Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

Disusun oleh:
Alvita Suci Edgina / 01073180008
Michelle Lavinia Lee / 01073180071
Theresia Avita / 01073180

Pembimbing:
dr. Budhi Adhiwidjaja, Sp.BTKV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM
SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 4 NOVEMBER 2019 – 11 JANUARI 2020
TANGERANG

BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Ny. E
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir (Usia) : 1 Desember 1948 (70 Tahun)
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Kristen
Pendidikan :-
No. Rekam Medis : SHLV 02-22-xx

II. Anamnesis
2.1. Keluhan Utama
Pasien datang pada tanggal 25 Oktober 2019 ke poliklinik dengan keluhan utama
demam hilang timbul sejak ± 2 minggu SMRS.

2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan demam hilang timbul sejak ± 2 minggu SMRS. Saat
diukur dirumah, suhu tertinggi yang dicapai pasien adalah 38ºC. Adapun pasien
menyatakan demam naik turun tidak menentu. Demam disertai dengan penurunan
nafsu makan dan batuk kering dengan frekuensi jarang. Pasien menyangkal
adanya nyeri dada, sesak nafas, sakit kepala, maupun gangguan buang air kecil
dan buang air besar. Pasien baru kembali dari liburan ke Cina pada tanggal 25
September 2019 dengan keluarga. Namun, seluruh anggota keluarga tidak
memiliki keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang terkontrol sejak
pasien berumur 30 tahun dengan obat exforge (amlodipine 10 mg dengan valsartan
100 mg) disertai dengan concor 1.25 mg.
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat Polipektomi sebanyak 2x karena terdiagnosa polip pada
lambung. Riwayat DM, asma, alergi, keganasan, dan penyakit jantung lain
disangkal.
2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga tidak diketahui
2.5. Riwayat Sosial dan Kebiasaan
Pasien sudah menikah dan tinggal bersama suami dan anak serta memiliki
hubungan yang rukun. Semua perawatan pasien selalu ditemani suami dan anak -
anaknya.
2.6. Riwayat Pengobatan
Pasien mengkonsumsi obat-obatan anti hipertensi exforge dan concor.

III. Pemeriksaan Fisik


3.1. Status Generalis
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tanda - tanda vital :
● Tekanan darah : 120/70
● Nadi : 90x /menit
● SpO2 : 96%
● Suhu : 37.5 ºC
● Laju nafas : 20x /menit

3.2. Status Lokalis

Kulit Normal

Rambut Rambut tersebar merata, hitam, tebal


Kepala Kulit Kulit normal, lesi (-), rash (-), scar (-), massa (-), deformitas
dan wajah (-), sianotik (-), ikterik (-), edema (-)

Fungsi Pergerakan normal tanpa adanya keterbatasan range of


motion.

Mata Scar (-), rash (-), mata cekung (-), konjungtiva anemis (-), skelra ikterik (-
), pupil isokor. Jarak antar mata simetris.

Hidung Bentuk dan ukuran normal, deviasi septum (-), perdarahan (-), sekret (-), pus
(-), deformitas (-), nafas cuping hidup (-)

Telinga Bentuk dan ukuran normal, simetris, hiperemis (-), sekret (-), perbesaran
kelenjar getah bening auricular (-), deformitas (-)

Tenggoro Faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1), uvula berada di tengah\`


kan

Gigi dan Bibir simetris, merah, gigi utuh, mukosa mulut lembap, lesi ulseratif (-), oral
mulut thrush (-), pharynx hiperemis (-), tonsil tenang, petechiae palatum (-),
eksudat tonsil (-), uvula di tengah

Leher Leher normal, pembesaran tiroid (-). Pembesaran KGB (-).

Thorax

Jantung Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi JVP (-), heave (-), thrill (-), ictus cordis (-)

Perkusi Tidak dilakukan


Auskultasi S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-)

Paru Inspeksi Gerakan bagian paru kiri tertinggal, Barrel chest (-), pectus
excavatum (-), pectus carinatum (-), massa (-), lesi (-), rash
(-), scar (-), retraksi (-), bekas operasi (-)

Palpasi Taktil fremitus (+), menurun pada ½ bawah


lapang paru kiri, pergerakan dinding dada kiri menurun.

Perkusi Sonor pada lapang paru kanan dan dull pada ½ bawah
lapang paru kiri, batas paru hepar di ICS 5 linea
midklavikularis dextra

Auskultasi Vesikuler (+/+ menurun pada ½ bawah lapang paru),


wheezing (-/-), roki (-/-)

Abdomen Inspeksi Normal, distensi (-), caput medusa (-) , bekas luka (-), rash
(-), striae (-), ascites (-), massa (-).

Auskultasi Bunyi Bising Usus 12x/menit, Metallic sound (-), Bruit (-


)

Perkusi Normal, seluruh abdomen timpani, shifting dullness (-),


ketok CVA (-)
Palpasi Nyeri tekan epigastrik (+), nyeri lepas (-), massa (-),
hepatomegaly (-), splenomegaly (-),McBurneysign (-),
ballotement (-/-)

Ekstremita Simetris, hangat, pucat (-), sianotik (-), ikterik (-), petechiae (-), deformitas
s (-), edema (-), kuku normal, kulit ekstremitas kering (-), luka (-)

I. Pemeriksaan Penunjang

Blood Hematology (25-10-2019)

Test Result Reference Range

Full Blood Count

Haemoglobin 9.40 g/dL 13.20 – 17.30

Hematocrit 28.60% 40.00 – 52.00

Erythrocyte (RBC) 3,26 x 106/mL 4.40 – 5.90

White Blood Cell (WBC) 12,86 x 103/mL 3.80 – 10.60

Platelet Count 383.00 x 103/mL 150.00 – 440.00

MCV 87,40 fL 80.00 – 100.00

MCH 28,80 pg 26.00 – 34.00

MCHC 33,00 g/dL 32.00 – 36.00


APTT

Control 31,20 seconds 26,8 – 36,2

Patient 41,10 seconds 27,7 – 40,2

Biochemistry

SGOT (AST) 44 U/L 0 – 40

SGPT (ALT) 40 U/L 0 – 41

Ureum 23,0 mg/dL <50.00

Creatinine 0,92 mg/dL 0.5 – 1.3

eGFR 63,1ml/mnt/1,73
m2
Uric acid 5.10 mg/dl 2.6-6.0

Blood Random Glucose 196 mg/dL <200.0

Protein

Total protein 8.59 g/dl 6.40-8.90

Albumin 3.07 g/dl 3.50-5.20

Globulin 3.52 g/dl 2.0-3.50

Albumin/Globulin ratio 0.87 1.20-2.20

Electrolyte Blood Gas

Sodium (Na+) 126 mmol/L 137 – 145


Potasium (K+) 4.70 mmol/L 3.6 – 5.0

Chloride (Cl-) 91 mmol/L 98 – 107

Blood Gas Analysis

pH 7.490 7.350-7.450

PO2 78.0 mmHg 83-108

PCO2 26.2 mmHg 32.0-45.0

HCO3 19.9 mmol/L 21.0-28.0

Total CO2 20.7 mmol/L 24.0-30.0

Base excess -2.3 mmol/L (-)2.4 - (+)2.3

O2 saturation 96.7 95 - 98

Electrolyte blood gas

Sodium 130.0 mmol/L

Potassium 4.02 mmol/L

Calcium 1.12 mmol/L

Hematocrit 27 %

Aerob M.O Culture (25-10-2019)


Specimen : Blood
Result : no growth of bacteria

Irama sinus rythm, normal axis, heart rate 94 bpm, PR interval 174 ms, QRS complex 80 ms, ST
segment tidak tampak elevation, T wave tidak ada T tall, tidak ada T inverted
Kesan : Normal ECG
Imaging
Xray thorax AP/PA (25-10-2019)

Temuan :
● Paru : tampak efusi pleura pada hemithorax kiri mulai setinggi costae 7 hingga basal paru
● Mediastinum : normal
● Trakea dan bronkus : normal
● Hilus : normal
● Pleura kiri : berselubung
● Sinus costophrenicus dan diafragma kiri : berselubung
● Jantung : CTR sulit dinlai
● Aorta : Elongatio dan kalsifikasi dinding arcus
● Vertebral thorakal dan tulang-tulang lainnya : normal
● Jaringan lunak : normal
● Abdomen yang tervisualisasi : normal
● Leher yang tervisualisasi : normal

Kesan :
Efusi pleura sinistra
Elongatio dan kalsifiasi dinding arcus costa

Pemeriksaan tanggal 26-10-2019


Immunology/Serology (26-10-2019)
ANA Negative

Anti DS DNA 12.1 IU/mL (negative) Negative <100


Postive >100

C3 Compliment 157.0 mg/dL 90.0 - 180.0

C4 Compliment 37.0 mg/dL 15.0 - 57.0

CT Scan Thorax tanpa dan dengan kontras (26-10-2018)


Telah
dilakukan CT Thorax tanpa dan dengan
kontras IVlopamiro 370 mg/ml sebanyak 60 mL potongan axial mulai dari suprasternal sampai
abdomen atas.
Temuan :
Loculated efusi pleura berisi cairan kental (empyema) di basal hemithorax kiri (ukuran +/- 5.8 x
10.6 x 9.75 cm) yang mengakibatkan atelektasis kompresif lobus bawah paru kiri.
● Trakea : normal
● Karina : normal
● Bronkus utama kanan : normal
● Bronkus utama kiri : normal
● Bronkus lobaris dan segmental : normal
● Paru kanan : normal
● Paru kiri bagian lainnya : normal
● Fissura : penebalan fissura interlobaris paru kiri
● Pleura : penebalan pleura kanan
● Perikardium : normal
● Jantung : normal
● Mediastinum : normal
● Vena cava superior : normal
● Aorta : atherosclerosis
● Arteri pulmonalis : normal
● Vena brakiosephalik : normal
● Arteri subclavia kiri : normal
● Arteri karotis komunis kiri : normal
● Trunkus brakhiosefalik kanan : normal
● Kelenjar getah bening : multiple kelenjar getah bening subcentimeter di paratrachea
inferior bilateral dan subcarina
● Tulang yang tervisualisasi : arthrosis
● Esofagus : normal
● Gastroesofageal junction : normal
● Abdomen yang tervisualisasi : batu kantung empedu (diameter +/- 7 mm), kelenjar adrenal
kanan-kiri tampak prominent
Kesan :
Perempuan 70 tahun dengan perselubungan paru sinistra DD: efusi/TB/Keganasan
Pada CT scan thorax tanpa dan dengan kontras, ditemukan :
Loculated empyema di basal hemithorax kiri (ukuran +/- 5.8 x 10.6 x 9.75 cm), yang
mengakibatkan atelektasis kompresif lobus bawah paru kiri
Multiple kelenjar getah bening subcentimeter di paratrachea inferior bilateral dan
subcarina
Tidak tampak SOL/massa paru-mediastinum maupun infiltrat paru

Pemeriksaan tanggal 28-10-2019


IGRA Spot TB (28-10-2019) : Negative
Analisis cairan tubuh (28-10-2019)
Test Result Reference Range

Spesimen Pleural Fluid

Macroscopic

Color Grey Yellow


Clarity Turbid Clear

Clot formation Positive Negative

Rivalta Positive Negative

Microscopic

Cell count 397551

Differential count PMN 74 %

Differential count MN 26 %

Chemistry

Total protein (fluid) 3.90 g/dL

Total protein (serum) 5.64 g/dL

Protein Ratio 0.69

Glucose (Fluid) 2 mg/dL

Glucose (Serum) 109 mg/dL

Glucose ratio 0.02

LDH (Fluid) 52397 U/L

LDH (Serum) 303 U/L


LDH ratio 172.93

Eksudat

Adenosin Deaminase (ADA)

Spesimen Pleural Fluid

Result 146.20 U/L >40 : TB


<40 : selain TB (Empyema,
limfoma, autoimune,
parapneumonic effusion)

Microbiology (28-10-2019)
Specimen : Pleural Fluid
Procedure : Gram Stain
Result :
● Leukosit : 70-80/lpf
● Epithel : 3-5/lpf
● Bacteria not found

Aerob MO Culture (28-10-2019)


Specimen : Pleural Fluid
Result : no growth of bacteria

Fungus direct smear (28-10-2019)


Specimen : Pleural Fluid
Procedure : Gram Stain
Result : Spora not found
Fungus culture : no growth of fungi

Resume

Pasien datang dengan keluhan demam hilang timbul sejak +/- 2 minggu SMRS, demam hingga 38
C disertai dengan penurunan nafsu makan, dan batuk kering. Pasien menyangkal adanya sesak
nafas, nyeri dada. Pasien mengkonsumsi obat anti hipertensi amlodipine, valsartan disertai dengan
concor. Adapun pasien memiliki hipertensi sejak 30 tahun lalu. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan
tactile fremitus pada ½ bawah lapang paru kiri, pada chest expansion ditemukan pergerakan
dinding dada kiri tertinggal. Pada perkusi, ditemukan sonor pada lapang paru kanan namun dull
pada ½ paru kiri bawah. Pada auskultasi ditemukan bunyi paru vesikuler pada lapang paru kanan
namun bunyi paru menurun pada ½ bawah lapang paru kiri, namun tidak ditemukan ronchi ataupun
wheezing. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan Hb 9.40 g/dL, Hct 28.60, Eritrosit 3.26, WBC
12.86. Ditemukan SGOT 44 U/L, SGPT 40 U/L, albumin 3.07 g/dl, globulin 3.52 g/dl, dan
albumin/globulin ratio 0.87. Pada analisa gas darah ditemukan bahwa pasien memiliki alkalosis
metabolik terkompensasi sebagian. Pada analisa cairan pleura ditemukan bahwa pleura memiliki
warna keabuan, keruh disertai dengan pertambahan sel PMN dan MN, pada pemeriksaan kimia
ditemukan total protein 3.90, dengan rasio protein 0.69, selain itu ditemukan penurunan glukosa
yaitu 2 mg/dl, dengan LDH 52397 U/L. Pada pemeriksaan adenosin deaminase ditemukan ADA
146.29 U/L. Pada pemeriksaan xray ditemukan penampakan efusi pleura sinistra disertai dengan
elongatio dan kalsifikasi dinding arcus costa. Pada pemeriksaan CT scan ditemukan loculated
empyema pada basal hemithorax kiri ukuran +/- 5.8 x 10.6 x 9.75 cm yang mengakibatkan
atelektasis kompresif lobus bawah paru kiri.

Diagnosa kerja
● Loculated empyema dengan atelektasis kompresif lobus bawah paru kiri
● Hipertensi
● Alkalosis metabolik terkompensasi sebagian
● Anemia, hipoalbumin, hiponatremia
● Elevated liver enzymes??

Diagnosa banding
● Effusi pleura
● Hydrothorax /Pyo pneumothorax
● Lung abscess

Tatalaksana
Medikamentosa (25-10-2019) :
● Sulferazone IV 2 gr BD
● Tamoliv (paracetamol) IV 1 gr TDS
● Casprin (aspirin) PO 100 gr OD
● Concor (beta blocker) 2.5 mg OD
● Exforge (amlodipine, valsartan) PO 5/100 OD
Non medikamentosa :
Pro pungsi pleura (29-10-2019)
Pro pemasangan WSD (30-10-2019)
Pro thoracotomy dekortikasi (11-11-2019)
Follow up

Hari/tanggal Follow up

26/10/2019 S : batuk keluar dahak berwarna putih. Demam sudah tidak ada, sesak tidak
disangkal
O:
Kesadaran compos mentis, GCS 15
TTV : TD 120/80, HR : 82, RR : 19, T : 36.5
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/+. +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
A : Effusi pleura sinistra, Hipertensi
P : konsultasi ke dr. Paru
● Sulferazone IV 2 gr BD
● Tamoliv (paracetamol) IV 1 gr TDS
● Casprin (aspirin) PO 100 gr OD
● Concor (beta blocker) 2.5 mg OD
● Exforge (amlodipine, valsartan) PO 5/100 OD
● Flumucil (acetylcysteine) PO 600 mg OD

27/10/2019 S : sesak tidak ada, terkadang dada terasa berat saat menarik napas
O:
Kesadaran compos mentis, GCS 15
TTV : TD 120/70, HR : 80, RR : 20, T : 36.0
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/+. +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
Hasil CT scan thorax : loculated empyema basal hemithorax kiri dengan
atelektasis
A : Loculated empyema sinistra, atelektasis, hipertensi
P:
● Sulferazone IV 2 gr BD
● Tamoliv (paracetamol) IV 1 gr TDS
● Casprin (aspirin) PO 100 gr OD
● Concor (beta blocker) 2.5 mg OD
● Exforge (amlodipine, valsartan) PO 5/100 OD
● Flumucil (acetylcysteine) PO 600 mg OD

28/10/2019 S : sesak tidak ada, demam muncul semalam


O:
Kesadaran compos mentis, GCS 15
TTV : TD 130/80, HR : 78, RR : 20, T : 37.8
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/+. +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
A :Effusi pleura sinistra curiga empyema, Hipertensi
P:
Pro USG thorax
Pro pungsi cairan pleura
Mantoux test
● Sulferazone IV 2 gr BD
● Tamoliv (paracetamol) IV 1 gr TDS
● Flagyl (metronidazole) IV
● Casprin (aspirin) PO 100 gr OD
● Concor (beta blocker) 2.5 mg OD
● Exforge (amlodipine, valsartan) PO 5/100 OD

29/10/2019 S : tidak ada keluhan


O:
Kesadaran compos mentis, GCS 15
TTV : TD 110/70, HR : 80, RR : 18, T : 36.0
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/+. +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
A : Effusi pleura sinistra, Hipertensi
P:
Pro pemasangan WSD
● Sulferazone IV 2 gr BD
● Tamoliv (paracetamol) IV 1 gr TDS
● Flagyl (metronidazole) IV
● Casprin (aspirin) PO 100 gr OD
● Concor (beta blocker) 2.5 mg OD
● Exforge (amlodipine, valsartan) PO 5/100 OD
● Medixon IV 6.25 mg TDS
● Esofer (esomeprazole) IV 40 mg BD

30/10/2019 S : nyeri pada tempat pemasangan WSD


O:
Kesadaran compos mentis, GCS 15
TTV : TD 130/80, HR : 88, RR : 20, T : 37.0
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/+. +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
Lab :

Test Result Reference range

Haemoglobin 8.90 g/dL 13.20 – 17.30

Hematocrit 27.70% 40.00 – 52.00

Erythrocyte (RBC) 3,13 x 106/mL 4.40 – 5.90

White Blood Cell 10,42 x 103/mL 3.80 – 10.60


(WBC)

Differential Count

Basophil 0 0-1

Eosinophil 0 1-3

Band neutrophil 3 2-6

Segment neutrophil 88 50-70

Lymphocyte 7 25-40

Monocyte 2 2-8

Platelet Count 395.00 x 103/mL 150.00 – 440.00

MCV 88,50 fL 80.00 – 100.00

MCH 28,40 pg 26.00 – 34.00

MCHC 32,10 g/dL 32.00 – 36.00


Ureum 26.0 mg/dL <71.00

Creatinine 0.60 mg/dL 0.5-1.1

eGFR 92.4 >=60 normal kidney


function
Immunology/serology
CRP-Hs : 87.11 mg/L (reference range 0-9)
Procalcitonin (PCT) : 0.10 ng/mL
● <0.5 : local bacterial infection is possible
● >0.5 and <2.0 : systemic infection (sepsis) is possible
● >2.0 and <10.0 : systemic infection (sepsis) is likely, unless other
causes are known
● >10.0 : important systemic inflammatory response, almost
exclusively due to severe bacterial sepsis or septic shock
Aerob MO culture
● Specimen : pleural fluids
● Result : no growth of bacteria
A : Empyema sinistra on WSD (day 1), Hipertensi
P:
● Sulferazone IV 2 gr BD
● Tamoliv (paracetamol) IV 1 gr TDS
● Esofer IV 40 mg BD
● Medixon IV 6.25 mg TDS
● Avelox (moxifloxacin HCL) IV 40mg OD
● Casprin (aspirin) PO 100 gr OD
● Concor (beta blocker) 2.5 mg OD
● Exforge (amlodipine, valsartan) PO 5/100 OD
● Flumucil (acetylcysteine) PO 600 mg OD

31/10/2019 S : nyeri pada tempat pemasangan WSD, sesak tidak ada


O:
Kesadaran compos mentis, GCS 15
TTV : TD 110/80, HR : 90, RR : 16, T : 37.0
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/+. +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
Pada WSD keluar Pus
Test Result Reference range

Haemoglobin 10.40 g/dL 13.20 – 17.30

Hematocrit 31.60 % 40.00 – 52.00

Erythrocyte (RBC) 3.85 x 106/mL 4.40 – 5.90

White Blood Cell 18.23 x 103/mL 3.80 – 10.60


(WBC)

Platelet Count 351.00 x 103/mL 150.00 – 440.00

MCV 86,60 fL 80.00 – 100.00

MCH 28,50 pg 26.00 – 34.00

MCHC 32,90 g/dL 32.00 – 36.00

Total protein 5.58 g/dL 6.40-8.20

Albumin 2.29 g/dL 3.50-5.20

Globulin 3.29 g/dL 2.00-3.50

Albumin/globulin 0.70
ratio

Ureum 37.0 mg/dL <71.00

Creatinine 0.63 mg/dL 0.5-1.1

eGFR 90.9 >=60 normal kidney


function

Sodium (Na) 131 mmol/L 137-145

Potassium (K) 3.8 mmol/L 3.6-5.0

Chloride (Cl) 112 mmol/L 99-107

A : Empyema sinistra on WSD (day 2), Hipertensi


P:
● Sulferazone IV 2 gr BD
● Tamoliv (paracetamol) IV 1 gr TDS
● Esofer IV 40 mg BD
● Medixon IV 6.25 mg TDS
● Avelox (moxifloxacin HCL) IV 40mg OD
● Casprin (aspirin) PO 100 gr OD
● Concor (beta blocker) 2.5 mg OD
● Exforge (amlodipine, valsartan) PO 5/100 OD
● Flumucil (acetylcysteine) PO 600 mg OD

4/11/2019 S : sesak tidak ada, pasien mengeluhkan mulut kering, lidah kotor
O:
Kesadaran compos mentis, GCS 15
TTV : TD 110/70, HR : 86, RR : 18, T : 36.8
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/+. +/+, +/-, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
WSD : undulasi +, bubble -, WSD aktif
CT thorax non contrast
Temuan :
● Masih tampak locculated pleural effusion kiri dengan udara dan
cairan kental di dalamnya yang mengakibatkan atelektasis kompresif
hampir seluruh lobus inferior paru kiri kecuali segmen apikal
● Telah terpasang WSD setinggi costae 6-7 lateral kiri dengan tip di
dalam locculated pleural effusion kiri
● Effusi pleura kanan ringan
● Dibandingkan dengan CT scan 26/10/2010, empyema kiri tampak
mengecil, saat ini curiga granuloma kecil di lobus medius paru
kanan
A : Empyema sinistra on WSD (day 6), hipertensi, candida oral
P:
● Sulferazone IV 2 gr BD
● Tamoliv (paracetamol) IV 1 gr TDS
● Esofer (esomeprazole) IV 40 mg BD
● Avelox (moxifloxacin HCL) IV 40mg OD
● Diflucan (fluconazole) 2 mg IV OD
● Casprin (aspirin) PO 100 gr OD
● Concor (beta blocker) 2.5 mg OD
● Exforge (amlodipine, valsartan) PO 5/100 OD
● Flumucil (acetylcysteine) PO 600 mg OD
● Mycostatin drop PO 4 cc TDS

8/11/2019 S : sesak disangkal


O:
Kesadaran compos mentis, GCS 15
TTV : TD 120/80, HR : 90, RR : 20, T : 37.2
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/menurun, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
WSD : undulasi +, bubble -, WSD aktif

Test Result Reference range

Haemoglobin 12.10 g/dL 13.20 – 17.30

Hematocrit 37.90 % 40.00 – 52.00

Erythrocyte (RBC) 4.32 x 106/mL 4.40 – 5.90

White Blood Cell 9.25 x 103/mL 3.80 – 10.60


(WBC)

Platelet Count 300.00 x 103/mL 150.00 – 440.00

MCV 87.70 fL 80.00 – 100.00

MCH 28.00 pg 26.00 – 34.00

MCHC 31.90 g/dL 32.00 – 36.00

Protrombin time

Control 11.0 seconds 8.8-12.0

Patient 11.0 seconds 9.4-11.3

APTT

Control

Patient

Ureum 37.0 mg/dL <71.00

Creatinine 0.63 mg/dL 0.5-1.1


eGFR 90.9 >=60 normal kidney
function

Sodium (Na) 131 mmol/L 137-145

Potassium (K) 3.8 mmol/L 3.6-5.0

Chloride (Cl) 112 mmol/L 99-107

A : Empyema sinistra on WSD, pro dekortikasi

11/11/2019 S: Pasien post operasi dekortikasi paru dan clrome lobe inferior dan fascia
Keluhan post op: nyeri pada area operasi

O: Kesadaran compos mentis, GCS 15


TTV : TD 130/70, HR : 90, RR : 19, T : 37.2 SpO2: 99%
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/menurun, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
WSD : undulasi +, bubble -, WSD aktif

A: post dekortikasi paru atas indikasi empyema sinistra

Hasil foto thorax


Paru: masih tampak perselubungan pada lapangan bawah paru kiri
Mediastinum: normal
Trakea dan bronkus: normal
Hilus: normal
Pleura: normal
Diafragma: normal
Jantung: CTR>50%
Aorta: elongasi dan kalsifikasi dinding arcus
Vertebra thorakal dan tulang tulang lainnya: normal
Jaringan lunak: normal
Abdomen yang tervisualisasi: normal
Leher yang tervisualisasi: normal
Ujung WSD menuju hemithorax kiri
12/11/19 S: nyeri pada area operasi, sesak (-)

O: Kesadaran compos mentis, GCS 15


TTV : TD 125/70, HR : 88, RR : 14, T : 37.2 SpO2: 100% on NC 3 lpm
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/menurun, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
WSD : produksi 600 ml

A: post dekortikasi paru atas indikasi empyema sinistra

P
Hasil foto thorax
Paru: masih tampak perselubungan pada lapangan bawah paru kiri, relatif
bertambah (dibandingkan dengan foto 11/11/19)
Mediastinum: normal
Trakea dan bronkus: normal
Hilus: normal
Pleura: normal
Diafragma: normal
Jantung: CTR>50%
Aorta: elongasi dan kalsifikasi dinding arcus
Vertebra thorakal dan tulang tulang lainnya: normal
Jaringan lunak: normal
Abdomen yang tervisualisasi: normal
Leher yang tervisualisasi: normal
Ujung WSD menuju hemithorax kiri

16/11/19 S: Pasien post operasi dekortikasi paru dan lobe inferior dan facsia
Keluhan post op: nyeri pada area operasi

O: Kesadaran compos mentis, GCS 15


TTV : TD 130/70, HR : 90, RR : 19, T : 37.2 SpO2: 99%
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/menurun, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
WSD : undulasi +, bubble -, WSD aktif

A: post dekortikasi paru atas indikasi empyema sinistra


P
Hasil foto thorax
Paru: masih tampak perselubungan pada lapangan tengah-bawah paru kiri
(dibandingkan dengan foto 12/11/19)
Mediastinum: normal
Trakea dan bronkus: normal
Hilus: normal
Pleura: normal
Diafragma: normal
Jantung: CTR>50%
Aorta: elongasi dan kalsifikasi dinding arcus
Vertebra thorakal dan tulang tulang lainnya: normal
Jaringan lunak: normal
Abdomen yang tervisualisasi: normal
Leher yang tervisualisasi: normal
Ujung WSD menuju hemithorax kiri

Hasil Pus Kultur:

20/11/19 S: nyeri dapat ditoleransi, batuk sudah berkurang

O: Kesadaran compos mentis, GCS 15


TTV : TD 130/70, HR : 90, RR : 19, T : 37.2 SpO2: 99%
Conjungtiva anemis -, sclera ichteric -
Thorax :
VBS +/menurun, Rh -/-, Wh -/-
S1 S2 reguler, murmur -, gallop -
Abdomen : supel, BU +
Ekstremitas : akral hangat, edema -/-
WSD : undulasi +, bubble -, WSD aktif

A: post dekortikasi paru atas indikasi empyema sinistra

P:
Hasil foto thorax
Paru: masih tampak perselubungan pada lapangan tengah-bawah paru kiri
(dibandingkan dengan foto 16/11/19)
Mediastinum: normal
Trakea dan bronkus: normal
Hilus: normal
Pleura: normal
Diafragma: normal
Jantung: CTR>50%
Aorta: elongasi dan kalsifikasi dinding arcus
Vertebra thorakal dan tulang tulang lainnya: normal
Jaringan lunak: normal
Abdomen yang tervisualisasi: normal
Leher yang tervisualisasi: normal
Ujung WSD menuju hemithorax kiri

22/11/19 Hasil foto thorax


Paru: masih tampak perselubungan pada lapangan bawah paru kiri
(dibandingkan dengan foto 20/11/19, relatif berkurang)
Mediastinum: normal
Trakea dan bronkus: normal
Hilus: normal
Pleura: normal
Diafragma: normal
Jantung: CTR>50%
Aorta: elongasi dan kalsifikasi dinding arcus
Vertebra thorakal dan tulang tulang lainnya: normal
Jaringan lunak: normal
Abdomen yang tervisualisasi: normal
Leher yang tervisualisasi: normal
Ujung WSD menuju hemithorax kiri

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi

Thorax

Thorax merupakan suatu rongga yang berbentuk seperti silinder berbentuk ireguler dengan
pembukaan yang sempit yaitu superior thoracic aperture dan bagian inferior yang luas yaitu
inferior thoracic aperture. Adapun kavitas thorax dikelilingi oleh dinding thorax dan diafragma,
dan dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu:

1. Kavitas pleura kanan dan kiri yang masing-masing mengelilingi paru

2. Mediastinum
Kavitas pleura terpisah satu sama lainnya dengan adanya mediastinum. Dengan demikian, adanya
tanda abnormalitas pada 1 pleura tidak tentu akan berefek pada kavitas pleura lainnya. Dengan
demikian, mediastinum juga dapat diakses secara pembedahan tanpa membuka kavitas pleura.
Adapun kavitas pleura terekstensi diatas level iga ke 1. Apex dari paru sampai pada basis dari
leher. Dengan demikian, jika ada abnormalitas pada leher, hal ini dapat memengaruhi pleura dan
paru dibawahnya dan sebaliknya.1

Adapun thorax dibagi menjadi beberapa komponen :

1. Dinding dada (thoracic wall) : terbagi dari beberapa tulang dan otot yakni discus
intervertebralis pada sisi posterior, lateral oleh iga, dan anterior oleh sternum.

2. Superior thoracic aperture : superior thoracic aperture terdiri dari vertebra T1 pada
posteriornya, dan medial rib 1 pada masing-masing sisi, dan manubrium secara anterior.

3. Inferior thoracic aperture : inferior thoracic aperture ditutupi oleh diafragma, dan struktur
antara abdomen dan thorax akan menembus diafragma.

4. Diafragma : merupakan otot yang menutupi inferior thoracic aperture. Diafragma


membentuk struktur seperti balon pada superiornya, dan untuk sisi kanan kiri nya, diafragma
membentuk struktur seperti kubah. Adapun kubah sisi kanan lebih tinggi dibandingkan kiri,
yakni berada pada iga ke 5. Saat diafragma kontraksi, tinggi dari kubah ini akan menurun saat
volume thorax meningkat. Adapun esofagus dan inferior vena cava akan melewati diafragma
pada TX dan TVIII, dan aorta menyebrang pada level TXII.

5. Mediastinum : mediastinum merupakan partisi yang berekstensi dari sternum pada sisi
anterior, hingga vertebra thoracalis pada posteriornya, selain itu menghubungkan superior
thoracic aperture dengan inferior thoracic aperture. Adapun mediastinum melewati vertebra
TIV dan TV. Bagian bawahnya terbagi oleh pericardium menjadi bagian atas, tengah (berisi
jantung) dan bawah.

6. Kavitas pleura : kavitas pleura berada pada kedia sisi mediastinum. Setiap paru
menyambung dengan mediastinum degan adanya jalan napas, pembuluh darah pulmoner,
kelenjar KGB dan saraf Adapun pleura yang mengelilingi dinding kavitas pleura adalah
parietal pleura, sedangkan yang merefleksikan mediastinum dan menempel pada paru disebut
visceral pleura. Adapun diantaranya terdapat suatu ruangan potensial yang membantu
pernapasan.1
Neurovascular supply thoracic wall

Pembuluh darah arteri menuju dinding dada terdiri dari 2 sumber yaitu :

1. Aorta thoracalis pada mediastinum posterior mempercabangkan arteri


intercostalis

2. Sepasang pembuluh darah arteri thoracica interna yang berjalan pada bagian
dalam anterior thoracic wall pada kedua sisi sternum.

