Disusun oleh:
Dokter Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh:
Putri Restu Wulandari
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Sabtu, 16 Februari 2019
Disahkan oleh:
Dokter Pembimbing,
A. IDENTITAS
Nama : Ny. M
Usia : 26 tahun
Alamat : Dusun Senggrong RT 09/RW 04 Terban, Kec. Pabelan
Kab. Semarang
Pekerjaan :-
Masuk RS : 06 Februari 2019 (IGD)
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan kenceng-kenceng sejak kemarin.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan kenceng-
kenceng sejak kemarin, disertai keluarnya lendir darah dari jalan lahir.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus,
dan hipertensi. Pasien juga tidak memiliki riwayat asma dan alergi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus dan hipertensi pada
keluarga disangkal.
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien seorang tunanetra, suami pasien juga seorang tunanetra
sehingga pasien dan suaminya masih tinggal dengan orang tua pasien.
Sehari-hari pasien melakukan aktivitas dirumah dibantu orang tua pasien.
Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.
6. Riwayat Obstetri
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) kehamilan saat ini adalah 24
April 2018 dengan Hari Perkiraan Lahir (HPL) 01 Februari 2019. Ini
merupakan kehamilan pertama, pasien sebelumnya belum pernah
melahirkan, dan belum pernah keguguran.
Selama kehamilan ini, pasien sudah kontrol sebanyak 4x
dilakukan di bidan dan puskesmas. Obat tablet penambah darah dan asam
folat yang didapatkan rutin diminum.
C. PEMERIKSAAN FISIK
06 Februari 2019
Kesan Umum Tampak kesakitan
Kesadaran Kompos mentis (GCS E4V5M6)
Tekanan Darah : 125/78 mmHg
Vital Signs /
Nadi : 73x/menit
Tanda-Tanda
Respirasi : 20x/menit
Vital
Suhu : 36,5 0C
Kepala dan Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (tidak bisa dinilai/ tidak bisa
dinilai), Sklera Ikterik (tidak bisa dinilai/ tidak bisa
dinilai), deviasi trakea (-).
Palpasi Nyeri tekan (-), Pembesaran Limfonodi (-), Trakea
teraba di garis tengah
Pulmo
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan
kelainan bentuk
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus
tidak ada peningkatan maupun penurunan
Perkusi Sonor
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ (positif di lapang
paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-
Cor
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Teraba ictus cordis di SIC V linea midclavicularis
sinistra
Perkusi Ukuran jantung dalam batas normal
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada
bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Terlihat abdomen lebih tinggi dari thoraks, adanya
striae gravidarum
Auskultasi Tidak dilakukan
Palpasi Defens muscular (-), his (+), nyeri tekan (-)
Perkusi Tidak dilakukan
Ekstremitas
Inspeksi Edema kaki (-)
Palpasi Akral hangat
Pemerikaan
Obstetri
DJJ 132 x/min
HIS 2-3x/10’/30’’
Palpasi
Leopold I Teraba 1 massa besar bulat lunak (TFU 30 cm)
Leopold II Teraba 1 massa keras memanjang di sebelah kiri
Leopold III Teraba 1 massa keras bulat
Leopold IV Divergen
Pemeriksaan
Dalam
Vaginal Toucher Pembukaan 2 cm, portio tebal lunak, KK (+), kepala
turun Hodge 1, STLD (+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium (06 Februari 2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 8,97 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 3,75 3,8 – 5,8 juta/ul
Hemoglobin 11,2 11,5 – 16,5 gr/dL
Hematokrit 34,6 37 – 47 vol%
MCV 92,2 85 – 100 Fl
MCH 29,9 28 – 31 Pg
MCHC 32,4 30 – 35 gr/dL
Trombosit 269 150 – 450 ribu/ul
Golongan darah O
APTT 14,0 27-42
PPT 31,7 11-18
Hitung Jenis
Eosinophil 0,4 1–6 %
Basophil 0,2 0–1 %
Limfosit 20,7 20 – 45 %
Monosit 3,0 2–8 %
Neutrofil 75,7 40 – 75 %
Imuno/Serologi
HBs Ag Negative Negative
E. ASSESSMENT
G1P0A0 Hamil 40+3 minggu, janin tunggal, intrauterine, presentasi
kepala, inpartu kala II fase aktif.
F. TATALAKSANA BEDAH
Sectio Caesaria
G. TINDAKAN ANESTESI
1. Persiapan Operasi
Persetujuan operasi/ informed consent tertulis (+)
Puasa 6-8 jam sebelum anestesi
Pasang IV line
2. Induksi
Regivell Bupivacain Spinal 0,5% Heavy
3. Maintenance
Oksigen (O2) 3 lpm
Vomceran Ondansetron 2mg/ml
Torasic Ketorolac 30 mg
4. Monitoring
Tanda vital setiap 15 menit
Pemberian cairan NaCl 500 ml
Monitoring SpO2 selama prosedur operasi
H. PELAKSANAAN ANESTESI
Pukul 10.05 – 10.15
- Pasien dibawa ke meja operasi
- Pasien didudukkan di atas meja operasi
- Desinfeksi punggung di daerah L3-L4
- Pasien disuruh menunduk sambil memeluk bantal
- Jarum spinal atraucan dimasukkan kedalam subarachnoid setinggi L3-
L4
- Bupivacain 0,5% heavy dimasukkan secara barbotage
- Pasien disuruh berbaring dimeja operasi menggunakan bantal
- Memasang monitor tekanan darah dan oksimetri pulse serta selang
oksigen nasal kanul dengan O2 3liter/menit
- Mengukur tanda vital: TD: 70/30 mmHg , Nadi 96x/mnt, SpO2: 98%
- Karena tekanan darah pasien sangat rendah maka disuntikkan Efedrin
HCL 50mg/ml 1 cc
Pukul 10.15
Operasi dimulai
Pukul 10.30, TD: 140/85 mmHg, Nadi: 98x/mnt, SpO2: 99%
Pukul 10.45, TD: 100/60 mmHg, Nadi: 92x/mnt, SpO2: 100%
Pukul 11.00, TD: 120/60 mmHg, Nadi: 90x/mnt, SpO2: 99%
Pukul 11.05
Operasi selesai
Post operasi
- Tiba di ruang recovery pukul : 11.10 WIB
- TD: 110/70 mmHg
- Nadi: 90x/mnt
- Spo2: 99%
Penilaian pemulihan pasca anestesi spinal menurut Bromage Score:
Tidak mampu ekstensi tungkai, score: 1
Pukul 11.10
- Aktivitas motorik : 0
- Pernapasan :1
- Tekanan darah :2
- Kesadaran :1
- Warna kulit :2
Total score :6
Pukul 11.45
- Aktivitas motorik : 2
- Pernapasan :2
- Tekanan darah :2
- Kesadaran :2
- Warna kulit :2
Total score : 10
Pasien pindah ke Flamboyan 1 pukul 11.45 WIB
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. DEFINISI
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah
tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid
di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang
sensoris mulai dari vertebra thorakal 4 (Christiansson, 2009).
II. 2. INDIKASI
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam (Edward Morgan et al., 2005).
II.3. KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan: Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare: Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis: perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya
agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis
yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama: Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-
120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung: perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea
rah jantung akibat efek obat anestesi local.
Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman
(Christiansson, 2009).
II. 4. STRUKTUR ANATOMI VERTEBRA
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal.
Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan
vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,
akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita
rasakan saat melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan (Kristanto, 2004).
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.
Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan
posterior.
Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah (Kristanto, 2004):
1. Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena
klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai
terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan
anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien (Kristanto, 2004).
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat
sebanyak 500 - 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik.
Dapat menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan
berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi
ligamen interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin
harus menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain
1-2% 2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal
besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan
untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum
suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis,
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid. Setelah
mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang
arachnoid tersebut.
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada
cairan yang keluar: Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang
lebih 30 detik, kemudian coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih
belum didapatkan LCS, dapat dilakukan injeksi udara 1cc untuk
mendorong jika ada sumbatan pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan
berhenti, lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat
penusukan mengenai vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam,
atau diarahkan sedikit lebih medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks
saraf. Segera cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial
dari tempat tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah
saat dilakukan penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga
celah menjadi sempit. Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya
pasien melakukan ekstensi saat menahan nyeri tusukan saat awal jarum
mengenai kulit (Kristanto, 2004).
A. Pembahasan
Ny. M (26 tahun) datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan
kenceng-kenceng sejak kemarin, disertai keluarnya lendir darah dari jalan
lahir. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus,
dan hipertensi. Pasien juga tidak memiliki riwayat asma dan alergi.
Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus dan hipertensi pada keluarga
disangkal. Pasien seorang tunanetra, suami pasien juga seorang tunanetra
sehingga pasien dan suaminya masih tinggal dengan orang tua pasien.
Sehari-hari pasien melakukan aktivitas dirumah dibantu orang tua pasien.
Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) kehamilan saat ini adalah 24
April 2018 dengan Hari Perkiraan Lahir (HPL) 01 Februari 2019. Ini
merupakan kehamilan pertama, pasien sebelumnya belum pernah
melahirkan, dan belum pernah keguguran. Selama kehamilan ini, pasien
sudah kontrol sebanyak 4x dilakukan di bidan dan puskesmas. Obat tablet
penambah darah dan asam folat yang didapatkan rutin diminum.
Dilakukan pemeriksaan penunjang guna menegakkan diagnosis
pada pasien yaitu pemeriksaan laboratorium darah pada tanggal 06
Februari 2019 dan 07 Februari 2019. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
darah didapatkan hasil dalam batas normal.
Setelah pasien dievaluasi selama beberapa jam pembukaan serviks
tidak bertambah dalam 2 jam dan kepala janin tidak turun dalam 1 jam.
Dokter penanggung jawab kemudian menindaklanjuti untuk dilakukan
operasi sectio caesaria. Operasi dilakukan setelah mendapat persetujuan
beberapa dokter yakni dokter spesialis obsgyn dan spesialis anestesi.
Sebelum operasi telah terpasang jalur kebugaran pasien saat masuk
ke ruang operasi dikategorikan ke dalam ASA II. Jenis anestesi yang
digunakan adalah anestesi regional anestesi spinal dengan memasukan
obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis
yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari
vertebra thorakal 4. Induksi anestesi menggunakan Regivell Bupivacain
Spinal 0,5% Heavy. Maintenance menggunakan oksigen 3 liter per menit,
Vomceran Ondansetron 2mg/ml, dan Torasic Ketorolac 30 mg. Tanda-
tanda vital dan saturasi oksigen juga selalu dipantau setiap 15 menit
selama operasi berlangsung dan pemberian cairan selama operasi.
Operasi selesai pada pukul 11.05 dan pasien langsung dibawa ke
ruang pemulihan. Aldrette Score pasien saat dibawa ke ruang pemulihan 6.
Tekanan darah : 110/70 mmhg, nadi : 90x/mnt, SpO2 : 99%. Selanjutnya
pasien dipindahkan ke ruang Flamboyan 1 dan mendapatkan perawatan
lebih lanjut.
B. Kesimpulan
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah
tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang
subaraknoid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi
hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4 (daerah papilla
mammae kebawah) dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam. Yang perlu diperhatikan sebelum melakukan anestesi
spinal adalah informed consent, pemeriksaan fisik dilakukan meliputi
daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya
kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis
seperti scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba. Perhatikan juga pemeriksaan laboratorium
darah apakah terdapat gangguan pembekuan darah.
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan
pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Setelah
melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan monitoring.
Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom
di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric
pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang
perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.
Tekanan darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi
pada orang tua yang belum diberikan loading cairan.
Operasi dilakukan oleh dokter spesialis obsgyn selama kurang lebih
50 menit dengan monitoring tanda-tanda vital dan saturasi oksigen pada
pasien setiap 15 menit selama operasi berlangsung. Selesai operasi, pasien
memasuki periode bangun dan pemulihan, pasien dibawa ke ruang
pemulihan untuk tetap dimonitoring tanda-tanda vital dan saturasi oksigen
sampai dapat dinyatakan keluar dari ruang pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA