Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN KASUS

MYASTHENIA GRAVIS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

Disusun oleh :
Belinda Pramarza / 01073190134
Mellvin Telasman / 01073190013
Stephanie / 01073190096

Pembimbing:
dr. Budhi Adiwijaya, Sp.BTKV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM
SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 13 JANUARI 2020 – 21 MARET 2020
TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 17 Maret 1968 (51 tahun)
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan :-
No. Rekam Medis : SHLV 48-38-XX

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Rumah Sakit Siloam Lippo Village pada
tanggal 14 Januari 2020 pukul 15.42 WIB

2.1 Keluhan utama


Pasien datang dengan keluhan sulit mengunyah dan menelan sejak ± 2 tahun SMRS

2.2 Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang dengan keluhan sulit mengunyah dan menelan sejak ± 2 tahun SMRS.
Keluhan dirasakan hilang timbul. Keluhan akan muncul jika pasien beraktivitas terutama di sore
hari dan akan membaik jika pasien beristirahat atau tidur. Pasien juga mengeluhkan lemah pada
anggota gerak dan bicara pelo. Pasien didiagnosis dengan Myasthenia Gravis sejak ± 2 tahun
yang lalu. Pasien pernah melakukan CT Scan Thorax (09/12/19), dari hasil CT scan
menunjukkan sugestif thymoma.

2.3 Riwayat penyakit dahulu


Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi, DM dan jantung.
2.4 Riwayat penyakit keluarga
Pasien menyangkal anggota keluarganya memiliki keluhan serupa

2.5 Riwayat Operasi


Pasien mengaku pernah melakukan operasi histerektomi pada tahun 2010

2.6 Riwayat sosial dan kebiasaan


Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol

2.7 Riwayat pengobatan


Pasien mengkonsumsi obat-obatan mestinon dan canderin

III. Pemeriksaan fisik


3.1 Status generalis :

Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda - tanda vital:

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 67x/menit

Pernafasan : 20x/menit

Suhu : 36,3 ºC

SpO2 : 98%
Status Generalis

Pemeriksaan Umum

Kulit Normal

Kepala dan Rambut Rambut tersebar merata, hitam, tebal


wajah

Kulit Kulit normal, lesi (-), rash (-), scar (-), massa (-), deformitas
(-), sianotik (-), ikterik (-), edema (-)

Fungsi Pergerakan normal tanpa adanya keterbatasan ​range of


motion​.

Mata Scar (-), rash (-), mata cekung (-), konjungtiva anemis (-), skelra ikterik
(-), pupil isokor 3mm, jarak antar mata simetris.

Hidung Bentuk dan ukuran normal, deviasi septum (-), perdarahan (-), sekret (-),
pus (-), deformitas (-), nafas cuping hidup (-)

Telinga Bentuk dan ukuran normal, simetris, hiperemis (-), sekret (-), pembesaran
kelenjar getah bening auricular (-), deformitas (-)

Tenggorokan Faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1), uvula berada di tengah

Gigi dan Bibir simetris, merah, gigi utuh, mukosa mulut lembab, lesi ulseratif (-),
mulut oral thrush (-), pharynx hiperemis (-), tonsil tenang, petechiae palatum (-),
eksudat tonsil (-), uvula di tengah
Leher Leher normal, pembesaran tiroid (-). Pembesaran KGB (-).

Toraks

Jantung Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi JVP (-), heave (-), thrill (-), ictus cordis (-)

Perkusi Tidak dilakukan

Auskultasi S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-)

Paru Inspeksi Gerakan bagian paru kiri tertinggal, Barrel chest (-),
pectus excavatum (-), pectus carinatum (-), massa (-),
lesi (-), rash (-), scar (-), retraksi (-), bekas operasi (-)

Palpasi Taktil fremitus normal


lapang paru kiri, pergerakan dinding dada kiri menurun.

Perkusi Sonor pada lapang paru kanan dan dull pada ½ bawah
lapang paru kiri, batas paru hepar di ICS 5 linea
midklavikularis dextra

Auskultasi Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)


Abdomen Inspeksi Normal, distensi (-), caput medusa (-) , bekas luka (-),
rash (-), striae (-), ascites (-), massa (-).

Auskultasi Bunyi Bising Usus 12x/menit, Metallic sound (-), Bruit


(-)

Perkusi Normal, seluruh abdomen timpani, shifting dullness (-),


ketok CVA (-)

Palpasi Nyeri tekan epigastrik (-), nyeri lepas (-), massa (-),
hepatomegaly (-), splenomegaly (-),​McBurney​sign (-),
ballotement (-/-)

Ekstremitas Simetris, hangat, pucat (-), sianotik (-), ikterik (-), petechiae (-),
deformitas (-), edema (-), kuku normal, kulit ekstremitas kering (-), luka
(-)
Blood Hematology (14/01/2020)

Test Result Reference Range

Full Blood Count

Haemoglobin 12.00 g/dL 11.70 – 15.50

Hematocrit 34% 35.00 – 47.00

Erythrocyte (RBC) 3.91 x 10​6​/mL 3.80 – 5.20

White Blood Cell (WBC) 6.56 x 10​3​/mL 3.60 – 11.00

Platelet Count 228.00 x 10​3​/mL 150.00 – 440.00

ESR 15mm/hours 0 - 20

MCV 87.00 fL 80.00 – 100.00

MCH 30.70 pg 26.00 – 34.00

MCHC 35.30 g/dL 32.00 – 36.00

PT-APTT

Prothrombin Time
Control 10.60 seconds 9.1 - 12.3

Patient 10.00 seconds 9.4 - 11.3

INR 0.96

A.P.T.T

Control 30.90 seconds 27.5 – 37.1

Patient 26.60 seconds 27.70 – 40.20

Biochemistry

SGOT (AST) 17 U/L 0 – 32

SGPT (ALT) 19 U/L 0 – 33

Ureum 32.0 mg/dL <50.00

Creatinine 0.56 mg/dL 0.5 – 1.1

eGFR 108.0 ml/mnt/1,73m​2

Blood Random Glucose 88 mg/dL <200.0


IV. Pemeriksaan penunjang
V. Resume
Pasien wanita berumur 51 tahun datang dengan keluhan sulit mengunyah dan menelan
sejak ​± 2 tahun SMRS. Keluhan akan muncul jika pasien beraktivitas terutama di sore
hari dan akan membaik jika pasien beristirahat atau tidur. Pasien juga mengeluhkan
lemah pada anggota gerak dan bicara pelo. Pasien memiliki riwayat diagnosis Myasthenia
Gravis sejak 2 tahun SMRS. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien pernah melakukan
CT scan thorax (09/12/19), dari hasil CT scan menunjukkan sugestif thymoma.

VI. Diagnosa kerja


Myasthenia Gravis et causa thymoma

VII. Diagnosa banding


Sindroma Lambert-Eaton

VIII. Tatalaksana
Medikamentosa
15 Januari 2020
● Mestinon PO 60 mg TDS
● Canderin PO 8 mg OD
16 januari
● Nexium IV 40 mg BD
17 januari
● Mestinon PO 60 mg QDS
18 januari
● VIt. C IV 500 mg OD
● Nexium IV 40 mg BD
● Morphine IV drip 1mg/jam
● Vit. K IV 10 mg TDS
20 januari
● Nexium PO 20 mg BD
● Ventolin nebu 1 resp
● Bisolvon nebu 16 tetes TDS
● Cernevit IV 1 ampul OD
21 januari
● Vit. K IV 10 mg TDS
● Tripenem IV 1 gr TDS
● Ketorolac IV 30 mg TDS
● Aspar K PO 1 tab TDS
● Cernevit IV 1 ampul OD
22 januari
● Tripenem IV 1 gr TDS
23 januari
● Nexium PO 20 mg BD
● Ventolin nebu 1 resp TDS
● Canderin PO 8 mg OD
● Mestinon PO 60 mg QDS
● Laxadine PO 30 ml OD
24 januari
● Vit. K IV 10 mg TDS
● Cernevit IV 250 mg OD
● Nexium PO 20 mg BD

Tatalaksana operatif : dilakukan thymectomy (removal of thymoma) pada tanggal 18


Januari 2020
Laporan operasi :
1. Supine, aseptik dan antiseptik
2. Sternotomy approach
3. Ukuran massa tumor 4x3x3 cm di anteror mediastinal, keras & lengket ke pleura
parietalis kanan
4. Disectio massa tumor inferio dan pleura parietalis kanan terbuka
5. Perdarahan +/- 50 cc dirawat
6. Sternum dijahit dengan wire HG
7. Subkutis : vicryl 2.0 , kutis: monocryl

IX. Follow up

Hari /tanggal Follow up

19/01/20 S : nyeri a/r sternal


O:

Kesadaran compos mentis, GCS 15

TTV : TD 102/53, HR : 82, RR : 19, T : 36.5, SpO2 : 100%, CTR: 3

Conjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)

Toraks :

VBS +/+, +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-

S1 S2 reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, BU +

Ekstremitas : akral hangat, edema -/-


WSD: tekanan tetap (-)18 cm H2O

A : post op timektomi
P : Aff WSD tube besok

20/01/20 S:-
O:

Kesadaran compos mentis, GCS 15

TTV : TD 130/70, HR : 102, RR : 16, T : 36.4

Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -

Toraks :

VBS +/+, +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-

S1 S2 reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, BU +

Ekstremitas : akral hangat, edema -/-

Hemodynamic stable

WSD: minimal

A : post op thymectomy
P:
● Canderin PO 8 mg OD
● Nexium PO 20 mg BD
● Mestinon PO 60 mg QDS
● Trigem IV 1 g TDS
● Laxadine PO 30 ml OD
● PO 1 fe TDS
● Renofen 30 mg TDS
● VIt. C IV 500 mg OD
● Morphine IV drip 1mg/jam
● IV drip 0,5 mg/jam
● Vit. K IV 10 mg TDS
● Ventolin nebu 1 resp
● Bisolvon nebu 16 tetes TDS
● Cernevit IV 1 ampul OD

21/01/20 S : tarik nafas sesak


O:

Kesadaran compos mentis, GCS 15

TTV : TD 130/80, HR : 104, RR : 20, T : 35.8

Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -

Toraks :

VBS : menurun pada kanan bawah/+, +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-

S1 S2 reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, BU +

Ekstremitas : akral hangat, edema -/-

WSD: >> 150cc/cairan

A : post op timektomi
P : vit K teruskan
● Canderin PO 8 mg OD
● Mestinon PO 60 mg QDS
● Laxadine PO 30 ml OD
● Nexium PO 20 mg BD
● Ventolin nebu 1 resp
● Bisolvon nebu 16 tetes TDS
● Vit. K IV 10 mg TDS
● Tripenem IV 1 gr TDS
● Ketorolac IV 30 mg TDS
● Aspar K PO 1 tab TDS
● Cernevit IV 1 ampul OD

22/01/20 S:-
O:

Kesadaran compos mentis, GCS 15

TTV : TD 130/80, HR : 104, RR : 20, T : 36.2

Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -

Toraks :

VBS : menurun pada kanan bawah/+, +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-

S1 S2 reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, BU +

Ekstremitas : akral hangat, edema -/-

WSD: ​± 140cc/24 jam

A : post op timektomi, last tube tinggi


P:
- Repair WSD, tarik ​± 2cm
- Ganti tabung WSD
- Konsul fisioterapi: untuk clapping basal paru kanan bawah
● Canderin PO 8 mg OD
● Mestinon PO 60 mg QDS
● Laxadine PO 30 ml OD
● Nexium PO 20 mg BD
● Ventolin nebu 1 resp
● Bisolvon nebu 16 tetes TDS
● Vit. K IV 10 mg TDS
● Tripenem IV 1 gr TDS
● Ketorolac IV 30 mg TDS
● Aspar K PO 1 tab TDS
● Cernevit IV 1 ampul OD
● Tripenem IV 1 gr TDS

23/01/20 S : pasien menarik nafas sound → baik


O:

Kesadaran compos mentis, GCS 15

TTV : TD 130/80, HR : 104, RR : 20, T : 36.4

Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -

Toraks :

VBS +/+, +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-

S1 S2 reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-

A : post op timektomi
P:
- Rencana Aff chest tube besok
● Nexium PO 20 mg BD
● Ventolin nebu 1 resp TDS
● Canderin PO 8 mg OD
● Mestinon PO 60 mg QDS
● Laxadine PO 30 ml OD
● Ventolin nebu 1 resp
● Bisolvon nebu 16 tetes TDS
● Vit. K IV 10 mg TDS
● Cernevit IV 1 ampul OD
● Tripenem IV 1 gr TDS

24/01/20 S : normal
O:

Kesadaran compos mentis, GCS 15

TTV : TD 120/70, HR : 84, RR : 20, T : 36.2

Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -

Toraks :

VBS +/+, +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-

S1 S2 reguler, murmur -, gallop -

Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-

WSD: minimal

A : post op timektomi
P:
- Aff kateter
- Pasien boleh mobilisasi
● Tripenem IV 1 gr TDS
● Ventolin nebu 1 resp TDS
● Canderin PO 8 mg OD
● Mestinon PO 60 mg QDS
● Laxadine PO 30 ml OD
● Vit. K IV 10 mg TDS
● Cernevit IV 250 mg OD
● Cefspan PO 200 mg TDS
● Nexium PO p.r.n

25/01/20 S : normal
O:

Kesadaran compos mentis, GCS 15

TTV : TD 120/80, HR : 88, RR : 20, T : 36.2

Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -

Toraks :

VBS +/+, +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-

S1 S2 reguler, murmur -, gallop -


Abdomen : supel, BU +

Ekstremitas : akral hangat, edema -/-

WSD: clean

Luka: kering

A : post op timektomi
P:
- Boleh pulang besok
● Ventolin nebu 1 resp TDS
● Canderin PO 8 mg OD
● Mestinon PO 60 mg QDS
● Laxadine PO 30 ml OD
● Cefspan PO 200 mg TDS
● Nexium PO p.r.n

