Anda di halaman 1dari 31

Referat

JUDUL
TRAUMA SUHU

Disusun Oleh:
Aqilah Syahrina Syauki 04084822225142
Masagus M. Sulaiman Hakim 04084822225144
Nissa Daradinanti 04084822225146

Pembimbing:
AKBP. dr. Mansuri, Sp.FM

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Trauma Suhu

Disusun oleh:
Aqilah Syahrina Syauki 04084822225142
Masagus M. Sulaiman Hakim 04084822225144
Nissa Daradinanti 04084822225146

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 15 Agustus – 11
September 2022.

Palembang, Agustus 2022


Pembimbing,

AKBP. dr. Mansuri, Sp.FM

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke-hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul ”Trauma Suhu” sebagai salah satu
tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya periode 15 Agustus – 11 September 2022.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada AKBP dr.
Mansuri, Sp.FM selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga
penulisan telaah ilmiah ini menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan
referat ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk
penulisan yang lebih baik lagi di masa yang akan mendatang. Semoga penulisan referat ini
dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Palembang, Agustus 2022


Penulis

iii
DAFTAR ISI

JUDUL...........................................................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................ii
KATA PENGANTAR..................................................................................................iii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................vi
DAFTAR TABEL........................................................................................................vii
BAB I.............................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah..........................................................................................2

1.3. Tujuan.............................................................................................................3

1.4. Manfaat...........................................................................................................3

BAB II............................................................................................................................4
2.1. Trauma Suhu..................................................................................................4

2.2. Macam-Macam Trauma Suhu......................................................................4

2.3. Trauma Suhu Panas.......................................................................................4

2.3.1. Patofisiologi..................................................................................................4

2.3.2. Rules of Nines & Derajat Luka.....................................................................6

2.3.3. Pemeriksaan Luar.........................................................................................9

2.3.4. Pemeriksaan Dalam....................................................................................11

2.4. Trauma Suhu Dingin....................................................................................12

2.4.1. Patofisiologi................................................................................................12

2.4.2. Fase Klinis Hipotermia...............................................................................14

2.4.3. Tanda Pemeriksaan Luar............................................................................15

2.4.4. Tanda Pemeriksaan Dalam........................................................................19

BAB III.........................................................................................................................20

iv
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................22

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Perubahan sistemik setelah luka bakar.........................................................5

Gambar 2. Wallace rule of nines....................................................................................7

Gambar 3. Derajat luka bakar .......................................................................................8

Gambar 4. Fase klinis hipotermia berdasarkan suhu inti tubuh...................................15

Gambar 5. Frostnip......................................................................................................16

Gambar 6. Frostbite superfisial....................................................................................17

Gambar 7. Deep Frostbite yang telah di lakukan rewarming......................................17

Gambar 8. Frosteritema pada bagian panggul.............................................................18

Gambar 9. Frosteritema pada bagian lutut..................................................................18

Gambar 10. Bercak Wischnewsky pada mukosa lambung..........................................19

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Fase klinis hipotermia dan gejalanya.............................................................14

Tabel 2. Fase klinis hipotermia berdasarkan suhu inti tubuh.......................................14

vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Traumatologi adalah suatu bagian ilmu kedokteran, yang mempelajari
trauma khususnya tentang trauma fisik, juga mempelajari derajat keparahan
luka/cedera, hubungan luka/cedera dengan kekerasan penyebabnya serta
kaitannya dengan hukum. Dalam bahasa indonesia trauma diartikan sebagai luka
atau cedera pada tubuh atau fisik. Trauma suhu adalah bagian dari tarumatologi
yang mencakup tentang cedera fisik akibat paparan dari suhu yang terlalu tinggi
(trauma panas) atau suhu yang terlalu rendah (trauma dingin).

Trauma panas diartikan sebagai luka yang disebabkan oleh kontak dengan
suhu tinggi seperti api, air panas, listrik,  bahan kimia, dan radiasi. Luka ini dapat
menyebabkan kerusakkan jaringan. Cedera lain yang termasuk  luka bakar adalah
sambaran petir, sengatan listrik, sinar X dan bahan korosif. Kerusakan kulit yang
terjadi tergantung pada tinggi suhu dan lama kontak. Suhu minimal untuk dapat
menghasilkan luka bakar adalah sekitar 44 °C dengan kontak sekurang-
kurangnya 5-6 jam. Suhu 65°C dengan kontak selama 2 detik  sudah cukup
menghasilkan luka bakar. Kontak kulit dengan uap air panas selama 2 detik
mengakibatkan suhu kulit pada kedalaman 1mm dapat mencapai suhu 47°C, air
panas yang mempunyai suhu 60°C yang kontak dengan kulit dalam waktu 10
detik akan menyebabkan partial thickness skin loss dan diatas 70°C akan
menyebabkan full thickness skin loss. Temperatur air yang digunakan untuk
mandi adalah berkisar 36°C - 42°C. Pelebaran kapiler dibawah kulit mulai terjadi
pada saat suhu mencapai 35°C selama 120 detik, vesikel terjadi pada suhu 53°C -
57°C selama kontak 30-120 detik.

Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global, terhitung


sekitar 180.000 kematian setiap tahunnya. Sebagian besar terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah dan hampir dua pertiga terjadi di wilayah
Afrika dan Asia Tenggara WHO. Di banyak negara berpenghasilan tinggi, angka
kematian akibat luka bakar telah menurun, dan tingkat kematian anak akibat luka
bakar saat ini lebih dari 7 kali lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan
rendah dan menengah daripada di negara-negara berpenghasilan tinggi. Luka
bakar non-fatal adalah penyebab utama morbiditas, termasuk rawat inap

1
berkepanjangan, cacat dan cacat, seringkali dengan stigma dan penolakan yang
dihasilkan. Luka bakar adalah salah satu penyebab utama hilangnya tahun hidup
yang disesuaikan dengan kecacatan (disability-adjusted life-years/DALYs) di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Pada tahun 2004, hampir 11
juta orang di seluruh dunia mengalami luka bakar yang cukup parah sehingga
memerlukan perhatian medis.

Hipotermia didefinisikan sebagai suhu inti tubuh di bawah 35 ° C.


Trauma dingin adalah bahaya yang umum tetapi diremehkan bagi manusia;
hipotermia dapat berkembang tidak hanya pada suhu sekitar 0 ° C atau di bawah
tetapi juga pada suhu di atas 10 ° C. Dalam kedokteran forensik hipotermia
generalisata lebih berbahaya daripada perubahan akibat hipotermia lokal, seperti
frostbite yang memiliki relevansi klinis yang lebih besar.

Secara garis besar, trauma suhu termasuk dalam bagian traumatologi yang
dimana dokter harus memahami bagaimana proses untuk kasus trauma akibat
suhu. Trauma suhu bisa terjadi dimanapun dan kapanpun baik itu disengaja
maupun tidak disengaja karena kejadian akibat trauma suhu ini bisa saja terjadi di
lingkungan tempat tinggal dan bisa terjadi pada bayi hingga lansia. Sehingga
pemahaman daripada trauma suhu ini sangatlah penting guna penatalaksanaan
yang adekuat bisa diterapkan sesegera mungkin. Pada kesempatan kali in penulis
tertarik untuk membuat referat yang berjudul “Trauma Suhu” sebagai
pembelajaran bagaimana paparan suhu dari luar tubuh dapat berdampak bagi
tubuh manusia, juga mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya trauma dan
bagaimana pemeriksaan pada korban trauma suhu.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud trauma suhu?

2. Bagaimana gambaran luka akibat suhu panas dan dingin?

3. Bagaimana mekanisme terjadinya luka akibat paparan suhu?

4. Bagaimana pemeriksaan luar pada kasus korban trauma suhu?

5. Bagaimana pemeriksaan dalam pada kasus korban trauma suhu?

2
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian trauma suhu.

2. Untuk mengetahui luka akibat trauma suhu.

3. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya trauma akibat suhu.

4. Untuk mengetahui mengenai pemeriksaan yang diperlukan pada luka akibat


trauma suhu.

5. Untuk mengetahui ambang batas tubuh terhadap paparan suhu.

1.4. Manfaat
1. Menambah wawasan pengetahuan mengenai cara mengidentifikasi luka akibat
taruma suhu pada pemeriksaan forensik.

2. Menambah pengetahuan mengenai aspek medikolegal terhadap pemeriksaan


luar dan pemeriksaan dalam pada korban trauma akibat suhu.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.3.1. Trauma
Traumatologi adalah suatu bagian ilmu kedokteran, yang mempelajari trauma
khususnya tentang trauma fisik, juga mempelajari derajat keparahan luka/cedera,
hubungan luka/cedera dengan kekerasan penyebabnya serta kaitannya dengan
hukum. Dalam bahasa indonesia trauma diartikan sebagai luka atau cedera pada
tubuh atau fisik. Suhu adalah ukuran kuantitatif terhadap temperatur berupa panas
dan dingin, diukur dengan termometer.

Berdasarkan etiologinya, trauma dapat terbagi menjadi trauma mekanik


(trauma tumpul, trauma tajam, trauma tembak), trauma suhu (trauma suhu panas
dan trauma suhu dingin), dan trauma kimiawi (zat korosif dan zat iritasi).

2.3.2. Macam-Macam Trauma Suhu


Trauma suhu merukan cedera yang diakibatkan oleh paparan dari suhu
yang terlalu tinggi (trauma suhu panas) atau suhu yang terlalu rendah (trauma
suhu dingin).
Trauma suhu panas dapat didefinisikan sebagai luka akibat persentuhan
tubuh bagian luar maupun dalam dengan bahan yang panas. Bentuk utama dari
trauma panas ialah luka bakar. Luka bakar didefinisikan sebagai jaringan rusak
yang disebabkan oleh panas. Luka bakar biasanya terjadi karena sumber panas
yang kering ”dry heat” dan sumber panas yang basah “wet heat”2

Trauma suhu dingin (hipotermia) didefinisikan sebagai suhu inti tubuh di


bawah 35 ° C. Trauma dingin adalah bahaya yang umum tetapi diremehkan bagi
manusia; hipotermia dapat berkembang tidak hanya pada suhu sekitar 0 ° C atau
di bawah tetapi juga pada suhu di atas 10 ° C. Dalam kedokteran forensik
hipotermia generalisata lebih berbahaya daripada perubahan akibat hipotermia
lokal, seperti frostbite yang memiliki relevansi klinis yang lebih besar.9

2.3.3. Trauma Suhu Panas


2.3.1. Patofisiologi
Faktor patofisiologis yang berpengaruh pada gangguan sirkulasi dan
metabolik akibat luka bakar sudah dapat diidentifikasi. Peningkatan permeabilitas
kapiler berhubungan dengan aktivasi komplemen dan pelepasan histamin.
4
Histamin berinteraksi dengan xantin oksidase sehingga terjadi peningkatan
aktivitas katalitik. Oksigen yang bersifat toksik, sebagai hasil dari xantin
oksidase, termasuk H2O2 dan hydroxyl radical merusak endotel pembuluh
darah.6

Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan maka tubuh


mengadakan respon dengan menurunkan sirkulasi sistem gastrointestinal yang
mana dapat terjadi ileus paralitik, tachycardia dan tachypnea merupakan
kompensasi untuk menurunkan volume vaskuler dengan meningkatkan
kebutuhan oksigen terhadap jaringan yang luka. Kemudian menurunkan perfusi
pada ginjal, dan terjadi vasokontriksi yang akan berakibat pada depresi filtrasi
glomerulus dan oliguri.6,7

Kematian Pada Luka Bakar sendiri dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut:

1. Syok. Keadaan ini biasanya terjadi dalam 48 jam pertama, berupa syok
neurogenik akibat rasa nyeri atau ketakutan.
2. Asfiksia. Hal ini akibat asap atau gas sisa pembakaran. Pada kasus dimana
korban diambil dari rumah yang sudah terbakar, maka luka bakar yang terjadi
bisa merupakan postmortem.
3. Cedera dan kecelakaan. Hal ini bisa dialami sewaktu berusaha menghindari
kebakaran dan mengakibatkan cedera fatal.
4. Inflamasi beberapa bagian tubuh, misalnya meningitis, peritonitis, dll.
5. Lemas akibat kehilangan banyak cairan yang bisa menyebabkan dehidrasi.
Septikemia, gangren, dan tetanus.

Gambar 1. Perubahan sistemik setelah luka bakar 4

5
2.3.2. Rules of Nines & Derajat Luka
Secara klinis, luka bakar dinilai menurut persentasi dari luas pemukaan
tubuh yang terpajan dan kedalaman luka. Cara untuk menilai derajat luka bakar
menurut persentasi luas permukaan tubuh yang terpajan pada orang dewasa dan
anak-anak adalah dengan ‘rules of nines’. 4

Pada dewasa, Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9


yang terkenal dengan Rule of Nines atau rule of Wallace yaitu: 4

1. Kepala dan leher : 9%

2. Lengan masing-masing 9% : 18%

3. Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%

4. Tungkai masing-masing 18% : 36%

5. Genetalia / perineum : 1%

6
Pada anak-anak, pembagiannya adalah sebagai berikut:

1) Kepala dan leher : 18%


2) Lengan masing-masing 9% : 18%
3) Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%
4) Tungkai masing-masing 7% : 28%

Gambar 2. Wallace rule of nines4

Berat ringannya luka bakar dari American Burn Association dalam


Whaley and Wrong(1999) adalah sebagai berikut :4

1. Luka minor adalah luka bakar kurang dari 10% luas permukaan tubuh
2. Luka bakar moderate adalah luka bakar 10-20% luas pemukaan tubuh.
3. Luka bakar mayor adalah luka bakar lebih dari 20% luas permukaan tubuh.

7
Berdasarkan kedalaman luka, luka bakar terbagi atas 4 derajat yaitu :

Lapisan
Derajat Waktu
yang Gambaran Tekstur Sensasi Komplikasi Gambar
luka penyembuhan
terlibat

Derajat 1 Epidermis Eritema Kering Nyeri < 1 minggu Tidak ada

Kemerahan
Derajat 2 Dermis
dgn lepuhan Lembab Nyeri 2-3 minggu Selulitis
(superfisial) (papillary)
bening

Beberapa Skar,
Kemerahan
minggu atau kontraktur
Derajat 2 Dermis dan putih dgn
Lembab Nyeri dapat progresif (membutuhka
(profunda) (retikular) lepuhan yg
menjadi derajat n eksisi dan
berisi darah
tiga skin graft)

Meluas
Skar,
pada Warna Kering, Sedikit Membutuhkan
Derajat 3 kontraktur,
seluruh putih/coklat kasar nyeri eksisi
amputasi
dermis
Meluas di
lapisan
kulit,
Hitam,
jaringan Amputasi
hangus Sedikit Membutuhkan
Derajat 4 subkutan Kering dan
dengan nyeri eksisi
sampai rehabilitasi
eskar
jaringan
otot dan
tulang

Gambar 3. Derajat luka bakar 3

1. Luka bakar derajat pertama adalah setiap luka bakar yang dalam proses
penyembuhannya tidak meninggalkan jaringan parut. Luka bakar derajat
pertama tampak sebagai suatu daerah yang berwarna kemerahan, terdapat
gelembung-gelembung(skin blister, vesikulae, bullae), yang ditutupi oleh
daerah putih, epidermis yang tidak mengandung pembuluh darah dan dibatasi
oleh kulit yang berwarna merah serta hiperemis. Secara mikroskopik tampak
adanya kongesti dari pembuluh darah, mungkin pula dijumpai perdarahan-
perdarahan dan infiltrasi sel radang polymorphonuclear(PMN). Pemeriksaan
kimiawi dari cairan yang terdapat di dalam gelembung-gelembung luka bakar,
yang dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopik menunjukkan bahwa

8
dalam cairan tersebut kaya akan protein, yang kadang-kadang dapat
menggumpal akibat panas; sel-sel PMN dapat dijumpai walaupun tidak
terdapat infeksi. Luka bakar derajat pertama dapat berakhir dengan kematian
korban bila luas daerah yang terbakar sama atau lebih dari sepertiga luas
permukaan tubuh.3,4,8

2. Luka bakar derajat dua adalah luka bakar yang pada proses penyembuhannya
akan selalu membentuk jaringan parut; oleh karena pada luka bakar derajat
kedua ini seluruh kulit mengalami kerusakan, dan tergantung dari lokasi
kerusakannya kontraktur dapat terjadi. Daerah yang terbakar akan mengkerut,
terdapat daerah yang tertekanoleh karena terjadi koagulasi jaringan, dikelilingi
oleh kulit yang berwarna kemerahan dan kulit yang menggelembung. Dalam
waktu sekitar satu minggu jaringan yang nekrotik akan terlepas dan
meninggalkan tukak yang waktu penyembuhannya lama. Pengobatan biasanya
memerlukan operasi plastik. Gambaran luka bakar derajat kedua pada
umumnya tidak berbeda luka bakar derajat pertama, hanya saja pada luka
bakar derajat kedua rasa nyeri sangat hebat dan seringkali diakhiri dengan
shock, kemungkinan terjadinya shock pada luka bakar derajat kedua lebih
besar.3,4,8

3. Luka bakar derajat ketiga dan keempat, tubuh akan mengalami destruksi yang
hebat, tidak saja terbatas pada kulit dan subkutis, akan tetapi sampai kelapisan
yang lebih dalam, jaringan otot atau tulang. Kerusakan pada ujung-ujung saraf
pada luka bakar derajat ketiga akan menyebabkan kurangnya rasa sakit.
Terjadinya devitalisasi jaringan akan memudahkan terjadinya infeksi dan
lambatnya penyembuhan. Bahaya lain yang dapat timbul adalah shock, yang
biasanya terjadi lambat yaitu setelah 1 atau 3 hari. Sampai fase tersebut
dilewati prognosa dengan tetap dubius oleh karena korban dapat jatuh dalam
koma atau mati.3,4,8

2.3.3. Pemeriksaan Luar


Keadaan sekitar dari kasus kebakaran secara langsung membantu
identifikasi korban. Jika ditemukan tubuh dengan ditutupi oleh jelaga dan tidak
begitu parah, jelaganya bisa dibersihkan terlebih dahulu agar wajah dan
gambaran eksternal lainnya dapat terlihat secara visual. Pakaian dan personal
effects, jika tidak terbakar, dapat membantu identifikasi. Hangus dapat
9
melenyapkan identifikasi gambaran eksternal. Tinggi badan dan berat badan tidak
dapat dijadikan identifikasi yang akurat karena terjadi reduksi tinggi badan dan
berat badan oleh karena kontraksi panas. Sesuai dengan observasi splitz rambut
warna kelabu berubah menjadi pirang pada suhu 120C (250F). Setelah 10-15
menit pada suhu 205ºC (400ºF), rambut coklat akan berubah menjadi sedikit
kemerahan. Dan rambut hitam tidak mengalami perubahan warna.6,8

Jika terdapat identifikasi sementara, seperti gigi dan catatan medis harus
diperoleh oleh penyidik. Kegunaan dari catatan ini tergantung dari spesifitas dan
keakuratannya. Salah satu cara untuk mengidentifikasi tubuh yang hangus
dilakukan pemeriksaan radiologi. Jika kecocokan antara informasi antemortem
dan postmortem tidak jelas, ketetapannya masih dapat masih dapat diperkuat oleh
ahli patologi dan ahli lainnya yang terlibat. Jika metode pembanding
konvensional tidak jelas, maka gigi dan tulang dapat digunakan untuk analisa
DNA.6,8

1. Pakaian dari korban diambil dan diperiksa secara teliti untuk mencari
terdapatnya minyak tanah, bensin atau bahan lainnya yang mudah terbakar.8
2. Gambaran kulit bisa bervariasi, misalnya :3,8
a. Putih. Pada luka bakar akibat panas radiasi.
b. Melepuh dan merah. Ukuran dan bentuknya bergantung pada ukuran
benda panas. Bentuk luka seperti ini adalah karena bersentuhan dengan
benda panas.
c. Luka merah terpanggang. Merupakan akibat bersentuhan dengan benda
panas dalam waktu yang cukup lama.
d. Kehitaman dan seperti tattoo. Merupakan luka akibat ledakan tambang
batubara. Biasanya ukuran luka sangat luas.
e. Hitam dan berjelaga pada beberapa bagian tubuh, yaitu luka bakar akibat
minyak tanah.
f. Kemerahan dan pembentukan vesikel pada kulit, yaitu akibat terkena uap
panas, misalnya dari air mendidih atau uap panas.
g. Luka basah dan kulit kehilangan sifat elastisnya, yaitu pada luka bakar
akibat uap yang sangat panas.
3. Sikap pugilistik. Sikap ini mirip sikap defensive dan terdapat pada mayat yang
lama terpapar temperatur tinggi sehingga mayat menjadi kaku. Pada beberapa

10
kasus, temperatur yang sangat tinggi ini bisa mengakibatkan keretakan dan
celah sehingga sangat mirip dengan luka potong.6
4. Penentuan jenis kelamin adalah berdasarkan :6,8
a. Adanya uterus atau kelenjar prostat. Kedua jaringan tersebut lebih tahan
terhadap suhu tinggi dibandingkan jaringan tubuh lainnya.
b. Jika yang tertinggal hanya tulang kerangka, maka proses identifikasinya
berdasarkan ukuran dan bentuk tulang pelvis.

2.3.4. Pemeriksaan Dalam


1. Hematoma dalam kepala (pseudoepidural hematom) hampir selalu ada jika
tulang tengkorak terbakar. Hematoma ini lunak, berupa bekuan darah
berwarna coklat dan sangat rapuh serta tampak seperti sarang lebah. Perbedaan
pseudoepidural dan epidural hematom. Pseudoepidural hematom Warna
bekuan darah coklat Wana bekuan darah hitam Konsistensi rapuh Konsistensi
kenyal Bentuk otak mengkerut seluruhnya Bentuk otak cekung sesuai dengan
bekuan darah Garis patah tidak menentu
Garis patah melewati sulcus arteri meningeal Tanda postmortem Tanda
intravital.6,8
2. Tulang tengkorak sering mengalami fraktur pada kematian akibat kebakaran.
Jaringan otak sangat menyusut walau bentuknya masih dapat dikenali. Lapisan
yang menutupi otak dan menings mengalami kongesti.3,6
3. Jika kematian akibat asfiksia, pada traktus respiratorius bisa ditemukan
partikel karbon. Seluruh traktus respiratorius bagian atas mengalami kongesti
dan dilapisi cairan mukus yang berbusa.8
4. Inflamasi pleura bisa terjadi dan terdapat efusi ke dalam rongga pleura.8
5. Bilik jantung penuh berisi darah.8
6. Lambung dan duodenum menunjukkan reaksi inflamasi. Setelah kematian,
pada duodenum mungkin terdapat tukak yang disebut tukak Curling (Curling’s
ulcer).8
7. Pada hati terdapat perlemakan.6
8. Pada ginjal terdapat pembengkakan (cloudy swelling), thrombosis kapiler,
bahkan mengalami infark.6
9. Limpa dan kelenjar mengalami kongesti.6

