Anda di halaman 1dari 64

BAGIAN IKM-IKK MEDICAL CHECK UP

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

Penentuan Penyakit Akibat Kerja dan Kelaikan Kerja pada Pelaut

Oleh:

S. Ahmad Gufran Idrus 11120192175


Firmawati AR 11120192149
Desi Triutami 11120182119

Pembimbing :

dr. Abbas Zavey Nurdin, Sp.OK, MKK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN IKM-IKK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
BAB I
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. X
Tempat/ Tanggal lahir: Makassar, 5 Oktober 1979
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Warga negara : Indonesia
Status perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. A. Pettarani
Pekerjaan : Kepala kamar mesin
Warna rambut : Hitam
Warna mata : Hitam
Warna kulit : Sawo matang
Golongan darah :O
Tinggi Badan : 176 cm
Berat Badan : 69 kg
Tanda khusus :-

2.2 ANAMNESIS
2.2.1 Alasan Kedatangan/Keluhan Utama
Alasan kedatangan : Seorang pasien laki-laki berusia 45
tahun datang untuk melakukan pengujian kesehatannya ke
poliklinik KKP dengan tujuan pemeriksaan kelaikan (kerja) sebagai
Kepala kamar mesin
2.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik dengan mengeluhkan adanya.
Mata merah pada kedua mata yang dialami sejak 5 hari yang lalu,
Mata merah disertai mata berair (+), perih (+) jika terkena angin,
rasa mengganjal (+), rasa berpasir (-), kotoran mata berlebih (+),
gatal (-). Keluhan sistemik : Sakit kepala (-), pusing (-), batuk (-),
mual (-) dan muntah (-). Pasien juga mengeluhkan adanya
penglihatan yang kabur sejak 2 tahun yang lalu sehingga pasien
sulit melihat dengan jelas tanpa menggunakan kacamata.
Pasien juga mengeluh nyeri pada telinga kiri, disertai
penurunan pendengaran sejak 3 hari yang lalu dan tidak ada
riwayat keluar cairan. Riwayat kemasukan air (+), mengorek -
ngorek telinga (+), batuk (+) dan pilek (+).
Pasien mengeluhkan keluar benjolan dari dubur, benjolan
pertama kali muncul 1 tahun yang lalu, hilang timbul, timbul
terutama saat BAB, tidak nyeri, tidak disertai darah dan dapat
masuk sendiri secara spontan.
Pasien juga mengeluhkan gatal-gatal di sela-sela jari tangan
kanan dan kiri, gatal dirasakan bertambah parah saat malam hari
sejak 4 bulan yang lalu. Awalnya pasien mengeluh gatal dan
kemudian muncul bintil-bintil kecil kemerahan pada sela-sela jari
tangan kanan dan kiri,lalu digaruk oleh pasien dan lama kelamaan
kelainan kulit bertambah banyak. Pasien memakai bedak herosin
yang didapatkan dari tetangganya di pakai 2x sehari setiap habis
mandi jika kulit terasa gatal. Hasil pengobatan gatal dan
kemerahannya sedikit berkurang,setelah itu beberapa hari
kemudian kelainan kulit muncul lagi dan semakin melebar. Pasien
seringkali memakai handuk yang bergantian-gantian dengan orang
rumahnya.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat penyakit terdahulu

2.2.4 Riwayat Keluarga


Tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Tidak ada riwayat pengobatan

2.2.6 Riwayat Kebiasaan


Pasien rutin berolahraga tetapi jarang mengonsumsi sayur-sayuran

2.2.7 Riwayat Alergi


Tidak ada riwayat alergi obat.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


a. Tingkat Kesadaran dan Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Tampak kesakitan : Tampak sakit sedang.
Gangguan saat berjalan : Tidak.
b. Status Gizi
BB : 69 kg.
TB : 176 cm.
IMT : 22,27 kg/m2.
Lingkar Perut : 88 cm.
Bentuk Badan : Atletikus.
c. Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg.
Nadi : 88 x/menit.
Pernapasan : 20 x/menit.
Suhu Tubuh : 37,7oC.
d. Pemeriksaan Status Generalisata :
1) Kepala : Bentuk normocephal.
2) Mata :
Pemeriksaan OD OS
Sekret (+), edema (-), Sekret (+), edema (-),
Massa tumor (-), massa tumor (-),
hiperemis (-) hiperemis (-),
Palpebra

Aparatus lakrimalis Hiperlakrimasi (+) Hiperlakrimasi (+)


Silia Normal Normal
Injeksi konjungtiva (+) Injeksi konjungtiva (+)
Konjungtiva
Anemis (-), edema (-) Anemis (-), edema (-)
Kornea Edema (-) Edema (-)
Sklera Ikterik (-) Ikterik (-)
Kesegarisan
Normal Normal
gerakan bola mata
Pupil Isokor, Ɵ 2,5 mm Isokor, Ɵ 2,5 mm
Refleks cahaya (+) (+)
Lensa Jernih Jernih
Visus jauh tanpa
4/60 6/20
koreksi
Koreksi S -4.00 D S-2.00D
Visus jauh dengan
6/6 6/6
koreksi
Tekanan bola
Tn Tn
mata
Pergerakan Bola Mata :

Tes Konfrontasi :
Persepsi Warna : Tes Isihara

Keterangan:
1. Beberapa plate dibaca dan beberapa plate tidak bisa dibaca
2. Pada plate dengan dasar hitam abu-abu, angka 9 pada gambar
sebelah kiri dan angka 4 bisa dibaca sedangkan yang lain tidak
bisa dibaca.

3) THT :
Telinga :

Telinga Kanan Telinga Kiri


Daun Telinga Dbn Dbn
Dbn
Liang Telinga Dbn

Serumen Tidak ada Tidak ada


Kemerahan,
Membran
Dbn intak, reflex
Timpani
cahaya (-)

Telinga Kanan Telinga Kiri


Test berbisik 6 Meter 4 Meter
Test Garpu tala :
+ -
Rinne
Weber Lateralisasi ke telinga kiri
Swabach Normal Memanjang
Tes Bing Oklusi telinga Oklusi telinga kiri,
kanan, lateralisasi ke
lateralisasi ke kanan.
kanan.

Hidung :
a. Meatus nasi : Normal.
b. Septum nasi : Normal.
c. Konka nasal : Normal.
d. Nyeri ketok sinus maxillaris : Normal.
e. Penghidu : Normal.

Tenggorokan :
a. Faring :

Pemeriksaan Hasil

Uvula Ditengah, merah muda

Arkus faring Simetris, merah muda

Mukosa Hiperemis (-)

Dinding faring Granul (-)

b. Tonsil :

Pemeriksaan Hasil

Ukura T1/T1
Mukosa Merah muda

Kripte Tidak melebar

Detritus, perlekatan Tidak ada

c. Palatum : Normal

4) Gigi dan Gusi :

5) Leher :
a. Gerakan leher : Normal.
b. Kelenjar tyroid : Normal.
c. Pulsasi carotis : Normal.
d. Tekanan vena jugularis : Normal.
e. Tachea : Normal.
6) Kelenjar Getah Bening :
a. Leher : Normal.
b. Submandibula : Normal.
c. Ketiak : Normal.
d. Inguinal : Normal.
7) Thorax :
a. Bentuk : Simetris.
b. Mammae : Normal.

8) Pulmo :
a. Inspeksi
 Bentuk : Simetris kiri dan kanan
 Retraksi (-)
 Pembuluh darah tidak ada kelainan

b. Palpasi
 Fokal Fremitus normal dan sela iga tidak ada kelainan

c. Perkusi
 Batas paru hepar : ics V-VI dekstra anterior
 Batas paru belakang kanan setinggi columna vertebra
IX dekstra
 Batas paru belakang kiri setinggi kolumna vertebra
thorakal X sinistra
 Sonor

d. Auskultasi
 Bunyi nafas : Vesikuler (+) kiri dan kanan
 Bunyi tambahan : Ronchi -/-, wheezing -/-
9) Cor :
a. Inspeksi : Iktus cordis tampak
b. Palpasi : Iktus cordis tampak
c. Perkusi
Batas jantung : Batas jantung kanan Kanan atas
ICS IV linea parasternalis dextra dan jantung kiri atas
ICS II Parasternal kiri, Kiri bawah ICS VI Midclavicula kiri
d. Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 murni
reguler

10) Abdomen :
a. Inspeksi : Massa (-), Ascites (-), scars(-), Warna
kulit kuning, Distended Abdomen (-), Defans Muskular
(-), spider nevi (-), caput medusae (-)
b. Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal, bunyi
usus tambahan (-)
c. Palpasi : Nyeri tekan (-), Murphy’s sign (-),
Hepar tidak teraba dan lien tidak teraba.
d. Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-)
e. Hati : Normal
f. Limpa : Normal.
g. Ballotement : Ballotement (-)

