Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Elektrokardiografi (EKG) mempunyai peran mendasar dalam diagnosis infark


miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST). IMA-EST didefinisikan
sebagai peningkatan nilai ambang ST elevasi untuk laki-laki dan perempuan pada
sebagian besar sadapan ≥ 0.1 mV dan peningkatan J-point sebesar ≥ 0.2 mV pada 2
sadapan atau lebih. Peran EKG terutama dalam menentukan lokasi infark maupun
memprediksi letak culprit lesion pada arteri koroner. Vektor deviasi dari segmen ST
pada EKG selama infark transmural akut adalah indikator dari lokasi sumbatan arteri
koroner (Baltazar, 2009).
IMA-EST inferior disebabkan oleh oklusi total dari right coronary artery
(RCA) pada 80% kasus, pada arteri left circumflex (LCx) ataupun LAD dengan
anatomi wrap-around . IMA-EST inferior didefinisikan sebagai elevasi sebesar ≥ 0.1
mV pada setidaknya 2 jenis sadapan diantara sadapan II, III dan aVF (Putten et al,
2010). Untuk membantu diagnosis, diperlukan perekaman 18 sadapan dengan
tambahan sadapan right ventricle/ventrikel kanan (RV) serta sadapan posterior (V7-
V9). Identifikasi lokasi arteri yang tersumbat memberi informasi penting untuk
tatalaksana, karena pada kasus infark ventrikel kanan akibat tersumbatnya RCA
memiliki prognosis yang buruk dan beresiko tinggi adanya gangguan konduksi nodus
atrioventrikular (AV) serta identifikasi arteri yang tersumbat dapat membantu untuk
stratifikasi resiko dan perencanaan prosedur tindakan (Inohara et al, 2013).

Pada perkembangan dimana prosedur intervensi koroner perkutan primer


(IKPP) menjadi metode revaskularisasi utama pada pasien IMA-EST, sehingga sangat
penting untuk meninjau kembali algoritma EKG terdahulu yang digunakan untuk
menentukan atau memprediksi culprit lesion selama tindakan IKP. Kemampuan EKG
dalam memprediksi culprit lesion masih sangat diperlukan untuk membantu terutama
pada kondisi tertentu dimana RCA dan LCx mengalami stenosis yang signifikan,
penentuan culprit lesion dengan angiografi koroner menjadi lebih sulit dan EKG
sangat membantu dalam kondisi tersebut (Verouden et al, 2009).

1
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Kasus I
Laki-laki, 60 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS DR.
Moewardi (RSDM) dengan keluhannyeri dada. Nyeri dada paling berat dirasakan
sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan saat pasien sedang
istirahat. Nyeri dada bertambah bila aktivitas dan berkurang bila istirahat. Sifat nyeri
dada seperti ampeg tertindih benda berat dan tidak tembus ke punggung belakang,
leher, namun menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada dirasakan lebih dari 30 menit. Nyeri
dada disertai dengan keringat dingin, mual dan muntah. Nyeri dada tidak disertai
dengan sesak nafas dan keluhan berdebar disangkal.
Pasien mempunyai riwayat tekanan darah tinggi selama lebih dari 10 tahun
dengan pengobatan yang tidak teratur. Pasien juga memiliki kebiasaan merokok
sebanyak ½ bungkus sehari, sejak umur 18 tahun hingga saat ini. Pasien menyangkal
memiliki riwayat diabetes, dislipidemia, riwayat jantung koroner dan stroke.
Pemeriksan fisik saat di IGD, pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis, dengan tanda vital tekanan darah (TD) 189/99 mmHg, denyut jantung 72 kali
per menit, denyut nadi 72 kali per menit, pernapasan 18 kali per menit, saturasi
oksigen ( SpO2) 98 % dengan O2 nasal kanul 3 liter per menit (lpm). Pasien memiliki
berat badan 60 kg, tinggi badan 168 cm, BMI 21.3 kg/m 2 (normal), BSA 1.67 m2.
Tidak didapatkan konjungtiva anemis dan sklera ikterik. Tekanan vena jugularis 5 + 2
cm H2O.
Pemeriksaan fisik jantung didapatkan iktus kordis tidak tampak dan kuat
angkat, batas jantung tidak melebar. Bunyi jantung 1 dan 2 normal, regular, tidak
didapatkan murmur. Tidak ditemukan suara gallop. Pemeriksaan paru didapatkan
suara dasar vesikuler normal dan tidak didapatkan wheezing, tidak didapatkan ronki
basah halus serta ronki basah kasar di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen
tidak didapatkan ascites dan pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat
dan pulsasi kuat.
Dari pemeriksaan EKG sebelum tindakan fibrinolitik didapatkan sinus rhytm
(SR), denyut jantung 85 kali/menit, normoaxis, durasi gelombang P 0.08 detik,

2
interval PR 0.16 detik, durasi komplek QRS 0.10 detik, dengan gelombang Q
patologis (-), elevasi segmen ST di sadapan II, III, aVF, V5-V9, V4R-V5R, dengan
gambaran depresi segmen ST di sadapan I, aVL. Kesimpulan pembacaan EKG
adalah SR, denyut jantung 85 kali/menit, normoaxis, IMA-EST inferoposterior RV.

Gambar 1. EKG saat di IGD RSDM pre-fibrinolitik yang menunjukkan gambaran SR


dengan denyut jantung 85 kali/menit, normoaxis, IMA-EST inferoposterior RV.

Pasien didiagnosis dengan IMA-EST inferoposterior RV dengan onset 4 jam


serta hipertensi emergensi. Pasien diberikan fibrinolitik. Tatalaksana di IGD adalah
pemberian asam asetilsalisilat (ASA) 320 mg, clopidogrel 300 mg, pemasangan infus
RL 40 ml/jam, pemberian O2 secara nasal kanul 3 lpm, dan pemasangan syringe
pump (SP) nitrogliserin (NTG) 10 mg yang dilarutkan dalam 50 ml NaCl 0.9%
dengan dosis 10 µg/menit dengan kecepatan 3 ml/jam. Dilakukan fibrinolitik dengan
regimen streptokinase 1.5 juta unit yang dilarutkan dalam 100 ml NaCl 0.9% dalam
durasi 30-60 menit. Paska fibrinolitik, diberikan pemberian low molecular weight
heparin (LMWH) enoxaparin dengan dosis 30 mg secara intravena (i.v). Pasien juga
dilakukan pemeriksaan laboratorium rutin dan marker jantung (Hs-Troponin).

3
Setelah dilakukan pemberian fibrinolitik, pasien dilakukan pemeriksaan EKG.
Dari pemeriksaan EKG 60 menit setelah tindakan fibrinolitik didapatkan SR, denyut
jantung 95 kali/menit, normoaxis, durasi gelombang P 0.08 detik, interval PR 0.16
detik, durasi komplek QRS 0.10 detik, dengan gelombang Q patologis (-), elevasi
segmen ST di sadapan II, III, aVF, V5-V9, V4R-V5R, dengan gambaran depresi
segmen ST di sadapan I, aVL. Kesimpulan pembacaan EKG dengan SR dengan
denyut jantung 95 kali/menit, normoaxis, IMA-EST inferoposterior RV.

Gambar 2. EKG saat di IGD RSDM setelah tindakan fibrinolitik yang menunjukkan
gambaran SR dengan denyut jantung 95 kali/menit, normoaxis, IMA-EST inferoposterior RV
dan mengindikasikan kegagalan fibrinolitik.

Pasien selanjutnya dilakukan pemeriksaan rontgen thorax AP, dengan ukuran


dan bentuk kesan normal, dengan kesan CTR48%, tidak didapatkan infiltrat di kedua
lapang paru dan gambaran perihilar hazzines (-), sinus costophrenicus kanan dan kiri
tajam, dengan kesimpulan jantung dan paru normal. Pasien juga dilakukan
pemeriksaan laboratorium, dengan kesimpulan peningkatan marker jantung (Hs-
troponin: 104 ng/dl) serta hipokalemia (3.2 mmol/L) (sesuai tabel 1).

Pasien didiagnosis dengan IMA-EST inferoposterior RV dengan onset 4 jam


paska kegagalan fibrinolitik, kelas Killip I, dengan penyerta hipertensi emergensi dan

4
hipokalemia, dengan skor Thrombolyisis In Myocardial Infarction (TIMI)2/14dan
Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) 114 .

Gambar 3. Gambaran rontgen throax AP (8/3/2020) yang menunjukkan gambaran jantung


dan paru dalam batas normal.

Tabel 1.Hasil Pemeriksaan Laboratrium (8/3/2020 dan 9/3/2020)

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan


Hemoglobin 14.9 11.8-17.5 g/dl
Hematokrit 46 39 %
Leukosit 17.0 4.5-11 ribu/ul
Trombosit 307 150-450 ribu/ul

Eritrosit 5.14 4.50-4.90 juta/ul


GDS 126 60-140 mg/dl
Ureum 25 < 50 mg/dl
Creatinine 1.2 1-1.9 mg/dl
Natrium 142 132-146 mmol/L
Kalium 3.2 3.3-5.1 mmol/L
Calsium 1.14 1.17-1.29 mmol/L
HbsAg Nonreaktif Non-reaktif -
Hs-Troponin 104 ng/L
GDP 106 70-110 mg/dl
G2PP 109 80-140 mg/dl
HbA1C 6.0 4.8-5.9 %
Kolesterol total 178 50-200 mg/dl
Kolesterol LDL 136 88-203 mg/dl
Kolesterol HDL 38 28-71 mg/dl
Trigeliserida 60 < 150 mg/dl
Asam Urat 7.2 2.4-6.1 mg/dl
Anti-HCV Non reaktif Non reaktif -

5
Pasien dirawat di ICVCU ASTER III dengan terapi IVFD RL 0.9% + KCL 25
meq dengan kecepatan 30 ml/jam, diet jantung (DJ) II 1700 kkal, suplementasi O2 3
lpm bila SpO2 < 90 %, bisoprolol 1x 1.25 mg, ASA 1 x 80 mg, clopidogrel 1x 75 mg,
ramipril 1 x 10 mg, atorvastatin 1x 40 mg, injeksi enoxaparin 60 mg setiap 12 jam
secara subkutan, SP NTG 10 mg yang dilarutkan dalam 50 ml NaCl 0.9% dengan
dosis awal 10 µg/menit, kecepatan 3 ml/jam dan dititrasi untuk secepatnya mencapai
target tekanan darah sistolik < 140 mm/Hg. Dengan rencana dilakukan rescue IKP
serta pemeriksaan transtorakal ekokardiografi (TTE), cek laboratorium profil lipid,
anti-HCV dan profil glukosa (GDP, G2PP serta HbA1C).

A
B

Gambar 4.Pemeriksaan TTE 2D pada pasien. Menunjukkan pengukuran EF dengan metode


Simpson Biplane dengan EF 55% (A), pengukuran dimensi LV dan EF Teicholtz dengan
mode 2D didapatkan LVH Konsentrik dan EF 55 % (B), regurgitasi mitral ringan dengan
EROA 0.1 cm2(C), kontraktilitas RV yang menurun dengan TAPSE 1.5 cm (D)

Pasien dilakukan pemeriksaan TTE didapatkan kesimpulan left ventricle


hyperthrophy (LVH) konsentrik dengan adanya regional wall motion abnormalities
(RWMA) hipokinetik di bagian basal-mid inferior, basal inferoseptal dengan
normokinetik segmen lainnya. Ejeksi fraksi (EF) ventrikel kiri normal rendah 55 %

6
dengan tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) 1.5 cm dan didapatkan
regurgitasi mitral ringan dengan ukuran vena contracta width (VCW) 0.2 cm serta
effective regurgitant orifice area (EROA) 0.1 cm2.
Pada 10/03/2020, pasien dilakukan angiografi koroner dan didapatkan hasil
stenosis 30 % di left anterior descending artery (LAD) dengan TIMI Flow III dan
stenosis 70-90 % di RCA sehingga dilakukan IKP 1 DES di proksimal-mid RCA,
TIMI Flow III. Pasien dipulangkan pada hari ke V perawatan dengan terapi ASA 1x
80 mg, clopidogrel 1x 75 mg, atorvastatin 1x 40 mg, ramipril 1x 10 mg dan bisoprolol
1x 5 mg.

A B

C D

Gambar 5.Tindakan angiografi koroner pada pasien. Menunjukkan LCx normal (A),
menunjukkan stenosis 30% di proksimal LAD dengan TIMI Flow III (B), menunjukkan
stenosis 70-90 % di proksimal mid RCA (C), dilakukan PCI dengan pemasangan 1 DES di
proksimal-mid RCA, dengan hasil TIMI Flow III.

7
2.2 Kasus II
Laki-laki, 57 tahun datang ke IGD RSDM merupakan rujukan RS Swasta
dengan diagnosis IMA-EST inferior. Pasien datang ke RSDM dengan keluhan nyeri
dada sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada dirasakan saat pasien
sedang berjalan dari garasi mobil ke ruang makan. Sifat nyeri dada seperti tertindih
benda berat, dada terasa panas dan menembus ke punggung belakang, leher, lengan
kiri serta dirasakan menjalar ke lengan kiri. Pasien juga mengatakan keluhan
dirasakan hingga ke rahang. Nyeri dada dirasakan lebih dari 20 menit. Nyeri dada
bertambah bila pasien beraktivitas dan berkurang bila istirahat. Nyeri dada disertai
dengan keringat dingin, mual dan namun tidak diikuti dengan muntah. Nyeri dada
tidak disertai dengan sesak nafas dan keluhan berdebar disangkal. Keluhan nyeri dada
seperti dirobek disangkal.
Pasien langsung diantar ke RS Swasta Saat pasien tiba di RS Swasta, pasien
diberikan infus RL 20 tetes per menit, injeksi ranitidine 150 mg i.v, clopidogrel 300
mg, ASA 160 mg serta isosorbide dinitrat (ISDN) 5 mg sublingual. Pasien juga
dilakukan pemeriksaan GDS di IGD RS Swasta dengan hasil GDS 428 mg/dl. Pasien
lalu didiagnosis dengan dengan IMA-EST inferior, lalu dirujuk ke RSDM untuk
tatalaksana lebih lanjut.
Pasien menyangkal mempunyai riwayat tekanan darah tinggi. Pasien memiliki
kebiasaan merokok sebanyak 2 bungkus sehari, sejak usia muda, lebih dari 20 tahun
hingga saat ini. Pasien mengatakan mempunyai riwayat diabetes, namun tidak rutin
minum obat, biasanya jika kontrol ke Puskesmas, diberikan Glimepiride 2 mg. Pasien
menyangkal memiliki riwayat dislipidemia, riwayat jantung koroner dan stroke.
Pasien juga menyangkal memiliki riwayat perdarahan lambung, operasi kepala dalam
3 bulan terakhir ataupun keganasan di kepala.
Pemeriksan fisik saat di IGD RSDM , pasien tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, GCS E4V5M6 dengan TD 120/69 mmHg, denyut jantung 86 kali per
menit, denyut nadi 86 kali per menit, pernapasan 18 kali per menit, SpO2 98 %
dengan O2 nasal kanul 3 lpm. Pasien memiliki berat badan 70 kg, tinggi badan 170
cm, BMI 24.2 kg/m2 (normal), BSA 1.82 m2. Tidak didapatkan konjungtiva anemis
dan sklera ikterik. Tekanan vena jugularis 5 + 2 cm H2O.
Pemeriksaan fisik jantung didapatkan iktus kordis tidak tampak dan kuat
angkat, batas jantung tidak melebar. Bunyi jantung 1 dan 2 normal, regular, tidak

8
didapatkan murmur. Tidak ditemukan suara gallop. Pemeriksaan paru didapatkan
suara dasar vesikuler normal dan tidak didapatkan wheezing, tidak didapatkan ronki
basah halus serta ronki basah kasar di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan abdomen
tidak didapatkan ascites dan pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat
dan pulsasi kuat.

Gambar 6. EKG saat di IGD RS Swasta yang menunjukkan SR, denyut jantung 90
kali/menit, normoaksis, IMA-EST inferior.

Dari pemeriksaan EKG dari RS Swasta didapatkan SR, denyut jantung 90


kali/menit, normokasis, durasi gelombang P 0.08 detik, interval PR 0.12 detik, durasi
komplek QRS 0.12 detik, elevasi segmen ST di sadapan II, III, aVF, V5-V6, I dengan
gambaran depresi segmen ST di sadapan V1-V4. Kesimpulan pembacaan EKG
dengan SR, denyut jantung 90 kali/menit, normoaksis, IMA-EST inferior.
Di IGD RSDM dilakukan pemeriksaan ulang EKG dengan tambahan
pemeriksaan di sadapan ventrikel kanan dan posterior. Dari pemeriksaan EKG
didapatkan SR denyut jantung 80 kali/menit, normoaksis, durasi gelombang P 0.08
detik, interval PR 0.12 detik, durasi komplek QRS 0.10 detik, elevasi segmen ST di
sadapan II, III, aVF, V5-V6, I, dengan gambaran depresi segmen ST di sadapan V1-
V4. dengan Kesimpulan pembacaan EKG dengan SR, denyut jantung 80 kali/menit,
normoaksis, IMA-EST inferiorposterior. Pasien juga dilakukan pemeriksaan GDS
didapatkan hasil nilai GDS 464 mg/dl.

9
Gambar 7. Pemeriksaan EKG 18 sadapan saat di IGD RSDM SR, denyut jantung 80
kali/menit, normoaksis, IMA-EST inferiorposterior.

Pasien didiagnosis dengan IMA-EST inferoposterior, dengan onset 7 jam,


Killip kelas I, penyerta hiperglikemia pada DM Tipe II. Di IGD, pasien di tatalaksana
dengan pemberian ASA 160 mg, pemasangan infus RL 60 ml/jam, pemberian O2
secara nasal kanul 3 lpm, injeksi insulin kerja cepat dengan dosis 5 iu secara i.v dan
dilakukan konsultasi sejawat penyakit dalam. Pasien dilakukan fibrinolitik dengan
regimen streptokinase 1.5 juta unit yang dilarutkan dalam 100 ml NaCl 0.9% dalam
durasi 30-60 menit. Paska fibrinolitik, diberikan pemberian LMWH enoxaparin
dengan dosis 30 mg secara intravena (i.v). Pasien juga dilakukan pemeriksaan

10
rontgen thorax, laboratorium rutin dan marker jantung (Hs-Troponin).
Setelah dilakukan pemberian fibrinolitik, pasien dilakukan pemeriksaan EKG.
Dari pemeriksaan EKG 60 menit setelah tindakan fibrinolitik didapatkan SR, denyut
jantung 90 kali/menit, normoaxis, durasi gelombang P 0.08 detik, interval PR 0.16
detik, durasi komplek QRS 0.12 detik, dengan gelombang Q patologis (-), elevasi
segmen ST di sadapan II, III, aVF, I, V7-V9, dengan gambaran depresi segmen ST
di sadapan V1-V4. Kesimpulan pembacaan EKG dengan SR dengan denyut jantung
90 kali/menit, normoaxis, IMA-EST inferoposterior dengan fibrinolitik yang berhasil.

Gambar 8. EKG saat di IGD RSDM setelah tindakan fibrinolitik yang menunjukkan
gambaran SR dengan denyut jantung 90 kali/menit, normoaxis, IMA-EST inferoposterior dan
mengindikasikan fibrinolitik yang berhasil.

11
Pasien selanjutnya dilakukan pemeriksaan rontgen thorax AP, dengan ukuran
dan bentuk kesan normal, dengan kesan CTR 48%, pinggang jantung (+), tidak
didapatkan infiltrat di kedua lapang paru dan gambaran perihilar hazzines, sinus
costophrenicus kanan dan kiri tajam, dengan kesimpulan jantung dan paru normal.
Pasien juga dilakukan pemeriksaan laboratorium, dengan kesimpulan peningkatan
marker jantung (Hs-troponin: 1263 ng/dl) (sesuai tabel 2).
Pasien didiagnosis dengan IMA-EST inferoposterior dengan onset 7 jam
dengan fibrinolitik yang berhasil, Kelas Killip I, dengan penyerta hiperglikemia pada
DM Tipe II dengan skor TIMI 5/14 dan GRACE 176.

Gambar 9. Gambaran rontgen thorax AP (1/9/2019) yang menunjukkan gambaran jantung


dan paru dalam batas normal.

Pasien dirawat di ICVCU ASTER III dengan terapi IVFD RL 60 ml/jam, DJ II


1700 kkal, suplementasi O2 3 lpm bila SpO2< 90 %, ASA 1 x 80 mg, clopidogrel 1x
75 mg, ramipril 1 x 2.5 mg, atorvastatin 1x 40 mg, laxadin 3 x 5 ml, injeksi
enoxaparin 60 mg setiap 12 jam secara subkutan dan bisoprolol 1 x 2.5 mg, dan
pemberian insulin novorapid 3 x 6 iu s.c serta injeksi lantus 0-0-0-6 iu s.c. Dengan
rencana dilakukan strategi IKP rutin dini serta pemeriksaan TTE, cek laboratorium
profil lipid, anti-HCV dan profil glukosa (GDP, G2PP serta HbA1C).

12
Tabel 2.Hasil Pemeriksaan Laboratrium (1/8/2019 dan 2/8/2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hemoglobin 11.9 11.8-17.5 g/dl
Hematokrit 40 39 %
Leukosit 12.0 4.5-11 ribu/ul
Trombosit 185 150-450 ribu/ul

Eritrosit 68.1 4.50-4.90 juta/ul


GDS 405 60-140 mg/dl
Ureum 22 < 50 mg/dl
Creatinine 0.6 1-1.9 mg/dl
Natrium 131 132-146 mmol/L
Kalium 4.3 3.3-5.1 mmol/L
Calsium 1.21 1.17-1.29 mmol/L
HbsAg Non-reaktif Non-reaktif -
Hs-Troponin 1263 ng/L
GDP 229 70-110 mg/dl
G2PP 259 80-140 mg/dl
HbA1C 12.0 4.8-5.9 %
Kolesterol total 173 50-200 mg/dl
Kolesterol LDL 115 88-203 mg/dl
Kolesterol HDL 43 28-71 mg/dl
Trigeliserida 98 < 150 mg/dl
Anti HCV Non reaktif Non reaktif
Asam urat 4.0 2.4-6.1 mg/dl

Pasien dilakukan pemeriksaan TTE didapatkan kesimpulan consentric


remodelling dengan adanya RWMA hipokinetik di bagian basal-mid inferolateral,
inferior dengan normokinetik segmen lainnya. Kontraktilitas ventrikel kiri menurun
dengan EF 48-51 %, TAPSE 2.3 cm, disfungsi diastolik grade I dan dengan katup-
katup normal.

13
A

B
A

Gambar 10. Pemeriksaan TTE 2D pada pasien. Menunjukkan pengukuran EF dengan metode
Simpson Biplane dengan EF 48 % (A), pengukuran dimensi LV dan EF Teicholtz dengan M-
Mode didapatkan consentric remodelling dan EF 51 % (B) kontraktilitas RV normal dengan
TAPSE 2.3 cm (C).

Pada tanggal 2/8/2019, pasien dilakukan tindakan angiografi koroner dan


didapatkan hasil mild stenosis 30 % di mid LAD dengan TIMI Flow III dan stenosis
90 % dengan di proksimal LCx sehingga dilakukan IKP 1 DES di proksimal LCx
dengan TIMI Flow III. Pasien dipulangkan dengan terapi ASA 1x 80 mg, clopidogrel
1x 75 mg, Atorvastatin 1x 40 mg, Ramipril 1x 5 mg dan bisoprolol 1x 5 mg.

14
A

C D

Gambar 11. Tindakan angiografi koroner pada pasien. Menunjukkan RCA normal (A),
menunjukkan stenosis 30% di mid LAD dengan TIMI Flow III (B), menunjukkan stenosis 90
% di proksimal LCx (C), dilakukan IKP dengan pemasangan 1 DES di proksimal LCx dengan
hasil TIMI Flow III (D).

15
BAB III
PEMBAHASAN

III.1 Vaskularisasi RCA dan LCx


RCA hampir selalu menyuplai darah ke ventrikel kanan. Sementara itu, arteri
koroner kiri/left coronary artery (LCA) menyuplai sisi anterior dari ventricular
septum dan dinding anterior dari ventrikel kiri. Pembuluh darah koroner yang
menyuplai sisi ventrikel kiri lainnya bervariasi, tergantung dari sistem pembuluh
koroner yang dominan (Kini et al, 2007).

Gambar 12. Anatomi arteri koroner.A. Tampilan skematis dari RCA dan LCA yang
menunjukkan orientasinya satu sama lain. B. Sudut pandang anterior. C Sudut pandang
posterior yang menunjukkan bagian terminal dari RCA dan LCx serta cabang-cabangnya
(Lily, 2006).

RCA berasal dari sinus koroner kanan dan kemudian berjalan di jalur AV
kanan, melewati atrium kanan /right atrium (RA) dan RV di posterior. Pada 50-60%
kasus, percabangan konus (conus branch) merupakan cabang pertama dari RCA,
namun pada 20-30% kasus dapat pula berasal langsung dari aorta (Kaligis, 2012).
Pada kebanyakan orang, distal RCA memberikan cabang yang besar, yakni arteri

16
desenden posterior/posterior descending artery (PDA). Pembuluh darah ini kemudian
berjalan menelusuri celah AV pada sisi anterior lalu mengarah turun menuju sisi
inferoposterior ke arah apeks. Pada segmen septum interventrikuler, pembuluh darah
ini menyuplai darah ke dinding inferior dan posterior ventrikel serta 1/3 posterior dari
septum interventrikuler (Lily, 2016). Pada segmen ini, RCA memiliki beberapa
cabang yang memperdarahi dinding anterior RV yang disebut arteri marginal akut
(Kini et al, 2007). Tepat sebelum RCA bercabang menjadi arteri desenden posterior,
RCA memberikan percabangan ke arteri nodus AV (Lily, 2016).
LCx merupakan salah satu cabang dari LCA. LCx berjalan di alur AV kiri
diantara left atrium (LA) dan LV melewati seputar batas kiri jantung untuk mencapai
permukaan posterior. LCx memberikan cabang obtuse marginal yang besar dan bisa
lebih dari satu (M1, M2 dan seterusnya) serta menyuplai dinding lateral dan posterior
LV (Kaligis, 2012).Suplai darah ke nodus SA pada 70% kasus berasal dari RCA.
Meskipun demikian, pada 25% jantung normal, arteri nodus SA berasal dari LCx dan
5 % dari kasus berasal dari RCA dan LCx (Lily, 2016).
Percabangan RCA menentukan dominansi sistem pembuluh darah koroner.
Pada 80-85 % populasi, arteri nodus AV, PDA dan cabang posterolateral muncul dari
RCA. PDA dan cabang posterolateral memperdarahi dinding inferior dan inferoseptal
LV serta dikenal sebagai sistem pembuluh darah koroner kanan. Apabila PDA dan
cabang posterolateral mendapat suplai dari LCx, maka sistem perdarahan ini dikenal
sebagai sistem pembuluh darah dominan kiri dan mencakup 15-20 % dari populasi
(Kini et al, 2007). Pada 5 % populasi lainnya, RCA menyuplai darah ke PDA dan
LCx menyuplai darah ke cabang posterolateral, yang membentuk sirkulasi ko-
dominan (Lily, 2016).

III.2 Sadapan EKG posterior dan RV


IMA-EST inferior dapat merupakan manifestasi yang muncul akibat
tersumbatnya RCA maupun LCx (Malik et al, 2006). Identifikasi lokasi arteri yang
tersumbat memberikan informasi penting untuk tatalaksana, karena pada kasus infark
ventrikel kanan akibat tersumbatnya RCA memiliki prognosis yang buruk dan
beresiko tinggi adanya gangguan konduksi pada nodus AV dan juga indentifikasi
arteri yang tersumbat dapat membantu untuk stratifikasi resiko dan perencanaan
prosedur tindakan (Kakouros and Cokkinos, 2010). Infark RV sangat jarang terjadi
sebagai suatu kondisi tunggal, dan diperkirakan antara 30%-50% kasus terjadi

17
bersamaan dengan IMA-EST posterior. Namun, infark RV seringkali tidak
terdiagnosis walaupun seringkali erat terkait dengan IMA-EST posterior, dan kadang
IMA-EST anterior. Sehingga pemasangan sadapan EKG posterior dan RV sangat
penting dalam membantu menegakkan lokasi infark dari varian IMA-EST inferior
(Ibanez et al, 2018).

Gambar 13. Lokasi infark pada IMA-EST dapat ditentukan atau diprediksikan dengan
melihat hubungan antara 18 sadapan EKG dengan arteri koroner(Rashwani, 2016).

Sadapan EKG posterior digunakan untuk memeriksa arus listrik pada dinding
posterior jantung, dan tidak selalu diperiksa. Menurut European Society Of
Cardiology (ESC) pada Guidelines for the management of acute myocardial
infarction in patients with ST-segment elevation, indikasi pemeriksaan sadapan
posterior (V7-V9) yakni bila ada kecurigaan tinggi adanya infark miokard posterior
(oklusi LCx) dengan rekomendasi kelas IIa, level of evidence (LOE) B (Ibanez et al,
2018). Sadapan posterior ditempatkan pada 3 tempat atau posisi sebagai berikut
(Goldberger et al, 2018).
 Lead V7 - Terletak sejajar dengan lead V4-6 di linea axillaris posterior kiri
 Lead V8 - Terletak sejajar dengan lead V4-6 di bawah tip dari tulang
skapula
 Lead V9 – Terletak sejajar dengan lead V4-6 di linea paravertebrakiri

Sadapan EKG prekordial kanan merupakan sadapan yang digunakan untuk


menilai arus listrik dinding jantung pada bagian RV dan sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis infark miokard RV. Sadapan ini biasanya direkam bila pada

18
EKG 12 sadapan terdapat infark pada dinding inferior, untuk menilai adanya
keterlibatan pada dinding RV (Ibanez et al, 2018). Sadapan ini direkam secara
terbalik pada sadapan prekordial kiri yang terbagi atas 6 posisi sebagai berikut
(Goldberger et al, 2018).
 Lead V1 R - Terletak di ICS 4 Linea Parasternalis Kiri
 Lead V2 R - Terletak di ICS 4 Linea Parasternalis Kanan
 Lead V3 R - Terletak diantara Lead V2 R dan V4 R
 Lead V4 R - Terletak di ICS 5 Linea Midklavikularis Kanan
 Lead V5 R - Terletak sejajar Lead V4 di Linea Axillaris Anterior Kanan
 Lead V6 R - Terletak sejajar Lead V4 di Linea Midaxillaris Kanan

Tabel 3.Indikasi pemeriksaan sadapan posterior dan prekordial kanan (Ibanez et al, 2018)

Gambar 14. Pemasangan sadapan posterior dan RV (Goldberger et al, 2018).

III.3 Algoritma untuk penentuan Culprit Lesion pada IMA-EST Inferior


EKGmasih menjadi pemeriksaan penunjang penting dalam penegakan
diagnosis dan tatalaksana sindroma koroner akut (SKA). EKG juga dapat membantu
dalam menentukan culprit lesion pada IMA-EST sebelum dilakukan tindakan invasif.
Meskipun demikian, spesifitas EKG pada SKA dipengeruhi beberapa faktor seperti
variasi anatomi koroner, adanya penyakit jantung koroner sebelumnya, terdapat
sirkulasi koroner kolateral atau riwayat coronary artery bypass graft (CABG) (Rott et
al, 2009). Salah satu faktor yang menentukan lokasi sumbatan arteri koroner pada
EKG adalah arah vektor deviasi segmen ST (injury current) yang selalu beriorientasi
ke arah area infark (Malik et al, 2006; Luna et al, 2017).

19
III.3.1 Algoritma untuk membantu penentuan Culprit Lesion pada IMA-EST
Inferior (RCA atau LCx)
Injury current pada sumbatan RCA tegak lurus atau membentuk sudut lancip
dengan aksis sadapan aVR, sedangkan injury current pada sumbatan LCx membentuk
sudut yang lebih tumpul dengan aksis sadapan aVR (Fiol et al, 2004). Oleh karena itu,
depresi segmen ST pada aVR cenderung lebih sering terjadi pada sumbatan LCx dan
jarang pada sumbatan RCA. Meskipun demikian, perubahan yang terjadi pada lead
aVR memiliki sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kriteria EKG
lainnya untuk menentukan culprit lesion pada IMA-EST inferior tetapi masih berguna
untuk menentukan luas area infark (Kuhl and Berg, 2009).
Terdapat macam-macam gambaran EKG dan angiografi yang mempunyai
pengaruh signifikan pada sensitifitas kriteria EKG untuk menentukan culprit lesion.
Kriteria EKG yang mendukung sumbatan pada RCA lebih reliabel bila disertai
deviasi ST segmen yang signifikan. Oleh karena itu, sensitifitas algoritma EKG akan
lebih tinggi bila dilakukan setelah onset keluhan, karena semakin lama akan terjadi
penurunan besarnya deviasi segmen ST pada area miokard yang mengalami iskemia
persisten akibat menurunnya injury current dan electrical uncoupling pada
kardiomiosit di area tersebut (Somers et al, 2003).

Gambar 15. Lokasi infark (A), vector injury (B), perubahan EKG (C) dan segmen yang
dipengaruhi pada bull view (D) pada kasus oklusi RCA proksimal (Fiol et al, 2004).

Gambar 16. Lokasi infark (A), vector injury (B), perubahan EKG (C) dan segmen yang
dipengaruhi pada bull view (D) pada kasus oklusi RCA distal (Fiol et al, 2004).

20
Gambar 17. Lokasi infark (A), vector injury (B), perubahan EKG (C) dan segmen yang
dipengaruhi pada bull view (D) pada kasus oklusi LCx (Fiol et al, 2004).

Beberapa algoritma sudah dikaji dalam beberapa penelitian, untuk


memprediksikan culprit lesion pada pasien dengan IMA-EST inferior. Salah satu
petunjuk penting pada sadapan prekoardial yang menguatkan adanya sumbatan pada
proksimal RCA yang disertai dengan RV infark pada IMA-EST inferior adalah
elevasi segmen ST pada sadapan V1. Hal ini karena hanya sadapan V1 pada sadapan
prekordial yang mempresentasikan RV (Somers et al, 2003). Akan tetapi, kriteria
EKG yang lebih sensitif dalam menentukan infark RV adalah elevasi segmen ST
lebih dari 1 mm dengan defleksi positif pada gelombang T. Parameter ini akan jarang
terlihat jika onset lebih dari 12 jam (Karbalaie et al, 2014).

Infark RV yang menghasilkan gambaran elevasi segmen ST pada sadapan V1-


V4 dapat dibedakan dari infark anterior dengan cara melihat bahwa elevasi segmen
ST pada sadapan V1 lebih tinggi dari V2, terdapat pula elevasi di V3R dan V4R,
depresi segmen ST di V6, serta elevasi segmen ST di sadapan II, III, dan aVF. Elevasi
segmen ST pada V1 berhubungan erat dengan elevasi di V3R dibanding V2. Hal ini
menunjukkan bahwa elevasi di V1 mencerminkan proses infark di RV dibanding LV.
Hal ini seperti yang ditemukan pada kasus ini dimana oklusi total didapatkan pada
RCA (Birnbaum and Drew, 2003).

Terdapat beberapa kriteria EKG yang secara konvensional telah digunakan


untuk mengidentifikasi sumbatan pada RCA pada IMA-EST inferior. Kriteria tersebut
meliputi: 1) elevasi segmenST pada sadapan III lebih tinggi daripada sadapan II dan
2) depresi segmen ST lebih dari 1 mm pada sadapan I atau aVL .Kriteria ini memiliki

21
sensitivitas sebesar 70% dan spesifitas sebesar 72%, bahkan pada penelitian lain
sensitivitas ini mencapai 90% (Balthazar, 2009).

Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa depresi segmen ST pada


sadapan aVL memiliki kecenderungan tinggi adanya sumbatan RCA (Wung, 2007).
Sementara itu, pola elevasi segmen ST pada sadapan posterior tanpa disertai depresi
segmen ST pada sadapan aVL memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi untuk
penyumbatan pada LCx (Fiol et al, 2004). Sebagai tambahan, elevasi segmen ST pada
sadapan posterior (V7-V9) lebih sering muncul pada penyumbatan LCx dibandingkan
RCA. Sebaliknya, elevasi pada segmen ST pada sadapan RV (V3R-V5R), sadapan
inferior (II,III, aVF) dan sadapan prekordial (V1-V3) serta depresi segmen ST pada
sadapan lateral (I, aVL) secara signifikan lebih sering terjadi pada penyumbatan RCA
(Putten et al, 2010).

Berbagai penelitian terdahulu juga menujukkan bahwa elevasi segmen ST di


sadapan V4R bernilai diagnostik dari infark RV, dengan sensitivitas 80-100 % pada
kondisi elevasi segmen ST > 1 mm (Somers et al, 2003). Elevasi segmen ST > 1 mm
pada sadapan V4R memiliki sensitivitas 100 %, spesifitas 87 % dan akurasi prediktif
92 % dalam mendeteksi infark RV akibat oklusi di RCA diatas ventricular branch
(Somers et al, 2003).

A B

Gambar 18. Gambaran di sadapan I (A) dan V4R (B) pada IMA-EST inferior yang dapat
memberikan informasi tambahan dalam penentuan culprit lesion yang disebabkan RCA atau
LCx (Luna et al, 2017; Malik et al, 2006).

Beberapa algoritma telah dikembangkan untuk mengindentifikasi culprit


lession pada IMA-EST inferior, meliputi algoritma oleh Fiol dan Tieralla (Putten et
al, 2010). Validasi terhadap algoritma tersebut memperlihatkan bahwa kedua
algoritma memiliki sensitivitas dan spesifitas yang cukup tinggi untuk mendiagnosa
RCA sebagai culprit lesion. Untuk mendiagnosa LCx sebagai culprit lesion kedua

22
algoritma tersebut memiliki spesifitas yang tinggi, namun sensitivitasnya rendah.
Penelitian validasi tersebut juga memperlihatkan bahwa algoritma tersebut lebih baik
pada kejadian IMA-EST dibandingkan pada kejadian IMA-NEST (Putten et al, 2010).

Gambar 19. Langkah penerapan algoritma Fiol yang digunakan dalam penentuan culprit
lesion pada IMA-EST inferior yang disebabkan oleh obstruksi RCA atau LCx (Putten et al,
2010).

Gambar 20 .Langkah penerapan algoritma Tieralla yang digunakan dalam penentuan culprit
lesion pada IMA-EST inferior yang disebabkan oleh obstruksi RCA atau LCx (Putten et al,
2010).

23
Untuk membantu dalam menentukan culprit lesion dari IMA-EST inferior,
beberapa buku ajar kardiologi memadukan beberapa algoritma yang sudah terbukti
dalam berbagai validasi uji klinis, sebagai panduan untuk menentukan lokasi
obstruksi arteri yang lebih presisi (Luna et al, 2017). Ada beberapa langkah yang
dilakukan yaitu sebagai berikut (Lunaet al, 2017; Fiol et al, 2004).
1. Melakukan pemeriksaan apakah dilakukan pemasangan sadapan di
prekordial kanan. Sadapan ini akan membantu dalam membedakan antara
obstruksi di proksimal RCA dengan keterlibatan RV (elevasi segmen ST),
distal RCA (gelombang T positif) ataupun LCx (gelombang T negatif).
2. Pada perekaman EKG dengan 12 sadapan, yang pertama kali dievaluasi
adalah segmen ST pada sadapan I. ST depresi pada sadapan I
mengindikasikan kemungkinan RCA sebagai culprit lesion (injury vector
tidak hanya ke bawah, yang ditunjukkan dengan adanya elevasi segmen ST
pada sadapan II, III, aVF, namun juga ke kearah kanan dan berasal dari
depresi segmen ST di sadapan I (Gambar 17.A). Elevasi segmen ST di
sadapan I juga mengindikasikan LCx sebagai culprit lesion karena vector
injury mengarah ke kiri (Gambar 16).
3. Pada kasus segmen ST isoelektrik di sadapan I, harus dilakukan evaluasi
pada elevasi segmen ST di sadapan II apakah seimbang atau lebih tinggi dari
elevasi segmen ST di sadapan III. Pada kasus ini, mengindikasikan LCx
sebagai culprit lesion karena vector injury mengarah ke kiri dan jika yang
terjadi adalah elevasi segmen ST pada sadapan II < III, meskipun
kemungkinan RCA merupakan culprit lesion, namun masih menimbulkan
beberapa perdebatan, sehingga diperlukan langkah selanjutnya.
4. Lakukan evaluasi dengan menjumlahkan depresi segmen ST di V1-V3 dan
dibagi dengan penjumlahan elevasi segmen ST di sadapan II, III, aVF, jika
rasio yang dihasilkan hasilnya > 1, maka mengindikasikan LCx sebagai
culprit lesion, sedangkan jika rasio yang dihasilkan seimbang atau < 1 maka
mengindikasikan RCA sebagai culprit lesion.
5. Ketika mengevaluasi EKG dengan kecurigaan oklusi RCA karena adanya
depresi sgemen ST di sadapan I, elevasi segmen ST pada sadapan III>II, dan
kurangnya depresi segmen ST pada sadapan V1-V3, kemungkinan
menunjukkan keterlibatan RV karena vector injury mengarah ke belakang

24
(Gambar). Kurangnya depresi segmen ST pada sadapan V1-V2 juga tampak
pada kasus IMA-EST inferior dengan tidak adanya keterlibatan RV.

ST elevasi pada sadapan II, III, aVF

Oklusi RCA atau LCx

Sadapan V4R ?

Ya Tidak

Isoelektrik

Ya Tidak

Ya Tidak

Gambar 21.Penerapan algoritma yang digunakan dalam membantu penentuan culprit lesion
pada IMA-EST inferior yang disebabkan oleh obstruksi RCA atau LCx (Luna et al, 2017).

III.3.2 IMA-EST dengan elevasi simultan sadapan inferior dan anterior


Meskipun elevasi segmen ST anterior dan inferior secara simultan pada IMA-
EST dapat memberikan kesan terjadinya iskemia luas karena kerusakan miokard yang
kritis, pola EKG ini sering terjadi pada lesi LAD yang relatif distal (Roy et al, 2004).
Penelitian pada 379 pasien IMA-EST anterior menunjukkan bahwa oklusi pada distal
LAD dan hadirnya LAD wrap-around menjadi skenario paling sering yang
menyebabkan adanya gambaran IMA-EST inferior pada IMA-EST anterior,
(Bozbeyoglu et al, 2019). LAD wrap-around didefinisikan sebagai LAD pada
pemeriksaan angiografi koroner paska reperfusi yang memberikan perfusi pada ¼
dinding inferior dari LV pada proyeksi right anterior oblique (Roy et al, 2004).

25
A

Gambar 22. Gambaran EKG di yang menunjukkan elevasi segmen ST di sadapan V1-V4
serta adanya elevasi di sadapan II, III, aVF yang menunjukkan oklusi distal LAD dengan
kemungkinan anatomi wrap around (A) dan gambaran skematis yang menunjukkan
LADwrap-around (Luna et al, 2017; Akdemir et al, 2004).

Beberapa hipotesa dari beberapa penelitian terdahulu telah diajukan untuk


menjelaskan fenomena ini. Adanya elevasi segmen ST inferior dapat disebabkan oleh
IMA dinding inferior karena sumbatan LAD wrap-around dimana lesi LAD terletak
di distal dari D1 (Sasaki et al, 2001). Pada kondisi ini tidak ada perubahan resiprokal
yang disebabkan oleh dinding high lateral, yang dapat menyembunyikan elevasi
segmen ST. Jika terdapat oklusi pada LAD distal dengan anatomi yang tidak bersifat
wrap-around maka tidak akan terjadi elevasi segmen ST pada sadapan inferior karena
dominasi vektor kerusakan miokard mengarah ke anterior. Demikian pula apabila
terdapat oklusi LAD proksimal dengan anatomi wrap-around, juga tidak akan
ditemukan elevasi segmen ST di inferior karena dominasi vektor kerusakan miokard
mengarah ke anterior (Akdemir et al, 2004; Sasaki et al, 2001).

Gambar 23. Lokasi infark (A), vector injury (B), perubahan EKG (C) dan segmen yang
dipengaruhi pada bull view (D) pada kasus oklusi LAD distal dari D1 (Fiol et al, 2004).

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa lokasi oklusi yang mendekati segmen
basal tampak dominan dalam menentukan apakah LAD mempengaruhi dinding

26
inferior atau tidak mempengaruhi elevasi segmen ST inferior (Bozbeyoglu et al,
2019). Ketika terjadi oklusi pada distal LAD dengan anatomi wrap-around, akan
menyebabkan vektor segmen ST akan mengarah kebawah yang menyebabkan
terbentuknya elevasi segmen ST inferior (Bozbeyoglu et al, 2019).

Gambar 24. Jika pasien tidak memiliki LAD wrapped dan lokasi oklusi di distal dari D1
maka terdapat gambaran elevasi segmen ST di sadapan anterior dan sadapan inferior tetap
isoelektrik (A); jika pasien memiliki LAD wrapped dan lokasi oklusi di distal D1, elevasi
segmen ST terjadi di sadapan anterior dan inferior secara bersamaan (Akdemir et al, 2004).

ST elevasi pada sadapan V1-2 hingga V4-6

Oklusi LAD

Periksa segmen di II, III, aVF

∑ depresi ST di III + aVF ≥ 2.5 mm ∑ depresi ST di III + aVF ≥ 2.5 mm


Oklusi proksimal S1
Oklusi proksimal D1  ∑ elevasi ST aVR +
Oklusi distal D1
V1 + depresi V6 ≥ 0
 RBBB baru

Gambar 25. Langkah penerapan algoritma yang digunakan dalam membantu penentuan
culprit lesion pada IMA-EST anterior (Luna et al, 2017).

Mortalitas dan morbiditas pasien dengan IMA-EST inferior sebagian


ditentukan oleh lokasi culprit lesion. Pasien IMA-EST inferior disertai dengan infark
RV memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya syok, aritmia dan kematian.
Terdapat sistem skoring untuk menentukan frekuensi komplikasi pada keterlibatan
okluasi RCA pada IMA-EST inferior (Almansori et al, 2010). Skor > 2 mempunyai
probabilitas > 90 % untuk keterlibatan RCA dan komplikasi seperti hipotensi, gagal
jantung kanan akut yang lebih besar (tabel 4) (Almansori et al, 2010).

27
Tabel 4. Skor RCA dengan frekuensi komplikasi akibat oklusi RCA ( Almansori et al, 2010).

SKOR RCA
Medium
LUARAN Rendah (≤ 0) (1 atau 2) Tinggi (≥2) P

Hipotensi
Gagal Jantung Kanan
Gagal jantung Kongestif
Syok
Bradikardia

Pada pasien pertama,dengan diagnosis IMA-EST inferoposterior RV, pada


pemeriksaan EKG didapatkan depresi segmen ST di sadapan I > 0.05 mm, elevasi
segmen ST> 1mm di V4R dan gelombang T positif, serta elevasi segmen ST di
sadapan III>II, sehingga prediksi culprit lesion adalah proksimal RCA. Prediksi ini
didukung dengan hasil pemeriksaan TTE didapatkan RWMA hipokinetik di bagian
basal-mid inferior, basal inferoseptal yang merupakan teritori koroner dari RCA.
Pasien dilakukan tindakan angiografi koroner dan didapatkan hasil stenosis 30 % di
LAD dengan TIMI Flow III dan stenosis 70-90 % di RCA sehingga dilakukan
stenting 1 DES di proksimal-mid RCA, TIMI Flow III. Hasil angiografi koroner yang
menunjukkan adanya stenosis 70-90 % di RCA menandakan RCA merupakan culprit
lesion pada pasien ini.

D
C

Gambar 26. Peran EKG dalam membantu penentuan culprit lesion IMA-EST inferior di
RCA yang dikonfirmasi dengan angiografi koroner.Depresi segmen ST di sadapan I > 0.05
mm (A), elevasi segmen ST > 1mm di V4R dan gelombang T positif (B), elevasi segmen ST
di sadapan III>II (C), stenosis 70-90 % di proksimal mid RCA (D).

28
Pada pasien kedua, dengan diagnosis IMA-EST inferoposterior pada
pemeriksaan EKG didapatkan elevasi segmen ST di sadapan I ≥ 0.05 mm, depresi
segmen ST di sadapan V1-V4, depresi segmen ST dan gelombang T negatif di V4R
serta elevasi segmen ST di sadapan II>III, sehingga prediksi culprit lesion adalah
LCx. Hasil pemeriksaan TTE juga didapatkan RWMA hipokinetik di bagian basal-
mid inferior, inferolateral, yang merupakan teritori koroner dari RCA ataupun LCx.
Pasien dilakukan tindakan angiografi koroner dan didapatkan hasil adanya stenosis
30 % di mid LAD dan stenosis 90 % di proksimal LCx sehingga dilakukan stenting 1
DES di proksimal-distal LCx dengan TIMI Flow III. Hasil angiografi koroner yang
menunjukkan adanya stenosis 90 % di LCx menandakan LCx merupakan culprit
lesion pada pasien ini.

A
D

C E

Gambar 27. Peran EKG dalam membantu penentuan culprit lesion IMA-EST inferior di LCx
yang dikonfirmasi dengan angiografi koroner. Menunjukkan elevasi segmen ST di sadapan I ≥
0.05 mm (A),elevasi segmen ST di sadapan II>III (B) depresi segemn ST serta gelombang T
negatif di V4R (C) depresi segmen ST di sadapan V1-V4 (D) pada angiografi koroner
menunjukkan stenosis 90 % di proksimal LCx (E).

29
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan dua kasus pasien dengan IMA-EST inferior. Pada kedua
pasien dilakukan pemeriksaan EKG dengan 18 sadapan untuk meningkatkan
keakuratan diagnosis serta membantu dalam menentukan culprit lesion pada kedua
pasien. Untuk menentukan lokasi culprit lession pada kedua pasien, dilakukan analisa
dengan algoritma yang telah ada sebelumnya, serta dikonfirmasi dengan pemeriksaan
angiografi koroner.
Pada pasien pertama,pada pemeriksaan EKG didapatkan depresi segmen ST di
sadapan I > 0.05 mm, elevasi segmen ST > 1mm di V4R dan gelombang T positif,
serta elevasi segmen ST di sadapan III>II, sehingga prediksi culprit lesion adalah
proksimal RCA. Pasien dilakukan tindakan angiografi koroner dan didapatkan hasil
adanya stenosis 30 % di LAD dengan TIMI Flow III dan stenosis 70-90 % di RCA
sehingga dilakukan IKP 1 DES di proksimal-mid RCA, TIMI Flow III.
Pada pasien kedua, dengan diagnosis IMA-EST IMA-EST inferoposterior
lateral pada pemeriksaan EKG didapatkan elevasi segmen ST di sadapan I ≥ 0.05 mm,
depresi segmen ST di sadapan V1-V4, dan gelombang T negatif di V4R serta elevasi
segmen ST di sadapan II>III, sehingga prediksi culprit lesion adalah LCx. Pasien
dilakukan tindakan PCI dan hasil stenosis 30 % di mid LAD dengan TIMI Flow III
dan stenosis 90 % di proksimal LCx sehingga dilakukan IKP 1 DES di proksimal
LCx dengan TIMI Flow III.
Pada pasien dengan IMA-EST inferior, kemungkinan terdapat tiga culprit
lesion, yakni RCA, LCx ataupun LAD dengan anatomi wrap-around. Kemampuan
EKG dalam memprediksi culprit lesion masih sangat diperlukan terutama pada
kondisi tertentu dimana RCA dan LCx mengalami stenosis yang signifikan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Akdemir R, Gunduz H, Ozha H, et al. 2004. Simultaneous anterior and inferior myocardial
infarction due to occlusion of the left anterior descending coronary artery. Turk J
Med Sci; 34(2), January: 121-126.
Almansori M, Armstrong PW, Fu Y, et al. 2010. Electrocardiographic identification of the
culprit coronary artery in inferior wall ST elevation myocardial infarction. Can J
Cardiol.; 26(6), June: 293-296.
Baltazar RF. 2009. 'Acute Coronary Syndrome : ST Elevation Myocardial Infarction', in
Basic and Bedsie Electrocardiography, 1st edition, Philadelphia. Lipincot &
Wiliam Wilkins, pp. 311-379.
Bozbeyoglu E, Yildırımturk O, Aslanger E, et al. 2019. Is the inferior ST-segment elevation
in anterior myocardial infarction reliable in prediction of wrap-around left
anterior descending artery occlusion? Anatol J Cardiol ; 21(5), April: 253-258.
Cokkinos DV and Kakouros N. 2010. Right ventricular myocardial infarction:
pathophysiology, diagnosis, and management. Postgrad Med J.; 86(1022),
December: 719-728.
Birnbaum Y and Drew B. 2003. The electrocardiogram in ST elevation acute myocardial
infarction: correlation with coronary anatomy and prognosis. Postgrad Med J.;
79(935), September: 490-504.
Fiol M, Cygankiewicz I, Guindo J, et al. 2004. Evolving myocardial infarction with ST
elevation: ups and downs of ST in different leads identifies the culprit artery and
location of the occlusion. Ann Noninvasive Electrocardiol.; 9(2), April: 180-186.
Goldberger A, Goldberger Z dan Shvilkin A. 2018. 'Myocardial lschemia and Infarction Part
I: ST Segment Elevation and Q Wave Syndromes', in Goldberger’s Clinical
Electrocardiography : A Simplified Approach, 9th edition, Philadelphia. Elsevier,
pp. 73-90.
Ibanez B, James S, Agewall S et al. 2018. 2017 ESC Guidelines for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation.
European Heart Journal ; 39(2), January: 119-177.
Inohara T, Kohsaka S, Fukuda S, et al. 2013. T t. Eur Heart J Acute Cardiovasc Care; 2(3),
September: 226-234.
Kaligis RWM. 2012. 'Anatomi dan Pendarahan Arteri koroner', in Rahajoe Anna Ulfah and
Karo Santoso Karo (ed.) Penyakit Kardiovaskular (PKV) : 5 Rahasia, 1st edition,
Jakarta. Badan Penerbit FK UI, pp. 123-126.
Karbalaie S, Hosseini K, Bozorgi A et al. 2014. The relation of ST segment deviations in 12-
lead conventional Electrocardiogram, right and posterior leads with the site of
occlusion in acute inferior myocardial infarction. Med J Islam Repub Iran;
28(103), September: 2-6.
Kini S, Bis KG and Weaver L. 2007. Normal and variant coronary arterial and venous
anatomy on high-resolution CT angiography. AJR Am J Roentgenol; 188(6),
June: 1665-1674.

31
Kuhl JT and Berg RMG. 2009. Utility of lead aVR for identifying the culprit lesion in acute
myocardial infarction. Ann Noninvasive Electrocardiol.; 14(3), July: 219-225.
Lily L. 2016. 'Normal Cardiac Structure and Function, in Lily Leonard (ed.) Pathophysiology
of Heart Disease, 6th edition, Philadelphia. Wolter Kluwer, pp. 1-25
Luna A, Goldwasser D and Fiol M. 2017. 'Surface Electrocardiography', in Fusher Valentin,
Narula Jagat, Harington, et al (ed.) Hurst's :The Heart, 14th edition, New York.
Mc Graw Hill, pp. 252-317.
Malik M, Luna AB and Batchvarov VN. 2006. 'The Morphology of the Electrocardiogram',
in Camm John, Luscher and Serruys (ed.) The ESC Textbook of Cardiovascular
Medicine, 1st edition, Massachusetts. Blackwell, pp. 1-36.
Putten NHJJ, Rijnbeek PR, Dijk WA, et al. 2010. Validation of Electrocardiographic Criteria
for Predicting the Culprit Artery in Patients with Acute Myocardial Infarction.
Computing in Cardiology; 37(1), October: 21-24.
Rashwani Araz. 2016. 'ECG localization of myocardial infartion or ischemia and coronary
occlusion', in Clinical ECG Interpretation : From Phyisiology to Clinical
Management, 1st edition, London. Blackwell, pp. 55-65.
Rott D, Nowatzky J, Weiss TA, et al. 2009. ST deviation pattern and infarct related artery in
acute myocardial infarction. Clin Cardiol; 32(11), November: 29-32.
Roy S, Nagham J, Rajappan AK, et al. 2013. Acute Inferior Wall Myocardial Infarction due
to Occlusion of the Wrapped Left Anterior Descending Coronary Artery. Case
Rep Cardiol; 24(3), July: 1-3.
Sasaki K, Yotsukura M, Sakata K, et al. 2001. Relation of ST-segment changes in inferior
leads during anterior wall acute myocardial infarction to length and occlusion site
of the left anterior descending coronary artery. Am J Cardiol; 87(12), June: 1340-
1345.
Somers MP, Brady WJ, Bateman DC, et al. 2003. Additional electrocardiographic leads in
the ED chest pain patient: right ventricular and posterior leads. Am J Emerg Med.
; 21(7), November: 563-573.
Verouden NJ, Barwari K, Koch KT, et al. 2009. Distinguishing the right coronary artery from
the left circumflex coronary artery as the infarct-related artery in patients
undergoing primary percutaneous coronary intervention for acute inferior
myocardial infarction. Europace; 11(11), November: 1517-1521.
Wung SF. 2007. Discriminating between right coronary artery and circumflex artery
occlusion by using a noninvasive 18-lead electrocardiogram. Am J Crit Care;
16(1), January: 63-71.

32

Anda mungkin juga menyukai