ILMU BEDAH
Oleh:
CAROLINE RATNASARI SARWONO 01073190113
MICHAELLA JANET 01073190058
PETER SYLVANUS 01073190097
Penguji
dr. Budhi Adiwijaya, Sp.BTKV
Keluhan Utama
Tungkai kiri bengkak sejak tanggal 4 Februari 2020
Riwayat Operasi
Pasien memiliki riwayat operasi usus buntu pada tanggal 15 Januari 2020.
Status Generalis
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil Isokor 3mm, RCL
(+/+), RCTL (+/+)
THT Sekret (-), Darah (-)
Ekstremitas CRT normal (< 2 detik), akral hangat, edema (+) hangat (+) hiperemis (+)
pada tungkai kiri, nyeri tekan (+) tungkai kiri
1.4 Resume
Pasien laki-laki berusia 48 tahun datang ke Siloam Hospital Lippo Village dengan
keluhan tungkai kiri bengkak sejak 4 Februari 2020. Pasien juga mengeluhkan adanya
nyeri pada tungkai kiri, sehingga pasien kesulitan untuk berdiri dan berjalan. Bengkak
pada tungkai kiri muncul tiba-tiba saat pasien sedang dirawat dan semakin memburuk
sejak 2 hari yang lalu. Pasien sehabis menjalani operasi usus buntu pada 15 Januari 2020.
Pasien mengatakan bahwa banyak menghabiskan waktu tidur di rumah, dikarenakan
rumah sakit dimana pasien menjalani operasi usus buntu mengatakan bahwa pasien harus
“bed rest” saat rawat jalan. Keluhan lain dari pasien adalah nyeri pada bekas luka
appendektomi sejak pasien awal masuk rumah sakit pada 30 Januari 2020. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan edema pada tungkai kiri dan juga luka bekas operasi yang
disertai nyeri tekan.
Hasil :
Laboratorium 30 Januari 2020
Differential Count
Basofil 0 0-1
Eosinofil 1 1-3
Neutrofil Segmen 78 50 - 70
Limfosit 12 25 - 40
Monosit 6 2-8
ESR 52 0 - 15
MCV 85.2 80.00 - 100.00
PT
INR
APTT
Biochemistry
Ureum 68 <50.00
SGOT 111 0 - 40
SGPT 140 0 - 41
Electrolyte
Differential Count
Basofil 0 0-1
Eosinofil 4 1-3
Neutrofil Segmen 69 50 - 70
Limfosit 20 25 - 40
Monosit 4 2-8
ESR 50 0 - 15
EKG
- Sinus tachycardia
Mikrobiologi
- E.coli
ESBL (+)
1.6 Diagnosis
Deep Vein Thrombosis
1.9 Resume
Pasien laki-laki berusia 48 tahun datang dengan keluhan tungkai kiri bengkak
sejak 4 Februari 2020. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pada tungkai kiri, sehingga
pasien kesulitan untuk berdiri dan berjalan. Bengkak pada tungkai kiri muncul tiba-tiba
saat pasien sedang dirawat dan semakin memburuk sejak 2 hari yang lalu. Pasien sehabis
menjalani operasi usus buntu pada 15 Januari 2020. Pasien mengatakan bahwa banyak
menghabiskan waktu tidur di rumah, dikarenakan rumah sakit dimana pasien menjalani
operasi usus buntu mengatakan bahwa pasien harus “bed rest” saat rawat jalan. Keluhan
lain dari pasien adalah nyeri pada bekas luka appendektomi sejak pasien awal masuk
rumah sakit pada 30 Januari 2020. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya luka
operasi disertai nyeri tekan pada perut kanan bawah akibat riwayat operasi appendektomi
perforasi. Pada ekstremitas bawah ditemukan tungkai kiri bengkak, kemerahan, hangat,
dan nyeri apabila ditekan. Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan
bahwa ESR pasien meningkat dengan nilai 52 mm/hr pada awal masuk rumah sakit dan
50mm/hr saat sebelum pulang. Pada hasil laboratorium juga didapatkan adanya
peningkatan WBC, Neutrofil segmen, dan limfosit saat pertama kali masuk rumah sakit.
