Anda di halaman 1dari 20

Referat Ilmu Penyakit Dalam

Tromboemboli Vena

Disusun Oleh :
Lidyanila F. Gusman
00000002405

Pembimbing :
dr. Vito A. Damay, M.Kes, SpJP (K), FIHA, FICA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM SILOAM


HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE
DESEMBER 2017 – FEBRUARI 2018 TANGERANG
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4

2.1. Definisi ................................................................................................................ 4

2.2. Epidemiologi ....................................................................................................... 4


2.3. Faktor Risiko ....................................................................................................... 5
2.4. Patogenesis .......................................................................................................... 6
2.5. Diagnosis ............................................................................................................ 6
2.5.1. Trombosis Vena Dalam ............................................................................... 6
2.5.2. Emboli Paru ................................................................................................. 8
2.6. Tatalaksana ....................................................................................................... 11
2.7. Komplikasi ........................................................................................................14
2.8. Prognosis ...........................................................................................................15
2.9. Pencegahan .......................................................................................................15
BAB III RINGKASAN ................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 18
2
BAB I
PENDAHULUAN

Trombosis adalah keadaan terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah.


Trombus atau bekuan darah dapat terbentuk pada arteri, vena, jantung atau mikrosirkulasi
dan menyebabkan komplikasi karena adanya obstruksi. Terdapat 3 macam thrombus yaitu
trombus merah (thrombus koagulasi), trombus putih (thrombus aglutinasi) dan trombus
campuran.
Penyakit tromboembolik menunjukkan hubungan dengan trombosis yaitu proses
pembentukan bekuan darah (trombus) dan resiko emboli. Trombosis Vena Dalam (TVD)
adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam vena sekunder / vena dalam oleh karena
inflamasi atau trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian. Penyebab utama
trombosis vena masih belum jelas, namun ada tiga kelompok faktor pendukung yang
dianggap memiliki peran penting dalam pembentukannya yang dikenal sebagai Trias
Virchow yaitu abnormalitas aliran darah, dinding pembuluh darah dan komponen faktor
koagulasi.
Standar baku emas untuk diagnosis TVD adalah venografi intravena. Pemeriksaan
ini jarang dilakukan karena bersifat invasif dimana harus dilakukan injeksi bahan kontras
pada vena kemudia dilakukan foto rontgen untuk melihat lokasi dari obstruksi vena.
Diagnosis yang didasarkan pada temuan fisik saja tidak dapat diandalkan, maka
digunakan sistem skoring untuk menentukan besarnya kemungkinan diagnosis melalui
klinis dan laboratorium.
TVD dapat bersifat parsial atau total. Kebanyakan trombosis vena dalam berasal
dari ekstremitas bawah. Penyakit ini dapat menyerang satu vena bahkan lebih. Banyak
pasien dengan TVD yang sembuh dengan spontan, namun sebagian lainnya memiliki
potensi untuk terbentuk emboli. Emboli paru merupakan resiko yang cukup bermakna
pada TVD karena terlepasnya trombus akan mengikuti aliran darah dan terperangkap
pada arteri pulmonalis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Tromboemboli vena (TEV) merupakan suatu spektrum kondisi yang
mencakup trombosis vena dalam /TVD (Deep Vein Thrombosis/ DVT) dan emboli

paru /EP (Pulmonary Embolism/ PE).1 Trombosis vena dalam adalah hambatan
aliran vena tungkai atau lengan menuju jantung yang disebabkan oleh trombus di
lumen vena dalam. Berdasarkan lokasinya, trombosis vena dalam dibagi menjadi
thrombosis vena distal dan trombosis vena proksimal. Emboli paru adalah kelainan
jaringan paru yang disebabkan oleh embolus yang menyumbat arteri pulmonalis.
Bekuan vena sistemik yang menyangkut di percabangan arteri pulmonalis
merupakan salah satu komplikasi dari trombosis vena dalam yang umumnya terjadi
pada kaki atau panggul.

