Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

STEMI Inferior

Pembimbing:
dr. Herya Putra Dharma

Penyusun:
dr. Benny Sabri

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUTARAN IGD
RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR
2020/2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus:
STEMI Inferior

Yang disusun oleh :


dr. Benny Sabri

Disetujui dan siterima sebagai salah satu tugas


Program Internship Dokter Indonesia
Putaran IGD
RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar
2020/2021

Blitar, 15 Januari 2021


Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Herya Putra Dharma


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Pada tahun 2004, penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian
nomor satu di dunia, yaitu 32% pada wanita dan 27% pada pria. Pada tahun 2012,
penyakit kardiovaskuler masih merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia,
menyebabkan 17,5 juta kematian (30%); 7,4 juta meninggal karena penyakit jantung
iskemik dan 6,7 juta karena stroke.1
Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung
adalah suatu keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti
sehingga sel otot jantung mengalami kematian. Proporsi penyakit ini meningkat dari
tahun ke tahun sebagai penyebab kematian. Sensus nasional tahun 2001 menunjukkan
bahwa kematian karena penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit jantung koroner
adalah sebesar 26,4%1. Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi
Unstable Angina (UA), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non
STsegment Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI).2
Infark miokard ST-elevasi akut (STEMI) adalah peristiwa di mana iskemia
miokard transmural yang menyebabkan cedera miokard atau nekrosis. Definisi klinis
2018 saat ini dari infark miokard (MI) memerlukan konfirmasi cedera iskemik
miokard dengan biomarker jantung abnormal.3
Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi adalah angina
tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI.
Sebagian besar pasien STEMI akan mengalami peningkatan marka jantung, sehingga
berlanjut menjadi infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation
Myocardial Infarction, STEMI). Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik
untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan
marka jantung tersedia. Terapi optimal pasien STEMI adalah terapi reperfusi baik
dengan primary pecutaneous coronary reperfusion (PCI) atau dengan fibrinolitik.1,4
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. Miskram
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 60 tahun
Alamat : Kanigoro Kab. Blitar Jawa Timur
Pekerjaan : Wiraswasta
No. RM : 722239
Masuk RS : 13 Januari 2021

II. Anamnesis
Keluhan utama: Nyeri dada

RPS: Pasien mengeluh nyeri dada yang dirasakan > 20 menit sebelum masuk RS.
Nyeri dirasakan pada dada kiri. Nyeri seperti tertekan benda berat dan menjalar mulai
dari depan dada ke lengan kiri. Nyeri tidak membaik dengan beristirahat. Sesak (+) 3
hari yang lalu, pusing (+), batuk (+) , keringat dingin (+), mual muntah (-),demam (-),
nyeri ulu hati (+), berdebar (-). BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien belum
pernah minum obat untuk meredakan nyerinya.

RPD: Tidak jelas

RPO: Tidak jelas

III. Pemeriksaan fisik


1. Tanda vital:
a. Tekanan darah: 140/90 mmHg
b. Nadi : 89 x/menit
c. Pernapasan : 24 x/menit
d. Suhu : 35,9°C
e. SpO2 : 90, NRBM  94
2. Status lokalisata
a. Pemeriksaan kepala
Mata : pupil isokor, anemis -, ikterus -/-
Bibir : sianosis -/-
b. Pemeriksaan leher
Limfadenopati :-
JVP : R+2 cmH2O
c. Pemeriksaan dada
Inspeksi : Normochest, pergerakan gerak napas simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara Pernapasan: Vesikuler

: Suara Tambahan: Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)

d. Pemeriksaan jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Ukuran jantung membesar
Auskultasi : BJ I/II, murni regular, murmur (-), Bising (-)
e. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)
Palpasi : Hepar : tidak teraba

Limpa : tidak teraba

Nyeri tekan Epigastrium (+)

f. Pemeriksaan ekstremitas:akral dingin,edema pretibial (-),CRT <2’.


IV. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Hasil Nilai Normal

Darah Lengkap

HB 15,8 L: 13- 17 g/dL


P: 11,5-16 g/dL

Leukosit 16.700 4000-11000/Cmm

Trombosit 180.000 150000-450000/Cmm

BBS # L: 0-15/jam

P: 0-20/jam

PCV 50,5 L: 40-54 %

P: 35-47%

Differential Counting -/-/5/82/4/9 1-2/0-1/3-5/54-62/25-33/3-7

MCV 86,0 80-97 fl

MCH 26,8 27-31 pg

MCHC 26,8 32-36 %

Eritrosit 5.870.000 L: 4500000-6500000/Cmm

P: 3000000-6000000/Cmm

SGOT 228 L: < 37 u/L

P: < 31 u/L

SGPT 62 L: < 40 u/L

P: < 31 u/L

Albumin 3,6 3,8-5,1 g/dL

Creatinin 1,25 L: < 1,4 mg/dL

P: < 1,2 mg/dL

Ureum/ BUN

BUN 28 < 23,4 mg/dL

Ureum 60 < 45 mg/dl

Asam Urat 4,6 L: < 7,0 mg/dL

P: < 6,0 mg/dL


Natrium, Kalium,
Klorida Darah (ion)

Natrium 142,0 136-145 mmol/L

Kalium 3,53 3,5-5,1 mmol/L

Klorida Darah 112,1 98-106 mmol/L

Calsium Darah (Total) 9,04 8,8-10,5 mg/dL

PPT

PPT 21,5 9,7-13,1 detik

INR 2,00

APTT 30,8 23,9-38,9 detik

HIV (PACK TEST) Non Reaktif Non Reaktif

2. Elektrokardiografi (EKG)
Interpretasi EKG :
- Irama dasar : Rythm
- P wave : Sinus
- Heart Rate : 90 x/ menit
- Axis : Normoaxis
- ST Segmen :
Elevasi segmen ST pada sadapan II, III, AVF
- Kesimpulan : Sinus rhytm, normo axis, ST elevasi miokard
infark inferior

V. Diagnosa
Acute Coronary Syndrome Susp. STEMI

VI. Penatalaksanaan
 O2 NC 4 lpm
 IVFD sesuai TS jantung
 Ceftriaxon 2x2gr IV
 Inj. Lovenox 2x0,6cc SC
 Drip Resfar 6cc dalam NS 100cc, habis dalam 3 jam IV (2x1)
 Ranitidin 2x1 IV
 Inj. Furosemide 3x1 amp
 PO asa 1x1
 CPG 1x1 tab
 Atorvastatin tab 1x40mg
 ISDN 5mg (jika nyeri dada)
 PCT tab 3x500mg (jika demam)
 Metocloperamide 3x1 IV (jika mual muntah)
 Sucralfat syr 3xCII po
 Laxadine syr 3xCI
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Defenisi
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan sel otot jantung mati.Aliran darah di pembuluh darah terhenti
setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari
pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.5

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial


Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri
atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.6

ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) adalah suatu sindrom klinis


yang didefinisikan sebagai kumpulan gejala iskemi miokard yang berhubungan
dengan elevasi ST persisten dan pelepasan biomarker nekrosis miokard. Elevasi ST
tanpa left ventricular hypertrophy (LVH) atau left bundle branch block (LBBB) yang
diagnostic berdasarkan Universal De_nition of Myocardial Infarction adalah elevasi
ST baru pada J point ≥2 mm (0,2 mV) pada laki-laki atau ≥1,5 mm (0,15 mV) pada
perempuan di lead V2-V3 dan/ atau ≥1 mm (0,1 mV) di precordial lead lain atau pada
limb lead, setidaknya pada 2 leads yang bersebelahan.1

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi
injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid.6

3.2. Etiologi dan Predisposisi


STEMI terjadi sebagian besar disebabkan karena oklusi total trombus
kaya fibrin di pembuluh koroner epikardial. Oklusi ini akan mengakibatkan
berhentinya aliran darah (perfusi) ke jaringan miokard. (Firdaus, 2011).

Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat
diubah,sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar
serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi
lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.8

Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan


IMA.Penelitian angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan oleh
trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang sudah ada
(pembentukan fisura) merupakan suatu nidus untuk pembentukan thrombus.9
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau
ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan
oklusi arteri coroner.6
Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami
ruptur jika fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis
klasik pada STEMI terdiri atas fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.6
Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivasi
trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang
terlarut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana
keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda
secara simultan, menghasilkan ikatan platelet dan agregasi setelah mengalami
konversi fungsinya.5,6
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat
trombosit dan fibrin.5,6

3.3. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi
plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan
diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah
trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang
pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli
yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran
darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).4
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria
epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi
Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia,
tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada
pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.4
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi
dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi
karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak
dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun.
Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel
menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit.Keparahan dan
durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan
apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20
menit).Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard.5,6
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner,
maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).Perkembangan
perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang
waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI
hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat.6
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.Erosi dan ruptur plak
ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.Pada Non
STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh
lumen arteri coroner.8
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial (nontransmural).
Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat
yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat
mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan.Infark miokard subendokardial
terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi
pada waktu berbeda-beda.6

3.4. Manifestasi Klinis


Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering
disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak
napas, dan sinkop.4

Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang
tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan
atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut
(>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia.
Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada
pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina
setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA. 4

Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :4

1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,
bedah pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko
tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol
Education Program)

3.5. Diagnosis
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T yang meningkat akan memperkuat
diagnosis.4,6

1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa
beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi
nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat
adanya STEMI.6

2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase
(CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara
serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB.6
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai
enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.6
- CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
- cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih
dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK),
Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah
leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul.6
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit sejak
kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi.
Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil
pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel
kanan.6

Tabel 1. Lokasi, Gelombang, dan Arteri terjadinya Infark


Lokasi Infark Gelombang Q/ Elevasi ST Arteri coroner

Anteroseptal V1 dan V2 LAD

Anterior V3 dan V4 LAD

Lateral V5 dan V6 LCX

Ekstensif Anterior I, AVL, V1-V6 LAD, LCX

High Lateral I, AVL, V5 dan V6 LCX

Posterior V7-V9 LCX PL

Inferior II, III, AVF PDA

Right ventrikel V2R-V4R RCA

3.6. Tatalaksana
Menurut Panduan Praktik Klinis (PPK) Dan Clinical Pathway (CP) Penyakit
Jantung Dan Pembuluh Darah yang dikeluarkan oleh Perki tahun 2016, tatalaksana
STEMI adalah sebagai berikut:10

1. Fase Akut di UGD


a. Bed rest total
b. Oksigen 2-4 liter/menit
c. Pemasangan IVFD
d. Obat-obatan :
- Aspilet 160mg kunyah
- Clopidogrel (untuk usia<75 tahun dan tidak rutin mengkonsumsi clopidogrel)
berikan 300 mg jika pasien mendapatkan terapi fibrinolitik atau
- Clopidogrel 600mg atau Ticagrelor1 80mg jika pasien mendapatkan primary
PCI
- Atorvastatin 40mg
- Nitrat sublingual 5mg, dapat diulang sampai 3 (tiga) kali jika masih ada
keluhan, dan dilanjutkan dengan nitrat iv bila keluhan persisten
- Morfin 2-4 mg iv jika masih nyeri dada
e. Monitoring jantung
f. Jika onset < 12jam:
- Fibrinolitik (di IGD) atau
- Primary PCI (di Cathlab) bila fasilitas dan SDM di cathlab siap melakukan
dalam 2 jam
2. Fase Perawatan Intensif di CVC (2x24 jam)
a. Obat-obatan
- Simvastatin 1x20 atau Atorvastatin 1x20 mg atau 1x40 mg jika kadar LDL di
atas target
- Aspilet 1 x 80mg
- Clopidogrel 1 x 75 mg atau Ticagrelor 2 x 90mg
- Bisoprolol 1x1.25 mg jika fungsi ginjal bagus, Carvedilol 2x3,125 mg jika
fungsi ginjal menurun, dosis dapat di uptitrasi; diberikan jika tidak ada kontra
indikasi
- Ramipril 1 x 2,5 mg jika terdapat infark anterior atau LV fungsi menurun EF
<50%; diberikan jika tidak ada kontra indikasi
- Jika intoleran dengan golongan ACE-I dapat diberikan obat golongan ARB:
Candesartan 1 x 16 mg, Valsartan 2x80mg
- Obat pencahar 2 x 1 sendok makan
- Diazepam2 x 5 mg
- Jika tidak dilakukan primary PCI diberikan heparinisasi dengan:
 UF heparin bolus 60 Unit/kgBB, maksimal 4000 Unit, dilanjutkan
dengan dosis rumatan 12 Unit/kgBB maksimal 1000 Unit/jam atau
 Enoxaparin 2 x 60mg (sebelumnya dibolus 30mg iv) atau
 Fondaparinux 1 x 2,5 mg
b. Monitoring kardiak
c. Puasa 6 jam
d. Diet Jantung I1800 kkal/24 jam
e. Total cairan 1800 cc/24 jam
f. Laboratorium: profil lipid (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserid) dan asam
urat
3. Fase perawatan biasa
a. Sama dengan langkah 2 a-f(diatas)
b. Stratifikasi Risiko untuk prognostik sesuai skala prioritas pasien (pilih salah
satu) : 6 minutes walk test, Treadmill test, Echocardiografi Stress test, Stress
test perfusion scanning atau MRI
c. Rehabilitasi dan Prevensi sekunder

Beberapa faktor harus dipertimbangkan untuk memilih tipe terapi reperfusi.


Untuk pasien STEMI yang datang ke rumah sakit dengan fasilitas PCI, primary PCI
harus dilakukan dalam 90 menit. Untuk pasien yang datang ke rumah sakit tanpa
fasilitas PCI, harus cepat dinilai: 1) Onset gejala, 2) Risiko komplikasi yang
berhubungan dengan STEMI, 3) Risiko perdarahan yang berhubungan dengan
fibrinolisis, 4) Adanya syok atau gagal jantung yang parah, dan 5) Waktu yang
dibutuhkan untuk mentransfer pasien ke rumah sakit dengan fasilitas PCI untuk
keputusan terapi fibrinolitik. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus
diberikan pada pasien STEMI onset kurang dari 12 jam jika primary PCI tidak bisa
dilakukan dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Class 1 Level of Evidence:
A).1,4
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosa Acute Coronary Syndrome Susp. STEMI didapatkan dari


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan ananmesis
didapatkan pasien mengeluh nyeri dada yang dirasakan > 20 menit sebelum masuk
RS. Nyeri dirasakan pada dada kiri. Nyeri seperti tertekan benda berat dan menjalar
mulai dari depan dada ke lengan kiri. Nyeri tidak membaik dengan beristirahat. Sesak
(+) 3 hari yang lalu, pusing (+), batuk (+) , keringat dingin (+), nyeri ulu hati (+).
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan pembesaran jantung, nyeri tekan epigastrium.
Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan Sinus rhytm, normo axis, ST elevasi
miokard infark inferior.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gayatri, N. I., dkk. 2016. Prediktor Mortalitas Dalam-Rumah-Sakit Pasien


Infark Miokard ST Elevation (STEMI) Akut di RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran-238. 43 (3). pp.
171-4
2. Pratiwi, I. 2012. Komplikasi pada Pasien Infark Miokard Akut ST-Elevasi
(STEMI) yang Mendapat maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi. Jurnal
Kedokteran Diponegoro. 1 (1). pp. 1-12
3. Foth, C., Steven M. 2018. Acute Myocardial Infarction ST Elevation
(STEMI). NCBI. [online] Available On:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532281/ (Accessed at 5 March
2019)
4. Juzar, A. D., dkk. 2018. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Kardiologi Indonesia
5. Guyton, A. C., Hall J. E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Sudoyo, A. W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5, Jilid II.
Jakarta: Interna Publishing.
7. Firdaus, I. 2011. Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI. Jurnal
Kadiologi Indonesia. 32 (4). pp. 266-70
8. Santoso M., Setiawan T. 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia
Kedokteran. 147. pp. 6-9
9. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:
EGC. 2007.
10. Firdaus, I. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dan Clinical Pathway (CP)
Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah. Jakarta: Perhimpunana Dokter
Kardiovaskuler Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai