Anda di halaman 1dari 64

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus:
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSAU ESNAWAN ANTARIKSA, HALIM PERDANAKUSUMA JAKARTA
Nama Mahasiswa
NIM

: SATRIO FADLULLAH
: 11-2015-091

Tanda Tangan
....................

Dr. Pembimbing : dr. Suryantini, Sp.PD


Dr Penguji : dr. Indraka Sp.Pd & dr. Mayorita Sp.PD

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. G
Usia : 35 tahun
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Satpam
Alamat :Jl. Gede, Depok

Jenis Kelamin :Laki-Laki


Suku Bangsa :
Agama : Katolik
Pendidikan : S1 Managemen
Tanggal masuk : 20 Mei 2016

ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis

Tanggal 22 Mei2016 Jam : 10 : 00 WIB

Keluhan utama :
Nyeri dada sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Os mengalami nyeri dada sejak 3 hari SMRS, nyeri dirasakan saat ditekan, menjalar dan
disertai sesak. Os juga mengeluh adanya demam (+) disertai batuk (+) berdahak dan pilek (+),
demam dirasakan naik turun, demam dirasakan naik pada saat malam hari. Os mengaku sudah
meminum paracetamol namuh demam belum ada perbaikan. Os juga mengatakan sering
mengalami demam dan diare sebelumnya.
Os mengatakan sakit kepala (+) post HD (hemodelisa). Os merupakan pasien HD yang
terjadwal senin dan kamis.Os mengaku sudah menjalani HD selama 11 tahun. Os meminum obat
rutin Astriol, CaCO3, dan Vitamin B secara teratur. Terdapat riwayat mengkonsumsi minuman
1

suplemen secara berlebih yang menurut pasien merupakan penyebab dirinya menderita penyakit
ginjal.
Os merupakan penderita HIV/AIDS sejak 6 bulan yang lalu, Os rutin mengkonsumsi
Lamivudin, Nevirapin dan Tenovafir secara teratur, terdapat riwayat transfusi yang menurut
pasien merupakan penyebab dirinya menderita HIV/AIDS. Os mengatakan makan dan minum
masih seperti biasa, BAK dan BAB normal.
Penyakit Dahulu
(-) Cacar

(-) Malaria

(-) Batu ginjal/Sal.kemih

(-) Cacar Air

(-) Dis entri

(-) Burut (Hemia)

(-) Difteri

(-) Hepatitis

(-) Penyakit prostate

(-) Batuk Rejan

(+) Tifus Abdominalis

(-) Wasir

(-) Campak

(-) Skirofula

(-) Diabetes

(+) Influenza

(-) Sifilis

(-) Alergi

(-) Tonsilitis

(-) Gonore

(-) Tumor

(-) Khorea

(-) Hipertensi

(-) Penyakit Pembuluh

(-) Demam Rematik Akut

(-) Ulkus Ventrikuli

(-) Pendarahan Otak

(-) Pneumonia

(-) Ulkus Duodeni

(-) Gastritis

(-) Psikosis

(-) Rhematoid Arthritis

Riwayat Keluarga
Hubungan
Kakek (ayah)
Nenek (ayah)
Kakek (ibu)
Nenek (ibu)
Ayah
Ibu
Saudara

Umur
(Tahun)
58
54
-

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
-

Keadaan

Penyebab

Kesehatan

Meninggal

Meninggal
Meninggal
Meninggal
Sehat
Sehat
Sehat
-

Peny. Jantung
-

Adakah Kerabat yang Menderita ?


Penyakit

Ya

Tidak

Hubungan

Alergi

Asma

Tuberkulosis

Artritis

Rematisme

Hipertensi

Jantung

Ginjal

Lambung

ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul

(-) Rambut

(+) Keringat Malam

(-) Kuku

(-) Kuning/Ikterus

(-) Sianosis

Kepala
(-) Trauma

(+) Sakit Kepala

(-) Sinkop

(-) Nyeri pada Sinus

(-) Nyeri

(-) Radang

(-) Sekret

(-) Gangguan Penglihatan

(-) Kuning/Ikterus

(-) Ketajaman Penglihatan menurun

Mata

Telinga
(-) Nyeri
(+) Sekret

(-) Gangguan Pendengaran

(-) Tinitus

(-) Kehilangan Pendengaran

Hidung
(-) Trauma

(-) Gejala Penyumbatan

(-) Nyeri

(-) Gangguan Penciuman

(-) Sekret

(+) Pilek

(-) Epistaksis

Mulut
(-) Bibir kering

(+) Lidah kotor

(-) Gusi berdarah

(-) Gangguan pengecapan

(-) Selaput

(-) Stomatitis

Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan

(-) Perubahan Suara


3

(-) Lain-lain

Leher
(-) Nyeri Leher

(-) Benjolan

Dada ( Jantung / Paru paru )


(+) Nyeri dada

(+) Sesak Napas

(-) Berdebar-debar

(-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe

(+) Batuk

Abdomen ( Lambung Usus )


(-) Rasa Kembung

(-) Wasir

(-) Perut Membesar

(-) Mual

(-) Mencret

(-) Muntah

(-) Tinja Darah

(-) Muntah Darah

(-) Tinja Berwarna Dempul

(-) Sukar Menelan

(-) Tinja Berwarna Ter

(-) Nyeri Ulu Hati

(-) Benjolan

Saluran Kemih / Alat Kelamin


(-) Disuria

(-) Kencing Nanah

(-) Stranguria

(-) Kolik

(-) Poliuria

(-) Oliguria

(-) Polakisuria

(-) Anuria

(-) Hematuria

(-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu

(-) Kencing Menetes

(-) Ngompol (tidak disadari) (-) Penyakit Prostat


Saraf dan Otot
(-) Anestesi

(-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi

(-) Ataksia

(-) Otot Lemah

(-) Hipo / Hiper-esthesi

(-) Kejang

(-) Pingsan

(-) Afasia

(-) Kedutan (tick)

(-) Amnesia

(-) Pusing (Vertigo)


(-) Gangguan bicara (Disartri)

Ekstremitas
(-) Bengkak

(-) Deformitas

(-) Nyeri sendi

(-) Sianosis

Berat Badan :
4

Berat badan rata rata (kg)

: 55 kg

Berat tertinggi kapan (kg)

: 70 kg

Berat badan sekarang

: 52 kg
RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran
Tempat lahir :(-) Di rumah (+) Rumah Sakit

(-) RS Bersalin

Ditolong oleh : (+) Dokter

(-) Dukun

(-) Bidan

(-) lain lain

Riwayat Imunisasi
(+) Hepatitis (+) BCG

(+) Campak

(+) DPT

(+) Polio

(+) Tetanus

Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari: 3x sehari

Jumlah / kali :1x porsi sedang

Variasi / hari: bervariasi

Nafsu makan : normal

Pendidikan
(-) SD

(-) SLTP

(-) SLTA

(-) Sekolah Kejuruan

(-) Akademi

(+) Universitas

(-) Kursus

(-)Tidak sekolah

Kesulitan
Keuangan

:tidak ada

Keluarga

: tidak ada

Pekerjaan

: ada

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan

: 160 cm

Berat Badan

:52 kg

IMT

: 20,3 kg/m2

Keadaan umum

:tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis

Tekanan Darah

:120/70 mmHg

Suhu

:39,3C

Nadi

:100x/menit

Pernafasaan

:28x/menit

Keadaan gizi

:cukup

Sianosis

: tidak ada

Edema umum

: tidak ada
5

Habitus

: astenikus

Cara berjalan

: tegak

Mobilitas ( aktif / pasif )

: aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa

: sesuai umur

Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku

: wajar

Alam Perasaan

: biasa

Proses Pikir

: wajar

Kulit
Warna

: sawo matang

Effloresensi

: tidak ada

Jaringan Parut

: tidak ada

Pigmentasi

:tidak ada

Pertumbuhan rambut

: merata

Pembuluh darah : tidak tampak pelebaran

Suhu Raba

: hangat

Lembab/Kering : lembab

Keringat

: umum (+)

Turgor

: baik

Ikterus

: tidak ada

Lapisan Lemak

: merata

Edema

: tidak ada

Lain-lain

:-

Kelenjar Getah Bening


Submandibula

: tidak teraba membesar

Leher : tidak teraba membesar

Supraklavikula

: tidak teraba membesar

Ketiak : tidak teraba membesar

Lipat paha

: tidak teraba membesar

Kepala
Ekspresi wajah

: tenang

Simetri muka

: simetris

Rambut

: hitam, tidak mudah rontok

Pembuluh darah temporal: teraba pulsasi


Mata
Exophthalamus

: tidak ada

Enopthalamus

: tidak ada

Kelopak

: oedem (-)

Lensa

: jernih

Konjungtiva

: anemis (+)

Visus

: normal

Sklera

: ikterik (-)

Gerakan Mata

: aktif

Lapangan penglihatan

: normal

Nistagmus

: tidak ada

Tekanan bola mata

: normal

Telinga
Tuli

: tidak ada

Selaput pendengaran : utuh, intak

Lubang

: lapang

Penyumbatan

: tidak ada

Serumen

: ada

Pendarahan

: tidak ada

Cairan

: tidak ada

Mulut
Bibir

: Lembab

Tonsil

: T1 T1 tenang

Langit-langit

: tidak ada bercak putih

Bau pernapasan : tidak ada

Gigi geligi

: utuh, karies dentis (-)

Trismus

Faring

: tidak hiperemis

Selaput lendir : tidak ada bercak putih

Lidah

: kotor

: tidak ada

Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP)

: 5-2 cmH2O

Kelenjar Tiroid

: tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe

: tidak teraba membesar

Dada
Bentuk

: simetris, sela iga normal

Pembuluh darah : kolateral (-), spider nevi (-), tidak terdapat lesi kulit
Buah dada

: simetris, tidak ada ginkeomastia

Paru Paru
Depan
Inspeksi

Palapasi

Belakang

Kiri

Simetris saat statis dan dinamis

Simetris saat statis dan dinamis

Kanan

Simetris saat statis dan dinamis

Simetris saat statis dan dinamis

Kiri

Tidak ada benjolan

Tidak ada benjolan

Fremitus menurun

Fremitus menurun

Nyeri tekan (-)


Tidak ada benjolan

Nyeri tekan (-)


Tidak ada benjolan

Fremitus menurun

Fremitus menurun

Nyeri tekan (+)