3. Arteri intercostalis posterior yang berasal dari pembuluh pada dinding dada
posterior. Kedua bagian teratas artery intercostalis posterior pada masing-masing sisi
merupakan percabangan dari arteri intercostal suprema yang merupakan cabang
trunkus costocervicalis pada leher. Trunkus costocervicalis merupakan cabang
posterior dari arteri subclavia.1

Pembuluh posterior dan anterior intercostal memiliki percabangan yang


berbentuk segmental dari arteri dan secara lateral mengelilingi dinding dada, terutama
pada inferior margin setiap costae. Beriringan dengan pembuluh ini adalah nervus
intercostalis yang mempersyarafi dinding dada, parietal pleura, dan kulit sekitarnya.
Dermatom dari thorax secara general menggambarkan adanya organisasi secara
segmental dari nervus spinalis. Namun, pada bagian anterior dan superior dari T1,
persyarafan berada mayoritas pada ekstremitas atas dan bukan pada dada. Adapun bagian
anterosuperior dada mendapatkan persyarafan dari percabangan anterior ramus c4 via
supraclavicular branch cervical plexus. Adapun system saraf simpatetik djalankan oleh
corda spinalis pada level T1 hingga L2. Adapun persyarafan dari diafragma dipersyarafi
oleh 2 saraf phrenic yang berasal dari masing-masing sisi, sebagai percabangan dari
cervical plexus dari leher yaitu dari nervus cervicalis c3,c4,dan c5. Nervus phrenicus
berasal secara vertical dari leher, dan mediastinum untuk mempersyarafi diafragma.1
Ruangan intercostal antara 2 tulang iga dipenuhi oleh musculus intercostalis. Saraf
intercostalis disertai oleh arteri dan vena berada di sepanjang costal groove pada sisi inferior iga,
diantara 2 lapisan otot. Pada setiap ruang intercostalis, struktur paling superior merupakan vena,
yakni stuktur yang paling dekat dengan costal groove. Arteri berada inferior dari vena, dan nervus
berada inferior dari arteri dan tidak diproteksi oleh costal groove. Dengan demikian, nervus
merupakan struktur yang paling beresiko untuk terkena saat ada benda yang memperforasi bagian
atas dari ruang intercostal. Beberapa collateral dari saraf intercostal dan pembuluh darah
interkostalis biasa berada pada bagian superior maupun inferior dari iga. Dibawah ruangan
intercostal dan iga, ada endothoracic fascia yang memisahkan struktur ini dari pleura dibawahnya
yang mengandung lemak. Superficial dari ruang ini adalah deep fascia, superficial fascia, dan
kulit.2

KAVITAS PLEURA

Ada 2 kavitas pleura yang berada pada kedua sisi mediastinum mengelilingi paru. Pada sisi
superior, kavitas pleura berekstensi diatas iga I sampai bawah leher, secara inferior sampai atas
batas costa dan batas medialnya merupakan mediastinum. Setiap kavitas pleura dikelilingi oleh
selapis sel pipih yakni mesothelium yang juga memiliki struktur jaringan ikat sehingga dapat
menopang pleura. Pleura dibagi menjadi 2 tipe berdasarkan lokasinya yaitu parietal pleura yang
menempel pada dinding dada, dan pleura yang menempel pada paru yaitu visceral pleura. Diantara
kedia lapisan ini secara normal dilapisi oleh lapisan tipis cairan serous untuk membantu pergerakan
dada saat bernapas. Adapun pleura terbagi menjadi beberapa sisi tergantung dari bagian organ
lain yang menempel terhadap pleura. 1

Pertama-tama,
parietal pleura dapat terbagi
menjadi 4 bagian yaitu bagian
costa, diafragma,
mediastinum, dan
cervical. Adapun pleura parietal
diinervasi oleh saraf somatik
aferen. Pleura costalis
diinervasikan cabang
nervus intercostal, dengan demikian nyeri akan dirasakan pada dinding dada. Pleura diafragmatik
dan mediastinal dipersyarafi oleh nervus phrenicus (berasal dari c3, c 4, dan c5) sehingga nyeri
pada bagian ini akan dialihkan sesuai dermatome ke regio lateral cervical hingga regio
supraclavicular bahu. 2
Refleksi perifer dari parietal pleura secara superior berada 3-4 c, diatas costa pertama
namun tidak melebihi leher costa 1 dikarenakan bentuk costa 1 yang secara normal berada pada
bentuk yang condong kearah inferior. Pada bagian anterior, kavitas pleura mengikuti bentuk
sternum, namun pada bagian posteriornya pleura kiri tidak menutup pada midline karena adanya
jantung. Pada bagian inferior, pleura costalis merefleksikan diafragma diatas batas costa. Pleura
visceralis secara continyu bergabung dengan pleura parietalis pada hilum paru. Visceral pleura
menempel pada permukaan paru dan diinervasi oleh visceral afferent nerve yang juga berjalan
bersamaan dengan pembuluh darah bronkial. Pada pleura, ada pleural recess yakni bagian dimana
paru tidak secara komplit memenuhi bagian anterior atau posteroinferior kavitas pleura. Dengan
demikian, recess terbentuk dimana 2 lapisan parietal pleura teroposisi. Ekspansi par uke ruang ini
biasanya hanya terjadi pada saaat inspirasi paksa. Selain itu, ruang recess juga menyediakan
ruangan potensial dimana cairan dapat berkumpul dan menjadi tempat untuk aspirasi.2

1. Costomediastinal recess : secara anterior, costomediastinal recess timbul pada


masing-masing sisi dimana pleura costalis bertemu dengan mediastinal pleura. Ruang ini berada
paling banyak pada sisi kiri regio yang melindungi jantung.

2. Costodiaphragmatic recess : merupakan ruangan recess terbesar dimana costal


pleura bertemu dengan diaphragmatic pleura. Ruang ini berada pada sisi inferior paru dan sisi
inferior kavitas pleura. Ruang ini paling besar saat diadakannya ekspirasi paksa dan paling kecil
disaat seorang melakukan inspirasi paksa. 1
FISIOLOGI

ASPEK MEKANIK PARU DAN DINDING DADA

Paru dan dinding dada memiliki properti elastis. Paru-paru memiliki ukuran tertentu pada
saat istirahat dimana tidak ada tekanan internal ataupun eksternal yang diberikan terhadap paru,
dan deviasi apapun dari volume resting akan memerlukan adanya tekanan tambahan. Untuk
mengembangkan paru, dibutuhkan tekanan positif ke ruang udara, dan hal ini dapat dicapai dengan
adanya tekanan positif melalui saliran napas. Selain itu, untuk mengembangkan paru juga dapat
mengaplikasikan tekanan negative diluar paru untuk membuat paru mengembang. Dengan
demikian, diperlukan positive transpulmonary pressure, yaitu tejabab didalam paru relative
terhadap tekanan diluar paru. Tekanan internal dapat dibuat positif, ataupun tekanan eksternal
dapat dibuat negative. Tekanan internal didapatkan dari tekanan alveolar, sedangkan tekanan
eksternal berasal dari kavitas pleura. Dengan demikian, transpulmonary pressure adalah alveolar
pressure dikurangi dengan pleural pressure. Untuk udara berada didalam paru, dibutuhkan adanya
tekanan pleura yang lebih rendah dibandingkan dengan tekanan alveolar.3

Hubungan antara transpulmonary pressure dan volume paru dapat dideskripsikan dengan
compliance curve of lung. Disaat tekanan transpulmoner meningkat, volume paru akan meningkat.
Namun, hubungan ini bukanlah linear namun membentuk suatu kurva. Pada volue yang tinggi,
paru akan mencapai batas distensibilitas, dan tekanan transpulmonary yang tinggi pun tidak dapat
meningkatka volume paru secara signifikan. Dinding dada memiliki karakter serupa dengan per.
Meskipun volume istirahat (resting volume) tinggi, distorsi volume menjadi tinggi ataupun rendah
tetap membutuhkan tekanan dari luar. Adapun compliance curve pada dinding dada memiliki relasi
terhadap volume dari dinding dada dan tekanan yang mengelilingi nya. Kurva pada compliance
curve mendatar pada saat volume paru minimal dimana dinding dada akan menjadi relative kaku.
3

Kavum pleura secara normal hanya terdiri dari sedikit cairan. Cairan ini berfungsi untuk
melubrikasi permukaan pleura antara pleura visceral ataupun parietal. Terbentuknya cairan ini
terutama berasal dari parietal pleura, kemudian cairan ini direabsorbsi melalui stomata kemudian
pada pembuluh limfatik pada parietal pleura. Kecepatan normal pembentukan dan reabsorbsi
cairan ini harus seimbang sehingga kuantitas cairan dari kavum pleura tidak berubah yakni sekitar
15-20 ml/hari. Cairan pada kavitas pleura merupakan hasil ultrafiltrasi dari kapiler pleura. Ada
beberapa tekanan yang dapat mempromosikan ataupun mencegah filtrasi. Tekanan hidrostatik
pada kapiler akan membuat cairan keluar dari pembuluh menuju kavum perikapiler. Sedangkan
tekanan osmotic koloid akan mencegah pergerakan cairan keluar dari kapiler. 3,4

Pada visceral pleura, kapiler visceral pleura disuplai oleh sirkulasi arterial sistemik yang
memiliki drain ke sirkulasi vena pulmoner dan bukan sistemik. Tekanan hidrostatik pada pleura
visceralis diestimasikan untuk lebih rendah dibandingkan tekanan pada parietal pleura. Dengan
demikian, tekanan untuk pembentukan cairan pleura lebih besar pada parietal pleura dibandingkan
visceral dan cairan pleura ditemukan lebih banyak berasal dari filtrasi melalui kapiler sistemik
pleura parietal. Adapun penyerapan dari cairan pleura termasuk protein dan sel terjadi melalui
stomata antara sel mesothelium dan permukaan parietal pleura. Cairan akan memasuki pembuluh
limfatik, dan katup pada alur ini akan memastikan aliran yang unidirectional. Pergerakan cairan
melalui limfatik juga dibantu oleh pergerakan dada saat bernapas. Pada saat cairan pleura
meningkat pembentukannya, pembuluh limfatik dapat meningkatkan alirannya untuk
mengakomodasi adanya pertambahan cairan melalui batas normalnya. 4

Latar Belakang

Empyema
adalah suatu kondisi dimana
adanya pus pada rongga
pleura. Adapun infeksi pada
pleura merupakan hal yang
penting untuk diperhatikan
karena adanya mortalitas
yang tinggi pada dewasa
meskipun dengan pengobatan
yang modern. Adapun
infeksi pada pleura merupakan salah satu bentuk infeksi yang tertua dan paling berbahaya.
Didokumentasikan bahwa Hippocrates 2000 tahun lalu melakukan drain kavitas pleura untuk
mengobati empyema.5

Empyema merupakan kondisi yang dapat dialami semua orang, dimana beragam pasien
datang dari kelompok umur, jenis kelamin, dan etnisitas yang berbeda dari 65.000 pasien yang
terdata di Britania Raya dan Amerika.6 Pada negara berkembang, diketahui bahwa insidensi
empyema terus meningkat, termasuk pada populasi anak. Empyema sangat penting untuk
didiagnosa secara dini karena mortalitas empyema yang cenderung cukup tinggi meskipun dengan
diadakannya pengobatan yang sufisien.7 Adapun angka kematian empyema berkisar antara 5-30%
setelah pemberian antibiotic, drainase pleura dan dekortikasi. Penelitian oleh Sahn (2007)
menyatakan bahwa 5-10% pasien dengan pneumonia yang dirawat di rumah sakit berkembang
menjadi empyema dan angka kematian meningkat signifikan pada pasien pneumonia dengan
empyema.8

Tren insidensi empyema sempat mengalami penurunan sejak ditemukannya antibiotik.


Namun, sekarang ditemukan bahwa insidensi empyema perlahan meningkat kembali. Sebuah studi
oleh Farjah et al (2007) menemukan insidensi empyema meningkat sebesar 2.8 % per tahun antara
tahun 1987 hingga 2004.9 Hal ini didukung oleh penelitian oleh Light (2006) yang menyatakan
bahwa 20-40% pasien yan dirawat dengan pneumonia memiliki efusi parapneumonic dan 5-10%
menjadi empyema, atau sekitar 32.000 pasien per tahunnya.10

Penyebab timbulnya empyema dapat berbagai macam, namun, hal ini biasanya disebabkan
dari komplikasi pneumonia. Di lain sisi, empyema juga dapat disebabkan dari adanya trauma dada
yang menusuk, rupture esofagus, komplikasi operasi paru, ataupun inokulasi kavitas pleura setelah
thoracentesis ataupun pemasanan chest tube. Empyema juga dapat disebabkan adanya penyebaran
infeksi dari abses subdiafragma ataupun paravertebral.11 Dengan demikian, penting untuk
membahas mengenai empyema secara menyeluruh karena dengan diagnose yang cepat,
diharapkan inisiasi pengobatan yang lebih cepat dapat menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas pasien.

ETIOLOGI

Sekitar 20% pasien dengan pneumonia memiliki efusi parapneumonic yang berkembang
menjadi empyema. Adapun 70% pasien dengan empyema memiliki efusi parapneumonic, dimana
30% pasien lainnya memiliki empyema yang diasosiasikan dengan trauma, riwayat pembedahan
dada, rupture esofagus, infeksi servikal, ataupun empyema yang tidak disertai dengan pneumonia
sebelumnya ataupun intervensi sebelumnya ataupun yang dikenal sebagai empyema primer.12
Etiologi dari empyema biasanya merupakan sumber infeksi yang sama dengan pneumonia,
dimana kuman dapat didapatkan dari komunitas (community acquired) ataupun rumah sakit
(hospital acquired). Pada empyema community acquired, yang biasa ditemukan adalah akteri gram
positif seperti spesies Streptococcus. Namun, dapat juga ditemukan bakteri gram negatif, dimana
hal ini biasanya diasosiasikan dengan adanya faktor komorbid pada pasien, yakni pada pasien
dengan penyalahgunaan alcohol, gastro esophageal reflux disease (GERD) dan diabetes. Pada
empyema hospital acquired, bakteri yang umum ditemukan adalah Staphylococcus aureus,
Methicillin resistant S. aureus, dan Pseudomonas. Pada empyema yang berkaitan dengan trauma
ataupun intervensi luar, bakteri yang paling umum ditemukan adalah S. aureus. Meskipun jarang
ditemukan, bakteri anaerob ditemukan pada 20% pasien dengan empyema, namun angka ini
meningkat menjadi 70% pada pemeriksaan amplifikasi DNA. Dengan demikian, sangat disarankan
untuk obat yang diberikan agar juga mencakup bakteri anaerob. Di lain sisi, empyema yang
disebabkan oleh fungus sangat sedikit, dan fngus yang paling mungkin ditemukan adalah spesies
Candida, dimana hal ini diasosiasikan dengan tingkat mortalitas yang tinggi.13 Adapun beberapa
bakteri yang sering menyebabkan empyema dapat dirangkum pada table berikut.
EPIDEMIOLOGI

Empyema di Amerika Serikat diprediksikan untuk mencapai 6 kasus per 100.000 penduduk,
dimana populasi yang paling rentan merupakan individu dengan resiko aspirasi yakni pasien
dengan stroke, demensia, alcoholism, GERD. Meskipun insidensi empyema menurun pada tahun
1940 karena ditemukannya antibiotic, tren empyema sekarang justru meningkat dengan mulai
meningkatnya resistensi antibiotic. Adapun bakteri yang paling sering diasosiasikan dengan
perubahan pneumonia menjadi empyema adalah bakteri Stapylococcus aureus. 12

RISK FACTORS

Ada beberapa faktor resiko yang diasosiasikan dengan perubahan pneumonia menjadi empyema
diantara lain diabetes mellitus, penggunaan obat-obat terlarang via intravena, imunosupresi,
GERD, penyalahgunaan alcohol, aspirasi, kesehatan gigi yang buruk. Selain itu ditemukan adanya
asosiasi antara penggunaan inhalasi glukokortikoid untuk asma dan PPOK yang menurunkan
insidensi efusi parapneumonic. Penyebab asosiasi ini masih belum jelas, namun diprediksikan
bahwa hal ini terjadi karena adanya perubahan respons inflamasi dari inhalasi glucokortikoid
ataupun karena pasien dengan asma atau COPD berobat rutin dan menemui dokter pada saat
empyema belum parah. Selain itu, faktor resiko lain adalah adanya efusi pleura sebelumnya,
dimana hal ini akan mendukung pertumbuhan organisme pada kavitas pleura dan hal ini dapat
menjadi faktor resiko untuk infeksi ruang pleura. Meskipun jenis kelamin bukanlah faktor resiko
tunggal pada empyema, ditemukan bahwa 65% pasien empyema adalah laki-laki. Hal ini mungkin
dapat disebabkan karena faktor resiko lain yang cenderung ada pada laki-laki termasuk penyalah
gunaan alkohol dan terlambatnya pasien datang untuk berobat. Di lain sisi, ada peningkatan resiko
empyema pada usia <5 tahun dan >64 tahun, dimana tercatat 7.6 dan 9.9 kasus per 100.000
penduduk, dimana pada usia 5-64 angka ini menurun signifikan yaitu sekitar 1.9-5.4 kasus per
100.000 penduduk.14

PATOFISIOLOGI

Empiema terjadi dalam beberapa tahapan. Empiema biasanya didahului dengan adaya effuse
dimana ada ketidakseimbangan antara produksi dan reabsorpsi cairan pleura. Pertama-tama, ada
proses inflamasi seperti pada pneumonia, dimana adanya peningkatan produksi cairan ke kavitas
pleura atau yang dikenal sebagai proses eksudasi. Sesuai dengan perjalanan penyakit, maka
mikroorganisme, biasanya bakteri akan berkolonisasi ke cairan tersebut dan membentuk
empyema. Cairan ini ditandai dengan peningkatan lactate dehydrogenase, protein, neutrophil dan
sel yang mati. Secara makroskopis terlihat bahwa cairan kental dan opaque. Setelah adanya
resolusi dari infeksi, dan hasil dari inflamasi, maka terjadi proses fibrosis yang dapat menyebabkan
adanya restriksi dari jaringan parenkim paru. Adapun tahapan empyema adalah sebagai berikut:

1. Tahap eksudatif

Pada tahapan ini terjadi peningkatan sitokin proinflamasi seperti IL-8 dan TNF a sehingga
menyebabkan peningkatan cairan ke pleura karena faktor proinflamasi ini dapat meningkatkan
permeabilitas pembuluh kapiler. Adapun cairan ini merupakan cairan normal dimana cairan
eksudat ditandai dengan jumlah leukosit rendah, LDH cairan pleura ½ caira serum, dan kadar pH
dan glukosa dalam batas normal, serta cairan tidak memiliki bakteri. Pada tahapan ini, jika segera
ditangani dengan antibiotic, maka efusi pleura dapat sembuh spontan. Pada tahapan ini, maka
secara perjalanan klinis empyema, pasien dapat didiagnosa dengan efusi parapneumonia sederhana
(simple parapneumonic effusion). Kata simple mengacu kepada efusi yang dapat sembuh sendiri
tanpa adanya tindakan pembedahan. Hal ini dikarenakan belum adanya aktivitas bakteri dan
leukosit pada cairan pleura.

2. Tahap fibropurulen

Pada tahapan ini, efusi pleura pada tahap ekudatif akan terus mengalami inflamasi dan berubah
pada tahapan selanjutnya, dimana adanya peningkatan cairan pleura dan mulainya invasi bakteri
pada rongga pleura karena endothelium lebih rapuh lagi. Hal ini memicu migrasi sel neutrophil
dan aktivasi jalur koagulasi. Dengan demikian, tertimbun endapan fibri pada pelura sehingga
rongga pleura terbagi oleh sekat fibrin, lokulasi cairan dan adhesi pleura, membentuk ruangan
bersepta yang akan menganggu drainase pus. Di saat yang bersamaan, tubuh berusaha untuk
melakukan metabolisme dan fagositosis bakteri yang menyebabkan peningkatan asam laktat,
penurunan pH cairan, serta peningkatan metabolisme glukosa dan LDH pada tahapan ini. Adapun
karakteristik cairan pleura meliputi pH <7.2, glukosa < 60 mg/dl, da LDH >1000IU/L. Pada
tahapan ini, pasien dapat terdiagnosis dengan efusi parapneumonia komplikata. Kata komplikata
menunjukkan perlunya tindakan drainase ataupun pembedahan untuk tatalaksana efusi pleura.

3. Tahap organisasi

Pada tahapan ini, terjadi proliferasi fibroblast dan penebalan pleura dimana kedua permukaan
pleura menjadi tebal dan tidak elastis, serta jarinan akan semakin fibrotic. Dengan demikian,
ekspansi paru menjadi terhambat, dan rongga pleura menjadi bersepta dan bermembran.
Membrane inilah yang dinamakan dengan pleural peel. Kelanjutan dari tahapan ini adalah
kesembuhan spontan dalam 12 minggu, ataupun berkemban menjdai sepsis. Pada tahapan ini,
ketika rongga pleura telah bersepta, tatalaksana hanya tindakan bedah. Pada tahapan ini, pasien
terdiagnosa dengan empyema. Empyema didefinisikan sebagai frank pus pada rongga pleura,
dimana tanpa adanya parameter mikroskopis, secara makroskopispun sudah terlihat bahwa ada
bakteri dan sel imun yang mati pada cairan pleura (pus).15 Adapun karakteristik cairan pleura
menurut tahapan infeksinya dapat dilihat sebagai berikut:

Pada
tahapan ini, hasil kultur yang positif sudah tidak lagi diperlukan untuk menetapkan
diagnosis karena kesulitan untuk melakukan kultur bakteri anaerob, waktu sampling yang
biasanya dikerjakan setelah pemberian antibiotic, aspirasi yang tidak tepat pada tempatnya
karena infeksi hanya terlokalisir pada satu lobus, ataupun metode kultur tidak efektif.

KLASIFIKASI
Terdapat beberapa klasifikasi efusi parapneumonia dan empyema menurut American
College of Chest Physicians. Kategori lainnya dapat digunakan untuk mengetahui prognosis pasien
rawat inap yaitu resiko rendah, sedang, ataupun tinggi untuk hasil terapi buruk. Ada 3 variabel
yang digunakan yaitu dinilainya anatomi rongga pleura, bakteriologi ccairan pleura, serta kimia
klinik cairan pleura yang disertai dengan perlu tidaknya tatalaksana invasive seperti torakoskopi
atau dekortikasi.15

PRESENTASI KLINIS
Presentasi klinis pada pasien dengan efusi parapneumonic ataupun empyema tergantung
pada perjalanan penyakit saat pasien datang serta imunitas pasien, serta karakteristik organisme
penyebab infeksi. Adapun pasien dengan pneumonia dan effuse parapneumonic biasanya datang
pada awal pasien terkena penyakit. Namun, pada pasien dengan empyema, pasien biasanya datang
lebih lambat karena bakteria yang menyerang paru memiliki waktu untuk dapat mengkolonisasi
kavitas pleura. Adapun infeksi oleh bakteri yang memiliki virulensi rendah akan menyebabkan
presentasi yang lebih lanjut.

