Anda di halaman 1dari 13

REFLEKSI KASUS

GAGAL JANTUNG PADA PASIEN DENGAN RIWAYAT POST PCI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Rotasi Klinik


SMF Ilmu Penyakit Dalam Pendidikan Profesi Dokter
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:
Erin Silvia Nadia Sari
20214010070

Pembimbing:
dr. Gagah Buana Putra, Sp. JP

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RS PKU MUHAMMADIYAH
GAMPING
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU
KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2022
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn T
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 64 tahun
Alamat : Meijing wetan, ambar ketawang
Pekerjaan : Wiiraswasta
No. RM : 09-75-20
Tanggal Masuk RS : 09 Juli 2022

B. Status Pasien
1. Anamnesis
 Keluhan utama :
Nyeri ulu hati
 Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan Nyeri dada ulu hati seperti ditonjok sejak 30
menit SMRS. Nyeri mulai dirasakan sejak 2 hari Sebelumnya terasa
seperti menembus ke belakang tubuh, dengan durasi 10-30 menit dan tidak
membaik dengan istirahat. Pasien juga mengeluhkan keringat dingin.
 Riwayat penyakit dahulu :
Keluhan serupa (+) , dengan riwayat PCI 2016
Hipertensi (+) tak terkontrol Alergi (+) amlodipin
 Riwayat penyakit keluarga :
Hipertensi (+) orang tua
 Riwayat personal pasien
Pasien dulu merupakan seorang perokok berat dan sudah berhenti sejak
tahun 2016

2. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum : Cukup


b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Vital sign
TD : 112/75 mmHg
HR : 89 x/menit
RR : 15 x/menit
Suhu : 36,6 oC
SpO2 : 100%
d. Antropometri
TB : 170
BB : 70
e. Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), bibir sianosis (-/-), reflek cahaya (+/+),
kulit atau mukosa pucat (-), oedem wajah (-)
f. Leher : Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-)
g. Thorax
Paru : Gerakan dada simetris, nyeri tekan (-), stem fremitus (+/+
normal), sonor (+/sonor-redup pada paru kiri) , vesikuler
minimal (+/+ normal), rales (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : Ictus cordis tidak tampak dan tidak teraba, S1 dominan di
apex, S2 dominan di pulmonal, gallop (-), murmur (-), thrill (-
), cardiomegali (+)
h. Abdomen : supel, bising usus (+) normal, timpani,
nyeri tekan (-), hepatomegaly (-), splenomegaly (-)
i. Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, oedem (-)
 Assessment
STEMI anterior onset 30 menit Killip 1, CAD riw PCI th 2016 a/i ACS,
Hipertensi, AKI dd ARF on CKD.
Chronic Kidney Failure (CKD) stage 5
 Planning
Thrombolisis -> UFH 6 jam kemudian -> Cath stdby PCI
 Re assessment
Setelah diberikan planning, pasien mengalami perbaikan dan keluhan nyeri
dada berkurang
 Re anamnesis
Pasien memilikit riwayat PCI 2 tahun yang lalu dan memiliki penyakit jantung
terkontrol. Nyeri dada yang dirasakan mendadak dan hilang-timbul.

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium

a. Senin, 9 Juli 2022


Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil
Hemoglobin 13.2 – 17.3 15.3
Lekosit 4.5 - 11.5 10.92
Eosinofil 2-4 2
Basofil 0–1 0
Netrofil Segmen 50 - 70 60
Limfosit 18 - 42 30
Monosit 2-8 8
Netrofil Absolut 1.5 - 7.0 6.5
Limfosit Absolut 1.5 - 3.7 3.3
Eritrosit 4.50 – 6.20 4.98
Hematokrit 40.0 – 54.0 46.2
Mcv 80.0 - 94.0 92.8
Mch 26.0 - 32.0 30.7
Mchc 32.0 - 36.0 33.1
Trombosit 150 - 450 304
Rdw Cv 11.5 - 14.5 13.8
Rdw Sd 35.0 - 56.0 47.5
Glukosa Darah Sewaktu 70 - 140 146
Ureum 17.0-54.0 27.8
Kreatinin (Darah) 0.73 – 1.18 1.47
Natrium 136 - 146 143.0
Kalium 3.5 - 5.1 3.80
Klorida 98.0 - 107.0 104.0
Antigen Sars Cov-2 Negatif Negatif

2. Pemeriksaan Rontgen Thorax

Rontgen regio thorax proyeksi AP


Corakan bronkovaskular di kedua pulmo dalam batas normal
Sudut costofrenikus lancip
Diafragma licin
CTR > 0,56
KESAN : kedua pulmo dalam batas normal dengan cardiomegali

