Anda di halaman 1dari 2

Blok 22– Pelayanan Kesehatan Primer yang Berorientasi pada Keluarga & Komunitas– 2021– A2018

PJ Blok 22: dr. Oryzati Hilman, MSc.CMFM, PhD, Sp.DLP, Sp.KKLP


Wa-PJ Blok 22: dr. Iman Permana, M.Kes, PhD, Sp.KKLP

Skenario 1
Pengelolaan Kasus secara Holistik dan Komprehensif

Nona ES, 35 tahun, karyawati swasta, datang ke klinik pratama dengan keluhan sering
mengalami pusing dan mudah lelah. Dokter klinik menggali riwayat pasien. Nn.ES didiagnosis
menderita diabetes mellitus (DM) sejak 8 bulan yang lalu di suatu rumah sakit (RS). Saat itu pasien
datang ke poli umum dengan keluhan tangan terasa kebas dan sakit. Hasil pemeriksaan menunjukkan
kadar gula darah sewaktu (GDS) 299 mg/dL, sehingga pasien dirujuk oleh dokter umum yang
memeriksanya ke dokter spesialis penyakit dalam (Sp.PD) di RS yang sama. Pasien mendapat terapi
insulin malam hari 1 x 8 IU dan obat oral Metformin 2 x 500 mg.
Nn.ES menjalani pengobatan sesuai rekomendasi dokter sekitar 3 bulan. Selanjutnya, pasien
tidak mau minum obat lagi setelah mendengar cerita dari teman-temannya bahwa penderita diabetes
bisa sembuh dengan obat-obat herbal dan madu. Selain itu, Nn. ES juga takut untuk minum obat terus
menerus karena khawatir merusak ginjalnya, berdasarkan informasi dari saudara dan tetangga-
tetangga, sehingga Nn.ES menghentikan terapi medis dari Sp.PD, namun juga tidak menjalankan terapi
alternatif apapun selama 5 bulan terakhir ini.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan tekanan darah 120/70 mmHg, dan lain-lain dalam batas
normal. Selama konsultasi dengan dokter klinik, pasien tampak tertekan, raut muka terlihat sedih dan
bicaranya terbata-bata, serta menanyakan apakah benar dia menderita diabetes. Pasien diminta untuk
periksa gula darah puasa (GDP) dan dijadwalkan untuk mendapat konseling penyakit kronis oleh
dokter konselor.
Beberapa hari kemudian pasien datang ke sesi konseling dengan membawa hasil GDP 211
mg/dL. Setelah digali lebih lanjut dalam konseling, terungkap bahwa beberapa bulan sebelum pasien
didiagnosis pertama kali menderita DM, pasien berkonflik dengan saudara dari bos perusahaan travel
agent (tempat kerja sebelumnya), yang baru bergabung di perusahaan tersebut. Pasien sudah bekerja
selama 8 tahun di perusahaan tersebut dan menjadi karyawan senior dan dipercaya oleh bos dengan
tugas yang berat dan sering lembur. Namun sejak saudara bos perusahaan bergabung, pasien
mendapat banyak tekanan di pekerjaan. Oleh karena sudah tidak kuat lagi dengan banyaknya tekanan
dari konflik yang ada, akhirnya pasien memutuskan untuk hengkang dari perusahaan dan mencari
pekerjaan lainnya. Namun, pasien sempat menganggur beberapa bulan dan mengalami stres, karena
selama ini sudah terbiasa bekerja keras dan tabungan makin menipis. Untungnya, kemudian pasien
diterima di suatu perusahaan rental bis.
Selain itu, juga terungkap bahwa alasan Nn.ES tidak mau minum obat lagi sebenarnya karena
masih belum bisa menerima kondisinya yang didiagnosis menderita DM. Pasien merasa tidak
percaya dan tidak terima dengan diagnosis penyakitnya tersebut, sehingga cenderung cuek terhadap
kondisi sakitnya.

1
Selama proses konseling, Nn.ES sering menunduk, matanya berkaca-kaca dan akhirnya
menangis tersedu-sedu. Ketika digali lebih dalam, pasien mengaku bahwa sebenarnya dia takut
mengalami sakit parah seperti ibunya yang juga sakit diabetes dan meninggal pada tahun 2010 di usia
44 tahun. Dulu ibunya menikah muda, pada usia 13 tahun. Nenek dari pihak ibu juga menderita
diabetes, tapi malah dulu terlihat lebih sehat daripada ibunya.
Nn. ES adalah anak nomor 2 dari 6 bersaudara. Kedua adik perempuan juga menderita
diabetes. Anak nomor 3, usia 32 tahun, menderita diabetes sejak usia 15 tahun. Anak nomor 4, usia 30
tahun, didiagnosis terkena diabetes pada usia 18 tahun dan saat ini sedang hamil. Walaupun banyak
anggota keluarganya menderita diabetes, namun pasien masih merasa berat hati untuk menjalani
pengobatan diabetes.
Pasien mengaku perasaannya bercampur aduk terhadap kondisinya sekarang. Pasien, merasa
sangat tertekan dan menyimpan rasa marah terhadap ayahnya, yang dulu sering membuat ibunya
bersedih, banyak tertekan dan menjadi sakit parah. Ayah pasien, saat ini usia 60 tahun, sudah pensiun
dan bekerja sebagai sopir serabutan, merupakan perokok aktif sejak muda, menghabiskan 1 bungkus
sehari, dan sering sekali minta uang kepada pasien untuk beli rokok. Padahal pasien tidak suka dengan
bau rokok dan merasa terganggu dengan asap rokok. Ayahnya menderita hipertensi sudah lama, tapi
jarang mau kontrol ke dokter. Selain itu, adik bungsunya, laki-laki, usia 26 tahun yang juga tinggal
serumah, juga merupakan perokok aktif sejak sekolah SMP.
Pasien sering berkonflik dengan ayah dan adik bungsunya terkait masalah rokok, yang tambah
membuat pasien merasa sangat tertekan, ingin segera keluar dari rumahnya, dan tinggal terpisah dari
mereka. Saat ini pasien tinggal serumah dengan ayah dan adik bungsunya, beserta adik perempuan di
bawahnya persis (anak nomor 3) dengan keluarganya (suami usia 35 tahun, anak laki-laki usia 10 tahun
dan anak perempuan usia 1 tahun) di sebuah rumah kecil dengan 2 kamar. Pasien menempati 1 kamar
sendiri, adiknya yang sudah berkeluarga menempati 1 kamar lainnya, sedangkan ayah dan adik
bungsunya sehari-hari tidurnya di ruang tamu.
Dokter konselor kemudian merencanakan untuk melakukan home visit (house call) dengan
primary care team dari klinik pratama dalam rangka menilai psikodinamika keluarga pasien dan juga
melakukan family counseling supaya pengelolaan kesehatan pasien beserta keluarganya bisa lebih
optimal. Kunjungan rumah dilakukan seminggu kemudian, Sesaat sebelum dilakukan home visit, pasien
menginfokan kepada dokter konselor bahwa bahwa sehari sebelumnya pasien mengalami konflik besar
lagi dengan ayah dan adik bungsunya, sehingga membuatnya sangat sebal dan tambah stres. Pasien
sempat periksa GDS di apotik dekat rumah, dengan hasil 350 mg/dL.

Diskusikan kasus di atas dengan paradigma CASE BASED LEARNING (CBL).

--- OH-2021 ---

Anda mungkin juga menyukai