Pada umumnya pasien mengeluh adanya batuk, demam, menggigil, nyeri dada pleuritik,
dan sesak napas. Hal ini biasanya disertai dengan dyspnea dan pembentukan sputum. Namun,
gejala selain daripada nyeri dada pleuritic dan demam tidak dapat membedakan pneumonia murni
atau pneumonia dengan efusi parapneumonic atau empyema. Adanya demam persisten pada
pasien dengan proses pneumonik yang sudah membaik dapat menjadi penanda empiema
parapneumonik. Pada pasien dengan pneumonia, adanya efusi parapneumonic diasosiasikan
dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas.10 Adapun manifestasi klinis dapat berbeda pada
bakteri anaerob dan aerob. Pada infeksi bakteri aerob, maka keluhan akan sama dengan keluhan
pada pneumonia yaitu adanya demam akut disertai nyeri dada, produksi sputum yang meningkat,
dengan leukositosis. Sedangkan pada bakteri anaerob, gejala cenderung subakut dimana gejala
pneumonia seperti nyeri dada baru akan dirasakan setelah lebih dari 7 hari mengalami gejala yang
ringan seperti batuk tidak productid, demam subfebril, bau mulut, leukositosis dan anemia.

Pada pemeriksaan fisik tampak penurunan pengembangan dada, nyeri pada perkusi, dan
terdapat friction rub atau suara napas yang jauh atau hilang pada auskultasi paru yang terlibat,
ditemukannya egophony (perubahan suara dari i ke e), dan peningkatan tactile fremitus. Pada
bagian paru yang terkonsolidasi, maka dapat ditemukan penurunan suara napas dan penurunan
fremitus. Biasanya egophony ditemukan pada sisi atas bagian paru yang terdapat efusi. Pada tahap
kronis dapat terjadi penurunan berat badan dan anemia. Empiema parapneumonik dapat menyebar
ke bronkus sehingga membentuk fistula bronkopleura yang menyebabkan batuk kronis dengan
dahak yang berbau dalam jumlah banyak. Hal ini dapat juga merupakan hasil dari kontaminasi dari
paru sentral.10
DIAGNOSA BANDING

Beberapa kondisi harus dipertimbangkan dalam evaluasi efusi parapneumonic ataupun


empyema. Pertama-tama, eksudasi cairan pleura dan empyema tampak mirip pada pemeriksaan
imaging dan dapat menimbulkan gejala yang mirip. Perlu dilakukan Analisa cairan pleura ataupun
biopsy pleura untuk membedakannya. Kedua asidosis cairan peura disertai dengan glukosa yang
rendah meskipun meningkatkan kecurigaan akan efusi pleura ataupun empyema, hal ini seringkali
diasosiasikan dengan keganasan, tuberculosis, rheumatoid pleuritis lupus pleuritis dan unithorax.
Hal ini dapat juga terlihat pada pasien yang dipasangkan central vnous catheter yang memiliki
posisi salah pada kavum pleura dan diinfuskan cairan isotonic saline. Hal ini dapat dieksklusikan
dengan pemeriksaan cairan pleura. Adapun infeksi pleura oleh organisme yang memecahkan
urease seperti Proteus dapat meningkatkan pH pleura. Pada pemeriksaan imaging, cairan pleura
yang terlokulasi mirip dengan massa pada pleura. Namun, dengan CT, dapat dibedakan cairan dan
masa solid. Jika diagnose asih tidak pasti, maka dianjurka untuk melakukan biopsy pleura.

Pada CT, dapat dibedakan abses paru dan empyema. Empyema lebih mungkin untuk
mengkompresi paru dibandingkan mengerosi paru seerti pada abses paru. Empyema biasanya
memiliki dinding tipis, (pada abses dinding relative lebih tebal dengan lumen dan sisi eksterior
yang ireguler). Empyema dapat membentuk sudut pada dinding dada, jika dibandingkan dengan
abses paru, yang cenderung memiliki sudut akut. Adapun diagnosis banding dilihat dari Analisa
cairan pleura didapati sebagai berikut :
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Imaging
Pemeriksaan radiologi dada posteroanterior dan lateral umumnya menunjukan
abnormalitas dari pleura yaitu, konsolidasi paru dengan efusi pleura sedang atau opasitas
total pada satu hemitoraks. Ultrasound dan CT scan dapat membantu dalam membedakan
antara konsolidasi dan akumulasi cairan pada dada yang teropasitas, khususnya dalam
mengidentifikasi empiema yang kompleks dan multilokasi yang membutuhkan drainase.16
X-ray toraks merupakan modalitas imaging yang paling tersedia dalam identifikasi dari
infeksi rongga pleura. Jumlah cairan pleura yang dapat menyebabkan tumpulnya sudut
kostofrenikus minimum 175 mL dalam film posteroanterior. Namun pada efusi
parapneumonik yang komplek, efusi kadang terlokalisir dan jarang membentuk lapisan
tersendiri sehingga dapat luput dengan x-ray thorax.
Ultrasound pleura telah menjadi landasan dalam imaging untuk evaluasi dari efusi
pleural. Ultrasound merupakan pemeriksaan yang efektif seperti X-ray thoraks pada posisi
lateral decubitus untuk mengidentifikasi efusi pleura yang kecil. Estimasi volume pleura
dapat dilakukan lebih baik dengan ultrasound dibandingkan dengan X-ray toraks karena
tidak terhalang oleh konsolidasi dan struktur intratoraks di sekitarnya. Efusi pleura tipe
eksudatif biasanya memiliki gambaran yang kompleks dengan septum atau tidak berseptum
dan echogenic. Efusi yang memiliki gambaran echogenic yang homogen dapat
mengindikasikan perdarahan atau empiema. Efusi pleura tipe transudatif biasanya memiliki
gambaran yang anechoic, namun gambaran anechoic juga dapat ditemukan pada edisi pleura
eksudatif sebesar 27%.17
Commuted tomography (CT) dengan kontras adalah alat imaging yang berguna
dalam asesmen infeksi ruang pleura. CT scan dapat menunjukkan secara detail abnormalitas
jaringan parenkim, sehingga dapat menunjukkan penyebab dari infeksi rongga pleura. Pada
empiema berhubungan dengan penebalan pleura parietal sebesar 86% dan gambaran pleura
yang semakin jelas sebesar 96%.17 Pada CT scan, empyema dapat ditemukan dengan adanya
split pleura sign atau gambaran penebalan pleura visceralis dan parietal dimana terdapat
lebih dari 30 mm separasi dari permukaan pleura. Selain itu, dapat ditemukan gelembung
udara yang dapat masuk melalui thoracentesis yang dikenal sebagai pleural microbubbles.
Hal ni dapat menunjukkan bahwa cairan dapat lebih sulit keluar dengan pemasangan chest
tube saja. Selain itu, pada pemeriksaan CT, abnormalitas parenkim dan lesi endobronchial
ataupun abses paru dapat terdeteksi.

2. Thoracentesis dan analisis cairan pleura

Thoracentesis dilakukan sebagai tatalaksana efusi namun juga dapat dilaksanakan sebagai bagian
dari pemeriksaan diagnostic untuk mengambil cairan pleura untuk kultur dan sensitivitas.
Ultrasound juga menjadi alat yang ideal dalam memandu torakosentesis diagnosis secara aman
dan efektif. Sampel cairan dari thoracentesis akan dianalisis untuk pemeriksaan jumlah sel dan
biokimia. Namun, perlu diketahui bahwa beberapa penyakit lain dapat diasosiasikan dengan
asidosis cairan pleura disertai dengan glukosa yang rendah seperti pada kasus keganasan,
tuberculosis, rheumatoid pleurisy dan lupus pleuritis.18,19

3. Bakteriologi

Organisme penyebab efusi parapneumonic ataupun empyema sama dengan organisme penyebab
pneumonia. Namun, beberapa organisme anaerobic sulit untuk dikultur. Pada pemeriksaan
bakteriologi dapat dilakukan gram stain. Bakteri anaerobic biasanya memiliki asosiasi dengan
aspirasi pneumonia.17
TATALAKSANA

Tatalaksana awal pada empyema terdiri dari pemberian oksigen bila perlu, terapi cairan
bila ada dehidrasi, antipiretik, analgesic, dan antibiotic. Kemudian, tatalaksana diikuti degan terapi
spesifik yang terdiri dari terapi konservatif hingga pembedahan. Tatalaksana empyema memiliki
beberapa tujuan yaitu :

1. Eradikasi infeksi

2. Mengembalikan sirkulasi cairan pleura normal

3. Mengembangkan paru-paru

4. Mengembalikan fungsi respirasi normal15

Terapi pada empyema mencakup:

1. Pemberian antibiotic : antibiotic empiric dimulai sedini mungkin kemudian


disesuaikan berdasarkan hasil kultur. Regimen antibiotic seharusnya mencakup
bakteri pada community acquired pneumonia, hospital acquired pneumonia, serta
bakteri anaerob. Adapun antibiotic yang direkomendasikan adalah klindamisin,
siprofloksasin, cefalosporin dan penisilin karena memiliki penetrasi yang baik ke
pleura. Untuk mencakup bakteri anaerob dan gram negative aerob, maka dapat
diberikan imipenem, ticarcillin, asam klavulanat atau kombinasi klindamisin
ceftazidime atau klindamisin aztreonam. Antibiotik untuk CAP dianjurkan
sefalosporin generasi 2 atau golongan penisilin. Bagi pasien dengan alergi terhadap
penisilin yang tidak dapat mentoleransi sefalosporin, dapat diberikan terapi agen
tunggal dengan karbapenem (misalnya, imipenem, meropenem) atau
menggabungkan metronidazol dengan fluoroquinolone (misalnya, levofloxacin)
atau monobaktam (misalnya, aztreonam). Adapun setelah operasi, dierikan
antibiotic spektrum luas untuk mencakup bakteri gram positif, negative, dan
aaerobseperti penisilin antipseudomonal, karbapenem, atau sefalosporin generasi
3. Antibiotik sebakya diberikan selama 1-4 minggu atau lebih. Pemberian antibiotic
diteruskan hingga pasien tidak demam, leukosit normal, cairan pleura <50 ml.hari
dan adanya perbaikan pada gambar radiologis.20

2. Pemberian fibrinolitik : fibrinolitik dimasukkan kedalam cavum pleura melalui


chest drain untuk melisiskan fibrin dan membersihkan stoma limfatik sehinggga
mengurangi oklusi selang oleh debris, membuat drainase cairan pleura lebih baik,
dan membantu sirkulasi pleura. Dengan diberikannya streptokinase, urokinase, da
alteplase, diharapkan dapat mempertahankan fungsi paru dan mengurangi tindakan
pembedahan. Adapun streptokinase injeksi dilarutkan dalam 100 ml NaCl dan
dimasukkan dalam rongga pleura melalui intercostal tube drainage. Selang di klem
selama 4 jam dan posisi pasien diubah-ubah. Satu siklus terdiri dari 3 dosis, diulang
setiap 12 jam. Pemberian fibrinolitik juga dapat disertai dengan pemberian
mukolitik dari DNase yang diharapkan dapat menurunkan viskositas.
Diprediksikan bahwa viskositas sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetic
sehinga dengan pemberian kombinasi fibrinolitik/DNAse, hal ini dapat digunakan
sebagai terapi lanjutan saat drainase dan terapi antibiotic gagal dan harus
dikirimkan untuk debridemen surgical.

3. Pembedahan : tindakan drainase secara pembedahan diindikasikan pada kasus


empyema dengan efusi pleura terlokulasi luas, dengan efusi pleura abnormal yakni
PH <7.20, glukosa < 60 mg/ml, dan ditemukannya kuman pada stain ataupun
kultur. Ada beberapa tipe pembedahan yang dapat dilakukan yaitu:

a. Debridemen thoracoscopic (video assisted thoracoscopic surgery) : umum


digunakan untuk empyema yang multiloulated ataupun uniloculated yang tidak
responsive terhadap thoracostomy ataupun antibiotic. Torakoskopi memiliki
fungsi untuk mengganggunya lokalisasi pada ruang pleura, sehingga ruang
pleura dapat sepenuhnya didrainase, dan selang dada dapat dipasang secara
optimal. Beberapa keuntungan pada terapi VATS dibandingkan dengan
torakotomi adalah membaiknya kontrol nyeri pasca operasi, durasi rawat inap
yang lebih pendek, berkurangnya kehilangan daerah, berkurangnya komplikasi
pasca operasi, dan biaya yang lebih murah. Selain itu dengan torakoskopi,
permukaan pleura dapat diinspeksi. Jika pada torakoskopi pasien ditemukan
pleural peel yang sangat tebal dengan jumlah debris yang banyak dan paru tidak
mengembang sepenuhnya, maka harus dilakukan dekortikasi segera.16
Thoracoscopy juga umum digunakan sebagai alternative dari instalasi
fibrinolitik intrapleural untuk membantu drainage.

b. Dekortikasi : pleural fibrosis akan mulai menurun pada saat infeksi pleura
terkontrol, amun fibrosis tidak dapat mengilang dan denga demikian akan
melimitasi ekspansi dari paru, sehingga menmbulkan restriksi. Pada hal ini,
pleurectomy atau dekortikasi diindikasikan untuk dapat mengekspansi pru.
Pengobatan ini direkomendasikan bagi pasien dengan restriksi paru setelah 6
bulan dan limitasi aktivitas dan kualitas hidup. Untuk pasien dengan adhesi,
ketebala visceral pleura yang banyak, kavitas empyema yang besar, maka
thoracotomy lebih unggul dibandingkan debridemen thoracoscopic.
Torakotomi adalah insisi yang dilakukan untuk mengakses rongga dada.
Indikasi dilakukannya torakotomi adalah untuk tatalaksana tumor mediastinum,
karsinoma bronkogenik, trauma tumpul toraks, luka tusuk dada, empiema yang
berkista dan fibrotoraks, pneumotoraks rekuren dengan bulla, dan reparasi hernia
diafragma. Posisi yang secara umum digunakan untuk memulai operasi adalah
lateral decubitus. Torakotomi memiliki beberapa pendekatan seperti, torakotomi
posterolateral, torakotomi anterolateral, torakotomi anterior bilateral, dan median
sternotomi.
1. Torakotomi posterolateral : merupakan pendekatan yang sering digunakan
untuk mengakses rongga intratoraks. Insisi posterolateral dapat digunakan
untuk reseksi paru-paru, operasi esofagus, dan operasi pada mediastinum
posterior dan kolum vertebra27
2. Torakotomi intercostal : mengakses rongga pleura dapat digunakan metode
pendekatan interkostal dimana masuk pada sepanjang perbatasan superior
tulang rusuk untuk menghindari cedera pada neurovaskular interkostal.
Metode lainnya menggunakan pendekatan melalui periosteal bed. Adapun
metode ini adalah salah satu metode yang paling sering dilakukan. Setelah
periosteum diangkat dari perbatasan tulang rusuk superior, melalui
periosteal bed akses rongga pleura.

3. Torakotomi
anterolateral
digunakan untuk
pasien trauma. Pendekatan ini memberikan akses masuk yang cepat ke
dalam dada dengan posisi supine.27 Pasien berada dalam posisi supine
dengan ganjalan di bawah pada sisi ipsilateral dari daerah yang akan
dioperasi untuk meningkatkan pemisahan jarak antar sela interkostal.
Diseksi dilakukan hingga dinding dada, membagi pektoralis mayor dan
minor, dan tepi medial serratus anterior.28
4. Torakotomi anterior bilateral dengan sternotomi transversal (“clamshell”
thoracotomy) adalah pendekatan operatif standar untuk operasi jantung dan
mediastinum. Insisi ini lebih sering digunakan untuk transplantasi kedua
paru.27 Jaringan subkutaneus dibagi dengan kauter dan otot pectoralis
major diangkat dari inferior dan dari perlekatannya di sternum. Sela
interkosta 4 atau 5 diidentifikasi dan dimasukki secara bilateral. Badan
sternum dibagi secara transversal dengan gergaji dan setelah hemostasis,
ujungnya akan dilebarkan dengan dua retraktor sternum. Insisi clamshell
memberikan paparan maksimal terhadap rongga dada, namun komorbid
dan trauma yang terlibat membuat penggunaannya dibatasi hanya untuk
indikasi yang spesifik. Saat ini insisi clamshell digunakan secara terbatas
untuk massa mediastinum yang sangat besar, transplantasi paru-paru
bilateral, dan trauma. Pembatasan penggunaan ini dilakukan karena
pembagian transternal memiliki risiko komplikasi dalam penyembuhan
sternum sebesar 30%, dibandingkan dengan median sternotomi yang
sebesar 1-2%.28
5. Median sternotomi dapat masuk ke dalam torakotomi anterior (“trap door”
atau “hemiclamshell” thoracotomy) untuk mengakses struktur
mediastinum. Insisi median sternotomi memberi akses ke struktur
mediastinum anterior dan terutama digunakan untuk operasi jantung.27
Metode ini juga dapat digunakan untuk operasi penyakit pleuropulmonalis.
Median sternotomi dapat masuk ke dalam torakotomi anterior (“trap door”
atau “hemiclamshell” thoracotomy) untuk mengakses struktur
mediastinum. Insisi median sternotomi memberi akses ke struktur
mediastinum anterior dan terutama digunakan untuk operasi jantung.27
Metode ini juga dapat digunakan untuk operasi penyakit pleuropulmonalis.
\

Setelah dekortikasi selesai, anestesiologis akan memberikan tekanan positif


untuk mengembangkan ulang paru-paru dan area dimana paru-paru melipat
ke arah adesinya.
a. Thoracocentesis : Torakosentesis adalah prosedur dimana jarum diinsersi ke
kavum pleura dengan tujuan mengalirkan keluar cairan pleura dalam keadaan
akut. Menurut American Association for Thoracic Surgery, pada keadaan
dimana infeksi pleura terjadi, torakosentesis dengan drainase cairan pleura
adalah sebuah kebutuhan untuk terapi sehingga meringankan gejala.16
Torakosentesis merupakan metode yang berguna dalam tatalaksana efusi pleura
yang uncomplicated dan tahapan rekomendasi dalam diagnosis dari efusi pleura
yang complicated.16 Ketika hasil torakosentesis diagnostik ditemukan material
yang purulen, cairan yang positif pada pewarnaan gram, kadar glukosa <40
mg/dL, atau pH < 7, maka tatalaksana akan diindikasikan untuk dilakukannya
pemasangan selang torakostomi.10

d. Thoracostomy disertai
pemasangan chest tube :
merupakan insisi kecil pada
dinding dada untuk
mempertahankan terbukanya
drainase. Selama beberapa

dekade terakhir, metode yang paling sering


digunakan untuk efusi parapneumonik
adalah pemasangan selang torakostomi.
Metode ini adalah pilihan yang paling
noninvasif untuk drainase cairan pleura
yang terinfeksi pada pasien dengan
empiema. Selang pada dada diposisikan
sesuai dengan letak efusi pleura. Secara
tradisional, pemasangan selang
torakostomi menggunakan kateter berukuran besar (>28 Fr) lebih sering
dipakai untuk drainase cairan empiema yang lebih kental dan kateter
berukuran kecil digunakan untuk cairan yang cair. Namun, tidak ada
konsensus yang menyatakan ukuran selang yang ideal untuk digunakan.
Menurut opini para ahli, penggunaan kateter berukuran kecil tidak efektif
untuk mendrainase nanah yang kental atau efusi yang luas. Namun
beberapa studi melaporkan bahwa penggunaan selang drainase yang kecil
dengan tuntunan imaging memiliki angka keberhasilan sekitar 80%.10,16
Penggunaan selang berukuran besar memiliki pertimbangan bahwa dapat
terjadinya obstruksi pada penggunaan ukuran selang yang lebih kecil
(hingga 14 Fr) jika cairan nanah kental. Sedangkan penggunaan selang
berukuran kecil memiliki kelebihan yaitu, minimalnya rasa sakit dan lebih
mudah untuk dipasang. Meskipun demikian, posisi pemasangan yang tepat
lebih diperhatikan dibandingkan dengan ukuran selang yang akan
digunakan. Pada pemasangan selang yang berukuran kecil dibutuhkan
bantuan ultrasound atau CT scan, sedangkan pada selang yang berukuran
lebih besar tidak dibutuhkan bantuan imaging.10,16,18 Pemasangan chest
tube dapat dilakukan dengan dua teknik yang paling umum. Teknik standar
menggunakan diseksi tumpul untuk mengakses ruang pleura. Sebaliknya,
teknik Seldinger mengakses ruang pleura dengan jarum dan menggunakan
kawat pemandu yang didilatasi untuk menempatkan kateter yang lebih
kecil atau kateter pigtail.19,20 Adapun chest tube dapat digunakan pada
berbagai macam situasi yaitu pada keadaan chlothorax, empyema,
hemopneumothorax, hemothorax, efusi pleura dengan tanda instabilitas,
ataupun pneumothorax. Insersi chest tube dilakukan pada celah intercostal
ke 5 pada linea midaxillaris.(pada sebagian besar pasien, posisi ini berada
pada sisi lateral nipple pada linea midaxilaris).
Gambar 8. Teknik standar pemasangan chest tube.47
Teknik Seldinger berguna untuk penempatan tabung kecil yang mengalirkan
udara dan cairan cair dan biasanya dilakukan dengan bantuan USG atau
fluoroskopi untuk mengkonfirmasi penempatan dan posisi kawat atau
kateter dalam rongga dada. Setelah tindakan asepsis, antisepsis, dan
anestesi dilanjutkan dengan langkah-langkah berikut:19
• Masukkan jarum introducer ke dalam rongga pleura (di atas iga) dan
pastikan bahwa cairan dapat diaspirasi. Jika tidak ada cairan yang
teraspirasi, jangan dilanjutkan, tinjau kembali gambarnya dan
pertimbangkan tempat insersi lain.
• Jika cairan dapat diaspirasi, masukkan kawat pemandu (guidewire) melalui
jarum introducer ke dalam ruang pleura. Kawat harus lewat tanpa adanya
hambatan; jika terdapat resistensi, prosedur harus diberhentikan. Arahkan
kawet pemandu ke inferior dan posterior untuk mengumpulkan cairan.
Posisi guidewire dapat dipastikan dengan fluoroskopi, jika tersedia.
• Masukkan dilator secara berurutan pada kawat pemandu untuk mendilatasi
jalurnya.
• Masukkan keduanya chest tube dan dilator ke dalam rongga pleura.
• Lepaskan dilator dan kawat pemandu, biarkan chest tube tetap di
tempatnya, pastikan semua lubang berada di dalam rongga dada. Tarik
chest tube dan konfirmasi bahwa cairan dapat diaspirasi.
• Fiksasi tabung dengan jahitan atau pemegang tabung komersial), tutup
dengan kain kasa, sambungkan ke sistem drainase, foto toraks untuk
mengkonfirmasi posisi tabung dan kaji pengembagan paru, dan pantau
drainase awal dari tabung.

Indikator keberhasilan dari pemasangan drainase tabung tertutup dari efusi


parapneumonik yang complicated adalah dengan adanya perbaikan dalam
klinis pasien dan status radiologi dalam 24 jam. Jika pasien belum
menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam 24 jam dari pemasangan
selang torakostomi, maka dicurigai drainase pleura yang kurang baik atau
pasien menerima antibiotik yang tidak tepat. Drainase pleura yang kurang
memadai dapat disebabkan karena posisi selang yang salah, cairan pleura
yang terlokalisasi, atau adanya lapisan fibrinosa pada pleura viseral yang
menghalangi paru-paru untuk mengembang. Jika drainase kurang memadai
maka diperlukan bantuan ultrasonography atau CT scan untuk menentukan
penyebabnya.10
Komplikasi dari pemasangan chest tube meliputi adanya fistula intraparenkim,
kerusakan neurovascular pada intercostalis, edema pulmoner setelah
adanya reekspansi paru, pneumothorax, infeksi terutama pneumonia,
pendarahan karena adanya kerusakan arteri intercostal.
Jika terdapat lokalisasi yang belum terdrainase, maka harus dikejar secara
agresif dengan tambahan drain atau ukuran drain yang lebih besar.
Kegagalan untuk mencapai drainase pleura sepenuhnya atau kegagalan
dalam perbaikan klinis membuat tatalaksana menjadi lebih agresif,
termasuk terapi litik atau operasi.16
Sistem drainase chest tube/water seal drainage biasanya menggunakan pressure
release valve yang dengan cepat menyeimbangkan tekanan ruang
pengumpulan dengan tekanan atmosfer tanpa melepaskan tabung
penghisap. Fitur ini dapat digunakan jika pasien mengalami nyeri dada
akibat terlalu cepatnya evakuasi efusi pleura. Ketika chest tube
dipasangkan untuk drainase cairan, -20 cm H2O adalah tekanan yang
dipakai pada awal, kemudian tingkat penghisapan harus ditingkatkan sesuai
yang diindikasikan dengan tujuan mencapai pengembangan paru-paru
maksimal seperti yang ditentukan oleh foto rontgen toraks. Untuk paru
yang kolaps karena efusi pleura berlebihan, gradien tekanan diferensial
yang besar harus dihindari selama pengembangan paru untuk mencegah
edema paru reekspansi. Ketika menempatkan chest tube untuk efusi pleura
yang besar, disarankan untuk tidak menghisap pada awalnya, agar dapat
mengurangi risiko edema paru re-ekspansi.22
Alat sistem drainase chest tube mempunyai tiga ruang fungsional. Dari kanan
ke kiri, ruang pertama (yaitu, ruang pengumpulan, digambarkan dengan
tiga subbagian) menerima cairan dari rongga pleura melalui chest tube;
cairan mengumpul di ruang ini. Udara akan naik dan memasuki ruang
kedua (yaitu, ruang segel air/water seal chamber), yang berisi air pada
bagian bawah. Udara dari rongga pleura masuk ke ruangan ini di bawah
permukaan air, membuat gelembung udara (bubbling) dan mencegah
kembalinya udara ke rongga pleura. Udara memasuki ruang ketiga (yaitu,
ruang hisap/suction) yang terhubung ke dinding hisap dan kemudian
dibuang melalui sistem pengumpulan rumah sakit. Ketinggian air di ruang
isap menunjukkan jumlah isap yang diterapkan. Tekanan hisap biasanya
antara -10 dan -40 mmHg. Ventilasi atmosfer mencegah aplikasi hisap
berlebih; ventilasi manual melalui katup pelepas tekanan dengan cepat
dapat menyeimbangkan tekanan pada ruang pengumpulan dengan tekanan
atmosfer.23

e. Drainase terbuka : Prosedur drainase terbuka biasanya digunakan untuk


pasien yang terlalu sakit untuk dilakukan torakoskopi ataupun torakotomi.
Drainase dari ruang pleura secara kronis dapat dicapai dengan prosedur ini.
Dua tipe prosedur dapat dilakukan. Prosedur yang paling sederhana (reseksi
iga) adalah dengan reseksi segmen dari satu sampai tiga rusuk, yang
terletak pada bagian bawah dari rongga empiema akan disingkirkan dan
satu atau lebih selang berukuran besar yang pendek akan dimasukkan ke
dalam rongga empiema.
f. Open Window-flap / Eloesser flap. Keuntungannya adalah prosedur ini
membuat fistula berlapis kulit yang menyediakan drainase tanpa selang,
sehingga dapat lebih mudah untuk ditangani pasien di rumah dan
penghilangan ruang empiema secara bertahap

.4.3.4. Manajemen pasca operatif


Fisioterapi merupakan salah satu penanganan yang dapat ditambahkan selain
terapi pembedahan dan terapi medikamentosa. Fisioterapi juga tidak kalah
penting dalam penanganan empiema karena dapat mencegah dan
mengurangi efek negatif dari bed rest yang terlalu lama selama dirawat
dirumah sakit dan fisioterapi ini juga dapat meningkatkan fungsi dari sistem
pernapasan. Fisioterapi untuk respirasi dapat berupa latihan untuk
mengontrol pernapasan, latihan postural dan mobilisasi, edukasi dan teknik
untuk mengeluarkan atau membersihkan sputum. Latihan - latihan tersebut
direkomendasikan dalam 1 minggu pertama selama perawatan.33
Fisioterapi ini dapat dilakukan pre operatif atau post operatif dengan tujuan
untuk mengurangi komplikasi seperti atelektasis, pneumonia, efusi, dan
empiema. Beberapa manuver seperti pernapasan dalam dan batuk, edukasi
mengenai mobilisasi dini paska operasi dapat diterapkan untuk mencegah
komplikasi - komplikasi tersebut terutama atelektasis.34
Manajemen Nyeri
Salah satu penanganan pasca operatif yang perlu diperhatikan adalah
tentang manajemen nyeri pasca operatif. Hal ini penting karena nyeri pasca
operatif pada daerah dada akan mengganggu kemampuan pasien untuk
menarik napas dalam atau batuk secara efektif sehingga mengurangi
volume paru dan dapat terjadi retensi sputum. Nyeri tersebut juga dapat
menyebabkan stimulasi simpatik seperti nadi, tekanan darah, dan yang
lainnya yang akan mempengaruhi stabilitas hemodinamik pasien dan hal
yang tak kalah penting juga nyeri dapat meningkatkan kecemasan dan
mengganggu kualitas tidur sehingga pada siang hari kooperasi pasien
terhadap sesi fisioterapi akan berkurang dan akan menyebabkan fisioterapi
tersebut tidak memberikan hasil yang maksimal.35 Pemberian kompresan
es pada balutan sayatan operasi pada 24 jam pasca operasi akan mengurangi
nyeri akibat sayatan dan mengurangi penggunaan obat anti nyeri golongan
narkotika.36

Posisi pasca operatif


Posisi pasien juga merupakan hal penting yang perlu diperhatikan untuk
meningkatkan kapasitas fungsional residu dan mencegah terjadinya
atelektasis. Selain itu keuntungan utama dalam memposisikan pasien pasca
operasi toraks adalah untuk meningkatkan ventilasi, perfusi, dan pertukaran
gas dan untuk membantu membersihkan sekret bronkial yang berlebihan.
Terdapat 2 posisi yang membantu meningkatkan ventilasi dan pertukaran
gas, posisi tersebut adalah duduk tegak sedini mungkin setelah pasien
dalam posisi tidur dan posisi yang kedua adalah berbaring ke salah satu
arah dimana posisi paru pasien yang tidak dioperasi berada di bawah.
Keuntungan posisi duduk akan meningkatkan pengembangan diafragma
dan meningkatkan ventilasi dan kapasitas volume paru sehingga
memperbaiki oksigenasi dengan mengurangi kebutuhan dari pemberian
oksigen. Sementara tujuan dari memposisikan pasien dalam posisi
berbaring ke satu arah adalah memperbanyak perfusi ke paru yang tidak
dioperasi sehingga meningkatkan oksigenasi dan juga untuk
memungkinkan untuk paru yang dioperasi dapat mengembang.35
Teknik pembersihan jalan napas dan pengembangan paru
Setelah dilakukannya pembedahan, volume paru dan kapasitas fungsional
residu akan berkurang akibat efek dari anestesi dan nyeri pada dinding
dada. Oleh karena itu dibutuhkan latihan fisioterapi untuk mengembangkan
dan meningkatkan volume paru kembali menjadi normal kembali. Salah
satu latihannya tersebut adalah dengan latihan pernapasan dalam dengan
cara meminta pasien untuk menarik napas dalam sebanyak 5 kali dengan
menahan napas dalam tersebut selama 3 detik setiap jamnya pasien
terbangun. Retensi sputum akibat batuk yang tidak efektif atau bahkan
pasien menolak untuk membatuk dengan alasan nyeri dapat meningkatkan
risiko terjadinya infeksi dan pneumonia pasca operatif.37 Oleh karena itu
pasien pasca operasi juga harus diberi edukasi dan latihan untuk
membersihkan jalan napas dengan cara batuk yang efektif. Latihan batuk
efektif ini dimulai dengan pasien diposisikan dalam keadaan duduk tegak
dengan mengangkat dagunya sedikit lalu meminta pasien untuk mengambil
tarikan napas yang dalam dan menahannya selama beberapa detik lalu
menginstruksikan pasien untuk batuk secara cepat sambil memposisikan
badannya ke depan untuk meningkatkan tekanan intra abdominal. Latihan
batuk ini dapat memicu nyeri akibat sayatan ataupun nyeri pada daerah
drain sehingga latihan ini harus memperhatikan manajemen nyeri pada
pasien tersebut.35

PROGNOSIS
Untuk menentukan prognosis, dapat dilakukan dengan kriteria RAPID yaitu
untuk menilai resiko pada pasien dengan infeksi pleura dengan menilai 5
karakteristik yaitu kegagalan ginjal, usia, purulensi, sumber infeksi, dan
faktor diet. Skoring ini menilai resiko mortalitas menjadi resiko rendah,
sedang ataupun tinggi. Namun, sekarang system skoring ini sudah tidak
lazim diperhitungkan.

Anda mungkin juga menyukai