Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS

ANESTESI SPINAL PADA PASIEN SECTIO CAESARIA

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Anestesi RSUD Salatiga

Disusun oleh:

Putri Restu Wulandari


1413010007

Dokter Pembimbing:

dr. Tinon Anindita, Sp.An.

BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD KOTA SALATIGA

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul


ANESTESI SPINAL PADA PASIEN SECTIO CAESARIA

Disusun Oleh:
Putri Restu Wulandari

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Sabtu, 16 Februari 2019

Disahkan oleh:
Dokter Pembimbing,

dr.Tinon Anindita, Sp.An.


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. M
Usia : 26 tahun
Alamat : Dusun Senggrong RT 09/RW 04 Terban, Kec. Pabelan
Kab. Semarang
Pekerjaan :-
Masuk RS : 06 Februari 2019 (IGD)

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan kenceng-kenceng sejak kemarin.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan kenceng-
kenceng sejak kemarin, disertai keluarnya lendir darah dari jalan lahir.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus,
dan hipertensi. Pasien juga tidak memiliki riwayat asma dan alergi.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus dan hipertensi pada
keluarga disangkal.
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien seorang tunanetra, suami pasien juga seorang tunanetra
sehingga pasien dan suaminya masih tinggal dengan orang tua pasien.
Sehari-hari pasien melakukan aktivitas dirumah dibantu orang tua pasien.
Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.
6. Riwayat Obstetri
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) kehamilan saat ini adalah 24
April 2018 dengan Hari Perkiraan Lahir (HPL) 01 Februari 2019. Ini
merupakan kehamilan pertama, pasien sebelumnya belum pernah
melahirkan, dan belum pernah keguguran.
Selama kehamilan ini, pasien sudah kontrol sebanyak 4x
dilakukan di bidan dan puskesmas. Obat tablet penambah darah dan asam
folat yang didapatkan rutin diminum.
C. PEMERIKSAAN FISIK
06 Februari 2019
Kesan Umum Tampak kesakitan
Kesadaran Kompos mentis (GCS E4V5M6)
Tekanan Darah : 125/78 mmHg
Vital Signs /
Nadi : 73x/menit
Tanda-Tanda
Respirasi : 20x/menit
Vital
Suhu : 36,5 0C
Kepala dan Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (tidak bisa dinilai/ tidak bisa
dinilai), Sklera Ikterik (tidak bisa dinilai/ tidak bisa
dinilai), deviasi trakea (-).
Palpasi Nyeri tekan (-), Pembesaran Limfonodi (-), Trakea
teraba di garis tengah
Pulmo
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan
kelainan bentuk
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus
tidak ada peningkatan maupun penurunan
Perkusi Sonor
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ (positif di lapang
paru kanan dan kiri)
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-
Cor
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Teraba ictus cordis di SIC V linea midclavicularis
sinistra
Perkusi Ukuran jantung dalam batas normal
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada
bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Terlihat abdomen lebih tinggi dari thoraks, adanya
striae gravidarum
Auskultasi Tidak dilakukan
Palpasi Defens muscular (-), his (+), nyeri tekan (-)
Perkusi Tidak dilakukan
Ekstremitas
Inspeksi Edema kaki (-)
Palpasi Akral hangat
Pemerikaan
Obstetri
DJJ 132 x/min
HIS 2-3x/10’/30’’
Palpasi
Leopold I Teraba 1 massa besar bulat lunak (TFU 30 cm)
Leopold II Teraba 1 massa keras memanjang di sebelah kiri
Leopold III Teraba 1 massa keras bulat
Leopold IV Divergen
Pemeriksaan
Dalam
Vaginal Toucher Pembukaan 2 cm, portio tebal lunak, KK (+), kepala
turun Hodge 1, STLD (+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium (06 Februari 2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 8,97 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 3,75 3,8 – 5,8 juta/ul
Hemoglobin 11,2 11,5 – 16,5 gr/dL
Hematokrit 34,6 37 – 47 vol%
MCV 92,2 85 – 100 Fl
MCH 29,9 28 – 31 Pg
MCHC 32,4 30 – 35 gr/dL
Trombosit 269 150 – 450 ribu/ul
Golongan darah O
APTT 14,0 27-42
PPT 31,7 11-18
Hitung Jenis
Eosinophil 0,4 1–6 %
Basophil 0,2 0–1 %
Limfosit 20,7 20 – 45 %
Monosit 3,0 2–8 %
Neutrofil 75,7 40 – 75 %
Imuno/Serologi
HBs Ag Negative Negative

Hasil pemeriksaan laboratorium (07 Februari 2019)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 14,02 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 4,00 3,8 – 5,8 juta/ul
Hemoglobin 12,3 11,5 – 16,5 gr/dL
Hematokrit 36,1 37 – 47 vol%
MCV 90,3 85 – 100 Fl
MCH 30,8 28 – 31 Pg
MCHC 34,1 30 – 35 gr/dL
Trombosit 249 150 – 450 ribu/ul
Hitung Jenis
Eosinophil 0,4 1–6 %
Basophil 0,0 0–1 %
Limfosit 8,8 20 – 45 %
Monosit 1,5 2–8 %
Neutrofil 89,3 40 – 75 %

E. ASSESSMENT
G1P0A0 Hamil 40+3 minggu, janin tunggal, intrauterine, presentasi
kepala, inpartu kala II fase aktif.
F. TATALAKSANA BEDAH
Sectio Caesaria
G. TINDAKAN ANESTESI
1. Persiapan Operasi
 Persetujuan operasi/ informed consent tertulis (+)
 Puasa 6-8 jam sebelum anestesi
 Pasang IV line
2. Induksi
 Regivell Bupivacain Spinal 0,5% Heavy
3. Maintenance
 Oksigen (O2) 3 lpm
 Vomceran Ondansetron 2mg/ml
 Torasic Ketorolac 30 mg
4. Monitoring
 Tanda vital setiap 15 menit
 Pemberian cairan NaCl 500 ml
 Monitoring SpO2 selama prosedur operasi
H. PELAKSANAAN ANESTESI
Pukul 10.05 – 10.15
- Pasien dibawa ke meja operasi
- Pasien didudukkan di atas meja operasi
- Desinfeksi punggung di daerah L3-L4
- Pasien disuruh menunduk sambil memeluk bantal
- Jarum spinal atraucan dimasukkan kedalam subarachnoid setinggi L3-
L4
- Bupivacain 0,5% heavy dimasukkan secara barbotage
- Pasien disuruh berbaring dimeja operasi menggunakan bantal
- Memasang monitor tekanan darah dan oksimetri pulse serta selang
oksigen nasal kanul dengan O2 3liter/menit
- Mengukur tanda vital: TD: 70/30 mmHg , Nadi 96x/mnt, SpO2: 98%
- Karena tekanan darah pasien sangat rendah maka disuntikkan Efedrin
HCL 50mg/ml 1 cc
Pukul 10.15
Operasi dimulai
Pukul 10.30, TD: 140/85 mmHg, Nadi: 98x/mnt, SpO2: 99%
Pukul 10.45, TD: 100/60 mmHg, Nadi: 92x/mnt, SpO2: 100%
Pukul 11.00, TD: 120/60 mmHg, Nadi: 90x/mnt, SpO2: 99%
Pukul 11.05
Operasi selesai
Post operasi
- Tiba di ruang recovery pukul : 11.10 WIB
- TD: 110/70 mmHg
- Nadi: 90x/mnt
- Spo2: 99%
Penilaian pemulihan pasca anestesi spinal menurut Bromage Score:
Tidak mampu ekstensi tungkai, score: 1
Pukul 11.10
- Aktivitas motorik : 0
- Pernapasan :1
- Tekanan darah :2
- Kesadaran :1
- Warna kulit :2
Total score :6
Pukul 11.45
- Aktivitas motorik : 2
- Pernapasan :2
- Tekanan darah :2
- Kesadaran :2
- Warna kulit :2
Total score : 10
Pasien pindah ke Flamboyan 1 pukul 11.45 WIB
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. A. ANESTESI SPINAL

II. 1. DEFINISI
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah
tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid
di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang
sensoris mulai dari vertebra thorakal 4 (Christiansson, 2009).
II. 2. INDIKASI
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam (Edward Morgan et al., 2005).
II.3. KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
 Infeksi pada tempat suntikan: Infeksi pada sekitar tempat suntikan
bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun
diare: Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya
hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla
spinalis, keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
 Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan
apakah diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan
kemungkinan penyebaran infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis: perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya
agar tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis
yang sudah ada pada pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama: Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-
120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.
 Penyakit jantung: perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea
rah jantung akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi, memantau
terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan
atau cairan
 Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman
(Christiansson, 2009).
II. 4. STRUKTUR ANATOMI VERTEBRA

Gambar 1 : Kolumna Vertebralis

Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah


tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal,
torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang
sakral dan koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang
sakum dan koksigeus.
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh
Tulang vertebra secara gradual dari cranial ke caudal akan membesar
sampai mencapai maksimal pada tulang sakrum kemudian mengecil
sampai apex dari tulang koksigeus. Struktur demikian dikarenakan beban yang
harus ditanggung semakin membesar dari cranial hingga caudal sampai
kemudian beban tersebut ditransmisikan menuju tulang pelvis melalui articulatio
sacroilliaca.
Korpus vertebra selain dihubungkan oleh diskus intervertebralis juga oleh
suatu persendian sinovialis yang memungkinkan fleksibilitas tulang punggung,
kendati hanya memungkinkan pergerakan yang sedikit untuk mempertahankan
stabilitas kolumna vertebralis guna melindungi struktur medula spinalis yang
berjalan di dalamnya. Stabilitas kolumna vertebralis ditentukan oleh bentuk dan
kekuatan masing-masing vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot-otot.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi
subaraknoid adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla
spinalis berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus
medularis (segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda
equina). Penting diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara
vertebra T12 hingga L1 (Kristanto, 2004).
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark
yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah :
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang
paling terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-
6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis
4-5
Gambar 2 : Perjalanan Medulla Spinalis pada Kolumna Vertebralis

Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi
spinal.
 Kutis
 Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
 Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
 Ligamentum interspinosum
 Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan
vertikal dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini,
akan terasa sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita
rasakan saat melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.
 Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
 Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
 Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan (Kristanto, 2004).

Gambar 4 : Susunan Anatomi ligament vertebra

Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.
Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan
posterior.
Gambar 5 : Sistem Vaskular Medula Spinalis

II. 5. PERSIAPAN ANESTESI SPINAL


Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih
sederhana dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib
diperhatikan karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi
dan operasi menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat
diubah menjadi anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
 Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
 Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus
tidak teraba.
 Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb, masa protrombin (PT)
dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah (Christiansson, 2009).
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan
obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah (Christiansson, 2009):
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.

Gambar 6 : Jenis Jarum Spinal


II.6. OBAT-OBATAN PADA ANESTESI SPINAL
Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat
anestesi local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila
dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat
anestesi local bersifat reversible.
Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat
mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi local ini juga harus larut
dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun
hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini
adalah menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama
kerja obat anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri (Edward Morgan et al., 2005).
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-
1.008. Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric.
Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik.
Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik.
Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan
umum digunakan.
 Lidokaine 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric,
dosis 20-50mg(1-2ml).
 Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
 Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik,dosis 5-15mg(1-3ml).
Obat anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anesthesia spinal (Edward Morgan et al., 2005).
1. Sistem Saraf: Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi: Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular: Obat anestesi local dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun: Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular: obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi: obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local.

Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah (Kristanto, 2004):
1. Vasokonstriktor: Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid: digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin: Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena
klonidin adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai
terjadinya hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan
anestesi spinal terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

II. 7. TEKNIK ANESTESI SPINAL

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien (Kristanto, 2004).
1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat
sebanyak 500 - 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik.
Dapat menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan
berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi
ligamen interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin
harus menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain
1-2% 2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal
besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan
untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum
suntik biasa 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis,
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, epidural, duramater, subarachnoid. Setelah
mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang
arachnoid tersebut.

Gambar 7 : Posisi Lateral pada Spinal Anestesi


Gambar 8 : Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Gambar 9 : Tusukan Medial dan Paramedial


Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan
monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motoric pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan
darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua
yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat
monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit
menjadi pucat, pusing, mual, berkeringat (Edward Morgan et al., 2005).

Gambar 10 : Lokasi Dermatom Sensoris


II.8. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL
Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah:
 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah
analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan
batas daerah analgetik.
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia
yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk
1 ml larutan.
 Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor
serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik
cenderung berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-
4 obat cenderung menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama
didapat batas analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis
makin besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap
dosis obat)
 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien (Christiansson, 2009).
II. 9. MASALAH KLINIS PADA ANESTESI SPINAL
Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi
spinal, berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan
saat melakukan anestesi spinal:

1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada
cairan yang keluar: Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang
lebih 30 detik, kemudian coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih
belum didapatkan LCS, dapat dilakukan injeksi udara 1cc untuk
mendorong jika ada sumbatan pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan
berhenti, lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat
penusukan mengenai vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam,
atau diarahkan sedikit lebih medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks
saraf. Segera cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial
dari tempat tusukan awal.
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah
saat dilakukan penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga
celah menjadi sempit. Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya
pasien melakukan ekstensi saat menahan nyeri tusukan saat awal jarum
mengenai kulit (Kristanto, 2004).

II. 10. KOMPLIKASI TINDAKAN ANESTESI SPINAL


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah (Edward Morgan et al., 2005):
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin
berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan
venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian
cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin
atau fenilefedrin. Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat
pada saat dilakukan anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba
biasanya karena terjadi bradikardia yang berat walaupun hemodinamik
pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia
merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut
reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat
sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera setelah penyuntikan
anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena
sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan darah
yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik
berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine
1/8-1/4mg IV.
2. Blok Tinggi atau Total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang
bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan
kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti
jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan
kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling
sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan
sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan
faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal
total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot
nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf
phrenikus biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di
atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam
mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan,
vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat
anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti
sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang
disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan
tepat.
3. Komplikasi Sistem Respirasi
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah (Edward Morgan et al., 2005):
 Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi,
bila fungsi paru-paru normal.
 Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk
blok spinal tinggi.
 Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
 Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas,
merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu
segera ditangani dengan pernafasan buatan.
4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 - 48 jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua
lebih jarang dan pada kehamilan meningkat. Untuk menangani komplikasi
ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau diberikan
ranitidine (Edward Morgan et al., 2005).
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri
kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan
pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung
beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar
ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu,
insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan
pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam
6 –48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut
biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering
disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling
signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien
dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan
akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif
dalam waktu 24 –48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring,
rehidrasi (secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang
kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan
terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya
menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan
tekanan extradural. Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif
seperti suntikan salin ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran
(Edward Morgan et al., 2005).
6. Komplikasi Sistem Respirasi
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat
dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur
dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous.
Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obatisecara
simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat
saja (Edward Morgan et al., 2005).
7. Komplikasi Sistem Respirasi
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik.
Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai
dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya
memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang
dalam beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari
blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa
regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai
dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal,
dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif.
Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi
spinal dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan
motorik pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi
proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal.
Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial
yang lama. Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi
aliran darah ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat
trauma tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau
suntikan solution anestesi lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap
mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional
sangat jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular
mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular
lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar
keruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat
dari anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik
pada tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal.
Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalah efek sekunder dari
nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan
didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom
spinal-arteri: kekurangan suplai darah ke arteri spinal anterior karena
terjadi gangguan suplai darah dari arteri-arteri yang terganggu oleh
operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang
berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu
pun obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan
terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor. Contohnya
anestesi spinal menggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan
dengan epinefrin. Jadi kemungkinan epinefrin yang menyebabkan
vasokonstriksi pada arteri spinal anterior atau pembuluh darah yang
memberikan bekalan darah. Hipotensi yang kadang timbul setelah anestesi
regional dapat menyebabkan kekurangan aliran darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi di tempat lain. Jika anestesi
spinal diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat
kemungkinan terjadi penyebaran bakteri ke medulla spinalis. Maka
penggunaan anestesi spinal padapasien dengan bakteremia merupakan
kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalam ruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri
punggung yang berat, nyeri lokal, demam, leukositosis, dan rigiditas
nuchal. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan jika menggunakan anestesi
regional pada pasien yang mengalami infeksi kulit lokal pada area lumbal
atau yang menderita selulitis. Pengobatan bagi komplikasi ini adalah
dengan pemberian antibiotik dan drainase jika perlu (Edward Morgan et
al., 2005).
8. Komplikasi Traktus Urinarius
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum
maupun regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang
fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal, umumnya
berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan
 Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
 Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
 Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
Pengobatan
 Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
 Hidrasi adekuat.
 Hindari mengejan.
 Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural
blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10 ml ke
dalam ruang epidural. Cara ini umumnya memberikan hasil yang
nyata/segera (dalam waktu beberapa jam) pada lebih dari 90% kasus
(Kristanto, 2004).
II. B. SECTIO CAESARIA
II.1.DEFINISI
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding
rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di
atas 500 gram (Sarwono, 2009) Sectio Caesaria ialah tindakan untuk
melahirkan janin dengan berat badan diatas 500 gram melalui sayatan
pada dinding uterus yang utuh. Sectio caesaria adalah pembedahan
untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding
rahim (Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002).
II.2 JENIS-JENIS
1. Sectio caesaria transperitonealis profunda Sectio cesaria
transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah uterus.
insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau
memanjang. Keunggulan pembedahan ini adalah:
a. Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
b. Bahaya peritonitis tidak besar.
c. Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri
dikemudian hari tidak besar karena pada nifas segmen bawah
uterus tidak seberapa banyak mengalami kontraksi seperti
korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
2. Sectio caesaria klasik atau section cecaria korporal Pada cectio
cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini yang
agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada
halangan untuk melakukan section cacaria transperitonealis
profunda. Insisi memanjang pada segmen atas uterus.
3. Sectio caesaria ekstra peritoneal Section cacaria eksrta peritoneal
dahulu di lakukan untuk mengurangi bahaya injeksi perporal akan
tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap injeksi pembedahan
ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum tak
dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
4. Section caesaria hysteroctomi Setelah sectio cesaria, dilakukan
hysteroktomy dengan indikasi: Atonia uteri, Plasenta accrete,
Myoma uteri, dan Infeksi intra uteri berat
II. 3 ETIOLOGI
Indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen,
perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari
janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari
beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa
penyebab sectio caesarea sebagai berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar
panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin
yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara
alami. Tulangtulang panggul merupakan susunan beberapa
tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan
jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara
alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau
panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan dalam
proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan
operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk
rongga panggul menjadi asimetris dan ukuranukuran bidang
panggul menjadi abnormal.
2. PEB (PreEklamsi Berat)
Preeklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang
langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya
masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-
eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian
maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan.
Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu
mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi
eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum
terdapat tanda persalinan dan ditunggu satu jam belum
terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah
hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36
minggu.
4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal
ini karena kelahiran kembar memiliki resiko terjadi
komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi.
Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau
salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara
normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir
yang tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya
tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat
pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
1) Letak kepala tengadah Bagian terbawah adalah puncak
kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB yang paling
rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya
bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
2) Presentasi muka Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga
bagian kepala yang terletak paling rendah ialah muka. Hal
ini jarang terjadi, kirakira 0,270,5 %.
3) Presentasi dahi Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi
berada pada posisi terendah dan tetap paling depan. Pada
penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan
berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong
berada di bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa
jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi
bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak
sempurna dan presentasi kaki (Saifuddin, Mansjoer &
Prawirohardjo, 2002).
II. 4 PATOFISIOLOGI SC
merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas
500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi
dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus,
distorsia jaringan lunak, placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan
untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak lintang setelah
dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari aspek
kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari
aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan
mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan
menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan
antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah
utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya
terhadap janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadangkadang bayi
lahir dalam keadaan apneu yang tidak dapat diatasi dengan mudah.
Akibatnya janin bisa mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu
sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri sehingga darah
banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas
yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot nafas
silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran
pencernaan dengan menurunkan mobilitas usus. Seperti yang telah
diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi proses
penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas
yang menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di
lambung akan menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun.
Maka pasien sangat beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang
pipa endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun juga berakibat
pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi (Saifuddin, Mansjoer &
Prawirohardjo, 2002).
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan
Ny. M (26 tahun) datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan
kenceng-kenceng sejak kemarin, disertai keluarnya lendir darah dari jalan
lahir. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus,
dan hipertensi. Pasien juga tidak memiliki riwayat asma dan alergi.
Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus dan hipertensi pada keluarga
disangkal. Pasien seorang tunanetra, suami pasien juga seorang tunanetra
sehingga pasien dan suaminya masih tinggal dengan orang tua pasien.
Sehari-hari pasien melakukan aktivitas dirumah dibantu orang tua pasien.
Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) kehamilan saat ini adalah 24
April 2018 dengan Hari Perkiraan Lahir (HPL) 01 Februari 2019. Ini
merupakan kehamilan pertama, pasien sebelumnya belum pernah
melahirkan, dan belum pernah keguguran. Selama kehamilan ini, pasien
sudah kontrol sebanyak 4x dilakukan di bidan dan puskesmas. Obat tablet
penambah darah dan asam folat yang didapatkan rutin diminum.
Dilakukan pemeriksaan penunjang guna menegakkan diagnosis
pada pasien yaitu pemeriksaan laboratorium darah pada tanggal 06
Februari 2019 dan 07 Februari 2019. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
darah didapatkan hasil dalam batas normal.
Setelah pasien dievaluasi selama beberapa jam pembukaan serviks
tidak bertambah dalam 2 jam dan kepala janin tidak turun dalam 1 jam.
Dokter penanggung jawab kemudian menindaklanjuti untuk dilakukan
operasi sectio caesaria. Operasi dilakukan setelah mendapat persetujuan
beberapa dokter yakni dokter spesialis obsgyn dan spesialis anestesi.
Sebelum operasi telah terpasang jalur kebugaran pasien saat masuk
ke ruang operasi dikategorikan ke dalam ASA II. Jenis anestesi yang
digunakan adalah anestesi regional anestesi spinal dengan memasukan
obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis
yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari
vertebra thorakal 4. Induksi anestesi menggunakan Regivell Bupivacain
Spinal 0,5% Heavy. Maintenance menggunakan oksigen 3 liter per menit,
Vomceran Ondansetron 2mg/ml, dan Torasic Ketorolac 30 mg. Tanda-
tanda vital dan saturasi oksigen juga selalu dipantau setiap 15 menit
selama operasi berlangsung dan pemberian cairan selama operasi.
Operasi selesai pada pukul 11.05 dan pasien langsung dibawa ke
ruang pemulihan. Aldrette Score pasien saat dibawa ke ruang pemulihan 6.
Tekanan darah : 110/70 mmhg, nadi : 90x/mnt, SpO2 : 99%. Selanjutnya
pasien dipindahkan ke ruang Flamboyan 1 dan mendapatkan perawatan
lebih lanjut.

B. Kesimpulan
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah
tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang
subaraknoid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi
hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4 (daerah papilla
mammae kebawah) dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam. Yang perlu diperhatikan sebelum melakukan anestesi
spinal adalah informed consent, pemeriksaan fisik dilakukan meliputi
daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya
kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis
seperti scoliosis atau kifosis, atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan
processus spinosus tidak teraba. Perhatikan juga pemeriksaan laboratorium
darah apakah terdapat gangguan pembekuan darah.
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan
pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Setelah
melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan monitoring.
Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom
di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric
pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang
perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi.
Tekanan darah bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi
pada orang tua yang belum diberikan loading cairan.
Operasi dilakukan oleh dokter spesialis obsgyn selama kurang lebih
50 menit dengan monitoring tanda-tanda vital dan saturasi oksigen pada
pasien setiap 15 menit selama operasi berlangsung. Selesai operasi, pasien
memasuki periode bangun dan pemulihan, pasien dibawa ke ruang
pemulihan untuk tetap dimonitoring tanda-tanda vital dan saturasi oksigen
sampai dapat dinyatakan keluar dari ruang pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA

Christiansson. 2009. Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in


Regional Anesthesi; UDC 57: 61, CODEN PDBIAD. VOL. 111, No 2, 161–
70.
Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. 2005. Clinical
Anesthesiology 4th Edition: Section Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia;
Appleton and Lange. California: McGraw-Hill Publishing.
Kristanto. 2004. Anestesia Regional; Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV.
Infomedika
Mansjoer, A. 2002. Asuhan Keperawatn Maternitas. Jakarta : Salemba Medika
Sarwono Prawiroharjo. 2009. Ilmu Kebidanan, Edisi 4 Cetakan II. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka

Anda mungkin juga menyukai