Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU BEDAH

DEEP VEIN THROMBOSIS

Oleh:
CAROLINE RATNASARI SARWONO 01073190113
MICHAELLA JANET 01073190058
PETER SYLVANUS 01073190097

Penguji
dr. Budhi Adiwijaya, Sp.BTKV

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH PERIODE JANUARI-MARET 2020


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Bp. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 48 tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Serang
Pendidikan : S1
Agama : Islam
Status : Menikah
Rekam Medis : SHLV - 90 - 22 - 98
Status Pembayaran : Pribadi

1.2 Pemeriksaan Subjektif


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada 7 Februari 2020 di bangsal
Bethsaida, Siloam Hospital Lippo Village.

Keluhan Utama
Tungkai kiri bengkak sejak tanggal 4 Februari 2020

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan tungkai kiri bengkak sejak 4 Februari 2020. Pasien
juga mengeluhkan adanya nyeri pada tungkai kiri, sehingga pasien kesulitan untuk berdiri
dan berjalan. Bengkak pada tungkai kiri muncul tiba-tiba saat pasien sedang dirawat dan
semakin memburuk sejak 2 hari yang lalu. Pasien sehabis menjalani operasi usus buntu
pada 15 Januari 2020. Pasien mengatakan bahwa banyak menghabiskan waktu tidur di
rumah, dikarenakan rumah sakit dimana pasien menjalani operasi usus buntu mengatakan
bahwa pasien harus “bed rest” saat rawat jalan. Keluhan lain dari pasien adalah nyeri
pada bekas luka appendektomi sejak pasien awal masuk rumah sakit pada 30 Januari
2020.

Riwayat Pengobatan untuk Penyakit Saat ini


Pasien belum memiliki riwayat berobat sebelumnya, pasien juga belum
mengonsumsi obat-obatan untuk mengurangi keluhannya saat ini.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat penyakit usus buntu dan sudah dilakukan tindakan
operasi, namun pasien tidak datang kontrol ke dokter setelah rawat jalan dan juga tidak
mengonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh rumah sakit dimana pasien menjalani
operasi usus buntu. Pasien juga banyak menghabiskan waktu untuk tidur di rumah setelah
operasi. Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit seperti darah tinggi, kencing manis,
maupun jantung.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat penyakit pada
keluarga seperti darah tinggi, kencing manis, maupun jantung juga disangkal oleh pasien.

Riwayat Operasi
Pasien memiliki riwayat operasi usus buntu pada tanggal 15 Januari 2020.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70
Nadi : 100 kali/menit
Pernafasan : 17 kali/menit
Suhu : 36,2
SpO2 : 99%

Status Generalis

Kepala Jejas (-), nyeri tekan (-), normosefali

Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil Isokor 3mm, RCL
(+/+), RCTL (+/+)
THT Sekret (-), Darah (-)

Leher Pembesaran KGB (-)

Jantung Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba di ICS V linea midclavicula sinistra

Perkusi : Batas jantung normal, tidak ada pembesaran

Auskultasi : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru Inspeksi : Simetris pada saat statis dan dinamis

Palpasi : Taktil fremitus normal dan simetris di kedua lapang paru

Perkusi : Sonor pada semua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)


Abdomen Inspeksi : Bentuk perut datar, Luka bekas operasi (+)

Perkusi : Timpani pada 9 regio abdomen

Palpasi : Nyeri tekan (+) pada bekas operasi

Auskultasi : Bising usus normal (10x/menit)

Ekstremitas CRT normal (< 2 detik), akral hangat, edema (+) hangat (+) hiperemis (+)
pada tungkai kiri, nyeri tekan (+) tungkai kiri

1.4 Resume
Pasien laki-laki berusia 48 tahun datang ke Siloam Hospital Lippo Village dengan
keluhan tungkai kiri bengkak sejak 4 Februari 2020. Pasien juga mengeluhkan adanya
nyeri pada tungkai kiri, sehingga pasien kesulitan untuk berdiri dan berjalan. Bengkak
pada tungkai kiri muncul tiba-tiba saat pasien sedang dirawat dan semakin memburuk
sejak 2 hari yang lalu. Pasien sehabis menjalani operasi usus buntu pada 15 Januari 2020.
Pasien mengatakan bahwa banyak menghabiskan waktu tidur di rumah, dikarenakan
rumah sakit dimana pasien menjalani operasi usus buntu mengatakan bahwa pasien harus
“bed rest” saat rawat jalan. Keluhan lain dari pasien adalah nyeri pada bekas luka
appendektomi sejak pasien awal masuk rumah sakit pada 30 Januari 2020. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan edema pada tungkai kiri dan juga luka bekas operasi yang
disertai nyeri tekan.

1.5 Diagnosis Kerja


- Deep Vein Thrombosis
1.6 Prognosis
Ad Vitam : Dubia
Ad Functionam : Dubia
Ad Sanationam : Dubia

1.7 Saran Pemeriksaan Penunjang


- Hematologi
- Venography
- Duplex Ultrasonography

Hasil :
Laboratorium 30 Januari 2020

Nilai Reference Rate

Full Blood Count

Haemoglobin 13.9 10.10 - 12.90

Hematokrit 43.2 32%-44%

RBC 5.02 4.40

WBC 16.19 3.08 - 10.60

Differential Count

Basofil 0 0-1

Eosinofil 1 1-3

Neutrofil Batang 3 2-6

Neutrofil Segmen 78 50 - 70

Limfosit 12 25 - 40

Monosit 6 2-8

Platelet 215,00 150,000 - 440,000

ESR 52 0 - 15
MCV 85.2 80.00 - 100.00

MCH 27.4 26.00 - 34.00

MCHC 32.2 32.00 - 36.00

PT

Control 11.00 9.3 - 38.2

Patient 10.30 9.4 - 11.3

INR

APTT

Control 30.20 28.2 - 38.2

Patient 29.70 27.70 - 40.20

Biochemistry

Ureum 68 <50.00

Creatinine 1.2 0.5 - 1.3

eGFR 71.1 >60

SGOT 111 0 - 40

SGPT 140 0 - 41

Electrolyte

Sodium (Na) 155 137 - 145

Potassium (K) 3.9 3.6 - 5.0

Chloride (Cl) 116 98 - 107

Albumin 3.40 3.50 - 5.20

D-Dimer 10.95 10.00 - 10.50


Laboratorium 7 Februari 2020

Nilai Reference Rate

Full Blood Count

Haemoglobin 10.30 10.10 - 12.90

Hematokrit 31.00 32%-44%

RBC 3.77 4.40

WBC 11.52 3.08 - 10.60

Differential Count

Basofil 0 0-1

Eosinofil 4 1-3

Neutrofil Batang 3 2-6

Neutrofil Segmen 69 50 - 70

Limfosit 20 25 - 40

Monosit 4 2-8

Platelet 261,00 150,000 - 440,000

ESR 50 0 - 15

MCV 82.2 80.00 - 100.00

MCH 27.3 26.00 - 34.00

MCHC 33.2 32.00 - 36.00

USG 5 Februari 2020


- Tampak DVT sepanjang vena femoralis komunis kiri, femoralis superficialis
sampai poplitea kiri, serta saphena parva kiri, dengan partial obstruksi pada vena
femoralis komunis kiri.
- Vena iliaka komunis kiri & externa kiri tidak tampak thrombus
- Vena tibialis anterior kiri & posterior kiri tampak
- Sistem arteri tungkai kiri dalam batas normal, tidak tampak oklusi/stenosis

EKG
- Sinus tachycardia

CT Whole Abdomen & Pelvis with Contrast


- Post op appendicitis perforasi, suspek abses dinding abdomen
- Abses dinding abdomen kanan bawah (daerah insisi) yang meluas ke
intraperitoneal dan tampak berhubungan dengan loop ileum distal ukuran ±
10x5,67x11,6 cm
Sugestif : ec. Fistulo enterocotum
- Sludge ringan di dalam kantung empedu
- Thrombus pada cabang-canag arteri pulmonal bilateral yang tervisualisasi tampak
konsolidasi dengan air bronchogran di segmen lateral basal lobus inferior paru
kiri
(Emboli paru dengan infark paru kiri)

Mikrobiologi
- E.coli
ESBL (+)

1.6 Diagnosis
Deep Vein Thrombosis

1.7 Saran Tatalaksana


- Elevasi tungkai kri
- Pemberian antikoagulan
1.8 Tatalaksana yang diberikan di rumah sakit
- Elevasi tungkai kiri
- Injeksi Lovenox

1.9 Resume
Pasien laki-laki berusia 48 tahun datang dengan keluhan tungkai kiri bengkak
sejak 4 Februari 2020. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pada tungkai kiri, sehingga
pasien kesulitan untuk berdiri dan berjalan. Bengkak pada tungkai kiri muncul tiba-tiba
saat pasien sedang dirawat dan semakin memburuk sejak 2 hari yang lalu. Pasien sehabis
menjalani operasi usus buntu pada 15 Januari 2020. Pasien mengatakan bahwa banyak
menghabiskan waktu tidur di rumah, dikarenakan rumah sakit dimana pasien menjalani
operasi usus buntu mengatakan bahwa pasien harus “bed rest” saat rawat jalan. Keluhan
lain dari pasien adalah nyeri pada bekas luka appendektomi sejak pasien awal masuk
rumah sakit pada 30 Januari 2020. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya luka
operasi disertai nyeri tekan pada perut kanan bawah akibat riwayat operasi appendektomi
perforasi. Pada ekstremitas bawah ditemukan tungkai kiri bengkak, kemerahan, hangat,
dan nyeri apabila ditekan. Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan
bahwa ESR pasien meningkat dengan nilai 52 mm/hr pada awal masuk rumah sakit dan
50mm/hr saat sebelum pulang. Pada hasil laboratorium juga didapatkan adanya
peningkatan WBC, Neutrofil segmen, dan limfosit saat pertama kali masuk rumah sakit.
Hasil pemeriksaan dari USG didapatkan DVT sepanjang vena femoralis komunis kiri,
femoralis superficialis sampai poplitea kiri, serta saphena parva kiri, dengan partial
obstruksi pada vena femoralis komunis kiri. Pada CT scan ditemukan abses dinding
abdomen kanan bawah (daerah insisi) yang meluas ke intraperitoneal dan tampak
berhubungan dengan loop ileum distal ukuran ± 10x5,67x11,6 cm, sludge ringan di
dalam kantung empedu, dan emboli paru dengan infark paru kiri.
FOLLOW UP

Tanggal Follow Up

5/02/2020 S : Perawatan hari ke 6


13.00 Bengkak (+) hangat (+) hiperemis (+) nyeri tekan (+) pada tungkai
kiri, nyeri luka bekas operasi, demam (-), batuk (-), muntah (-)
O : KU : TSS Kes : CM
N : 104 x/min, regular, isi cukup
RR : 23 x/min
T : 36.3​o​C
Mata : CA -/-, isokor 3mm/3mm. RCL +/+, RCTL +/+
Hidung : Sekret (+)
Thoraks : Simetris saat statis dan dinamis
Cor : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves (+/+), rh (-/-), wh(-/-)
Abdomen : Datar, supel, BU (+), luka bekas operasi NT (+)
Ekstremitas : Bengkak (+) tungkai kiri, kalor (+) tungkai kiri,
akral hangat CRT <2s
A : DVT ekstremitas bawah sinistra
P : Lovenox
Elevasi kaki kiri
6/02/2020 S : Perawatan hari ke 7
13.00 Bengkak (+) hangat (+) hiperemis (+) nyeri tekan (+) pada tungkai
kiri, nyeri luka bekas operasi, demam (-), batuk (-), muntah (-)
O : KU : TSS Kes : CM
TD : 110/70
N : 100 x/min, regular, isi cukup
RR : 20 x/min
T : 36.3​o​C
Mata : CA -/-, isokor 3mm/3mm. RCL +/+, RCTL +/+
Hidung : Sekret (+)
Thoraks : Simetris saat statis dan dinamis
Cor : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves (+/+), rh (-/-), wh(-/-)
Abdomen : Datar, supel, BU (+), luka bekas operasi NT (+)
Ekstremitas : Bengkak (+) tungkai kiri, kalor (+) tungkai kiri,
akral hangat CRT <2s
A : DVT ekstremitas bawah sinistra
P : Lovenox
Elevasi kaki kiri
7/02/2020 S : Perawatan hari ke 8
13.00 Bengkak (+) hangat (+) hiperemis (+) nyeri tekan (+) pada tungkai
kiri, nyeri luka bekas operasi, demam (-), batuk (-), muntah (-)
O : KU : TSS Kes : CM
TD : 120/70
N : 100 x/min, regular, isi cukup
RR : 20 x/min
T : 36.3​o​C
Mata : CA -/-, isokor 3mm/3mm. RCL +/+, RCTL +/+
Hidung : Sekret (+)
Thoraks : Simetris saat statis dan dinamis
Cor : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : ves (+/+), rh (-/-), wh(-/-)
Abdomen : Datar, supel, BU (+), luka bekas operasi NT (+)
Ekstremitas : Bengkak (+) tungkai kiri, kalor (+) tungkai kiri,
akral hangat CRT <2s
A : DVT ekstremitas bawah sinistra
P : Lovenox
Elevasi kaki kiri

-------------------------------------PULANG------------------------------------
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Trombosis vena atau tromboflebitis adalah terbentuknya trombus di vena
superfisial atau dalam dan respon inflamasi di dinding pembuluh darah yang
diperdarahinya.​1
Deep vein thrombosis a​ tau trombosis vena dalam a​ dalah keadaan dimana
terbentuknya satu atau lebih gumpalan darah di vena besar yang ada di bagian dalam
tubuh seseorang.​2 DVT biasanya terbentuk di betis namun DVT juga bisa terbentuk di
vena yang lebih proksimal seperti pembuluh darah popliteal, femoral dan iliac. Gumpalan
darah tersebut akan menyebabkan penyumbatan sebagian atau seluruh pembuluh darah
vena yang bisa menyebabkan muncul gejala seperti nyeri, bengkak, nyeri ketika ditekan,
perubahan warna, kemerahan di area yang terlibat, serta rasa hangat di bagian kulit.​3
Banyak DVT yang sembuh spontan dan sebagian lainnya berpotensi untuk
membentuk emboli. Salah satu emboli yang cukup sering terjadi adalah emboli paru, hal
ini bisa terjadi karena trombus lepas dan mengikuti arah aliran darah yang akhirnya
menyumbat arteri pulmonalis.​2,3,9

A. Normal Blood Flow


B. Deep Vein Thrombosis
C. Embolus
Gambar 1. Trombosis vena dalam
Bila DVT dibiarkan tidak ditangani, 20%-30% DVT yang terjadi di betis bisa
menyebar ke vena yang lebih proksimal. 2 konsekuensi besar DVT adalah emboli paru
dan ​postphlebitic syndrome.1​
Emboli paru terjadi ketika gumpalan darah keluar dan masuk ke ​inferior vena
cava ​dan masuk ke jantung bagian kanan dan akhirnya menyumbat di pembuluh darah
paru. Emboli paru sangat sering terjadi, 600.000 kasus pertahun di Amerika Serikat dan
sering kali bersifat fatal dimana bila dibiarkan tidak ditangani maka angkat kematiannya
mencapai 30-40%. Pada pasien emboli paru, pertukaran gas sering kali terganggu karena
anatomic dead space dan ​ventilation-perfusion mismatches y​ ang terjadi di paru-paru
yang menyebabkan terjadinya hipoksemia.​1
Postphlebitic syndrome ​atau insufisiensi vena dalam kronik disebabkan oleh
kerusakan valvular vena atau sumbatan akibat DVT. Hal ini bisa menyebabkan
pembengkakan kaki kronik, pigmentasi statis dan luka pada kulit.
2.2 Anatomi

Gambar 2. Vena Ekstremitas Bawah


Vena pada ekstremitas bawah mengalirkan darah yang sudah terdeoksigenasi
kembali ke jantung, vena dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
1. Vena dalam
Vena yang terletak di bawah fascia dalam dari ekstremitas bawah. Vena dalam
mendampingi dan memiliki nama yang sama dengan arteri-arteri besar pada
ekstremitas bawah. Seringkali, arteri dan vena terletak pada vascular sheath yang
sama, sehingga pulsasi dari arteri akan membantu arus balik vena.
Kaki dan tungkai
Struktur vena yang utama pada kaki adalah a​ rcus venosus dorsalis pedis, yang
kebanyakan bermuara ke vena superfisial. Sebagian vena yang berasal dari arcus
venosus dorsalis pedis menembus ke dalam bagian kaki dan membentuk vena
tibialis anterior.
Gambar 3. Vena pada kaki
Pada kaki bagian plantar dari kaki, terdapat vena plantar medialis dan lateralis.
Kedua vena ini bergabung untuk membentuk vena tibialis posterior dan fibularis.
Vena tibialis posterior bersama dengan arteri tibialis posterior, masuk ke dalam
tungkai bawah bagian belakang ke medial malleolus. Pada permukaan lutut
bagian belakang, vena tibialis anterior, vena tibialis posterior, dan vena fibularis
menyatu dan membentuk vena poplitea. Vena poplitea masuk ke paha melalui
adductor canal.
Paha
Ketika vena poplitea sudah masuk ke paha, vena ini dikenal sebagai vena
femoralis. Vena femoralis terletak di bagian anterior bersama arteri femoralis.
Vena dalam pada paha (vena femoris profunda) adalah struktur utama lain pada
paha. Melalui perforating veins, vena femoris profunda menyalurkan darah dari
otot paha. Vena femoris profunda bermuara pada bagian distal dari vena
femoralis. Vena femoralis masuk ke daerah inguinal melalui bagian bawah
ligamentum inguinalis, dimana pada saat ini disebut sebagai vena iliaca externa.
Bokong
Regio gluteal dialirkan oleh vena inferior dan superior gluteal. Kedua vena ini
akan bermuara pada vena iliaca interna.​35,36,37
2. Vena superfisial
Vena yang ditemukan pada jaringan subkutan, vena ini pada akhirnya akan
bermuara ke vena dalam. Ada 2 vena superfisial mayor; vena saphena magna dan
vena saphena parva.
Vena saphena magna
Vena saphena magna terbentuk oleh arcus venosus dorsalis pedis dan vena
dorsalis digiti I pedis. Vena saphena magna naik ke arah medial kaki, melewati
bagian depan medial malleolus pada pergelangan kaki, dan melewati bagian
belakang medial condyle pada lutut. Semakin vena menuju ke atas, vena akan
menerima darah dari vena superfisial kecil lainnya. Vena saphena magna berakhir
dengan bermuara ke vena femoralis. Vena saphena magna dapat diambil dan
dijadikan pembuluh darah untuk operasi ​coronary artery bypass graft​.
Vena saphena parva
Vena saphena parva terbentuk oleh arcus venosus dorsalis pedis dan vena dorsalis
digiti V pedis. Vena saphena parva naik ke arah posterior kaki, melewati bagian
belakang lateral malleolus, sepanjang batas lateral dari calcaneal tendon. Vena
saphena parva bergerak diantara musculus gastrocnemius dan bermuara ke vena
poplitea di fossa poplitea.​35,36,37
Gambar 4. Vena Superfisial Ekstremitas Bawah
Fisiologi
Tujuan utama dari sistem pembuluh darah balik dalam sirkulasi adalah untuk
membawa darah yang sudah terdeoksigenasi dan membawa banyak sisa
metabolisme sel kembali ke jantung. Sistem pembuluh darah balik pada
ekstremitas bawah bekerja paling besar dan karakteristik spesifik dari pembuluh
darah balik adalah yang terpenting, karena vena pada ekstremitas bawah harus
membawa darah melawan arah gravitasi di posisi berdiri. Terdapat 2 mekanisme
kerja utama yang memastikan sistem pembuluh darah balik pada ekstremitas
bawah, yaitu :
1. Adanya katup mobile anti-reflux dan resistensi dinding pembuluh vena
memungkinkan darah untuk mengalir hanya ke satu arah saja, yaitu dari
superfisial ke vena dalam dan dari kaki menuju ke jantung.
2. Mekanisme pompa yang mengaktivasi dan menjaga aliran darah pada
vena.
Katup anti-reflux membuat cairan bersirkulasi hanya dalam 1 arah, sehingga
memungkinkan untuk menjaga arah normal dari aliran vena walaupun tidak ada
tekanan sekalipun, atau dalam keadaan tekanan negatif untuk tetap mencegah
terjadinya arus balik dari darah. Aliran darah yang normal adalah dari superfisial
ke pembuluh yang lebih dalam dan dari bagian yang paling distal ke arah jantung.

Mekanisme pompa terbentuk dari gabungan dari beberapa hal, yaitu:


1. Stimulasi dari sistem pembuluh darah balik pada kaki
2. Pompa otot, lebih spesifiknya otot pada pergelangan kaki (menyebabkan
katup dapat membuka dan menutup): yang merupakan tekanan utama
dibalik sistem mekanisme pompa
3. Detakan jantung dan tekanan negatif saat aspirasi dari kavitas abdomen
yang terjadi pada saat pernafasan dalam.​35,37

Gambar 5. Sistem Pembuluh Darah Balik

2.2 Epidemiologi
DVT terjadi pada 1 dari 1000 orang dewasa dan resiko meningkat tajam ketika
seseorang sudah menginjak umur 45 tahun menjadi 5-6 dari 1000 orang serta
berkontribusi dalam 60.000-100.000 kematian setiap tahunnya. Penelitian menunjukkan
bahwa angka penderita DVT sedikit lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki sampai
menginjak usia 60 tahun, setelah itu insiden DVT lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan.
Trombosis vena adalah kelainan berat dengan prognosis yang buruk, pada fase
awal penyakit ini memiliki tingkat kematian sebesar 6%, sedangkan dalam jangka waktu
satu tahun ada sebanyak 20% penderita DVT yang meninggal. Hal ini berhubungan
antara keganasan dan trombosis, walaupun pasien dengan keganasan tidak termasuk
dalam data ini masih terdapat lebih dari 10% pasien yang meninggal dalam setahun.​21

Gambar 6. ​Insiden trombosis vena per 100 000 per tahun.

Faktor resiko besar untuk trombosis selain umur terbagi jadi 2, yang pertama
adalah faktor eksogen antara lain riwayat operasi, di rawat di rumah sakit, imobilisasi,
trauma, hamil dan penggunaan hormonal yang kedua adalah faktor endogen antara lain
kanker, obesitas, keturunan dan gangguan hiperkoagulasi.​4,6,7
2.3 Etiologi
Trombosis bisa disebabkan oleh dua hal yaitu karena imobilisasi dan
hiperkoagulasi yang dikarenakan oleh faktor genetik atau didapat.​6
Contoh-contoh kondisi yang bisa menyebabkan faktor risiko adalah operasi
ortopedi, kanker khususnya adenokarsinoma, operasi di daerah abdomen, fraktur
multiple, kehamilan, penggunaan kontrasepsi, ​antiphospholipid syndrome, bedrest d​ alam
waktu yang lama.​7
Defisiensi protein C dan S bisa menyebabkan terjadinya purpura fulminan yaitu
kondisi dimana terjadinya koagulasi pada pembuluh darah kecil yang menyebabkan lesi
purpura dan nekrosis pada kulit. Risiko trombosis vena akan meningkat 20-50 kali lipat
dengan keadaan defisiensi antitrombin dan faktor V leiden.​6,7

2.4 Patofisiologi
Pada aliran darah yang normal, darah akan tetap cair karena ada keseimbangan
tertentu, bila keseimbangan ini terganggu akan menyebabkan trombosis. Pembentukan
trombus akan dimulai dengan melekatnya trombosit-trombosit pada permukaan endotel
pembuluh darah atau jantung. Darah yang mengalir menyebabkan semakin banyak
trombosit yang menumpuk di daerah tersebut. Karena sifat trombosit ini, trombosis dapat
saling melekat sehingga terbentuk gumpalan yang menonjol ke dalam lumen. Pada
saat-saat tertentu, contohnya ketika aliran darah yang cepat dalam arteri (karena
hipertensi), gumpalan darah yang terbentuk dari trombosit akan terlepas dari dinding
pembuluh darah dan kemudian digantikan oleh trombosit lainnya. Ketika terjadi
kerusakan pada trombosit maka zat tromboplastin akan dilepaskan, zat ini lah yang akan
merangsang proses pembentukan bekuan darah.
Pada tahun 2856, Virchow mengatakan ada triad faktor yang mendukung
terjadinya trombosis vena yaitu aliran darah yang statis, hiperkoagulabilitas dan
kerusakan pembuluh darah.
Pembuluh darah statis mengganggu aliran laminar dan membuat trombosit kontak
dengan endotelium yang menyebabkan faktor koagulasi untuk berkumpul dan
memperlambat arus inhibitor pembekuan darah. Faktor-faktor yang memperlambat aliran
vena dan menyebabkan statis adalah imobilisasi (contoh: duduk di mobil atau pesawat
untuk waktu yang lama), gagal jantung, dan sindrom hiperviskositas (contoh: polisitemia
vera).
Banyak penyebab hiperkoagulabilitas sistemik termasuk mutasi gen protrombin,
adenokarsinoma pankreas, paru-paru, payudara. Hal ini diperkirakan karena sel tumor
yang nekrosis melepaskan faktor trombogenik.
Kerusakan pembuluh darah yang disebabkan karena luka eksternal atau karena
kateter intravena yang bisa menyebabkan terkikisnya endotelium dan membuat
subendothelial kolagen terekspos yang bekerja sebagai substrat yang berikatan dengan
faktor ​Von Willebrand s​ ehingga menyebabkan inisiasi pembekuan darah, menyebabkan
pembentukan gumpalan darah.
Resiko trombosis vena meningkat pesat setelah fraktur pada tulang belakang,
pelvis dan tulang di ekstremitas bagian bawah karena pembuluh darah yang statis,
meningkatnya koagulabilitas dan kemungkinan trauma yang menyebabkan kerusakan
endotel.
Resiko juga meningkat pada wanita hamil beberapa kali lipat karena pada
trimester ketiga, fetus menekan vena cava inferior dan bisa menyebabkan statis pada
pembuluh darah, dan estrogen yang beredar di pembuluh darah sangat tinggi sehingga
bisa menyebabkan hiperkoagulabilitas.​1,5,6,7,13
DVT pada ekstremitas atas juga bisa disebabkan karena ​SVC (Superior Vena
Cava) syndrome y​ aitu keadaan dimana superior vena cava tertekan karena tumor dan
menyebabkan gejala seperti edema pada wajah, vena leher melebar, kemerahan pada
wajah atau bisa juga disebabkan karena kompresi vena subklavia di outlet toraks.
Kompresi tersebut bisa karena normal atau karena ​thoracic outlet syndrome (​ kumpulan
kelainan yang terjadi ketika pembuluh darah dan saraf di rongga antara tulang selangka
dan tulang rusuk pertama tertekan sehingga menyebabkan muncul gejala nyeri pada bahu
dan leher serta mati rasa pada jari-jari).​17,18
Gambar 7. Virchow triad

2.5 Manifestasi Klinis


Dari anamnesis ditemukan bahwa pasien dengan DVT seringkali memiliki gejala
seperti nyeri lokal, bengkak di tungkai bawah, dan manifestasi klinis dari DVT
berbeda-beda di setiap pasien, bisa bergejala maupun tidak bergejala, bilateral atau
unilateral, berat atau ringan. Edema pada ekstremitas yang terpengaruh adalah gejala
yang paling sering muncul pada pasien dengan DVT. Trombus yang tidak mengobstruksi
seluruh aliran pembuluh darah biasanya tidak menunjukkan gejala. Trombus yang
melibatkan vena pelvis, percabangan iliac atau vena cava biasanya berhubungan dengan
edema bilateral pada ekstremitas bawah. Oklusi pada sebagian vena proksimal sering
menyebabkan edema bilateral ringan pada ekstremitas dan dapat di salah artikan sebagai
edema karena penyakit sistematis seperti kelebihan cairan, gagal jantung kongestif,
​ yeri di sepanjang vena dalam di aspek medial paha
kekurangan ​hepatonephric. N
mengindikasikan DVT. Nyeri atau nyeri tekan yang terbatas pada area yang lebih spesifik
tidak selalu mengindikasikan DVT sehingga butuh diagnosis lainnya. Gejala-gejala ini
tidak spesifik, namun nyeri saat ​dorsiflexion ​dari kaki (Homans sign) diobservasi pada
pasien dengan DVT.​2
Dari pemeriksaan fisik juga tidak ada gejala yang spesifik atau kumpulan gejala
yang bisa memprediksi DVT secara akurat. Ada beberapa gejala sugestif seperti ​Homans
sign y​ aitu nyeri pada betis ketika dilakukan ​dorsiflexion ​kaki yang bisa menjadi salah
satu indikasi DVT, namun ​Homans sign ​hanya ditemukan pada 50% pasien DVT.
Perubahan warna dari ekstremitas bawah juga bisa diobservasi, perubahan warna kulit
menjadi merah keunguan karena obstruksi vena. Pada kasus yang jarang, bisa terjadi
obstruksi vena masif iliofemoral dan tungkai bisa mengalami sianosis yang disebut
phlegmasia cerulea dolens (peradangan biru yang menyakitkan). Selain itu, edema bisa
menyebabkan penyumbatan pada aliran darah vena yang menyebabkan kaki terlihat
pucat. Nyeri, edema dan perubahan warna digambarkan sebagai phlegmasia alba dolens
(peradangan putih yang menyakitkan).​2
Meskipun demikian, tidak adanya penemuan dalam pemeriksaan fisik tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan penyakit DVT.
2.6 Diagnosis
Diagnosis DVT yang akurat dan cepat sangat dibutuhkan karena bila trombus
dibiarkan tidak tetangani bisa menyebabkan komplikasi yang membahayakan nyawa
seperti emboli paru, namun sebaliknya penggunaan antikoagulasi tanpa adanya trombus
bisa berbahaya. Cara mendiagnosis DVT adalah dengan evaluasi komprehensif dengan
menggabungkan faktor risiko dan gejala. Langkah penting pertama untuk menentukan
risiko DVT pasien sesuai dengan gejala pasien (termasuk riwayat medis dan pemeriksaan
fisik), yang paling pertama bisa dengan menggunakan sistem skoring Wells yang
mengklasifikasikan pasien dengan DVT menjadi tiga kelompok (kelompok probabilitas
rendah, sedang, dan tinggi), dengan risiko estimasi untuk DVT 85%, 33% dan 5%.
Namun demikian, dalam penelitian selanjutkan, Wells mengembangkan versi lebih
sederhana untuk tindakan diagnostik dengan mengkategorikan pasien dengan DVT
menjadi 2 kelompok yaitu secara klinis tidak memiliki DVT ketika skor kriteria Wells ≤1
dan secara klinis kemungkinan memiliki DVT ketika skor klinis >1.​22
D-dimer adalah protein kecil yang terdapat dalam darah setelah bekuan darah
terdegradasi oleh fibrinolisis. Disebut demikian karena terdiri dari dua segmen D yang
saling berhubungan dari protein fibrin. Adanya D-dimer mencerminkan aktivasi global
dari koagulasi darah dan fibrinolisis.​23 Kadar D-dimer dalam serum bisa meningkat pada
kondisi dimana gumpalan darah terbentuk, misalnya operasi, trauma, kanker, sepsis,
perdarahan, terutama pada pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit.​24 Kondisi ini juga
berhubungan dengan risiko DVT yang lebih besar. Level D-dimer akan tetap tinggi pada
pasien dengan DVT selama kurang lebih 7 hari. Pada pasien yang datang pada
akhir-akhir perjalanan penyakit, ketika gumpalan terbentuk dan melekat maka D-dimer
bisa mendeteksi pada level rendah. Demikian juga, pasien dengan DVT soliter di vena
betis memiliki gumpalan kecil dan kadar D-dimer yang rendah, yang mungkin di bawah
batas sensitivitas. Ini mungkin menjelaskan penurunan sensitivitas uji D-dimer dalam
konteks DVT yang sudah terdiagnosis. Walaupun D-dimer tidak bisa memverifikasi
diagnosis DVT, D-dimer bisa sangat berguna untuk menyingkirkan DVT. Untuk pasien
dengan probabilitas rendah atau sedang pada skor Wells maka pemeriksaan D-dimer
yang normal bisa menyingkirkan diagnosis DVT. Pada pasien dengan skor Wells yang
tinggi, D-dimer tidak digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan pemeriksaan
imaging ​(​compression ultrasound​) lebih dianjurkan untuk digunakan.​25 Dengan demikian,
jika pemeriksaan D-dimer meningkat, dibutuhkan metode diagnosis lainnya seperti
imaging ​untuk menyingkirkan diagnosis DVT. Sensitivitas D-dimer untuk estimasi DVT
cukup tinggi (sekitar 97%) dengan spesifisitas yang relatif lebih rendah (35%).​26 D-dimer
sering kali digunakan untuk tes skrining cepat untuk DVT jika seseorang mengalami
edema ekstremitas bawah dengan atau tanpa temuan klinis. Dibutuhkan tes profil
koagulasi untuk mendeteksi hiperkoagulabilitas keseluruhan. Pemanjangan ​prothrombin
time (​ PT) atau ​activated thromboplastin time ​(APTT) mungkin tidak menunjukkan
kemungkinan DVT. DVT bisa berkembang dengan pengobatan antikoagulan lengkap
pada 13% pasien.​2
Venous compression duplex ultrasonography a​ dalah teknik yang tidak invasif dan
95% sensitif untuk mendiagnosis DVT simptomatik di vena proksimal tapi hanya 75%
sensitif untuk mendiagnosis trombus vena di betis. Teknik ini menggunakan Doppler
untuk melihat gambaran dari vena dan aliran darah di dalamnya. Kriteria yang digunakan
untuk mendiagnosis DVT dengan ​duplex ultrasonography termasuk ketidakmampuan
untuk menekan vena dengan tekanan langsung (menunjukkan adanya trombus
intraluminal), terlihat langsung adanya trombus, dan tidak ada aliran darah di dalam
pembuluh darah.​8,9 ​Venous ultrasonography adalah modalitas pencitraan utama untuk
diagnosis DVT. Metode ini aman, tidak invasif, dan relatif murah dibandingkan dengan
metode lain. Ada tiga modalitas utama;
1.​Compression ultrasound (CUS): Adalah teknik ​imaging pertama dan paling umum
digunakan untuk diagnosis DVT. CUS adalah ​imaging B-mode dan banyak digunakan
pada vena dalam proksimal, khususnya vena femoralis umum dan vena poplitea .
Sensitivitas CUS dalam mendiagnosis DVT proksimal adalah 94% dan dengan
spesifisitasnya 98%. Namun sensitivitas CUS berkurang ketika digunakan untuk
diagnosis DVT proksimal asimptomatik. Sensitivitas CUS untuk mengidentifikasi DVT
distal relatif rendah, yaitu 57%, dan hanya 48% untuk mendiagnosis trombosis vena betis
asimptomatik. Untuk DVT proksimal, USG memiliki signifikansi prediktif dan nilai
prediktif negatif tertentu. Untuk kasus simtomatik memiliki signifikansi prediktif dan
nilai prediktif negatif setinggi 100%. Sedangkan untuk kasus asimptomatik memiliki nilai
signifikansi prediktif sebesar 71% dan prediktif negatif sebesar 94%.
2.​Duplex Doppler ultrasound​: dalam ultrasonografi duplex Doppler, aliran darah normal
vena dilihat secara spontan yang dapat ditingkatkan dengan tekanan manual.​27 Dalam
USG Doppler sinyal yang berdenyut digunakan untuk menghasilkan gambar. Penyatuan
USG Doppler duplex dengan USG Doppler warna efektif untuk mengidentifikasi DVT
pada betis atau vena iliaca.​28 Kelebihan dari ​imaging ​USG adalah aman, tidak ada
paparan radiasi, tidak invasif, murah dan bisa membedakan DVT dengan kondisi lain
(contoh: limfadenopati, hematoma, ​Baker’s cysts,​ dan lain-lain. Namun USG memiliki
keterbatasan antara lain kemampuan yang lebih rendah untuk mendiagnosis trombus di
bagian ​distal​, edema, obesitas dan tidak bisa digunakan pada pasien-pasien yang
menggunakan gips untuk imobilisasi.
Magnetic resonance venography ​(MRI) juga bisa digunakan untuk mendiagnosis
DVT proksimal, contohnya seperti trombus vena pelvis yang sulit untuk dideteksi oleh
USG.
Contrast venography a​ dalah imaging yang bersifat invasif yang bisa memberikan
diagnosis definitif. Material radiokontras dimasukkan ke dalam vena kaki dan
gambarannya didapatkan seiringan dengan kontras yang naik melewati sistem vena di
kaki. DVT bisa didiagnosis dengan adanya gangguan pengisian.
Algoritma untuk diagnosis DVT pertama-tama dengan menggunakan Wells score,
dan bila skor ≥3 artinya kemungkinan orang tersebut menderita DVT termasuk tinggi,
1-2 berarti sedang dan bia <1 artinya rendah. jika Wells skor ≤1 maka dilakukan
pemeriksaan D-dimer. Jika hasilnya negatif maka diagnosis DVT bisa disingkirkan. Bila
hasilnya positif maka dilakukan ​venous ultrasound.​ Jika hasil ​venous ultrasound n​ egatif
artinya diagnosis DVT bisa disingkirkan, namun bisa hasilnya positif maka diagnosis
DVT bisa ditegakkan. Jika Wells skor ≥1 maka langsung dilakukan pemeriksaan ​venous
ultrasound, b​ ila hasilnya positif maka diagnosis DVT bisa ditegakkan. Bila hasilnya
negatif maka dilakukan pemeriksaan D-dimer, bila negatif artinya diagnosis DVT bisa
disingkirkan, namun bila hasilnya positif maka bisa dilakukan pemeriksaan ultrasound
ulang 6-8 hari kemudian atau bisa dilakukan ​venography. ​Untuk mendiagnosis wanita
hamil tidak bisa menggunakan Wells skor karena pada kehamilan D-dimer akan tinggi.
7,8,9,10,11,12,13,14

DVT-PRETEST PROBABILITY SCORE (WELLS 2003) SCORE

- Active cancer (patient receiving treatment for cancer within the 1


previous 6 months or currently receiving palliative treatment

- Paralysis, paresis or recent plaster immobilization of lower extremities 1

-Recently bedridden for 3 days or more, or major surgery within the 1


previous 12 weeks requiring general or regional anesthesia
- Localized tenderness along the distribution of the deep venous system 1

- Entire leg swollen 1

- Calf swelling at least 3 cm Larger than on the asymptomatic leg 1


(measure 10 cm below tibial tuberosity

- Pitting edema confined to the symptomatic leg 1

- Collateral superficial vein (non-varicose) 1

- Previously documented deep-vein thrombosis 1

- Alternative diagnosis at least as likely as deep-vein thrombosis -2

Score less than 2 DVT unlikely

Score 2 or more DVT likely

Tabel 1. Kriteria skor ​Wells


Gambar 8. Algoritma diagnosis DVT

2.7 Faktor Resiko


Beberapa faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya DVT antara lain:
1. Operasi umum besar yang melibatkan abdomen dan thorax yang membutuhkan
general anestesi lebih dari 30 menit. Operasi lainnya yang meningkatkan risiko
DVT ada ​coronary artery bypass ​(CABG), operasi untuk keganasan pada
keparahannya ginekologi dan operasi urologi. Risiko setelah ​neurosurgery j​ uga
memiliki hal yang hampir sama namun pada operasi intrakranial memiliki
kontraindikasi untuk profilaksis antikoagulan, namun beberapa studi menemukan
bahwa pemberian profilaksis enoxaparin aman diberikan setelah ​elective
neurosurgery​.
2. Operasi ortopedi besar di bagian ekstremitas bawah membawa risiko yang tinggi.
Tanpa profilaksis, setengah dari pasien yang melewati operasi total pinggul atau
penggantian lutut mengakibatkan DVT, namun hanya 1 - 3% pasien yang
memiliki gejala DVT. ​(​83​) ​Mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya DVT
adalah kombinasi dari akumulasi dari ​Tissue Factor ​(TF) dan juga statis. Aliran
darah pada ekstremitas bawah relatif mengalami statis pada katup vena dan
semakin ditingkatkan dengan imobilisasi. Stasis dapat menyebabkan terjadinya
beberapa hal, yaitu membuat akumulasi dari ​haemostasis activation factor ​berupa
sitokin dan faktor inflamasi lainnya, menyebabkan marginasi dan interaksi dari
sel darah yang bersirkulasi dengan endotelium, dan menyebabkan keadaan
hypoxia. ​Hypoxia terjadi karena adanya penggumpalan darah di vena superficial,
menyebabkan berkurangnya aliran darah dan mengurangi kemampuan oksigen
untuk berdifusi melalui kapiler. Namun stasis sendiri tidak menyebabkan
terjadinya DVT, melainkan dengan adanya faktor lain yang melibatkan ​Tissue
Factor.​ ​Tissue Factor diproduksi oleh subendothelial, oleh karena itu gangguan
secara fisik pada pembuluh darah yang disebabkan oleh operasi maupun trauma,
dapat menyebabkan pemaparan dari darah ke ​Tissue Factor extravaskular. Namun
Tissue Factor sendiri dapat juga distimulasi ekspresinya melalui beberapa
mediator inflamasi lainnya seperti sitokin, kemokin (interleukin 1,6, 8, tumor
necrosis factor - ​α), VEGF, faktor dari complement (C5a), immunocomplex dan
antibodi, P-selectin, stres hemodinamik, hypoxia, dan interaksi sel. Selain
mengekspresikan ​Tissue Factor pada permukaan endotel, ​Tissue Factor dapat
juga diproduksi oleh sel yang teraktivasi (monosit, leukosit, platelet) beserta
dengan mikropartikel kaya fosfolipid. Mikropartikel tersebut dapat berinteraksi
dengan sel lain melalui aksi dari protein adhesif. Salah satu contohnya adalah
P-selectin glycoprotein ligand 1 yang memfasilitasi transfer dari P-selectin dari
platelet atau sel endotel, ke mikropartikel yang berasal dari monosit. Hal ini dapat
memfasilitasi propagasi dari koagulasi di beberapa tempat. Selain itu, leukosit dan
platelet dapat menyebabkan trombosis melalui ekspresi dari ​Tissue factor yang
disebabkan oleh stimulus dari faktor-faktor inflamasi.

3. Cedera saraf tulang belakang sering kali mengakibatkan DVT. Risiko muncul
paling besar dalam 2 minggu pertama setelah cedera dan PE yang fatal setelah
lebih dari 3 bulan setelah cedera jarang terjadi yang penyebabnya masih tidak
diketahui. Namun, beberapa perubahan yang berhubungan dengan paralisis kronik
bisa terlibat, termasuk atrofi bertahap dari otot kaki dan di beberapa orang muncul
vena kolateral kaliber kecil di sekitar trombus vena tua yang menghalangi vena
utama bagian dalam kaki.

4. Patah tulang pada pelvis, pinggul dan tulang panjang juga meningkatkan risiko
DVT yang sering kali disebabkan oleh imobilisasi dari fraktur tibia atau pelvis,
femur, dan lain-lain.

5. Keganasan meningkatkan risiko terjadinya DVT sebanyak 2-3 kali lipat pada
pasien yang menjalani operasi untuk penyakit keganasan dibandingkan dengan
orang-orang yang menjalani operasi untuk kondisi yang tidak memiliki
keganasan. Beberapa jurnal menuliskan bahwa insiden pasien terkena DVT saat
mengalami keganasan adalah sebesar 1 setiap 200 pasien. Penyebab terjadinya
DVT pada pasien yang mengalami keganasan dapat dijelaskan melalui 3
mekanisme yaitu:

6. Infark miokard (MI) yang sering kali dihubungkan lewat umur, ​bed rest​, vena
statis dan karena ​congestive heart failure​. Namun MI sendiri masih belum jelas
terbukti sebagai faktor risiko independen untuk DVT.

7. Jantung kongestif atau gagal nafas juga memiliki resiko untuk terjadi komplikasi
tromboemboli vena.
8. Riwayat DVT sebelumnya akan meningkatkan risiko terjadi DVT kembali
terutama ketika terekspos dengan kondisi yang berisiko tinggi (contoh: operasi
besar, imobilisasi jangka panjang). Pasien yang sudah pernah mengalami venous
thromboembolism(VTE) sebelumnya memiliki resiko sebesar 40x lipat untuk
mengalami kejadian VTE ulang. Resiko lebih tinggi pada pasien yang mengalami
VTE idiopatik dibandingkan dengan pasien yang mengalami VTE sekunder.
Mekanisme yang memungkinkan kejadian VTE berulang adalah karena progresi
dari aterosklerosis yang tidak terkontrol walaupun sudah mengkonsumsi
obat-obatan seperti agen aktif angiotensin II dan statin, penggunaan aspirin dan
thienopyridines yang tidak cukup untuk meng-inhibisi aktivasi platelet. Hal yang
dapat menyebabkan rekurensi dari DVT juga karena sudah ada gangguan terhadap
aliran vena menyebabkan stasis dan pembentukan bekuan.

9. Umur lebih dari 40 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami DVT
dibandingkan dengan orang dengan usia muda. Risiko untuk terkena DVT akan
​ ekanisme
meningkat sebanyak dua kali lipat setiap 1 dekade (10 tahun). M
terjadinya DVT merupakan hasil akumulasi dari beberapa faktor risiko seperti
menurunnya elastisitas dinding pembuluh darah, berkurangnya kegiatan olahraga,
peningkatan imobilitas dari individu yang menyebabkan stasis vena, dan
peningkatan aktivasi dari koagulasi darah. Faktor koagulasi seperti faktor V, VII,
IX, dan fibrinogen akan bertambah seiring dengan pertambahan umur, sesuai
dengan penelitian oleh Framingham yang menunjukan peningkatan kadar
fibrinogen dari 280 mg/dL pada umur 47 - 53 tahun sampai 300 mg/dL pada umur
65 - 79 tahun dengan pertambahan sebesar 10 mg/dL setiap pertambahan umur 10
tahun. ​Tissue factor merupakan protein yang terletak pada membran dari dinding
vaskuler, monosit, dan partikel mikro yang bersirkulasi. ​Tissue factor merupakan
faktor yang menginisiasi terjadinya koagulasi. Tissue factor akan teraktivasi saat
adanya proses inflamasi, yang umum terjadi pada pasien lanjut usia. Kemudian
Tissue Factor ​akan mengaktivasi faktor VII dan memicu terjadinya pembentukan
trombin dan trombus melalui aktivasi proses koagulasi pada permukaan membran
dan juga platelet serta mikropartikel. Selain itu, seiring dengan pertambahan
umur, terjadi peningkatan aktivitas dari enzim koagulasi yang dilihat dari
tingginya aktivitas peptida yang dihasilkan oleh pemecahan dari protrombin,
faktor IX, X, fibrinogen, kompleks trombin-antitrombin, peptida pengaktifan
faktor IX dan 10, yang diubah menjadi enzim aktif. Selain itu terjadi juga
penurunan pada kegiatan fibrinolitik yang disebabkan oleh peningkatan
plasminogen activator inhibitor tipe 1 (PAI-1).

10. Obesitas sudah lama dihubungkan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya
DVT, namun di beberapa studi dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara
obesitas dengan DVT sehingga hal ini masih menjadi salah satu kontradiksi.

Obesitas menyebabkan peningkatan inflamasi kronik dan juga mengganggu kerja


dari fibrinolisis, yang menyebabkan terjadinya peningkatan kenaikan resiko untuk
mengalami trombosis. Inflamasi kronik terjadi karena adiposa menghasilkan
sitokin yang menyebabkan masuknya makrofag ke dalam jaringan adiposa.
Akumulasi makrofag lebih banyak di lemak viseral daripada di lemak subkutan.
Makrofag terakumulasi karena ekspresi dari ​Monocytes Chemotactic Protein 1
(MCP-1) dari jaringan adiposa dan c-Jun N-terminal kinase (JNK 1 and JNK 2)
dari makrofag. Hipoksia transien dapat menyebabkan pembentukan jaringan
adiposa yang kurang tervaskularisasi, yang semakin menunjang perekrutan dan
akumulasi dari makrofag. Hal ini juga menyebabkan polarisasi dari makrofag
menjadi bentuk aktifnya yaitu ​proinflammatory M1 phenotype. ​Makrofag yang
sudah teraktivasi akan berinteraksi dengan jaringan adiposa dan jaringan
pre-adiposa dan semakin meningkatkan sekresi dan sirkulasi dari TNF-​α,
Interleukin-6 (IL-6,) dan Interleukin-1β. Inflamasi kronis menyebabkan stimulasi
dari endotel, platelet dan sitokin pro-inflamasi yang menyebabkan peningkatan
dari kerja faktor pro-koagulan, molekul adhesi, turunnya kerja dari antikoagulan,
peningkatan produksi dari trombin, dan peningkatan kerja platelet. Ekspresi dari
Tissue Factor ​terstimulasi di sel endotel dan juga monosit melalui sitokin yang
diproduksi yaitu ​TNF-​α dan IL-6. ​Tissue Factor t​ erikat dengan faktor koagulasi
VIIa, yang berujung pada aktivasi faktor IX dan X menyebabkan produksi dari
trombin melalui kompleks protrombin kinase. ​P-selectin juga terproduksi untuk
menjadi mediasi antara endotel-leukosit dan platelet-leukosit.

11. Kehamilan juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya DVT walaupun
hanya sedikit hubungannya. Namun pada wanita yang melahirkan terdapat 1 dari
1000 kelahiran yang mengalami PE dan 1 dari 100.000 kelahiran yang menderita
PE fatal.

12. Pil kontrasepsi (oral estrogen) juga merupakan salah satu faktor risiko karena
estrogen bisa menyebabkan terjadinya DVT sehingga wanita yang menggunakan
hormonal-replacement therapy ​(HRT) memiliki 2-4 kali risiko terkena DVT
dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan HRT. Untuk laki-laki yang
menggunakan terapi estrogen untuk kanker prostat juga memiliki risiko terkena
DVT lebih tinggi.
13. Antiphospholipid antibody syndrome memiliki ikatan dengan terjadinya DVT
namun belum diketahui secara jelas patofisiologinya.

2.8 Tatalaksana
Tujuan utama tatalaksana trombosis vena adalah untuk mencegah penyebaran
lokal dari trombus, mencegah trombus menjadi emboli dan mempercepat fibrinolisis.
Antikoagulan sering kali efektif untuk beberapa orang dengan tujuan mencegah trombosis lebih
lanjut, namun penggunaan antikoagulan harus dilanjutkan selama beberapa minggu sampai bulan
setelah DVT akut terjadi dan antikoagulan juga tidak mencegah komplikasi jangka panjang
karena trombosis tersebut. Antikoagulan yang sering digunakan adalah ​low molecular weight
heparin ​(LMWH) dan ​Warfarin yang digunakan untuk manajemen jangka panjang yang
biasanya diteruskan sampai 6 bulan atau lebih tergantung dari penyebab DVT. Trombolisis
berbasis kateter mungkin berguna untuk pasien tertentu dengan trombosis vena iliofemoral. Pada
pasien dengan DVT proksimal atau emboli paru yang tidak dapat ditangani dengan antikoagulan
(contoh: masalah perdarahan) maka bisa digunakan filter intravaskular yang dimasukkan secara
perkutan ke dalam ​inferior vena cava u​ ntuk mencegah emboli sampai ke paru-paru. Penanganan
untuk pasien dengan trombosis vena di betis lebih kontroversial karena emboli paru dari lokasi
tersebut jarang terjadi sehingga beberapa dokter menganjurkan pemantauan serial noninvasif
untuk menentukan apakah trombus menjalar menjadi proksimal, sedangkan yang lain mengobati
trombosis tersebut dengan heparin (berat molekul rendah atau tidak terfraksi) diikuti oleh
warfarin selama 3 sampai 6 bulan. Golongan antikoagulan lainnya antara lain adalah :
- Unfractionated ​heparin IV/UFH
Mekanisme kerja: berikatan dengan antitrombin melalui pentasakarida, katalisasi
inaktivasi trombin dan faktor koagulasi lainnya.
Afinitas tinggi untuk berikatan dengan sel endotel, ​platelet factor​4, dan platelet, sehingga
farmakokinetik dan dinamik menjadi sulit diprediksi.
Komplikasi: perdarahan, trombositopenia imun, osteoporosis.
- Low molecular weighth​ eparin/LMWH (misal: enoxaparin)
Efektivitas sama dengan UFH namun lebih aman dan dapat diberikan dalam dosis tetap
berdasarkan berat badan.
Kelebihan LMWH dibanding UFH:
○ Bioavailabilitas lebih tinggi
○ Farmakokinetik dan dinamik dapat diprediksi, jumlah dalam plasma bergantung
pada dosis
○ Risiko perdarahan lebih kecil
○ Insidensi trombositopenia akibat heparin lebih rendah
○ Risiko osteoporosis lebih rendah
○ Tidak memerlukan monitoring laboratorium
○ Dapat diberikan pada pasien rawat jalan
○ Durasi efek antikoagulan lebih lama, dapat diberikan satu hingga dua kali sehari
- Antagonis vitamin K (misal: warfarin)
Kelemahan: onset kerja lambat, ​therapeutic windows​ empit, interaksi obat dan makanan,
perbedaan dosis per individu.
- ​ 2 rekombinan
Nematode anticoagulant proteinC
Kerja: inhibitor ​pathwayk​ ompleks faktor VIIa/​tissue factor​dengan berikatan pada situs
nonkatalitik pada faktor X dan Xa.
- Fondaparinux
Kerja: inhibisi faktor Xa dengan berikatan pada antitrombin, meningkatkan afinitas
antitrombin terhadap faktor Xa.
- Rivaroxaban, apixaban

Kerja: inhibisi langsung dari faktor Xa, bersifat reversibel.


- Dabigatran etexilate
Kerja: inhibisi trombin secara langsung, bersifat reversibel.
Antikoagulan dapat digunakan untuk pengobatan dan profilaksis.
Fase pengobatan: akut, jangka panjang
○ Terapi konvensional: fase akut dengan antikoagulan parenteral (UFH, LMWH)
bersama dengan antagonis vitamin K (warfarin), diberikan hingga tercapai
antikoagulasi terapeutik dengan INR 2-3, dilanjutkan terapi jangka panjang
dengan warfarin
○ Direct oral anticoagulants (​ rivaroxaban, apixaban, edoxaban, dabigatran) pilihan
untuk pengobatan jangka panjang
Profilaksis untuk DVT harus diberikan pada kondisi dimana seseorang memiliki risiko
tinggi yang mengancam nyawa seperti saat ​bedrest s​ etelah operasi. Profilaksis diukur termasuk
LMWH, ​low dose warfarin,​ ​compression stockings,​ dan/atau kompresi pneumatik eksternal
intermiten kaki untuk mencegah stasis vena.​1, 13, 14
Tatalaksana dari DVT juga bisa melalui prosedur bedah, salah satu contohnya adalah
thrombectomi. Thrombektomi adalah prosedur bedah yang bertujuan untuk menghilangkan
gumpalan darah dari dalam arteri atau vena. Pada prosedur ini akan dilakukan insisi pada
pembuluh darah, pengambilan pembuluh darah, lalu pembuluh darah diperbaiki. Melalui
prosedur ini maka aliran darah dapat direstorasi. Dalam beberapa kasus, balon atau alat lainnya
dapat dimasukan untuk membantu pembuluh darah agar tetap terbuka. Prosedur lainnya adalah
melalui percutaneous transcatheter. Prosedur ini menggunakan selang tipis dan fleksibel yang
disebut kateter untuk membantu menghilangkan gumpalan darah. Dalam prosedur ini akan
dimasukan kateter ke dalam pembuluh darah melalui selangkangan. Kateter yang digunakan
dapat memiliki hal lain seperti obat (untuk menghancurkan gumpalan darah) atau alat seperti
balon dan lainnya. Kateter lalu dimasukkan ke pembuluh darah sampai ditemukan lokasi
gumpalan darah. Prosedur ini dilakukan dengan pengambilan gambar x-ray berulang.​38

2.9 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada orang-orang dengan DVT adalah insufisiensi vena
kronik, ​postphlebitic syndrome ​dan emboli paru. Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah
phlegmasia alba dolens a​ tau ​phlegmasia cerulea dolens dimana keduanya bisa menyebabkan
gangren vena kecuali mereka terdiagnosis dan ditangani dengan benar.
Phlegmasia alba dolens adalah komplikasi yang jarang terjadi, namun ini bisa terjadi
pada orang-orang yang mengalami DVT selama kehamilan. ​Phlegmasia alba dolens d​ itandai
dengan kaki yang berubah warna menjadi putih susu. Patofisiologinya sendiri masih belum jelas,
namun edema bisa meningkatkan tekanan pada jaringan lunak melebihi tekanan perfusi kapiler
atau ​capillary perfusion pressure​ yang menyebabkan iskemia jaringan dan gangren basah.
Pada ​phlegmasia cerulea dolens​, trombosis vena iliofemoral masif menyebabkan oklusi
vena mendekati total; kaki menjadi iskemik, sangat menyakitkan, dan sianosis. Patofisiologi
dapat melibatkan stasis lengkap aliran darah vena dan arteri di ekstremitas bawah karena aliran
balik vena tersumbat atau edema masif memotong aliran darah arteri. Gangren vena dapat
terjadi.
Emboli paru yang besar bisa menyebabkan kematian yang tiba-tiba karena sumbatan
pada ruang jantung. Sebagian kecil pasien dengan emboli paru bisa menderita sesak nafas kronik
dan kesulitan untuk beraktivitas.​16
Selain itu, pasien dengan DVT juga bisa menyebabkan insufisiensi vena kronik dimana
venous return t​ erganggu yang kadang sering kali menyebabkan perasaan tidak nyaman pada
ekstremitas bawah, edema dan perubahan warna kulit.​17
Pada 20%-50% pasien dengan DVT pada level lutut ke atas akan menunjukkan gejala
seperti bengkak jangka panjang, nyeri, kemerahan yang hilang timbul seiring dengan berjalannya
waktu. Pada beberapa pasien bisa ditemukan adanya perubahan kulit yang bisa disebabkan oleh
penyembuhan luka yang buruk atau perubahan warna kulit pada ekstremitas bagian bawah.
Kondisi isi disebut sebagai ​postphlebitic syndrome.​

2.10 Pencegahan
Profilaksis DVT bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti aktivasi koagulasi darah
(profilaksis farmakologis) dan pencegahan statis vena (profilaksis mekanis). Rekomendasi
profilaksis seperti pada tabel 2.​29,30,31

RISK GROUP REKOMENDASI PROFILAKSIS

Risiko Rendah Profilaksis Mobilisasi Persisten

Operasi minor usia <40 tahun; tidak ada


tambahan faktor resiko lainnya

Risiko Sedang LDUH (5,000 U bid)


Tidak ada operasi mayor pada pasien usia 40 atau
tahun-60 tahun, adanya tambahan faktor LMWH (≤3,400 U/qd)
resiko

Operasi mayor pada pasien usia <40 tahun;


tidak ada tambahan faktor resiko

Risiko Lebih Tinggi LDUH (5,000 U tid) atau LMWH (>3,400


U/d)
Tidak ada operasi mayor pada usia >60 tahun
atau adanya tambahan faktor resiko

Operasi mayor pada pasien usia >40 tahun,


atau dengan tambahan faktor resiko lainnya

Risiko Tinggi dan Faktor Resiko Multipel LDUH tid atau LMWH >3,400 U/d dengan
GCS dan atau alat IPC

Risiko Perdarahan Tinggi GCS dan atau alat IPC di awal, sampai resiko
perdarahan berkurang

Pasien Risiko Tinggi Pilihan Setelah LMWH


Contohnya, setelah operasi kanker
Tabel 2. Rekomendasi profilaksis DVT berdasarkan faktor risiko​29
Untuk terapi profilaksis farmakologis ada beberapa pilihan contohnya seperti heparin,
warfarin, ​Low-dose Unfractionated Heparin ​(UFH), ​Low Molecular Weight Heparin (​ LMWH),
antiplatelet, dan profilaksis mekanis.
Heparin adalah salah satu contoh antikoagulan yang diberikan secara parentral.
Mekanisme kerja Heparin adalah dengan meningkatkan efek antitrombin III dalam menetralkan
thrombin dan protease serum lainnya. Heparin dosis rendah diberikan secara subkutan dengan
dosis 5000 U yang diberikan sebelum dan sesudah operasi setiap 8-12 jam. Cara ini bisa
menurunkan risiko DVT 50-70%. Cara ini tidak perlu dipantau dengan laboratorium, namun cara
ini kurang efektif bila ingin digunakan pada pasien yang butuh penanganan bedah ortopedi
mayor. Heparin bisa menyebabkan trombositopenia karena ikatan heparin dengan faktor IV
trombosit yang bisa menyebabkan terbentuknya antibodi IgG yang menyebabkan
trombositopenia.​32,33,34
Warfarin efektif untuk mencegah DVT yang bisa mulai diberikan 5 mg atau 10 mg
malam sebelum operasi atau setelah operasi. Efek antikoagulan terukur baru bisa dicapai pada
3-4 hari pasca operasi, namun bila terapi dimulai saat atau setelah operasi maka warfarin masih
efektif bagi penderita risiko tinggi DVT. Lama profilaksis menurut ACPP minimal 7-10 hari dan
penggunaan warfarin harus dengan monitoring laboratorium.​32,33
Low-dose unfractionated heparin ​(UFH) diberikan secara subkutan 3x3500 U sehari,
dimulai sejak 2 hari sebelum operasi. Lebih efektif dari heparin dosis rendah. Namun efeknya
masih lebih rendah bila dibandingkan dengan LMWH untuk pencegahan trombosis vena
proksimal. Untuk obat ini dibutuhkan monitoring laboratorium yang teliti.
Low molecular weight heparin ​(LMWH) lebih efektif dibandingkan yang lain untuk
mencegah trombosis vena proksimal. Mekanisme kerja LMWH adalah dengan meningkatkan
aktivitas efek antitrombin III, anti faktor Xa dan anti faktor IIa. Dosis yang dibutuhkan adalah 40
mg dan diberikan 1 kali sehari yang digunakan untuk pasien yang memiliki risiko tinggi untuk
terjadi DVT yang akan menjalani pembedahan. Dosis pertama diberikan 12 jam sebelum
pembedahan dan dilanjutkan sehari sekali selama tujuh hari.​32,34
Antiplatelet atau sering dikenal sebagai aspirin adalah salah satu profilaksis DVT, dengan
dosis >100 mh/hari bisa menurunkan DVT proksimal dan distal sebesar 30-40% pada pasien
pembedahan general dan ortopedi. Namun proteksi aspirin masih lebih rendah dibandingkan
dengan antikoagulan.
Profilaksis mekanis adalah dengan mobilisasi dini. Statis vena bisa dicegah dengan
kontraksi atau kompresi otot betis yang bisa menghindari penumpukan darah vena di ekstremitas
bawah, maka stoking elastis bisa digunakan untuk tujuan tersebut.​30,31,32

2.11 Prognosis
Bila diberikan terapi yang adekuat dan tepat maka prognosis akan selalu baik, namun bila
pasien tidak ditangani dengan baik maka 20% pasien akan mengalami risiko terjadinya emboli
paru dan 10-20% dari pasien yang menderita emboli paru akan berisiko fatal. Trombosis vena
dalam bisa muncul tanpa ada gejala dan bisa muncul berulang kali. Dengan terapi antikoagulan,
tingkat kematian akan menurun sebanyak 5 hingga 10 kali.​32
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien laki-laki berusia 48 tahun datang dengan keluhan tungkai kiri bengkak
sejak 4 Februari 2020. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pada tungkai kiri, sehingga
pasien kesulitan untuk berdiri dan berjalan. Bengkak pada tungkai kiri muncul tiba-tiba
saat pasien sedang dirawat dan semakin memburuk sejak 2 hari yang lalu. Pasien sehabis
menjalani operasi usus buntu pada 15 Januari 2020. Pasien mengatakan bahwa banyak
menghabiskan waktu tidur di rumah, dikarenakan rumah sakit dimana pasien menjalani
operasi usus buntu mengatakan bahwa pasien harus “bed rest” saat rawat jalan. Keluhan
lain dari pasien adalah nyeri pada bekas luka appendektomi sejak pasien awal masuk
rumah sakit pada 30 Januari 2020. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya luka
operasi disertai nyeri tekan pada perut kanan bawah akibat riwayat operasi appendektomi
perforasi. Pada ekstremitas bawah ditemukan tungkai kiri bengkak, kemerahan, hangat,
dan nyeri apabila ditekan.
Dari hasil anamnesis pasien memiliki beberapa faktor resiko DVT yaitu usia
diatas 40 tahun dan juga menghabiskan waktu yang lama tidur dirumah, dimana hal ini
menyebabkan kurangnya mobilisasi dari pasien.
Dari penilaian Wells, pasien mendapatkan nilai 3. Pasien memiliki riwayat bed rest > 3
hari (setelah operasi appendektomi dan selama perawatan di Siloam Hospital Lippo
Village), selain itu pasien juga mengeluhkan adanya nyeri pada tungkai bawah, dan
pergelangan kaki pasien bangkak >3cm dibandingkan dengan kaki kanan.
Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan bahwa ESR pasien
meningkat dengan nilai 52 mm/hr pada awal masuk rumah sakit dan 50mm/hr saat
sebelum pulang. Pada hasil laboratorium juga didapatkan adanya peningkatan WBC,
Neutrofil segmen, dan limfosit saat pertama kali masuk rumah sakit. Hasil pemeriksaan
dari USG didapatkan DVT sepanjang vena femoralis komunis kiri, femoralis superficialis
sampai poplitea kiri, serta saphena parva kiri, dengan partial obstruksi pada vena
femoralis komunis kiri. Pada CT scan ditemukan abses dinding abdomen kanan bawah
(daerah insisi) yang meluas ke intraperitoneal dan tampak berhubungan dengan loop
ileum distal ukuran ± 10x5,67x11,6 cm, sludge ringan di dalam kantung empedu, dan
emboli paru dengan infark paru kiri. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Bp. S
bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Tatalaksana yang diberikan untuk Bp. S sebelum pasien menolak pengobatan
adalah elevasi tungkai kiri untuk membantu aliran darah balik, dan juga pemberian
injeksi lovenox.

Anda mungkin juga menyukai