11) Genitouria :
a. Kandung kemih : Dalam batas normal.
b. Anus/rectum/perianal :
Inspeksi : Tidak tampak benjolan/prolapse
hematom perianal (-),abses (-)
Pada RT : sfingter ani mencekik, mukosa
licin, massa pada arah jam 11 dan jam 3, nyeri tekan (+)
Handscoen : feses (+), darah (-)

c. Genitalia eksterna :
Penis : Tampak ulkus (-), dasar bersih,
nyeri (-), duh (-)
Skrotum : tidak terdapat kelainan
Inspeksi : Tidak ada pembesaran Scrotum.
Sekitar.
Tes Transluminasi : (-)
Palpasi : fluktuasi (-),nyeri tekan (-).
d. Prostat : Kesan normal

12) Ekstremitas :
Ekstremitas Atas :
a. Gerakan : Normal.
b. Tulang : Normal.
c. Sensibilitas : Baik.
d. Edema : Tidak ada.
e. Varises : Tidak ada.
f. Kekuatan otot : 5/5.
g. Vaskularisasi : Baik.
h. Kelainan kuku jari : Tidak ada

Pemeriksaan Khusus :
a. Tes Tinel’s : Negatif.
b. Tes Phalen’s : Negatif.
c. Tes Finkelstein’s : Negatif.

Ekstremitas Bawah :
a. Gerakan : Normal.
b. Tulang : Normal.
c. Sensibilitas : Baik.
d. Edema : Tidak ada.
e. Varises : Tidak ada.
f. Kekuatan otot : 5/5.
g. Vaskularisasi : Baik.
h. Kelainan kuku jari : Tidak ada
Pemeriksaan Khusus :
a. Tes Sacroiliac : Negatif.
b. Tes Straight Leg Raise : Negatif.
c. Tes Patrick : Negatif.
13) Otot Motorik :
a. Trofi : Normal.
b. Tonus : Normal.
c. Gerakan abnormal : Tidak ada.
14) Refleks :
a. Refleks Fisiologis : Normal.
b. Refleks Patologis : Negatif.

15) Kulit :

a. Kulit :
Tangan : Tampak Papul eritem, plak, skuama halus,
erosi. Ukuran lentikuler. Distribusi lokalisata, bilateral.
b. Selaput lendir : Normal.
c. Kuku : Normal.
d. Tes sensibilitas : Normal
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Darah Lengkap

WBC 15.000 4.00 - 10.00 103/µL

NEU 70 50 – 70 %

LYM 22.4 20 – 40 %

MON 7.6 2–8 %

EO 1.2 0.00 – 4 %

BAS 0.5 0.00 – 1 %

RBC 5.1 4.20 - 5.40 106/µL

HGB 15.0 14.0 – 16.0 g/dL

HCT 43.0 34.0 - 45.0 %

MCV 84.3 80.0 - 95.0 fL

MCH 29.4 25.6 - 32.2 Pg

MCHC 34.8 32.2 - 35.5 g/dL

PLT 298 150 – 400 103/µL


SGPT/ALT  35 10-41 U/L

SGOT/AST 32 10-37 U/L

GDP 120 <126 mg/dl

Kolesterol 180 <200 mg/dL

Trigliserida 120 <150 mg/dL

Kreatinin 1,0 0,6 - 1,2 mg/dl

BUN 15 7 – 20 mg/dl

BTA negatif

VDRL Non Reaktif


TPHA Non Reaktif

Urin
Amphetamine (exctasy/ inex) Negatif Negatif
Tetrahyrocannabinol / Ganja Negatif KuningNegatif
muda,
Warna Kuning muda
Morphine / opium Negatif jernih
Negatif -
pH 6.50 6.00 - 7.00 -
Methamphetamine (Sabu) Negatif Negatif
BJ
Cocain 1.020Negatif 1.003 -Negatif
1.030 -
Protein/ Obat-obatan terlarang
Benzo NegatifNegatif Negatif
Negatif -
Eritrosit Negatif Negatif -
Leukosit Negatif Negatif -
Glukosa Negatif Negatif -
Bilirubin Total Negatif Negatif -
Urobilin Negatif Negatif -
Keton Negatif Negatif -
Reduksi Negatif Negatif -
Nitrit Negatif Negatif -
Sedimen Urin
Leukosit 0-2 0-5 LPB
Eritrosit 0-1 0-5 LPB
Epitel 0-2 <10 LPB
Silinder Negatif Negatif -
Kristal asam urat Negatif Negatif -

2) Audiometri
Pemeriksaan audiometri dilakukan pada frekuensi 250Hz, 500Hz,
1000Hz, 2000Hz, 4000Hz, 6000Hz dan 8000Hz:
Gambar 2. Pemeriksaan Audiogram pada Telinga Kanan
Kesan : Dalam batas normal

Gambar 3. Pemeriksaan Audiogram pada Telinga Kiri


Kesan : AS Conductive Hearing Loss Derajat Ringan (27,5 dB)

3) Radiologi
Foto X-Ray Thorax
Interpretasi :
• Mediastinum : tidak melebar
• Pulmo : Corakan bronkovesikular normal pada kedua lapang paru
• Cor : Ukuran dan bentuk normal,pinggang jantung terlihat, apex jantung
dalam batas normal
• Aorta tidak tampak elongasi dan dilatasi
• Sinus kanan, sinus kiri dan diafragma baik
• Tulang –tulang tampak intak

Kesan :
Paru dan Cor dalam batas normal

Elektrokardiografi
Kesan :
• Sinus rhythm, HR 88 /Min reguler
• Normoaxis
• QRS normal
• PR interval normal

2.5 DIAGNOSIS KERJA DAN KATEGORI KESEHATAN

Mata
1. Konjungtivitis virus (TSS D).
2. Pergerakan Bola Mata
• Parese N.VI, Plegia M. Rectus Lateral dextra: TSP B
• parese N. IV, Plegia M. Superior Oblique dextra: TSP B
Pemeriksaan Fisik: Terdapat gangguan pada pergerakan bola mata
kearah lateral dan medial bawah pada mata kanan
Standar kelaikan Kerja: TSP B
Pedoman -> standar pelaut seharusnya NORMAL
• Parese N.III, Plegia M. Rectus Medial Sinistra dan M. Rectus
Superior Sinistra : TSP B

Pemeriksaan Fisik: Terdapat gangguan pada pergerakan bola mata


kearah medial dan lateral atas pada mata kiri
Standar kelaikan Kerja: TSP B
Pedoman -> standar pelaut seharusnya NORMAL

3. Tes Konfrontasi
Hemianopsia homonim dextra diakibatkan defect tractus optic dextra

Standar kelaikan kerja : TSP B


Pedoman -> standar pelaut seharusnya NORMAL
4. Tes Buta Warna
Buta warna parsial Deutranomalia/ Deutronopia: TSP B

Pemeriksaan Fisik: Beberapa plate dibaca dan beberapa plate tidak


bisa dibaca. Pada plate dengan dasar hitam abu-abu, angka 9 pada
gambar sebelah kiri dan angka 4 bisa dibaca sedangkan yang lain
tidak bisa dibaca.

Standar kelayakan Kerja:TSP B

5. Pemeriksaan Visus
ODS Miopia: A.T
• Anamnesis: Pasien mengeluhkan adanya penglihatan yang kabur
sehingga pasien sulit melihat dengan jelas tanpa menggunakan
kacamata.

Pemeriksaan Fisik:
• Visus Mata Kanan sebelum dikoreksi = VOD: 4/60(0,06)
Standar Kelaikan: TSS
Setelah di koreksi = VOD: 4/60 ʃ S -4.00 D= VOD: 6/6 (1,0),
Standar Kelaikan: AT
• Visus mata kanan pasien 0.06,namun karena sudah dikoreksi jadi
dikategorikan A.T
Sesuai pedoman -> ≥ 0,4 untuk bagian mesin dikategorikan layak
• Visus Mata kiri Sebelum di Koreksi VOS : 6/20 (0.3),
Standar Kelaikan: TSS
Setelah di Koreksi -> VOS: 6/20 ʃ S -2.00 D= VOS : 6/6 (1.0),
Standar Kelaikan: AT
Visus mata kiri pasien 0.3 ,namun karena sudah dikoreksi jadi
dikategorikan A.T
Sesuai pedoman -> ≥ 0,4 untuk bagian mesin dikategorikan layak
TELINGA :
1. Otitis Media Akut Stadium Hiperemis : TSS D
Pasien juga mengeluh nyeri pada telinga kiri sejak 3 hari yang lalu,
disertai penurunan pendengaran. Pasien mengatakan tidak ada
cairan yang keluar. Sebelumnya pasien memiliki riwayat
kemasukan air (+) pada telinga kiri, pasien juga sering mengorek -
ngorek telinga (+), batuk (+) dan pilek (+).