2.2. Epidemiologi
Berdasarkan penelitian di beberapa negara, selama 25 tahun terakhir ini
angka kejadian tromboemboli vena meningkat tajam seiring dengan bertambahnya
2
usia (Gambar 1). Angka kejadian trombosis vena dalam yang baru di Amerika
Serikat adalah sekitar 50 orang per 100.000 penduduk, sedangkan pada usia lebih
dari 70 tahun diperkirakan angka kejadian trombosis vena dalam lebih tinggi yaitu
3
200 orang per 100.000 penduduk. Hampir dua pertiga kasus TEV adalah trombosis
vena dalam (TVD) yang 80% diantaranya adalah TVD proksimal. Penelitian di
Eropa melaporkan angka kejadian kasus TVD sebanyak 70-140 kasus dari 100.000
4
penduduk per tahun.
Dari sekitar 7 juta pasien rawat inap medikal maupun surgikal yang dirawat
pada 944 rumah sakit di Amerika Serikat, tromboemboli vena adalah komplikasi
medis kedua terbanyak, salah satu penyebab peningkatan lama perawatan dan

menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak.1

4
2
Gambar 1. Angka kejadian tromboemboli vena berdasarkan kelompok usia.

2.3. Faktor Risiko


Tabel 1. Faktor Risiko Tromboemboli Vena. 5
Derajat Faktor Risiko
Risiko Ringan - Tirah baring > 3 hari
- Diabetes mellitus
- Hipertensi
- Duduk lama
- Usia lanjut
- Obesitas
- Kehamilan
- Varises vena
Risiko Sedang - Arthoscopic knee surgery
- Penyakit autoimun
- Transfusi darah
- Dalam kemoterapi
- Gagal jantung kongesti
- Erythropoiesis-stimulating agents
- Hormone replacement therapy (HRT)
- In vitro fertilization
- Infeksi
- IBS
- Kanker
- Kotrasepsi oral
- Stroke paralisis
- Trombofilia
Risiko Berat - Fraktur tungkai bawah
- Riwayat perawatan karena gagal jantung atau atrial
fibrillation dalam 3 bulan terakhir
- Hip or knee replacement
- Trauma mayor
- Myocard infarction dalam 3 bulan terakhir
- Riwayat tromboemboli sebelumnya
- Trauma medulla spinalis

5
2.4. Patogenesis
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri terdiri dari
trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis, sedangkan trombus vena terbentuk di
daerah stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar.
Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi dalam tubuh berada dalam
keadaan cair namun bekuan darah akan terbentuk jika teraktivasi atau terpapar
dengan permukaan. Rudolph Virchow menjelaskan 3 proses trombogenesis yang
dikenal dengan trias Virchow. Trias Virchow terdiri dari gangguan pada aliran darah
vena yang menyebabkan stasis vena, keadaan hiperkoagulabilitas dimana terdapat
gangguan keseimbangan prokoagulan dan antikoagulan dan cedera vaskular dimana
6
terdapat gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel).
Trombosis akan terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan
mekanisme protektif terganggu. Faktor trombogenik termasuk di dalamnya adalah
gangguan sel endotel, terpaparnya subendotel, aktivasi trombosit atau interaksinya
dengan kolagen subendotel, aktivasi koagulasi, terganggunya fibrinolisis dan stasis
aliran darah. Sedangkan yang termasuk dalam mekanisme protektif adalah faktor
antitrombotik, netralisasi faktor pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel,
hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh inhibitor, pemecahan faktor
pembekuan oleh protease dan lisisnya trombus oleh sistim fibrinolisis.

2.5. Diagnosis
2.5.1. Trombosis Vena Dalam
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat
penting dalam pendekatan diagnosis pasien dengan dugaan trombosis.
Keluhan utama pasien dengan TVD adalah nyeri pada tungkai bawah saat
beraktivitas maupun istirahat yang disertai dengan edema. Riwayat
penyakit sebelumnya dan riwayat trombosis pada keluarga merupakan hal
penting karena dapat diketahui faktor risiko dan riwayat trombosis
sebelumnya. Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik tidak
selalu ditemukan. Gambaran klasik TVD adalah edema tungkai unilateral,
eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial dan

6
Homan’s sign positif. Dalam pendekatan diagnosis klinis terhadap
trombosis vena dalam, skoring Wells dapat digunakan (Tabel 2).

Tabel 2. The Wells score, two-level modified score. 7


Gambaran Klinis Nilai
Kanker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan, atau paliatif) +1
Paralisis, paresis atau imobilisasi ekstremitas bawah +1
Terbaring selama > 3 hari arau operasi besar (dalam 4 minggu) +1
Nyeri tekan terlokalisir sepanjang distribusi vena dalam +1
Seluruh kaki bengkak +1
Pembengkakan betis unilateral 3cm lebih dari sisi yang asimtomatik +1
(diukur 10 cm di bawah tuberositas tibia)

Pitting edema unilateral (pada tungkai yang simtomatik) +1


Vena superfisial kolateral +1
Diagnosis alternatif yang lebih mungkin dari DVT -2
Score ≥ 2 = Likely DVT
Score ≤ 1 = Unlikely DVT

Pada pasien dengan probabilitas klinis tinggi dapat dilakukan


pemeriksaan penunjang berupa USG Doppler sebagai standar baku emas
penegakkan diagnosis TVD. Pada pasien dengan probabilitas klinis
rendah, dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa D-dimer
untuk langkah selanjutnya (Gambar 2). D-dimer mengukur hasil dari
degradasi fibrin yang diukur melalui darah perifer. Pemeriksaan D-dimer
sangat sensitif dalam mendiagnosis TVD namun kurang spesifik karena
D-dimer juga dapat meningkat pada kondisi lainnya seperti kanker,
inflamasi, infeksi dan nekrosis jaringan. Hasil D-dimer negatif akan
menyingkirkan diagnosis TVD namun hasil positif tidak dapat langsung
menegakkan diagnosis TVD dan pemeriksaan berupa USG Doppler
harus dilakukan.
USG Doppler dapat menegakkan diagnosis TVD dengan
sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk TVD proksimal simtompatik

7
serta sensitivitas 100% dan spesifisitas 90-100% untuk TVD distal
simtomatik. Diagnosis pasti dari TVD dapat ditegakkan dengan Contrast
venography, namun tindakan ini merupakan tindakan invasif yang harus
sangat dipertimbangkan risikonya.

Gambar 2. Algoritma diagnosis DVT.8

2.5.2. Emboli Paru


Sebagian besar dari kasus emboli paru tidak menimbulkan gejala
sehingga diagnosis emboli paru seringkali terlewatkan. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik lengkap memiliki peran penting dalam pendekatan
diagnosis emboli paru. Pasien dengan emboli paru seringkali datang
dengan keluhan nyeri dada mendadak, sesak napas, hemoptisis, keringat
berlebih dan gelisah. Keluhan tersebut seringkali tidak spesifik sehingga
harus dipikirkan diagnosis banding atau kemungkinan lain. Dalam
pendekatan diagnosis terhadap emboli paru, skoring Wells untuk emboli

paru dapat digunakan sebagai parameter klinis (Tabel 3).9

8
Tabel 3. Wells rule, simplified version. 9
Gambaran Klinis Nilai
Riwayat TVD atau EP +1
Denyut jantung >100 kali/menit +1
Paska bedah atau imobilisasi dalam 4 minggu terakhir +1
Hemoptisis +1
Kanker aktif +1
Tanda dan gejala klinis TVD +1
Kecil kemungkinan diagnosis alternatif dari EP +1
Two level score ; PE unlikely 0-1
; PE likely >1

Pemeriksaan lain yang dapat menunjang diagnosis dari emboli


paru adalah pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dan analisa gas darah
(AGD). Pada pemeriksaan EKG dapat menunjukkan gambaran normal
atau sinus takikardia. Gambaran klasik yang menunjukkan adanya emboli

paru pada EKG adalah SI-QIII-TIII dimana adanya gelombang S pada lead
I, gelombang Q pada lead III dan T inverted pada lead III. Pemeriksaan

analisa gas darah dapat menunjukkan penurunan tekanan pO2 dan pCO2
yang disertai dengan alkalosis namun hasil analisa gas darah normal tidak
dapat menyingkirkan adanya emboli paru.
Pemeriksaan berupa CT angiography (CTA) merupakan prosedur
yang tidak invasif dengan sensitifitas 95,5% dan spesifitas 97,6% untuk
emboli paru. Pada pasien yang memiliki kontraindikasi untuk dilakukan
CTA seperti pada pasien dengan renal insufficiency dan keadaan alergi,
pemeriksaan Ventilation-Perfusion (V/Q) Lung Scanning menjadi prosedur
baku untuk menegakkan diagnosis emboli paru.
Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh European Society of
Cardiology (ESC), pendekatan diagnosis emboli paru dibedakan
berdasarkan keadaan hemodinamik pasien. Pasien dianggap memiliki
keadaan hemodinamik tidak stabil apabila pasien terduga emboli paru
yang disertai dengan keadaan hipotensi atau syok. Kebutuhan pemeriksaan

9
CTA pada pasien dengan keadaan hemodinamik stabil dipertimbangkan
terlebih dahulu dengan melihat keadaan klinis pasien melalui skoring
Wells (Tabel 3). Sedangkan pada pasien dengan keadaan hemodinamik
tidak stabil, pemeriksaan CTA langsung dilakukan tanpa

mempertimbangkan keadaan klinis lainnya.5

Gambar 3. Algoritma pendekatan emboli paru tanpa gangguan hemodinamik.8

Gambar 4. Algoritma pendekatan diagnosis emboli paru dengan gangguan hemodinamik. 8

10
2.6. Tatalaksana
Tujuan dari penatalaksaan trombosis vena dalam adalah untuk menghentikan
bertambahnya trombus, menghentikan pembengkakan tungkai, membuang bekuan
darah (trombektomi), mencegah disfungsi vena atau sindroma paska trombosis
3
(post thrombotic syndrome) dan mencegah terjadinya emboli.
Terapi simtomatik berupa pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri
juga diberikan. Jika terjadi hipoksemia refrakter ketika pasien sudah diberikan
oksigen, tindakan intubasi dan ventilasi mekanik dapat dipertimbangkan namun
harus diperhatikan kemungkinan perburukan hemodinamik karena gangguan aliran
darah balik ke jantung (venous return).
Penatalaksanaan trombosis vena dalam terdiri dari 3 fase (Gambar 5) yaitu
fase inisial (hari ke 5-21), fase jangka panjang (bulan ke 3-6) dan fase lanjutan
(setelah bulan ke 6). Semua pasien dengan TVD harus diberikan penatalaksaan
inisial dan juga jangka panjang. Keputusan pemberian tatalaksana lanjutan

ditentukan melalui evaluasi kebutuhan antikoagulan lanjutan. 10

Gambar 5. Fase penatalaksanaan trombosis vena dalam. 10

Pada pasien dengan TVD proksimal dan TVD distal yang memiliki risiko
tinggi, antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pada pasien dengan TVD
distal yan memliki risiko rendah, antikoagulan dapat diberikan dalam durasi yang
lebih singkat (4-6 minggu). Unfractionated heparin (UFH) merupakan
antikoagulan yang sudah lama digunakan dalam penatalaksanaan TVD. Mekanisme
kerja dari heparin adalah dengan meningkatkan kerja antitrombin III dan
melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Unfractionated heparin
diberikan secara bolus sebanyak 80 IU/kg dan dilanjutkan dengan dosis sebanyak

11
18 IU/kg/jam. Sebelum pemberian UFH, pemeriksaan risiko pendarahan berupa
nilai APTT, PT dan jumlah trombosit harus dilakukan (Tabel 4). Pemeriksaan aPTT
diulang setelah 6 jam pemberian UFH untuk evaluasi perdarahan dan penyesuaian
dosis pemberian UFH. Pemberian heparin dengan berat molekul rendah (Low
molecular weight heparin /LMWH) dapat dipertimbangkan karena risiko
perdarahan yang lebih rendah dan pemantauan laboratorium yang lebih mudah

(Tabel 5). 3

Tabel 4. Regimen Unfractionated Heparin (UFH) berdasarkan aPTT. 11


aPTT Perubahan Dosis
< 35 detik (<1,2 kali kontrol) 80 U/kg bolus, kemudian 4 U/kg/jam
<35 – 45 detik (1,2 – 1,5 kali kontrol) 40 U/kg bolus, kemudian 2 U/kg/jam
<46 – 70 detik (1,5 – 2,3 kali kontrol) Tidak ada perubahan
<71 – 90 detik (2,3 – 3,0 kali kontrol) Kecepatan infus dikurangi menjadi 2 U/kg/jam
> 90 detik (> 30 kali kontrol) Hentikan infus selama 1 jam, kemudian
turunkan kecepatan menjadi 3 U/kg/jam
Dosis inisial = 80 U/kg bolus, kemudian 18 U/kg/jam
Evaluasi aPTT dilakukan 6 jam setelah pemberian dosis inisial
Tabel 5. Regimen Low Molecular Weight Heparin (LMWH). 9

LMWH Dosis Interval


Enoxaparin 1 mg/kg Setiap 12 jam
1,5 mg/kg Setiap 24 jam
Dalteparin 100 IU/kg Setiap 12 jam
200 IU/kg Setiap 24 jam
Tinzaparin 75 IU/kg Setiap 24 jam
Nadroparin 86 IU/kg Setiap 12 jam
171 IU/kg Setiap 24 jam
Fondaparinux 5 mg/hari (BB < 50kg) Setiap 24 jam
7,5 mg/hari (BB 50-100kg) Setiap 24 jam
10 mg/hari (BB > 100kg) Setiap 24 jam

Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH dilanjutkan dengan pemberian


antikoagulan oral (direct oral anticoagulants / DOACs) yang bekerja dengan cara
menghambat faktor pembekuan. Antikoagulan oral pilihan yang dapat diberikan
adalah warfarin, yang dapat diberikan bersamaan dengan pemberian heparin awal
3,12
yang disertai dengan pemantauan nilai INR (International Normalized Ratio).
12
Terapi trombolitik seperti streptokinase, rTPA atau urokinase dapat diberikan
dengan tujuan untuk memecahkan trombus secara cepat dengan cara mengaktifkan
plasminogen menjadi plasmin. Terapi trombolitik hanya efektif bila diberikan pada
fase awal dan keputusan pemberian trombolitik harus sangat dipertimbangkan
karena risiko perdarahan yang sangat tinggi. Pilihan trombolitik yang dapat
diberikan adalah streptokinase 1,5 juta U dalam 1 jam pertama, rTPA 100mg dalam
2 jam pertama atau urokinase 4400/kg/jam dalam 12 jam pertama (Tabel 6). Risiko
perdarahan mayor pada pemberian trombolitik adalah sekitar 10% dan risiko
perdarahan serebral sekitar 0,5-1,5%, terutama pada pasien dengan usia lanjut

dengan hipertensi yang tidak terkontrol.3,12

Tabel 6. Regimen trombolitik.9


Trombolitik Dosis Pemberian
Streptokinase 250.000 IU sebagai loading dose dalam 30 menit, diikuti dengan
100.000 IU/jam dalam 12-24 jam
Urokinase 4.400 IU/kg sebagai loading dose dalam 10 menit, diikuti dengan 4.400
IU/kg/jam dalam 12-24 jam
rTPA 100 mg dalam 2 jam atau 0,6 mg/kg dalam 15 menit (max dose 50mg)

Pada pasien dengan emboli paru, tindakan trombektomi atau embolektomi


mekanis untuk menghilangkan obstruksi dari arteri pulmonal dapat dilakukan
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya sindroma paska trombosis. Trombektomi
dilakukan sebagai terapi alternatif apabila ada kontraindikasi absolut dari terapi
trombolitik (Tabel 7), sebagai terapi lanjutan bila terapi trombolitik gagal dan juga
sebagai alternatif operasi jika akses kardiopulmonal tidak tersedia.
Vena cava filter dapat dipertimbangkan apabila ada kontraindikasi absolut
dari pemberian antikoagulan pada pasien dengan TVD proksimal. Kontraindikasi
absolut pemberian antikoagulan adalah perdarahan intrakranial, perdarahan aktif
berat, pasca operasi mata atau medulla spinalis dan hipertensi maligna. Sedangkan
yang termasuk ke dalam kontraindikasi relatif adalah kodisi pasca bedah mayor,
pasca insiden serebrovaskular, perdarahan saluran cerna aktif, hipertensi berat,

gagal hati atau gagal ginjal berat dan trombositopenia berat.8,12

13
Tabel 7. Kontraindikasi terapi trombolitik.9
Kontraindikasi Absolut Kontraindikasi Relatif
- Stroke perdarahan - TIA dalam 6 bulan terakhir
- Stroke iskemik, 6 bulan terakhir - Dalam terapi antikoagulan
- Gangguan SSP atau neoplasma - Kehamilan atau satu minggu postpartum
- Trauma major, pembedahan atau trauma - Resusitasi traumatik
kepala dalam 3 minggu terakhir - Hipertensi refraktori (TD >180mmHg)
- Perdarahan gastrointestional - Advanced liver disease
- Risiko perdarahan yang sudah diketahui - Infective endocarditis
- Ulkus peptikum aktif

2.7. Komplikasi
Komplikasi jangka panjang yang seringkali terjadi menyertai tromboemboli
vena adalah sindroma paska trombosis (post-thrombotic syndrome) yang
didefinisikan sebagai gejala vena kronis dan tanda sekunder akibat TVD. Sindroma
paska trombosis ini adalah komplikasi TVD yang seringkali terjadi. Faktor risiko
dari terjadinya sindroma paska trombosis adalah adanya riwayat TVD, lokasi
trombosis di proksimal dan residual veins obstruction. Faktor risiko lain yang juga
dapat memicu munculnya sindroma paska trombosis adalah obesitas dan kontrol
INR yang buruk selama 3 bulan pertama perawatan. Skoring Villalta dapat
digunakan untuk mengevaluasi pendekatan klinis serta pengobatan yang diberikan

pada sindroma paska trombosis (Tabel 8).13,14

Tabel 8. Skoring Villalta untuk sindroma paska trombosis. 14


Tanda dan Gejala Tidak ada Ringan Sedang Berat
Nyeri 0 1 2 3
Keram 0 1 2 3
Heave 0 1 2 3
Parestesi 0 1 2 3
Pruritus 0 1 2 3
Edema pretibial 0 1 2 3
Indurasi kulit 0 1 2 3
Hiperpigmentasi 0 1 2 3
Kemerahan 0 1 2 3
Venous ectasia 0 1 2 3
Nyeri tekan pada tungkai 0 1 2 3
Ulkus vena (–) (+)
Diagnosis Sindroma paska trombosis (SPT) bila skor ≥ 5 atau adanya ulkus
vena Derajat ringan bila skor 5 – 9
Derajat sedang bila skor 10 – 14
Derajat berat bila skor ≥ 15 atau adanya ulkus vena

14
2.8. Prognosis
Sekitar 50% pasien dengan DVT proksimal simtomatis yang tidak diberikan
terapi akan berkembang menjadi emboli paru simtomatis dalam waktu 3 bulan.
Meskipun sudah mendapatkan terapi yang adekuat, DVT tetap dapat terulang.
Sekitar 10% pasien dengan DVT simtomatis berkembang menjadi sindroma paska
trombosis berat dalam waktu 5 tahun.
Prognosis dari emboli paru baik bila terapi yang tepat diberikan dengan
segera. Angka kematian karena emboli paru mencapai 15% dalam 6 bulan.
Sedangkan pada emboli paru masif, 70 % pasien mengalami kematian dalam waktu
2 jam sesudah serangan akut. Prognosis juga terbilang buruk pada pasien dengan
emboli paru kronik dan berulang. Resolusi komplit dapat tercapai dalam waktu 7-
19 hari, tergantung dari terapi yang diberikan dan derajat emboli paru.

2.9. Pencegahan
Karena sebagian besar tromboemboli vena bersifat asimtomatik, maka
pencegahan terjadinya trombosis atau dikenal juga dengan sebutan
tromboprofilaksis harus dipertimbangkan terutama pada kasus-kasus dengan resiko
3
tinggi. Risiko terjadinya tromboemboli vena dibagi menjadi risiko rendah, risiko
sedang, risiko tinggi dan risiko sangat tinggi (Tabel 9).3
Metode-metode trombofilaksis yang dapat digunakan adalah ambulasi dini,
graduated compression stockings, pneumatic compression decises, dan pemberian
antikoagulan seperti antagonis vitamin K (warfarin), UFH subkutan dan LMWH.
Pemilihan metode profilaksis kembali lagi bergantung pada penilaian tampilan
klinis dan faktor resiko pada setiap kasus. Graduated compression stockings
dipasang pada ekstremitas bawah dengan tujuan untuk mengurangi penumpukan
darah vena. Penggunaan pneumatic compression device yang seringkali disebut
dengan sequential compression devices dapat mengurangi resiko pembentukan

gumpalan darah dengan menstimulasi pelepasan faktor fibrinolisis secara mekanis.3

15
Tabel 9. Kategori risiko trombosis dan tindakan pencegahan yang dianjurkan. 3
Risiko Kategori
Risiko rendah - Operasi minor pada pasien usia < 40 tahun tanpa faktor
(low risk) risiko tambahan
Risiko sedang - Operasi minor dengan faktor risiko tambahan
(intermediate risk) - Operasi bukan mayor pada pasien usia 40-60 tahun
tanpa faktor risiko tambahan
- Operasi mayor pada pasien usia < 40 tahun tanpa faktor
risiko tambahan
Risiko tinggi - Operasi bukan mayor pada pasien usisa > 60 tahun atau
(high risk) dengan faktor risiko tambahan
- Operasi mayor pada pasien usia > 40 tahun atau dengan
faktor risiko tambahan
Risiko sangat tinggi - Operasi mayor pada pasien usia >40 tahun
(very high risk) - Riwayat tromboemboli
- Riwayat trombofilia
- Kanker

16
BAB III
RINGKASAN

• Trombosis vena dalam adalah hambatan aliran vena menuju jantung yang
disebabkan oleh trombus di lumen vena dalam. Emboli paru adalah kelainan
jaringan paru yang disebabkan oleh embolus yang menyumbat arteri pulmonalis
• Tiga kelompok faktor pendukung yang dianggap memiliki peran penting dalam
pembentukannya yang dikenal sebagai Trias Virchow yaitu abnormalitas aliran
darah, dinding pembuluh darah dan komponen faktor koagulasi
• Gambaran klasik TVD adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri,
dapat diraba pembuluh darah superfisial dan Homan’s sign positif. Dalam
pendekatan diagnosis klinis terhadap trombosis vena dalam, dapat digunakan
sistem skoring Wells
• Sebagian besar dari kasus emboli paru tidak menimbulkan gejala sehingga
diagnosis emboli paru seringkali terlewatkan. Pasien dengan emboli paru
seringkali datang dengan keluhan nyeri dada mendadak, sesak napas, hemoptisis,
keringat berlebih dan gelisah. Dalam pendekatan diagnosis terhadap emboli paru,
skoring Wells untuk emboli paru dapat digunakan sebagai parameter klinis
• Tujuan dari penatalaksaan trombosis vena dalam adalah untuk menghentikan
bertambahnya trombus, menghentikan pembengkakan tungkai, membuang bekuan
darah (trombektomi), mencegah disfungsi vena atau sindroma paska trombosis
(post thrombotic syndrome) dan mencegah terjadinya emboli
• Penatalaksanaan trombosis vena dalam terdiri dari 3 fase yaitu fase inisial (hari ke
5-21), fase jangka panjang (bulan ke 3-6) dan fase lanjutan (setelah bulan ke 6)
• Terapi trombolitik seperti streptokinase, rTPA atau urokinase dapat diberikan
dengan tujuan untuk memecahkan trombus secara cepat dengan cara
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin
• Komplikasi jangka panjang yang seringkali terjadi menyertai tromboemboli vena
adalah sindroma paska trombosis (post-thrombotic syndrome)

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldhaber SZ. Deep venous thrombosis and pulmonary thromboembolism. In:


Dan L. Longo, Anthony S. Fauci, Dennis L. Kasper, Stephen L. Hauser, J. Larry
Jameson, Joseph Loscalzo, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
18th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p. 2170–7.
2. Silverstein MD, Heit JA, Mohr DN, Petterson TM, O’fallon WM MLI. Trends in
the incidence of deep vein thrombosis and pulmonary embolism: a . 25-year
population-based study. Arch Intern Med. 1998;158:585–93.
3. Sukrisman L. Trombosis vena dalam dan emboli paru. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo
AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 2818–22.
4. Raskob GE, Angchaisuksiri P, Blanco AN, Buller H, Gallus A, Hunt BJ, Hylek
EM, Kakkar A, Konstantinides SV, McCumber M, Ozaki Y WA. Thrombosis: a
major contributor to global disease burden. Arter Thromb Vasc Biol. 2015;0:201.
5. Torbicki A, Perrier A, Konstantinides S, Agnelli G, Galie N, Pruszczyk P, et al.
Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. Eur
Heart J. 2008;29:2276–315.
6. Dickson BC. Venous Thrombosis: On the History of Virchow’s Triad. Univ
Toronto Med J [Internet]. 2004;81:166–71. Available from:
http://utmj.org/archive/81-3/HIST.pdf
7. Wells PS, Hirsh J, Anderson DR, Lensing AW, Foster G, Kearon C, Weitz J,
D’ovidio R, Cogo A, Prandoni P. Accuracy of clinical assessment of deep-vein
thrombosis. Lancet 1995;345:1326–1330.
8. Anonymous. Trombosis vena dalam. In: Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J,
Tahapary DL, editors. Panduan Praktik Klinis (PPK) PAPDI. 1st ed. Jakarta:
Interna Publishing; 2016. p. 544–50.
9. Konstantinides S, Torbicki A. 2014 ESC Guidelines on the diagnosis and
management of acute pulmonary embolism. Eur Heart J. 2014;1:1–4.
10. Becattini C, Agnelli G. Treatment of venous thromboembolism with new
anticoagulant agents. J Am Coll Cardiol. 2016;67:1941–1955.

18
11. Ramzi D, Leeper K. DVT and Pulmonary Embolism: Part II. Treatment and
Prevention. Am Fam Physician. 2004;69:2841–8.
12. Mazzolai L, Aboyans V, Ageno W, Agnelli G, Alatri A, Bauersachs R, et al.
Diagnosis and management of acute deep vein thrombosis  : a joint consensus
document from the European society of cardiology working groups of aorta and
peripheral vascular diseases and pulmonary circulation and right ventricular
function. Eur Heart J. 2017;0:1–14.
13. Prandoni P, Kahn S. Post-thrombotic syndrome: prevalence, prognostication and
need for progress. Br J Haematol. 2009;145:286–95.
14. Baldwin MJ, Moore HM, Rudarakanchana N, Gohel M DA. Post-thrombotic
syndrome: a clinical review. J Thromb Haemost. 2013;11:795–805.

19

Anda mungkin juga menyukai