Anda di halaman 1dari 32

PENDAHULUAN

Aritmia jantung dapat terjadi berhubungan dengan adanya kelainan secara anatomis di

struktur jantung yang mengganggu konduksi listrik jantung dan terjadi karena adanya faktor

pemicu yang mencetuskan seperti emosi, stress, perubahan hormonal atau rangsangan

simpatis.

Tata laksana pada aritmia jantung dibedakan menurut jenis kegawatannya berdasarkan pada

morfologi pada rekam jantung yang menggambarkan substrat penyebab kelainan ini dan

manifestasi klinis yang ditemukan pada penderita.

Ventrikular ekstra sistol frekuen merupakan salah satu bentuk aritmia jantung yang biasanya

bersifat jinak dan sering merupakan kelainan idiopatik yang dapat ditemukan pada orang

normal tanpa kelainan jantung maupun pada wanita hamil. Kelainan dapat pula dijumpai

pada mereka yang mengalami gangguan hipertiroid. Kelainan katup jantung berupa prolaps

katup mitral juga dapat berhubungan dengan aritmia ini, meskipun angka kejadiannya relatif

lebih rendah bila dibandingkan dengan kejadian aritmia pada atrium, terutama atrial fibrilasi.

Namun belakangan ditemukan bahwa ventrikular ekstra sistol frekuen dapat berhubungan

dengan efek serius pada jantung seperti terjadinya kardiomiopati. Terapi yang diberikan pada

penderita umumnya bersifat konservatif, terutama bila tidak ditemukan adanya kelainan

jantung yang menyertai atau mendasarinya, Namun tata laksana akan menjadi berbeda pada

mereka yang terdapat kelainan jantung yang mendasari atau bila aritmia berubah menjadi

bersifat serius atau mengarah pada suatu aritmia malignan.1


Diperlukan satu pendekatan diagnostik terarah untuk dapat menyimpulkan kelainan yang

mendasari terjadinya aritmia ini guna menyusun tata laksana terpadu dalam manajemen

penderita.

Laporan kasus ini disusun untuk membahas mengenai diagnostik dan tata laksana dari kasus

ventrikular ekstra sistol dengan episode bigemini dan trigemini pada seorang wanita P3A0

post seksio sesaria dengan kelainan hipertiroid dan prolaps katup mitral.

LAPORAN KASUS

RESUME

Seorang wanita usia 35 tahun P3A0 post partus prematurus atas indikasi letak

lintang dan gawat janin di HCU Alamanda RSHS memiliki keluhan berdebar. Penderita telah

didiagnosis dengan struma difusa toksik sebelumnya dan telah mendapatkan pengobatan

sejak 5 tahun SMRS, tidak rutin minum obat PTU dan propranolol selama 3 tahun, dan

berganti obat dengan propranolol dan tirosol sejak 2 tahun SMRS. Pada usia kehamilan 3

bulan, penderita mendapatkan perubahan terapi dengan PTU dan dilanjutkan dengan

tambahan propranolol setelah melahirkan.

Penderita memiliki keluhan berdebar yang hilang timbul sejak 6 tahun SMRS,

dirasakan baik pada saat istirahat maupun aktivitas, disertai rasa mudah lelah, mudah

berkeringat, lebih menyukai tempat dingin, sering merasakan tangan gemetar dengan telapak

tangan sering terasa basah, terdapat penurunan berat badan sebanyak 4 kg dalam 2 bulan

pertama keluhannya, menstruasi menjadi tidak teratur, disertai dengan mata tampak melotot,

rambut rontok, dan terjadi gangguan emosi.

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan penderita tampak sakit sedang, kesadaran

compos mentis. BMI (Body Mass Index) 24.83 kg/m2 (normoweight) tinggi badan 158 cm

2
dan berat badan 62 kg. Tekanan darah 124/82 mmHg, nadi sama dengan denyut jantung 96

kali permenit reguler, ekual, dan isi cukup, laju pernapasan 22 kali per menit, dan pasien

tidak demam dengan suhu 37.0˚ C.

Pemeriksaan jantung didapatkan ictus cordis tidak tampak teraba pada ICS VI 1

cm lateral LMCS (Linea Mid Clavicular Sinistra), tidak kuat angkat, thrill tidak ada. Batas

atas jantung ICS III, batas kanan LSD, dan batas kiri adalah ICS VI 1 cm lateral LMCS.

Bunyi jantung S1 dan S2 normal reguler, bunyi tambahan S3 (+), S4 (-), dan ditemukan

murmur pansistolik grade 3/6 di apeks menjalar ke aksila, tidak terdengar bunyi sistolik klik.

Pemeriksaan fisik paru ditemukan ronkhi basah halus minimal di lapang bawah

kedua paru, yang kemudian menghilang dalam follow up hari berikutnya, disertai dengan

tidak ditemukan adanya pembengkakan pada kedua tungkai.

Hasil pemeriksaan penunjang didapatkan gambaran sinus ritme dengan VES

frekuen episode bigemini dan trigemini, dengan sumber VES berasal dari inferior ventrikel

arah kiri ke bawah, dengan terdapat hipomagnesemia sebelumnya, dengan kadar magnesium

1,4 mg/dL, telah dilakukan koreksi menjadi 2.4 mg/dL namun tidak ada perubahan pada

keluhan maupun rekam jantung.

Hasil pemeriksaan dengan echocardiography didapatkan adanya dilated LA, mild

dilated LV, preserved Ejection Fraction, LVEF 51% dengan hipokinetik anteroseptal basal

mid, normal diastolic LV function, moderate MR, due to MVP AML A2-A3 eccentric jet,

normal RV contractility.

Penderita didiagnosa dengan MR ec MVP, DC kanan kiri FC II, VES unifokal

frekuen, episode bigemini & trigemini ec struktural (kardiomiopati ec hipertiroid) dd MVP

diperberat elektrolit imbalans (hipomagnesemia), P3 A0 partus prematurus post SC a/i letak

lintang, struma difusa toksik. Penderita diberikan tata laksana tirah baring, dengan

pemberian terapi dengan furosemide 1x 40 mg iv yang diganti dengan furosemide 1x40 mg

3
po pada perawatan hari ke-7, dengan terapi dari TS IPD dan Obgyn dengan pemberian

ceftriaxone 2x1gr IV, propanolol 3x10 mg po, PTU 3x100 mg po.

Dari penghitungan indeks Wayne didapatkan skor 22 didapatkan dari : palpitasi (2), rasa

mudah lelah (2), lebih menyukai tempat dingin (5), berkeringat berlebihan (2), gelisah (2),

peningkatan nafsu makan (+3), peningkatan berat badan (-3), teraba tiroid (3), telapak tangan

lembab (3), nadi >90x/menit (3)

Dari penghitungan Burch Wartofsky didapatkan nilai 20 yang didapatkan dari : denyut

jantung (5), edema perifer (5), riwayat pencetus (10)

Skor indeks Wayne dan Burch Wartofsky mendukung adanya suatu struma difusa toksik.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan nilai dari pemeriksaan darah sebagai

berikut :

Tanggal 24/02 23/02 Nilai Normal

Hb 11.8 13.5-17.5 g/dL


Ht 35.0 40-52 %

L 17.020 4.400-
11.300/mm3
Tr 234.000 150.000-
450.000/mm3
DC

MCV 79.0 77-95 fL

4
MCH 26.0 26 – 34 pg
MCHC 33.7 32 – 36%
Ur 15-50mg/dL
Kr 0,7-1.3 mg/dL
GDS
Natrium 140 136 135-145

Kalium 4.6 4.4 3.5-5.1


Kalsium 5.09 5.33 4.5-5.6
Magnesium 2.4 1.4 1.8-2.4 mg/dL

Tabel. Hasil pemeriksaaan darah

Telah dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid sebelumnya pada tanggal 3 Januari 2108 dengan

hasil

T3 2.8 mg/mL (N : 0.8-2), FT4 1.3 mg/dL (N : 0.8-1.7), TSH < 0.02 (IU/mL (N : 0.3-5) yang

menunjukkan adanya suatu subklinis hipertiroid.

Hasil rekam jantung dari monitor pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 12.47 didapatkan

gambaran frekuen VES dengan episode bigemini dan trigemini (EKG 1).

Gambar. EKG 1

Dari hasil rekam jantung pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 16.00 didapatkan irama sinus,

aksis normal, QRS rate 90 x/ menit, gelombang P 0.12 s, 0.1 mV, PR interval 0.12 s, Q

patologis (-), durasi QRS 0.08s, ST segmen isoelektrik, T inversi (-), R/S V1< 1, SV1/V2+

RV5/V6 < 35 mm, SV3+RaVL < 28 mm, S di V4+SVD < 28 mm

Diagnosa EKG: normal sinus ritme (EKG 2)

5
Gambar. EKG 2.

Penderita dilakukan rekam jantung ulang dan ditemukan dalam rekam jantung gambaran

irama sinus, aksis normal, QRS rate 98x/menit, P wave 0,1mV, 0,06s, PR interval 0,16s, QRS

durasi 0,08s, Q patologis (-), ST segmen isoelektrik, T inversi (-), R/S V1< 1, SV1/V2+

RV5/V6 < 35 mm, SV3+RaVL < 28 mm, S di V4+SVD < 28 mm dengan gambaran VES

episode trigemini dengan morfologi RBBB

Diagnosa EKG : sinus ritme, VES unifokal frekuen dengan episode trigemini, RBBB (EKG

3)

Gambar. EKG 3

6
Gambar. Rekaman ekokardiografi 1

Gambar. Rekaman ekokardiografi 2

7
Gambar. Rekaman ekokardiografi 3

PERMASALAHAN

1. Bagaimanakah kemungkinan terjadinya VES frekuen pada pasien dengan

kelainan hipertiroid disertai dengan MVP ?

2. Bagaimana tata laksana dari VES frekuen dengan episode bigemini &

trigemini pada penderita hipertiroid dengan MVP ?

DISKUSI

1. Bagaimanakah kemungkinan VES frekuen pada pasien dengan kelainan hipertiroid

disertai dengan MVP ?

Selama beberapa dekade didapatkan anggapan bahwa VES frekuen tanpa adanya kelainan

struktural jantung dianggap sebagai suatu aritmia jinak. Namun anggapan ini bermula dari

studi dengan jumlah sample yang kecil dengan keterbatasan modalitas pemeriksaan.

Penelitian terbaru menyebutkan bahwa VES frekuen berhubungan dengan efek serius yang

8
dapat ditemukan seperti terjadinya kardiomiopati, bahkan pada mereka yang sebelumnya

dianggap memiliki jantung dengan kondisi normal.1

VES merupakan aritmia ventrikular yang umum ditemukan dan kejadiannya meningkat

seiring dengan peningkatan usia. 9 Adanya VES pada monitoring selama 2 menit pada pasien

usia paruh baya dalam studi ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities) berhubungan

dengan peningkatan risiko untuk penyakit maupun kematian jantung iskemik dengan atau

tanpa ada penyakit jantung iskemik sebelumnya.

Pada populasi umum, VES frekuen didefinisikan sebagai adanya paling sedikit 1 VES dalam

EKG 12 lead atau > 30 VES per jam, berhubungan dengan peningkatan risiko kardiovaskuler

dan kematian.

Karena beberapa studi telah menghubungkan efek buruk dari adanya VES, maka deteksi VES

terutama yang frekuen dan multifokal, dianggap secara umum sebagai faktor risiko terjadinya

kejadian kardiovaskuler yang buruk, dan memerlukan evaluasi menyeluruh untuk mencari

kemungkinan terdapat kelainan jantung yang dapat mendasarinya guna meminimalisir risiko.

VES yang sangat frekuen >10.000 sampai 20.000 sehari, dapat berhubungan dengan

penurunan fungsi LV dan bersifat reversibel, dikenal dengan PVCs induced cardiomyopathy.

Pasien dengan VES trigemini atau bigemini dapat tampil dengan bradikardia efektif, dengan

apical-radial pulsus deficit dan hipertensi relatif disertai wide pulse pressure. Efektif

bradikardia ini dapat menyebabkan perhitungan denyut jantung yang tidak akurat.

Pemeriksaan fisik difokuskan pada penemuan penyakit jantung yang dapat mendasari aritmia

ini, salah satuya seperti mendengar bunyi mid sistolik klik pada MVP.

9
Monitoring 24 jam terus-menerus dengan elektrokardiografi Holter direkomendasikan bila

VES muncul sekali sehari atau kuantifikasi VES diperlukan untuk menilai penurunan fungsi

LV yang berhubungan dengan VES.

Gambar. Rekomendasi EKG pada aritmia ventrikular8

Hormon tiroid menyebabkan efek langsung terhadap miokardium dan vaskuler sistemik yang

menyebabkan terjadinya disritmia, terutama supraventrikular. Efek hormon tiroid terhadap

sistem saraf otonom juga berkontribusi terhadap aritmogenesis.3

Berkembangnya pengobatan untuk tirotoksikosis telah mengarahkan pada pemahaman

sebelumnya tentang kelainan yang bersifat revesibel akibat hormon tiroid, namun bukti

terkini menyebutkan bahwa konsekuensi jangka panjang terutama terhadap penyakit vaskular

akibat dari hormon tiroid ditemukan. 3

Beberapa studi populasi terbatas menyebutkan adanya efek jangka panjang dari hormon tiroid

dan penyakit tiroid terhadap mortalitas dan morbiditas. Studi kohort pada 7209 subyek

dengan tirotoksikosis yang diterapi dengan radioiodin dalam rentang tahun 1950 dan 1989

menunjukkan adanya peningkatan angka kematian dengan berbagai penyebab.3

Dari data yang dikumpulkan didapatkan penyebab kematian terkait penyakit tiroid terkait

kelainan kardiovaskular dan serebrovaskular meningkat. Ditemukan peningkatan risiko

kematian akibat penyakit jantung rematik dan hypertensive heart disease. Angka risiko relatif

kematian akibat penyakit jantung iskemik didapatkan dengan jumlah lebih rendah namun

signifikan, dan risiko absolut kematian akibat kelainan ini tinggi, menentukan peningkatan

10
kematian pada data kohort terkait dengan penyakit jantung iskemik. Kematian akibat

disritmia dan penyakit jantung kongestif juga ditemukan meningkat. Data lebih lanjut

menyebutkan adanya peningkatan angka kematian terkait kelainan vaskular pada studi di

populasi wanita dengan subyek sebanyak 1.762 wanita dengan tirotoksikosis yang

diradioterapi. Studi lain menyebutkan adanya hubungan antara peningkatan kadar serum fT3

dengan peningkatan likelihood kejadian koroner sebesar 2.6 kali lipat.3

Meskipun data yang dikumpulkan diatas menghubungkan antara kejadian penyakit vaskular

dengan hipertiroidismus, namun data lain pada studi berbasis komunitas menunjukkan

peningkatan yang serupa kejadian kardiovaskular pada subyek dengan hipertiroidismus sub-

klinis. Dalam studi yang berbeda didapatkan hubungan antara peningkatan sebesar 2.6 kali

lipat kejadian jantung koroner dengan kadar fT3 yang meningkat. 3,4

Secara menyeluruh digambarkan kejadian serebrovaskular dan kardiovaskular dalam studi-

studi kohort diatas dikaitkan dengan komplikasi atrial fibrilasi yang menyebabkan kejadian

emboli.3

Hipertiroidisme dan atrial fibrilasi disebutkan berhubungan erat kejadiannya pada studi di

populasi dewasa. Atrial fibrilasi menempati kejadian tersering dari disritmia pada

hipertiroidisme, diikuti okeh sinus takikardia. 3

Studi ini menemukan bahwa kejadian aritmia ventrikel pada subyek hipertiroid maupun

normal tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam angka kejadiannya. 3

Hipertiroidisme sub-klinis didefinisikan sebagai konsentrasi rendah dari serum TSH pada

individu asimtomatik dengan konsentrasi serum T3 dan T4 yang normal. Rendahnya kadar

serum TSH secara umum digunakan sebagai marker sensitif berlebihnya hormon tiroid dan

telah dilaporkan dalam studi populasi besar berhubungan dengan risiko 3 kali lipat lebih

11
tinggi terjadinya atrial fibrilasi dalam jangka waktu 10 tahun. Suatu studi yang mengikuti

pasien usia 60 tahun ke atas tanpa atrial fibrilasi pada awal studi, yang diambil dari

Framingham Heart Study selama 10 tahun, menyebutkan adanya insidensi kumulatif atrial

fibrilasi pada subyek dengan kadar TSH rendah pada saat awal studi sebesar 28%

dibandingkan dengan subyek dengan kadar TSH normal pda awal studi yang berkembang

menjadi atrial fibrilasi pada akhir studi sebesar 11%. Risiko relatif untuk atrial fibrilasi pada

individu dengan kadar TSH yang rendah adalah 3.1 dibandingkan dengan individu dengan

kadar TSH normal. 3

Supraventrikular premature complexes (SVCs) diketahui dapat menginisiasi terjadinya atrial

fibrilasi, terutama yang sumbernya terletak di vena pulmonal, dan telah dilaporkan lebih

sering terjadi pada pada pasien dengan tirotoksikosis dibandingkan dengan kontrol. Jumlah

penderita dengan SVCs (didefinisikan sebagai 10 SVCs dalam satu baris, dengan denyut

jantung >130 kali permenit) telah dilaporkan menurun setelah terapi antitiroid dengan

prevalensi yang lebih tinggi didapatkan pada populasi dengan usia lebih tua baik pada

sebelum maupun setelah terapi. Data preliminar mendukung hasil ini dengan

diketemukannya prevalensi signifikan denyut ektopik atrial (didefinisikan sebagai > 240

SVCs per 24 jam) lebih tinggi pada subyek tirotoksik dibandingkan dengan kontrol, dan tetap

meningkat selama 3 bulan setelah awal terapi antitiroid meskipun hasil biokimia

menunjukkan staus eutiroid, yang mendukung pada adanya substrat aritmia yang

berekelanjutan.3

Mekanisme selular yang menentukan terjadinya aritmogenesis.

Sel miosit jantung menempati 1/3 dari keseluruhan komponen selular miokardium. Sel

fibroblast, sel otot polos, sel endotel, dan sel lain menempati porsi terbesar dari sel jantung.

12
Protein yang responsif terhadap hormon tiroid kebanyakan berasal dari miosit, dan belum

didapatkan data tambahan terkait pengaruh hormon tiroid terhadap sel non miosit. 2

Hormon T3 yang aktif secara biologis memperantarai kerja dari hormon tiroid. Saat berada di

dalam miosit, T3 memasuki nucleus dan berikatan dengan reseptor nucleus yang terikat pada

elemen respon DNA dari gen target. Gen responsif-T3 mengkode baik struktur maupun

proses regulasi protein pada jantung. Beberapa gen jantung dimodulasi oleh hormon tiroid

baik pada level transkripsi maupun post traskripsi. (Tabel 2)

Ekspresi dari gen-gen tersebut dikenal memiliki efek penting pada sistem kardiovaskular,

terutama pada fungsi kontraktilitas sistolik dan relaksasi diastolik. Apakah gen-gen tersebut

secara spesifik terlibat dalam predisposisi terjadinya aritmogenesis pada miokardium saat ini

belum diketahui. Ekspresi gen yang mengkode transporter ion secara spesifik pada membran

plasma seperti Na-K ATPase, Na-Ca exchanger, dan voltage-gated potassium channels

(Kv1.5, Kv4.2 dan Kv4.3) juga diregulasi oleh hormon tiroid. Hormon tiroid juga

mempengaruhi bagian ekstranuklear dari miosit terlepas dari binding reseptor T3 di nukleus,

dan meningkat pada sintesis protein. Efek ekstranuklear dari hormon tiroid terutama

mempengaruhi transport dari asam amino, gula, dan kalsium melintasi membran sel. T3 dapat

mengubah karakteristik performance dari sejumlah kanal ion di membran sel secara langsung

(termasuk natrium, kalium dan kalsium) untuk mempengaruhi inotropik dan kronotropik

jantung.3 Hal-hal tersebut di atas juga dikatakan mempengaruhi terjadinya electrical

remodelling yang dapat menyebabkan terjadinya aritmogenesis pada miokardium.11

13
Gambar. Efek hormon T3 terhadap miosit.6

Dapat disimpulkan bahwa efek transkripsional dan non transkripsional dari hormon tiroid

secara bersama-sama akan meningkatkan kontraktilitas jantung dan sistem vaskular, dalam

keadaan fisiologis maupun kondisi patologis.5

Setelah terapi antitiroid dimulai, status eutiroid secara biokimiawi dapat tercapai dalam waktu

4-6 minggu. Tingginya mortalitas vaskular yang terlihat setelah terapi tirotoksikosis

mungkin berhubungan dengan efek persisten seluler, terlepas dari status eutiroid yang

14
tercapai. Ditemukan bukti bahwa induksi atau on-rate transkripsi gen spesifik oleh hormon

tiroid berbeda dari off-rate transkripsi (setelah withdrawal dari hormon tiroid) dengan off-rate

membutuhkan waktu lebih lama. Perubahan seluler dengan demikian dapat menetap dengan

konsekuensi lanjut dari aritmia karena terjadinya remodeling elektrik, khususnya di atrium. 3

Tabel. Regulasi hormon tiroid terhadapa gen pengkode transkripsi dan posttranskripsi dari
protein kardiak.6

Perbedaan potensi seluler antara atrium dan ventrikel

Perbedaan terjadinya aritmia di atrium dan ventrikel mungkin disebabkan oleh perbedaan

sensitivitas dari kedua jaringan terhadap hormon tiroid. Golg et al menyebutkan bahwa

kapasitas binding dari β-adrenoreseptor di atrium kanan dua kali lebih besar dari ventrikel

kiri. Temuan ini konsisten dengan studi lain yang menyebutkan turnover dari noradrenalin

lebih tinggi di jaringan atrium daripada di jaringan ventrikel pada hewan coba. Lebih lanjut,

jaringan jantung dikenal memiliki komponen adrenoceptors β1 dan β2. Stiles et al

menemukan bahwa 26% dari reseptor dari atrium kanan adalah dari subtipe β2 dengan 14 %

di ventrikel kiri.3

15
Hormon tiroid dengan sistem β-adrenergik

Banyak manifestasi klinis hipertiroidisme yang menyerupai keadaan hiperadrenergik, seperti

tremor, berkeringat banyak, palpitasi, tekanan nadi yang lebar, kecemasan, intoleransi

terhadap aktivitas dan adanya hipertrofi jantung.

Adanya tumpang-tindih antara gejala dan tanda antara hipertiroidisme dangan keadaan

hiperadrenergik menyebabkan para ahli terdahulu berpendapat bahwa hipertiroidisme

merupakan penyakit bihormonal menyangkut kelebihan hormon tiroid dan hiperfungsi

katekolamin. Akan tetapi kadar norepinefrin di darah ternyata normal dan ekskresi

metaboliknya di urine juga normal.

Diduga keadaan yang menyerupai adanya hiperadrenergik pada hipertiroidisme adalah karena

terjadi peningkatan sensitivitas jaringan terhadap katekolamin; peningkatan ekspresi gen

untuk reseptor katekolamin di otot jantung; serta meningkatnya jumlah protein-G yang

berfungsi mengikatkan reseptor adrenergik dengan adenil siklase. Akan tetapi, hormon tiroid

itu sendiri dapat bekerja tanpa tergantung kepada katekolamin. Kemungkinan baru yang

difikirkan adalah bahwa adanya kemiripan struktur T3 dan T4 dengan katekolamin sehingga

hormon tiroid dapat berfungsi sebagai neurotransmiter simpatomimetik.

Terlepas dari bagaimana mekanismenya, kemiripan manifestasi hipertiroidisme dangan

keadaan hiperadrenergik mempunyai implikasi klinik yang penting dalam pengelolaan

hipertiroidisme.

Efek hormon tiroid terhadap sistem vaskular sistemik

Pada keadaaan hipertiroid terjadi perubahan yang menyolok di sirkulasi . Perubahan tersebut

adalah peningkatan volume darah total, penurunan resistensi vaskular sistemik (systemic

16
vascular resistance=SVR) sampai 40-60% dan pemendekan waktu sirkulasi, yang semuanya

berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal. Ketiga hal tersebut bersama-sama

menyebabkan sirkulasi yang hiperdinamik.

Peningkatan aliran darah akibat perubahan di atas tidak terdistribusi secara merata di seluruh

jaringan. Aliran darah ke kulit, otot skelet dan arteri koroner akan meningkat dengan nyata,

berbeda dengan ke otak, hepar, dan ginjal

Penurunan SVR merupakan akibat meningkatnya aktivitas metabolik basal dan konsumsi

oksigen. Kondisi ini merangsang pelepasan vasodilator lokal yang selanjutnya menyebabkan

penurunan resistensi vaskular sistemik. Penurunan resistensi vaskular sistemik akan

menyebabkan penurunan tekanan darah diastolik, sehingga pada akhirnya curah jantung

meningkat.

Disfungsi hormon tiroid juga mempengaruhi tekanan darah. Pada hipertiroidisme terjadi

peningkatan tekanan darah sistolik karena peningkatan volume sekuncup, dan penurunan

tekanan darah diastolik karena vasodilatasi perifer.

Dengan turunnya resistensi vaskular sistemik menyebabkan penurunan perfusi renal yang

selanjutnya akan merangsang pelepasan renin-angiotensin. Tingginya kadar renin -

angiotensin menyebabkan retensi air dan natrium. Volume darah total jadi meningkat.

Keadaan ini mengakibatkan peningkatan tekanan atrium kanan, peningkatan preload dan

selanjutnya peningkatan curah jantung.

Selain karena mekanisme di atas, penurunan resistensi vaskular sistemik juga disebabkan

efek langsung hormon tiroid ke sel otot polos arteriol. Hormon T3 mempengaruhi

transportasi ion natrium dan kalium di sel otot polos, menyebabkan penurunan kontraktilitas

otot polos dan tonus vaskular. 5

17
Gambar. Efek hormon tiroid terhadap sistem kardiovaskuler 4

Perubahan fungsi jantung pada hipertiroidisme

Peningkatan volume darah total pada hipertiroidisme menyebabkan keadaan hipervolemik

yang memperberat kerja jantung. Bertambahnya beban kerja ini selanjutnya akan

menyebabkan hipertrofi jantung. Meskipun terjadi peningkatan kontraksi sistolik dan

relaksasi diastolik, fungsi jantung sudah hampir mencapai batas maksimal, sehingga

cadangan kontraktilnya rendah. Rendahnya cadangan kontraktil ini tergambarkan dari

kegagalan jantung dalam merespons suatu pembebanan, yang terlihat dari pengukuran fraksi

ejeksi saat pembebanan dengan kenaikan kurang dari 5%. Kegagalan dalam merespon

pembebanan ini akan kembali pulih setelah pengobatan.

Adanya fenomena tersebut menyiratkan bahwa pada hipertiroidisme terjadi kardiomiopati

yang bersifat fungsional, tanpa adanya lesi yang jelas yang dapat diidentifikasi secara

histopatologi, selain daripada perubahan pada struktur mitokondria.

18
Kombinasi dari beban hiperdinamik, penurunan cadangan kontraktil miokardial dan

takiaritmia dapat menimbulkan kegagalan jantung. Meskipun curah jantung menurun, tetapi

masih lebih tinggi dibanding normal (high-output failure). Pada sebuah penelitian berskala

besar terhadap pasien hipertiroidisme, frekuensi gagal jantung adalah 6%. Pasien yang

berusia lebih dari 60 tahun yang mengalami keadaan hipertiroid dalam waktu yang lama,

mempunyai risiko terjadinya gagal jantung kongestif yang lebih tinggi.

Angina pektoris dan gagal jantung bisa terjadi pada penderita hipertiroidisme, yang

sebelumnya diyakini hanya terjadi pada penderita yang mempunyai dasar penyakit jantung

koroner. Namun dari beberapa penelitian telah terbukti bahwa pada jantung yang sebelumnya

normal bisa terjadi gagal jantung, meskipun pada anak-anak. Ebisawa dkk, melaporkan

bahwa kardiomiopati pada penderita hipertiroidisme bisa bersifat irreversibel. Oleh karena itu

jika hipertiroidisme berlangsung berat dan berkepanjangan akan membuat jantung kelebihan

beban dan akhirnya mengalami gagal jantung. Hipertensi sistolik pada hipertiroidisme

biasanya terdapat pada penderita berusia lebih tua. Hipertensi ini agaknya disebabkan

ketidak-mampuan vaskular mengakomodasi peningkatan curah jantung dan volume

sekuncup. Gejala gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi (high output cardiac

failure) yang dirasakan oleh penderita hipertiroidisme bisa juga disebabkan oleh hal lain.

Adanya dyspnea on effort pada penderita dengan fraksi ejeksi supranormal tanpa adanya

gagal jantung, bisa disebabkan oleh kelemahan otot pernafasan. Penderita bisa mengeluhkan

gejala high output cardiac failure karena adanya peningkatan volume darah total disertai

adanya disfungsi ventrikel kiri.

Ventricular extra systole pada Mitral Valve Prolapse

19
Mitral Valve Prolapse (MVP) merupakan abnormalitas katup jantung yang umum ditemukan,

dengan prevalensi sebesar 0.6% sampai dengan 2.4 %. VES sering ditemukan pada penderita

MVP, terutama pada MVP dengan regurgitasi mitral sedang berat, namun apakah profil VES

yang terjadi pad MVP berbeda dari yang tidak terkait MVP, sejauh ini belum diketahui. 7

Tidak ditemukan hubungan antara frekuensi VES dengan derajat regurgitasi mitral atau

anatomi dari MVP. Yang menarik adalah distribusi lokasi sumber VES pada MVP, yang

ditemukan lebih banyak di LV. Pada penderita VES tanpa terkait MVP tidak ditemukan

perbedaan distribusi sumber dari VES. Disinyalir origin VES pada MVP lebih banyak di

papillary muscle dan fascicle. Hal ini mungkin berhubungan dengan abnormalitas tension

dari papillary muscle yang disebabkan oleh displacement dari daun katup mitral. 7

VES burden dan lokasi sumber ditentukan dengan melihat rekaman menggunakan holter dan

sumber pada VES multifokal ditentukan dengan melihat morfologi dari VES yang paling

sering muncul. Origin dari VES dibagi menjadi

1. Right ventricular outflow tract; left bundle branch block morphology. Dengan inferior

aksis, QS di lead aVR dan aVL, QS atau r kecil di lead V1 dan R transitional zone di

atau setelah lead V3 atau V4

2. Left ventricular outflow tract; right bundle branch block morphology. Dengan inferior

aksis dan QS pada lead aVR dan aVL, atau left bundle branch block morphology

dengan r kecil yang lebih jelas dan durasi di V1 dan transitional zone gelombang R

yang lebih awal di lead V1 atau V2.

3. LV non OT; right bundle branch block morphology, tanpa gambaran dari LVOT

4. RV non OT; left bundle branch block morphology tanpa tipikal aksis inferior atau

gambaran dari RVOT.7

20
Diagnosis MVP didefinisikan sebagai systolic displacement (>2mm) dari daun katup mitral

ke dalam atrium kiri melebihi dari garis datar annulus mitralis pada parasternal long axis

view menggunakan ekokardiografi transtorakal, bisa disertai dengan penebalan daun katup

(maksimal ketebalan daun katup > 5mm) selama diastol pada tipe klasik. MVP biasanya

terjadi akibat dari degenerasi miksomatus, yang menyebabkan penebalan pada daun katup.

Hubungan antara hipertirodisme dan MVP

Hipertiroid telah dikemukakan berhubungan dengan MVP. Secara embriologi terdapat

kedekatan antara pembentukan dan migrasi tiroid dengan jantung. Penelitian pertama yang

melaporkan tingginya insiden MVP pada pasien hipertiroid dilaporkan pertama kali oleh

Channick dkk.12 Channick dkk., menemukan insiden yang sangat tinggi dari MVP pada

pasien dengan hipertiroid akibat penyakit Grave’s (41% dari 39 pasien) yang kemudian

diikuti beberapa laporan serupa yang menunjukkan kejadian MVP pada hipertiroid.12,13,14

Kejadian regurgitasi trikuspid pada pasien hipertiroid juga dilaporkan oleh Lozano dkk.,

walaupun belum sebanyak pelaporan mitral regurgitasi.15 Sampai saat ini, hubungan antara

penyakit Grave’s dan MVP belum diketahui secara pasti. Penyakit Grave’s dan MVP

memiliki beberapa persamaan. Penyakit Grave’s lebih umum terjadi pada perempuan. Rasio

perempuan terhadap laki-laki kejadian MVP dalam beberapa seri dilaporkan bervariasi dari

4: 1 dalam satu studi hingga 3: 1.6 Autoimunitas merupakan faktor yang telah dikenal dalam

penyebab penyakit Grave’s, dan baru-baru ini telah disebutkan juga dalam etiologi MVP.

Sekitar 20 dari total 40 pasien dengan MVP memiliki faktor antinuclear yang positif

dibandingkan dengan hanya 4% dalam grup kontrol.13

21
Mekanisme patofisiologi yang menghubungkan MVP dan penyakit tiroid autoimun memang

masih belum sepenuhnya dimengerti. Diperkirakan bahwa gen human leukocyte antigen

(HLA) dapat menjelaskan hubungan antara penyakit Grave’s dan MVP. Penyakit Grave’s

telah diketahui terkait dengan antigen histokompatabilitas mayor Bw35, dan DRw3. Pada

pasien dengan MVP beberapa studi menunjukkan prevalensi yang tinggi dari HLA-Bw35 (73

% vs 39 % pada kontrol), tetapi hanya pada ras kulit hitam Amerika.13 Studi lain yang

didominasi sampel kulit putih menunjukkan bahwa fenotip A3; Bw35 cukup spesifik untuk

katup mitral prolaps. Namun demikian, dalam penelitian lain tidak ada hubungan HLA yang

ditemukan pada sampel kulit putih. Hingga kini asosiasi antara alel HLA dan penyakit

Grave’s dilaporkan masih lemah dan tidak spesifik.13

Peningkatan produksi dan sekresi asam mukopolisakarida telah diketahui didapatkan dalam

jaringan ekstra tiroid dari pasien dengan penyakit Grave’s. Menurut Biondi

mukopolisakarida hidrofilik ini dapat menumpuk di semua katup jantung, terutama katup

mitral, dan menyebabkan katup menjadi menebal (miksomatus).16 Sel endotel pensekresi

mukopolisakarida ini dalam katup jantung berasal dari fibroblast; oleh karenanya sel-sel ini

mampu mengekspresikan reseptor TSH di permukaan sel, yang dapat dikenali dan kemudian

diaktifkan oleh auto antibodi yang bersirkulasi terhadap reseptor TSH. Selain itu, gangguan

sintesis kolagen menyebabkan prolaps katup mitral miksomatus ini ke dalam atrium kiri.

Prevalensi degenerasi katup miksoid ini meningkat pada pasien dengan penyakit Grave’s

dan/-atau tiroiditis autoimun, tetapi tidak terjadi pada mereka dengan goiter toksik multi

nodul.16 Pada pasien ini belum dapat dipastikan adanya kondisi katup yang menebal

(miksomatus) pada ekokardiografi.

Kage dkk., juga melaporkan kejadian valvular regurgitasi secara signifikan lebih tinggi

diamati pada pasien dengan Grave’s dibandingkan pada pasien kontrol yaitu MR dan TR.17

22
MR pada hipertiroidisme dikatakan merupakan konsekuensi akibat dilatasi annulus mitral

karena ventrikel kiri yang berdilatasi atau karena MVP. Namun, data menunjukkan

kemungkinan adanya mekanisme kausatif lain yang terlibat. Kejadian TR juga lebih tinggi

pada pasien Grave’s dan kelainan katup ini dapat menetap selama beberapa tahun walaupun

setelah keadaan tirotoksikosis dikendalikan.17 Faktor genetik telah diidentifikasi pada

penyakit Grave’s dan juga dalam MVP.

Sebuah kejadian MVP dari 50% pada anak kembar monozigot telah dilaporkan. Insiden

puncak penyakit Grave’s terjadi selama dekade ketiga dan keempat walaupun dapat terlihat

pada masa kanak-kanak. MVP lebih jelas dalam fase kehidupan orang dewasa, hal ini

mungkin karena proses degenerasi progresif miksomatus dari mitral valve aparatus sebagai

konsekuensi dari penyakit jantung iskemik, kelainan jaringan ikat, atau trauma.13 Kho dkk.,

melaporkan suatu mutasi germline dari gen reseptor Thyrotropine pada keluarga Cina dengan

tirotoksikosis dan MVP. Ini merupakan laporan yang pertama yang mengemukakan

hubungan antara aktivasi mutasi TSH-R dan MVP. Tidak jelas bagaimana mutasi titik pada

gen TSH-R dikaitkan dengan MVP. Empat kemungkinan dikemukakan, 1) mutasi itu sendiri

mungkin menyebabkan MVP; 2) mungkin tidak ada hubungan antara dua kondisi, dan

kejadian bersamaan dalam keluarga Cina tersebut mungkin sepenuhnya coincidental; 3) gen

TSH-R dan gen MVP dalam keluarga ini mungkin terkait erat; 4) keempat Kho dkk.,

berpendapat bahwa aktivasi TSH-R mungkin dapat meningkatkan ekspresi klinis MVP dari

individu yang memiliki predisposisi genetik.18

Pada pasien ini juga didapatkan regurgitasi mitral sedang. Mitral regurgitasi pada pasien

hipertiroid telah banyak dikemukakan. Kane dkk., melakukan perbandingan parameter

ekokardiografi pada pasien dengan dan tanpa hipertiroid. Mereka mendapatkan valvular

regurgitasi yang signifikan pada kelompok dengan hipertiroid, yaitu dari 17 sampel kelompok

23
hipertiroid terdapat 8 kasus mitral regurgitasi, 1 kasus trikuspid regurgitasi dan 1 kasus aorta

regurgitasi.19

2. Bagaimana tata laksana dari VES frekuen dengan episode bigemini & trigemini pada

penderita hipertiroid dengan MVP ?

Secara umum tata laksana pada VES meliputi manajemen pada penyebab sekunder,

farmakoterapi untuk mensupresi VES atau ablasi kateter untuk menurunkan atau

mengeliminasi sumber VES. Farmakoterapi yang digunakan meliputi obat anti aritmia seperti

beta blocker dan calcium channel blocker yang efektif menurunkan presentasi VES sebesar

20 %. Penggunaannya biasanya dibatasi oleh efek terjadinya fatigue atau bradikardia. 1

Ablasi dengan kateter dapat menjadi alternatif terapi untuk VES. Radiofrekuensi kateter

ablasi dikatakan superior dibandingkan dengan farmakoterapi pada kasus seperti VES yang

bersumber dari right ventricular outflow tract. Bahkan angka keberhasilan yang cukup tinggi

juga dilaporkan terjadi pada kondisi sulit seperti lokasi sumber VES di papillary muscle atau

epikardium. Saat ini sedang dievaluasi peranan ablasi kateter sebagai terapi lini pertama

untuk VES, terutama pada kardiomiopati yang diinduksi VES.1

Pertimbangan untuk memilih ablasi sebagai terapi pada kasus VES harus menitikberatkan

kemungkinan kesuksesan tindakan dan superioritas perbaikan klinis dari potensi risiko.

Faktor yang dapat dijadikan pertimbangan meliputi frekuensi VES, lokasi yang diperkirakan

menjadi sumber VES, kompleksitas morfologi VES, alternatif farmakoterapi, usia penderita

dan juga komorbiditas yang mungkin ada. Penderita dengan VES frekuen monomorfik yang

bersumber dari right ventricular outfolow tract memiliki angka keberhasilan tertinggi dari

24
kesuksesan tindakan ablasi, sedangkan adanya VES multifokal dengan atau VES epikardial

memiliki angka kesuksesan tindakan yang terendah. 1

Manajemen pada penderita VES asimtomatik atau tidak adanya disfungsi jantung meliputi

supresi VES dan pengkajian berulang fungsi ventrikel kiri. 1

Tata laksana awal penderita dengan VES frekuen adalah dengan melakukan evaluasi adanya

kemungkinan kelainan struktural yang mendasarinya dengan ekokardiografi atau stress test. 6

Pengobatan hipertiroidisme mencakup 2 hal, yaitu mengontrol gejala dan mengoreksi

hiperfungsi tiroid dengan tujuan utama mencapai keadaan eutiroid. Terdapat 3 modalitas

pengobatan yaitu medikamentosa dengan obat anti tiroid (OAT), pemberian yodium
131
radioaktif (RAl - Radioactive iodine) dengan I dan tindakan operatif (tiroidektomi

subtotal).

OAT telah digunakan selama lebih dari 50 tahun. Meskipun akhir-akhir ini penggunaan

yodium radioaktif makin meluas, OAT masih merupakan terapi utama untuk keadaan

hipertiroid pada penyakit Graves. Metimazol dan propil tiourasil (PTU) merupakan OAT

yang paling banyak digunakan dan dikenal secara luas. Keduanya merupakan derivat tiourea.

Efek utama adalah menghambat sintesis hormon tiroid (T3 dan T4) di dalam folikel kelenjar

tiroid. Selain itu PTU (tapi tidak metimazol) mempunyai efek ekstra tiroid berupa efek

menghambat konversi T4 jadi T3 di perifer. Diduga OAT juga mempunyai efek imunologi

sehingga menekan aktifitas penyakit.

OAT biasanya diberikan sebagai terapi primer selama beberapa waktu dan diharapkan

tercapai keadaan remisi, yang ditandai dengan tercapainya keadaan eutiroid secara laboratoris

selama minimal 1 tahun tanpa terapi. Pemberian dimulai dari dosis 3x100 mg/hari untuk

PTU, dan 10-30 mg/hari dosis tunggal untuk metimazol. Kecepatan respon terapi ditentukan

25
oleh beberapa faktor, seperti beratnya penyakit, ukuran kelenjar (yang menggambarkan

cadangan hormon intra-tiroid), serta dosis dan frekuensi pemberian obat. Dosis obat yang

tinggi diduga berhubungan dengan kecepatan pengontrolan hipertiroidisme, namun belum

jelas hubungannya dengan kecepatan remisi.

Perbaikan klinis biasanya terlihat setelah 3 minggu, dan keadaan eutiroid (normalisasi kadar

hormon tiroid) dapat dicapai dalam 6-8 minggu setelah terapi inisial. Setelah tercapai

keadaan eutiroid, diberikan dosis pemeliharaan 2-3 x 50 mg/hari untuk PTU atau 1 x 5-15

mg/hari untuk metimazol. Pasien perlu dimonitor tiap 4-6 minggu dengan memeriksa kadar

T3 dan/atau T4. Kadar TSH biasanya lebih lama kembali ke kadar normal, biasanya tetap

rendah atau tidak terdeteksi sampai 6 minggu hormon tiroid kembali normal, sehingga tidak

perlu diperiksa pada monitor di awal terapi. Lamanya pemberian umumnya sekitar 18-24

bulan dengan tingkat remisi sebesar 75%.

PTU merupakan pilihan pada penderita dengan kehamilan atau menyusui karena sifatnya

yang berikatan kuat dengan protein, sehingga sedikit yang melewati sawar plasenta. PTU

juga merupakan obat terpilih pada keadaan hipertiroidisme yang berat atau adanya badai

tiroid yang perlu penurunan kadar T3 segera.

Kegagalan terapi dengan OAT bisa disebabkan oleh rendahnya tingkat kepatuhan penderita,

malabsorbsi (pada hipertiroidisme peristaltik usus meningkat), ataupun keadaan klinis yang

lebih berat seperti ukuran struma yang besar, tetapi terutama disebabkan oleh rendahnya

tingkat kepatuhan penderita.

Pengobatan dengan yodium radioaktif merupakan terapi pilihan pada kasus hipertiroidisme

yang mengalami kekambuhan setelah mendapat OAT jangka panjang, gagal mencapai remisi

sesudah pemberian OAT, penderita dengan penyakit jantung tiroid yang berat, tidak mampu

atau tidak mau pengobatan dengan OAT (karena efek samping yang berat).

26
Dosis yang diberikan berkisar antara 185 - 555 MBq (5-15mCi), tergantung ukuran struma.

Dengan dosis ini dapat mengendalikan tirotoksikosis dalam 3 bulan. Sekitar 80% pasien yang

mendapat RAI akan mengalami kesembuhan dan pengecilan ukuran struma dengan sekali

pemberian. Karena keadaan eutiroid baru akan tercapai beberapa bulan kemudian, untuk

kasus yang berat diperlukan OAT selama periode waktu tersebut.

Terapi pembedahan dengan tiroidektomi subtotal diindikasikan untuk penderita dengan

kehamilan atau anak-anak yang mengalami efek samping pengobatan dengan OAT. Terapi

ini juga merupakan untuk pasien dengan struma yang membesar ke belakang atau dengan

gejala penekanan dan pada pasien yang alergi terhadap OAT namun tidak dapat menerima

RAI.

Peranan penyekat beta

Beberapa gejala dan tanda hipertiroidisme seperti palpitasi, berkeringat banyak, gelisah,

takhikardia dan peningkatan tekanan nadi menyerupai manifestasi keadaan dengan

hiperaktifitas sistem beta adrenergik. Penyekat beta telah dipakai secara luas 20 tahun

terakhir dalam penanganan tirotoksikosis, terutama sebagai terapi tambahan pada krisis tiroid,

sebelum pemberian RAI, dan tindakan tiroldektomi subtotal dan pada hipertiroid dalam

kehamilan.

Preparat yang paling sering digunakan adalah propranolol. Kelebihan propranolol dibanding

preparat lain adanya efek mencegah konversi T4 jadi T3 di perifer melalui penghambatan

kerja enzim microsomal 5'-monodeiodinase. Propranolol biasa diberikan dengan dosis 3 - 4 x

20 - 40 mg/ hari dan tidak diberikan kepada pasien dengan penyakit paru obstruktif dan asma

bronkhiale. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan gagal jantung kongestif.

27
Pada keadaan gagal jantung yang berhubungan dengan takhikardi (rate related heart failure),

pemberian propranolol mungkin bermanfaat. Penyekat beta dan glikosida jantung bekerja

secara sinergis memperlambat respons ventrikel pada fibrilasi atrial. Pada keadaan krisis

tiroid dapat diberikan secara intra vena.

Pada kasus ini penderita telah mengalami keluhan berdebar sejak 6 tahun dengan diagnosis

hipertiroid ditegakkan sejak 5 tahun dengan terapi hipertiroid telah dimulai sejak 5 tahun

namun dengan compliance yang kurang baik, dan penderita mengakui keluhan kearah

hipertiroid masih ada, namun sudah berkurang, terutama keluhan berdebar. Hasil

pemeriksaan dengan sidik tiroid menunjukkan penderita masih dalam kondisi hipertiroid

dengan kadar fT3 yang masih melebihi nilai normal.

Dugaan kearah kelainan lain yang terkait dengan keluhan berdebar dari penderita baru

ditemukan pada saat penderita dirawat paska persalinan dengan seksio sesaria di HCU

Alamanda RSHS, dengan ditemukannya MVP pada pemeriksaan fisik dan hasil

ekokardiografi, dengan disertai adanya suatu hipokinetik pada dinding anteroseptal basal mid

dari miokardium.

Dilihat dari letak sumber VES yang ditemukan dengan melokalisir menggunakan rekaman

elektrokardiografi, meskipun mendukung kearah kelainan yang berhubungan dengan adanya

MVP, namun belum dapat menyingkirkan efek dari hipertiroid yang berhubungan dengan

manifestasi munculnya VES pada penderita. Kelainan struktural pada jantung yang

berhubungan dengan suatu iskemia belum dapat ditegakkan terjadi pada pasien ini karena

belum dibuktikan dengan pemeriksaan angiografi. Namun secara patofisiologi,

hipertiroidisme sendiri dapat menyebabkan terjadinya efek langsung terhadap miosit jantung

yang akan berperan dalam aritmogenesis pada penderita hipertiroid. Secara morfologi,

28
kelainan struktural yang terkait dengan VES biasanya memiliki origin dari LVOT. Pada

pasien ini morfologi dari rekam jantung 12 lead menunjukkan adanya origin dari LV non OT.

Berdasarkan rekomendasi dari ACC/AHA/ ESC tahun 2006 untuk penanganan aritmia

ventrikular, maka kasus yang dipaparkan diatas dapat dimasukkan pada kategori aritmia

ventrikular terkait kelainan endokrin dengan rekomendasi kelas I sebagai berikut :

1. Penanganan aritmia ventrikular sekunder dari kelainan endokrin semestinya ditujukan

pada gangguan keseimbangan elektrolit (Kalium, Kalsium, Magnesium) dan

penanganan untuk penyakit endokrin yang mendasarinya.

2. Aritmia ventrikular yang bersifat mengancam nyawa dan bersifat menetap pada

penderita dengan kelainan endokrin semestinya diterapi dengan perlakuan yang sama

untuk aritmia pada penyakit lain, termasuk penggunaan ICD dan pacemaker sesuai

kebutuhan pada mereka yang telah mendapatkan terapi medikamentosa optimal, dan

mereka dengan reasonable expectation of survival dengan status fungsional yang baik

untuk lebih dari 1 tahun (Level of Evidence C). 8

Dengan pengecualian untuk beta blocker, tidak ada bukti penelitian pada RCT yang

menyebutkan tentang peningkatan survival rate dengan obat antiaritmia yang diberikan untuk

pencegahan primer maupun sekunder dari sudden cardiac death (SCD).9

Gambar. Rekomendasi modulasi autonomi pada ventricular aritmia8

29
Ablasi dilakukan bilamana terapi aritmia termasuk koreksi elektrolit tidak efektif atau tidak

ditoleransi penderita. Strategi ablasi, risiko dan hasil akhir dari ablasi berhubungan dengan

mekanisme dan lokasi dari substrat VES. Penyulit yang bisa terjadi antara lain kesulitan

mapping karena kegagalan menginduksi munculnya aritmia atau origin aritmia terletak diarea

pada miokardium yang tidak terjangkau.

KESIMPULAN

 VES terutama yang frekuen atau multifokal memiliki makna terhadap risiko kejadian

kardiovaskular

 Mapping untuk mencari sumber VES diperlukan untuk kelanjutan tahapan tata

laksana bila ablasi dipertimbangkan sebagai terapi pilihan mengingat superioritasnya

pada tata laksanan VES

 Efek langsung tiroid pada miokardium berupa aritmia dapat menetap terlepas dari

status hormonal penderita hipertiroid

 MVP merupakan salah satu dari kelainan yang dapat mendasari suatu aritmia

ventrikel

 Beta blocker menjadi terapi pilihan untuk VES asimtomatik

 Tahapan taat laksana VES diawali dengan menyingkirkan penyebab lain yang

mungkin menjadi penyebab seperti kelainan hormonal atau elektrolit dengan tetap

mencari kemungkinan adanya kelainan jantung yang mendasari

DAFTAR PUSTAKA

1. Latcamsetty. R and Bogun F. Premature Ventricular Complex- Induced


Cardiomyopathy. Editorial. Rev Esp Cardiol 2016; 69 (4): 365-369

30
2. Merino LJ. Frequent ventricular extrasystoles: significance, prognosis and treatment.
An article from the E-Journal of the ESC Council for Cardiology Practice, Vol.9,N°17
- 28 Jan 2011
3. Osman, F et al. Cardiac Dysrithmyas and Thyroid Dysfunction : The Hidden Menace?
Clinical Review. J.Clin. Endocrino. Metab. March 2002. 87 (3): 963-967  file
hyperthyroid and arrhythmia.pdf
4. Lewandowski et al. Acute myocardial infarction as the first presentation of
thyrotoxicosis in 31-year old woman – a case report. Thyroid Research. 2010. 3:1
5. Woeber KA. Thyrotoxicosis and the heart. N Engl J Med 1992; 327:94-8
6. Klein I and Ojamaa K. Thyroid Hormone and the cardiovascular System. N Engl J
Med 2001; 344: 501-8
7. Hong et al.Ventricular premature contraction associated with mitral valve prolapse.
International Journal of Cardiology 221 (2016). 1144-1149
8. ACC/AHA/ESC 2006 guidelines for management of patients with ventricular
arrhythmias and the prevention of sudden cardiac death-executive summary. Eropean
Heart Journal (2006) 27, 2009-2140
9. 2015 ESC Guidelines for the management of patients with ventricular arrhythmias
and the prevention of sudden cardiac death. European Heart Journal (2015) 36, 2793-
2867
10. 2017 ESC Guidelines for the management of patients with ventricular arrhythmias
and the prevention of sudden cardiac death. European Heart Journal (2017)
11. Osman F, Franklyn JA, Holder RL, Sheppard MC et al. Cardiovascular manifestation
of hyperthyroidism before and after antityiroid therapy. JACC. Vol. 49(1). 2007: 71-
81
12. Channick BJ, Adlin EV, Marks AD, Denenberg BS, McDonough MT, Chakko CS, et
al. Hyperthyroidism and mitral-valve prolapse. N Engl J Med. 1985; 305(9):497500.
13. Brauman A, Algom M, Gilboa Y, Ramot Y, Golik A, Stryjer D. Mitral valve prolapse
in hyperthyroidism of two different origins. Br Heart J. 1985; 53(4):374-7.
14. Merce J, Ferras S, Oltra C, Sanz E, Vendrell J, Simon I, et al. Cardiovascular
abnormalities in hyperthyroidism: a prospective doppler echocardiographic study. Am
J Med. 2005; 118(2):126-31
15. Lozano HF, Sharma CN. Reversible pulmonary hypertension, tricuspid regurgitation
and right-sided heart failure associated with hyperthyroidism: case report and review
of the literature. Cardiol Rev. 2004; 12(6):299-305.

31
16. Biondi B, Kahaly GJ. Cardiovascular involvement in patients with different causes of
hyperthyroidism. Nat Rev Endocrinol. 2010; 6(8):431-43
17. Kage K, Kira Y, Sekine I, Okabe F, Nakaoka T, Hashimoto E, et al. High incidence of
mitral and tricuspid regurgitation in patients with Graves' disease detected by two-
dimensional color Doppler echocardiography. Intern Med. 1993; 32(5):374-6.
18. Khoo DH, Parma J, Rajasoorya C, Ho SC, Vassart G. A germline mutation of the
thyrotropin receptor gene associated with thyrotoxicosis and mitral valve prolapse in a
Chinese family. J Clin Endocrinol Metab. 1998; 84(4):1459-62
19. Kane. Echocardiographic parameters in hyperthyroidism with and without
cardiothyreosis. Ann Endocrinol. 1998; 59(1):14-9.

32

Anda mungkin juga menyukai