3. EKG
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Usia : 64 tahun
 Irama : sinus rythm
 Frekuensi dan ritme : 93x/ menit, reguler
 Axis : Left axis deviation (-900 sampai -300)
 Gelombang P : normal durasi 0,08 detik (<0,12 detik)
 Interval PR : 0,16 detik (0,12- 0,20 detik)
 Komplek QRS : Normal 0,06 detik (0,06 – 0,10)
 Segmen ST : ST elevasi di lead aVL, V2, V3, V4, V5, V6
 Gelombang T dan U : T tall pada V3 dan V4. Tidak ada gel U
 Kesimpulan : Stemi Anterolateral

4. Angiography

KESIMPULAN : CAD non signifikan, stent patent di LAD

D. Diagnosis Kerja

STEMI anterior onset 30 menit Killip 1, CAD riw PCI th 2016 a/i ACS, Hipertensi,
AKI dd ARF on CKD.

E. Tatalaksana dan Planning


1. Tatalaksana Awal
 Oksigen 3 lpm
 Ringer laktat
 Inj. Pantoprazole 40 mg
 CPG 4 Tab
 Aspilet 4 Tab
 Atorvastatin 40 Mg
 ISDN 5 mg

3. Tatalaksana lanjtan
 Clopidogre 75 mg 1x1
 Aspilet 80 mg 1x1
 Atorvastatin 40 mg 1 x 1
 Lactulax sirup 2 cth 1 x 1
 Inviclot inj
 Isosorbide 5 mg
 Ramipril 2,5 mg 1x1
BAB II
ANALISIS MASALAH

1. Mengapa pada pasien dengan riwayat post PCI dapat mengalami penyumbatan arteri
coronaria berulang?

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) adalah penatalaksanaan sumbatan


arteri koronaria melalui berbagai teknik yang menggunakan kateter seperti angioplasti
koroner transluminal perkutan, aterektomi, angioplasti laser eksimer, serta implantasi
stent koroner atau alat lainnya.
Tiga kriteria keberhasilan PCI antara lain adalah keberhasilan angiografi,
keberhasilan prosedur, dan keberhasilan klinis. Keberhasilan angiografi didefinisikan
sebagai pengurangan penyempitan sampai 50% untuk pemasangan balon atau
pengurangan penyempitan menjadi 10% pada pemasangan stent. Keberhasilan
prosedur adalah bila keberhasilan angiografi ditambah dengan terhindarnya pasien dari
komplikasi-komplikasi major. Keberhasilan klinis adalah bila keberhasilan angiografi
dan keberhasilan prosedur diikuti oleh berkurangnya gejala/tanda iskemia.
Keberhasilan klinis yang berlanjut sampai paling tidak 9 bulan disebut keberhasilan
klinis jangka panjang.
Indikasi PCI adalah pasien dengan:

 Angina pektoris stabil yang terbukti ada iskemia miokard dari data objektif (uji
treadmill, perfusion scan dengan isotop thalium, dobutamine stress
echocardiography dan magnetic resonance imaging/MRI)
 Angina pektoris tidak stabil
 Infark miokard akut non-ST elevasi dengan risiko tinggi
 Infark miokard akut ST elevasi

In-Stent Restenosis (ISR) merupakan istilah yang dipakai untuk menjelaskan stenosis
katup jantung berulang, namun kemudian definisinya digeser menjadi penyempitan
lumen berulang setelah tindakan rekonstruksi arterial terbuka seperti endarterektomi
karotis. Restenosis setelah pelaksanaan PCI adalah stenosis yang diakibatkan
proliferasi jaringan neointimal sebagai respon atas kerusakan arteri dari pemasangan
stent. Diagnosis secara angiografik lesi ISR adalah stenosis berulang dengan diameter
>50% di segmen stent atau sudut- sudutnya (5mm bagian pinggiran stent), dapat terjadi
local (panjang lesi ≤ 10mm) atau difus (panjang lesi ≥ 10mm). Lesi ISR
diklasifikasikan untuk tujuan menentukan informasi prognostik menjadi 4 kelas:

 Kelas 1: Lesi fokal dengan panjang ≤ 10 mm, dengan rincian letak sebagai
berikut:

- Articulatio or gap: Letak lesi di area tak tertutup di celah antara stent
- Margin: Letak lesi di salah satu ujung stent proksimal atau distal
- Focal body: Letak lesi di dalam stent
- Multifocal: Kombinasi dari letak-letak di atas
 Kelas 2: ISR “Diffuse Intrastent” yaitu lesi dengan panjang ≥ 10 mm yang
masih berada di dalam area stent, tanpa meluas keluar stent.
 Kelas 3: ISR “Diffuse Proliferative” yaitu lesi dengan panjang ≥ 10 mm yang
terbentang sampai keluar dari pinggir stent.
 Kelas 4: ISR dengan oklusi total sehingga sama sekali tidak ada darah yang
mengalir.

Mekanisme yang mempengaruhi terjadinya ISR ada tiga, yaitu: elastic recoil,
negative arterial remodeling dan neointimal hyperplasia (NIH). Elastic recoil adalah
mekanisme penyempitan segera pembuluh darah setelah pelaksanaan PCI akibat sifat
elastisitas dinding pembuluh darah terhadap regangan. Mekanisme ini timbul dalam
waktu 24 jam setelah PCI. Negative remodeling merupakan proses kontraksi dinding
arteri dan penyempitan lumen di segmen yang rusak. Proses ini ada hubungannya
dengan proses penyembuhan dan interaksi dengan aliran darah nonlaminar.
Mekanisme yang utama dari ISR adalah terbentuknya neointimal hyperplasia
(NIH) yang dipicu oleh proses inflamasi. NIH terbentuk dari migrasi sel otot polos dari
tunika media menembus tunika intima dan selanjutnya menumpuk di lumen diikuti juga
matriks ekstra seluler (kolagen dan elastin). Stent memiliki scaffolding (kisi-kisi) yang
kaku dan didesain sedemikian rupa untuk mencegah elastic recoil dan negative
remodeling. Desain seperti ini menyebabkan kedua mekanisme itu telah jarang
dijumpai setelah tatalaksana PJK beralih dari angioplasti biasa ke pemasangan stent.
Desain ini meskipun mencegah kedua mekanisme lainnya justru mendukung
mekanisme pembentukan NIH sehingga mekanisme pembentukan ISR masih sulit
dicegah.

Beberapa faktor risiko yang menyebabkan terbentuknya ISR:

 Faktor Genetik
Ditemukan beberapa gen yang berpengaruh terhadap ISR yaitu gen-gen yang
mengkode angiotensin converting enzyme (ACE), mokelul reseptor glikoprotein
platelet IIIa/IIb dan Ia, matrix metalloproteinase stromelysin-1, reseptor antagonis
interleukin-I, dan apolipoprotein E.
 Hipersensitivitas
Hipersensitivitas dapat dipicu zat kontras yang dipakai saat angiografi PCI, terapi
antiplatelet ataupun dari DES sendiri. Pada DES sendiri, hipersensitivitas dapat dipicu
oleh rangka logam stent yang mengandung nikel dan molybdenum, lapisan polimer
yang menghantarkan obat atau dari obat yang dihantarkan oleh stent itu sendiri.
 Usia
Orang usia lanjut mengalami beberapa perubahan pada komponen matriks ekstraseluler
antara lain peningkatan kolagen, diameter serat lintang fibril dengan kolagen, rasio
kolagen tipe I dibanding tipe III, serta penurunan serabut elastin.
 Diabetes Melitus
Diabetes melitus dapat berpengaruh terhadap ISR dalam berbagai mekanisme.
Pembuluh koroner pasien DM mengalami disfungsi endotel dan peningkatan respon
inflamasi. Mekanisme lain adalah terjadinya peningkatan produksi growth factor lokal
yang menyebabkan peningkatan pembentukan sel otot vaskuler dan matriks
ekstraseluler.
 Hipertensi
Tegangan mekanik yang disebabkan hipertensi pada pembuluh darah dapat memodulasi
beberapa gen di sel endotel sehingga meningkatkan produksi vasodilator (Nitric
Oxide/NO), vasokonstriktor (Endothelin-1/ET-1), GF (PDGF), growth inhibitor/GI
(heparin), molekul adhesi (Intercellular Adhesion Molecule-1/ICAM-1) dan
kemoatraktan (Monocyte Chemoattractant Protein- 1/MCP-1).
 Dislipidemia
Penelitian oleh Iwata dkk menyebutkan bahwa menurunkan kadar LDL merupakan
faktor paling penting dalam mencegah ISR. Dislipidemia meningkatkan risiko ISR
melalui mekanisme peningkatan inflamasi dan pembentukan neoatherosclerosis.
 Merokok

Para perokok baik aktif maupun pasif memiliki risiko mengalami disfungsi endotel
yang sifatnya terpengaruh dosis dan reversible. Rokok meningkatkan radikal oksidatif
yang mempercepat degradasi vasodilator nitric oxide (NO) dan meningkatkan kadar
vasokonstriktor ET-1.
 Diameter Pembuluh Darah

Ukuran diameter pembuluh darah mengikuti pernyataan “bigger vessels have a better
outcome”. Penelitian oleh Stone dkk menunjukkan bahwa arteri yang diameternya <3
mm merupakan salah satu faktor risiko ISR.
 Lokasi Lesi

Lesi stenosis ostial merupakan penyempitan pada pembuluh darah utama atau cabang
yang berjarak 2-3 milimeter dari pembuluh darah utama. Lesi di ostial cenderung
mengandung lebih banya elastin sehingga sulit dilakukan pemasangan stent dan mudah
terjadi early vascular recoil sehingga mempermudah terjadinya ISR. Lesi bifurkasi
merupakan lesi yang melibatkan pembuluh darah induk dengan cabangnya bersamaan
tanpa ada batas normal di antaranya. Lesi ini diklasifikasikan oleh Medina menurut
cabang-cabang yang terkena lesi. Lesi bifurkasi perlu diterapi dengan dua stent yang
dipasang dengan metode kissing balloon inflation. Pemasangan stent bila dilakukan
hanya satu atau dilakukan keduanya tapi salah satu stent mengembang lebih lemah dari
yang lainnya maka akan menekan arteri cabang yang satunya dan mempercepat
terbentuknya ISR.
 Faktor Stent
Faktor stent yang berpengaruh antara lain jenis stent, panjang stent dan fraktur stent.
Jenis stent yaitu BMS atau DES mempengaruhi kejadian ISR karena obat yang
terkandung dalam DES memang dirancang untuk mencegah ISR. Penelitian oleh
Mohan dan Dhall sudah membuktikan bahwa pasien yang menggunakan DES lebih
sedikit terserang ISR daripada pasien yang dipasang BMS.

Gambar 2: Klasifikasi lesi bifurkasi (Medina)

Panjang stent yang dipakai juga berpengaruh terhadap kejadian ISR. Semakin panjang
stent maka semakin tinggi angka kejadian ISR karena kerusakan yang diterima oleh dinding
arteri selama prosedur semakin luas dan memicu respon inflamasi dan penyembuhan yang
semakin kuat.

Fraktur stent dapat terjadi akibat tekanan mekanik dinding arteri dari kontraksi kuat
yang berulang dan mekanisme protektif untuk menurunkan tekanan dalam arteri. Pasien
dengan fraktur stent terbukti lebih banyak terserang ISR dibanding pasien tanpa fraktur stent
meskipun panjang lesi restenosis cenderung lebih pendek. Pasien dengan fraktur stent dapat
asimtomatik, memiliki keluhan sindrom koroner akut yang menandakan thrombosis stent, atau
memiliki keluhan angina berulang yang menandakan ISR.
KESIMPULAN

In stent restonisis pada pasien dapat disebabkan oleh elastic recoil, negative arterial
remodeling, dan neointimal hyperplasia serta didukung oleh factor resiko seperti mekanisme
paling sering terjadi adalah neointimal hyperplasia, terbentuk dari migrasi sel otot otot polos

dari tunika media menembus tunika intima dan selanjutnya menumpuk di lumen diikuti juga

matriks ekstra seluler (kolagen dan elastin).genetic, hipersensitifitas, usia, diabetes melitus,
hipertensi, dislipidemia serta hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

Bibbins-Domingo K, Chertow GM, Coxson PG, et al. (2010). Projected effect of dietary salt
reductions on future cardiovascular disease. N Engl J Med 2010;362:590 –9

Buccheri D, Piraino D, Andolina G, Cortese B. Understanding and managing in-stent


restenosis: A review of clinical data, from pathogenesis to treatment. J Thorac Dis.
2016;8(10):E1150–62.

Cheng G, Chang FJ, Wang Y, You PH, Chen HC, Han WQ, et al. Factors influencing
stent restenosis after percutaneous coronary intervention in patients with coronary heart
disease: A clinical trial based on 1-year follow-up. Med Sci Monit. 2019;25:240–7.

Cohen, D. J., Doucet, M., Cutlip, D. E., Ho, K. K. L., Popma, J. J., & Kuntz, R. E.
(2001). Impact of Smoking on Clinical and Angiographic Restenosis
After Percutaneous Coronary Intervention Another Smoker ’ s
Paradox ?

Hartree, D. N. (2013). Percutaneous Coronary Intervention. Retrieved


April 12, 2015, from http://patient.co.uk/doctor.percutaneous- coronary- inte r ve nt io n

Her A, Shin E. Current Management of In-Stent Restenosis. Korean Circ J.


2018;48(5):337–49.

World Health Organization (WHO). Cardiovascular diseases ( CVDs ) [Internet].


World Health Organization. 2017. Available from: https://www.who.int/en/news-room/fact-
sheets/detail/cardiovascular-diseases-(cvds)

Jukema JW, Verschuren JJW, Ahmed TAN, Quax PHA. Restenosis after PCI. Part 1:
Pathophysiology and risk factors. Nat Rev Cardiol [Internet]. 2012;9(1):53–62. Available
from: http://dx.doi.org/10.1038/nrcardio.2011.132

Anda mungkin juga menyukai