Pemeriksaan fisik: Pada pemeriksaan otoskopi pada telinga kiri


didapatkan membrane timpani hiperemis, intak, reflex cahaya (-)

Standar kelayakan Kerja : TSS D


Terapi dengan medikamentosa membutuhkan waktu hari hingga
minggu, dan di observasi untuk melihat adanya perbaikan pada
pendengaran.

2. Tes Bisik
AS Tuli derajat ringan (tes bisik) : TSS.D Sambil menunggu hasil
audiometri
• Tes bisik 4 meter
• ANAMNESIS: Pasien juga mengeluhkan nyeri pada telinga kiri,
disertai penurunan pendengaran
• PEMFIS: Tes bisik: 4 meter -> termasuk tuli ringan
Standar Pelaut -> Pendengaran < 2 M TSP.B

Pasien dikategorikan tuli ringan berdasarkan hasil tes bisik.


Standar kelaikan Kerja:TSS.D

3. Tes Garpu Tala


• AS Konduktif Hearing loss (tes garputala) : TSS.D Sambil
menunggu hasil audiometri
• Pemeriksaan Fisik : Tes Rinne (-) , tes weber lateralisasi ke kiri ,
tes swabach : memanjang

4. Audiometri
AS Konduktif Hearing loss derajat ringan (27,5dB)
Pemeriksaan Penunjang: Tes audiometri hantaran tulang normal,
hantaran udara tidak normal.
Diagnosis: AS Konduktif Hearing loss derajat tuli ringan dengan
ambang dengar 27,5 db (frek. HU 500 hz, 1000 hz, 2000 hz, 4000
hz dijumlah dan dibagi 4 )
Standar kelayakan Kerja:TSS D

AD : Normal : (15 dB)

GIGI
1. Kalkulus pada segmen anterior rahang atas (unsur 1,2,3 pada kuadran
1 dan 2) dan segmen anterior rahang bawah (unsur 1,2 pada kuadran 3
dan unsur 1,2,3 pada kuadran 4)
Standar kelaikan: TSS D sampai mendapatkan perawatan
2. Fraktur pada gigi kuadran 1,2,3,4 unsur 1.
Standar Kelaikan : TSS D sampai perawatan
3. Gangren pada gigi kuadran 1 unsur 6, dan kuadran 4 unsur 7 SK : TSS
D sampai perawatan
4. Karies pada gigi kuadran 1 unsur 7 dan kuadran 4 unsur 8 SK: TSS D
sampai perawatan
5. Penambalan pada gigi kuadran 2 unsur 8 dan kuadran 3 unsur 8 SK:
A.T
6. Missing pada gigi kuadran 2 unsur 7 dan kuadran 3 unsur 3 SK :TSS D
sampai perawatan
KULIT
1. Scabies : TSS. D
Anamnesis : Pasien juga mengeluhkan gatal-gatal di sela-sela jari
tangan kanan dan kiri, gatal dirasakan bertambah parah saat
malam hari sejak 4 bulan yang lalu. Awalnya pasien mengeluh
gatal dan kemudian muncul bintil-bintil kecil kemerahan pada sela-
sela jari tangan kanan dan kiri,lalu digaruk oleh pasien dan lama
kelamaan kelainan kulit bertambah banyak. Pasien memakai bedak
herosin yang didapatkan dari tetangganya di pakai 2x sehari setiap
habis mandi jika kulit terasa gatal. Hasil pengobatan gatal dan
kemerahannya sedikit berkurang,setelah itu beberapa hari
kemudian kelainan kulit muncul lagi dan semakin melebar. Pasien
seringkali memakai handuk yang bergantian-gantian dengan orang
rumahnya.

Pemeriksaan fisik: Tangan: Tampak Papul eritem, plak, skuama


halus, erosi. Ukuran lentikuler. Distribusi lokalisata, bilateral.

Pemeriksaan Penunjang : Kerokan kulit didapatkan tungau dan


telur dibawah mikroskop pembesaran 100X

Standar kelaikan : TSS D

ANUS DAN REKTUM


1. Hemoroid grade 2 : TSS. D
Anamnesis : Pasien mengeluhkan keluar benjolan dari dubur,
benjolan pertama kali muncul 1 tahun yang lalu, hilang timbul,
timbul terutama saat BAB, tidak nyeri, tidak disertai darah dan
dapat masuk sendiri secara spontan.
Pemeriksaan fisik: Anus/rectum:

Inspeksi : Tidak tampak benjolan/prolapse hematom perianal


(-),abses (-)

Pada RT : sfingter ani mencekik, mukosa licin, massa pada


arah jam 11 dan jam 3, nyeri tekan (+)

Handscoen : feses (+), darah (-)

Standar kelaikan : TSS D

LAINNYA
Tanda Vital :
1. Normal (22,27) : A.T
Pemeriksaan fisik : Status gizi: BB 69 kg, TB 176 cm, Lingkar perut 88 cm,
IMT 22,27 kg/m2 Standar kelaikan kerja: A.T, SEHAT tidak ada batasan
tetapi memerlukan pengawasan medik.

Berdasarakan IMT standar pelaut boleh karena IMT <35


Status gizi : Standar pelaut ≤ 35 kg/m2

Riwayat :
1. Leukositosis: TSS D
Pemeriksaan Penunjang: Pemeriksaan Lab WBC 15,00 (4-10
103/Ul)
Standar kelayakan TSS (D)
2.6 KATEGORI KESEHATAN
Tidak fit untuk pekerjaan sebagai Kepala Kamar Mesin berdasarkan
Perla DL 22 Tahun 1999 / Permenkes No.1 Tahun 2018.
Tidak sehat permanen : Kategori B.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pemeriksaan Fisik Organ Terkait


1.1.1 Pemeriksaan Fisik Mata
Pemeriksaan Tajam Penglihatan
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui fungsi
penglihatan setiap mata tajam penglihatan jauh dengan Optotipe
Snellen.

Gambar 6 . Snellen Chart

Teknik Pemeriksaan :
a. Pasien duduk menghadap optotipe Snellen dengan jarak 6
meter.
b. Pasang trial frame pada mata.
c. Satu mata ditutup dengan occluder.
d. Pasien diminta membaca huruf pada optotip Snellen dimulai
dari huruf yang terbesar sampai ke huruf yang terkecil pada
baris – baris selanjutnya yang masih dapat terbaca.
Menilai Hasil Pemeriksaan :
a. Tajam penglihatan dicatat sebagai VA OD (visual acuityokuli
dextra) UCVA (uncorrected visual acuity) untuk tajam
penglihatan mata kanan dan VA OS (visual acuity oculi
sinistra)untuk mata kiri. Setelah didapatkan hasil pemeriksaan
UCVA dilanjutkan dengan trial lense untuk mendapatkan hasil
BCVA (Best corrected visual acuity).
b. Bila huruf terkecil yang masih dapat dibaca pada baris dengan
tanda 6, dikatakan tajam penglihatan 6/6.
c. Bila dalam membaca huruf terdapat kesalahan menyebut 2
huruf maka ditulis 6/6 false 2 (F2).
d. Bila huruf terkecil yang masih dapat dibaca pada baris 30,
dikatakan tajam penglihatan adalah 6/30 tanpa koreksi (sine
correction / SC). Dilanjutkan dengan pin hole test. Bila
didapatkan perbaikan tajam penglihatan menentukan adanya
kelainan refraksi, bila tidak terdapat perbaikan maka dapat
dipikirkan kemungkinan penurunan tajam penglihatan karena
kelainan media refraksi atau kelainan makula/saraf optik.
e. Bila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar pada optotipe
Snellen, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan uji hitung jari.
f. Pasien diminta untuk menghitung jumlah jari dari pemeriksa
yang dimulai dari jarak 5 m hingga jarak terdekat 1 m dengan
pasien. Bila jari yang terlihat dan dapat dihitung jumlahnya
tanpa salah pada jarak 3 m maka tajam penglihatan pasien
adalah 3/60. Bila pasien tetap tidak bisa melihat dan
menghitung jari hingga jarak 1 m maka pemeriksaan dilanjutkan
dengan uji lambaian tangan.
g. Pemeriksa melambaikan tangan dari jarak maksimal1 m
dengan pasien dan pasien diminta menyebutkan arah lambaian
keatas - kebawah atau kekanan kekiri. Bila Pasien dapat
melihat lambaian tangan dan dapat menentukan arah lambaian
tangan, maka visusnya adalah 1/ 300 proyeksi baik (1/ 300 PB).
Jika dengan uji lambaian tangan, pasien masih belum bisa
melihat maka dilanjutkan dengan pemeriksaan proyeksi sinar.
h. Senter diarahkan kedepan mata pasien yang akan diperiksa
dan pasien diminta menyatakan melihat sinar atau tidak serta
menyatakan arah datangnya sinar. Bila pasien dapat melihat
sinar maka visusnya 1/ ~ (LP) dan bila mampu menyatakan
arah datangnya sinar dengan baik, maka visusnya 1/ ~ dengan
proyeksi baik (GP). Bila pasien dapat melihat sinar maka
visusnya 1/ ~ (LP) dan bila tidak mampu menyatakan arah
datangnya sinar, maka visusnya 1/ ~ dengan proyeksi buruk
(BP). Bila pasien tetap tidak dapat melihat sinar maka visusnya
adalah No light perception / NLP (buta total).

