Anda di halaman 1dari 19

1.

ANATOMI
Uveal tract adalah lapisan vaskuler utama dari mata yang berbentuk sferis
dan berwarna coklat seperti anggur, dengan nervus optikus berada pada
tangkainya. Uveal tract terletak di antara korneosklera dan neuroepitelium, terdiri
atas; iris di anterior, badan silier di tengah dan koroid di posterior. Secara
embriologis, uveal tract berasal dari neuroektoderm, sel neural crest, dan
vaskuler. Uveal tract tertanam pada sklera di 3 lokasi: scleral spur, exit points dari
vena vortikosa, dan nervus optik. Perlekatan ini menyebabkan terbentuknya balon
anterior pada detasemen koroid.

Gambar 1.1. Skematik mata manusia. Uveal tract terdiri atas : iris, badan silier, dan koroid1.

Uveal tract anterior terdiri atas iris dan badan silier. Iris merupakan
diafragma yang membagi bola mata menjadi 2 segmen yaitu anterior dan
posterior, yang ditengah-tengahnya berlubang dan dinamakan pupil2. Iris
adalah bagian paling anterior dari uveal tract yang membagi segmen anterior
menjadi bilik anterior dan posterior3. Iris terdiri atas pembuluh darah dan
jaringan pengikat, dengan tambahan dari melanosit dan sel pigmen yang
memberikan warna unik. Pergerakan iris membolehkan pupil berubah ukuran.
Perdarahan iris diurus oleh arteri siliaris posterior longus yang di iris
membentuk jaringan pembuluh darah sirkulus arteriosus mayoris di basis dan
sirkulus arteriosus minoris2. Persarafan keluar dari pleksus yang ada dalam
badan siliar, berasal dari nervus III dan saraf simpatis2. Jaras saraf yang
termyelinasi dan tidak termyelinasi berfungsi sebagai sensorik, vasomotor,
dan muskular melalui stroma.

1
Otot yang terdapat di dalam iris adalah otot sfingter pupil (M. sphincter
pupillae) yang berjalan sirkuler dan terletak di dalam stroma dekat pupil dan
dipersarafi oleh saraf parasimpatetis nervus III. Otot dilatator pupil (M.
dilatator pupillae) berjalan dari akar iris ke pupil, letaknya di bagian posterior
stroma dan diurus oleh saraf simpatetis2.
Badan silier memiliki ketebalan 6-7 mm, berbentuk segitiga, dan dilapisi
oleh epitel terpigmentasi serta tidak terpigmentasi. Prosesus siliar
mengeluarkan cairan bilik mata (aqueous humor) dan makanan untuk kornea
dan lensa. Pada peradangan akibat hiperemi yang aktif, maka pembentukan
cairan bilik mata bertambah. Bila peradangannya hebat dan merusak,
sebagian besar badan silier akan atrofi sehingga cairan bilik mata akan
berkurang. Badan silier terdiri atas 2 bagian :

 Pars plana setebal 4 mm, terletak di posterior, tidak bergerigi, serta


relatif tidak memiliki pembuluh darah. Terdapat zona terpigmentasi
yang halus, serta memanjang dari ora serrata ke prosesus silier3.
 Pars plicata/korona yang terletak di anterior, bergerigi, serta kaya akan
pembuluh darah dan terdiri atas sekitar 70 lipatan radial atau prosesus
silier3. Di dalam badan siliar terdapat 3 macam otot siliar yang
berjalan radier, sirkuler, dan longitudinal. Fungsi otot siliar untuk
akomodasi3.
Suplai arteri utama ke badan silier berasal dari arteri silier anterior dan
panjang, yang bergabung bersama membentuk plexus arteri multilayer.
Drainase vena mayor terletak di posterior melalui sistem vortikosa, walaupun
beberapa drainase terjadi melalui plexus vena intraskleral dan vena episkleral
ke regio limbal.
Terdapat 3 lapis serat pada otot silier, yakni longitudinal, radial, dan
sirkuler. Secara klinis, ketiga grup serat otot berfungsi sebagai 1 unit. Terjadi
perubahan otot seiring pertambahan usia, dengan bertambahnya jumlah
jaringan pengikat otot dan hilangnya elastic recoil setelah kontraksi. Kedua
serat saraf yang termyelinasi dan tidak termyelinasi terdapat di sepanjang otot
silier. Inervasi nya berasal dari jaras parasimpatetik CN III melalui nervus

2
silier brevis. Terdapat pula serat simpatetik yang mungkin memainkan peran
dalam relaksasi otot.

2. DEFINISI
Uveitis secara umum didefinisikan sebagai inflamasi pada uveal tract yang
terdiri atas iris, badan silier, dan koroid. Uveitis dibagi berdasarkan lokasinya
menjadi anterior, intermediet, posterior, dan panuveitis. Uveitis anterior adalah
inflamasi lapisan tengah mata, yakni pada uvea dan badan silier2,4.

3. KLASIFIKASI
Uveitis diklasifikasikan menjadi kelompok berbeda berdasarkan anatomi
area yang terlibat, onset klinis, durasi penyakit, perjalanan klinis, etiologi,
histologi, serta aktivitas inflamasi. Secara anatomis, berdasarkan pembagian SUN
working group, uveitis anterior dibagi menjadi5 :
 Iritis : Inflamasi bilik anterior
 Iridosiklitis : Inflamasi bilik anterior dan ruang retrolental
Berdasarkan onset klinis nya, uveitis dibedakan menjadi :
 Mendadak
 Tersembunyi
Berdasarkan durasi, dibedakan menjadi :
 Terbatas : ≤3 bulan
 Persisten : ≥3 bulan
Berdasarkan perjalanan penyakit, dibedakan menjadi6:
 Akut : onset mendadak, durasi terbatas
 Rekuren : episode berulang dengan episode nonaktif di antaranya
tanpa pengobatan ≥ 3 bulan
 Kronis : persisten dengan relaps dalam < 3 bulan setelah putus obat
Berdasarkan histologi, dibedakan menjadi5:
 Granulomatosa : terdapat infiltrat limfositik, sel plasma,
epiteloid, dan giant cells
 Non-granulomatosa : hanya terdapat infiltrat limfositik dan sel
plasma

3
4. EPIDEMIOLOGI
Uveitis dapat mempengaruhi kalangan dari segala usia dan merupakan
salah satu penyebab utama dari kebutaan yang dapat dicegah, uveitis
menyebabkan 10% dari kasus kebutaan di dunia3,7. Prevalensi uveitis di dunia
adalah 115-204/100,000 orang dengan insidensi 17-52/100,000 orang per tahun8,9.
Usia rata-rata penderita uveitis adalah 40 tahun. Insidensi dan prevalensi uveitis
rendah pada usia pediatrik (prevalensi 30/100.000 orang per tahunnya) dan tinggi
pada usia > 65 tahun (prevalensi 151.3/100.000 orang per tahunnya)5. Dilihat
secara umum, rasio pria-wanita terkena uveitis seimbang10. Mayoritas kasus
uveitis adalah uveitis anterior, diikuti dengan panuveitis dan uveitis posterior.
Berbagai penelitian terkait distribusi uveitis menunjukkan uveitis terbagi menjadi
anterior 44-49%, panuveitis 13-41%, intermediet 3-28%, serta posterior 2-
20%5,9,11,12,13,14,15,16.

5. ETIOLOGI
5.1. Uveitis Infeksi Bakteri
a. Uveitis Toksoplasmosis
Sebanyak 20-60% kasus Uveitis Posterior disebabkan oleh
T.gondii dengan gejala utama necrotizing chorioretinitis.
Toksoplasmosis kongenital biasanya di kedua mata sehingga
umumnya disertai strabismus, nystagmus, dan kebutaan. Lesi
toksoplasmosis didapat umumnya di satu mata, namun jika
dijumpai lesi aktif toksoplasmosis di kedua mata pada orang
dewasa, perlu dipikirkan kemungkinan HIV. Dapat ditemukan lesi
nekrosis fokal di retina, berwarna putih kekuningan seperti kapas
dan batas tidak jelas. Pada proses penyembuhan, batas lesi menjadi
lebih tegas disertai pigmentasi perifer.

4
Gambar 1. Retinokoroiditis Toksoplasmosis
Papil bulat, batas tidak tegas dengan eksudat berwarna putih
kekuningan di daerah macula

b. Uveitis Tuberkulosis
Gambaran uveitis anterior tuberculosis umumnya
iridosiklitis granulomatosa di kedua mata, nodul di tepi iris (nodul
koeppe) atau di permukaan iris (nodul busacca), presipitat keratik,
hipopion dan sinekia posterior. Pada uveitis posterior dapat timbul
korioditis, tuberkel, tuberculoma atau abses subretina dengan
gambaran khas koroiditis serpiginosa.

Gambar 2. Nodul Koeppe di Tepi Pupil

5
Gambar 3. Nodul Busacca di Permukaan Iris

c. Uveitis Sifilis
Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum yang
ditularkan melalui abrasi kulit atau mukosa saat berhubungan
seksual. Pada sifilis kongenital, T.pallidum ditularkan melalui
plasenta dari ibu yang mengidap sifilis. Barile et al menemukan
bahwa 71% kasus uveitis sifilis terjadi di segment anterior.

5.2. Uveitis Infeksi Virus


a. Virus Varicella Zoster / Varicella Zoster Virus (VZV)
Infeksi VZV primer menyebabkan kulit melepuh dan virus
diam dorman di ganglia saraf sensorik. Manifestasi uveitis anterior
akibat VZV terjadi pada dekade ke-6 atau 7, usia tua menyebabkan
penurunan sel imunitas-spesifik-VZV sehingga terjadi reaktivasi
virus di nervus V jaras oftalmik17.

b. Virus Herpes Simpleks / Herpes Simpleks Virus (HSV)


HSV dibagi menjadi tipe 1 dan 2. Infeksi HSV
ditransmisikan melalui kontak kulit ke kulit. HSV akan berdiam
diri secara laten di ganglion nervus V dan tereaktivasi dari waktu
ke waktu, menyebabkan penyakit yang rekuren. Manifestasi infeksi

6
HSV di mata umumnya terjadi pada orang berusia 40-50 tahun,
dengan rasio pria dan wanita yang sama17.

c. Cytomegalovirus (CMV)
Cytomegalovirus biasanya ditemukan pada pasien
imunokompromis. Infeksi CMV umumnya bersifat subklinis, atau
dapat menyebabkan gejala prodromal. CMV akan berdiam laten di
monosit hingga tereaktivasi. Uveitis anterior akut terjadi pada
orang berusia 30-40 tahun, sementara bentuk kronis terjadi pada
usia 50-70 tahun17.

Adapun virus lainnya yang jarang ditemukan pada uveitis anterior adalah
Epstein-Barr Virus (EBV), virus Rubela, Human Parvo Virus (HPV), serta virus
Cikungunya.

5.3. Uveitis Infeksi Jamur


Uveitis jamur dapat disebabkan oleh Histoplasma capsulatum,
Pneumocystis choroiditis, Pneumocytis jirovecii, Cryptococcal choroiditis,
Candida, dan Coccidioidomycosis yang umumnya terjadi pada individu dengan
gangguan imun.

6. PATOFISIOLOGI
Inflamasi merupakan respon jaringan terhadap stimuli infeksius. Inflamasi
dapat bersifat supuratif atau nonsupuratif. Respon supuratif dikarakterisasikan
oleh infiltrasi leukosit PMN pada jaringan tersebut. Pada kasus uveitis anterior,
terjadi inflamasi nonsupuratif yang ditandai oleh sifat fibrinosa, serosa,
sanguinosa, atau purulen sebagai berikut5.
 Serosa : flare aqueous disebabkan oleh influks protein
 Purulen : Leukosit PMN dan debris nekrotik menyebabkan hipopion
 Fibrinosa : plasmoid, atau eksudat fibrin yang banyak
 Sanguinosa : sel inflamatorik dengan eritrosit yang bermanifestasi
menjadi gabungan hipopion-hifema.

7
Mekanisme patofisiologi uveitis anterior masih belum diketahui. Inflamasi
dari iris dan badan silier menyebabkan hancurnya blood-ocular barrier. Hal ini
menyebabkan protein dan WBC dapat ekstravasasi ke aqueous humor sehingga
menyebabkan gejala iritis cells dan flare yang tipikal.

7. DIAGNOSIS
7.1. Anamnesis
Hal yang patut diketahui untuk mendiagnosis uveitis beserta
etiologinya adalah ras, jenis kelamin, usia, distribusi uveitis, lamanya
perjalanan penyakit, severitas, status imunitas, medikasi sistemik yang
dikonsumsi, riwayat trauma, riwayat bepergian, pola makan, binatang
peliharaan, pekerjaan, riwayat penggunaan narkotika serta obat-obatan.
Gejala pada uveitis aktif tergantung pada lokasi anatomis dari
inflamasi tersebut, kecepatan onset inflamasi, durasi serta perjalanan
penyakit5. Gejala pada umumnya adalah : mata hiperemis, nyeri, fotofobia,
epifora, gangguan visus buram, pergeseran miopik atau hiperopik, sel
inflamatorik, katarak, skotomata (sentral/perifer), serta floater. TIO (tekanan
intraokuler) dapat meningkat akibat oklusi trabecular meshwork oleh sel
inflamatorik atau jika meshwork itu sendiri terlibat inflamasi uveitis18.

7.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan dengan slit lamp dan tonometri. Tanda
dari uveitis anterior secara umum adalah : sel inflamatorik, flare, fibrin,
hipopion, sinekia, nodul iris, atrofi iris, presipitat keratik, miosis pupil,
dispersi pigmen, serta keratopati batang. Ketika memeriksa pasien dengan
gejala inflamasi okuler, dapat menggunakan mnemonik RSVP (Redness,
Light Sensitivity, Change in Vision, Pain)10.
Berikut adalah temuan fisik berdasarkan virus penyebabnya19 :
7.2.1. Virus Varicella Zoster / Varicella Zoster Virus (VZV) dan Virus
Herpes Simpleks / Herpes Simplex Virus (HSV)
Uveitis anterior akibat HSV dan VZV mudah didiagnosis jika
terdapat lesi vesikel di kulit. Sementara itu diagnosis menjadi sulit
jika hanya bilik anterior yang terinfeksi. Umumnya HSV dan VZV

8
adalah penyakit mata unilaterla dengan presipitat keratik
granulomatosa yang berlokasi di depan atau di Arlt’s triangle.
Terdapat peningkatan TIO pada 50-90% kasus.
VZV dapat menyebabkan keratouveitis yang biasanya unilateral.
Keratouveitis adalah inflamasi dari kornea biasanya disertai dengan
uveitis anterior. Dikarakterisasikan dengan : vesikel kulit, perubahan
kornea, berkurangnya sensasi kornea, meningkatnya tekanan
intraokuler, atrofi iris. Dapat menimbulkan komplikasi berupa
nekrosis retina akut.
Pada HSV, jarang terjadi nekrosis retinal akut unilateral atau
bilateral yang ditandai dengan panuveitis, lesi retina padat kuning
pucat. Setelahnya, terjadi inflamasi granulomatosa iris yang terdiri
atas limfosit, makrofag, sel plasma, atau fibrin. Edema atau nekrosis
iris juga dilaporkan pada beberapa kasus. Pada nekrosis retinal akut,
pemeriksaan histopatologis menunjukkan retinitis nekrotik dengan
ketebalan penuh, arteriris retinal serta koroidal, optik neuritik
nekrotik segmental, panuveitis, dan vaskulitis. Badan inklusi
intranuklear khas HSV tampak melalui mikroskop cahaya dan
elektron di retina dan RPE. HSV dicurigai menjadi penyebab
nekrosis retinal akut dikarenakan tingginya titer antibodi HSV atau
terdapat antigen HSV di cairan vitreous4.
7.2.2. Cytomegalovirus (CMV)
Biasanya onset akut dengan penurunan visus unilateral disertai
halos dan sakit kepala ipsilateral. Mata cukup terinjeksi dan terdapat
edema epitelial. Terdapat beberapa presipitat keratik dengan
aktivitas sedang di bilik anterior dan atrofi iris. TIO meningkat.
Sementara itu, pada infeksi CMV kronis, biasanya mata hanya
terinjeksi minimum dan memiliki presipitat keratik yang diffuse-fine-
stellate di sepanjang endotelium. TIO meningkat namun lebih rendah
dari inflamasi akut. Lesi nodul endotelial berwarna putih, berukuran
sedang, dikelilingi halo translusen.

9
Temuan yang khas adalah retinitis nekrotik yang ditandai oleh
banyak area granular putih-kekuningan yang diasosiasikan dengan
perdarahan retina ekstensif dan vascular sheathing. Sering kali
terdapat garis tegas yang memisahkan retina normal dari yang
nekrotik.
Retina menebal, dan struktur laminarnya terdisrupsi dengan
keberadaan banyak sel yang membesar dan mengandung inklusi
eosinofil intranuklear Cowdry tipe A dengan zona jernih di
sekitarnya, memberikan penampakan “owl’s-eye”.
7.2.3. Virus Rubella / Rubella Virus (RV)
Dikarakterisasikan dengan iritis persisten kronis, presipitat keratik
diffuse-fine-stellate, atrofi iris yang difus, tidak ada sinekia posterior,
pembentukan katarak subkapsular posterior, vitritis, serta pembuluh
darah retina perifer bocor. Selain itu, biasanya ditemukan pada
pasien yang tidak merespon kortikosteroid.
Efek okuler termasuk mikropthalmia, kekeruhan korneal,
disgenesia angle dengan glaukoma, hipoplasia iris, katarak
kongenital, dan iridosiklitis non granulomatosa. Iridosiklitis
nongranulomatosa dengan infiltrat limfositik dan hipoplasia iris
sekunder dikarenakan infeksi virus secara langsung. Badan silier
juga dapat menunjukkan inflamasi granulomatosa. Hiperpigmentasi
dan hipopigmentasi epitel menyebabkan tampakan fundus “salt-
pepper”.
7.2.4. Epstein-Barr Virus (EBV)
Infeksi EBV menyebabkan inflamasi okular, termasuk
konjungtivitis, episkleritis, keratitis, uveitis, dan neuritis optik.
Infeksi CMV dikarakterisasikan dengan uveitis anterior akut bilateral
yang parah dan retinitis koroiditis punktata luar akut dengan
panuveitis. Titer antibodi anti-EBV IgG yang tinggi pada aqueous
humor menandai infeksi CMV. Tidak ada pemeriksaan biopsi yang
berguna untuk mendiagnosis virus sebagai etiologi uveitis posterior.

10
7.3. Pemeriksaan Penunjang
Dalam mendiagnosa uveitis anterior, diperlukan pendekatan berbeda
untuk setiap pasien sesuai dengan karakteristik yang menggambarkan
kemungkinan etiologinya. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa5 :
 Tes Hematologik
o CBC : rule out leukemia, limfoma, status imun,
neutropenia
o ESR : rule out giant cell arteritis
o T cell : rule out HIV
 Tes Serologik
o Serologi EBV, HSV, VZV, CMV : menentukan virus patogen
o Serologi HIV/Western blot : rule out HIV
o IgM Tokoplasma
 Pemeriksaan X-ray Thorax, Tuberkulin, Pemeriksaan sputum
pewarnaan Ziehl Neelsen untuk pemeriksaan Uveitis akibat TB.
 Analisis cairan intraokuler dan biopsi jaringan
Dilakukan parasentesis cairan aqueous sebanyak 0,1-0,2 mL
untuk evaluasi PCR HSV-1/HSV-2/VZV/CMV/EBV. Jika pasien
dicurigai mengalami endoftalmitis, limfoma primer intraokuler,
keganasan intraokuler, etiologi infeksius dari uveitis posterior
maupun panuveitis, uveitis kronis dengan presentasi klinis atipikal,
uveitis dengan pemeriksaan penunjang sistemik yang inkonklusif,
serta uveitis dengan respon inadekuat terhadap terapi, maka dapat
dilakukan biopsi cairan vitreous. Prosedurnya melalui vitrektomi
pada 3-port pars plana dan diambil 0,5-1,0 mL cairan vitreous.
Gabungan kedua pemeriksaan menghasilkan sensitifitas 81% serta
spesifisitas 97%.
 Laser flare photometer
Mengukur pantulan hamburan cahaya dari molekul kecil seperti
protein di kamar okuli anterior. Dengan menggunakan alat ini, dapat
mengklasifikasikan grade uveitis anterior menjadi inaktif, aktifitas

11
memburuk, aktifitas membaik, atau remisi6. SUN mengembangkan
metode grading sel inflamatorik dan flare di bilik anterior menjadi :
Grade Sel di Lapangan (1x1 Deskripsi
mm Slit Beam)
0 <1 Tidak ada
0.5+ 1-5 -
1+ 6-15 Samar-samar
2+ 16-25 Moderat (detail iris dan lensa jernih)
3+ 26-50 Meningkat (detail iris dan lensa buram)
4+ >50 Intens (aqueous fibrin atau plasmoid)

7.4. Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari uveitis adalah sebagai berikut2 :
No. Tanda Uveitis Anterior Akut Konjungtivitis Glaukoma akut
akut
1 Sakit Sedang, terutama Tidak atau hanya Hebat di seluruh
daerah mata yang sedikit bulbus mata dan
dipersarafi nervus V yang dipersarafi
nervus V
2 Injeksi Injeksi perikornea Injeksi Injeksi
konjungtiva konjungtiva,
perikornea, dan
episkleral
3 Pupil Miosis, ireguler Normal Lebar, lonjong
4 Reaksi Berkurang Normal Berkurang
cahaya sampai (-)
5 Media Keruh pada kornea Jernih Kornea keruh
dengan keratik karena edema.
presipitat, edema, dan Pada keadaan
sel radang pada COA. lanjut
Terdapat oklusi pupil, menyebabkan
lensa katarak, dan sel katarak
radang pada badan kaca
6 Visus Sedang, tidak begitu Baik Sangat buruk
buruk
7 Timbulnya Gradual Gradual Mendadak
8 Gejala Sedikit Tidak ada Muntah-muntah
sistemik
9 Pemeriksaan (-) Terdapat kuman (-)
sekret penyebab
10 Tekanan Normal/tinggi/turun Normal Sangat tinggi
intraokuler
Diagnosis banding dari uveitis anterior sangat luas, dan mencakup agen
infeksius (virus, bakteri, fungi, protozoa, helminth), noninfeksius
(imunologik, alergik), neoplasma, endoftalmitis, dan idiopatik. Limfoma sel
besar, retinoblastoma, leukemia, dan melanoma maligna dapat di salah
artikansebagai uveitis anterior5.

12
Berikut adalah tabel gejala dan tanda uveitis anterior yang disebabkan
oleh herpes virus17.

Etiologi
Karakteristik
HSV-1/2 VZV CMV
Epidemiologi
Usia (tahun) 30-50 50-70 20-50 40-70
Predominasi
Seimbang Seimbang Pria (65%) Pria (80%)
jenis kelamin
Predominasi ras Tidak spesifik Tidak spesifik Asian
Gejala
Onset Akut Akut Akut Kronis
Perjalanan
Rekuren Kronis Akut Kronis
penyakit
Rekurensi Terkadang (46%) Terkadang (51%) Ya Tidak
Umumnya
Lokasi Bilateral (18%) Unilateral Unilateral
unilateral
Mata merah Hebat Moderat Ringan Lebih Ringan
Nyeri Hebat Moderat Ringan Lebih Ringan
TIO ↑ ↑ ↑↑ ↑
Lesi vesikel di
Sekelompok sepanjang nervus
Kulit Tidak spesifik
vesikel tigeminal ramus
oftalmikus
Tanda
58%
61%
Ulkus
Ulkus
neurotrofik, ulkus 26% Endotelial noduler,
neurotrofik, ulkus
Lesi kornea dendritiform, Endotelial keratitis immune
dendritik, keratitis
keratitis noduler ring
disiform dan
numularis dan
intersisial
limbal
Sensasi kornea ↓ ↓ Normal
Granulomatosa / Granulomatosa / Fine, stellate,
Presipitat keratik Non- Non- Granulomatosa diffuse ±
granulomatosa granulomatosa pigmented
Sel bilik anterior Moderat Moderat Sedikit Moderat
Flare bilik
Moderat Moderat Minimum Minimum
anterior
Terkadang Terkadang
Bentuk pupil Normal
ireguler ireguler
Sinekia posterior Terkadang (38%) Terkadang (40%) Tidak ada
Sektoral/spiral Sektoral, sirkuler
Atrofi iris Terkadang patchy/diffuse
(46%) (88%)
Vitritis 43% 83% Tidak ada 9%
Glaukoma 54% 40% 23% 36%
Katarak 35% 30% 23% 75%

8. TERAPI
Terapi yang diberikan pada uveitis anterior yang disebabkan oleh virus
terdiri atas antiviral sistemik, NSAIDS, serta steroid topikal. Sikloplegik seperti
cyclopentolate 1% dapat mengurangi rasa sakit dan mencegah sinekia posterior.

13
Steroid topikal diberikan guna mengurangi inflamasi di bilik anterior. Diberikan
pula obat tetes mata kortikosteroid dosis rendah selama bertahun-tahun untuk
mencegah relaps. Jika TIO meningkat, diberikan timolol maleat 0,5% untuk
mencegah glaukoma. Jika tekanan TIO sangat tinggi, dibutuhkan carbonic
anhydrase inhibitor beserta operasi.
Pengobatan antiviral disesuaikan dengan patogen penyebabnya17:
8.1. Virus Herpes Simpleks / Herpes Simplex Virus (HSV)
Mayoritas kasus uveitis anterior HSV dikontrol dengan asiklovir oral 400
mg sebanyak 5 kali sehari dalam 4 minggu. Pada penyakit yang parah atau
rekuren, diberikan dosis maintenance asiklovir sebanyak 400 mg 2 kali sehari
untuk mencgah relaps. Obat alternatif adalah valasiklovir 500 mg 3 kali
sehari untuk terapi dan 500 mg 2 kali sehari untuk maintenance.
Jika HSV nonresponsif terhadap terapi oral asiklovir/valasiklovir, maka
diberikan asiklovir intravena dengan dosis tinggi 15 mg/kg 3 kali sehari. Jika
pasien tidak responsif, maka dilanjutkan dengan tes in vitro untuk sensitivitas
dan foskavir intravena 40 mg/kg 3 kali sehari. Jika pasien masih tidak
responsif, maka diberikan sidofovir intravena 5 mg/kg sekali seminggu17.
8.2. Virus Varicella Zoster / Varicella Zoster Virus (VZV)
VZV diobati dengan memberikan asiklovir 800 mg 5 kali sehari selama 10
hari. Obat harus diberikan dalam waktu 72 jam setelah onset lesi kulit untuk
mengurangi resiko episkleritis, keratopatik dendritiform, keratitis stromal,
serta uveitis anterior. Jika telah bermanifestasi menjadi uveitis anterior, maka
asiklovir harus diberikan selama minimal 4 minggu, terutama jika imunitas
pasien lemah. Relaps dicegah dengan dosis maintenance asiklovir 400 mg 3
kali sehari. Alternatif lainnya dengan memberikan valasiklovir 1 g 3 kali
sehari atau famsiklovir 500 mg 3 kali sehari.
8.3. Cytomegalovirus (CMV)
CMV diobati dengan valgansiklovir oral 900 mg 2 kali sehari selama 6
minggu diikuti dengan tambahan 450 mg selama 6 bulan berikutnya,
intravitreal 2 mg/0,1 mL sekali seminggu selama 3 bulan, gansiklovir gel
topikal 0,15% 5 kali sehari selama 3 bulan, serta gansiklovir intravitreal (2
mg / 0,05 mL) diikuti gansiklovir oral.

14
Terapi sistemik dan implan menghasilkan respon yang baik, namun
diasosiasikan dengan tingkat relaps yang tinggi. Kombinasi dari injeksi
intravitreal dan antivirus sistemik memberikan hasil yang baik selama follow-
up 15 bulan. Berdasarkan penelitian Sobolewska, 64% pengobatan
valgansiklovir pasien CMV dapat di stop setelah 14 bulan tanpa relaps.
Terapi valgansiklovir disarankan diberikan seminimal mungkin karena
memiliki efek toksik terhadap sumsum tulang dan ginjal20.

Terapi Bakteri
Sampai saat ini pengobatan toksoplasmosis ocular belum memberikan
hasil yang memuaskan. Multipikasi parasite memang dapat dihambat
sehingga destruksi jaringan retina dan koroid berkurang namun parasite
belum dapat diberantas seluruhnya. Obat hanya membunuh takizoit T.gondii
dan tidak membasmi stadium kista, sehingga hanya mengobati infeksi akut,
tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi menahun yang berisiko aktif
kembali.
Kotrimoksasol diberikan dengan dosis trimetropim 160
mg/sulfametoksazol 800 mg dua kali sehari selama 4-6 minggu. Primetamin
diberikan dengan loading dose 75-100 mg selama 1-2 hari diikuti dengan
dosis 25-50 mg per hari selama 4 minggu. Asam folinat 50 mg tiga kali
seminggu diberikan untuk mengurangi trombositopenia, leukopenia, dan
defisiensi asam folat. Sulfadiazin diberikan 1 gram empat kali sehari selama
3-4 minggu, biasanya dengan kombinasi pirimetamin. Pilihan lain adalah
Azitrmoisin 25-500 mg per hari dikombinasi dengan pirimetamin, asam
folinate dan prednisolon. Prednisolon 1 mg/kgBB sebagai terapi awal lalu
dosis diturunkan tergantung kondisi klinis. Terapi Prednisolon dimulai 24-48
jam setelah terai antitoksoplasma.
Tatalaksana Tuberkulosis Okular sebaiknya dilakukan oleh dokter
spesialis mata yang bekerja sama dengan dokter spesialis penyakit dalam atau
paru. Pengobatan harus teratur dan dikontrol ketat agar memberikan hasil
yang baik. Kortikosteroid topikal dan sistemik diberikan berdasarkan obat
anti tuberculosis (OAT) untuk mengurangi kerusakan jaringan mata akibat

15
inflamasi terutama pada minggu-minggu awal pengobatan. Kortikosteroid
tidak boleh diberikan tanpa OAT karena mengakibatkan infeksi meluas.
Terapi tuberkulosis ocular sama dengan tuberkulosis paru yaitu kombinasi
isoniazid, rimfapisin, pirazinamid, dan etambutol sebagai terapi awal selama
dua bulan, dilanjutkan dengan regimen alternatif selama 4 bulan. Lama
pengobatan dapat diperpanjang pada kasus multi-drug resistance atau pada
individu yang memberikan respon lambat terhadap terapi. Pemberian OAT
harus berhati-hati karena memiliki efek samping yang berat. Etambutol dapat
menyebabkan neuritis optic, edema diskus, dan atrofi optic. Isoniazid,
rimpafisin, priazinamid bersifat hepatotoksik dan isoniazid dapat
menimbulkan neuropati perifer.
Pada uveitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, antibiotik diberikan
selama 2-3 hari lalu dapat diberikan kortikosteroid untuk menghentikan
inflamasi. Penisilin merupakan terapi pilihan pertama untuk terapi sifilis dan
diberikan setiap 4 jam selama 10-21 hari disertai kortikosteroid untuk
menghentikan inflamasi. Penisilin G benzatin diberikan 2 juta – 4 juta IU IM
setiap 4 jam selama 10-14 hari dilanjutkan dengan 2,4 juta IU IM setiap
minggu selama 3 minggu.

Terapi Jamur
Uveitis yang disebabkan oleh jamur diobati dengan tetes mata antijamur dan
pada infeksi berat diberikan antijamur sistemik. Tetes mata amfoterisin B
0,15% diberikan setiap jam. Antijamur lainnya adalah tetes mata natamisin
5% tiap jam atau flukonazol 0,3% tiap jam dan salep mata natamisin 5% tiga
kali sehari. Obat antijamur oral yang dapat diberikan adalah flukonazol 400
mg per hari atau itrakonazol 400-600 mg per hari.

Terapi Bedah
Terapi bedah diindikasikan untuk memperbaiki penglihatan. Operasi
dilakukan pada kasus uveitis yang telah tenang (teratasi) tetapi memiliki
perubahan permanen akibat komplikasi seperti katarak, glukoma sekunder,

16
dan ablasio retina. Kortikosteroid diberikan 1-2 hari sebelum operasi dan
steroid intraocular diberikan paska operasi.

9. PROGNOSIS
Pada umumnya, prognosis dari uveitis anterior yang disebabkan oleh virus
cukup baik jika terdiagnosa dengan benar dan diobati dengan obat antiviral yang
tepat, serta steroid topikal atau NSAIDs. Terkadang dapat timbul komplikasi
berupa katarak dan glaukoma. Katarak terjadi pada 35% kasus infeksi HSV, 30%
infeksi VZC, 23% infeksi CMV akut dan 75% infeksi CMV kronis. Sementara
itu, glaukoma terjadi pada 54% infeksi HSV, 40% infeksi VZV, 23% infeksi
CMV akut serta 36% infeksi CMV kronis. Sangat penting untuk mendiagnosa
virus patogen uveitis anterior dengan tepat untuk mencegah kesalahan terapi yang
berujung pada komplikasi kebutaan17.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Bousquet, Zhao M, Ly A, Leroux les Jardins G, Goldenberg B, Naud M-C,
et al E. The Aldosterone-Mineralocorticoid Receptor Pathway Exerts Anti-
Inflammatory Effects in Endotoxin-Induced Uveitis. PLoS One.
2012;7(11).
2. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta; 1983. 97-111 p.
3. Gregory Skuta, Louis B. Cantor, Jayne S. Weiss L. The Eye. In:
Fundamentals and Principles of Ophthalmology. Singapore: American
Academy of Ophthalmology; 2012. p. 55–63.
4. Daniel Albert, Frederick A. Jakobiec, Nancy L. Robinson M. Principle and
Practice of Ophthalmology Vol. 4. Philadelphia: Saunders; 2009. 2149-62
p.
5. Gregory Skuta, Louis B. Cantor, Jayne S. Weiss L. Clinical Approach to
Uveitis. In: Intraocular Inflammation and Uveitis. Singapore: American
Academy of Ophthalmology; 2012. p. 77–116.
6. Jabs, Nussenblatt RB, Rosenbaum JT D. The Standardization of Uveitis
Nomenclature (SUN) Working Group. Standardization of nomenclature for
reporting clinical data : results of the First International Workshop. Am J
Opthalmol. 2005;140:509–16.
7. Nussenblatt RB. The Natural History of Uveitis. Int Opthalmol. 1990;14(5–
6):303–8.
8. Jabs DA. Epidemiology of uveitis. Ophthalmic Epidemiol.
2008;15(5):283–4.
9. Gritz D. Incidence and prevalence of uveitis in Northern California – The
Northern California Epidemiology of Uveitis Study. Ophthalmology.
2004;111(3):491–500.
10. George N. Papaliodis. Uveitis : A Practical Guide to the Diagnosis and
Treatment of Intraocular Inflammation. Springer. Switzerland: Springer;
2017. 1-20 p.
11. Smith, Mackensen F, Sen HN, et al J. Epidemiology and Course of Disease
in Childhood Uveitis. Ophthalmology. 2009;116(8):1544–51.
12. Rathinam, Namperumalsamy P S. Global Variation and Pattern Changes in

18
Epidemiology of Uveitis. Indian J Ophthalmol. 2007;55(3):173–83.
13. Yang, Zhang Z, Zhou H, et al P. Clinical Patterns and Characteristics of
Uveitis in a Tertiary Center for Uveitis in China. Curr Eye Res.
2005;30(11):943–8.
14. Sengun, Karadag R, Karakurt A, Saricaoglu MS, Abdik O, Hasiripi H A.
Causes of Uveitis in A Referral Hospital in Ankara, Turkey. Ocul Immunol
Inflamm. 2005;13(1):45–50.
15. Singh, Gupta V, Gupta A R. Patterns of Uveitis in A Referral Eye Clinic in
North India. Indian J Ophthalmol. 2004;52(2):121–5.
16. Wakefield, Chang JH D. Epidemiology of Uveitis. Int Ophthalmol Clin.
2005;45(2):1–13.
17. Pleyer, Chee S U. Current Aspects on The Management of Viral Uveitis in
Immunocompetent Individuals. Clin Ophthalmol. 2015;9:1017–28.
18. Hogan, Kimura SJ, Thygeson P M. Signs and Symptoms of Uveitis. I.
Anterior Uveitis. Am J Ophthalmol. 1959;47(5):155–70.
19. Jap A, Chee S. Viral Anterior Uveitis. Curr Opin Ophthalmol.
2011;22:483–8.
20. Sobolewska, Deuter C, Doycheva D, Zierhut M B. Long-term Oral Therapy
with Valganciclovir in Patients with Posner-Schlossman Syndrome.
Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2014;252(1):117–24.

19

Anda mungkin juga menyukai