16 Januari 2020

Test Result Reference Range

Full Blood Count

Haemoglobin 13.40 g/dL 11.70 – 15.50

Hematocrit 37.40 % 35.00 – 47.00

Erythrocyte (RBC) 4.26 x 10​6​/mL 3.80 – 5.20


White Blood Cell (WBC) 9.65 x 10​3​/mL 3.60 – 11.00

Platelet Count 218.00 x 10​3​/mL 150.00 – 440.00

ESR 1 mm/hours 0 - 20

Differential Count

Basophil 0% 0-1

Eosinophil 0% 1-3

Band Neutrophil 3% 2-6

Segment Neutrophil 65 % 50 - 70

Lymphocyte 26 % 25 - 40

Monocyte 6% 2-8

MCV, MCH. MCHC

MCV 87.80 fL 80.00 – 100.00

MCH 31.50 pg 26.00 – 34.00

MCHC 35.80 g/dL 32.00 – 36.00


17 Januari 2020

Test Result Reference Range

Full Blood Count

Haemoglobin 12.90 g/dL 11.70 – 15.50

Hematocrit 36.10 % 35.00 – 47.00

Erythrocyte (RBC) 4.12 x 10​6​/mL 3.80 – 5.20

White Blood Cell (WBC) 6.87 x 10​3​/mL 3.60 – 11.00

Platelet Count 187.00 x 10​3​/mL 150.00 – 440.00

ESR 3 mm/hours 0 - 20

Differential Count

Basophil 0% 0-1

Eosinophil 1% 1-3

Band Neutrophil 2% 2-6


Segment Neutrophil 64 % 50 - 70

Lymphocyte 27 % 25 - 40

Monocyte 6% 2-8

MCV, MCH. MCHC

MCV 87.00 fL 80.00 – 100.00

MCH 30.70 pg 26.00 – 34.00

MCHC 35.30 g/dL 32.00 – 36.00

18 Januari 2020 jam 00:06

Test Result Reference Range

Full Blood Count

Haemoglobin 12.60 g/dL 11.70 – 15.50

Hematocrit 34.40 % 35.00 – 47.00

Erythrocyte (RBC) 4.00 x 10​6​/mL 3.80 – 5.20


White Blood Cell (WBC) 10.72 x 10​3​/mL 3.60 – 11.00

Platelet Count 203.00 x 10​3​/mL 150.00 – 440.00

ESR 2 mm/hours 0 - 20

Differential Count

Basophil 0% 0-1

Eosinophil 0% 1-3

Band Neutrophil 3% 2-6

Segment Neutrophil 77 % 50 - 70

Lymphocyte 17 % 25 - 40

Monocyte 3% 2-8

MCV, MCH. MCHC

MCV 86.00 fL 80.00 – 100.00

MCH 31.50 pg 26.00 – 34.00

MCHC 35.60 g/dL 32.00 – 36.00


PT-APTT

Prothrombin Time

Control 10.90 seconds 9.1 - 12.3

Patient 12.00 seconds 9.4 - 11.3

INR 1.17

A.P.T.T

Control 10.00 seconds 27.5 – 37.1

Patient 37.10 seconds 27.70 – 40.20

18 Januari 2020 jam 14:04

Full Blood Count

Haemoglobin 10.20 g/dL 11.70 – 15.50

Hematocrit 28.10% 35.00 – 47.00

Erythrocyte (RBC) 3.28 x 10​6​/mL 3.80 – 5.20


White Blood Cell (WBC) 13.08 x 10​3​/mL 3.60 – 11.00

Platelet Count 180.00 x 10​3​/mL 150.00 – 440.00

ESR 5 mm/hours 0 - 20

MCV 85.70 fL 80.00 – 100.00

MCH 31.10 pg 26.00 – 34.00

MCHC 36.30 g/dL 32.00 – 36.00

PT-APTT

Prothrombin Time

Control 11.00 seconds 9.1 - 12.3

Patient 10.90 seconds 9.4 - 11.3

INR 1.05

A.P.T.T

Control 30.50 seconds 27.5 – 37.1

Patient 28.50 seconds 27.70 – 40.20


D - dimer 2.33 0.00 - 0.3

Biochemistry

Albumin 2.81 g/dL 3.50 - 5.20

Ureum 14.0 mg/dL <50.00

Creatinine 0.45 mg/dL 0.5 – 1.3

eGFR 116 ml/mnt/1,73m​2

Sodium (Na+) 140 mmol/L 137 – 145

Potasium (K+) 2.50 mmol/L 3.6 – 5.0

Chloride (Cl-) 109 mmol/L 98 – 107

Inorganic Phosporus (P) 2.2 mg/dL 2.7 - 4.5

Magnesium (Mg) 1.5 mg/dL 1.6 - 2.6

Blood Gas Analysis

pH 7.494 7.350-7.450
PO2 202 mmHg 83-108

PCO2 26.9 mmHg 32.0-45.0

HCO3 20.9 mmol/L 21.0-28.0

Total CO2 22.0 mmol/L 24.0-30.0

Base excess -3 mmol/L (-)2.4 - (+)2.3

O2 saturation 100 % 95 - 98

% FiO2 50.0 %

Electrolyte blood gas

Sodium 143.0 mmol/L

Potassium 2.20 mmol/L

Calcium 1.06 mmol/L

Haemoglobin 8.80 g/dL 11.70 – 15.50

Hematocrit 26 % RNF
Random Blood Glucose 179.0 mg/dL <200.0

21 Januari 2022

Complete Blood Count

Haemoglobin 11.50 g/dL 11.70 – 15.50

Hematocrit 32.60% 35.00 – 47.00

Erythrocyte (RBC) 3.71 x 10​6​/mL 3.80 – 5.20

White Blood Cell (WBC) 8.00 x 10​3​/mL 3.60 – 11.00

Platelet Count 188.00 x 10​3​/mL 150.00 – 440.00

MCV, MCH, MCHC

MCV 87.90 fL 80.00 – 100.00

MCH 31.00 pg 26.00 – 34.00

MCHC 35.30 g/dL 32.00 – 36.00

Biochemistry
Albumin 3.34 g/dL 3.50 - 5.20

Electrolyte Blood Gas

Sodium (Na+) 147 mmol/L 137 – 145

Potasium (K+) 3.0 mmol/L 3.6 – 5.0

Chloride (Cl-) 105 mmol/L 98 – 107


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Timus


Timus berlokasi di ​midline d​ an umumnya terletak di mediastinum superior anterior.
Merupakan kelenjar berwarna abu-abu kemerah mudaan yang memiliki permukaan berlobus.
Memiliki panjang sekitar 5 cm, lebar 4 cm, dan tebal 6 mm. Timus terdiri dari 2 lobus yang
memiliki perbedaan sedikit perbedaan ukuran, yang biasanya lobus kanan lebih besar. Kedua
lobus dihubungkan oleh jaringan ikat longgar di ​midline dan kadang-kadang oleh lobus perantara
(isthmus). Dilapisi oleh lapisan jaringan ikat fibrosa, membentuk kapsul yang membatasi setiap
lobus. Pembatas hanya memanjang sampai ke persimpangan kortikomedula, sehingga medula
terkoneksi.(1)
Pada superior timus terdapat kelenjar tiroid yang terhubung dengan ligamen ​Thyrotymic​.
Pada inferiornya terdapat kartilago interkostal 4, serta ujung bawah masing-masing lobus terletak
pada perikardium yang dihubungkan oleh jaringan ikat, dan pada anterior timus terdapat
sternum. Posterior timus terdapat vena brakiosefalika dan arkus aorta dan percabangannya.
Bagian lateral timus berjalan di sepanjang sisi pleura dan dekat dengan lemak mediastinum dan
saraf frenikus.(1)
Arteri superior timus berasal dari arteri inferior tiroid, terkadang berasal dari arteri tengah
tiroid. Arteri lateral timus biasanya asimetrik dan tidak tentu jumlahnya, berasal dari arteri
internal mammae dan lebih banyak pada sisi kanan, dan terkadang berasal dari arteri superior
frenikus. Arteri posterior timus merupakan percabangan langsung dari arteri brakiosefalika dan
aorta, biasanya membentuk cabang tunggal yang terbagi menjadi banyak cabang untuk
memperdarahi setiap lobus sebelum memasuki kapsul.(1)
Sistem aliran vena kelenjar timus terdiri dari vena besar yang mengikuti septum
interlobus ke kapsul timus dan vena kecil yang meninggalkan korteks untuk membentuk pleksus
vena pada permukaan posterior kapsul timus. Vena posterior timus (vena besar Keynes)
terbentuk dari menyatunya banyak vena kecil yang mengaliri kelenjar dan kembali ke van
brakiosefalika. Vena superior timus mengalirkan bagian superior kelenjar pada 50% kasus dan
kembali ke vena inferior tiroid. Vena lain yang lebih jarang, lebih kecil, dan kurang konsisten
mengalir ke vena cava superior, thyroidea IMA (vena mammae interna).(1)
Tidak ada sistem limfatik aferen yang diketahui yang masuk ke timus. Kapiler limfatik
kecil yang berasal dari ruang perivaskular medula bertemu untuk membentuk pembuluh yang
lebih besar yang mengalir di sepanjang vena perilobular ke kapsul. Terdapat tiga limfatik
drainase :
1. Saluran limfatik super mengalirkan bagian kaudal ke kelenjar jugular internal,
innominate,​ ​ a​ tau mediastinal anterior,
2. Saluran limfatik anterior mengalirkan ke kelenjar getah bening (KGB) parasternal,
3. Saluran limfatik posterior mengalirkan ke KGB trakeobronkial,
Aliran limfatik (2) dan (3) menyatu untuk mengalirkan ke vena jugularis dan subklavia interna
ipsilateral.(1)
Saraf-saraf vagus desenden, frenikus, hipoglosus, dan kadang-kadang saraf laring
recurrent​ semuanya bercabang ke timus.(1)
2.2 Definisi
Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit yang ditandai dengan kelemahan progresif dan
kelelahan otot volunter tanpa atrofi yang disebabkan antibodi terhadap reseptor asetilkolin di
neuromuscular junction dan merupakan contoh klasik penyakit autoimun yang dimediasi
antibodi (​antibody-mediated autoimmune disease)​ . Berasal dari bahasa Yunani yaitu ​myos yang
memiliki arti otot, ​asthenos yang memiliki arti kelemahan, dan juga bahasa Latin yaitu gravis
yang memiliki arti kronik.(6)

2.3 Epidemiologi
Myasthenia Gravis termasuk penyakit yang jarang ditemukan. Prevalensinya
diperkirakan bervariasi dari 43 hingga 84 per juta orang dan angka kejadian setiap tahunnya
sekitar 1 per 300.000. Penyakit ini dapat dapat terjadi di semua usia dan jenis kelamin, tetapi
relatif jarang terjadi pada anak-anak dibawah 10 tahun, angka kejadiannya sekitar 10%. Dari
beberapa penelitian diketahui gambaran bimodal berdasarkan jenis kelamin dan usia. Pada usia
dibawah atau sampai usia 50 tahun, lebih banyak perempuan dengan rasio 7:3, sedangkan pada
usia di atas 50 tahun ditemukan laki-laki dengan rasio 3:2. Prevalensi paling tinggi pada
perempuan usia 20-30 tahun, sedangkan laki-laki pada usia 60 tahun. Dengan semakin
meningkatnya kemampuan diagnosis, terapi, dan umur harapan hidup, prevalensi MG semakin
meningkat, yaitu 15-179:1.000.000 dengan sekitar 10% nya adalah usia anak-anak dan remaja.
Risiko ini akan meningkat sekitar 4,5% bila dalam keluarga, saudara kandung, atau orang tua
memiliki riwayat menderita MG atau penyakit autoimun lainnya. Pasien penderita MG dengan
timoma, mayoritas usia penderitanya 50 - 60 tahun dan didominasi oleh laki-laki. (7)

2.4 Faktor risiko


● Kelelahan
● Riwayat penyakit (thymoma)
● Stres
● Mengkonsumsi obat - obatan seperti : beta blocker, quinidine gluconate, quinidine sulfate,
quinine, phenytoin, anestesi tertentu dan antibiotik
● Kehamilan
● Menstruasi

2.5 Patofisiologi
Autoantibodi AChR terutama dari subtipe IgG1 dan 3, sehingga mereka divalen dan
mengaktifkan komplemen. Mengikat antibodi ini ke AChR menghasilkan aktivasi jalur
komplemen klasik dengan perakitan kompleks serangan membran (MAC). Masuknya kalsium
melalui MAC menyebabkan kerusakan lokal pada membran, dengan pelepasan puing-puing
membran yang mengandung ACh ke celah sinaptik. Membran postsinaptik yang rusak
menunjukkan berkurangnya respons terhadap asetilkolin, yang diukur secara elektrofisiologis
dengan berkurangnya amplitudo EPP dan mEPPs. Yang penting, dan tidak dihargai secara luas,
kerusakan komplemen juga menyebabkan hilangnya ​natrium volt-gated channel​, yang terletak di
lipatan sekunder, meningkatkan ambang batas yang harus dicapai EPP untuk memicu potensi
aksi otot 12. Bivalen AChR IgG juga dapat AChRs yang saling bersilangan, meningkatkan laju
internalisasi yang biasanya lambat dan degradasi lisosomal pada AChR (waktu paruh normal
sekitar 10 hari pada tikus) dan mengakibatkan hilangnya AChR bahkan tanpa adanya serangan
komplemen (Gambar 1). Anehnya, mungkin, sebagian besar antibodi tidak menyebabkan blok
langsung fungsi AChR, meskipun blok AChR telah ditunjukkan dengan beberapa pasien
individu. (8)
​ MJ, bersama
MuSK ditemukan dalam membran postsinaps ​neuromuscular junction / N
dengan AChR. Fungsi protein tirosin kinase MuSK diaktifkan ketika agrin, proteoglikan dari
terminal saraf, berikatan dengan MuSK melalui reseptor lipoprotein densitas rendah ko-reseptor.
terkait protein 4 '(LRP4). Antibodi MuSK pasien MG terutama mengikat daerah mirip Ig di
ektodomain MuSK, sehingga menghambat perakitan dan aktivasi kompleks agrin-LRP4-MuSK.
Ini menjelaskan mengapa pengelompokan AChR yang diinduksi agrin dalam model sel C2C12
dihambat oleh inkubasi dalam serum MuSK MG dan persiapan IgG. Pada tikus yang diinjeksi
dengan MuSK MG IgG, pengurangan fosforilasi tyrosine pascasinaps dikaitkan dengan
percepatan hilangnya AChR dari AChR postsynaptic cluster, yang berpuncak pada kegagalan
transmisi neuromuskuler. Dengan demikian, kombinasi dari kultur sel dan studi tikus
menunjukkan bahwa autoantibodi MuSK, yang sebagian besar dari tipe IgG4, memblokir
aktivasi alami MuSK, yang mengarah pada kehilangan progresif. AChRs dari motor endplate dan
kegagalan sinaptik. (8)

Pada NMJ sehat, ada keseimbangan antara mekanisme ​clustering dan pemecahan ​cluster​.
Selama perkembangan embrionik, dan kemudian pada otot dewasa, MuSK berfungsi untuk
mengumpulkan AChR di bawah saraf motor yang masuk tetapi, pada saat yang sama, asetilkolin
dilepaskan dari terminal saraf motor dan bekerja pada AChR ini cenderung untuk memecah
kluster AChR. berpikir bahwa masuknya kalsium melalui saluran AChR dapat diperkuat oleh
reseptor IP3 subsinaptik, mengaktifkan protease yang membutuhkan kalsium yang kemudian
memicu internalisasi dan degradasi AChR, mengurangi kluster AChR. Pada NMJ yang sehat,
pembentukan sinaps dan pembongkaran sinaps seimbang. Pensinyalan MuSK yang terganggu
dalam MuSK MG akan mengganggu keseimbangan ini. Ini memiliki implikasi klinis. Inhibitor
kolinesterase, seperti piridostigmin, adalah pengobatan lini pertama untuk MG. Mereka
memperpanjang aktivasi AChR endplate dan dengan demikian mengembalikan amplitudo EPP.
Namun, pada pasien MuSK MG, sering kali tidak membantu. Dalam sebuah percobaan tikus pasi
yang disuntikkan MuSK MG (di mana pensinyalan MuSK dihambat), pyridostigmine ditemukan
memperburuk kehilangan AChR endplate dan kegagalan NMJ, mungkin oleh meningkatkan dan
memperpanjang aksi pembongkaran asetilkolin pada AChRs.(8)
2.6 Tanda dan Gejala
Pada MG, kelemahan dan kelelahan terjadi berfluktuasi, tergantung pada aktivitas pasien,
sehingga dapat berbeda-beda setiap waktu. Kelemahan memberat setelah aktivitas fisik yang
berat, kenaikan suhu tubuh, dan lingkungan sekitar, serta akan berkurang bahkan menghilang
setelah istirahat. Pada sekitar 70% penderita MG, gejala awal yang dialami adalah keluhan pada
mata yang asimetris, yang mengenai otot-otot ekstraokular, berupa turunnya kelopak atas (ptosis)
dan penglihatan ganda (diplopia). ​Dari seluruh tipe okular, sekitar 50% berkembang menjadi tipe
generalisata, yaitu kelemahan terjadi pada otot-otot proksimal yaitu ​kelemahan pada otot tungkai
bawah yang terjadi dalam dua tahun pertama setelah ​onset penyakit. Otot lain yang dapat terkena adalah
otot bulbar, kelemahan pada otot ini mengganggu fungsi berbicara yang biasanya ditandai dengan “cadel”
(dapat menjadi disartria), fungsi mengunyah dan menelan (menyebabkan disfagia), ​sedangkan sekitar
15% tetap sebagai tipe okular. Gejala klinis yang berat sering ditemukan pada tahun pertama
sampai tahun ketiga, jarang sekali ditemukan perbaikan klinis yang sempurna dan permanen. ​Jika
tidak diobati maka gejala bisa berkembang sampai mempengaruhi kelemahan otot pernafasan dan dapat
menyebabkan gagal nafas, yang berujung pada kematian. (9)

Gejala klinis MG dapat berupa:

a. Gejala okular

Ptosis dan diplopia yang asimetris merupakan gejala okular yang paling sering ditemukan. Gejala
okular akan menetap pada 10-16% pasien MG dalam masa 3 tahun pertama dan menjadi sekitar 3-10%
setelah 3 tahun. Bila gejala okular menetap sampai lebih dari 3 tahun, maka sakitar 84% tidak mengalami
perubahan menjadi tipe general ataupun bulbar (9)

b. Gejala bulbar

a. Disfoni dan disatria yang muncul setelah berbicara beberapa lama, sering terjadi
pada onset pertama kali.
b. Disfagia (gangguan menelan) muncul setelah penderita memakan makanan padat.
Penderita dapat mengalami kesulitan menggerakan rahang bawah saat mengunyah
makanan, sehingga harus dibantu oleh tangan (tripod position). (9)

c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering tidak disadari oleh penderita, baru diketahui
setelah orang lain melihat menurunnya ekspresi wajah atau senyumannya tampak datar
(myasthenic snarl). (9)

c. Leher dan Ekstremitas

a. Leher terasa kaku, nyeri dan sulit untuk menegakkan kepala (dropped head)
akibat kelemahan pada otot-otot ekstensor leher.

b. Pada ekstremitas, kelemahan lebih sering terjadi pada ekstremitas atas dan
mengenai otot-otot proksimal (deltoid dan triseps). Pada keadaan yang berat, kelemahan
dapat terjadi juga apda otot-otot distal.(9)

d. Gangguan Pernapasan

Sering terjadi pada MG tipe general. Penderita merasakan kesulitan menarik napas akibat
kelemahan otot-otot bulbar dan pernapasan.(9)

2.7 Diagnosis

1.​ A
​ namnesis

Adanya riwayat kelemahan otot yang berfluktuasi dimana kelemahan otot


bertambah buruk setelah aktivitas dan pada sore atau malam hari dan membaik dengan istirahat

2.​ P
​ emeriksaan Fisik

Ditemukan keterlibatan otot-otot penggerak bola mata (ptosis dan/atau diplopia) dan
otot-otot bulbar (disfagia, disatria, disfonia). Kelemahan anggota gerak ditemukan pada
Myasthenia gravis yang menyeluruh.
Klasifikasi Osserman

3. Simpson Test

Meminta pasien untuk membuka dan menutup kelopak mata beberapa kali. Hasil
dikatakan positif bila terdapat ptosis

4. Wartenberg Sign

Meminta pasien untuk menatap ke atas tanpa berkedip terhadap suatu benda yang terletak
di atas bidang kedua mata selama beberapa waktu. Hasil dikatakan positif bila terdapat ptosis

5.​ T
​ es Farmakologik

Meliputi tes dengan agen yang meningkatkan transmisi saraf-otot, seperti edrofonium
(tensilon test) dan piridostigmin. Edrofonium mempunyai onset yang cepat (30 detik) dan durasi
yang singkat (5 menit), diberikan dengan dosis bertingkat yang diawali dengan dosis 2 mg
diikuti dengan dosis 3 dan 5 mg. Atrofin (0,6 mg intramuskular (IM) atau intravena (IV)) harus
tersedia untuk mengantisipasi efek samping muskarinik. Dapat pula dilakukan tes dengan
neostigmin metilsulfat atau prostigmin dengan dosis 1,5 mg IM. Onset 5-15 menit setelah dosis
IM dengan durasi 2,5-4 jam

6.​ P
​ emeriksaan Elektrofisiologis

Pemeriksaan elektrofisiologis yang sering dilakukan adalah ​Repetitive Nerve Stimulation


(RNS) dan Single Fiber Electromyography (SFE). RNS dilakukan dengan ​menstimulasi otot
berulang pada 2-3 Hz, ​Bila pada RNS didapatkan Decremental Response >10%, maka
menunjang diagnosis adanya kelainan pada transmisi saraf-otot. ​SFE ​bertujuan untuk
mengevaluasi blok neuromuskuler, jitter, dan kepadatan serat​. ​SFE lebih sensitif daripada RNS
dalam menilai MG. Namun, SFE secara teknis lebih sulit dan jauh lebih tergantung pada
pengalaman dan keterampilan dokter penguji. Akibatnya, RNS adalah tes neurofisiologis yang
paling sering dilakukan untuk transmisi neuromuskuler.

7.​ T
​ es Serologis

Antibodi terhadap asetilkolin reseptor merupakan penanda diagnosis yang paling spesifik
untuk Myasthenia gravis, ditemukan pada 85% penderita Myasthenia gravis dan dapat diukur
dengan conventional Radioimmunoprecipitation Assay atau radioimunopresipitasi assay
konvesional. Kadar serum antibodi reseptor asetilkolin biasanya rendah pada awal gejala dan
selanjutnya meningkat. Kadar yang normal tidak menyingkirkan diagnosis. Pasien dengan
timoma umunya mengalami kenaikan kadar antibodi antireseptor asetilkolin. ​Tidak seperti
anti-AChR-abs, tampaknya ada korelasi antara titer anti-MuSK, tingkat keparahan penyakit, dan
penerapan terapi imunomodulator. (10)

● Antibodi reseptor asetilkolin


Spesitifitas hingga 100%
Positif pada sebanyak 85% pasien yang memiliki generalisasi MG
Positif hanya pada 50% pasien yang memiliki MG okular murni
Hasil tes antibodi anti-AChR ​false positive​ pada pasien :
- Timoma tanpa MG
- Sindrom miastenia Lambert-Eaton
- Kanker paru-paru sel kecil
- Artritis reumatoid diobati dengan penicillamine
- > 70 tahun

● Anti-MuSK antibody (ada di setengah penderita dengan hasil negative anti-AChR


antibody)

Sekitar setengah dari pasien dengan hasil negatif untuk anti-AChR Ab


(seronegatif MG) mungkin memiliki hasil tes positif untuk antibodi terhadap kinase
spesifik otot (MuSK), sebuah reseptor tirosin kinase yang sangat penting untuk
perkembangan sambungan neuromuskuler. Pasien-pasien ini mungkin mewakili
kelompok berbeda dari autoimun MG, dalam arti mereka menunjukkan beberapa
karakteristik kolektif yang berbeda dari pasien anti-AChR-positif. Individu yang
memiliki hasi tes positif anti-MuSK cenderung memiliki kelemahan bulbar yang lebih
jelas dan mungkin mengalami atrofi lidah dan wajah. Mereka mungkin memiliki
kelemahan otot leher, bahu dan pernafasan tanpa kelemahan otot pemggerak bola mata.
Mereka juga cenderung merespons inhibitor acetylcholine esterase (AChE), dan
gejala-gejalanya mungkin benar-benar memburuk dengan obat-obatan ini. (11)

● Anti-lipoprotein-related protein 4 (LRP4) antibody

Anti-lipoprotein-related protein 4 (LRP4) antibody hadir pada membran


postsinaptik dan merupakan koreptor untuk agrin dan sangat penting untuk aktivasi
MuSK yang diinduksi oleh agrin bersamaan dengan Dok-7. Aktivasi penuh MuSK
menghasilkan aktivasi rapsyn, yang kemudian menginduksi pengelompokan AChR
dengan mengikatnya ke perancah pasca-sinaptik. Antibodi terhadap protein ini terdapat
pada 9,2% dari miasthen seronegatif ganda (tidak adanya antobodi AChR dan
Anti-MuSK). Namun, 2 penelitian terbaru menunjukkan prevalensi antibodi anti-LRP4
bervariasi dari 2% hingga 50% pasien dengan MG seronegatif ganda dari lokasi geografis
yang berbeda. Autoantibodi LRP4 sebagian besar adalah IgG1, dan penelitian
menunjukkan bahwa mereka bersifat patogen.(12)

● Anti-agrin antibody

Sekitar 80-90% pasien MG memiliki antibodi serum yang terdeteksi terhadap


AChR dengan 40-70% pasien yang tersisa positif untuk antibodi anti-MuSK dan 2-50%
untuk antibodi anti-LRP4. Sekitar 2-5% dari pasien MG triple seronegative, yaitu, tanpa
antibodi yang terdeteksi terhadap autoantigen yang diketahui (AChR, MuSK atau LRP4)
di NMJ. Kehadiran antibodi agrin pada pasien 'seronegatif tiga' dengan MG menunjukkan
bahwa agrin dapat menjadi antigen baru pada beberapa pasien MG seronegatif tripel.

8.​ P
​ emeriksaan radiologis

Pada pandangan polos anteroposterior dan lateral, radiografi dapat


mengidentifikasi timoma sebagai massa mediastinum anterior. Radiografi dada negatif
tidak mengesampingkan timoma yang lebih kecil, dalam hal ini diperlukan CT scan dada.
CT scan dada harus diperoleh untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan timoma atau
pembesaran timus dalam semua kasus MG (lihat gambar di bawah). Ini terutama berlaku
pada pasien yang lebih tua.(13)

Contoh CT scan dada dan mediastinum menunjukkan timoma pada pasien dengan miastenia
gravis.
Contoh CT scan dada menunjukkan massa mediastinum anterior (thymoma) pada pasien dengan
miastenia gravis.

9. Biopsi timoma
1. Stadium I​ - Semua sel kanker berada di dalam timus.
2. Stadium II - Sel kanker telah menyebar ke struktur sekitar kelenjar timus. Sel tersebut
juga mungkin telah menyebar ke lapisan rongga dada.
3. Stadium III​ - Sel kanker telah menyebar ke organ-organ di dekat paru-paru.
4. Stadium IVA​ - Kanker telah menyebar di sekitar jantung dan paru-paru.
5. Stadium IVB​ - Kanker telah menyebar ke sistem getah bening atau darah.

2.8 Tatalaksana
Tujuan keseluruhan dalam tatalaksana myasthenia gravis (MG) adalah untuk
memperbaiki kembali atau mengembalikan fungsi normal neuromuskular dan meminimalkan
efek samping. Faktor yang harus diperhatikan dalam memilih pengobatan yaitu distribusi, durasi,
dan keparahan dari kelemahan ​myasthenic dan gangguan fungsional; risiko komplikasi
pengobatan terkait dengan komorbiditas medis, usia, dan jenis kelamin; kemampuan pasien
untuk mendapatkan pengobatan dan kepatuhan pasien minum obat dan pemantauan toksisitas.
Peningkatan risiko terkait modulasi (naik-turun) imun jangka panjang dapat terjadi pada MG
yang lebih parah, dimana untuk mengimbangi peningkatan morbiditas dan mortalitas terkait
penyakit yang tidak terkontrol. (14)

a. Inhibitor Asetilkolinesterase
Inhibitor Asetilkolinesterase ​bekerja dengan cara memblok enzim kolinesterase
(enzim yang berfungsi untuk mendegradasi asetilkolin(Ach)) sehingga kadar Ach pada
reseptor diharapkan dapat meningkat pada pasien myasthenia gravis (MG). ​Umumnya
regimen ini diberikan pada awal penyakit ​yang dianjurkan secara luas untuk MG, namun
tidak ada uji klinis control (​controlled clinical trials​) pada obat ini pada MG. Inhibitor
asetilkolin merupakan terapi simptomatik untuk MG dan tidak memperlambat
penyerangan serangan autoimun yang mendasari pada ​neuromuscular junction.​ Peran
inhibitor asetilkolin pada MG termasuk penyakit mata (​mild-generalized​), pengobatan
pada pasien yang tidak dapat menerima, dan pengobatan supresi imun, dan tambahan
untuk pasien yang menerima imunoterapi dengan kelemahan ​myasthenic residual atau
refrakter. Salah satu contoh obatnya adalah pyridostigmine bromide, dengan dosis 30-90
mg oral 3-4 kali sehari. Obat bekerja dimulai 20-30 menit setelah mengkonsumsinya.
Puncak obat bekerja dapat dilihat dalam waktu 45 menit setelah dikonsumsi, dan obat
dapat bekerja hingga 4 jam atau lebih. ​Efek samping pemberian antikolinesterase
inhibitor ​disebabkan oleh stimulasi parasimpatis ​adalah ​konstriksi pupil, kolik, diare,
saliva berlebih, berkeringat, lakrimasi dan sekresi bronkial berlebih. Efek samping
gastrointestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare. (15)

b. Terapi Imunosupresan
Imunosupresan seperti prednison, azatioprin (Imuran), siklofosfamid(cytoxan),
siklosporin(Sandimmun), dan mikofenolat mofetil (CellCept) bekerja dengan menekan
proses pembentukan antibodi untuk menstabilkan aktivasi proses imun yang berlebihan.
Dosis Azatioprin 2-3 mg/KgBB/hari/oral selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hari. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Direkomendasikan pemberian prednisolone
bersama-sama dengan azatioprin. (16)

c. Plasmapheresis
Plasmapheresis diyakini bertindak dengan menghilangkan faktor humoral yang
bersirkulasi (yaitu, antibodi anti-AChR dan kompleks imun) dari sirkulasi. Ini digunakan
sebagai tambahan untuk terapi imunomodulator lainnya dan sebagai alat untuk
manajemen krisis. Seperti IVIg, plasmapheresis umumnya dicadangkan untuk krisis
myasthenic dan kasus-kasus refraktori. Perbaikan dicatat dalam beberapa hari, tetapi itu
tidak berlangsung selama lebih dari 2 bulan.Plasmapheresis adalah terapi yang efektif
untuk MG dan seringkali merupakan pengobatan awal pilihan pada krisis myasthenic.
Juga, digunakan untuk mengoptimalkan kontrol dalam persiapan untuk operasi.
Peningkatan kekuatan dapat membantu untuk mencapai pemulihan pasca operasi yang
cepat dan untuk mempersingkat periode ventilasi bantuan. Plasmapheresis reguler jangka
panjang secara mingguan atau bulanan dapat digunakan jika perawatan lain tidak dapat
mengendalikan penyakit.
Komplikasi terutama terbatas pada komplikasi akses intravena (IV) (misalnya,
penempatan jalur sentral) tetapi juga dapat mencakup gangguan hipotensi dan koagulasi
(meskipun lebih jarang). Pasien akan membutuhkan pemantauan fibrinogen secara
hati-hati dan mungkin memerlukan TBS jika kadar fibrinogen turun hingga kurang dari
150 mg / dL sebelum pheresis berikutnya. Ada risiko hipokalsemia, infeksi aliran darah
terkait garis pusat, trombositopenia, tromboemboli, dan trombositopenia yang diinduksi
heparin.ACE inhibitor harus dihentikan 24 jam sebelum pengobatan dan sampai
perawatan selesai.Plasmapheresis diberikan sebagai total 250 mL / Kg dibagi setiap hari
selama 5-6 pertukaran. Permulaan tindakan adalah 1-7 hari dengan efek maksimal dalam
1-3 minggu. (15)

d. Kortikosteroids
Kortikosteroid merupakan obat imunosupresan pertama yang digunakan pada
pasien MG dan dianjurkan pada pasien yang memiliki gejala tetap meskipun sudah
menggunakan piridostigmin. Jenis kortikosteroid yang paling sering digunakan adalah
prednisolon. Walaupun, kortikosteroid memiliki efek samping yang serius, terutama pada
penggunaan jangka panjang. Namun, karena biaya yang rendah dan efektivitas,
kortikosteroid tetap menjadi pengobatan yang sering digunakan di MG pada seluruh
dunia, yang didukung oleh penelitian observasional dan pendapat para ahli. (17)

e. Timektomi
Keputusan untuk melakukan tindakan timektomi dipengaruhi oleh usia, gender,
adanya timoma, keparahan dari MG, adanya antibodi AChR atau antibodi MuSK, dan
terbentuknya seronegative miastenia. Terdapat indikasi dilakukannya timektomi pada
semua kasus timoma, tanpa memperhatikan MG generalis, bulbar, maupun ocular.
Reseksi komplit timoma harus ditargetkan. Jika tindakan ini tidak memungkinkan,
perawatan medis dapat diberikan untuk meredakan gejala miastenia dan mencegah invasi
lokal. Telah dilaporkan bahwa tingkat penurunan dan pemulihan dari MG pada pasien
dengan timoma mirip atau sedikit lebih buruk daripada tanpa timoma. Dengan tidak
adanya timoma, timektomi pada umumnya dapat menguntungkan untuk pasien MG
generalis dan antibodi-positif AChR.(18)
Tahun 2016, Wolfe dkk. (MGTX Study Group) melaporkan hasil penelitian
antara efek yang dihasil dari terapi timektomi dan prednison dibandingkan dengan terapi
prednison itu sendiri. Pada penelitian, 126 pasien dengan MG terkait-antibodi AChR
generalis dan durasi penyakit kurang dari 5 tahun (usia, 16-65 tahun; median usia, 33
tahun) diobservasi. Didapatkan hasil dengan memberikan prednison harian di samping
kasus timektomi r​andomized extended transsternal a​ tau hanya memberikan prednison
harian. Selama 3 tahun, rata-rata prednison harian yang dibutuhkan secara signifikan
lebih rendah (44 mg dibandingkan dengan 60 mg) pada kelompok timektomi. Proporsi
kasus imunosupresi yang membutuhkan azathioprine secara signifikan lebih rendah pada
kelompok timektomi (17% dibandingkan dengan 48%). Proporsi pasien yang dirawat di
rumah sakit untuk eksaserbasi MG secara signifikan lebih rendah pada kelompok
timektomi (9% dibandingkan dengan 37%).(22)
Manfaat dari timektomi tidak memberikan efek secara langsung. Tingkat remisi
pada tahun pertama kurang dari 20%. Namun, tingkat remisi telah meningkat hingga 50%
selama 7-10 tahun. Timektomi pada umumnya direkomendasikan untuk pasien pada usia
pubertas hingga 60 tahun sebagai pengobatan MG terkait-antibodi AChR.
Pasien MG umumnya berisiko tinggi untuk intervensi bedah karena gangguan
fungsi pernapasan. Tingkat mortalitas terkait dengan timektomi adalah ≤1% bahkan
dalam kasus dengan gejala MG yang tidak terkontrol. Komplikasi yang berhubungan
dengan timektomi termasuk kegawatdaruratan (6%), infeksi (11%), dan cedera berulang
saraf laring atau saraf frenikus (2%). (21)

Tujuan dari timektomi adalah untuk mengangkat/mengambil jaringan tiroid


sebanyak mungkin dengan aman. Jaringan adiposa mediastinal dan servikal dapat
mengandung bermacam jaringan timus. Tindakan pengangkatan jaringan timus ektopik
dilakukan sebanyak mungkin tanpa merusak saraf laring, vagus kiri, dan frenikus. Empat
jenis prosedur yang dapat digunakan adalah:(19)

1. Timektomi transervikal
2. Timektomi minimal invasif (bantuan video atau mesin)
3. Timektomi transstrenal
4. Timektomi kombinasi transservikal-transsternal

Semua prosedur, jaringan timus diangkat, namun pengangkatan jaringan lemak


mediastinal dan servikal ektrakapsular belum tentu dilakukan. Sternotomi median
(timektomi transsternal tambahan atau timektomi kombinasi transservikal-transsternal)
lebih dipilih oleh para ahli bedah. (20)

Timektomi kombinasi transservikal-transsternal menjadi pilihan yang ​dipakai


oleh banyak ahli bedah dada dan ahli saraf. Prosedur ini menyediakan area eksplorasi
yang luas dari mediastinum ke leher, yang memungkinkan reseksi lengkap semua
jaringan lemak timus dan sekitarnya.​(24)

Beberapa penulis menganjurkan ​extended-cervical thymectomy untuk


meminimalkan rasa sakit pasca operasi. Dalam pendekatan ini, rawat inap biasanya hanya
memerlukan waktu selama sehari dan hanya memerlukan sayatan yang kecil. ​Retractor
manubrial khusus telah dikembangkan untuk meningkatkan eksposisi mediastinum dan
memfasilitasi reseksi. Ini adalah bagian yang kontroversial dari pendekatan ini yang
mungkin tidak cukup untuk mengungkapkan timus sepenuhnya dan sisa jaringan timus
dapat tetap tertinggal di bagian posterior sinistra. Namun, perbaikan klinis mirip dengan
timektomi transsternal telah dilaporkan. Pendekatan transcervical sederhana jarang
dilakukan. Ekskursi bedah timus tidak memadai, dan sisa jaringan timus tetap ada pada
sebagian besar pasien.​(7)

Operasi timektomi dengan prosedur invasif minimal seperti ​video-thoracoscopy


atau pendekatan dibantu oleh robot memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang
rendah. Meyer et al. membandingkan timektomi dengan bantuan kamera dengan
pendekatan transsternal yang diperluas dalam penelitian retrospektif. ​Video-assisted
thoracoscopic surgery (VATS) dilakukan pada 48 pasien, dan pendekatan transsternal
dilakukan pada 47 pasien. Hasil klinis yang setara diperoleh dalam kedua pendekatan
dalam pengobatan kasus MG. Namun, uji klinis yang lebih besar diperlukan untuk
membandingkan efektivitas pendekatan invasif minimal dengan thymectomy sternum
lengkap.​(25)

Terdapat banyak kontroversi antara teknik bedah mana yang lebih efektif
dilakukan pada penyakit MG. Namun, dipastikan bahwa pendekatan invasif minimal
memiliki morbiditas yang lebih rendah dan waktu rawat inap yang lebih pendek
dibandingkan dengan pendekatan yang lebih invasif. Meyer et al. melaporkan rata-rata
lama rawat inap yang secara signifikan lebih pendek pada kelompok PPN dibandingkan
kelompok pendekatan transsternal (1,9 vs 4,6 hari). Selain itu, Khicha et al. melaporkan
bahwa hampir tidak ada dari 151 pasien dengan timektomi transservikal membutuhkan
rawat inap hanya 1 hari dan hanya memiliki 0,7% tingkat komplikasi utama. Komplikasi
sternotomi dapat dicegah melalui menghindari pemotongan sternum dengan metode
yang tidak invasif terbukti memiliki keuntungan yang signifikan.​(7)

Pendekatan menggunakan torakoskopi dengan bantuan robot sudah banyak


digunakan pada prosedur timektomi. Namun, berdasarkan penelitian, pendekatan
timektomi yang kurang invasif memberikan hasil yang serupa dengan pendekatan yang
lebih agresif.​(7)

f. Penanganan pasca operasi timektomi

Setelah operasi pasien akan dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dalam waktu
(rata-rata) 24 jam, atau hingga pasien cukup stabil untuk pindah ke ruang rawat inap.
Pasien akan menggunakan oksigen, cairan dari intravena (intravenous fluids), serta dapat
diberikan obat anti-nyeri.(24)

Setelah operasi akan terpasang drainase (chest drains). Drain tersebut berfungsi
untuk membuang udara, cairan, atau darah. Drainase akan terpasang hingga tidak ada lagi
udara yang keluar dan cairan tidak ada yang mengalir keluar dari drainase. Drainase pada
umumnya terpasang 2-3 hari setelah operasi. Setelah drainase dilepaskan, jahitan dimana
lokasi selang drainase terpasang dapat dibuka 7-10 hari setelah selang drainase
dilepas.(24)

Melakukan mobilisasi dan fisioterapi juga perlu dilakukan setelah operasi, hal
tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi pada daerah pasca operasi dan
mencegah dari komplikasi lainnya. Fisioterapi dilakukan untuk melatih pernapasan
dalam, yang merupakan hal penting dalam pemulihan. Pelatihan yang dilakukan
untuk:(24)

1. membersihkan dahak untuk mencegah terjadinya infeksi pada dada


2. membantu pengembangan paru-paru setelah operasi
3. membantu mengontrol episode sesak napas
4. meningkatkan sirkulasi
2.9 Prognosis
Gejala Myasthenia gravis biasanya mencapai puncak dalam waktu 3 tahun, kemudian
terjadi perbaikan. Penderita dengan usia di atas 40 tahun dan memiliki riwayat progresivitas
dalam waktu yang singkat serta memiliki timoma memiliki prognosis yang buruk. Dengan
pengobatan yang menggabungkan inhibitor cholinesterase, obat imunosupresif, plasmapheresis,
imunoterapi, dan perawatan suportif dalam pengaturan unit perawatan intensif (ICU) (bila perlu),
sebagian besar pasien dengan MG memiliki rentang hidup yang hampir normal. Jumlah kematian
3-4%, dengan faktor risiko utama usia > 40 tahun, sejarah singkat penyakit progresif, dan
timoma. Penyakit ini sering muncul (40%) dengan hanya gejala okular. Namun, ekstraokular
hampir selalu terlibat dalam tahun pertama. Dari pasien yang hanya menunjukkan keterlibatan
okular pada permulaan MG, hanya 16% masih memiliki penyakit okular eksklusif pada akhir 2
tahun.(21)
Morbiditas terjadi akibat gangguan kekuatan otot yang intermiten, yang dapat
menyebabkan aspirasi, peningkatan kejadian pneumonia, jatuh, dan bahkan kegagalan
pernapasan jika tidak diobati. Selain itu, obat-obatan yang digunakan untuk mengendalikan
penyakit dapat menghasilkan efek samping.
Saat ini, satu-satunya kondisi yang ditakuti muncul ketika kelemahan melibatkan
otot-otot pernapasan. Kelemahan mungkin menjadi sangat parah sehingga mengakibatkan gagal
nafas dan membutuhkan bantuan ventilasi. Pasien-pasien itu dikatakan dalam krisis myasthenia.
Hal ini menyebabkan peningkatan dari angka mortalitas penderita Myasthenia. Komplikasi
lainnya yang dapat terjadi adalah pneumonia aspirasi​ (21)
Timektomi menghasilkan remisi total penyakit pada sejumlah pasien. Namun,
prognosisnya sangat bervariasi, mulai dari remisi hingga kematian. ​Sebuah penelitian telah
dilakukan oleh ​the Memorial Sloan-Kettering Cancer Center yang mendapatkan hasil antara
tingkat keselamatan pasien 5 tahun dan 10 tahun berdasarkan tingkat stadium penyakit timoma.

Stadium 5 tahun - tingkat keselamatan 10 tahun - tingkat keselamatan


I 90% 80%

II 90% 80%

III 60% 30%

IV <25% -

2.10 Komplikasi

A. Myasthenia Krisis

Myasthenia krisis adalah komplikasi dari Myasthenia gravis dimana terjadi


kelemahan otot yang semakin memburuk, sehingga menyebabkan gagal nafas yang
membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanikal. 15-20% pasien Myasthenia gravis
mengalami Myasthenia krisis paling tidak sekali dalam hidupnya. Perempuan 2x lebih
sering terkena dari pada laki-laki. Pasien dengan umur dibawah 55 tahun perbandingan
perempuan dengan laki-laki 4:1, sedangkan 55 tahun ke atas besarnya perbandingan
pasien perempuan dan laki-laki sama. Rata-rata pasien Myasthenia krisis adalah 59 tahun.
Pasien Myasthenia krisis yang membutuhkan intubasi endotrakeal biasanya
membutuhkan perawatan 17 hari di rumah sakit. 18% pasien Myasthenia krisis
memerlukan pusat rehabilitasi pada perawatan. Ventilasi dan perawatan kritikal yang
cepat membantu penurunan mortalitas Myasthenia krisis. Saat ini mortalitas pasien
Myasthenia krisis 4% dan biasanya merupakan hasil dari kondisi penyakit komorbid.(3)

Pemeriksaan disfungsi nafas pada Myasthenia krisis


Myasthenia krisis dapat melibatkan otot pernafasan atas , otot respirasi, atau
keduanya. Kedua otot inspirasi dan ekspirasi dapat terkena, yang bermanifestasi sebagai
dyspnea. Inspirasi terutama dilakukan oleh diafragma dan otot intercostal eksternal, dan
juga dibantu oleh otot sternokleidomastoideus dan skalen. Walaupun pada ekspirasi
biasanya pasif, tetapi abdominal dan otot interostal internal dapat membantu ekspirasi.
Pada MG dengan Antibodi AchR kelemahan otot terutama terjadi pada otot inerkostal
dan asesori dan kemudian diafragma(5)

Fungsi Inspirasi biasa dihitung oleh kapasitas vital dan tekanan inspirasi negatif.
Fungsi ekspirasi dihitung menggunakan tekanan ekspirasi positif. Kapasitas vital kurang
dari 1L (atau <20-25 mL/kg) atau tekanan inspirasi negatif <20cm H2O mengindikasikan
kelemahan respirasi yang signifikan. Dan jika ditambah tekanan ekspirasi positif <40 cm
H2O maka dapat mengindikasikan krisis. Terlepas dari indeks fungsi pernapasan,
kebutuhan ventilasi mekanikal merupakan kriteria yang cukup untuk mendefinisikan
Myasthenia krisis. Kelemahan wajah dapat menghasilkan pengukuran yang tidak akurat
dari pada 3 indikasi tadi. Di samping tempat tidur, rekrutmen dari otot asesori
mengindikasikan kelemahan otot inspirasi yang signifikan. Batuk yang lemah dan
kesulitan menghitung sampai 20 dalam satu kali nafas menunjukan kelemahan otot
ekspirasi yang signifikan (6)

Disfungsi nafas juga ditandai oleh obstruksi saluran pernafasan atas jika terdapat
kelemahan otot pernafasan atas atau bulbar. Pasien Myasthenia dengan antibodi MuSK,
terjadi kelemahan bulbar terlebih dahulu sebelum kelemahan otot repirasi. Kelemahan
saluran nafas atas dapat menyebabkan gagal nafas dengan adanya kolaps orofaring atau
obstruksi lidah dan oleh meningkatnya kerja otot respirasi yang sudah kaku/fatique
melawan pernafasan yang tertutup. Tanda dari kelemahan bulbar adalah disfagia,
regurgitasi nasal, kualitas nasal untuk berbicara, stacato speech, kelemahan rahang
(rahang menutup lebih lemah dari pada saat membuka), paresis bifasial, kelemahan lidah.
(3)
B. Krisis Kolinergik

Krisis kolinergik adalah suatu kondisi klinis yang berkembang sebagai akibat
stimulasi berlebih dari reseptor nikotinik dan muskarinik pada persimpangan dan sinapsis
neuromuskuler. Ini biasanya muncul karena aktivasi atau penghambatan
acetylcholinesterase (AChE), enzim yang bertanggung jawab untuk degradasi
acetylcholine (ACh). Akumulasi asetilkolin (ACh) yang berlebihan di persimpangan dan
sinapsis neuromuskuler menyebabkan gejala toksisitas muskarinik dan nikotinik. Contoh
gejalanya adalah kram, peningkatan air liur, lakrimasi, kelemahan otot, kelumpuhan,
fasikulasi otot, diare, dan penglihatan kabur. (5)

Beberapa kondisi klinis dapat memicu krisis kolinergik. Berikut adalah gangguan yang
paling sering ditemui:

Pengobatan berlebih dengan Acetylcholine Esterase Inhibitors AChEI dalam


Pengobatan Myasthenia Gravis

o Salah satu modalitas pengobatan untuk myasthenia gravis adalah penggunaan


acetylcholinesterase inhibitor (AChEI) seperti pyridostigmine. AChEI mencegah


pemecahan ACh dengan menonaktifkan AChE. Ini menghentikan kerusakan
ACh dan meningkatkan level dan durasi kerjanya pada membran postsinaptik.
Penggunaan AChEI yang berlebihan dalam pengobatan pasien dengan MG dapat
memicu krisis kolinergik yang ditandai oleh toksisitas muskarinik dan nikotinik.

·​ Eksposur terhadap organofosfat


o K
​ risis kolinergik dapat dipicu oleh paparan obat-obatan yang menghambat AChE,

misalnya, gas saraf dan senyawa organofosfat yang digunakan dalam pestisida,
insektisida, dan herbisida. Pemaparan mungkin melalui penghirupan uap,
tertelan, atau kontak langsung bahan kimia dengan kulit atau selaput lendir

·​ Penggunaan Reversal agent


o Neostigmin adalah senyawa yang menghambat AChE dan umumnya digunakan


untuk membalikkan efek agen paralitik yang tidak terdepolarisasi seperti


vecuronium, rocuronium, mivacurium, dan pankuronium. Menghambat AChE
memungkinkan untuk akumulasi ACh di neuromuskuler junction sehingga
mengatasi hambatan kompetitif agen penghambat non-depolarisasi. Neostigmin,
seperti inhibitor AChE lainnya, dapat merangsang reseptor muskarinik dan
menyebabkan krisis kolinergik.

Patofisiologi dari Krisis Kolinergik

Krisis kolinergik disebabkan oleh stimulasi berlebih pada membran pascasinaps


oleh neurotransmitter acetylcholine (ACh). ACh ditemukan di sinapsis ganglia,
persimpangan neuromuskuler, dan sistem otot organ visceral, ACh bertindak pada
reseptor muskarinik dan nikotinik.

Reseptor muskarinik terletak di seluruh tubuh. Mereka diaktifkan oleh aksi muskarin dan
ACh. Pada aktivasi, terjadi peningkatan intraseluler siklik adenosin monofosfat (CAMP).
Aktivasi CAMP memicu aksi protein kinase. Reseptor muskarinik membentuk bagian
parasimpatis yang membantu pengaturan sekresi (baik di paru maupun di saluran cerna),
detak jantung, respons pupil, dan buang air kecil.

Reseptor nikotinik dirangsang oleh ACh dan nikotin. Mereka terletak di serat otot
di persimpangan neuromuskuler dan ganglia otonom untuk sistem saraf simpatik dan
parasimpatis.
Tanda dan Gejala dari Krisis Kolinergik

Muskarinik

● Miosis mata dan penglihatan buram


● Sistem pencernaan: mual, muntah, dan diare


● Sistem pernapasan: bronkokonstriksi, dan bronkorea
● Sistem sekretori: peningkatan sekresi pada sistem trakeobronkial dan
gastrointestinal
● Sistem kardiovaskular: bradikardia
● Genitourinary: frekuensi dan urgensi saluran kemih

Nikotinik

● Fasikulasi otot volunter: kelumpuhan flaccid


● Efek kardiovaskular: takikardia yang dapat berkembang menjadi bradikardia dari
efek berlawanan dari stimulasi reseptor muskarinik dan nikotinik.

Mnemonic yang biasa dipakai dalam Krisis Kolinergik adalah ​SLUDGEM dan
DUMBBELS​ untuk efek ​muskarinik​ dari ACh.

S - Salivation
L - Lacrimation
U - Urinary frequency
D - Diarrhea
G - Gastrointestinal cramping and pain
E - Emesis
M - Miosis
&
D - Diaphoresis and Diarrhea
U - Urinary frequency
M - Miosis
B - Bronchospasm and Bronchorrhea
E - Emesis
L - Lacrimation
S - Salivation

Temuan Klinis Terkait Stimulasi Reseptor Nikotinik


·​ Kelemahan otot

·​ Kelelahan otot dan fasikulasi


·​ Kelemahan otot pernapasan


·​ Takikardia

·​ Hipertensi

Temuan Klinis Terkait Stimulasi Sistem Saraf Pusat


·​ Kejang

·​ Koma

·​ Ataxia

·​ Bicara tidak jelas


·​ Agitasi dan kegelisahan


Gejala klinis krisis miastenia dan krisis kolinergik sangat mirip. Krisis kolinergik harus selalu
dipertimbangkan dalam krisis miastenia meskipun krisis kolinergik tidak umum pada krisis
miastenia. Terlepas dari apakah dicurigai adanya krisis miastenik atau kolinergik, inhibitor
asetilkolinesterase harus diturunkan secara signifikan atau dihentikan untuk menghindari sekresi
paru yang berlebihan dalam keadaan gangguan pernapasan.

Krisis myasthenia harus dibedakan dari krisis kolinergik dengan tes edrophonium. Pemberian 2
mg edrophonium memperburuk gejala klinis pada krisis kolinergik. Yang sebaliknya adalah
kasus dalam krisis myasthenia pasien merasa lebih baik.

Komplikasi Krisis Kolinergik


Komplikasi berikut dapat berkembang dalam krisis kolinergik. Masalah-masalah ini terkait
dengan stimulasi berlebih dari reseptor muskarinik dan nikotinik.

Sistem pernapasan

·​ Kegagalan pernafasan karena kelemahan otot pernapasan


·​ Pneumonia aspirasi akibat hipersalivasi dan bronkorea


·​ Bronkospasme berat

·​ Sistem kardiovaskular

·​ Bradikardia

·​ Hipotensi

·​ Hipertensi

·​ Aritmia

Sistem saraf pusat

·​ Halusinasi

·​ Psikosis

·​ Kejang

·​ Status mental yang berubah


Sistem Gastrointestinal

Kelainan elektrolit yang berhubungan dengan muntah dan diare


BAB III
ANALISA KASUS

Pasien wanita berumur 51 tahun datang dengan keluhan sulit mengunyah dan menelan sejak ± 2
tahun SMRS. Keluhan akan muncul jika pasien beraktivitas terutama di sore hari dan akan
membaik jika pasien beristirahat atau tidur. Pasien juga mengeluhkan lemah pada anggota gerak
dan bicara pelo. Pasien memiliki riwayat diagnosis Myasthenia Gravis sejak 2 tahun SMRS.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Pasien pernah melakukan CT scan thorax (09/12/19), dari
hasil CT scan menunjukkan sugestif thymoma.

Dari hasil anamnesis pasien memiliki beberapa faktor resiko MG yaitu kelelahan dan juga dari
hasil CT scan menunjukkan sugestif thymoma.

Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium hasil yang didapatkan tidak menunjukkan
adanya kelainan yang signifikan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Namun pada hasil
pemeriksaan radiografi didapatkan bahwa terdapat masa pada anterior mediastinum dimana
mengkonfirmasi bahwa terdapat timoma yang dapat menyebabkan MG.

Tatalaksana yang diberikan untuk pasien ini adalah prosedur timektomi yang dilakukan pada
tanggal 18 januari 2020. Prosedur yang dilakukan merupakan pilihan yang tepat untuk
menghilangkan gejala kelemahan otot pada pasien ini , dan juga sesuai dengan dasar teori untuk
dilakukan timektomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Safieddine, N., & Keshavjee, S. (2011). ​Anatomy of the Thymus Gland. Thoracic Surgery
Clinics, 21(2), 191–195.​ doi:10.1016/j.thorsurg.2010.12.011
2. Buku Ajar Neurologi​. Universitas Pelita Harapan
3. T A, W W. ​Buku Ajar Neurologi.​ Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2017.
4. Wendell LC, Levine JM. Myasthenic Crisis. 2011;1(1):16-22.
doi:10.1177/1941875210382918
5. Adeyinka A, Kondamudi NP. Cholinergic Crisis.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482433. Published 2019. Accessed February 1,
2020.
6. Koneczny I, Herbst R. Myasthenia Gravis : Pathogenic Effects of Autoantibodies on
Neuromuscular Architecture. Austri: MDPI. 2019[cited 2 March 2020].
7. Aydin Y, Ulas A, Mutlu V, Colak A, Eroglu A. Thymectomy in Myasthenia Gravis
[Internet]. 2017 [cited 2 March 2020]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5389494/#b18-eajm-49-1-48
8. Mandawat A, Kaminski HJ, Cutter G, Katirji B, Alshekhlee A. Comparative analysis of
therapeutic options used for myasthenia gravis. ​Ann Neurol.​ 2010 Dec. 68(6):797-805.
9. Grob D, Brunner N, Namba T, Pagala M. Lifetime course of myasthenia gravis. ​Muscle
Nerve​. 2008 Feb. 37(2):141-9.
10. Bershad EM, Feen ES, Suarez JI. Myasthenia gravis crisis. ​South Med J.​ 2008 Jan.
101(1):63-9.
11. Evoli A, Tonali PA, Padua L. Clinical correlates with anti-MuSK antibodies in
generalized seronegative myasthenia gravis. ​Brain.​ 2003 Oct. 126(Pt 10):2304-11.
12. Sanders DB, Howard JF, Massey JM. Seronegative myasthenia gravis. ​Ann Neurol.​ 1987.
22:126.
13. Gajdos P, Chevret S, Toyka K. Intravenous immunoglobulin for myasthenia gravis.
Cochrane Database Syst Rev.​ 2008 Jan 23. CD002277.
14. Wolfe GI, Kaminski HJ, Aban IB, Minisman G, Kuo HC, et al. Randomized Trial of
Thymectomy in Myasthenia Gravis. ​N Engl J Med.​ 2016 Aug 11. 375 (6):511-22.
15. Salpeter MM. The Vertebrate Neuromuscular Junction. Salpeter MM. ​Vertebrate
neuromuscular junctions: general morphology, molecular organization, and functional
consequences​. New York: Alan Liss; 1987. 1-54.
16. Stickler DE, Massey JM, Sanders DB. MuSK-antibody positive myasthenia gravis:
clinical and electrodiagnostic patterns. ​Clin Neurophysiol.​ 2005 Sep. 116(9):2065-8.
17. Richman DP, Agius MA. Treatment of autoimmune myasthenia gravis. ​Neurology.​ 2003
Dec 23. 61(12):1652-61.
18. Schneider-Gold C, Gajdos P, Toyka KV, Hohlfeld RR. Corticosteroids for myasthenia
gravis. ​Cochrane Database Syst Rev.​ 2005 Apr 18. CD002828.
19. Drachman DB, Jones RJ, Brodsky RA. Treatment of refractory myasthenia: "rebooting"
with high-dose cyclophosphamide. ​Ann Neurol.​ 2003 Jan. 53(1):29-34.
20. Meriggioli MN, Ciafaloni E, Al-Hayk KA, et al. Mycophenolate mofetil for myasthenia
gravis: an analysis of efficacy, safety, and tolerability. ​Neurology​. 2003 Nov 25.
61(10):1438-40.
21. Deymeer F, Gungor-Tuncer O, Yilmaz V, Parman Y, Serdaroglu P, Ozdemir C, et al.
Clinical comparison of anti-MuSK- vs anti-AChR-positive and seronegative myasthenia
gravis. ​Neurology​. 2007 Feb 20. 68 (8):609-11.
22. Evoli A, Tonali PA, Padua L, Monaco ML, Scuderi F, Batocchi AP, et al. Clinical
correlates with anti-MuSK antibodies in generalized seronegative myasthenia gravis.
Brain​. 2003 Oct. 126 (Pt 10):2304-11.Martignago S, Fanin M, Albertini E, Pegoraro E,
Angelini C. Muscle histopathology in myasthenia gravis with antibodies against MuSK
and AChR. ​Neuropathol Appl Neurobiol​. 2009 Feb. 35(1):103-10.
23. Keller DM. Late-Onset Myasthenia Gravis Linked to Higher Cancer Risk. ​Medscape
Medical News.​ Jul 2 2013.
24. Thymectomy [Internet]. Flipbooks.leedsth.nhs.uk. 2020 [cited 10 March 2020]. Available
from: http://flipbooks.leedsth.nhs.uk/LN000772.pdf

Anda mungkin juga menyukai