Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN DENGAN SYOK


HIPOVOLEMIK ec SOLUTIO PLASENTA PADA G2P1
HAMIL 34MINGGU, JANIN TUNGGAL IUFD
Kepaniteraan Klinik Departemen Anestesi dan Reanimasi
RSUP Persahabatan

Oleh :
Siska Yolanda
1810221019

Pembimbing :
dr. Ernita Akmal, Sp.An KIC

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI


INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN DENGAN SYOK


HIPOVOLEMIK ec SOLUTIO PLASENTA PADA G2P1
HAMIL 34MINGGU, JANIN TUNGGAL IUFD

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesi dan Reanimasi
Di RSUP Persahabatan

Disusun Oleh:
Siska Yolanda
1810221019

Mengetahui,

Pembimbing : dr. Ernita Akmal, Sp.An KIC


Tanggal : Mei 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus “Resusitasi
cairan pada pasien dengan syok hipovolemik ec solutio plasenta pada G2P1 hamil
34 minggu, janin tunggal IUFD”.
Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Departemen Anestesi dan Terapi Intensif. Penyusunan laporan ini
terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut membantu terselesaikannya
laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ertnita Akmal, Sp.An KIC selaku
pembimbing dan seluruh teman-teman kepaniteraan klinik Bagian Departemen
Anestesi dan Terapi Intensif atas kerjasamanya selama penyusunan laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca
maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Mei 2019

Penulis
BAB I
DESKRIPSI KASUS

II.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Apri Marliana
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 09-04-1993
Usia : 26 tahun
Alamat : Jl. Otista gg Tanjung Lengkong No.42
RT05/RW07
No. Rekam Medis : 02-50-29-74
Tanggal operasi : 17/05/19
Agama : Islam
Status : Menikah

II.2 Hasil Anamnesa


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 20
Mei 2019, pukul 12.30 WIB di ruang perawatan ICU.

Diagnosis
Syok Hipovolemik ec Solutio Plasenta pada G2P1 Hamil 34 Minggu, Janin Tunggal
IUFD.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien perempuan berumur 26 tahun dengan diagnosa syok hipovolemik ec
solutio plasenta pada G2P1 hamil 34 minggu, janin tunggal IUFD direncanakan
dilakukan operasi Sectio Caesar sampai dengan histerektomi pada tanggal 17 Mei
2019. Pasien mengaku hamil 8 bulan dengan HPHT 14/9/2018, usia kandungan
berkisar 35 minggu. Pasien datang mengeluhkan nyeri pada bagian bawah perut
yang sudah dirasakan sejak kurang lebih dua jam sebelum ke rumah sakit. Pasien
juga mengatakan setelah 30 menit merasa nyeri perut, pasien tidak merasakan
adanya gerakkan janin, tidak keluar darah maupun air dari jalan lahir. Pasien sudah
sempat dibawa ke RS Bunda Aliyah akan tetapi dikarenakan tidak ada NICU pasien
dirujuk ke RSP. Selama masa kehamilan, pasien mengaku rutin kontrol kehamilan
sebanyak 7 kali di klinik maupun ke bidan. Keluhan sesak nafas disangkal, pasien
dapat tidur dengan tidak menggunakan bantal tampa disertai dengan nafas, pasien
mengatakan tidak ada keluhan sesak nafas saat menaiki tangga ataupun melakukan
kegiatan sehari-hari, pasien tidak sedang batuk dan tidak memiliki riwayat batuk
lama sebelumnya, pasien tidak sedang demam dan tidak dalam penggunaan obat-
obatan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal,
stroke, dan asma disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak memiliki riwayat alergi
terhadap obat-obatan maupun makanan.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat sakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit paru,
penyakit jantung, penyakit ginjal, stroke, dan asma dalam keluarga.

Riwayat Pengobatan
Pasien tidak menggunakan obat-obat kecuali yang diberikan dirumah sakit
saat itu.

Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak pernah, minum alcohol, ataupun mengkonsumsi obat-obatan
terlarang dan obat penenang. Pasien tidak merokok.

Riwayat Operasi
Riwayat operasi disangkal oleh pasien.

II.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Somnolen
 Berat Badan : 70 Kg BMI : 27.34
 Tinggi Badan : 160 Cm
 Tekanan Darah : 90/60 mmHg
 Nadi : 122 x/menit
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 36º C

Kepala
Bentuk : Normocephale
Rambut : Warna hitam, distribusi merata, rambut tidak mudah dicabut.
Mata : Pelpebra cekung dan tidak edema
Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera ikterik (-/-)
Pupil isokor kanan dan kiri, reflex cahaya positif (+/+).
Telinga : Bentuk normal, tidak ada cairan yang keluar dari telinga.
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, tidak hiperemis,dan
tidak ada secret yang keluar dari lubang hidung.
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1.
Mulut : Mukosa bibir kering, pucat, tidak sianosis.

Leher
Inspeksi : Proporsi leher dalam batas normal, tidak terlihat adanya massa
atau benjolan, tidak ada hambatan dalam pergerakan.
Palpasi : Trakea terletak ditengah, tidak teraba pembesaran tiroid, KGB
tidak teraba.

Thorax
1) Paru-paru
Inspeksi : Bentuk dada normochest, pergerakan dinding dada simetris,
tidak terlihat adanya luka/ massa didaerah dada
Palpasi : Vocal fremitus sama antara dada kanan dan kiri.
Perkusi : Suara perkusi sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi (-/-), tidak ada
wheezing (-/-).
2) Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Tidak teraba pulsasi iktus kordis.
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, tidak ada murmur dan tidak
ada gallop.

3) Abdomen

Datar, tak tampak ada jejas ada benjolan, nyeri tekan regio supra pubis (+),
bising usus normal 6-8 detik, timpani seluruh lapang abdomen.

4) Kulit

Kulit tidak kering, tidak ada lesi, tidak sianosis dan tidak ikterik. Turgor kulit
baik, CRT >2 detik

5) Ekstremitas
 Superior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
edema (-/-), akral dingin (+/+), kesemutan (-/-), sensorik
dan motoric baik.
 Inferior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
edema (-/-), akral dingin (+/+), kesemutan (-/-), sensorik
dan motoric baik.
6) Status Obstetric
 Kontraksi tetani, TFU sulit dinilai, DJJ (-)
 I : V/u tenang perdarahan (-)
 Io : portio licin ostium tertutup fluor (-), fluskus (-)
 Vt : Portio tebal, posterior.
Kesulitan Airway
 Gigi : Tidak ada gigi yang hilang atau goyang. Tidak ada
pemakaian gigi palsu
 Malampati : 1 (tampak pilar faring, palatum mole, dan uvula).
 3-3-2 rules : Bukaan mulut (3), jarak mentum ke hyoid (3), jarak tiroid ke
hyoid (2).
 Mobilisasi leher : Baik
 Trauma cervical : Tidak ada
 Leher pendek : Tidak ada

II.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboraturium
Hasil Pemeriksaan Hematologi (21/04/2019)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah perifer lengkap
Hb 11,5 (L) 12,0-14,0 g/dL
Ht 34,9(L) 37,0-43,0 %
Eritrosit 4,34 (L) 4,00-5,00 juta/uL
Leukosit 12,85 (H) 5000-10000 /uL
Trombosit 468.000 150.000-400.000 /uL
MCV 80.4 82-92 fL
MCH 26,5 27-31 g/dL
MCHC 33.3 32-36 g/dL

Hasil Pemeriksaan Hemostasis


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
PT + INR
PT pasien 10.3 9,8-11,2 detik
PT control 10.5
INR 0.91
APTT
APTT pasien 37,2 31,0-47,0 detik
APTT control 33.12

Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
SGOT (AST) 10 5-34 U/L
SGPT (ALT) 18 0-55 U/L
Albumin 3,50 3,5-5,2 g/dL
Ureum darah 43 21-43 mg/dL
Kreatinin darah 1.9 (H) 0,6-1,2 mg/dL

Hasil Pemeriksaan Elektrolit


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Natrium (Na) darah 134 L 135-145 mEq/L


Kalium (K) darah 3.80 3,50-5,00 mEq/L
Klorida (Cl) darah 107.0 99,0-107,0 mEq/L

Pemeriksaan Rontgen Thorax


Tampak perburukan kedia paru dibandingkan dengan radiografi sebelumnya
Konsul interna pre oprasi
S : pasien 50 thn keluhan rembesan selang nefrostomi pada area belakang tempat
masuk selang, bernanah sejak 3 hari dan setiap ganti perban, pasien mengatakan
ada pembengkakan pada area kandung kemih yang menyebabkan penyumbatan
ginjal hingga membemkak pasien riwayat pemasang nefrostomi pada februari 2019.
Pasien riwayat operasi kandung kemih menggunakan alat melalui penis dan
dilakukan pemeriksaan PA, hasil PA karsinoma sel skuamosa berdifrensiasi baik
minimal pT2. Riwayat hipertensi, asma, DM, stroke, disangkal, pasien tidak pernah
cuci darah. Riwayat keluhan serupa pada keluarga dan orang sekitar disangkal
O : TD: 110/75 N: 108x/menit S: 36.7 C
Penunjang leukositosis 17.100
GDS 232
RO thorax TB paru luas kasus lama
PA KSS buli difrensiasi baik minimal pT2
A: Karsinoma sel skuamosa buli
Hidronefrosis bilateral on nefrostomi
Acute on ckd dd cld gr IV
DM tipe 2
P: ro thorax ulang
EKG
Cek ur cr serial
Cek UL kultur UL
Cek HbA1c dan GDS per hari
Pantau produksi urin
Sliding scale kelipatan 3 iu
100-180 mg/dl 0 iu
181-250 mg/dl 3 iu
251-300 mg/dl 6 iu
301-350 mg/dl 9 iu

II.5 Diagnosis Klinis


KSS Buli

II.6 Tindakan
Radikal sistektomi dan ileal conduit

II.7 Hasil Konsul


 Anestesi : Puasa 6 jam sebelum operasi dilaksanakan.
II.8 Kesimpulan
ASA 3 dengan acute on ckd, dm, leukositosis

III.1 Status Anestesi

III.1.1 Rencana anestesi : General anesteshia dengan intubasi menggunakan


ETT.

Lama anestesi 8 jam 25menit (pukul 09.05 – 17.30) dan lama operasi 7 jam
40 menit (pukul 09.20 – 17.15).

 Pastikan alat-alat dan obat untuk intubasi telah siap.


STATICS
Scope :stetoskop dan laringoskop. Lampu pada laringoskop
diperiksa dan hasilnya cukup terang
Tube : pipa trakea  ETT non kingking ukuran 7.0
Airway : sungkup ukuran 4.0, guedel
Tape : plester
Introducer : mandrin atau stilet dari kawat
Connector
Suction

 Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, respirasi, pulse oximetry, dan


EKG
 Memposisikan pasien tidur terlentang
 Memasang tensi meter pada tangan kiri, elektroda EKG di dada, dan
pulse oximetry pada tangan kanan yang telah terpasang infus ukuran
22G
 Co induksi

Midazolam  1 mg

 Dosis : 0,07 – 0,15 mg/kgBB IV


 Rentang dosis : 3,14 mg – 6,75 mg
 Sediaan : 1
ampul  1 mg/ml  5 ml = 5mg
Pemberian : 1 mg

Fentanyl  50 mcg
 Dosis : 1 – 3 mcg/mL
 Rentang dosis : 45 mcg – 135 mcg
 Sediaan : 1 ampul  50 mcg/ml  2 ml = 100 mcg
Pemberian : 100 mcg
 Preoksigenasi/denitrogenisasi dengan sungkup muka ditempatkan pada
muka dan oksigen 4−6L/menit
 Induksi, dilakukan dengan Propofol
 Dosis : 2 – 3 mg/kgBB
 Rentang dosis : 90 mg – 135 mg
 Sediaan : 1 ampul  10 mg/ml 10 ml = 100 mg
Pemberian : 100 mg
 Selesai induksi, sungkup muka dipasang dengan oksigen 4–6 L/menit
dilakukan maneuver Chin – lift, lalu ibu jari dan jari telunjuk memegang
face mask membentuk huruf ‘C’, ketiga jari yang lain berada pada
mandibula, mendorong rahang secara anterior, manuver terpenting
untuk memungkinkan ventilasi kepada pasien, tangan yang satu
memompa ambu bag. Lalu menilai Refleks bulu mata, bila sudah
menghilang diberikan relaksan.
 Relaksan dengan atracurium
 Dosis : 0,45-0,9 mg/kgBB
 Rentang dosis : 20.25 mg – 40.5 mg
 Sediaan : 1 ampul  10 mg/ml  2,5 ml = 25 mg
Pemberian : 40 mg
 Intubasi
 Intubasi menggunakan ETT biasa ukuran 7.0 dengan fiksasi sedalam
21 cm.
 Intubasi setelah pasien tidur.
 ETT disambungkan ke ventilator dengan Volume Tidal 400,
Respiratory Rate 12, dan PEEP 4 cmH2O.
 Intubasi berhasil dilakukan dengan satu kali percobaan, tidak
ditemukan kesulitan saat intubasi
 Maintenance dengan inhalasi O2 : Udara = 1:1 dan Sevofluran 2%
 Monitoring
a) Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi selama anestesi
b) Pemantauan tanda klinis  pergerakan dada, memastikan stabilitas
ETT tetap terjaga.
c) Pemantauan oksigenasi selama anestesi:
d) Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan pemasangan pulse
oximetry dan pemantauan melalui monitor.
e) Pemantauan adekuat atau tidaknya fungsi sirkulasi pasien:
 Pemantauan tekanan darah dan denyut jantung.
 Pemantauan EKG secara continue mulai sebelum induksi anestesi.
 Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesi:
-Input : Cairan infus (Asering), transfusi darah.
-Output : urin, perdarahan

TD TD urin perdarahan darah


Waktu Nadi MAP
sistolik diastolik
09.05 127 74 82 90

09.30 200ml 50 ml
120 71 84 87

10.00 100ml 400ml


121 72 93 88

10.30 125 71 87 89 500ml

11.00 118 70 76 86 750 ml 200ml

11.30 120 73 88 89 900 ml

12.00 128 78 85 95 1100 ml


12.30 1400 ml
129 77 94 94

13.00
130 76 125 94

13.30
120 73 76 89

14.00 1500 ml
121 72 94 88

14.30
127 74 88 90

15.00
118 70 100 86

15.30 134 89 75 104 1700 ml

16.00 126 73 84 91 1800 ml

16.30 130 76 87 94 2000 ml 500 ml

17.00 123 73 74 90

17.25 129 74 76 92

 Obat-obatan dimasukkan
 Paracetamol infus 200 mg 16.45
 Inj. Tramadol 100mg IV jam 16.45
 Asam traneksamat 1g IV jam 11.15
 Ca Glukonas 1g IV jam12.30
 Ondancentron 4 mg IV jam 16.30
 Ranitidin 50 mg IV jam 16.33

III.2 Pemantauan Cairan

Pemberian cairan :
- Kebutuhan cairan :
Maintenance : (4x10)+(2x10)+(1x25) = 85 mL
Puasa (6 jam) : 85 x 6 = 510
Stress operasi : skala berat x BB  8 x 45 kg = 360 ml
- Pemberian cairan jam ke- :
Jam ke I : maintenance + ½ pengganti puasa + stress operasi
85 ml + ½ (510) + 360 = 700 ml
Jam ke II : maintenance + ¼ pengganti puasa + stress operasi
85 ml + ¼ (510) + 360 = 572 ml
Jam ke III : maintenance + ¼ pengganti puasa + stress operasi
85 ml + ¼ (510) + 360 = 572 ml
Jam ke VI : maintenance+stress operasi
85 ml + 360 = 445 ml
Jam ke V: maintenance+stress operasi
85 ml + 360 = 445 ml
Jam ke VI: maintenance+stress operasi
85 ml + 360 = 445 ml
Jam ke VII: maintenance+stress operasi
85 ml + 360 = 445 ml
Jam ke VIII: maintenance+stress operasi
85 ml + 360 = 445 ml

Total kebutuhan cairan :


700 ml + 572 ml + 572 ml + 445ml + 445ml+ 445ml+ 445ml+ 445ml+
445ml = 4.514 ml
Jumlah pemberian cairan :
Total pemberian cairan adalah 4.500 cc, dengan rincian :
- Kristaloid : 4000 cc
- Koloid : 500 cc
Jumlah cairan keluar:
- Perdarahan : 2000 cc
- Urin output : 500 cc

EBV  75 x 45 kg = 3375 cc
Allowable Blood Loss (ABL) = EBV x Hi-Hf/Hi
= 3375 X 34.9-24/34.9 = 1054 ML
Tranfusi PRC 765 ml
Transfusi FFP 478 ml
Total transfusi 1.243 ml
III.3 Pasca Operasi
1. Setelah operasi pasien tidak di ekstubasi
2. pasien dipersioapkan untuk diantar ke intensive care unit
3. Tanda vital pasien saat dibawa ke icu yaitu : TD 111/69, nadi :94, RR : 18
S 36.5
4. Saat di bawa ke ICU pasien diberikan catatatn agar selalu pantau
hemodinamik

PEMANTAUAN TANDA VITAL


Hasil Pemantauan Tanda Vital Pasien Selama Operasi
Jam Nadi (x/menit) RR (x/menit) SpO2 (%)
09.05 82 12 100
09.30 84 12 100
10.00 93 12 100
10.30 87 12 100
11.00 76 12 100
11.30 88 12 100
12.00 85 12 100
12.30 94 12 100
13.00 125 12 100
13.30 76 12 100
14.00 94 12 100
14.30 88 12 100
15.00 100 12 100
15.30 75 12 100
16.00 84 12 100
16.30 87 12 100
17.00 74 12 100
17.25 76 12 100
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Definisi Cairan Tubuh


Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk multiseluler
seperti manusia atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis tertentu.

III.2 Fisiologi Cairan Tubuh dan Elektrolit


A. Distribusi cairan tubuh
Air adalah pelarut (solven) terpenting dalam komposisi cairan makhluk hidup.
Persentase Total Body Water (TBW) terhadap berat badan bervariasi, terkait
beberapa faktor berikut,
- Total Body Water pada orang dewasa berkisar antara 45-75% dari berat badan.
Kisaran ini tergantung pada tiap individu yang memiliki jumlah jaringan adipose
yang berbeda, yang mana jaringan ini hanya mengandung sedikit air.
- Total Body Water pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada
umur yang sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang umumnya lebih
banyak mengandung jaringan lemak.
- Total Body Water pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan
- Untuk beberapa alasan, obesitas serta peningkatan usia akan menurunkan jumlah
kandungan total air tubuh
Pada saat lahir, Total Body Water 78% berat badan. Pada beberapa bulan pertama
kehidupan, Total Body Water turun cepat mendekati kadar dewasa yaitu 55-60 %
berat badan pada saat usia 1 tahun. Pada masa pubertas, terjadi perubahan TBW
selanjutnya. Karena lemak mempunyai kadar air yang lebih rendah, persentase
TBW terhadap berat badan lebih rendah pada wanita dewasa yang mempunyai lebih
banyak lemak tubuh (55%) daripada laki-laki, yang mempunyai sedikit lemak.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular.
a. Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular (CIS). Pada
orang dewasa, cairan intraseluler (CIS) sekitar dua pertiga dari cairan dalam
tubuhnya (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan
sekitar 70 kilogram). Pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan
cairan intraselular. Cairan intraseluler (CIS) terlibat dalam proses metabolik yang
menghasilkan energi yang berasal dari nutrien-nutrien dalam cairan tubuh.
Komposisi dari cairan intraseluler (CIS) bervariasi menurut fungsi suatu sel.
Namun terdapat perbedaan umum antara CIS dan cairan interstitial. Cairan
intraseluler (CIS) mempunyai kadar Na+, Cl- dan HCO3- yang lebih rendah
dibanding CES dan mengandung lebih banyak ion K+ dan fosfat serta protein
yang merupakan komponen utama intra seluler.
Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam keadaan
stabil namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi melalui mekanisme
pasif seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak membutuhkan energi
sebagaimana transport aktif.
b. Cairan ekstraselular

Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular (CES). Cairan
ekstraseluler berperan dalam mempertahankan sistem sirkulasi, mensuplai
nutrient ke dalam sel, dan membuang zat sisa yang bersifat toksik. Jumlah relatif
cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, cairan
ekstraseluler sekitar setengah dari cairan tubuh. Cairan ekstraselular dibagi
menjadi,
1) Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12
liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial.
2) Cairan Intravaskular
Cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume plasma).
Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan
platelet.
3) Cairan transeluler
Cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti serebrospinal,
perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan.
Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi
cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

Table 1. Distribusi cairan tubuh


B. Komponen cairan tubuh
a. Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik.
Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah
kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).
1) Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan
kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem
pompa terdapat di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan
potassium ini.
- Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling
berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma
135-145mEq/L. Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana 70%
kadarnya atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Eksresi natrium dalam
urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter.
Kebutuhan setiap hari 100mEq (6-15 gram NaCl).
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial
maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan
natrium (muntah, diare) sedangkan pemasukkan terbatas maka akan terjadi
keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium
dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari cairan interstitial.
Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel
dan apabila volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah
kegagalan sirkulasi.
- Kalium

Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler


berperan penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit.
Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat
berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah kalium yang
terikat dengan protein didalam sel.
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3
mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi
H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72
mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.
- Kalsium

Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90%


dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran
ini tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme
kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar paratiroid, tiroid, testis,
ovarium, da hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan didalam gigi dan +
1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.
- Magnesium

Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk


pertumbuhan 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.
2) Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat
(HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat
(PO43-).
1) Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil
akhir daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit
sekali bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh
paru-paru dan sangat penting peranannya dalam keseimbangan asam basa.

Tabel 1. Komposisi Elektrolit pada Cairan Tubuh


Cairan Cairan
Plasma
Elektrolit Interstitial Intracellular
(mEq/L)
(mEq/L) (mEq/L)

Na+ 142 145 10

K+ 4 4 159

Mg2+ 2 2 40

Ca2+ 5 3 1

Cl- 103 117 10

HCO3- 25 27 7

Adapted from Campbell I: Physiology of fluid balance. Anaesth Intensive Care


Med 7:462-465 2006.

b. Non-elektrolit

Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan.
Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

C. Proses Pergerakan Cairan Tubuh


Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan
mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan
energy sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan
osmosis adalah mekanisme transpor pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif
berhubungan dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP.
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah
menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh
membran sel dan kapiler permeable terhadap air, sehingga tekanan osmotik
cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel ialah
membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat
terlarut misalnya protein.
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan
tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%,
Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut
hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.
b. Difusi

Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan


bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah.
Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi
melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan
konsentrasi dan tekanan hidrostatik.
c. Pompa Natrium Kalium

Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa


ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa
ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah
untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

D. Asupan dan ekskresi cairan dan elektrolit fisiologis


Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah
oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya
cedera pada paru-paru, kulit atau traktus gastrointestinal.
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-
2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan
cairan rata rata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml
kehilangan cairan yang tidak disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-
paru.

III.3 Perubahan cairan tubuh


Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1) Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh
yang paling umum. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di
gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik, diare dan drainase
fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan pada cedera
jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan
luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan
tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan
cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan
ekstraselular yang berat terjadi.
Kekurangan cairan atau dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan
kadar konsentrasi serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150
mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150 mEq/L).
Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%),
sedangkan dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari
kasus.
1) Dehidrasi isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan
cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen
intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.
2) Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan
hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih
banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum
rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen
ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume
intravaskular.
3) Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan
hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak
dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di
kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular,
sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat
iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan
kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosayang
menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi
renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.9,10
Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi
jumlah NaCl tetap atau berkurang.

2) Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia

Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L,
sudah dapat dibilang hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul
gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti
pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala
kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH,
polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah,
third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini
dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3%
ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.12
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara
perlahanlahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk
menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus,
Na= Na1 – Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
b. Hipernatremia

Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia.
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan
mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat disebabkan oleh
kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat
berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan
ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak,
Normal TBW x 140 = TBW sekarang x Na+ plasma sekarang
Defisit air = Normal TBW – TBW sekarang
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut
kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis
kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa
disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST segmen
depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi
(alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai 10
mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida
sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia
berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).13
Rumus untuk menghitung defisit kalium :
K = K1 – K0 x 0,25 x BB

K = kalium yang dibutuhkan


K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi
renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor,
siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan
saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik,
perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium
klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10
menit, atau diuretik, hemodialisis.

3) Perubahan komposisi
a. Asidosis respiratorik (pH< 7,35 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk
menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan
akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi jalan nafas,
atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen atas, distensi
abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya
melibatkan koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal,
dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene
trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan
ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum
normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang
cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari
termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari
ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.
c. Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau
kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal,
diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat.
Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi
PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis,
kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi
sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi
bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan hanya
setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.
d. Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan
bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi
pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume
ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium klorida isotonik dan
penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual selama
perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang
sering.

III.4 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan


Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum
terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,
intraoperatif dan postoperatif.
a. Faktor-faktor preoperatif
1) Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk
oleh stres akibat operasi.
2) Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena
dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal
karena efek diuresis osmotik.
3) Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air
dan elektrolit
4) Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan
elekrolit dari traktus gastrointestinal.
5) Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6) Restriksi cairan preoperative
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan
cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien
menderita demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7) Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.
b. Faktor-faktor intraoperatif
1) Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia
preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan
vasokonstriksi.
2) Kehilangan darah yang abnormal
3) Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya
kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
4) Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka
operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
c. Faktor-faktor postoperatif
1) Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2) Peningkatan katabolisme jaringan
3) Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4) Risiko atau adanya ileus postoperatif

III.5 Terapi Cairan


Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma
ekspander) secara intravena.
Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan
sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti
perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.
Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan
tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi
jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat
dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau
Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik
bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi.
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit
utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut
merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi
gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal
dengan insensible water losses.

Rumus Holiday Segar

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan


karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit
yang juga mengandung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline,
DGAA, Ringer's dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya
karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari
sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam
hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena
seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek
samping yang berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu
mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium
sesuai kebutuhan harian.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang
peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya
pembedahan, yaitu:
 6-8 ml/kg untuk bedah besar
 4-6 ml/kg untuk bedah sedang
 2-4 ml/kg untuk bedah kecil

Jenis-Jenis Cairan
a. Cairan Kristaloid

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).


Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit
volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar
20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang
hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan
tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan
kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan
berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat
peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan
lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka
kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer
dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan
luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9Selain itu, pemberian
cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan
meningkatnya tekanan intra kranial.
b. Cairan Koloid

Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau
pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang
banyak (misal luka bakar).

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:


1) Koloid alami:
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam
untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma
selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin.
2) Koloid sintetis:
- Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan
Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi
oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media
sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih
baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu
memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat
menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran
mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis
dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20
ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan
memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran
1 (Promit) terlebih dahulu.
- Hydroxylethyl Starch (Heta starch)

Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 –


1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan
onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal
akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64%
dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang).
Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta
starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume
yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya
sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang
rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih
sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
- Gelatin

Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat


molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3
macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin

Keuntungan dan kerugian cairan kristaloid dan koloid


Kristaloid Koloid
Keuntungan - Tidak mahal - Mempertahankan cairan
- Aliran urin lancar intravaskular lebih baik (1/3
(meningkatkan volume cairan bertahan selama 24 jam)
intravaskular) - Meningkatkan tekanan
- Pilihan cairan pertama u/ onkotik plasma
resusitasi perdarahan & - Membutuhkan volume yang
trauma lebih sedikit
- Mengembalikan - Mengurangi kejadian edema
kehilangan pada ruang perifer
cairan ke-3 - Dapat menurunkan tekanan
intracranial
Kerugian - Mengencerkan tekanan - Mahal
osmotik koloid
- Menginduksi edema - Menginduksi koagulopati
perifer (dextran & helastarch)
- Insidensi terjadinya - Jika tdpt kerusakan kapiler,
edema pulmonal lebih dpt berpotensi tjd perpindhn
tinggi cairan ke interstitial
- Membutuhkan volume yg - Mengencerkan faktor
lebih besar pembekuan dan trombosit
- Efeknya sementara - Berpotensi menghambat
tubulus renalis dan sel
retikuloendotelial di hepar
- Kemungkinan adanya reaksi
anafilaksis (dextran)

A. Terapi Cairan Preoperatif


Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement)
harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah
sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam
pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya.
Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti
garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena
penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi
enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena
akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan
cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus
segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi
anestesi.
Penggantian Defisit Pasca Bedah

Usia Jumlah Kebutuhan


(ml/Kg/Jam)

Dewasa 1,5 – 2
Anak 2–4
Bayi 4–6
Neonatus 3

B. Terapi Cairan Intraoperatif


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan
kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan
(perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang
diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang
hilang.
 Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis
misalnya bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan
rumatan saja selama pembedahan.
 Pembedahan dengan trauma ringan
misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam
untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat
trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa
cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.
 Pembedahan dengan trauma sedang
diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar
ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung pada prosedur pembedahandan
perkiraan jumlah perdarahan. Perkiraan jumlah perdarahan yang terjadiselama
pembedahan sering mengalami kesulitan., dikarenakan adanya perdarahan yang
sulit diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi,kain kasa, kain operasi
dan lain-lain. Dalam hal ini cara yang biasa digunakan untuk memperkirakan
jumlah perdarahan dengan mengukur jumlah darah didalam botol suction ditambah
perkiraan jumlah darah di kain kasa dan kain operasi. Satu lembar duk dapat
menampung 100 – 150 ml darah, sedangkan untuk kain kasa sebaiknya ditimbang
sebelum dan setelah dipakai, dimana selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml
darah. Perkiraan jumlah perdarahandapat juga diukur dengan pemeriksaan
hematokrit dan hemoglobin secara serial.Pada perdarahan untuk mempertahankan
volume intravena dapat diberikankristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya
bahaya karena anemia. Padakeadaan ini perdarahan selanjutnya diganti dengan
transfusi sel darah merahuntuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin ataupun
hematokrit padalevel aman, yaitu Hb 7 – 10 g/dl atau Hct 21 – 30%. 20 – 25%
pada individu sehat atau anemia kronis. Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada
saat prabedah berdasarkan nilai hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus prematur
95 ml/kgBB, fullterm 85ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB dan pada dewasa laki-laki 75
ml/kgBB, perempuan 85 ml/kgBB.Untuk menentukan jumlah perdarahan yang
diperlukan agar Hct menjadi 30% dapat dihitung sebagai berikut :
- EBV
- Estimasi volume sel darah merah pada Hct prabedah (RBCV preop)
- Estimasi volume sel darah merah pada Hct 30% prabedah (RBCV%)
- Volume sel darah merah yang hilang, RBCV lost = RBCV
preop RBVC30%)
- Jumlah darah yang boleh hilang = RBCV lost x 3Transfusi dilakukan jika
perdarahan melebihi nilai RBCV lost x 3.Selain cara tersebut di atas,
beberapa pendapat mengenai penggantiancairan akibat perdarahan adalah
sebagai berikut :Berdasar berat-ringannya perdarahan :
- Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup
digantidengan cairan elektrolit.
- Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat
digantidengan cairan kristaloid dan koloid.
- Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti
dengantransfusi darah.

C. Terapi Cairan Postoperatif


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
 Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal
sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak
dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari
sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat
stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung
menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca
bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum
baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150
mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat
menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus
dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup
dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garamisotonis. Terapi cairan
ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
 Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap
kenaikan 1°C
- suhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau
muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui
trakeostomi dan
- humidifikasi.
 Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10
gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut
oksigen.
 Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama
meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran,
diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
BAB III
DISKUSI KASUS

Pasien atas nama Tn. A usia 49 tahun akan menjalani pembedahan radikal
sistektomi dan ileal conduit. Pasien didiagnosis Karsinoma sel skuamosa (KSS)
Buli. Pasien di operasi tanggal 25 april 2018
Sebelum operasi, direncanakan untuk maintenance oksigen, cairan, tanda
vital agar haemodinamik pasien tidak mengalami masalah saat operasi. Pasien juga
memiliki persedian darah berupa Packed Red Cells (PRC) sebanyak 1000 mL dan
Fresh Frozen Plasma (FFP) sebanyak 500 mL untuk operasinya. Pasien juga
dipuasakan selama 6 jam untuk mencegah terjadinya regurgitasi saat pasien
dibawah pengaruh obat bius, ditambah obat-obat anestesi memiliki efek samping.
mual dan muntah.
Operasi dilakukan selama 7 jam lebih kebutuhan cairan selama proses
pembedahan yaitu 4514 mL yang merupakan kebutuhan cairan rumatan pada pasien
operasi berupa cairan penegganti puasa, cairan maintanace, dan cairan pengganti
akibat evaporasi selama pembedahan, pada operasi ini total cairan yang masuk
sebanyak 4500 mL yaitu berupa 4000 kristaloid dan 500 kolid. Jumlah cairan yang
masuk pada operasi ini sudah sesuai dengan kebutuhan rumatan pada pasien ini.
Cairan keluar sebanyak 2500 mL yang berasal dari perdarahan 2000 ml dan
urin output 500 ml. Pada pasien ini terjadi perdarahan sebanyak 2000 ml dimana
jumlah ini sudah melebih 20% dari Estimated Blood Volume (EBV) atau sudah
melebihi dari perkiraan hct pasien 30% sehingga dilakukanlah tranfusi PRC
sebanyak 765 mL da FFP 478 ml. dan berdasarkan perhitungan Allowable Blood
Loss (ABL) sebesar 789,8 mL, perdarahan dengan jumlah tersebut sudah memasuki
anjuran transfusi.
Pemberian cairan dilakukan dengan 2 jenis cairan, yaitu asering dan
gelofusin. Asering merupakan cairan kristaloid yang berfungsi untuk resusitasi.
Asering dipilih karena memiliki kandungan cairan yang mirip plasma darah.
Kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan
koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang
interstitiel.
Penggunaan koloid bertujuan untuk mempertahankan cairan intravaskular,
dalam kasus ini menggunakan Gelofusin. Cairan ini lebih bertahan lama di
intravaskuler sehingga penggunaannya lebih efisien dibandingkan kristaloid.
Koloid pada kasus ini digunakan untuk menjaga hemodinamik selama pembedahan.
Hemodinamik stabi ini dapat dinilai dari tanda-tanda klinis dan tanda vital pasien.
BAB IV

KESIMPULAN

Tubuh manusia terdiri dari sebagian besar cairan, terjadinya kekurangan


cairan dapat menyebabkan terganggunya proses fisiologi tubuh terutama pada
sistem sirkulasi kardiovaskular. Pada proses operasi berlangsung kehingan cairan
dapat terjadi melalui banyak cara sehingga terapi penggantian cairan yang hilang
sangat dibutuhkan baik rumatan ataupun resusitasi.
Cairan yang hilang selama operasi harus diberikan secara tepat baik jumlah
dan jenis cairan yang diberikan, untuk menghindari terjadinya gangguan fisiologis
terutama sistem kardiovasklar pada saat dimeja operasi sehingga proses operasi
dapat berjalan lancar walaupun dilakukan dalam waktu yang lama
Pada kasus operasi tn E dilakukan terapi cairan baik resusitasi ataupun
rumatan dengan pemberian baik cairan kristaloid koloid dan juga transfusi, pada
pasien ini jumlah cairan rumatan diberikan dengan kristaloid dan koloid yang sudah
sesuai dengan jumlah cairan rumatan yang dibutuhkan. Pada pasien ini juga
dilakukan transfusi darah karena jumlah pendarahan yang sudah memasuki indikasi
untuk dilakukan transfusi darah.
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/RSUP Dr. Kariadi. Semarang: Ikatan

Dokter Spesialis Anestesi dan Reanimasi (IDSAI) Cabang Jawa Tengah;

2010.p.259-64

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 2009; 133-

3. Morgan GE. Mikhail MS. Clinical Anesthesiologi. 4ed. Appleton & Lange

Stamford. 2006

4. Miller RD. Anesthesia 7th ed. Churchill Livingstone Philadelphia. 2009

5. Sunatrio. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius. Jakarta; 2000

6. Leksana E. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi

Intensif. Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro. Semarang

7. Sunatrio S. Terapi Cairan Kristaloid dan Koloid untuk Resusitasi Pasien kritis.

Second Fundamental Course on Fluid Therapy. PT. Widatra Bhakti. Jakarta;

2003.

Anda mungkin juga menyukai