Hasil pemeriksaan dari USG didapatkan DVT sepanjang vena femoralis komunis kiri,
femoralis superficialis sampai poplitea kiri, serta saphena parva kiri, dengan partial
obstruksi pada vena femoralis komunis kiri. Pada CT scan ditemukan abses dinding
abdomen kanan bawah (daerah insisi) yang meluas ke intraperitoneal dan tampak
berhubungan dengan loop ileum distal ukuran ± 10x5,67x11,6 cm, sludge ringan di
dalam kantung empedu, dan emboli paru dengan infark paru kiri.
FOLLOW UP
Tanggal Follow Up
-------------------------------------PULANG------------------------------------
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trombosis vena atau tromboflebitis adalah terbentuknya trombus di vena
superfisial atau dalam dan respon inflamasi di dinding pembuluh darah yang
diperdarahinya.1
Deep vein thrombosis a tau trombosis vena dalam a dalah keadaan dimana
terbentuknya satu atau lebih gumpalan darah di vena besar yang ada di bagian dalam
tubuh seseorang.2 DVT biasanya terbentuk di betis namun DVT juga bisa terbentuk di
vena yang lebih proksimal seperti pembuluh darah popliteal, femoral dan iliac. Gumpalan
darah tersebut akan menyebabkan penyumbatan sebagian atau seluruh pembuluh darah
vena yang bisa menyebabkan muncul gejala seperti nyeri, bengkak, nyeri ketika ditekan,
perubahan warna, kemerahan di area yang terlibat, serta rasa hangat di bagian kulit.3
Banyak DVT yang sembuh spontan dan sebagian lainnya berpotensi untuk
membentuk emboli. Salah satu emboli yang cukup sering terjadi adalah emboli paru, hal
ini bisa terjadi karena trombus lepas dan mengikuti arah aliran darah yang akhirnya
menyumbat arteri pulmonalis.2,3,9
2.2 Epidemiologi
DVT terjadi pada 1 dari 1000 orang dewasa dan resiko meningkat tajam ketika
seseorang sudah menginjak umur 45 tahun menjadi 5-6 dari 1000 orang serta
berkontribusi dalam 60.000-100.000 kematian setiap tahunnya. Penelitian menunjukkan
bahwa angka penderita DVT sedikit lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki sampai
menginjak usia 60 tahun, setelah itu insiden DVT lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan.
Trombosis vena adalah kelainan berat dengan prognosis yang buruk, pada fase
awal penyakit ini memiliki tingkat kematian sebesar 6%, sedangkan dalam jangka waktu
satu tahun ada sebanyak 20% penderita DVT yang meninggal. Hal ini berhubungan
antara keganasan dan trombosis, walaupun pasien dengan keganasan tidak termasuk
dalam data ini masih terdapat lebih dari 10% pasien yang meninggal dalam setahun.21
Faktor resiko besar untuk trombosis selain umur terbagi jadi 2, yang pertama
adalah faktor eksogen antara lain riwayat operasi, di rawat di rumah sakit, imobilisasi,
trauma, hamil dan penggunaan hormonal yang kedua adalah faktor endogen antara lain
kanker, obesitas, keturunan dan gangguan hiperkoagulasi.4,6,7
2.3 Etiologi
Trombosis bisa disebabkan oleh dua hal yaitu karena imobilisasi dan
hiperkoagulasi yang dikarenakan oleh faktor genetik atau didapat.6
Contoh-contoh kondisi yang bisa menyebabkan faktor risiko adalah operasi
ortopedi, kanker khususnya adenokarsinoma, operasi di daerah abdomen, fraktur
multiple, kehamilan, penggunaan kontrasepsi, antiphospholipid syndrome, bedrest d alam
waktu yang lama.7
Defisiensi protein C dan S bisa menyebabkan terjadinya purpura fulminan yaitu
kondisi dimana terjadinya koagulasi pada pembuluh darah kecil yang menyebabkan lesi
purpura dan nekrosis pada kulit. Risiko trombosis vena akan meningkat 20-50 kali lipat
dengan keadaan defisiensi antitrombin dan faktor V leiden.6,7
2.4 Patofisiologi
Pada aliran darah yang normal, darah akan tetap cair karena ada keseimbangan
tertentu, bila keseimbangan ini terganggu akan menyebabkan trombosis. Pembentukan
trombus akan dimulai dengan melekatnya trombosit-trombosit pada permukaan endotel
pembuluh darah atau jantung. Darah yang mengalir menyebabkan semakin banyak
trombosit yang menumpuk di daerah tersebut. Karena sifat trombosit ini, trombosis dapat
saling melekat sehingga terbentuk gumpalan yang menonjol ke dalam lumen. Pada
saat-saat tertentu, contohnya ketika aliran darah yang cepat dalam arteri (karena
hipertensi), gumpalan darah yang terbentuk dari trombosit akan terlepas dari dinding
pembuluh darah dan kemudian digantikan oleh trombosit lainnya. Ketika terjadi
kerusakan pada trombosit maka zat tromboplastin akan dilepaskan, zat ini lah yang akan
merangsang proses pembentukan bekuan darah.
Pada tahun 2856, Virchow mengatakan ada triad faktor yang mendukung
terjadinya trombosis vena yaitu aliran darah yang statis, hiperkoagulabilitas dan
kerusakan pembuluh darah.
Pembuluh darah statis mengganggu aliran laminar dan membuat trombosit kontak
dengan endotelium yang menyebabkan faktor koagulasi untuk berkumpul dan
memperlambat arus inhibitor pembekuan darah. Faktor-faktor yang memperlambat aliran
vena dan menyebabkan statis adalah imobilisasi (contoh: duduk di mobil atau pesawat
untuk waktu yang lama), gagal jantung, dan sindrom hiperviskositas (contoh: polisitemia
vera).
Banyak penyebab hiperkoagulabilitas sistemik termasuk mutasi gen protrombin,
adenokarsinoma pankreas, paru-paru, payudara. Hal ini diperkirakan karena sel tumor
yang nekrosis melepaskan faktor trombogenik.
Kerusakan pembuluh darah yang disebabkan karena luka eksternal atau karena
kateter intravena yang bisa menyebabkan terkikisnya endotelium dan membuat
subendothelial kolagen terekspos yang bekerja sebagai substrat yang berikatan dengan
faktor Von Willebrand s ehingga menyebabkan inisiasi pembekuan darah, menyebabkan
pembentukan gumpalan darah.
Resiko trombosis vena meningkat pesat setelah fraktur pada tulang belakang,
pelvis dan tulang di ekstremitas bagian bawah karena pembuluh darah yang statis,
meningkatnya koagulabilitas dan kemungkinan trauma yang menyebabkan kerusakan
endotel.
Resiko juga meningkat pada wanita hamil beberapa kali lipat karena pada
trimester ketiga, fetus menekan vena cava inferior dan bisa menyebabkan statis pada
pembuluh darah, dan estrogen yang beredar di pembuluh darah sangat tinggi sehingga
bisa menyebabkan hiperkoagulabilitas.1,5,6,7,13
DVT pada ekstremitas atas juga bisa disebabkan karena SVC (Superior Vena
Cava) syndrome y aitu keadaan dimana superior vena cava tertekan karena tumor dan
menyebabkan gejala seperti edema pada wajah, vena leher melebar, kemerahan pada
wajah atau bisa juga disebabkan karena kompresi vena subklavia di outlet toraks.
Kompresi tersebut bisa karena normal atau karena thoracic outlet syndrome ( kumpulan
kelainan yang terjadi ketika pembuluh darah dan saraf di rongga antara tulang selangka
dan tulang rusuk pertama tertekan sehingga menyebabkan muncul gejala nyeri pada bahu
dan leher serta mati rasa pada jari-jari).17,18
Gambar 7. Virchow triad
3. Cedera saraf tulang belakang sering kali mengakibatkan DVT. Risiko muncul
paling besar dalam 2 minggu pertama setelah cedera dan PE yang fatal setelah
lebih dari 3 bulan setelah cedera jarang terjadi yang penyebabnya masih tidak
diketahui. Namun, beberapa perubahan yang berhubungan dengan paralisis kronik
bisa terlibat, termasuk atrofi bertahap dari otot kaki dan di beberapa orang muncul
vena kolateral kaliber kecil di sekitar trombus vena tua yang menghalangi vena
utama bagian dalam kaki.
4. Patah tulang pada pelvis, pinggul dan tulang panjang juga meningkatkan risiko
DVT yang sering kali disebabkan oleh imobilisasi dari fraktur tibia atau pelvis,
femur, dan lain-lain.
5. Keganasan meningkatkan risiko terjadinya DVT sebanyak 2-3 kali lipat pada
pasien yang menjalani operasi untuk penyakit keganasan dibandingkan dengan
orang-orang yang menjalani operasi untuk kondisi yang tidak memiliki
keganasan. Beberapa jurnal menuliskan bahwa insiden pasien terkena DVT saat
mengalami keganasan adalah sebesar 1 setiap 200 pasien. Penyebab terjadinya
DVT pada pasien yang mengalami keganasan dapat dijelaskan melalui 3
mekanisme yaitu:
6. Infark miokard (MI) yang sering kali dihubungkan lewat umur, bed rest, vena
statis dan karena congestive heart failure. Namun MI sendiri masih belum jelas
terbukti sebagai faktor risiko independen untuk DVT.
7. Jantung kongestif atau gagal nafas juga memiliki resiko untuk terjadi komplikasi
tromboemboli vena.
8. Riwayat DVT sebelumnya akan meningkatkan risiko terjadi DVT kembali
terutama ketika terekspos dengan kondisi yang berisiko tinggi (contoh: operasi
besar, imobilisasi jangka panjang). Pasien yang sudah pernah mengalami venous
thromboembolism(VTE) sebelumnya memiliki resiko sebesar 40x lipat untuk
mengalami kejadian VTE ulang. Resiko lebih tinggi pada pasien yang mengalami
VTE idiopatik dibandingkan dengan pasien yang mengalami VTE sekunder.
Mekanisme yang memungkinkan kejadian VTE berulang adalah karena progresi
dari aterosklerosis yang tidak terkontrol walaupun sudah mengkonsumsi
obat-obatan seperti agen aktif angiotensin II dan statin, penggunaan aspirin dan
thienopyridines yang tidak cukup untuk meng-inhibisi aktivasi platelet. Hal yang
dapat menyebabkan rekurensi dari DVT juga karena sudah ada gangguan terhadap
aliran vena menyebabkan stasis dan pembentukan bekuan.
9. Umur lebih dari 40 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami DVT
dibandingkan dengan orang dengan usia muda. Risiko untuk terkena DVT akan
ekanisme
meningkat sebanyak dua kali lipat setiap 1 dekade (10 tahun). M
terjadinya DVT merupakan hasil akumulasi dari beberapa faktor risiko seperti
menurunnya elastisitas dinding pembuluh darah, berkurangnya kegiatan olahraga,
peningkatan imobilitas dari individu yang menyebabkan stasis vena, dan
peningkatan aktivasi dari koagulasi darah. Faktor koagulasi seperti faktor V, VII,
IX, dan fibrinogen akan bertambah seiring dengan pertambahan umur, sesuai
dengan penelitian oleh Framingham yang menunjukan peningkatan kadar
fibrinogen dari 280 mg/dL pada umur 47 - 53 tahun sampai 300 mg/dL pada umur
65 - 79 tahun dengan pertambahan sebesar 10 mg/dL setiap pertambahan umur 10
tahun. Tissue factor merupakan protein yang terletak pada membran dari dinding
vaskuler, monosit, dan partikel mikro yang bersirkulasi. Tissue factor merupakan
faktor yang menginisiasi terjadinya koagulasi. Tissue factor akan teraktivasi saat
adanya proses inflamasi, yang umum terjadi pada pasien lanjut usia. Kemudian
Tissue Factor akan mengaktivasi faktor VII dan memicu terjadinya pembentukan
trombin dan trombus melalui aktivasi proses koagulasi pada permukaan membran
dan juga platelet serta mikropartikel. Selain itu, seiring dengan pertambahan
umur, terjadi peningkatan aktivitas dari enzim koagulasi yang dilihat dari
tingginya aktivitas peptida yang dihasilkan oleh pemecahan dari protrombin,
faktor IX, X, fibrinogen, kompleks trombin-antitrombin, peptida pengaktifan
faktor IX dan 10, yang diubah menjadi enzim aktif. Selain itu terjadi juga
penurunan pada kegiatan fibrinolitik yang disebabkan oleh peningkatan
plasminogen activator inhibitor tipe 1 (PAI-1).
10. Obesitas sudah lama dihubungkan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya
DVT, namun di beberapa studi dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara
obesitas dengan DVT sehingga hal ini masih menjadi salah satu kontradiksi.
11. Kehamilan juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DVT walaupun
hanya sedikit hubungannya. Namun pada wanita yang melahirkan terdapat 1 dari
1000 kelahiran yang mengalami PE dan 1 dari 100.000 kelahiran yang menderita
PE fatal.
12. Pil kontrasepsi (oral estrogen) juga merupakan salah satu faktor risiko karena
estrogen bisa menyebabkan terjadinya DVT sehingga wanita yang menggunakan
hormonal-replacement therapy (HRT) memiliki 2-4 kali risiko terkena DVT
dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan HRT. Untuk laki-laki yang
menggunakan terapi estrogen untuk kanker prostat juga memiliki risiko terkena
DVT lebih tinggi.
13. Antiphospholipid antibody syndrome memiliki ikatan dengan terjadinya DVT
namun belum diketahui secara jelas patofisiologinya.
2.8 Tatalaksana
Tujuan utama tatalaksana trombosis vena adalah untuk mencegah penyebaran
lokal dari trombus, mencegah trombus menjadi emboli dan mempercepat fibrinolisis.
Antikoagulan sering kali efektif untuk beberapa orang dengan tujuan mencegah trombosis lebih
lanjut, namun penggunaan antikoagulan harus dilanjutkan selama beberapa minggu sampai bulan
setelah DVT akut terjadi dan antikoagulan juga tidak mencegah komplikasi jangka panjang
karena trombosis tersebut. Antikoagulan yang sering digunakan adalah low molecular weight
heparin (LMWH) dan Warfarin yang digunakan untuk manajemen jangka panjang yang
biasanya diteruskan sampai 6 bulan atau lebih tergantung dari penyebab DVT. Trombolisis
berbasis kateter mungkin berguna untuk pasien tertentu dengan trombosis vena iliofemoral. Pada
pasien dengan DVT proksimal atau emboli paru yang tidak dapat ditangani dengan antikoagulan
(contoh: masalah perdarahan) maka bisa digunakan filter intravaskular yang dimasukkan secara
perkutan ke dalam inferior vena cava u ntuk mencegah emboli sampai ke paru-paru. Penanganan
untuk pasien dengan trombosis vena di betis lebih kontroversial karena emboli paru dari lokasi
tersebut jarang terjadi sehingga beberapa dokter menganjurkan pemantauan serial noninvasif
untuk menentukan apakah trombus menjalar menjadi proksimal, sedangkan yang lain mengobati
trombosis tersebut dengan heparin (berat molekul rendah atau tidak terfraksi) diikuti oleh
warfarin selama 3 sampai 6 bulan. Golongan antikoagulan lainnya antara lain adalah :
- Unfractionated heparin IV/UFH
Mekanisme kerja: berikatan dengan antitrombin melalui pentasakarida, katalisasi
inaktivasi trombin dan faktor koagulasi lainnya.
Afinitas tinggi untuk berikatan dengan sel endotel, platelet factor4, dan platelet, sehingga
farmakokinetik dan dinamik menjadi sulit diprediksi.
Komplikasi: perdarahan, trombositopenia imun, osteoporosis.
- Low molecular weighth eparin/LMWH (misal: enoxaparin)
Efektivitas sama dengan UFH namun lebih aman dan dapat diberikan dalam dosis tetap
berdasarkan berat badan.
Kelebihan LMWH dibanding UFH:
○ Bioavailabilitas lebih tinggi
○ Farmakokinetik dan dinamik dapat diprediksi, jumlah dalam plasma bergantung
pada dosis
○ Risiko perdarahan lebih kecil
○ Insidensi trombositopenia akibat heparin lebih rendah
○ Risiko osteoporosis lebih rendah
○ Tidak memerlukan monitoring laboratorium
○ Dapat diberikan pada pasien rawat jalan
○ Durasi efek antikoagulan lebih lama, dapat diberikan satu hingga dua kali sehari
- Antagonis vitamin K (misal: warfarin)
Kelemahan: onset kerja lambat, therapeutic windows empit, interaksi obat dan makanan,
perbedaan dosis per individu.
- 2 rekombinan
Nematode anticoagulant proteinC
Kerja: inhibitor pathwayk ompleks faktor VIIa/tissue factordengan berikatan pada situs
nonkatalitik pada faktor X dan Xa.
- Fondaparinux
Kerja: inhibisi faktor Xa dengan berikatan pada antitrombin, meningkatkan afinitas
antitrombin terhadap faktor Xa.
- Rivaroxaban, apixaban
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada orang-orang dengan DVT adalah insufisiensi vena
kronik, postphlebitic syndrome dan emboli paru. Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah
phlegmasia alba dolens a tau phlegmasia cerulea dolens dimana keduanya bisa menyebabkan
gangren vena kecuali mereka terdiagnosis dan ditangani dengan benar.
Phlegmasia alba dolens adalah komplikasi yang jarang terjadi, namun ini bisa terjadi
pada orang-orang yang mengalami DVT selama kehamilan. Phlegmasia alba dolens d itandai
dengan kaki yang berubah warna menjadi putih susu. Patofisiologinya sendiri masih belum jelas,
namun edema bisa meningkatkan tekanan pada jaringan lunak melebihi tekanan perfusi kapiler
atau capillary perfusion pressure yang menyebabkan iskemia jaringan dan gangren basah.
Pada phlegmasia cerulea dolens, trombosis vena iliofemoral masif menyebabkan oklusi
vena mendekati total; kaki menjadi iskemik, sangat menyakitkan, dan sianosis. Patofisiologi
dapat melibatkan stasis lengkap aliran darah vena dan arteri di ekstremitas bawah karena aliran
balik vena tersumbat atau edema masif memotong aliran darah arteri. Gangren vena dapat
terjadi.
Emboli paru yang besar bisa menyebabkan kematian yang tiba-tiba karena sumbatan
pada ruang jantung. Sebagian kecil pasien dengan emboli paru bisa menderita sesak nafas kronik
dan kesulitan untuk beraktivitas.16
Selain itu, pasien dengan DVT juga bisa menyebabkan insufisiensi vena kronik dimana
venous return t erganggu yang kadang sering kali menyebabkan perasaan tidak nyaman pada
ekstremitas bawah, edema dan perubahan warna kulit.17
Pada 20%-50% pasien dengan DVT pada level lutut ke atas akan menunjukkan gejala
seperti bengkak jangka panjang, nyeri, kemerahan yang hilang timbul seiring dengan berjalannya
waktu. Pada beberapa pasien bisa ditemukan adanya perubahan kulit yang bisa disebabkan oleh
penyembuhan luka yang buruk atau perubahan warna kulit pada ekstremitas bagian bawah.
Kondisi isi disebut sebagai postphlebitic syndrome.
2.10 Pencegahan
Profilaksis DVT bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti aktivasi koagulasi darah
(profilaksis farmakologis) dan pencegahan statis vena (profilaksis mekanis). Rekomendasi
profilaksis seperti pada tabel 2.29,30,31
Risiko Tinggi dan Faktor Resiko Multipel LDUH tid atau LMWH >3,400 U/d dengan
GCS dan atau alat IPC
Risiko Perdarahan Tinggi GCS dan atau alat IPC di awal, sampai resiko
perdarahan berkurang
2.11 Prognosis
Bila diberikan terapi yang adekuat dan tepat maka prognosis akan selalu baik, namun bila
pasien tidak ditangani dengan baik maka 20% pasien akan mengalami risiko terjadinya emboli
paru dan 10-20% dari pasien yang menderita emboli paru akan berisiko fatal. Trombosis vena
dalam bisa muncul tanpa ada gejala dan bisa muncul berulang kali. Dengan terapi antikoagulan,
tingkat kematian akan menurun sebanyak 5 hingga 10 kali.32
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien laki-laki berusia 48 tahun datang dengan keluhan tungkai kiri bengkak
sejak 4 Februari 2020. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pada tungkai kiri, sehingga
pasien kesulitan untuk berdiri dan berjalan. Bengkak pada tungkai kiri muncul tiba-tiba
saat pasien sedang dirawat dan semakin memburuk sejak 2 hari yang lalu. Pasien sehabis
menjalani operasi usus buntu pada 15 Januari 2020. Pasien mengatakan bahwa banyak
menghabiskan waktu tidur di rumah, dikarenakan rumah sakit dimana pasien menjalani
operasi usus buntu mengatakan bahwa pasien harus “bed rest” saat rawat jalan. Keluhan
lain dari pasien adalah nyeri pada bekas luka appendektomi sejak pasien awal masuk
rumah sakit pada 30 Januari 2020. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya luka
operasi disertai nyeri tekan pada perut kanan bawah akibat riwayat operasi appendektomi
perforasi. Pada ekstremitas bawah ditemukan tungkai kiri bengkak, kemerahan, hangat,
dan nyeri apabila ditekan.
Dari hasil anamnesis pasien memiliki beberapa faktor resiko DVT yaitu usia
diatas 40 tahun dan juga menghabiskan waktu yang lama tidur dirumah, dimana hal ini
menyebabkan kurangnya mobilisasi dari pasien.
Dari penilaian Wells, pasien mendapatkan nilai 3. Pasien memiliki riwayat bed rest > 3
hari (setelah operasi appendektomi dan selama perawatan di Siloam Hospital Lippo
Village), selain itu pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pada tungkai bawah, dan
pergelangan kaki pasien bangkak >3cm dibandingkan dengan kaki kanan.
Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan bahwa ESR pasien
meningkat dengan nilai 52 mm/hr pada awal masuk rumah sakit dan 50mm/hr saat
sebelum pulang. Pada hasil laboratorium juga didapatkan adanya peningkatan WBC,
Neutrofil segmen, dan limfosit saat pertama kali masuk rumah sakit. Hasil pemeriksaan
dari USG didapatkan DVT sepanjang vena femoralis komunis kiri, femoralis superficialis
sampai poplitea kiri, serta saphena parva kiri, dengan partial obstruksi pada vena
femoralis komunis kiri. Pada CT scan ditemukan abses dinding abdomen kanan bawah
(daerah insisi) yang meluas ke intraperitoneal dan tampak berhubungan dengan loop
ileum distal ukuran ± 10x5,67x11,6 cm, sludge ringan di dalam kantung empedu, dan
emboli paru dengan infark paru kiri. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Bp. S
bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Tatalaksana yang diberikan untuk Bp. S sebelum pasien menolak pengobatan
adalah elevasi tungkai kiri untuk membantu aliran darah balik, dan juga pemberian
injeksi lovenox.