Nyeri tekan (-)

Kanan

Perkusi

Kiri

Redup di seluruh lapang paru

Redup di seluruh lapang paru

Kanan

Redup di seluruh lapang paru

Redup di seluruh lapang paru

Suara vesikuler menurun

Suara vesikuler menurun

Wheezing (-) Rhonki (-)


Wheezing (-) Rhonki (+)

Wheezing (-) Rhonki (-)


Wheezing (-) Rhonki (+)

Auskultasi Kiri
Kanan
Jantung
Inspeksi

: Iktus kordis terlihat di ICS V, garis midklavikula kiri

Palpasi

: Iktus kordis teraba di ICS V, garis midklavikula kiri

Perkusi

:Batas atas

: ICS II linea parasternal kiri

Batas kanan

: ICS IV linea sternalis kanan

Batas kiri : ICS V 1 cm lateral linea midklavikula kiri


Auskultasi :BJ1-BJ2 murni regular, murmur (-), gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis

: Teraba pulsasi

Arteri Karotis

: Teraba pulsasi

Arteri Brakhialis

: Teraba pulsasi

Arteri Radialis

: Teraba pulsasi

Arteri Femoralis

: Teraba pulsasi

Arteri Poplitea

: Teraba pulsasi

Arteri Tibialis Posterior

: Teraba pulsasi

Arteri Dorsalis Pedis

: Teraba pulsasi

Perut
Inspeksi
Palpasi

: membuncit, dilatasi vena (-)


: Dinding perut

: Nyeri tekan epigastrium (-), nyeri lepas (-), defans muskular

(-) , massa (-)


Hati
Limpa

: tidak teraba
: tidak teraba

Ginjal

: ballotemen (-), nyeri ketuk CVA (+)

Lain-lain

: tidak ada

Perkusi

: timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)

Auskultasi

: bising usus (+)

Refleks dinding perut

: baik
8

Colok Dubur(atas indikasi)


Tidak dilakukan

Anggota Gerak Lemgan Kanan Dan Kiri


Otot
Tonus

Normotonus

Normotonus

Massa

Eutrofi

Eutrofi

Sendi

tidak ada kelainan

tidak ada kelainan

Gerakan

aktif

aktif

Kekuatan

5+

5+

Lain-lain

ptekie (-), oedem (-)

ptekie (-), oedem (-)

Kanan

Kiri

Tungkai dan Kaki


Luka

tidak ada

tidak ada

Varises

tidak ada

tidak ada

Tonus

normotonus

normotonus

Massa

eutrofi

eutrofi

Sendi

normal

normal

Gerakan

aktif

aktif

Kekuatan

5+

5+

Oedem

tidak ada

tidak ada

Lain-lain

tidak ada

tidak ada

Otot

Reflex
Refleks Tendon
Bisep
Trisep
Patela
Achiles
Kremaster
Refleks kulit
Refleks patologis

Kanan

Kiri

Positif
Positif
Positif
Positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Negatif

Positif
Positif
Positif
Positif
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Negatif

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 20 Mei 2016, pukul 16:48 di IGD

Darah rutin:
Hb

: 8.3 g/dL

13.2-17.3

Leukosit

: 9600 /mm3

4.000-10.500

Ht

: 24%

40-52 %

Trombosit

: 60.000/mm3

150.000-440.000

EKG

Kimia Klinik:

: Normal Sinus Rhytm

Faal ginjal
Ureum

: 144 mg/dL

10-50

Kreatinin

: 8.6 mg/dL

0.9-1.3

: 146 mg/dL

< 120 mg/dL

Diabetes
Glukosa sewaktu

Laboratorium 21 Mei 2016, pukul 06;35 di ruang Garuda

Darah lengkap:
Hb

: 8.4 g/dL

13.2-17.3

Leukosit

: 8200 /mm3

4.000-10.500

Ht

: 24%

40-52 %

Trombosit

: 62.000/mm3

150.000-440.000

:0%
:0%
:3%
: 89 %
:5%
:3%
: 80 mm/jam

0-1 %
2-4 %
3-5 %
50-70 %
25-40 %
2-8 %
< 15

Hitung jenis
Basofil
Eosinofil
Neutrofil batang
Neutrofil segmen
Limfosit
Monosit
LED

Laboratorium 24 Mei 2016, pukul 12:17 di Rawat Inap

Darah rutin:
Hb

: 6.9 g/dL

13.2-17.3

Leukosit

: 2800 /mm3

4.000-10.500

Ht

: 20%

40-52 %

Trombosit

: 66.000/mm3

150.000-440.000

Kimia Klinik:
Faal ginjal
Ureum
Kreatinin

: 104 mg/dL
: 6.9 mg/dL

10-50
0.9-1.3

Laboratorium 25 Mei 2016, pukul 11:56 di ruang Garuda

Darah lengkap:
Hb

: 7.1 g/dL

13.2-17.3

Leukosit

: 2600 /mm3

4.000-10.500

Ht

: 21%

40-52 %

Trombosit

: 78.000/mm3

150.000-440.000

:0%
:2%
:2%
: 69 %
: 19 %
:8%
: 110 mm/jam

0-1 %
2-4 %
3-5 %
50-70 %
25-40 %
2-8 %
< 15

Hitung jenis
Basofil
Eosinofil
Neutrofil batang
Neutrofil segmen
Limfosit
Monosit
LED

Laboratorium 26 Mei 2016, pukul 11:10 di ruang Garuda

Kimia
Faal hati
SGOT
SGPT

: 101 /L
: 40 /L

Radiologi 25 Mei 2016, pukul 18:00 di Ruang rawat


Foto Thorax AP:

10-50 /L
10-50 /L

X Foto Thoraks

Kesan

Cor
Hilus
Paru
Sinus

: > 50%
: Lebar
: Tampak perselubungan paru kanan dan pericardial kiri
: Kanan kiri baik
:
Kardiomegali
Pnemonia kiri dan kanan
Efusi pleura kanan dan kiri

Pemeriksaan USG, 25 Mei 2016 pukul 08:09 di ruang rawat

Kesan :

Nodul di lobus kiri hepar

Lipomatosis Pankreas

Suspect mass adrenal kanan dd double ginjal kanan

Kista ginjal kiri

Vasicolithiasis

Suspect diventrikel di vesika urinaria

RINGKASAN
Seorang pria berusia 35 tahun datang ke IGD RSAU ESNAWAN ANTARIKSA dengan
keluhan nyeri dada sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan saat ditekan, menjalar dan disertai sesak.
Os juga mengeluh adanya demam (+) disertai batuk (+) berdahak dan pilek (+), demam
dirasakan naik turun, demam dirasakan naik pada saat malam hari. Os mengaku sudah meminum
paracetamol namun demam belum ada perbaikan. Os juga mengatakan sering mengalami demam
dan diare sebelumnya.
Os mengatakan sakit kepala (+) post HD (hemodelisa). Os merupakan pasien HD yang
terjadwal senin dan kamis. Os mengaku sudah menjalani HD selama 11 tahun. Os meminum
obat rutin Astriol, CaCO3, dan Vitamin B secara teratur. Terdapat riwayat mengkonsumsi
minuman suplemen secara berlebihan yang menurut pasien merupakan penyebab dirinya
menderita penyakit ginjal.

Os merupakan penderita HIV/AIDS yang terdiagnosa sejak 6 bulan yang lalu, Os rutin
mengkonsumsi Lamivudin, Nevirapin dan Tenovafir secara teratur, terdapat riwayat transfusi
yang menurut pasien merupakan penyebab dirinya menderita HIV/AIDS. Os mengatakan makan
dan minum masih seperti biasa, BAK dan BAB normal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan berkeringat pada malam hari, sakit kepala, terdapat secret
pada telinga, lidah kotor, nyeri tekan dada, sesak, suara vesikuler menurun, fremitus taktil
menurun dan ronki basah halus. Tekanan darah pasien 120/70 mmHg, RR : 28 kali, Nadi : 100
x/m dan suhu 39,3C. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan :

Laboratorium 20 Mei 2016, pukul 16:48 di IGD

Darah lengkap:
Hb

: 8.3 g/dL

13.2-17.3

Ht

: 24%

40-52 %

Trombosit

: 60.000/mm3

150.000-440.000

EKG

Kimia Klinik:

: Normal Sinus Rhytm

Faal ginjal
Ureum

: 144 mg/dL

10-50

Kreatinin

: 8.6 mg/dL

0.9-1.3

: 146 mg/dL

< 120 mg/dL

Diabetes
Glukosa sewaktu

Laboratorium 21 Mei 2016, pukul 06;35 di ruang Garuda

Darah lengkap:
Hb

: 8.4 g/dL

13.2-17.3

Ht

: 24%

40-52 %

Trombosit

: 62.000/mm3

150.000-440.000

:0%
: 89 %

2-4 %
50-70 %

Hitung jenis
Eosinofil
Neutrofil segmen

Limfosit
LED

:5%
: 80 mm/jam

25-40 %
< 15

Laboratorium 24 Mei 2016, pukul 12:17 di Rawat Inap

Darah rutin:
Hb

: 6.9 g/dL

13.2-17.3

Ht

: 20%

40-52 %

Trombosit

: 66.000/mm3

150.000-440.000

Kimia Klinik:
Faal ginjal
Ureum
Kreatinin

: 104 mg/dL
: 6.9 mg/dL

10-50
0.9-1.3

Laboratorium 25 Mei 2016, pukul 11:56 di ruang Garuda

Darah lengkap:
Hb

: 7.1 g/dL

13.2-17.3

Leukosit

: 2600 /mm3

4.000-10.500

Ht

: 21%

40-52 %

Trombosit

: 78.000/mm3

150.000-440.000

:2%
: 19 %
: 110 mm/jam

3-5 %
25-40 %
< 15

Hitung jenis
Neutrofil batang
Limfosit
LED

Laboratorium 26 Mei 2016, pukul 11:10 di ruang Garuda

Kimia
Faal hati
SGOT

: 101 /L

10-50 /L

DAFTAR MASALAH
1) CKD on HD Grade V
2) Efusi Pleura suspect TB paru
3) HIV AIDS
PENGKAJIAN DAN RENCANA TATALAKSANA
1. CKD on HD
CKD pada kasus ini diduga diakibatkan oleh minuman suplemen yang di konsumsi
secara berlebih dalam jangka waktu yang lama. Dipikirkan adanya CKD Grade V
dikarenakan adanya peningkatan ureum dan kreatinin dengan menggunakan rumus
Kockcroft-Gault : LFG : (140-umur) x Berat badan / 72 x kreatinin didapatkan hasil (14035) x 52 / 72 x 8.6 = 8.81 yang mana masuk dalam CKD grade V, riwayat penyakit ginjal
dan cuci darah sejak 11 tahun yang lalu, adanya anemia dengan Hb 8.3 g/dL, dan GFR
8,81 mL/menit. Adanya pemikiran bahwa konsumsi minuman suplemen adalah penyebab
terjadinya CKD Grade V ini adalah didasarkan adanya riwayat konsumsi suplemen secara
berlebihan dalam jangka waktu yang lama dan kebanyakan minuman suplemen memiliki
komposisi yang bersifat nefrotoksik dan diekskresikan di ginjal sehingga dapat merusak
ginjal, yang tidak mendukung adalah komposisi suplemen yang diminum tidak diketahui.
Kemungkinan lain yang dipikirkan antara lain karena diabetes melitus, namun dari hasil
GDS 142 mg/dL menunjukkan adanya peningkatan gula darah dan tidak adanya riwayat
maupun keluhan yang mendukung diabetes melitus pada pasien ini. Kemungkinan lain
yang dipikirkan adalah glomerulonefritis. Juga masih ada kemungkinan lain yaitu
disebabkan oleh batu saluran kemih yang biasanya asimptomatik. Namun yang tidak
mendukung adalah tidak ada riwayat keluhan buang air kecil dan tidak adanya kolik
abdomen.
Rencana diagnostik:

Pemeriksaan urin lengkap untuk melihat adanya proteinuria, sedimen eritrosit atau

leukosit.
Pemeriksaan Ureum Kreatinin ulang untuk memantau perkembangan keadaan

ginjal.
Pemeriksaan albumin untuk mendukung adanya kerusakan ginjal.

Pemeriksaan GDP & GD2jamPP untuk menyingkirkan penyebab CKD Grade V

oleh diabetes melitus.


Pemeriksaan ASTO untuk menyingkirkan penyebab CKD Grade V oleh

glomerulonefritispost Streptococcus.
Pemeriksaan USG Abdomen untuk melihat apakah ada kelainan parenkim ginjal,
pengecilan ukuran ginjal, adanya kista ginjal, dan menyingkirkan penyebab CKD

Grade V oleh batu saluran kemih.


Pemeriksaan serologi anti HIV, Hepatitis Marker HBsAg, dan anti HCV untuk
persiapan Hemodialisis.

Rencana pengobatan:

Diet tinggi kalori dan rendah protein (0.8 g/Kg/hari protein)


Mengatur tekanan darah jangan terlalu tinggi.
Mengurangi asupan garam, makanan tinggi kalium.
Mengurangi asupan cairan.
Aminefron 3 x 600 mg untuk mengurangi progesifitas kerusakan ginjal.
CaCo3 3 x 1 untuk mencegah hiperfosfatemia
Ostriol 2 x 0.25 post HD untuk mencegah osteodistrofi ginjal
Hemodialisis kronik direncanakan elektif.

Rencana edukasi:

Dijelaskan apa itu gagal ginjal dan efeknya dalam tubuh.


Dijelaskan mengapa diperlukan cuci darah.
Dijelaskan kapan perlu melaksanakan cuci darah.
Mengapa perlu pembatasan cairan.
Dijelaskan pembatasan jenis makanan

2. Efusi pleura suspect TB


Dipikirkan sebagai efusi pleura karena adanya keluhan nyeri tekan dada disertai sesak
dan batuk berdahak warna putih. Pasien juga mengalami keringat malam dan penurunan
berat badan yang drastis. Pada pemeriksaan fisik ronki basah halus dikedua lapang paru.
Selain itu perlu dicurigai penyebab efusi pleura karena infeksi TB, selain gejala klinis
seperti demam, batuk, keringat malam dan penurunan berat badan didapatkan pada
pemeriksaan darah terjadi peningkatan LED sebagai salah satu penanda penyakit kronis,
namun untuk menegakan diagnosis pasti TB paru, perlu dilakukan pemeriksaan sputum

sesuai dengan kriteria diagnostik WHO mengenai TBC tahun 1991, dimana membagi
pasien menjadi 2 kelompok berdasarkan hasil pemeriksaan
sputum. Pada pemeriksaan BTA pun, pasien dengan BTA positif terkadang memberikan
hasil negatif dikarenakan sulitnya mengeluarkan sputum, dan bronkus yang terkena
penyakitnya tidak terbuka ke luar. Dan pada pemeriksaan BTA baru dianggap positif jika
didapatkan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan dengan kata lain diperlukan 5000
kuman dalam 1 mL sputum.
Rencana diagnostik:
-

Pemeriksaan Darah Rutin


Pemeriksaan bakteriologi spesimen dahak 3 kali (SPS) untuk mengetahui kembali

apakah penyebab batuk adalah TB lama atau bukan


Pemeriksaan ulang BTA setelah 2 bulan pengobatan intensif
Pemeriksaan SGOT SGPT untuk mengantisipasi efek samping hepaatotoksik dari

OAT
Aspirasi dan analisis cairan pleura
Uji tuberkulin

Rencana pengobatan:
-

Pengobatan TB paru sementara belum diberikan karena menunggu hasil BTA,


4 KDT 1 x 3 tab (pagi) + curcuma

Canal O2 2 L + Nebulasi salbutamol sulfate 3x2.5mg dan fluticasone propionate


3x0.5mg jika sesak

Erdosteine 3x300mg per oral untuk mengurangi dahak

Paracetamol 3x500 mg per oral untuk demam

Rencana edukasi:
-

Di jelaskan mengapa perlu di lakukan aspirasi cairan pleura untuk mengetahui


penyebab dan terapi efusi pleura

Di jelaskan mengapa perlu pengobatan panjang pada TBC

Di motivasi agar meminum obat rutin dan tidak putus obat untuk mengurangi
resistensi

3. HIV AIDS

Dipikirkan HIV AIDS Karena berdasarkan riwayat transfuse dan riwayat infeksi
berulang seperti demam dan diare, serta memiliki riwayat terdiagnosis HIV AIDS, dan
mengkonsumsi obat ARV secara rutin (Lamivudin, Nevirapin dan Tenovafir).
Rencana Diagnostik :

Pemeriksaan Darah lengkap


Pemeriksan Elektrolit
Faal Ginjal
Pemeriksaan Tes Hiv
Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan CD4+ untuk evaluasi imunokompromaisnya dari HIV AIDS

Rencana Pengobatan :
a. IVFD Ringer Laktat untuk memenuhi kebutuhan cairan..
b. Pemberian ARV setelah 2 minggu pemberian obat OAT.
Rencana Edukasi

Memberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai patofisiologi dan

penyebaran infeksi HIV.


Menyarankanpenggunaan alat kontrasepsi.
Menyarankan penderita dan pasangannya agar tidak berhubungan seks

dengan orang lain (satu pasangan).


Untuk pencegahan transmisi secara vertikal, proses kelahiran haruslah

dilakukan secara pembedahan yaitu caesardan tidak memberikan asi.


Wanita dengan hiv lebih baik memakai kontrasepsi untuk mencegah

kehamilan.
Tidak Memakai alat sumtik secara bersama

Kesimpulan Dan Prognosis


Seorang pria berusia 35 tahun dengan riwayat pengobatan HIV AIDS datang dengan
keluhan nyeri dada disertai sesak sejak 3 hari yang lalu, adanya demam, batuk dan pilek,
penurunan berat badan dan sering berkeringat malam hari. Ada riwayat penyakit ginjal
kronik (+) dengan riwayat cuci darah (+) dan riwayat terdiagnosis HIV/AIDS. Maka

Pasien ini menderita Hiperpireksia e.c Infeksi opportunistic dengan komplikasi TB Paru
dengan riwayat CKD on HD dan riwayat HIV/AIDS .
PROGNOSIS
a.

Ad vitam

: dubia ad bonam

b.

Ad functionam

: dubia ad malam

c.

Ad sanationam

: dubia ad malam

Catatan Perkembangan Pasien


Tanggal 20 mei 2016
S :Nyeri dada (+), sesak (+), batuk (+), pilek (+), demam (+), sakit kepala (+), .
O: OS tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, TD 120/80 mmHg, HR
100 x/menit, FN 26 x/menit, suhu 39,30C.
A: CKD on HD, HIV/AIDS, Efusi pleura suspect TB Paru
P : Aminefron 3 x 600 mg, CaCo3 3 x 1, Ostriol 2 x 0.25 post HD, Canal O2 2 L
+ Nebulasi salbutamol sulfate 3x2.5mg dan fluticasone propionate 3x0.5mg,
Erdosteine 3x300mg per oral, Paracetamol 3x500 mg per oral,

Tanggal 21 Mei 2016


S :Nyeri dada (+), sesak (-), batuk (+), pilek (+), demam (-), sakit kepala (-), .
O: OS tampak sakit sedang, TD 130/90 mmHg, kesadaran compos mentis, HR 81
x/menit, FN 22 x/menit, suhu 36,0C,
A: CKD on HD, HIV/AIDS, Efusi pleura suspect TB Paru
P : Aminefron 3 x 600 mg, CaCo3 3 x 1, Ostriol 2 x 0.25 post HD, Erdosteine
3x300mg per oral, Paracetamol 3x500 mg per oral.

Tanggal 22 Mei 2016


S :Nyeri dada (+), sesak (-), batuk (+), pilek (-), demam (-), sakit kepala (-), .

O: OS tampak sakit sedang, TD 120/80 mmHg, kesadaran compos mentis, HR 84


x/menit, FN 22 x/menit, suhu 36,0C,
A: CKD on HD, HIV/AIDS, Efusi pleura suspect TB Paru
P : Aminefron 3 x 600 mg, CaCo3 3 x 1, Ostriol 2 x 0.25 post HD, Erdosteine
3x300mg per oral.
Tanggal 23 Mei 2016
S :Nyeri dada (+), sesak (-), batuk (-), pilek (-), demam (-), sakit kepala (-).
O: OS tampak sakit sedang, TD 120/80 mmHg, kesadaran compos mentis, HR 84
x/menit, FN 20 x/menit, suhu 36,0C.
A: CKD on HD, HIV/AIDS, Hiperpireksia, Efusi pleura suspect TB Paru
P : HD, Aminefron 3 x 600 mg, CaCo3 3 x 1, Ostriol 2 x 0.25 post HD,
Erdosteine 3x300mg per oral.

Tanggal 24 Mei 2016


S :Nyeri dada (-), sesak (-), batuk (-), pilek (-), demam (-), sakit kepala (-).
O: OS tampak sakit sedang, TD 140/90 mmHg, kesadaran compos mentis, HR 86
x/menit, FN 20 x/menit, suhu 36,20C, BTA (+).
A: CKD on HD, HIV/AIDS, Hiperpireksia, Efusi pleura TB Paru
P : Aminefron 3 x 600 mg, CaCo3 3 x 1, Ostriol 2 x 0.25 post HD, 4 KDT 1 x 3
tab (pagi), curcuma 3 x 1.

Tanggal 25 Mei 2016


S :Nyeri dada (-), sesak (-), batuk (-), pilek (-), demam (-), sakit kepala (-).
O: OS tampak sakit sedang, TD 140/90 mmHg, kesadaran compos mentis, HR 86
x/menit, FN 20 x/menit, suhu 36,20C.
A: CKD on HD, HIV/AIDS, Efusi pleura TB Paru
P : Aminefron 3 x 600 mg, CaCo3 3 x 1, Ostriol 2 x 0.25 post HD, 4 KDT 1 x 3
tab (pagi), curcuma 3 x 1.
Tanggal 26 Mei 2016
S :Nyeri dada (-), sesak (-), batuk (-), pilek (-), demam (-), sakit kepala (-).
O: OS tampak sakit sedang, TD 130/80 mmHg, kesadaran compos mentis, HR 80
x/menit, FN 20 x/menit, suhu 36,0C.

A: CKD on HD, HIV/AIDS, Efusi pleura TB Paru


P : HD + transfuse PRC 500cc, Aminefron 3 x 600 mg, CaCo3 3 x 1, Ostriol 2 x
0.25 post HD, 4 KDT 1 x 3 tab (pagi), curcuma 3 x 1.
Tanggal 27 Mei 2016
S :Nyeri dada (-), sesak (-), batuk (-), pilek (-), demam (-), sakit kepala (-).
O: OS tampak sakit sedang, TD 150/90 mmHg, kesadaran compos mentis, HR 84
x/menit, FN 20 x/menit, suhu 36,50C,
A: CKD on HD, HIV/AIDS, Efusi pleura TB Paru
P : Aminefron 3 x 600 mg, CaCo3 3 x 1, Ostriol 2 x 0.25 post HD, 4 KDT 1 x 3
tab (pagi), curcuma 3 x 1. Setelah 14 hari pemberian OAT berikan ARV
lamivudine 150 mg 2x1, abacavir 300 mg 2x1, Efavirenz 600 mg 1x1.

Tinjauan Pustaka
Penyakit Ginjal Kronik
A.

Pendahuluan
Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal 1.

Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya merupakan penyebab paling banyak yang


mengawali gagal ginjal kronik. Kemungkinan disebabkan oleh terapi glomerulonefritis
yang agresif dan disebabkan oleh perubahan praktek program penyakit ginjal tahap akhir
yang diterima pasien, diabetes melitus dan hipertensi sekarang adalah penyebab utama
gagal ginjal kronik2.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ,
akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan hebatnya tanda
dan gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain, tergantung
paling tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal yang masih berfungsi dan
kecepatan hilangnya fungsi ginjal 1,2.
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain1 :
1) Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi :
- kelainan patologis
- terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah dan
urin atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m selama 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal
lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m, tidak
termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
B.

Klasifikasi1
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage)
penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas
dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai
berikut: LFG (ml/menit/1,73m) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma
(mg/dl)*) *) pada perempuan dikalikan 0,85.
Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit

Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes

Penyakit glomerular(penyakit otoimun, infeksi


sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah
besar, hipertensi, mikroangiopati) Penyakit
tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada transplantasi

Rejeksi kronik Keracunanobat


(siklosporin/takrolimus) Penyakit recurrent
(glomerular) Transplant glomerulopathy

C.

Epidemiologi 1,2
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan terdapat
1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden
ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun2.

D.

Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan
fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi kompensatori ini akibat hiperfiltrasi
adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron
yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka
panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor
seperti transforming growth factor . Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal
kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal
LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di
bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal

replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
E.

Pendekatan Diagnostik
Gambaran Klinis 3,4,5,6
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a. Sesuai dengan penyakit yang
mendasari seperti diabetes malitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES),dll. b. Sindrom uremia
yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia, kelebihan volume
cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejangkejang sampai koma.
Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
Gambaran Laboratorium 3,4,5,6
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolic.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria

Gambaran Radiologis 3,4,5,6


Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter

glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap


ginjal yang sudah mengalami kerusakan

c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi


d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang

menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi e. Pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
F.

Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit GGK sesuai dengan derajatnya, dapat
dilihat pada table berikut

a.

Terapi Nonfarmakologis: 5,6


a) Pengaturan asupan protein:

b) Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari


c) Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang
sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d) Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total

e) Garam (NaCl): 2-3 gram/hari


f) Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
g) Fosfor:5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
h) Kalsium: 1400-1600 mg/hari i. Besi: 10-18mg/hari
i) Magnesium: 200-300 mg/hari
j) Asam folat pasien HD: 5mg l. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water
loss)
b.

Terapi Farmakologis 2,3,4,5


a) Kontrol tekanan darah
-

Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II evaluasi kreatinin dan


kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia
harus dihentikan.

Penghambat kalsium - Diuretik

b) Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas
nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
c) Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
d) Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
e) Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
f) Koreksi hiperkalemia
g) Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
h) Terapi ginjal pengganti.

HIV/AIDS
Pendahuluan
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah global yang mulai
melanda dunia sejak awal tahun 80-an. AIDS dapat diartikan sebagai sindroma (kumpulan
gejala) penyakit yang disebabkan oleh rusak atau menurunnya sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh infeksi virus HIV (Human ImmunodeficiencyVirus). AIDS bukan merupakan

penyakit keturunan. Kasus AIDS di Indonesia semakin meningkat. Di Indonesia sejak tahun
1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV/AIDS pada sub tertentu populasi
tertentu di beberapa provinsi yang memang mempunyai prevalensi HIV cukup tinggi.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) pertama kali ditemukan pada tahun 1981 yang
dipelajari melalui studi cohort pada pelaku homoseksual yang mengalami penurunan imunitas.
Virus HIV merupakan penyebab utama terjadinya AIDS (acquired immune deficiency syndrome).
Virus ini pada mulanya dikenal dengan nama Human T limfotropik virus tipe III (HTLV- III),
virus yang berkaitan berkaitan dengan dengan limfadenopati limfadenopati (LAV) dan virus yang
berkaitan dengan penyakit AIDS (ARV). Saat ini dikenal dengan nama HIV (human
Immunodeficiency Virus). Virus HIV menginfeksi berbagai jenis sel system imun termasuk sel T
CD4, magrofag, dan sel dendritik.
HIV/AIDS telah menimbulkan kekhawatiran di berbagai belahan bumi.HIV/IDS adalah
salah satu penyakit yang harus diwaspadai.AIDS merupakan sekumpulan gejala penyakit yang
menyerang tubuh manusia setelah kekebalan tubuhnya rusak akibat virus HIV. Sebagian besar
orang yang terkena virus ini akan menunjukan tanda atau gejala-gejala AIDS pada 8-10 tahun
apabila tidak mendapatkan pengobatan.

Pembahasan
HIV (Human Immunodeficiensy virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas
yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah
putih spesifik yang disebut limfosit T-hepler atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4).AIDS
merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat virus HIV.

Acquired Immunodeficiency Syndrome(AIDS) adalah Syndrome akibat

defisiensi immunitas seluler tanpa penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi
oportunistik keganasan berakibat fatal

ETIOLOGI
Penyebab terjadinya penyakit atau faktor resiko dari AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome), diantaranya adalah:
a. Faktor risiko perilaku, yaitu perilaku seksual yang berisiko terhadap penularan
HIV/AIDS, yang meliputipatner hubungan seks lebih dari 1, seksanal, pemakaian
kondom.
b. Faktor risiko parenteral, yaitu factor risiko penularan HIV/AIDS yang berkaitan
dengan pemberian cairan kedalam tubuh melalui pembuluh darah vena. Faktor ini
meliputi riwayat transfusi darah, pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang
(narkoba) secara suntik (injecting drug users).
c. Faktor risiko infeksi menular seksual(IMS), yaitu riwayat penyakit infeksi bakteri
atau virus yang ditularkan melalui hubungan seksual yang pernah diderita
responden, seperti sifilis (Laksana dan Lestari, 2010)
KLASIFIKASI
Terdapat beberapa klasifikasi klinis HIV/AIDS antara lain menurut CDC dan
WHO. Klasifikasi dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) berdasarkan
gejala klinis dan jumlah CD4 sebagai berikut:
CD4
Total

500/ml
200-499/ml

Kategori Klinis
%

(asimtomatik,infeksi akut)

(simtomatik)

(AIDS)

29 %

A1

B1

CI

14-28%

A2

B2

C2

< 200/ml

< 14 %

A3

B3

C3

Kategori klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimtomatik), dan infeksi
akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut. Kategori
klinis B terdiri atas kondisi dengan gejala (simtomatik) pada remaja atau remaja yang
terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu
dari beberapa kriteria berikut:
a. Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan
yang diperantarakan sel.
b. Kondisi yang dianggap olek dokter telah memerlukan penanganan klinis atau
membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV, misalnya kandidiasis
orofaringeal, oral hairy leukoplakia, herpes zoster , dan lain-lain.
Kategori klinis C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS, misalnya
sarkoma kaposi, pneumonia pneumocystis carinii, kandidiasis esofagus dan lain-lain
(Depkes RI, 2006)

PATOGENESIS
Secara epidemiologis, HIV-l terdapat pada AIDS di Afrika Tengah, Haiti, Eropa
Barat dan Amerika; sedangkan HIV-2 prevalensinya lebih rendah dan terdapat secara
endemis di Afrika Barat. Secara sporadis HIV-2 juga ditemukan di Inggris, beberapa
negara Eropa, Brazil, dan baru-baru ini di Amerika.
Dinamakan retrovirus karena virus ini mempunyai kemampuan dapat membentuk
DNA dari RNA sebab mempunyai enzim transkiptase reversi. Enzim ini dapat
menggunakan RNA virus sebagai template untuk membentuk DNA, yang kemudian

berintegrasi ke dalam kromosom pejamu dan selanjutnya bekerja sebagai dasar untuk
proses replikasi HIV.
1 Siklus hidup HIV AIDS
Siklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel pejamu.
Perlekatan ini dimulai dari interaksi antara kompleks env yang terdiri dari 3 pasang
molekul gp120 dan molekul transmembran gp 41 yang merupakan molekul trimerik
membran virion dengan membran sel target. Pertama-tama terbentuk ikatan antara
satu subunit gp 120 dengan molekul CD4 sel pejamu. Perlekatan ini menginduksi
perubahan konformasional (membran virion melekuk agar gp120 kedua dapat ikut
melekat) yang memicu perlekatan gp120 kedua pada koreseptor kemokin (CXCR4,
CCR5). Ikatan dengan koreseptor ini selanjutnya menginduksi perubahan
konformasional pada gp41 (semula berada di lapisan lebih dalam membran virion)
untuk mengekspos komponen hidrofobiknya sampai ke lapisan membran pejamu,
(karena mampu bergerak seperti ini maka gp41 dinamakan peptida fusi) dan
kemudian menyisipkan diri ke membran sel pejamu dan memudahkan terjadinya fusi
membran sel HIV dengan membran sel pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke
dalam sitoplasma sel pejamu.
Di dalam sel pejamu bagian inti nukleoprotein keluar, enzim di dalam
kompleks nukeoprotein ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi
DNA oleh enzim transkriptase reversi (RT= Reverse Transcriptase). DNA HIV yang
terbentuk kemudian masuk ke nukleus sel pejamu melalui bantuan enzim integrase.
Integrasi diperkuat bila pada saat yang sama DNA pejamu bereplikasi karena

terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA virus HIV yang sudah
berintegrasi ke dalam DNA sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA provirus ini
dapat dormant, atau tidak aktif mentranskripsi sampai berbulan-bulan atau bertahuntahun tanpa adanya protein baru atau virion.
Transkripsi gen proviral DNA yang sudah terintegrasi diatur oleh:

LTR , bergerak ke arah hulu dari gen struktur virus.


Sitokin/stimulus fisiologis terhadap sel T dan makrofag lain untuk
memperkuat transkripsi.
LTR mengandung urutan sinyal poliadenilasi berupa promotor berturutan

dalam bentuk kotak TATA dan tempat ikatan/binding untuk 2 faktor transkripsi
pejamu (NF-kB dan SP1). Awal transkripsi gen HIV dalam sel T terkait dengan
pengaktivan sel T secara fisiologis oleh antigen atau sitokin lain. Sebagai contoh,
aktivator poliklonal sel T seperti fitohemaglutinin, IL-2, TNF dan limfotoksin akan
menstimulasi ekspresi gen HIV dalam sel T yang terinfeksi. Selain itu IL-1, IL-3, IL6, TNF, limfotoksin, IFN- dan GM-CSF merangsang ekspresi gen HIV dan replikasi
virus dalam sel monosit dan makrofag yang terinfeksi. Fenomena ini menunjukkan
bahwa sel T yang terinfeksi HIV secara laten dapat tetap memberi respons normal
terhadap mikroba lain. Replikasi sel T mungkin menjadi pemicu berakhirnya infeksi
laten dan dimulainya produksi virus. Infeksi multipel yang dialami penderita HIV
akan menstimulasi produksi HIV untuk selanjutnya menginfeksi sel lainnya.
Meskipun tampaknya replikasi virus HIV mudah dan terdapat sinyal optimal
untuk memulai transkripsi, hanya sedikit saja molekul mRNA HIV yang benar-benar

disintesis. Hal itu terjadi karena transkripsi gen HIV oleh enzim polimerase RNA
mamalia tidak efisien dan kompleks polimer biasanya berhenti ditranskripsi sebelum
mRNA lengkap.Protein Tat terikat pada mRNA yang baru mulai dibentuk, bukan
pada DNA virus. Keterikatan ini meningkatkan proses polimerase RNA hingga
beberapa ratus kali lipat, dan mendorong diselesaikannya transkripsi dengan hasil
akhir RNA messenger(mRNA) HIV yang fungsional.mRNA yang mengkode aneka
protein HIV berasal dari transkrip helai tunggal genom lengkap yang telah melalui
proses penyambungan yang berbeda-beda. Ekspresi gen HIV dapat dibagi ke dalam
stadium awal saat gen regulator dibentuk dan stadium akhir dimana gen struktur
diekspresikan dan helai tunggal genom lengkap dibuat.
Protein Rev, Tat, Nev adalah produk awal gen yang dicetak oleh mRNA yang
tersambung sempurna dan dikeluarkan dari nukleus dan diterjemahkan menjadi
protein di sitoplasma segera sesudah infeksi satu sel.Produk akhir gen termasuk env,
gag, dan pol yang mengkode komponen struktur virus dan diterjemahkan dari RNA
tunggal yang sudah maupun belum tersambung. Protein Rev memulai penukaran dari
ekspresi awal menjadi gen akhir dengan cara mempromosikan ekspor RNA ke luar
inti sel. RNA ini yang belum tersambung sempurna akan dikeluarkan dari inti.
Produk gen pol adalah protein prekursor yang dipotong secara berurutan untuk
membentuk enzim transkriptase riversi, protease, ribonuklease dan integrase. Gen
gag mengkode protein berukuran 55-D. Protein ini selanjutnya dipotong oleh enzim
proteolitik menjadi polipeptida p24, p17, dan p15. Ketiga polipeptida ini adalah
protein inti yang diperlukan untuk membentuk partikel infeksius virus. Gen env
memproduksi terutama glikoprotein 160-kD yang selanjutnya dipotong oleh protease

sel di retikulum endoplasma menjadi protein gp 120 dan gp 41 yang diperlukan


untuk menempelnya HIV pada sel.
Sesudah transkripsi oleh berbagai gen virus, protein virus dibentuk di
sitoplasma pejamu. Seluruh partikel infeksius kemudian disusun dalam satu
kompleks nukleoprotein, termasuk gag dan pol yang diperlukan untuk integrase
siklus berikutnya.Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1
membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses budding dari
membran plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan
kematian sel pejamu.
GEJALA DAN KOMPLIKASI AIDS
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak
akan terjadi pada orang-orang yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan
kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus,
fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh
unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak
HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada
penderita AIDS.[7] HIV memengaruhi hampir
semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko
lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker
sistem kekebalan yang disebut limfoma.

Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam,


berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa
lemah, serta penurunan berat badan.Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien
AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah
geografis tempat hidup pasien.
a. Penyakit paru-paru utama
Foto sinar-X pneumonia pada paru-paru, disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii.

Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan
tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis,
perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini
umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih
merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya
indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per L.
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait
HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute
pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat

muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun
demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit
ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena
digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun
tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak
ditemukan.Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC muncul
sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai
penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner).
Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu
tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran
kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem
syaraf pusat.Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat
munculnya penyakit ekstrapulmoner.
b. Penyakit saluran pencernaan utama

Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan


dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi
karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus
sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya
langka.

Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena
berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti
Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi
oportunistik

yang

tidak

umum

dan

virus

(seperti

kriptosporidiosis,

mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV)


yang merupakan penyebab kolitis).

Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang
digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer)
dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari
antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada
Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan
merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap
nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan
yang berhubungan dengan HIV.

c. Penyakit syaraf dan kejiwaan utama

Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan
pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma
atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari
penyakit itu sendiri.

Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang


disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan

menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat


menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru.Meningitis
kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum
tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat
menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga
mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat
mematikan.

Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu


penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut
sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan
oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi
laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah,
sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat
(progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian
dalam waktu sebulan setelah diagnosis.

Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental


(demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati
metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya
pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi
HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak
dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul
bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan

rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah.
Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 1020%,[18] namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV.Perbedaan
ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
d. Kanker dan tumor ganas (malignan)

Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya


memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena
infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi
genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr
(EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi
(KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).

Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang
terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun
1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan
oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang
juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di
kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain,
terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.

Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang
menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya

seperti limfoma Burkitt (Burkitts lymphoma) atau sejenisnya (Burkitts-like


lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf
pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini
seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa
kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan
oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.

Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS.
Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.

Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian,
banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar
(colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempattempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam
menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS
menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab
kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.

e. Infeksi oportunistik lainnya


Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan.Infeksi oportunistik ini termasuk
infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo.Virus sitomegalo dapat
menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas,
dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat

menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau
disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah
tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia
Tenggara].
1. DIAGNOSIS
Dalam tubuh orang yang terinfeksi, partikel virus bergabung dengan DNA sel
orang tersebut sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan
terinfeksi. Infeksi HIV tidak langsung menimbulkan gejala.Sebagian memperlihatkan
gejala tidak khas pada infeksi HIV dalam 3 6 minggu setelah terinfeksi seperti demam,
nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam dan diare.Setelah infeksi akut
ini dimulailah infeksi tanpa gejala selama 8 10 tahun. Seiring dengan memburuknya
kekebalan tubuh, orang terinfeksi tersebut mulai menampakkan gejala-gejala akibat
penyakit lain seperti berat badan turun, demam lama, rasa lemah, pemebsaran kelenjar
getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dll.
HIV Diagnosis Pemeriksaan laboratorium penting untuk mengetahui secara pasti
apakah seseorang terinfeksi HIV atau tidak, karena pada HIV gejala klinis dapat terlihat
setelah bertahun-tahun lamanya.Terdapat berbagai macam tes laboratorium untuk
memastikan terinfeksi HIV.Secara garis besar terbagi menjadi pemeriksaan serologis
untuk mendeteksi keberadaan antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi
keberadaan virus HIV.Pemeriksaan yang mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan
terhadap antibodi HIV.

Metode yang biasa dilakukan di Indonesia adalah ELISA (Enzyme-Linked


Immunosorbent Assay).Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes ini adalah
adanya masa jendela.Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai
timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan.Antibodi mulai terbentuk
dari 4-8 minggu setelah terinfeksi.Jadi, jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang
yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberi hasil negatif.Untuk itu jika ada
kecurigaan dilakukan pemeriksaan ulang 3 bulan kemudian.WHO menganjurkan
pemakaian salah satu dari tiga strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV.
a. Strategi I : Dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila hasilnya reaktif dianggap
sebagai terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak
terinfeksi HIV.
b. Strategi II : Menggunakan 2 kali pemeriksaan jika pada hasil pertama
memberikan hasil reaktif. Bila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif maka
dapat disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun, jika pemeriksaan kedua
adalah non-reaktif, maka kedua pemeriksaan harus diulang. Bila hasil tetap
tidak sama maka dilaporkan sebagai intermedinate (berisiko tinggi tertular
HIV).
c. Strategi III

Menggunakan

tiga

kali

pemeriksaan.

Bila

hasil

pemeriksaan ketiganya negatif maka dapat disimpulkan pasien tersebut


memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya pertama
reaktif, kedua reaktif dan ketiga non-reaktif atau pertama reaktif, kedua dan
ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai intermedinate bila pasien
yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau risiko tinggi
tertular HIV. Sedangkan apabila hasil yang disebut terjadi pada orang tanpa

riwayat pemaparan atau tidak berisiko tertular HIV maka hasil tersebut disebut
sebagai non-reaktif.
Jika pemeriksaan antibodi menyatakan hasil reaktif maka pemeriksaan dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi HIV, yang
paling sering dipakai adalah teknik Western Blot (WB).Seseorang yang ingin
menjalankan tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapat konseling pra tes. Hal
ini dilakukan agar ia mendapat informasi sejelas-jelasnya tentang HIV/AIDS sehingga
siap menerima dan mengambil keputusan apapun hasilnya nanti. Untuk memberi tahu
hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil positif maupun negatif. Jika
hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang
masa tanpa gejala dan cara mencegah penularan. Jika hasil negatif, konseling tetap perlu
dilakukan untuk memberikan informasi mengenai bagaimana mempertahankan perilaku
yang tidak berisiko.Seorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV.Sedangkan diagnosis AIDS ditegakkan dengan
melihat gejala klinis dari penyakit lain yang menyertai penyakit ini atau limfosit CD4+
(limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi immunoogis yang
penting).
2. TERAPI
8.1 Terapi non-Farmaka
Terapi non farmakologik terdiri dari pencegahan penularan HIV.Ini
melibatkan 5 Ps iaitu Partners, Prevention of Pregnancy, Protection of Sexual
transmitted diseases, Practices, Past history of sexual transmitted disease.Metode
yang sering digunakan adalah:

Memberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai patofisiologi dan

penyebaran infeksi HIV.


Menyarankanpenggunaan alat kontrasepsi.
Menyarankan penderita dan pasangannya agar tidak berhubungan seks

dengan orang lain (satu pasangan).


Untuk pencegahan transmisi secara vertikal, proses kelahiran haruslah

dilakukan secara pembedahan yaitu caesardan tidak memberikan asi.


Wanita dengan hiv lebih baik memakai kontrasepsi untuk mencegah

kehamilan.
Tidak memakai alat suntik secara bersama-sama (Anonim, 2011).

8.2 Terapi Farmaka


Sasaran terapi adalah mencapai efek penekanan maksimum replikasi HIV. Sasaran
sekunder adalah peningkatan limfosit CD4 dan perbaikan kualitas hidup. Sasaran
akhir adalah penurunan mortalitas dan morbiditas. Terapi yang direkomendasikan
pada penderita HIV dapat dilihat pada tabel.
Tabel 9.1 Rekomendasi untuk memulai terapi dengan Antiretroviral (ARV) pada remaja dan
dewasa berdasarkan fase klinik dan tanda imunologi.
Fase klinik

Test CD4 tidak tersedia

Test CD4 tersedia

WHO
Terapi bila CD4 < 200 sel /mm3a

Tidak di terapi

Tidak di terapi

Terapi

Pertimbangkan terapi bila CD4 < 350 sel/mm 3


dan terapi bila CD4 tururn < 200 sel/mm3

Terapi

Terapi tanpa memperhitungkan nilai CD4

a. Nilai hitung CD4 yang disarankan untuk membantu menetapkan kebutuhan terapi segera
seperti TB pulmonal dan infeksi bakteri berat yang mungkin terjadi pada tiap tingkat
CD4.
b. Total limfosit 1200/mm dapat menggantikan hitung CD4 jika nilai CD4 tidak ada atau
infeksi HIV ringan. Ini tidak berguna pada pasien tanpa gejala.
c. Pemberian terapi ARV direkomendarikan untuk perempuan hamil dengan fase klinik 3
dan nilai CD4 < 350 cells/mm3.
d. Pemberian terapi ARV direkomendarikan untuk seluruh pasien HIV dengan nilai CD4 <
350 cells/mm3 dan TB pulmonal dan infeksi bakteri berat.
e. Tepatnya nilai CD4 > 200/mm3 pada infeksi HIV belum ditetapkan.
8.3 Penggolongan obat-obat ARV :
a. Nukleoside Analog Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)
1) Azidothymidine (AZT) atau Zidovudin
Indikasi: pengobatan infeksi HIV lanjut (AIDS), HIV awal dan HIV asimtomatik
dengan tanda-tanda resiko progresif, infeksi HIV simtomatik dan asimtomatik pada anak
dengan tanda imuno defisiensi yang nyata dapat dipertimbnagkan untuk transmisi HIV
metarnofetal (mengobati wanita hamil dan bayi baru lahir).
Peringatan: toksisitas hematologis (lakukan uji darah tiap 2 minggu selama 3 bulan
pertama, selanjutnya sebulan sekali pemeriksaan darah dapat lebih jarang, tiap 1-3 bulan,
pada infeksi dini dengan fungsi sum-sum tulang yang baik); defisiensi vitamin B12,
gangguan fungsi hati, fungsi ginjal, usia lanjut, kehamilan, tidak dianjurkan menyusui
selama pengobatan.
Kontraindikasi: neutropenia dan atau anemia berat, neonatus dengan hiperbilirubinemia
yang memerlukan terapi selain fototerapi atau dengan peningkatan transaminase.
Efek samping : anemia, neutropenia dan lekopenia ulkus mulut, neuropati perifer,
disfagia, anoreksia, diare, sakit perut, konstipasi, faringitis, sakit kepala, ruam,penurunan

berat badan, lesu, anemia, mual, muntah, anoreksia, sakit perut, sakit kepala, ruam,
demam, insomnia, lesu. Pernah dilaporkan kejang miopati, pigmentasi pada kuku, kulit,
dan mukosa, gangguan fungsi hati dan asidosis laktat.
Dosis

Oral: dosis bervariasi, 500-600 mg/hari dalam 2-5 kali pemberian atau 1 gram
perhari dalam 2 kali pemberian. Anak diatas 3 bulan: 120-180 mg/m2 tiap 6 jam

(maksimum 200 mg tiap 6 jam).


Kehamilan > 14 minggu: oral: 100 mg 5 kali sehari sampai saat persalinan, pada
fase persalinan dan setelah bayi lahir. Intravena: dimulai dengan 2 mg/kg selama
1 jam, kemudian 1 mg/kg sampai saat penjepitan tali pusat. Untuk operasi sesar
selektif: berikan 4 jam sebelum operasi. Neonatus: mulai dalam 12 jam setelah
lahir: per oral 2 mg/kg tiap 6 jam sampai berumur 6 minggu. Atau intravena

selama 30 menit dengan dosis 1,5 mg/kg tiap 6 jam.


Pasien yang sewaktu-waktu tidak dapat minum obat per oral: berikan injeksi
intravena selama 1 jam dengan dosis 1-2 mg/kg tiap 4 jam. Biasanya tidak lebih

dari 2 minggu.
1) Didanosin (DDI)
Indikasi: infeksi HIV progresif atau lanjut; dalam kombinasi dengan antiretroviral yang
lain.
Peringatan: riwayat pankreatitis; neuropati perifer, hiperurisemia, gangguan fungsi hati,
gangguan fungsi ginjal, dan kehamilan.
Kontraindikasi: gangguan fungsi hati dan ibu menyusui

Efek samping : pankreatitis; neuropati perifer, terutama pada infeksi lanjut ,


hiperurisemia asimtomatik, mual, muntah, mulut kering, reaksi hipersensitivitas.
Dosis: Dewasa BB < 60 kg: 125 mg tiap 12 jam. BB > 60 kg: 200 mg tiap 12 jam. Anak
diatas 3 bulan: 120 mg/ m2 tiap 12 jam (90 mg/m2 bila dikombinasi dengan zidovudin).
2) Lamivudin (3TC)
Indikasi: infeksi HIV progresif, dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain.
Peringatan: gangguan fungsi ginjal, penyakit hati yang disebabkan infeksi hepatitis B
kronis dan kehamilan.
Kontraindikasi: ibu menyusui.
Efek samping : nyeri perut, batuk, sakit kepala, insomnia,malaise, nyeri muskuloskeletal,
gejala nasal, mual, muntah, diare.
Dosis: 150 mg tiap 12 jam (sebaiknya tidak bersama makanan). Anak dibawah 12 tahun
keamanan dan khasiatnya belum diketahui.
3) Abacavir(ABC)
Indikasi: mengatasi HIV dengan dikombinasikan dengan antiviral lain
Peringatan: Etanol dapat meningkatkan kadar Abakavir dalam plasma sebesar 41%,
selain itu pasien sebelum memulai terapi dengan obat ini harus diberikan informasi
terkait reaksi hipersensitivitas
Efek samping : sindrom gastrointestinal, keluhan neurologis, dan suatu sindrom
hipersensitivitas yang khas, mual, muntah, dan nyeri abdomen.
Dosis: 300 mg setiap 12 jam atau 600 mg setiap 24 jam
4) Stavudine (d4T)
Indikasi: Untuk mengatasi HIV dengan dikombinasikan dengan antiviral lain
Peringatan:

obat-obat

yang

menyebabkan

neuropati

(misalnya

etambutol,isoniazid,fenitoin) harus digunakan secara hati-hati pada pasien yang

menerima terapi Stavudin. Regimen yg mengandung stavudin,didanosin, dan/atau


hidroksiurea dapat meningkatkan resiko neuropati perifer. Zidovudin dan stavudin tidak
boleh digunakan secara bersamaan.
Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap stavudin atau komponen lain dalam sediaan
Efek samping : neuropati perifer terkait dosis. Neuropati ini menyebabkan mati rasa,
kesemutan, dan nyeri pada kaki yang biasanya akan hilang setelah dosis dihentikan.
Dosis: 30 mg setiap 12 jam
a. Non-nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
1) Nevirapin
Indikasi: sebagai antiretrovirus yang dikombinasi dengan antiretroviral lain.
Peringatan: nevirapin menginduksi CYP3A4 sehingga pemberian bersamaan senyawa
yang dimetabolisme oleh system ini dapat menurunkan kadar obat dalam plasma
Kontraindikasi: kombinasi Rifampin dan Ketokonazol
Efek samping: ruam, demam, rasa lelah, sakit kepala, mengantuk, mual, dan
menigkatnya enzi-enzim hati.
Dosis: anak 2 bulan - <8 th: 4mg/kg/dose, 1 kali sehari selama 14 hari. Dosis dapat
ditingkatkan 7 mg/kg/dose setiap 12 jam. Dosis max: 200 mg, setiap 12 jam. Anak 8 th:
4 mg/kg/dose intitial, 1 kali sehari selama 14 hari. dapat ditingkatkan 4mg/kg/dose setiap
12 jam. Dosis max: 200mg/kg/dose,setiap 12 jam. Dewasa: 200mg, 1 kali sehari selama
14 hari; dosis pemeliharaan: 200mg,2 kali sehari dalam kombinasi dengan antiretrovius
lain.
2) Evavirenz
Indikasi: sebagai antiretroviral yang dikombinasi dengan antiretroviral lain.

Peringatan: Efavirenz dapat menurunkan kadar fenobarbital, fenitoin, karbamazepin,


dan metadon dengan menginduksi CYP 450.
Efek samping: sakit kepala, pening, mimpi yang tidak biasa, gangguan konsentrasi, dan
ruam.
Dosis: anak 3 th: disesuaikan dengan berat badan 10 15 kg: 200 mg, 1 kali sehari; 15
20 kg: 250 mg, 1 kali sehari; 20 25 kg: 300 mg, 1 kali sehari; 25 32,5 kg: 350 mg, 1
kali sehari; 32,5-40 kg: 400 mg, 1 kali sehari; >40 kg: 600 mg, 1 kali sehari. Dewasa: 600
mg, 1 kali sehari.
c. Protease Inhibitor (PI)
i. Sakunavir
Indikasi: sebagai antiretroviral pertama yang diizinkan oleh FDA untuk terapi infeksi
HIV, sakunavir lazim dikombinasi dengan ritonavir karena interaksi farmakokinetiknya
yang menguntungkan.
Dosis: dewasa: oral, 1200 mg, tiap 8 jam.
Efek samping: gangguan GI termasuk mual, muntah, diare, dan gangguan abdomen.
Perhatian dan IO: tidak boleh digunakan bersamaan turunan ergot, sisaprid, triazolam
atau midzolam. Sakunavir merupakan inhibitor CYP3A4 lemah tapi dapat menyebabkab
ii.

aritmia jantung atau sedasi yang lama.


Indinavir
Indikasi: sebagai antiretroviral yang diizinkan oleh FDA untuk anak-anak dan dewasa,
dalam dikombinasi dengan zidovudin dan lamivudin dapat menuingkatkan ketahanan
hidup pasien HIV.
Dosis: anak 4-15 th: 500mg/kg, setiap 8 jam, dewasa oral: Ritonavir 100-200mg, 2 kali
sehari + Indinavir, 800 mg, 2 kali sehari. Ritonavir 400 mg, 2 kali sehari + Indinavir, 400
mg, 2 kali sehari

Efek samping : kristaluria, endapan indinavir dan metabolitnya dapat menyebabkan


kolik ginjal. Perhatian dan IO: pasien yang menerima indinavir harus minum paling
sedikit 72 ons cairan setiap hari.
Ritonavir
Indikasi: merupakan antiretroviral yang diizinkan FDA untuk pasien anak dan dewasa.

iii.

Pada pasien yang terinfeksi HIV-1 yang rentan dan pasien dengan penyakit tahap lanjut.
Dosis:
- Anak >1 bulan: 350-400 mg/kg, 2 kali sehari (dosis maksimum 600 mg). Dosis intitial:
250 mg/kg, 2 kali sehari selama 2 hari atau 500 mg/kg, 1 kali sehari.
- Dewasa: 600 mg, 2 kali sehari.
Efek samping : gangguan GI seperti mual, muntah, nyeri abdomen, dan perubahan rasa.
Parestesia perifer dan perioral juga umum terjadi.
Perhatiaan dan IO: untuk meminimalkan intoleransi pada dewasa dan remaja maka
dosis awal diberikan 300 mg tiap 12 jam dan secara bertahap dapat ditingkatkan sampai
600 mg tiap 12 jam.
iv.

Nelfinavir
Indikasi: sebagai antiretroviral pada dewasa dan anak yang diizinkan oleh FDA terutama
pada infeksi HIV-1, pada pasien yang belum pernah mendapat inhibitor protease HIV dan
lamivudin.
Dosis:
- Anak 2-13 th: 45-55 mg/kg, 2 kali sehari atau 25-35 mg/kg, 3 kali sehari, diberikan
bersama dengan makanan.
-Dewasa: 750 mg, 3 kali sehari dan diberikan bersama dengan makanan.
Efek samping:diare (paling sering terjadi), diabetes, intoleransi glukosa, peningkatan
kadar trigliserida dan kolesterol.
Perhatian dan IO: karena obat ini dimetabolisme oleh CYP3A4 maka pemberian
bersama obat yangdapat menginduksi CYP3A4, misal:rifampin dikontraindikasikan

3. PANDUAN TERAPI

Terapi dengan kombinasi ARV menghambat replikasi virus adalah strategi yang
sukses pada terapi HIV. Ada tiga golongan obat ARV yaitu:
9.1 Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
a. analog nukleosida (NARTI)
b. b.non nukleosida (NNRTI)
9.2 HIV Protease inhibitor (PI)
9.3 Fusion inhibitor
Bila terjadi kegagalan terapi yang dapat disebabkan oleh resistensi atau pasien
tidak dapat menoleransi reaksi obat yang tidak diinginkan maka terapi harus
ditukar.Regimen yang direkomendasikan dan perubahan terapi dapat dilihat pada
tabel.Interaksi yang bermakna dapat terjadi dengan beberapa obat.

Rekomendasi regimen lini pertama terapi dan perubahan terjadi kelini kedua
infeksi HIV pada orang dewasa.
Regimen lini pertama

Regimen lini kedua


RTI

Standar

AZT or d4T + 3 TC + ddI + ABC atau

Pi
PI/r

NVP or EFV
TDF + ABC atau
TDF + 3TC (AZT)
TDF + 3TC + NVP atau ddI + ABC atau
ddI + 3TC (AZT)
EFV
ABC + 3TC + NVP ddI + 3TC (AZT) atau
TDF + 3 TC (AZT)
atau EFV
Alternatif

AZT or d4T + 3 TC + EFV atau NVP ddI


TDF atau ABC

3 TC lamivudine, ABC abacavir, AZT zidovudin, d4T stavudin, ddI didanosine, NFV
nelfinavir, NNRTI non nukleosida reverse transcriptase inhibitor, NRTI nukleosida
reverse transcriptase inhibitor, NVP nevirapine, PI protease inhibitor, /r: ritonavir dosis
rendah, TDF tenofovir disoproxil fumarate (Kusnandar dkk, 2008). Paduan ARV Lini
Pertama yang dianjurkan. Prinsip Pemilihan obat ARV, yaitu pilih lamivudin (3TC)
ditambah satu obat dari golongan nucleoside revere transcriptase inhibitor(NRTI),
zidovudine (AZT) atau stavudin (d4T).
Pilihan Paduan ARV untuk Lini- Pertama
Anjuran

Paduan ARV

Pilihan utama

AZT +
+NVP

Keterangan

3TC AZT dapat menyebabkan anemia, dianjurkan


untuk pemantauan hemoglobin, tapi AZT
lebih
disuka dari pada stavudin (d4T) oleh karena
efek toksik d4T (lipoatrofi, asidosis laktat,
neropati perifer).
Pada awal penggunaan NVP terutama pada
pasien

perempuan

dengan

CD4

>250

berisiko
untuk timbul gangguan hati simtomatik,
yang
biasanya berupa ruam kulit. Risiko gangguan
hati simtomatik tersebut tidak tergantung
berat
ringannya penyakit, dan tersering pada 6
minggu pertama dari terapi.

Pilihan

AZT +
+EFV

alternatif

3TC Efavirenz (EFV) sebagai substitusi dari NVP


manakala terjadi intoleransi dan bila pasien
jugamendapatkan terapi rifampisin. EFV
tidak bolehdiberikan bila ada peningkatan
enzim alaninaminotransferase (ALT) pada
tingkat 4 ataulebih.
Perempuan hamil tidak boleh diterapi
denganEFV. Perempuan usia subur harus
menjalanites kehamilan terlebih dulu
sebelum mulai terapi dengan EFV
d4T dapat digunakan dan tidak memerlukan

d4T +
+NVP
EFV

3TC pemantauan laboratorium


atau

Pilihan Nucleoside reverse transcriptase inhibitor(NRTI)


NRTI

Keunggulan

Lamivudine (3TC)

Memiliki
profil
aman,non-teratogenik
Dosis sekali sehari

Kekurangan
yang Low genetic barier to
resistance

Efektif untuk terapi hepatitis B


Tersedia
dan
mudah
didapat,termasuk dalam dosis
kombinasi tetap
Zidovudine (ZDV

Pada umumnya mudah

atau AZT)

ditoleransi
Dosis sekali sehari

Menimbulkan sakit kepala


danmualpada awal terapi
Anemi berat dan netropenia

Perlu pemantauan kadar


Lebih
jarang
menimbulkankomplikasi
hemoglobin
metabolik seperti
asidosis
laktat
dibandingkandengan d4T
Stavudine (d4T)

Sangat efektif dan murah


Tidak atau sedikit memerlukan
pemantauan laboratorium

Hampir
selalu
terkait
denganefek
samping
asidosis laktat,lipodistrofi
dan neropati perifer

Mudah didapat
Abacavir (ABC)

Sangat efektif dan dosis sekali

Sering timbul reaksi

sehari

hipersensitif berat pada 25%pasien dewasa.

Penyebab lipodistrofi dan


asidosis laktat paling sedikit di

Harga saat
tergolong

antara golongan NRTI yang

sangat mahal

ini

masih

lain.
Tenofovir

Efikasi dan keamanannya

disoproxil

tinggi

fumarat (TDF)

Dosis sekali sehari

Pernah
dilaporkan
kasusdisfungsi ginjalbelum
terbukti
aman
padakehamilan.

Jarang terjadi efek samping

Pernah dilaporkan
adanya efek samping pada

Emtricitabine
(FTC)

metabolic seperti asidosis

pertumbuhan dan gangguan

laktat dan lipodistrofi

densitas tulang janin

FTC merupakan
dari3TCCukup
digunakan

alternatif FTC belum ada di dalam


aman
daftar obat esensial WHO

Memiliki
efikasi
yang
samadengan 3TC terhadap HIV
dan
hepatitis
B.
Dan
sama
profilresistensi dengan 3TC

Memulai dan menghentikan non-nucleosidereverse transcriptase inhibitor (NNRTI)


NVP dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari pertama dalam
paduan ARV lini - pertama bersama AZT atau d4T+ 3 TC . Bila tidak ditemukan tanda toksisitas
hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12 jam. Mengawali terapi dengan dosis rendah
tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi, NVP menginduksi metabolismenya
sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena
NVP yang muncul dini.
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selamalebih dari 14 hari maka
diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.
Menghentikan NVP atau EFV

Hentikan NVP atau EFV


Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari, kemudianhentikan semua obat
Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI yang panjangdan menurunkan risiko
resistensi NNRTI.

Pilihan lain Paduan ARV Lini Pertama

Anjuran

Paduan ARV

Keterangan

Pilihan
lain

TDF + 3TC +

Paduan ini merupakan pilihan terakhir apabila

(NVP atau EFV)

paduan yang lazim tidak dapat ditoleransi.


Pasokan TDF masih sangat terbatas dan
sangat mahal, sebagai persediaan di dalam
paduan lini kedua.

Paduan 3 NRTI

Merupakan paduan yang kurang poten,

: AZT + 3TC +

mungkin dapat dipertimbangkan bagi pasien

ABC

yang tidak dapat mentoleransi atau resisten


terhadap NNRTI ketika PI tidak tersedia atau
disimpan sebagai persediaan lini kedua.
Sebagai terapi pada infeksi HIV-2 dan terapi
koinfeksi HIV/ TB dengan menggunakan rifampisin.

Penggunaan PI untuk mengawali terapi ARV


PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karenapenggunaa PI pada awal
terapi akanmenghilangkan kesempatanpilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber dayanya
masih sangatterbata. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama(bersama kombinasi
standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, padaperempuan dengan CD4>250/ mm3 yang
mendapat ART dan tidak biasmenerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.
Paduan ARV yang tidak dianjurkan
Paduan ARV

Alasan tidak dianjurkan

Mono atau dual terapi untuk

Cepat menimbulkan resisten

pengobatan infeksi HIV kronis


d4T + AZT

Antagonis (menurunkan khasiat kedua obat)

d4T + ddI

Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis,hepatitis dan

lipoatrofi)
Pernah dilaporkan kematian pada ibu hamil
3TC + FTC

Bisa saling menggantikan tapi tidak bolehdigunakan


secara bersamaan

TDF + 3TC +ABC atau

Paduan ini meningkatkan mutasi K65R danterkait


dengan seringnya kegagalan virologi

TDF + 3TC + ddI

secara dini
TDF + ddI + NNRTI manapun

Seringnya kegagalan virologi secara dini

Sindrom Pemulihan imunitas (immunereconstitution syndrome = IRIS)


Definisi

Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system


kekebalantubuh selama terapi ARV.Merupakan reaksi paradoksal
dalam melawan antigen asing (hidupatau mati) dari pasien yang
baru memulai terapi ARV danmengalami pemulihan respon imun
terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari
seluruh kasus IRIS

Frekuensi

10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV25% dari pasien
yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3

Waktu timbul

Umumnya muncul dalam waktu 2 12 minggu pertama


sejakDEPKES RI Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral 26
Edisi II 2007dimulainya terapi ARV, namun dapat pula lebih
lambat.

Tanda dan gejala

Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik


beberapaminggusetelah terapi ARV dimulai sebagai suatu respon
inflamasiterhadap
infeksi
oportunistik
yang
semula
subklinik.Infeksi subklinis dapat muncul seperti halnya TB, yang
tampilsebagai penyakit baru yang aktif.Memburuknya keadaan
infeksi penyerta seperti kambuhnyahepatitis B atau C

Penyakit
penyerta
tersering

60% dari kejadian IRIS terkait dengan infeksi M tuberculosis,


yang MACatau Cryptococcus neoformans.RIS dapat berupa gejala ringan
dan sembuh dengan sendirinya.Teruskan terapi ARV bila pasien
mampu mentoleransinya

Tatalaksana

Terapi IO yang aktif, seperti TB. Hal tersebut dapat


berartimenghentikan untuk sementara terapi ARV pada pasien
denganIRIS yang berat hingga pasien stabil dalam terapi TB,
kemudianterapi ARV dapat dimulai kembali.Ganti NVPdengan
EFV (atau abc bila tersedia) bila pasienmendapat rifampisin dan
terapi ARV menggunakan NVP.
Bila OAT yang mengandung rifampisin telah lengkap dan
selesai,pertimbangkan untuk kembali ke paduan ARV semula.
Dalam hal iniharus dilaksanakan dengan hati-hati bila CD4 telah
meningkat ketikaNVP terakhir digunakan.
Bila tidak tersedia EFV (atau ABC) atau kontraindikasi,
teruskanterapi ARV yang mengandung NVP dengan pemantauan
klinis dantes fungsi hati sesuai gejala.Kadang-kadang ada indikasi
pemberian kortikosteroid untukmenekan proses inflamasi yang
berlebihan, seperti misalnyamunculnya hepatitis akut ketika
diketahui atau diduga ada infeksihepatitis.
Bila pasien menggunakan NVP, dan muncul hepatitis klinis
dan/ataudisertai dengan peningkatan enzym hati serta disertai
munculnyaruam dan demam, kemungkinan besar disebabkan oleh
NVP, bukanIRIS dan dianjurkan untuk menggantinya dengan
EFV.Pada IRS yang berat dianjurkan untuk diberi prednison
(atauprednisolon) 0,5 mg/ kg/ hari selama 5-10 hari.

10. TERAPI PADA KONDISI KHUSUS


Terdapat beberapa kelompok dan keadaan khusus yang memerlukan suatu perhatian
khusus ketika akan memulai terapi antiretroviral. Kelompok khusus tersebut antara lain
kelompok perempuan hamil; kelompok pecandu NAPZA suntik dan yang menggunakan
Metadon. Sementara keadaan khusus yang perlu diperhatikan adalah keadaan Koinfeksi HIV
dengan TB dan Koinfeksi HIV dengan Hepatitis B dan C.
a. Terapi ARV untuk Ko-infeksi Tuberkulosis

Terapi ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai sebesar 90% pada
tingkat individu dan sampai sekitar 60% pada tingkat populasi, dan menurunkan
rekurensi TB sebesar 50%.
Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis :
Mulai terapi ARV pada semua individu HIV dengan TB aktif, berapapun jumlah

CD4.
Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV

selama dalam terapi TB.


Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi.
Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu.
Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ko-infeksi

TB-HIV, potensi menurunkan transmisi bila semua pasien HIV memulai terapi ARV lebih
cepat, dan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan kekambuhan TB dan meningkatkan
manajemen TB pada pasien ko-infeksi TB-HIV.
Terapi ARV untuk Pasien Ko-infeksi TB-HIV
CD4

Paduan yang Dianjurkan

Keterangan

Berapapun jumlah CD4

Mulai terapi TB.


Gunakan
paduan
yang
mengandung EFV (AZT atau
TDF) + 3TC + EFV (600
mg/hari).
Setelah OAT selesai maka
bila perlu EFV dapat diganti
dengan NVP
Pada keadaan dimana paduan
berbasis
NVP
terpaksa
digunakan bersamaan dengan
pengobatan TB maka NVP
diberikan tanpa lead-in dose
(NVP diberikan tiap 12 jam
sejak awal terapi)

Mulai terapi ARV segera


setelah terapi TB dapat
ditoleransi
(antara
2
minggu hingga 8 minggu)

CD4
tidak
diperiksa

mungkin mulai terapi TB.

Mulai terapi ARV segera


setelah terapi TB dapat
ditoleransi
(antara
2
minggu hingga 8 minggu)

Pilihan NNRTI
EFV merupakan pilihan utama dibandingkan NVP, karena penurunan kadar dalam
darah akibat interaksi dengan rifampisin adalah lebih kecil dan efek hepatotoksik yang
lebih ringan.
Pada keadaan TB terdiagnosis atau muncul dalam 6 bulan sejak memulai terapi
ARV lini pertama maupun lini kedua, maka perlu mempertimbangkan substitusi obat
ARV karena berkaitan dengan interaksi obat TB khususnya Rifampisin dengan NNRTI
dan PI.
Berikut merupakan panduan pemakaian terapi ARV pada pasien yang terdiagnosis
TB dalam 6 bulan setelah mulai terapi ARV lini pertama.
Paduan ARV bagi ODHA yang Kemudian Muncul TB Aktif
Paduan ARV

Paduan ARV pada Pilihan Terapi ARV


Saat TB Muncul

Lini pertama

2 NRTI + EFV

Teruskan dengan 2 NRTI + EFV

2 NRTI + NVP

Ganti dengan EFV atau


Teruskan dengan 2 NRTI + NVP.
Triple NRTI dapat dipertimbangkan
digunakan selama 3 bulan jika NVP
dan EFV tidak dapat digunakan.

Anda mungkin juga menyukai