Aritmia jantung dapat terjadi berhubungan dengan adanya kelainan secara anatomis di
struktur jantung yang mengganggu konduksi listrik jantung dan terjadi karena adanya faktor
pemicu yang mencetuskan seperti emosi, stress, perubahan hormonal atau rangsangan
simpatis.
Tata laksana pada aritmia jantung dibedakan menurut jenis kegawatannya berdasarkan pada
morfologi pada rekam jantung yang menggambarkan substrat penyebab kelainan ini dan
Ventrikular ekstra sistol frekuen merupakan salah satu bentuk aritmia jantung yang biasanya
bersifat jinak dan sering merupakan kelainan idiopatik yang dapat ditemukan pada orang
normal tanpa kelainan jantung maupun pada wanita hamil. Kelainan dapat pula dijumpai
pada mereka yang mengalami gangguan hipertiroid. Kelainan katup jantung berupa prolaps
katup mitral juga dapat berhubungan dengan aritmia ini, meskipun angka kejadiannya relatif
lebih rendah bila dibandingkan dengan kejadian aritmia pada atrium, terutama atrial fibrilasi.
Namun belakangan ditemukan bahwa ventrikular ekstra sistol frekuen dapat berhubungan
dengan efek serius pada jantung seperti terjadinya kardiomiopati. Terapi yang diberikan pada
penderita umumnya bersifat konservatif, terutama bila tidak ditemukan adanya kelainan
jantung yang menyertai atau mendasarinya, Namun tata laksana akan menjadi berbeda pada
mereka yang terdapat kelainan jantung yang mendasari atau bila aritmia berubah menjadi
mendasari terjadinya aritmia ini guna menyusun tata laksana terpadu dalam manajemen
penderita.
Laporan kasus ini disusun untuk membahas mengenai diagnostik dan tata laksana dari kasus
ventrikular ekstra sistol dengan episode bigemini dan trigemini pada seorang wanita P3A0
post seksio sesaria dengan kelainan hipertiroid dan prolaps katup mitral.
LAPORAN KASUS
RESUME
Seorang wanita usia 35 tahun P3A0 post partus prematurus atas indikasi letak
lintang dan gawat janin di HCU Alamanda RSHS memiliki keluhan berdebar. Penderita telah
didiagnosis dengan struma difusa toksik sebelumnya dan telah mendapatkan pengobatan
sejak 5 tahun SMRS, tidak rutin minum obat PTU dan propranolol selama 3 tahun, dan
berganti obat dengan propranolol dan tirosol sejak 2 tahun SMRS. Pada usia kehamilan 3
bulan, penderita mendapatkan perubahan terapi dengan PTU dan dilanjutkan dengan
Penderita memiliki keluhan berdebar yang hilang timbul sejak 6 tahun SMRS,
dirasakan baik pada saat istirahat maupun aktivitas, disertai rasa mudah lelah, mudah
berkeringat, lebih menyukai tempat dingin, sering merasakan tangan gemetar dengan telapak
tangan sering terasa basah, terdapat penurunan berat badan sebanyak 4 kg dalam 2 bulan
pertama keluhannya, menstruasi menjadi tidak teratur, disertai dengan mata tampak melotot,
compos mentis. BMI (Body Mass Index) 24.83 kg/m2 (normoweight) tinggi badan 158 cm
2
dan berat badan 62 kg. Tekanan darah 124/82 mmHg, nadi sama dengan denyut jantung 96
kali permenit reguler, ekual, dan isi cukup, laju pernapasan 22 kali per menit, dan pasien
Pemeriksaan jantung didapatkan ictus cordis tidak tampak teraba pada ICS VI 1
cm lateral LMCS (Linea Mid Clavicular Sinistra), tidak kuat angkat, thrill tidak ada. Batas
atas jantung ICS III, batas kanan LSD, dan batas kiri adalah ICS VI 1 cm lateral LMCS.
Bunyi jantung S1 dan S2 normal reguler, bunyi tambahan S3 (+), S4 (-), dan ditemukan
murmur pansistolik grade 3/6 di apeks menjalar ke aksila, tidak terdengar bunyi sistolik klik.
Pemeriksaan fisik paru ditemukan ronkhi basah halus minimal di lapang bawah
kedua paru, yang kemudian menghilang dalam follow up hari berikutnya, disertai dengan
frekuen episode bigemini dan trigemini, dengan sumber VES berasal dari inferior ventrikel
arah kiri ke bawah, dengan terdapat hipomagnesemia sebelumnya, dengan kadar magnesium
1,4 mg/dL, telah dilakukan koreksi menjadi 2.4 mg/dL namun tidak ada perubahan pada
dilated LV, preserved Ejection Fraction, LVEF 51% dengan hipokinetik anteroseptal basal
mid, normal diastolic LV function, moderate MR, due to MVP AML A2-A3 eccentric jet,
normal RV contractility.
lintang, struma difusa toksik. Penderita diberikan tata laksana tirah baring, dengan
3
po pada perawatan hari ke-7, dengan terapi dari TS IPD dan Obgyn dengan pemberian
Dari penghitungan indeks Wayne didapatkan skor 22 didapatkan dari : palpitasi (2), rasa
mudah lelah (2), lebih menyukai tempat dingin (5), berkeringat berlebihan (2), gelisah (2),
peningkatan nafsu makan (+3), peningkatan berat badan (-3), teraba tiroid (3), telapak tangan
Dari penghitungan Burch Wartofsky didapatkan nilai 20 yang didapatkan dari : denyut
Skor indeks Wayne dan Burch Wartofsky mendukung adanya suatu struma difusa toksik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan nilai dari pemeriksaan darah sebagai
berikut :
L 17.020 4.400-
11.300/mm3
Tr 234.000 150.000-
450.000/mm3
DC
4
MCH 26.0 26 – 34 pg
MCHC 33.7 32 – 36%
Ur 15-50mg/dL
Kr 0,7-1.3 mg/dL
GDS
Natrium 140 136 135-145
Telah dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid sebelumnya pada tanggal 3 Januari 2108 dengan
hasil
T3 2.8 mg/mL (N : 0.8-2), FT4 1.3 mg/dL (N : 0.8-1.7), TSH < 0.02 (IU/mL (N : 0.3-5) yang
Hasil rekam jantung dari monitor pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 12.47 didapatkan
gambaran frekuen VES dengan episode bigemini dan trigemini (EKG 1).
Gambar. EKG 1
Dari hasil rekam jantung pada tanggal 24 Februari 2018 pukul 16.00 didapatkan irama sinus,
aksis normal, QRS rate 90 x/ menit, gelombang P 0.12 s, 0.1 mV, PR interval 0.12 s, Q
patologis (-), durasi QRS 0.08s, ST segmen isoelektrik, T inversi (-), R/S V1< 1, SV1/V2+
5
Gambar. EKG 2.
Penderita dilakukan rekam jantung ulang dan ditemukan dalam rekam jantung gambaran
irama sinus, aksis normal, QRS rate 98x/menit, P wave 0,1mV, 0,06s, PR interval 0,16s, QRS
durasi 0,08s, Q patologis (-), ST segmen isoelektrik, T inversi (-), R/S V1< 1, SV1/V2+
RV5/V6 < 35 mm, SV3+RaVL < 28 mm, S di V4+SVD < 28 mm dengan gambaran VES
Diagnosa EKG : sinus ritme, VES unifokal frekuen dengan episode trigemini, RBBB (EKG
3)
Gambar. EKG 3
6
Gambar. Rekaman ekokardiografi 1
7
Gambar. Rekaman ekokardiografi 3
PERMASALAHAN
2. Bagaimana tata laksana dari VES frekuen dengan episode bigemini &
DISKUSI
Selama beberapa dekade didapatkan anggapan bahwa VES frekuen tanpa adanya kelainan
struktural jantung dianggap sebagai suatu aritmia jinak. Namun anggapan ini bermula dari
studi dengan jumlah sample yang kecil dengan keterbatasan modalitas pemeriksaan.
Penelitian terbaru menyebutkan bahwa VES frekuen berhubungan dengan efek serius yang
8
dapat ditemukan seperti terjadinya kardiomiopati, bahkan pada mereka yang sebelumnya
VES merupakan aritmia ventrikular yang umum ditemukan dan kejadiannya meningkat
seiring dengan peningkatan usia. 9 Adanya VES pada monitoring selama 2 menit pada pasien
usia paruh baya dalam studi ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities) berhubungan
dengan peningkatan risiko untuk penyakit maupun kematian jantung iskemik dengan atau
Pada populasi umum, VES frekuen didefinisikan sebagai adanya paling sedikit 1 VES dalam
EKG 12 lead atau > 30 VES per jam, berhubungan dengan peningkatan risiko kardiovaskuler
dan kematian.
Karena beberapa studi telah menghubungkan efek buruk dari adanya VES, maka deteksi VES
terutama yang frekuen dan multifokal, dianggap secara umum sebagai faktor risiko terjadinya
kejadian kardiovaskuler yang buruk, dan memerlukan evaluasi menyeluruh untuk mencari
kemungkinan terdapat kelainan jantung yang dapat mendasarinya guna meminimalisir risiko.
VES yang sangat frekuen >10.000 sampai 20.000 sehari, dapat berhubungan dengan
penurunan fungsi LV dan bersifat reversibel, dikenal dengan PVCs induced cardiomyopathy.
Pasien dengan VES trigemini atau bigemini dapat tampil dengan bradikardia efektif, dengan
apical-radial pulsus deficit dan hipertensi relatif disertai wide pulse pressure. Efektif
bradikardia ini dapat menyebabkan perhitungan denyut jantung yang tidak akurat.
Pemeriksaan fisik difokuskan pada penemuan penyakit jantung yang dapat mendasari aritmia
ini, salah satuya seperti mendengar bunyi mid sistolik klik pada MVP.
9
Monitoring 24 jam terus-menerus dengan elektrokardiografi Holter direkomendasikan bila
VES muncul sekali sehari atau kuantifikasi VES diperlukan untuk menilai penurunan fungsi
Hormon tiroid menyebabkan efek langsung terhadap miokardium dan vaskuler sistemik yang
sebelumnya tentang kelainan yang bersifat revesibel akibat hormon tiroid, namun bukti
terkini menyebutkan bahwa konsekuensi jangka panjang terutama terhadap penyakit vaskular
Beberapa studi populasi terbatas menyebutkan adanya efek jangka panjang dari hormon tiroid
dan penyakit tiroid terhadap mortalitas dan morbiditas. Studi kohort pada 7209 subyek
dengan tirotoksikosis yang diterapi dengan radioiodin dalam rentang tahun 1950 dan 1989
Dari data yang dikumpulkan didapatkan penyebab kematian terkait penyakit tiroid terkait
kematian akibat penyakit jantung rematik dan hypertensive heart disease. Angka risiko relatif
kematian akibat penyakit jantung iskemik didapatkan dengan jumlah lebih rendah namun
signifikan, dan risiko absolut kematian akibat kelainan ini tinggi, menentukan peningkatan
10
kematian pada data kohort terkait dengan penyakit jantung iskemik. Kematian akibat
disritmia dan penyakit jantung kongestif juga ditemukan meningkat. Data lebih lanjut
menyebutkan adanya peningkatan angka kematian terkait kelainan vaskular pada studi di
populasi wanita dengan subyek sebanyak 1.762 wanita dengan tirotoksikosis yang
diradioterapi. Studi lain menyebutkan adanya hubungan antara peningkatan kadar serum fT3
Meskipun data yang dikumpulkan diatas menghubungkan antara kejadian penyakit vaskular
dengan hipertiroidismus, namun data lain pada studi berbasis komunitas menunjukkan
peningkatan yang serupa kejadian kardiovaskular pada subyek dengan hipertiroidismus sub-
klinis. Dalam studi yang berbeda didapatkan hubungan antara peningkatan sebesar 2.6 kali
lipat kejadian jantung koroner dengan kadar fT3 yang meningkat. 3,4
studi kohort diatas dikaitkan dengan komplikasi atrial fibrilasi yang menyebabkan kejadian
emboli.3
Hipertiroidisme dan atrial fibrilasi disebutkan berhubungan erat kejadiannya pada studi di
populasi dewasa. Atrial fibrilasi menempati kejadian tersering dari disritmia pada
Studi ini menemukan bahwa kejadian aritmia ventrikel pada subyek hipertiroid maupun
Hipertiroidisme sub-klinis didefinisikan sebagai konsentrasi rendah dari serum TSH pada
individu asimtomatik dengan konsentrasi serum T3 dan T4 yang normal. Rendahnya kadar
serum TSH secara umum digunakan sebagai marker sensitif berlebihnya hormon tiroid dan
telah dilaporkan dalam studi populasi besar berhubungan dengan risiko 3 kali lipat lebih
11
tinggi terjadinya atrial fibrilasi dalam jangka waktu 10 tahun. Suatu studi yang mengikuti
pasien usia 60 tahun ke atas tanpa atrial fibrilasi pada awal studi, yang diambil dari
Framingham Heart Study selama 10 tahun, menyebutkan adanya insidensi kumulatif atrial
fibrilasi pada subyek dengan kadar TSH rendah pada saat awal studi sebesar 28%
dibandingkan dengan subyek dengan kadar TSH normal pda awal studi yang berkembang
menjadi atrial fibrilasi pada akhir studi sebesar 11%. Risiko relatif untuk atrial fibrilasi pada
individu dengan kadar TSH yang rendah adalah 3.1 dibandingkan dengan individu dengan
fibrilasi, terutama yang sumbernya terletak di vena pulmonal, dan telah dilaporkan lebih
sering terjadi pada pada pasien dengan tirotoksikosis dibandingkan dengan kontrol. Jumlah
penderita dengan SVCs (didefinisikan sebagai 10 SVCs dalam satu baris, dengan denyut
jantung >130 kali permenit) telah dilaporkan menurun setelah terapi antitiroid dengan
prevalensi yang lebih tinggi didapatkan pada populasi dengan usia lebih tua baik pada
sebelum maupun setelah terapi. Data preliminar mendukung hasil ini dengan
diketemukannya prevalensi signifikan denyut ektopik atrial (didefinisikan sebagai > 240
SVCs per 24 jam) lebih tinggi pada subyek tirotoksik dibandingkan dengan kontrol, dan tetap
meningkat selama 3 bulan setelah awal terapi antitiroid meskipun hasil biokimia
menunjukkan staus eutiroid, yang mendukung pada adanya substrat aritmia yang
berekelanjutan.3
Sel miosit jantung menempati 1/3 dari keseluruhan komponen selular miokardium. Sel
fibroblast, sel otot polos, sel endotel, dan sel lain menempati porsi terbesar dari sel jantung.
12
Protein yang responsif terhadap hormon tiroid kebanyakan berasal dari miosit, dan belum
didapatkan data tambahan terkait pengaruh hormon tiroid terhadap sel non miosit. 2
Hormon T3 yang aktif secara biologis memperantarai kerja dari hormon tiroid. Saat berada di
dalam miosit, T3 memasuki nucleus dan berikatan dengan reseptor nucleus yang terikat pada
elemen respon DNA dari gen target. Gen responsif-T3 mengkode baik struktur maupun
proses regulasi protein pada jantung. Beberapa gen jantung dimodulasi oleh hormon tiroid
Ekspresi dari gen-gen tersebut dikenal memiliki efek penting pada sistem kardiovaskular,
terutama pada fungsi kontraktilitas sistolik dan relaksasi diastolik. Apakah gen-gen tersebut
secara spesifik terlibat dalam predisposisi terjadinya aritmogenesis pada miokardium saat ini
belum diketahui. Ekspresi gen yang mengkode transporter ion secara spesifik pada membran
plasma seperti Na-K ATPase, Na-Ca exchanger, dan voltage-gated potassium channels
(Kv1.5, Kv4.2 dan Kv4.3) juga diregulasi oleh hormon tiroid. Hormon tiroid juga
mempengaruhi bagian ekstranuklear dari miosit terlepas dari binding reseptor T3 di nukleus,
dan meningkat pada sintesis protein. Efek ekstranuklear dari hormon tiroid terutama
mempengaruhi transport dari asam amino, gula, dan kalsium melintasi membran sel. T3 dapat
mengubah karakteristik performance dari sejumlah kanal ion di membran sel secara langsung
(termasuk natrium, kalium dan kalsium) untuk mempengaruhi inotropik dan kronotropik
13
Gambar. Efek hormon T3 terhadap miosit.6
Dapat disimpulkan bahwa efek transkripsional dan non transkripsional dari hormon tiroid
secara bersama-sama akan meningkatkan kontraktilitas jantung dan sistem vaskular, dalam
Setelah terapi antitiroid dimulai, status eutiroid secara biokimiawi dapat tercapai dalam waktu
4-6 minggu. Tingginya mortalitas vaskular yang terlihat setelah terapi tirotoksikosis
mungkin berhubungan dengan efek persisten seluler, terlepas dari status eutiroid yang
14
tercapai. Ditemukan bukti bahwa induksi atau on-rate transkripsi gen spesifik oleh hormon
tiroid berbeda dari off-rate transkripsi (setelah withdrawal dari hormon tiroid) dengan off-rate
membutuhkan waktu lebih lama. Perubahan seluler dengan demikian dapat menetap dengan
konsekuensi lanjut dari aritmia karena terjadinya remodeling elektrik, khususnya di atrium. 3
Tabel. Regulasi hormon tiroid terhadapa gen pengkode transkripsi dan posttranskripsi dari
protein kardiak.6
Perbedaan terjadinya aritmia di atrium dan ventrikel mungkin disebabkan oleh perbedaan
sensitivitas dari kedua jaringan terhadap hormon tiroid. Golg et al menyebutkan bahwa
kapasitas binding dari β-adrenoreseptor di atrium kanan dua kali lebih besar dari ventrikel
kiri. Temuan ini konsisten dengan studi lain yang menyebutkan turnover dari noradrenalin
lebih tinggi di jaringan atrium daripada di jaringan ventrikel pada hewan coba. Lebih lanjut,
menemukan bahwa 26% dari reseptor dari atrium kanan adalah dari subtipe β2 dengan 14 %
di ventrikel kiri.3
15
Hormon tiroid dengan sistem β-adrenergik
tremor, berkeringat banyak, palpitasi, tekanan nadi yang lebar, kecemasan, intoleransi
Adanya tumpang-tindih antara gejala dan tanda antara hipertiroidisme dangan keadaan
katekolamin. Akan tetapi kadar norepinefrin di darah ternyata normal dan ekskresi
Diduga keadaan yang menyerupai adanya hiperadrenergik pada hipertiroidisme adalah karena
untuk reseptor katekolamin di otot jantung; serta meningkatnya jumlah protein-G yang
berfungsi mengikatkan reseptor adrenergik dengan adenil siklase. Akan tetapi, hormon tiroid
itu sendiri dapat bekerja tanpa tergantung kepada katekolamin. Kemungkinan baru yang
difikirkan adalah bahwa adanya kemiripan struktur T3 dan T4 dengan katekolamin sehingga
hipertiroidisme.
Pada keadaaan hipertiroid terjadi perubahan yang menyolok di sirkulasi . Perubahan tersebut
adalah peningkatan volume darah total, penurunan resistensi vaskular sistemik (systemic
16
vascular resistance=SVR) sampai 40-60% dan pemendekan waktu sirkulasi, yang semuanya
Peningkatan aliran darah akibat perubahan di atas tidak terdistribusi secara merata di seluruh
jaringan. Aliran darah ke kulit, otot skelet dan arteri koroner akan meningkat dengan nyata,
Penurunan SVR merupakan akibat meningkatnya aktivitas metabolik basal dan konsumsi
oksigen. Kondisi ini merangsang pelepasan vasodilator lokal yang selanjutnya menyebabkan
menyebabkan penurunan tekanan darah diastolik, sehingga pada akhirnya curah jantung
meningkat.
Disfungsi hormon tiroid juga mempengaruhi tekanan darah. Pada hipertiroidisme terjadi
peningkatan tekanan darah sistolik karena peningkatan volume sekuncup, dan penurunan
Dengan turunnya resistensi vaskular sistemik menyebabkan penurunan perfusi renal yang
angiotensin menyebabkan retensi air dan natrium. Volume darah total jadi meningkat.
Keadaan ini mengakibatkan peningkatan tekanan atrium kanan, peningkatan preload dan
Selain karena mekanisme di atas, penurunan resistensi vaskular sistemik juga disebabkan
efek langsung hormon tiroid ke sel otot polos arteriol. Hormon T3 mempengaruhi
transportasi ion natrium dan kalium di sel otot polos, menyebabkan penurunan kontraktilitas
17
Gambar. Efek hormon tiroid terhadap sistem kardiovaskuler 4
yang memperberat kerja jantung. Bertambahnya beban kerja ini selanjutnya akan
relaksasi diastolik, fungsi jantung sudah hampir mencapai batas maksimal, sehingga
kegagalan jantung dalam merespons suatu pembebanan, yang terlihat dari pengukuran fraksi
ejeksi saat pembebanan dengan kenaikan kurang dari 5%. Kegagalan dalam merespon
yang bersifat fungsional, tanpa adanya lesi yang jelas yang dapat diidentifikasi secara
18
Kombinasi dari beban hiperdinamik, penurunan cadangan kontraktil miokardial dan
takiaritmia dapat menimbulkan kegagalan jantung. Meskipun curah jantung menurun, tetapi
masih lebih tinggi dibanding normal (high-output failure). Pada sebuah penelitian berskala
besar terhadap pasien hipertiroidisme, frekuensi gagal jantung adalah 6%. Pasien yang
berusia lebih dari 60 tahun yang mengalami keadaan hipertiroid dalam waktu yang lama,
Angina pektoris dan gagal jantung bisa terjadi pada penderita hipertiroidisme, yang
sebelumnya diyakini hanya terjadi pada penderita yang mempunyai dasar penyakit jantung
koroner. Namun dari beberapa penelitian telah terbukti bahwa pada jantung yang sebelumnya
normal bisa terjadi gagal jantung, meskipun pada anak-anak. Ebisawa dkk, melaporkan
bahwa kardiomiopati pada penderita hipertiroidisme bisa bersifat irreversibel. Oleh karena itu
jika hipertiroidisme berlangsung berat dan berkepanjangan akan membuat jantung kelebihan
beban dan akhirnya mengalami gagal jantung. Hipertensi sistolik pada hipertiroidisme
biasanya terdapat pada penderita berusia lebih tua. Hipertensi ini agaknya disebabkan
sekuncup. Gejala gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi (high output cardiac
failure) yang dirasakan oleh penderita hipertiroidisme bisa juga disebabkan oleh hal lain.
Adanya dyspnea on effort pada penderita dengan fraksi ejeksi supranormal tanpa adanya
gagal jantung, bisa disebabkan oleh kelemahan otot pernafasan. Penderita bisa mengeluhkan
gejala high output cardiac failure karena adanya peningkatan volume darah total disertai
19
Mitral Valve Prolapse (MVP) merupakan abnormalitas katup jantung yang umum ditemukan,
dengan prevalensi sebesar 0.6% sampai dengan 2.4 %. VES sering ditemukan pada penderita
MVP, terutama pada MVP dengan regurgitasi mitral sedang berat, namun apakah profil VES
yang terjadi pad MVP berbeda dari yang tidak terkait MVP, sejauh ini belum diketahui. 7
Tidak ditemukan hubungan antara frekuensi VES dengan derajat regurgitasi mitral atau
anatomi dari MVP. Yang menarik adalah distribusi lokasi sumber VES pada MVP, yang
ditemukan lebih banyak di LV. Pada penderita VES tanpa terkait MVP tidak ditemukan
perbedaan distribusi sumber dari VES. Disinyalir origin VES pada MVP lebih banyak di
papillary muscle dan fascicle. Hal ini mungkin berhubungan dengan abnormalitas tension
dari papillary muscle yang disebabkan oleh displacement dari daun katup mitral. 7
VES burden dan lokasi sumber ditentukan dengan melihat rekaman menggunakan holter dan
sumber pada VES multifokal ditentukan dengan melihat morfologi dari VES yang paling
1. Right ventricular outflow tract; left bundle branch block morphology. Dengan inferior
aksis, QS di lead aVR dan aVL, QS atau r kecil di lead V1 dan R transitional zone di
2. Left ventricular outflow tract; right bundle branch block morphology. Dengan inferior
aksis dan QS pada lead aVR dan aVL, atau left bundle branch block morphology
dengan r kecil yang lebih jelas dan durasi di V1 dan transitional zone gelombang R
3. LV non OT; right bundle branch block morphology, tanpa gambaran dari LVOT
4. RV non OT; left bundle branch block morphology tanpa tipikal aksis inferior atau
20
Diagnosis MVP didefinisikan sebagai systolic displacement (>2mm) dari daun katup mitral
ke dalam atrium kiri melebihi dari garis datar annulus mitralis pada parasternal long axis
view menggunakan ekokardiografi transtorakal, bisa disertai dengan penebalan daun katup
(maksimal ketebalan daun katup > 5mm) selama diastol pada tipe klasik. MVP biasanya
terjadi akibat dari degenerasi miksomatus, yang menyebabkan penebalan pada daun katup.
kedekatan antara pembentukan dan migrasi tiroid dengan jantung. Penelitian pertama yang
melaporkan tingginya insiden MVP pada pasien hipertiroid dilaporkan pertama kali oleh
Channick dkk.12 Channick dkk., menemukan insiden yang sangat tinggi dari MVP pada
pasien dengan hipertiroid akibat penyakit Grave’s (41% dari 39 pasien) yang kemudian
diikuti beberapa laporan serupa yang menunjukkan kejadian MVP pada hipertiroid.12,13,14
Kejadian regurgitasi trikuspid pada pasien hipertiroid juga dilaporkan oleh Lozano dkk.,
walaupun belum sebanyak pelaporan mitral regurgitasi.15 Sampai saat ini, hubungan antara
penyakit Grave’s dan MVP belum diketahui secara pasti. Penyakit Grave’s dan MVP
memiliki beberapa persamaan. Penyakit Grave’s lebih umum terjadi pada perempuan. Rasio
perempuan terhadap laki-laki kejadian MVP dalam beberapa seri dilaporkan bervariasi dari
4: 1 dalam satu studi hingga 3: 1.6 Autoimunitas merupakan faktor yang telah dikenal dalam
penyebab penyakit Grave’s, dan baru-baru ini telah disebutkan juga dalam etiologi MVP.
Sekitar 20 dari total 40 pasien dengan MVP memiliki faktor antinuclear yang positif
21
Mekanisme patofisiologi yang menghubungkan MVP dan penyakit tiroid autoimun memang
masih belum sepenuhnya dimengerti. Diperkirakan bahwa gen human leukocyte antigen
(HLA) dapat menjelaskan hubungan antara penyakit Grave’s dan MVP. Penyakit Grave’s
telah diketahui terkait dengan antigen histokompatabilitas mayor Bw35, dan DRw3. Pada
pasien dengan MVP beberapa studi menunjukkan prevalensi yang tinggi dari HLA-Bw35 (73
% vs 39 % pada kontrol), tetapi hanya pada ras kulit hitam Amerika.13 Studi lain yang
didominasi sampel kulit putih menunjukkan bahwa fenotip A3; Bw35 cukup spesifik untuk
katup mitral prolaps. Namun demikian, dalam penelitian lain tidak ada hubungan HLA yang
ditemukan pada sampel kulit putih. Hingga kini asosiasi antara alel HLA dan penyakit
Peningkatan produksi dan sekresi asam mukopolisakarida telah diketahui didapatkan dalam
jaringan ekstra tiroid dari pasien dengan penyakit Grave’s. Menurut Biondi
mukopolisakarida hidrofilik ini dapat menumpuk di semua katup jantung, terutama katup
mitral, dan menyebabkan katup menjadi menebal (miksomatus).16 Sel endotel pensekresi
mukopolisakarida ini dalam katup jantung berasal dari fibroblast; oleh karenanya sel-sel ini
mampu mengekspresikan reseptor TSH di permukaan sel, yang dapat dikenali dan kemudian
diaktifkan oleh auto antibodi yang bersirkulasi terhadap reseptor TSH. Selain itu, gangguan
sintesis kolagen menyebabkan prolaps katup mitral miksomatus ini ke dalam atrium kiri.
Prevalensi degenerasi katup miksoid ini meningkat pada pasien dengan penyakit Grave’s
dan/-atau tiroiditis autoimun, tetapi tidak terjadi pada mereka dengan goiter toksik multi
nodul.16 Pada pasien ini belum dapat dipastikan adanya kondisi katup yang menebal
Kage dkk., juga melaporkan kejadian valvular regurgitasi secara signifikan lebih tinggi
diamati pada pasien dengan Grave’s dibandingkan pada pasien kontrol yaitu MR dan TR.17
22
MR pada hipertiroidisme dikatakan merupakan konsekuensi akibat dilatasi annulus mitral
karena ventrikel kiri yang berdilatasi atau karena MVP. Namun, data menunjukkan
kemungkinan adanya mekanisme kausatif lain yang terlibat. Kejadian TR juga lebih tinggi
pada pasien Grave’s dan kelainan katup ini dapat menetap selama beberapa tahun walaupun
Sebuah kejadian MVP dari 50% pada anak kembar monozigot telah dilaporkan. Insiden
puncak penyakit Grave’s terjadi selama dekade ketiga dan keempat walaupun dapat terlihat
pada masa kanak-kanak. MVP lebih jelas dalam fase kehidupan orang dewasa, hal ini
mungkin karena proses degenerasi progresif miksomatus dari mitral valve aparatus sebagai
konsekuensi dari penyakit jantung iskemik, kelainan jaringan ikat, atau trauma.13 Kho dkk.,
melaporkan suatu mutasi germline dari gen reseptor Thyrotropine pada keluarga Cina dengan
tirotoksikosis dan MVP. Ini merupakan laporan yang pertama yang mengemukakan
hubungan antara aktivasi mutasi TSH-R dan MVP. Tidak jelas bagaimana mutasi titik pada
gen TSH-R dikaitkan dengan MVP. Empat kemungkinan dikemukakan, 1) mutasi itu sendiri
mungkin menyebabkan MVP; 2) mungkin tidak ada hubungan antara dua kondisi, dan
kejadian bersamaan dalam keluarga Cina tersebut mungkin sepenuhnya coincidental; 3) gen
TSH-R dan gen MVP dalam keluarga ini mungkin terkait erat; 4) keempat Kho dkk.,
berpendapat bahwa aktivasi TSH-R mungkin dapat meningkatkan ekspresi klinis MVP dari
Pada pasien ini juga didapatkan regurgitasi mitral sedang. Mitral regurgitasi pada pasien
ekokardiografi pada pasien dengan dan tanpa hipertiroid. Mereka mendapatkan valvular
regurgitasi yang signifikan pada kelompok dengan hipertiroid, yaitu dari 17 sampel kelompok
23
hipertiroid terdapat 8 kasus mitral regurgitasi, 1 kasus trikuspid regurgitasi dan 1 kasus aorta
regurgitasi.19
2. Bagaimana tata laksana dari VES frekuen dengan episode bigemini & trigemini pada
Secara umum tata laksana pada VES meliputi manajemen pada penyebab sekunder,
farmakoterapi untuk mensupresi VES atau ablasi kateter untuk menurunkan atau
mengeliminasi sumber VES. Farmakoterapi yang digunakan meliputi obat anti aritmia seperti
beta blocker dan calcium channel blocker yang efektif menurunkan presentasi VES sebesar
Ablasi dengan kateter dapat menjadi alternatif terapi untuk VES. Radiofrekuensi kateter
ablasi dikatakan superior dibandingkan dengan farmakoterapi pada kasus seperti VES yang
bersumber dari right ventricular outflow tract. Bahkan angka keberhasilan yang cukup tinggi
juga dilaporkan terjadi pada kondisi sulit seperti lokasi sumber VES di papillary muscle atau
epikardium. Saat ini sedang dievaluasi peranan ablasi kateter sebagai terapi lini pertama
Pertimbangan untuk memilih ablasi sebagai terapi pada kasus VES harus menitikberatkan
kemungkinan kesuksesan tindakan dan superioritas perbaikan klinis dari potensi risiko.
Faktor yang dapat dijadikan pertimbangan meliputi frekuensi VES, lokasi yang diperkirakan
menjadi sumber VES, kompleksitas morfologi VES, alternatif farmakoterapi, usia penderita
dan juga komorbiditas yang mungkin ada. Penderita dengan VES frekuen monomorfik yang
bersumber dari right ventricular outfolow tract memiliki angka keberhasilan tertinggi dari
24
kesuksesan tindakan ablasi, sedangkan adanya VES multifokal dengan atau VES epikardial
Manajemen pada penderita VES asimtomatik atau tidak adanya disfungsi jantung meliputi
Tata laksana awal penderita dengan VES frekuen adalah dengan melakukan evaluasi adanya
kemungkinan kelainan struktural yang mendasarinya dengan ekokardiografi atau stress test. 6
hiperfungsi tiroid dengan tujuan utama mencapai keadaan eutiroid. Terdapat 3 modalitas
pengobatan yaitu medikamentosa dengan obat anti tiroid (OAT), pemberian yodium
131
radioaktif (RAl - Radioactive iodine) dengan I dan tindakan operatif (tiroidektomi
subtotal).
OAT telah digunakan selama lebih dari 50 tahun. Meskipun akhir-akhir ini penggunaan
yodium radioaktif makin meluas, OAT masih merupakan terapi utama untuk keadaan
hipertiroid pada penyakit Graves. Metimazol dan propil tiourasil (PTU) merupakan OAT
yang paling banyak digunakan dan dikenal secara luas. Keduanya merupakan derivat tiourea.
Efek utama adalah menghambat sintesis hormon tiroid (T3 dan T4) di dalam folikel kelenjar
tiroid. Selain itu PTU (tapi tidak metimazol) mempunyai efek ekstra tiroid berupa efek
menghambat konversi T4 jadi T3 di perifer. Diduga OAT juga mempunyai efek imunologi
OAT biasanya diberikan sebagai terapi primer selama beberapa waktu dan diharapkan
tercapai keadaan remisi, yang ditandai dengan tercapainya keadaan eutiroid secara laboratoris
selama minimal 1 tahun tanpa terapi. Pemberian dimulai dari dosis 3x100 mg/hari untuk
PTU, dan 10-30 mg/hari dosis tunggal untuk metimazol. Kecepatan respon terapi ditentukan
25
oleh beberapa faktor, seperti beratnya penyakit, ukuran kelenjar (yang menggambarkan
cadangan hormon intra-tiroid), serta dosis dan frekuensi pemberian obat. Dosis obat yang
Perbaikan klinis biasanya terlihat setelah 3 minggu, dan keadaan eutiroid (normalisasi kadar
hormon tiroid) dapat dicapai dalam 6-8 minggu setelah terapi inisial. Setelah tercapai
keadaan eutiroid, diberikan dosis pemeliharaan 2-3 x 50 mg/hari untuk PTU atau 1 x 5-15
mg/hari untuk metimazol. Pasien perlu dimonitor tiap 4-6 minggu dengan memeriksa kadar
T3 dan/atau T4. Kadar TSH biasanya lebih lama kembali ke kadar normal, biasanya tetap
rendah atau tidak terdeteksi sampai 6 minggu hormon tiroid kembali normal, sehingga tidak
perlu diperiksa pada monitor di awal terapi. Lamanya pemberian umumnya sekitar 18-24
PTU merupakan pilihan pada penderita dengan kehamilan atau menyusui karena sifatnya
yang berikatan kuat dengan protein, sehingga sedikit yang melewati sawar plasenta. PTU
juga merupakan obat terpilih pada keadaan hipertiroidisme yang berat atau adanya badai
Kegagalan terapi dengan OAT bisa disebabkan oleh rendahnya tingkat kepatuhan penderita,
malabsorbsi (pada hipertiroidisme peristaltik usus meningkat), ataupun keadaan klinis yang
lebih berat seperti ukuran struma yang besar, tetapi terutama disebabkan oleh rendahnya
Pengobatan dengan yodium radioaktif merupakan terapi pilihan pada kasus hipertiroidisme
yang mengalami kekambuhan setelah mendapat OAT jangka panjang, gagal mencapai remisi
sesudah pemberian OAT, penderita dengan penyakit jantung tiroid yang berat, tidak mampu
atau tidak mau pengobatan dengan OAT (karena efek samping yang berat).
26
Dosis yang diberikan berkisar antara 185 - 555 MBq (5-15mCi), tergantung ukuran struma.
Dengan dosis ini dapat mengendalikan tirotoksikosis dalam 3 bulan. Sekitar 80% pasien yang
mendapat RAI akan mengalami kesembuhan dan pengecilan ukuran struma dengan sekali
pemberian. Karena keadaan eutiroid baru akan tercapai beberapa bulan kemudian, untuk
kehamilan atau anak-anak yang mengalami efek samping pengobatan dengan OAT. Terapi
ini juga merupakan untuk pasien dengan struma yang membesar ke belakang atau dengan
gejala penekanan dan pada pasien yang alergi terhadap OAT namun tidak dapat menerima
RAI.
Beberapa gejala dan tanda hipertiroidisme seperti palpitasi, berkeringat banyak, gelisah,
hiperaktifitas sistem beta adrenergik. Penyekat beta telah dipakai secara luas 20 tahun
terakhir dalam penanganan tirotoksikosis, terutama sebagai terapi tambahan pada krisis tiroid,
sebelum pemberian RAI, dan tindakan tiroldektomi subtotal dan pada hipertiroid dalam
kehamilan.
Preparat yang paling sering digunakan adalah propranolol. Kelebihan propranolol dibanding
preparat lain adanya efek mencegah konversi T4 jadi T3 di perifer melalui penghambatan
20 - 40 mg/ hari dan tidak diberikan kepada pasien dengan penyakit paru obstruktif dan asma
bronkhiale. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan gagal jantung kongestif.
27
Pada keadaan gagal jantung yang berhubungan dengan takhikardi (rate related heart failure),
pemberian propranolol mungkin bermanfaat. Penyekat beta dan glikosida jantung bekerja
secara sinergis memperlambat respons ventrikel pada fibrilasi atrial. Pada keadaan krisis
Pada kasus ini penderita telah mengalami keluhan berdebar sejak 6 tahun dengan diagnosis
hipertiroid ditegakkan sejak 5 tahun dengan terapi hipertiroid telah dimulai sejak 5 tahun
namun dengan compliance yang kurang baik, dan penderita mengakui keluhan kearah
hipertiroid masih ada, namun sudah berkurang, terutama keluhan berdebar. Hasil
pemeriksaan dengan sidik tiroid menunjukkan penderita masih dalam kondisi hipertiroid
Dugaan kearah kelainan lain yang terkait dengan keluhan berdebar dari penderita baru
ditemukan pada saat penderita dirawat paska persalinan dengan seksio sesaria di HCU
Alamanda RSHS, dengan ditemukannya MVP pada pemeriksaan fisik dan hasil
ekokardiografi, dengan disertai adanya suatu hipokinetik pada dinding anteroseptal basal mid
dari miokardium.
Dilihat dari letak sumber VES yang ditemukan dengan melokalisir menggunakan rekaman
MVP, namun belum dapat menyingkirkan efek dari hipertiroid yang berhubungan dengan
manifestasi munculnya VES pada penderita. Kelainan struktural pada jantung yang
berhubungan dengan suatu iskemia belum dapat ditegakkan terjadi pada pasien ini karena
hipertiroidisme sendiri dapat menyebabkan terjadinya efek langsung terhadap miosit jantung
yang akan berperan dalam aritmogenesis pada penderita hipertiroid. Secara morfologi,
28
kelainan struktural yang terkait dengan VES biasanya memiliki origin dari LVOT. Pada
pasien ini morfologi dari rekam jantung 12 lead menunjukkan adanya origin dari LV non OT.
Berdasarkan rekomendasi dari ACC/AHA/ ESC tahun 2006 untuk penanganan aritmia
ventrikular, maka kasus yang dipaparkan diatas dapat dimasukkan pada kategori aritmia
2. Aritmia ventrikular yang bersifat mengancam nyawa dan bersifat menetap pada
penderita dengan kelainan endokrin semestinya diterapi dengan perlakuan yang sama
untuk aritmia pada penyakit lain, termasuk penggunaan ICD dan pacemaker sesuai
kebutuhan pada mereka yang telah mendapatkan terapi medikamentosa optimal, dan
mereka dengan reasonable expectation of survival dengan status fungsional yang baik
Dengan pengecualian untuk beta blocker, tidak ada bukti penelitian pada RCT yang
menyebutkan tentang peningkatan survival rate dengan obat antiaritmia yang diberikan untuk
29
Ablasi dilakukan bilamana terapi aritmia termasuk koreksi elektrolit tidak efektif atau tidak
ditoleransi penderita. Strategi ablasi, risiko dan hasil akhir dari ablasi berhubungan dengan
mekanisme dan lokasi dari substrat VES. Penyulit yang bisa terjadi antara lain kesulitan
mapping karena kegagalan menginduksi munculnya aritmia atau origin aritmia terletak diarea
KESIMPULAN
VES terutama yang frekuen atau multifokal memiliki makna terhadap risiko kejadian
kardiovaskular
Mapping untuk mencari sumber VES diperlukan untuk kelanjutan tahapan tata
Efek langsung tiroid pada miokardium berupa aritmia dapat menetap terlepas dari
MVP merupakan salah satu dari kelainan yang dapat mendasari suatu aritmia
ventrikel
Tahapan taat laksana VES diawali dengan menyingkirkan penyebab lain yang
mungkin menjadi penyebab seperti kelainan hormonal atau elektrolit dengan tetap
DAFTAR PUSTAKA
30
2. Merino LJ. Frequent ventricular extrasystoles: significance, prognosis and treatment.
An article from the E-Journal of the ESC Council for Cardiology Practice, Vol.9,N°17
- 28 Jan 2011
3. Osman, F et al. Cardiac Dysrithmyas and Thyroid Dysfunction : The Hidden Menace?
Clinical Review. J.Clin. Endocrino. Metab. March 2002. 87 (3): 963-967 file
hyperthyroid and arrhythmia.pdf
4. Lewandowski et al. Acute myocardial infarction as the first presentation of
thyrotoxicosis in 31-year old woman – a case report. Thyroid Research. 2010. 3:1
5. Woeber KA. Thyrotoxicosis and the heart. N Engl J Med 1992; 327:94-8
6. Klein I and Ojamaa K. Thyroid Hormone and the cardiovascular System. N Engl J
Med 2001; 344: 501-8
7. Hong et al.Ventricular premature contraction associated with mitral valve prolapse.
International Journal of Cardiology 221 (2016). 1144-1149
8. ACC/AHA/ESC 2006 guidelines for management of patients with ventricular
arrhythmias and the prevention of sudden cardiac death-executive summary. Eropean
Heart Journal (2006) 27, 2009-2140
9. 2015 ESC Guidelines for the management of patients with ventricular arrhythmias
and the prevention of sudden cardiac death. European Heart Journal (2015) 36, 2793-
2867
10. 2017 ESC Guidelines for the management of patients with ventricular arrhythmias
and the prevention of sudden cardiac death. European Heart Journal (2017)
11. Osman F, Franklyn JA, Holder RL, Sheppard MC et al. Cardiovascular manifestation
of hyperthyroidism before and after antityiroid therapy. JACC. Vol. 49(1). 2007: 71-
81
12. Channick BJ, Adlin EV, Marks AD, Denenberg BS, McDonough MT, Chakko CS, et
al. Hyperthyroidism and mitral-valve prolapse. N Engl J Med. 1985; 305(9):497500.
13. Brauman A, Algom M, Gilboa Y, Ramot Y, Golik A, Stryjer D. Mitral valve prolapse
in hyperthyroidism of two different origins. Br Heart J. 1985; 53(4):374-7.
14. Merce J, Ferras S, Oltra C, Sanz E, Vendrell J, Simon I, et al. Cardiovascular
abnormalities in hyperthyroidism: a prospective doppler echocardiographic study. Am
J Med. 2005; 118(2):126-31
15. Lozano HF, Sharma CN. Reversible pulmonary hypertension, tricuspid regurgitation
and right-sided heart failure associated with hyperthyroidism: case report and review
of the literature. Cardiol Rev. 2004; 12(6):299-305.
31
16. Biondi B, Kahaly GJ. Cardiovascular involvement in patients with different causes of
hyperthyroidism. Nat Rev Endocrinol. 2010; 6(8):431-43
17. Kage K, Kira Y, Sekine I, Okabe F, Nakaoka T, Hashimoto E, et al. High incidence of
mitral and tricuspid regurgitation in patients with Graves' disease detected by two-
dimensional color Doppler echocardiography. Intern Med. 1993; 32(5):374-6.
18. Khoo DH, Parma J, Rajasoorya C, Ho SC, Vassart G. A germline mutation of the
thyrotropin receptor gene associated with thyrotoxicosis and mitral valve prolapse in a
Chinese family. J Clin Endocrinol Metab. 1998; 84(4):1459-62
19. Kane. Echocardiographic parameters in hyperthyroidism with and without
cardiothyreosis. Ann Endocrinol. 1998; 59(1):14-9.
32