Pemeriksaan Tekanan Bola Mata


Tekanan bola mata rata-rata adalah 15,5 mm Hg dengan
standar deviasi +/- 2.6 mm Hg. Hal ini yang menentukan nilai
“normal” dari tekanan bola mata yaitu 2 tingkat ke atas dan ke
bawah dari rata-rata yaitu sekitar 10-21 mmHg (AAO).

Tonometri Schiotz
Tonometer Schiotz merupakan alat praktis sederhana.
Pengukuran tekanan bola mata dinilai secara tidak langsung, yaitu
dengan teknik melihat daya tekan alat pada kornea. Dengan
tonometer schiotz dilakukan indentasi (penekanan) terhadap
permukaan kornea. Bila suatu beban tertentu memberikan
kecekungan pada kornea maka akan terlihat perubahan pada skala
schiotz. Makin rendah tekanan bola mata makin mudah bola mata
ditekan, yang pada skala akan terlihat skala yang lebih besar, hal
ini juga berlaku sebaliknya.
Teknik pemeriksaan :
a. Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur dan tujuan dari
pemeriksaan.
b. Cuci tangan sebelum melakukan pemeriksaan.

Gambar 7. Tonometri Schiotz


c. Melakukan kalibrasi tonometer sebelum penggunaan dengan
menggunakan plat logam bulat kecil yang menyertainya. Skala
harus menunjukan angka 0.
d. Melakukan desinfeksi telapak tonometer dengan alkohol.
e. Pasien ditidurkan dengan posisi terlentang (suppine).
f. Mata ditetesi dengan obat anestesi topikal seperti pantocain
0,5%.
g. Membuka kelopak mata pasien dengan telunjuk dan ibu jari
(tidak menekan bola mata pasien).
h. Meminta pasien meletakkan ibu jari tangannya didepan
matanya dengan jarak 1 lengan pasien atau melihat satu titik
pada langit-langit ruangan.
i. Dengan tangan lain letakkan telapak tonometer Schiotz pada
permukaan kornea.
j. Konversikan hasil skala yang ditunjukkan oleh tonometer ke
dalam tabel.
Catatan :
1. Letakkan telapak tonometer dengan beban 5,5 g pada
permukaan kornea.
2. Perhatikan pergeseran jarum penunjuk tonometer.
3. Bila jarum pada skala menunjukkan angka 2 atau kurang,
tambahkan beban menjadi 7,5 gr lalu ukur tekanan sekali lagi.
4. Bila jarum skala masih menunjukan pada angka 2 atau kurang,
tambahkan beban menjadi 10 gr. Ulangi pengukuran.
5. Setelah jarum tonometer menunjukkan angka yang tetap, baca
nilai pada skala busur Schiotz yang berantara 0 – 15.
6. Hasil dicatat sebagai bacaan skala/bacaan beban, misalnya:
5/5,5, 8/7,5, 3/10.

Penilaian Tonometer Schiotz :


Pembacaan skala dikonversi dengan nilai pada tabel konversi
(terdapat dalam kemasan alat) untuk mengetahui tekanan bola
mata dalam satuan millimeter air raksa (mmHg). Selain mencatat
hasil pembacaan dan beban yang digunakan, tekanan bola mata
dalam mm Hg juga harus dituliskan.
1. Apabila tekanan lebih tinggi dari 20 mmHg, dicurigai adanya
glaukoma.
2. Bila tekanan lebih tinggi dari 25 mmHg, pasien menderita
glaucoma.
Untuk konversi nilai skala tonometri schiotz, menggunakan tabel
konversi Friedenwald sebagai berikut:

Gambar 8. Friedenwald Conversion Table

Pemeriksaan Konfrontasi
Merupakan uji pemeriksaan lapang pandang yang paling
sederhana karena tidak memerlukan alat tambahan. Lapang
pandang pasien dibandingkan dengan lapang pandang pemeriksa.
Pasien diinstruksikan untuk melihat gerak dan jumlah tangan
pemeriksa di arah:
Lateral : 90o

Caudal : 70o

Cranial : 55o

Medial : 60o

Pasien dan pemeriksa atau dokter berdiri berhdapan dengan

bertatapan mata pada jarak 60 cm. Pemeriksa memeriksa mata

kanan pasien dengan menggunakan mata kanannya dan

memegang funduskopi dengan tangan kanan. Pemeriksa

menggerakkan jari dari arah temporalnya dengan jarak yang sama


dengan mata pasien kearah sentral. Bila pemeriksa telah melihat

benda atau jari dalam lapang pandangannya, maka bila lapang

pandang pasien normal ia juga dapat melihat benda tersebut. Bila

lapang pandang pasien menyempit maka akanmelihat benda atau


jari tersebut bila benda telah berada lebih ketengah dalam lapang
pandang pemeriksa. Dengan cara ini dapat dibandingkan lapang
pandang pemeriksa dengan lapang pandang pasien pada semua
arah. Selain itu apabila pasien memiliki skotoma fokal, maka
biasanya pasien akan mengatakan jari sempat terlihat, namun
menghilang untuk beberapa saat, sebelum akhirnya terlihat lagi.
Hal ini tergantung dimana posisi titik butanya.

Gambar 9. Tes Konfrontasi

Pemeriksaan Gerakan Bola Mata

Gambar 10. Tes Pergerakan Bola Mata


Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk memeriksa
kekuatan otot-otot penggerak bola mata. Adanya kelemahan,
paresis, atau kelumpuhan yang dapat menyebabkan hambatan
pada otot mata dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.
Langkah-langkah:
1. Cuci tangan.
2. Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan.
3. Berikan instruksi kepada pasien dengan jelas dan sopan.
4. Mintalah pasien duduk dihadapan petugas pada jarak
jangkauan tangan (30-50 cm).
5. Mintalah pasien untuk memandang lurus kedepan.
6. Arahkan senter pada bola mata dan amati pantulan sinar pada
kornea, kemudian gerakkan senter dengan membentuk huruf H
dan berhenti sejenak pada waktu senter berada di lateral atas
dan lateral bawah (mengikuti six cardinal of gaze).
7. Amati posisi dan gerakan kedua bola mata selama senter
digerakkan.
8. Letakkan senter pada jarak 30 cm di depan mata pasien
kemudian diminta untuk mengikuti / melihat ujung pensil yang
digerakkan mendekat ke arah hidung pasien.
9. Informasikan hasil pemeriksaan pada pasien.
10. Catat.
11. Cuci tangan.
Kadang - kadang bila menatap ke sisi ekstrim, mata akan
bergerak ritmik yang disebut dengan nistagmus titik akhir. Terjadi
gerak cepat ke arah tatapan, yang diikuti gerak balik yang lambat.
Uji ini membedakan nistagmus titik akhir dari nistagmus patologik,
yang menghasilkan gerakan cepat selalu kearah yang sama, tidak
tergantung arah pandangan.
Gambar 11. Hasil Interpretasi Tes Pergerakan Bola Mata

Tes Buta Warna


Buta warna adalah suatu kelaian yang disebabkan
ketidakmampuan sel sel kerucut mata untuk menangkap suatu
spektrum warna tertentu akibat faktor genetik. Tes yang paling
umum digunakan untuk tes buta warna adalah Ishihara. Tes
dengan menggunakan Ishihara adalah tes yang cepat dan akurat
untuk mendeteksi buta warna. Caranya adalah:
1. Lakukan pemeriksaan pada ruangan dengan pencahayaan
yang cukup.
2. Letakkan Plate (Ishihara) dengan jarak 75 cm dari pasien yang
ingin diperiksa.
3. Perintahkan pasien untuk membaca angka yang ada dalam
setiap plate.

1.1.2 Pemeriksaan Fisik Telinga


Pemeriksaan Umum
Alat yang diperlukan untuk pemeriksaan telinga adalah
lampu kepala, corong telinga, otoskop, pelilit kapas, pengait
serumen, pinset telinga dan garputala.
Pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit ke
depan dan kepala lebih tinggi sedikit dad kepala pemeriksa untuk
memudah kan melihat liang telinga dan membran timpani.
Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah
belakang daun telinga (retro-aurikuler) apakah terdapat tanda
peradangan atau sikatriks bekas operasi. Dengan menarik daun
telinga ke atas dan ke belakang, liang telinga menjadi lebih lurus
dan akan mempermudah untuk melihat keadaan liang telinga dan
membran timpani. Pakailah otoskop untuk melihat lebih jelas
bagian-bagian membran timpani. Otoskop dipegang dengan tangan
kanan untuk memeriksa telinga kanan pasien dan dengan tangan
kiri bila memeriksa telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil
maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop ditekankan
pada pipi pasien.
Bila terdapat serumen dalam liang telinga yang menyumbat
maka serumen ini harus dikeluarkan. Jika konsistensinya cair dapat
dengan kapas yang dililitkan, bila konsistensinya lunak atau liat
dapat dikeluarkan dengan pengait dan bila berbentuk lempengan
dapat dipegang dan dikeluarkan dengan pinset. Jika serumen ini
sangat keras dan menyumbat seluruh liang telinga maka lebih baik
dilunakkan dulu dengan minyak atau karbogliserin. Bila sudah
lunak atau cair dapat dilakukan irigasi dengan air supaya liang
telinga bersih.
Audiologi
Audiologi Dasar
Audiologi dasar ialah pengetahuan mengenai nada murni,
bising, gangguan pendengaran, serta cara pemeriksaannya.
Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan:
a. Tes penala
b. Tes berbisik
c. Audiometri nada murni.
Audiologi Khusus
Audiologi khusus diperlukan untuk membedakan tuli
sensorineural koklea dengan retrokoklea, audiometri obyektif, tes
untuk tuli anorganik, audiologi anak, audiologi industri.

Cara Pemeriksaan Pendengaran


Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan
hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan memakai garpu
tala atau audiometer nada murni.
Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli
konduktif, berarti ada kelainan di telinga luar atau telinga tengah,
seperti atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen,
sumbatan tuba Eustachius serta radang telinga tengah.
Kelainan di telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural
koklea atau retrokoklea.
Secara fisiologik telinga dapat mendengar nada antara 20
sampai 18.000 Hz. Untuk pendengaran sehari-hari yang paling
efektif antara 500-2000 Hz. Oleh karena itu untuk memeriksa
pendengaran dipakai garputala 512, 1024 dan 2048 Hz.
Penggunaan ke tiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan
secara kualitatif. Bila salah satu frekuensi ini terganggu pen- derita
akan sadar adanya gangguan pendegaran. Bila tidak mungkin
menggunakan ke-tiga garpu tala itu, maka diambil 512Hz karena
penggunaan garpu tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara bising di
sekitarnya.
Pemeriksaan pendengaran dilakukan secara kualitatif
dengan mempergunakan garpu tala dan kuantitatif dengan
mempergunakan audiometer.
Gambar 12. Pemeriksaan di Ruang THT

Gambar 13. Pemeriksaan Membran Timpani

Gambar 14. Pemeriksaan Menggunakan Spekulum Telinga

Gambar 15. Pemeriksaan Menggunakan Otoskop


Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Tes pendengaran
dilakukan dengan memakai garputala dan dari hasil pemeriksaan
dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif atau tuli
perseptif (sensorineural).
Penala terdiri dari 1 set (5 buah) dengan frekuensi 128
Hz,256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz dan 2048 Hz. Pada umumnya dipakai
3 macam penala; 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz. Jika akan memakai
hanya 1 penala, digunakan 512 Hz.
Untuk mempermudah interpretasi secara klinik, dipakai tes
Rinne, tes Weber dan tes Schwabach secara bersamaan.
Terdapat berbagai macam tes penala, seperti tes Rinne, tes
Weber, tes Schwabach, tes Bing dan tes Stenger. Tes penala yang
dilakukan sehari-hari adalah uji pendengaran Rinne dan Weber.
1. Tes Rinne
Tes rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui
udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa.
Cara pemeriksaan :
Tes rinne dilakukan dengan menggetarkan garputala 512 Hz
dengan jari atau mengetukkannya pada siku atau lutut
pemeriksa. Kaki garputala tersebut diletakkan pada prosesus
mastoid telinga yang diperiksa, setelah tidak terdengar penala
kemudian dipindahkan di depan liang telinga kira-kira 2 ½ cm.
Pasien menentukan ditempat mana yang terdengar lebih keras.
Interpretsi :
Bila masih terdengar disebut Rinne positif (+), artinya yang
diperiksa normal atau menderita tuli sensorineural.
Bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-), maka telinga yang
diperiksa menderita tuli konduktif dan biasanya lebih dari 20 dB.
Gambar 16. Menggetarkan Penala

Gambar 17. Tes Rinne : Hantaran Tulang

Gambar 18. Tes Rinne : Hantaran Udara

2. Tes Weber
Tes weber ialah tes pendengaran untuk membandingkan
hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan.
Cara pemeriksaan :
Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis
tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah
gigi seri atau di dagu). Ditanyakan pada telinga mana yang
terdengar lebih keras.
Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu
telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak
dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras
disebut Weber tidak ada lateralisasi.
Interpretasi :
Pada keadaan normal pasien mendengar suara di tengah
atau tidak dapat membedakan telinga mana yang mendengar lebih
keras.
Bila pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sehat
(lateralisasi ke telinga yang sehat) berarti telinga yang sakit
menderita tuli sensorineural. Bila pasien mendengar lebih keras
pada telinga yang sakit (lateralisasi ke telinga yang sakit) berarti
telinga yang sakit menderita tuli konduktif.

Gambar 19. Tes Weber

3. Tes Swabach
Tes schwabach ialah membandingkan hantaran tulang
orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya
normal.
Cara pemeriksaan :
Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus
mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai
penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga
pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih
dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa
tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara
sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus mastoideus
pemeriksa lebih dulu.
Interpretasi :
Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach
memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama
mendengarnya disebut dengan Schwabach sama dengan
pemeriksa.

4. Tes Bing (Tes Oklusi)


Cara pemeriksaan :
Tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai menutup
liang telinga, sehingga terdapat tuli konduktif kira-kira 30 dB.
Penala digetarkan dan diletakkan pada pertengahan kepala
(seperti pada tes weber).
Interpretasi :
Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup, berarti
telinga tersebut normal. Bila bunyi pada telinga yang ditutup
tidak bertambah keras, berarti telinga tersebut menderita tuli
konduktif.

5. Tes Stenger
Tes stenger digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik
(simulasi atau pura-pura tuli).
Cara pemeriksaan : menggunakan prinsip masking.
Misalnya pada seseorang yang berpura-pura tuli pada
telinga kiri. Dua buah penala yang identik digetarkan dan masing-
masing diletakkan di depan telinga kiri dan kanan, dengan cara
tidak kelihatan oleh yang diperiksa. Penala pertama digetarkan dan
diletakkan di depan telinga kanan (yang normal) sehingga jelas
terdengar. Kemudian penala yang kedua digetarkan lebih keras
dan diletakkan di depan telinga kiri (yang pura-pura tuli).
Interpretasi :
Apabila kedua telinga normal karena efek masking, hanya
telinga kiri yang mendengar bunyi; jadi telinga kanan tidak akan
mendengar bunyi. Tetapi bila telinga kiri tuli, telinga kanan tetap
mendengar bunyi.

6. Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan
derajat ketulian secara kasar. Hal yang pedu diperhatikan ialah
ruangan cukup tenang, dengan panjang minimal 6 meter. Pada nilai
normal tes berbisik : 5/6 - 6/6.

1.1.3 Pemeriksaan Mulut dan Rahang


Inspeksi
a. Warna :
1. Gigi, untuk mengetahui gigi :
2. Vital/non vital; dan
3. Hypo/hyperplasia email.
b. Gingiva, untuk mengetahui keracunan :
1. Logam; dan
2. Obat-obatan.
c. Sel lendir/kelainan;
d. Bentuk gigi congenital/herediter missal Hutchinson disease;
e. Jumlah gigi permanen yang ada;
f. Jumlah titik kontak pada occlusie central;
g. Ada dan macam prothesa;
h. Malposisi berat/Eruptie diffisilis;
i. Adanya diastema gigi depan;
j. Kelainan lidah/frenulum;
k. Fistula; dan
l. Tumor.

Perkusi
Keadaan jaringan periodontium gigi.

Palpasi
a. Jaringan lemak mulut :
1. Keras;
2. Lunak; dan
3. Ping pong ball phenomena (pada osteomyelitis).
b. Rahang :
1. Kelainan temporo mandibular joint;
2. Deformitas; dan
3. Mekanisme buka/tutup mulut.

Sondage
a. Caries gigi :
1. Superficialis;
2. Media;
3. Profunda; dan
4. Gangren pulpae.
b. Perforasi dan fistula.
1.1.4 Pemeriksaan Paru
Pemeriksaan Paru Umum
Inspeksi Keadaan Umum Berkaitan dengan Pernapasan
1. Inspeksi lesi pada dinding toraks, kelainan bentuk toraks, sifat, dan
pola napas.
2. Menilai ada tidaknya sesak.
3. Menilai ada tidaknya napas cuping hidung, penggunaan otot bantu
napas, dan retraksi otot interkostal.

Inspeksi Warna Kulit Berkaitan dengan Pernapasan


4. Menilai sianosis perifer (warna kulit, bibir, kuku kebiruan), warna
kulit pucat atau tidak.

Inspeksi Leher Berkaitan dengan Pernapasan


5. Menyebutkan ada tidaknya penggunaan otot bantu napas
m.sternokleidomastoideus , dan suprasternal.
6. Menyebutkan ada tidaknya bendungan vena leher
7. Menyebutkan ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening.

Palpasi leher
8. Melakukan perabaan kelenjar getah bening: palpasi dengan ujung
jari pada daerah sepanjang m.sternokleidomatoideus,
supraklavikula, dan infraklavikula.
9. Melakukan pemeriksaan posisi trakea dengan meletakkan ujung
jari telunjuk pada daerah antara trakea-sternokleidomastoideus,
kiri, dan kanan.

Inspeksi Ektremitas Berkaitan dengan Pernapasan


10. Menilai jari tabuh (clubbing finger), karat nikotin, dan otot lengan
atas mengecil.

Pemeriksaan Toraks Anterior

Inspeksi
1. Inspeksi bentuk toraks dengan menilai diameter anteroposterior
dibandingkan diameter sagital, serta besar sudut angulus costae.
2. Mengidentifikasi ada tidaknya penyempitan dan pelebaran sela iga
Inspeksi kelainan lain (ada tidaknya bendungan vena, benjolan,
ginekomastia, atay spider nevi).
3. Menilai kesimetrisan hemitoraks kiri dan kanan.
4. Menilai frekuensi napas dalam 1 menit
5. Menilai kedalaman pernapasan.
Palpasi
6. Melakukan perabaan di seluruh toraks untuk menilai sela iga, ada
tidaknya emfisema subkutis, benjolan/tumor atau nyeri tekan
7. Melakukan pemeriksaan ekspansi toraks dengan meletakkan
kedua telapak tangan pada toraks kiri dan kanan dengan kedua ibu
jari saling bertemu dan meminta pasien inspirasi dalam.
8. Melakukan pemeriksaan fremitus raba dengan meletakkan
permukaan palmar pangkal jari-jari atau sisi ulnar kedua tangan
pada toraks anterior kiri dan kanan.
9. Meminta pasien menyebutkan angka 77 atau 99 berulang-ulang,
dan merasakan dengan teliti getaran suara napas yang
ditimbulkannya
10. Melakukan konfirmasi antara tangan kanan dan kiri pada setiap
lokasi.
11. Melakukan pemeriksaan fremitus secara sistematis dari atas ke
bawah.
Perkusi
12. Melakukan perkusi seluruh toraks anterior dari apeks paru (daerah
supraklavikula) sampai bawah untuk menilai secara umum ada
tidaknya kelainan.
13. Melakukan perkusi secara umum pada seluruh lapang paru anterior
dimulai dari apeks (daerah supraklavikula) secara berurutan dari
toraks kiri ke kanan dan ke bawah (zig-zag) sampai ke batas toraks
bawah dengan perut, serta dibandingkan setiap langkah perkusi
dari tiap-tiap sisi paru.
14. Menentukan bunyi ketukan: sonor, hipersonor, redup, pekak, atau
timpani.
15. Melakukan perkusi di daerah aksila, dengan terlebih dahulu
meminta pasien mengangkat lengan ke atas kepala.
16. Perkusi batas paru-hati: perkusi pada linea midklavikula kanan
secara berurutan dari atas ke bawah hingga adanya perubahan
dari sonor menjadi redup.
17. Memeriksa peranjakan hati dengan meminta pasien untuk menarik
napas dalam lalu menahan napas sebentar. Dari batas paru-hati
yang telah ditemukan saat menahan napas tersebut perkusi
kembali diteruskan hingga mendapat perubahan suara sonor
menjadi redup, untuk kemudian ditentukan berapa jari peranjakan
hati yang didapatkan. Selanjutnya pasien diminta bernapas seperti
biasa.
18. Perkusi batas paru–lambung: perkusi pada linea aksilaris anterior
kiri secara berurutan dari atas ke bawah ke arah kaudal hingga ada
perubahan dari sonor menjadi timpani (lambung kosong) atau
redup (lambung terisi).
19. Menentukan batas paru-lambung.
Auskultasi
20. Melakukan auskultasi secara sistematis dimulai dari apeks paru ke
bawah, kiri, dan kanan, dibandingkan setiap langkah, serta
meminta pasien untuk menarik napas dalam.
21. Menentukan suara napas pokok: vesikuler, bronkovesikular,
bronkial, trakeal.
22. Menentukan ada tidaknya suara napas tambahan: ronki basah,
ronki kering, bunyi gesekan pleura, hippocrates succusion,
pneumothorax click, amforik, wheezing
23. Melakukan pemeriksaan auditori fremitus yaitu menentukan bunyi
hantaran suara bila didapatkan suara napas bronkovesikuler atau
bronkial. Meletakkan stetoskop pada dinding toraks secara simetris
dan pasien diminta mengucapkan angka 77 atau 99.
24. Melakukan pemeriksaan egofoni dengan cara meminta pasien
mengucapkan “ii”.
25. Melakukan pemeriksaan bronkofoni dengan cara meminta pasien
mengucapkan kata “sembilan puluh sembilan”.
26. Melakukan pemeriksaan whispered pectoriloquy dengan cara
meminta pasien berbisik dengan mengucapkan kata “sembilan
puluh sembilan”.

Pemeriksaan Toraks Posterior

Inspeksi
1. Menyebutkan ada tidaknya benjolan (tumor), kelainan bentuk
tulang belakang atau benjolan pada tulang belakang.
Palpasi
2. Melakukan perabaan di seluruh toraks posterior untuk menilai ada
tidaknya emfisema subkutis, benjolan/tumor atau nyeri tekan.
3. Melakukan pemeriksaan ekspansi pada toraks posterior dengan
meletakkan kedua telapak tangan pada toraks belakang kiri dan
kanan dengan kedua ibu jari saling bertemu dan meminta pasien
inspirasi dalam mulai dari bawah scapula
4. Melakukan pemeriksaan fremitus raba dengan meletakkan
permukaan palmar pangkal jari-jari atau sisi ulnar kedua tangan
pada toraks posterior kiri dan kanan.
5. Meminta pasien menyebutkan angka 77 atau 99 berulang-ulang,
dan merasakan dengan teliti getaran suara napas yang
ditimbulkannya.
6. Melakukan langkah no 47 di daerah toraks posterior mulai dari
daerah interskapula ke bawah.
7. Melakukan konfirmasi antara tangan kanan dan kiri pada setiap
lokasi.
Perkusi
8. Melakukan perkusi seluruh toraks posterior dari apeks paru (daerah
atas skapula) sampai kebawah (interskapula terus ke bawah
skapula) untuk menilai ada tidaknya kelainan.
9. Membandingkan paru kiri dan kanan pada setiap lokasi
pemeriksaan dengan ladder like pattern.

Gambar 20. Pemeriksaan Toraks Paru Posterior

10. Perkusi batas toraks posterior: perkusi pada garis skapula kanan
dan kiri untuk mencari batas toraks posterior kanan dan kiri,
dengan berpedoman kepada korpus vertebra mulai dari vertebra
prominens (C7).
11. Perkusi batas toraks posterior kanan: perkusi pada linea skapula
kanan secara beraturan ke arah kaudal dengan meletakkan jari
plesimeter pada arah tegak lurus terhadap gerak perkusi dengan
gentle, menentukan adanya perubahan dari sonor menjadi redup.
12. Perkusi batas toraks posterior kiri: perkusi pada linea skapula kiri
ke arah bawah dengan menentukan adanya perubahan dari sonor
menjadi redup (biasanya setinggi torakalis 10).
Auskultasi
13. Melakukan auskultasi paru secara sistematis.
14. Melakukan dari apeks paru (daerah atas skapula), daerah
interskapula terus ke bawah.
15. Membandingkan paru kiri dan kanan pada setiap lokasi
pemeriksaan dengan ladder like pattern (bila perlu pasien diminta
bernapas lebih dalam).
16. Merapikan alat.
17. Mencuci tangan.

1.1.5 Abdomen

Inspeksi Abdomen

Melihat bentuk abdomen (apakah simetri, membuncit atau


tidak), dinding perut (kulit, vena, umbilicus, inguinal), pergerakan
peristaltik abdomen dan pulsasi.

Auskultasi Abdomen
Meletakkan steteskop di sekitar umbilikus pada satu tempat di
dinding abdomen untuk menghitung frekuensi bising usus (2 menit)
dan mendengarkan bunyi usus atau bunyi lain (bruit arterial,
venous hump).

Perkusi Abdomen
a. Melakukan perkusi pada seluruh kuadran abdomen.
b. Melaporkan bunyi timpani atau pekak.
c. Perkusi secara khusus pada bagian batas inferior costa kanan,
untuk menilai pekak hati.
d. Perkusi secara khusus pada bagian batas inferior costa kiri,
untuk menilai timpani area gaster.
e. Perkusi secara khusus di daerah linea aksilaris anterior kiri
pada sela iga VI untuk menilai ada tidaknya pembesaran limpa
(menilai perubahan suara timpani menjadi redup).

Untuk menentukan liver span:


a. Perkusi secara khusus di garis midklavikula kanan dari kranial
ke arah kaudal untuk menentukan batas paru-hepar dengan
menilai perubahan suara dari sonor ke redup.
b. Kemudian dilanjutkan dengan menilai batas bawah hepar
dengan cara melakukan perkusi di garis midklavikula kanan
mulai dari setinggi umbilicus ke kranial sampai di dapat
perubahan suara dari timpani ke redup.
c. Mengukur jarak antara batas atas dan batas bawah hepar.

Palpasi Abdomen
a. Meminta pasien untuk menekuk lutut.
b. Palpasi superfisial (ringan) dilakukan dengan menempelkan sisi
palmar tangan secara horizontal pada seluruh regio abdomen
secara sistematis.
c. Menilai nyeri tekan abdomen, defance muscular dan ada
tidaknya massa superfisial. Lalu diulangi dengan melakukan
palpasi dalam, bila ditemukan massa deskripsikan lokasi,
ukuran, bentuk, nyeri tekan, konsistensi, pulsasi dan bergerak
atau tidak pada saat bernapas.
d. Memperhatikan wajah pasien saat palpasi.
Palpasi Hepar
a. Meminta pasien melipat kedua tungkai.
b. Melakukan penekanan pada dinding perut dengan
menggunakan sisi palmar radial jari tangan kanan.
c. Meminta pasien menarik nafas dalam.
d. Melakukan palpasi lobus kanan dimulai dengan meletakkan
tangan kanan pada regio illiaka kanan dengan sisi palmar radial
jari sejajar dengan arcus costae kanan.
e. Palpasi dilakukan dengan menekan dinding abdomen ke bawah
dengan arah dorsal pada saat pasien ekspirasi maksimal,
kemudian pada awal inspirasi jari bergerak ke kranial dalam
arah parabolik.
f. Palpasi dilakukan ke arah arcus costae kanan.
g. Pemeriksaan lobus kiri dengan palpasi pada daerah garis
tengah abdomen ke arah epigastrium dimulai dari umbilikus
dengan cara seperti diatas.
h. Bila meraba tepi hati, deskripsikan ukuran, permukaan, tepi,
konsistensi, nyeri tekan, dan apakah terdapat pulsasi.

Pemeriksaan Murphy Sign


a. Palpasi batas hati pada batas lateral m.rectus
b. Meminta pasien menarik napas dalam
c. Menilai adanya nyeri

Gambar 21. Pemeriksaan Murphy Sign


1.1.4 Abdomen

Hepar

Pemeriksaan Laboratortium :

a. Fungsi hati : peningkatan ringan [<4 kali] AST (aspartate


aminotransferase), ALT.
b. (alanine aminotransferase). AST>ALT pada kasus hepatitis
karena alkohol.
c. Alkali fosfatase, gamma GT (glutamil transferase] : dapat
meningkat
d. Bilirubin serum, albumin serum, dan prothrombin time: dapat
normal, kecuali pada kasus NAFLD terkait sirosis hepatis.
e. Gula darah. profil lipid, seromarker hepatitis.
f. ANA, anti ds DNA : titer rendah [< 1:320]
g. USG: gambaran bright liver
h. CT Scan
i. MR1: deteksi infiltrasi lemak
j. Biopsi hati : baku emas diagnosis. Ditemukan 5-10 % sel Iemak
dari keseluruhan hepatosit, peradangan lobulus, kerusakan
hepatoselular, hialin Mallory dengan atau tanpa fibrosis.
Kegunaan biopsy hati : membedakan steatosis non alkoholik
dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi,
menyingkirkan etiologi penyakit hati lain, memperkirakan
prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke waktu.
Grading dan staging NAFL.
Pemeriksaan Populasi Spesimen Nilai Rujukan

Plasma atau serum 6 - 20 mg/dL


Ureum -
Urin 24 jam 12 - 20 mg/dL

Laki-laki Plasma atau serum 0,6 – 1,2 mg/dL


Kreatinin
Perempuan Plasma atau serum 0,5 – 1,1 mg/dL

97 - 137 mL/menit
Laki-laki Urin 24 jam
Kreatinin per 1,73 m2

Klirens 88 - 128 mL/menit


Perempuan Urin 24 jam
per 1,73 m2
Laki-laki
Plasma atau serum 3,5-7,2 mg/dL
dewasa

Perempuan
Asam Urat Plasma atau serum 2,6 – 6,0 mg/dL
dewasa

Anak Plasma atau serum 2,0 – 5,5 mg/dL

Dewasa Urin 24 jam 250 – 750 mg/dL

1.2 Pemeriksaan Penunjang Organ Terkait


1.2.1 Telinga
Audiometri Nada Murni
Pada pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-
hal seperti ini, nada murni, bising NB (narrow band) dan WN (white
noise), frekuensi, intensitas bunyi, ambang dengar, nilai nol
audiometrik, standar ISO dan ASA, notasi pada audiogram, jenis
dan derajat ketulian serta gap dan masking.
Untuk membuat audiogram diperlukan audiometer. Bagian
dari audiometer tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur
frekuensi, headphone untuk memeriksa AC (hantaran udara), bone
conductor untuk memeriksa BC (hantaran tulang).
Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat
dengan garis lurus penuh (lntensitas yang diperiksa antara 125 -
8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis terputus-putus
(lntensitas yang diperiksa : 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai
warna biru, sedangkan untuk telinga kanan, warna merah.
Jenis Dan Derajat Ketulian Serta Gap
Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N)
atau tuli. Jenis ketulian, tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli
campur. Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks
Fletcher yaitu :
Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz : 3
Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan
penting untuk pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan,
sehingga derajat ketulian dihitung dengan menambahkan ambang
dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang dengar di atas, kemudian
dibagi 4.
Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz +
AD 4000 Hz : 4
Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau
hantaran tulang (BC).
Pada interpretasi audiogram harus ditulis :
(a) telinga yang mana
(b) apa jenis ketuliannya
(c) bagaimana derajat ketuliannya, misalnya : telinga kiri tuli
campur sedang.
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya
ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja.
Derajat ketulian lS0 :
0 – 25 dB : normal
> 25 - 40 dB : tuli ringan
> 40 - 55 dB : tuli sedang
> 55 - 70 dB : tuli sedang berat
> 70 - 90 dB : tuli berat
> 90 dB : tuli sangat berat
Gambar 22. Pendengaran Telinga Kanan Normal

Gambar 23. Tuli Konduktif Telinga Kanan


Gambar 24. Tuli Sensorineural Telinga Kiri

Gambar 25. Tuli Campuran Telinga Kiri

1.2.2 Paru
Pemeriksaan Radiologi
1. Foto x-ray dengan ukuran 30 x 40 cm, minimal dengan
ukuran mass chest survey foto yaitu 70 x 70 cm;
2. Kualitas foto harus :
a) Simetris;
b) Batas foto adalah costa XII belakang pinggir bawah;
c) Kedua sinus tampak penuh;
d) Exposure harus memadai sehingga terlihat intervertebral
spaces thoracal I, II dan III; dan
e) Dibuat dalam keadaan inspirasi dalam dan yang
diperiksa menahan nafas.

1.2.3 Abdomen
Hepar
Pemeriksaan Laboratortium :
k. Fungsi hati : peningkatan ringan [<4 kali] AST (aspartate
aminotransferase), ALT.
l. (alanine aminotransferase). AST>ALT pada kasus hepatitis
karena alkohol.
m. Alkali fosfatase, gamma GT (glutamil transferase] : dapat
meningkat
n. Bilirubin serum, albumin serum, dan prothrombin time: dapat
normal, kecuali pada kasus NAFLD terkait sirosis hepatis.
o. Gula darah. profil lipid, seromarker hepatitis.
p. ANA, anti ds DNA : titer rendah [< 1:320]
q. USG: gambaran bright liver
r. CT Scan
s. MR1: deteksi infiltrasi lemak
t. Biopsi hati : baku emas diagnosis. Ditemukan 5-10 % sel Iemak
dari keseluruhan hepatosit, peradangan lobulus, kerusakan
hepatoselular, hialin Mallory dengan atau tanpa fibrosis.
Kegunaan biopsy hati : membedakan steatosis non alkoholik
dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi,
menyingkirkan etiologi penyakit hati lain, memperkirakan
prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke waktu.
Grading dan staging NAFL.
Pemeriksaan Populasi Spesimen Nilai Rujukan
Plasma atau serum 6 - 20 mg/dL
Ureum -
Urin 24 jam 12 - 20 mg/dL
Laki-laki Plasma atau serum 0,6 – 1,2 mg/dL
Kreatinin
Perempuan Plasma atau serum 0,5 – 1,1 mg/dL
97 - 137 mL/menit
Laki-laki Urin 24 jam
Kreatinin per 1,73 m2
Klirens 88 - 128 mL/menit
Perempuan Urin 24 jam
per 1,73 m2
Laki-laki
Plasma atau serum 3,5-7,2 mg/dL
dewasa
Perempuan
Asam Urat Plasma atau serum 2,6 – 6,0 mg/dL
dewasa
Anak Plasma atau serum 2,0 – 5,5 mg/dL
Dewasa Urin 24 jam 250 – 750 mg/dL
1.3 Standar Kelaikan Kerja Pelaut
1.3.1 Gangguan Penglihatan
Standar Minimum Penglihatan sesuai dengan Standar
STCW Bagian A-1/9, antara lain standar penglihatan
internasional bagi Pelaut sesuai dengan tabel dibawah ini. Standar
tersebut dapat digunakan sebagai standar minimum penglihatan
bagi Pelaut dalam pengoperasian Kapal.
Dokter yang melakukan pemeriksaan dapat menentukan standar
yang berbeda dengan standar pada tabel berdasarkan evaluasi
kesehatan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang
melaksanakan pekerjaan di Kapal. Namun bila tajam penglihatan
dengan bantuan pada salah satu mata lebih rendah dari standar,
maka tajam penglihatan yang lain harus sedikitnya 0,2 lebih tinggi
dari pada standar yang tercantum pada tabel. Tajam penglihatan
tanpa bantuan pada mata yang lebih baik harus sedikitnya 0,1.
Bagi yang berkaca mata atau menggunakan lensa kontak harus
mempunyai cadangan kaca mata di Kapal. Bila dibutuhkan
penggunaan alat bantu penglihatan agar memenuhi standar
penglihatan, harus dicantumkan pada sertifikat dan ditandatangani
(disahkan). Mata Pelaut harus bebas dari penyakit. Setiap kelainan
patologis yang permanen atau progresif tanpa menunjukkan tanda-
tanda kesembuhan akan dijadikan alasan untuk menyatakan tidak
sehat.
Standar Minimum Penglihatan sesuai dengan Standar STCW
Bagian A-1/9.
Notes :
1. Value given in Snellen decimal notation.
2. A value of at least in one eye is recommended to reduce the
risk of undetected underlying eye diseace.
3. As defined in the International Recommendations for Colour
Vision Requirements for Transport by the Commision
Internationale de I’Eclairage (CIE-143-2001 including any
subsequent versions).
4. Subject to assessment by a clinical vision specialist where
indicated by initial examination findings.
5. Engine departement personnel shall have a combined eyesight
vision of at least 0.4.
6. CIE colour vision standard 1 or 2.
7. CIE colour vision standard 1, 2 or 3.

1.3.2 Pendengaran dan Keseimbangan Pendengaran


Pendengaran dan Keseimbangan Pendengaran :
1) Suara berbisik tidak terdengar dalam jarak 2 m.
2) Setiap perforasi gendang telinga yang tidak dapat ditutup.
3) Setiap peradangan kronis telinga tengah yang tidak dapat
diobati.
Ganguan penderangaran dan keseimbangan pendengaran
pada angka (1) sampai dengan angka (5) semua tergolong tidak
sehat permanen.
Ketajaman pendengaran :
1) Hasil pemeriksaan tajam pendengaran dengan alat audiometri
adalah normal.
2) Pemeriksaan tajam pendengaran dengan cara Rinne adalah
positif.
3) Pemeriksaan tajam pendengaran dengan cara Weber adalah
Lateralisasi negatif.
4) Pemeriksaan tajam pendengaran dengan cara Schwabach
adalah normal atau memenjang.
Standar minimum pendengaran untuk pekerja dek dan
mekanik di Kapal seperti terlampir dibawah ini:
Frequency Hz
500 1000 2000 3000
Kehilangan dB di
telinga yang lebih baik 40 40 40 40
tanpa alat bantu
Jika gangguan pendengaran lebih besar dari 40dB pada
frekuensi yang ditentukan dalam Tabel, kemampuan untuk
menggunakan radio perlu ditunjukkan. Dalam hal ini pelamar harus
lulus tes percakapan.

1.3.3 Kelainan Gigi dan Mulut


1) Infeksi mulut atau gigi
2) Kerusakan gigi
Semua tergolong tidak sehat sementara sampai mendapat
pengobatan.

1.3.4 Kelainan Darah


1) Defisiensi imuno humoral (mis. Gamma globulinnaemia)
2) Hemofilia
3) Anemia
Angka 1 sampai dengan angka 2 tergolong tidak sehat
permanen.

1.3.5 Kelainan Sistem Saluran Kemih dan Kelamin


1) Semua kelainan ginjal.
2) Kelainan system saluran kemih dan kelamin yang tidak dapat
diperbaiki/diobati.
3) Kelinan ginekologi yang dapat mengganggu pekerjaan, hidrokel
besar, berulang.
Semua tergolong tidak sehat permanen.

1.3.6 Kelainan Sistem Pencernaan


1) Ulkus peptikum sejak usia muda.
2) Penyakit usus kronis.
3) Gejala kelainan hati, batu atau radang kandung empedu.
4) Pankreatitis kronis.
Semua tergolong tidak sehat permanen.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Panduan Belajar Koas. 2017. Ilmu Kesehatan Mata. Program


Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Denpasar.
2. AUIM. 2012. Practice Guideline for the Performance Of an
Ultrasound Examination of the Abdomen and/or Retroperitoneum.
Volume 31. Issue 8.
3. Efiaty Arsyad Soepardi, dkk. 2017. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta :
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 2-21.
4. Bates, B; 1995. A Guide to Physical Examination and History Taking.
Sixth Edition, Lippincott.
5. Menteri Kesehatan RI. 2018. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pemeriksaan Kesehatan
Pelaut. Hal 25-26, 28-32.
6. Depkes RI, 2017. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hati. Jakarta :
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
7. World Health Organization, 2019. The Global Prevalence of Hepatitis
A Virus Infection and Susceptibility : a Systematic Review
8. Anderson DA, Stephen A, 2020. Morphogenesis of hepatitis A virus:
Isolation and characterization of particles. Australia : Macfarlane
Burnet Center for Medical Research.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Salam Indonesia. 2017.
Panduan Teknik Pemeriksaan dan Prosedur Klinik Ilmu Penyakit
Dalam. Kolegium Ilmu Penyakit Dalam.
10. Panduan Praktik Klinis. 2015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu
Penyakit dalam Panduan Praktik Klinik. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai