 ml/24 jam (atau ≥2.000 mL/24 jam dengan
diuretik) minimal 24 jam tanpa RRT. (18) Kriteria lain yaitu penurunan progresif kadar
kreatinin serum atau penilaian yang lebih objektif dengan mengukur kreatinin klirens. (19)
Pada kasus ini, pasien mengalami perbaikan fungsi ginjal setelah dilakukan IHD yang
pertama, jumlah urin yang keluar semakin meningkat, 1.142 ml/24 jam, kreatinin darah dari
13,0 mg.dl turun menjadi 9,7 mg/dl dalam 24 jam. Setelah dilakukan IHD yang ke dua, yaitu
5 hari kemudian, jumlah urin yang keluar 2200 ml/24 jam dan kreatinin turun 5,7 mg/dl.
Dosis obat-obatan topangan diturunkan secara bertahap, hari rawatan ke 12 obat-obatan
tersebut dapat dihentikan dengan kondisi hemodinamik yang stabil.
BAB III

PENUTUP

Syok kardiogenik yang tidak segera diatasi dapat mengakibatkan berbagai komplikasi,
diantaranya AKI. Penyebab AKI karena syok kardiogenik harus dapat dibedakan dengan CI-
AKI karena fungsi ginjal sama-sama memburuk, yang berbeda hanya dari onset terjadinya
perburukan. Pentingnya dilakukan pencegahan terhadap perburukan AKI setelah terpapar zat
kontras saat PCI. AKI yang tidak dapat teratasi dengan obat-obatan agresif diindikasikan
untuk dilakukan hemodialisa segera. Salah satu modalitas untuk hemodialisa adalah IHD,
walaupun dengan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan dosis tertentu IHD mempunyai
keuntungan yang sama dengan CRRT. IHD merupakan suatu pilihan jika fasilitas setempat
tidak mempunyai CRRT.
DAFTAR PUSTAKA

1. Incidence, timing and outcome of AKI in critically ill patients varies with the definition used and the
addition of urine output criteria. Koeze J, Keus F, Dieperink W, van der Horst ICC, Ziljlstra JG, van
Meurs M. 70, 2017, BMC Nephrology, Vol. 18, hal. 1-9.

2. Fluid therapy and acute kidney injury in cardiogenic shock arter cardiac arrest. Adler C, Reuter H,
Seck, Hellmich M, Zobel C. 2013, Resuscitation, Vol. 84, hal. 194-199.

3. Acute kidney injury treated with renal replacement therapy and 5 year mortality after myocardial
infarction-related cardigenic shock: a nationwide population-based cohort study. Lauridsen MD,
Gammelager H, Schmidt M, Rasmussen TB, Shaw RE, Botker HE, dkk. 452, 2015, Vol. 19, hal. 1-11.

4. A randomized clinical trial of continuous versus intermittent dialysis for acute renal failure. Mehta
RL, Mcdonald B, Gabbai FB, Pahl M, Pascual MTA, Farkas A, dkk. 3, 2001, International Society of
Nephrology, Vol. 60, hal. 1154-1163.

5. Cardiogenic shock caused by right ventricular infarction. Jacobs AK, Leopold JA, Bates E, Mendes
LA, Sleeper LA, White H, dkk. 8, 2003, Journal of the American College of Cardiology, Vol. 41, hal.
1273-1279.

6. Contemporary management of cardiogenic shock. Deplen SV, Katz JN, Albert NM, Henry TD,
Jacobs AK, Kapur NK, dkk. 2017, Circulation, Vol. 136, hal. e232-e268.

7. Medical and surgical treatment of acute right ventricular failure. Lahm T, McCaslin CA, Wozniak
TC, Ghumman W, Fadl YY, Obeidat OS, dkk. 18, 2010, Journal of the American College of Cardiology,
Vol. 56, hal. 1-12.

8. KDIGO clinical practice guidelines for acute kidney injury. Kellum JA, Aspelin P, Barsoum RS,
Burdmann Emmanuel, Goldstein SL, Herzog CA, dkk. 1, 2012, Kidney International Supplement, Vol.
2, hal. 1-141.

9. Fluid accumulation, survival and recovery of kidney function in critically ill patients with acute
kidney injury. Bouchard J, Soroko SB, Chertow GM, Himmerfarlb J, Ikizler TA, Paganini EP, dkk. 4,
2009, Kidney International, Vol. 76, hal. 422.

10. Renal replacement therapy (dialysis) in acute kidney injury in adults: indications, timing and
dialysis dose. Palevsky, PM. 2018, Up to date.

11. Initiation strategies for renal-replacement therpay in the intensive care unit. Gaudry S, Hajage D,
Martin-Lefevre L, Pons B, Boulet E, Boyer A, dkk. 2, 2016, New England Journal Medicine, Vol. 375,
hal. 122.

12. A randomized controlled trial comparing intermittent with continuous dialysis in patients with
ARF. Augustine JJ, Sandy D, Seifert TH, Paganini EP. 6, 2004, American Journal Kidney Disease , Vol.
44, hal. 1000.

13. Prognostic value of early hemodynamic improvement in patients with acute kidney injury and
hemodynamic instability treated with continuous renal replacement therapy. Al Zayyat A, Selim K,
Rashad R, Mowafy H. 2018, The Egyptian Journal of Critical Care Medicine, Vol. 6, hal. 47-51.

14. The hemodynamic tolerability and feasibility of sustained low efficiency dialysis in the
management of critically ill patients with acute kidney injury. Fieghen HE, Friedrich JO, Burns KE,
Nisenbaum R, Adhikari NK, Hladunewich MA, dkk. 32, 2010, BMC Nephrology, Vol. 11, hal. 1-7.
15. Renal replacement therapy in the intensive care unit. Pannu N, Gibney RTN. 2005, Theurapeutics
and Clinical Risk Management, Vol. 2, hal. 141-150.

16. Establishing a dialysis therapy/patient outcome link in intensive care unitacute dialysis for
patients with acute renal failure. Peganini EP, Tapolyai M, Goomastic M. 3, 1996, Vol. 28, hal. S81.

17. Daily hemodialysis and the outcome of acute renal failure. schiffi H, Lang SM, Fischer R. 5, 2002,
New England Journal Medicine, Vol. 346, hal. 305.

18. Impact on mortality of the timing of renal replacement therapy in patients with severe acute
kidney injury in septic shock: the IDEAL-ICU study (initiation of dialysis early versus delayed in the
intensive care unit). Barbar SB, Binquet C, Monchi M, Bruyere R, Quenot JP. 2014, Trials Journal,
Vol. 15, hal. 270.

19. Intensity of renal support in critically ill patients with acute kidney injury. Palevsky PM, Zhang JH,
O'Connor TZ, Chertow GM, Crowley ST, Choudury D, dkk. 1, 2008, New England Journal Medicine,
Vol. 359, hal. 7.

20. Fluid therapy and acute kidney injury in cardiogenic shock after cardiac arrest. Adler C, Reuter H,
Seck C, Hellmich M, Zobel C. 2013, Resuscitation, Vol. 84, hal. 194-199.

Anda mungkin juga menyukai