11
Perbedaan antara luka bakar antemortem dengan luka bakar post mortem
adalah batas kemerahan. Batas kemerahan pada luka bakar antemortem selalu ada.
Batas ini berupa garis yang permanen yang tampak setelah kematian. Eritema
pada daerah disekitar luka tidak ada karena dilatasi pembuluh darah hanya
sementara dan semakin tidak jelas setelah kematian.6,8

Pembentukan vesikel. Luka bakar sewaktu masih hidup menyebabkan


terbentuknya vesikel yang mengandung albumin dan klorida. Dasar vesikel
mengalami inflamasi dengan papil yang menonjol. Keadaan ini sangat berbeda
dengan luka bakar postmortem dimana vesikel biasanya berisi udara. Walaupun
sangat jarang ada juga vesikel yang mengandung cairan serosa, tetapi hanya
mengandung albumin dan tidak ada klorida. Dasar vesikel kering dan keras.
Proses penyembuhan pada luka bakar antemortem bisa tampak proses perbaikan
luka, berupa inflamasi, pembentukan pus, pembentukan jaringan granulasi atau
pengelupasan kulit. Hal ini tidak terdapat pada luka bakar postmortem.6,

2.3.4. Trauma Suhu Dingin


2.4.1. Patofisiologi
a. Termoregulasi

Pada organisme homeotermik, suhu tubuh normal dipertahankan pada


kisaran suhu lingkungan yang jauh lebih besar daripada yang disebut ‘indifferent
temperature’. Istilah indifferent temperature mengacu pada suhu lingkungan di
mana tingkat metabolisme dasar cukup untuk mempertahankan suhu tubuh
normal. Ketika suhu tubuh menurun, perpindahan panas diturunkan oleh
vasokonstriksi dan piloereksi sebagai mekanisme kontraregulasi pertama. Secara
bersamaan, produksi panas tubuh meningkat dengan mekanisme menggigil dan
thermogenesis kimia.9

Jika mekanisme kontraregulasi ini menjadi tidak mencukupi, suhu tubuh


akan menurun. Berapa lama suhu tubuh normal dapat dipertahankan atau ketika
kontra regulasi menjadi tidak mencukupi terutama tergantung pada keseimbangan
antara perpindahan panas dan produksi panas. Perpindahan panas ke media
sekitarnya berbanding lurus dengan perbedaan antara suhu tubuh dan suhu

12
lingkungan: semakin tinggi perbedaannya, semakin cepat penurunan suhu tubuh.
Namun, penurunan suhu tubuh melambat setelah mendekati suhu lingkungan.9,

Kecepatan penurunan suhu tubuh sebagian besar tergantung pada ukuran


luas permukaan dan 'panas yang tersimpan'. Semakin besar permukaannya,
semakin cepat tubuh akan mendingin. Karena rasio permukaan terhadap volume
meningkat dengan meningkatnya tinggi badan, anak-anak kecil mendingin lebih
cepat daripada orang dewasa. Selanjutnya, kecepatan perubahan suhu dingin
tergantung pada apakah ada perpindahan panas konvektif atau konduktif,
misalnya dalam air. Pada hipotermia akibat terendam (immersion hipotermia),
kehilangan panas tubuh sekitar tiga kali lebih cepat daripada selama terpapar
suhu yang sama di udara kering dan dingin karena air menghantarkan panas 20-
25 kali lebih cepat daripada udara.9,10

2.3.1. Trauma dingin bagi tubuh


Mekanisme trauma dingin beku dapat menjadi fenomena yang
mempengaruhi sel dan cairan ekstraselular (efek langsung) serta dapat
mengganggu fungsi jaringan yang terorganisir dan integritas sirkulasi (efek tidak
langsung). Secara umum, tidak ada kerusakan yang serius dilihat sampai selesai
jaringan. Selama terjadinya suhu dingin, terbentuk kristal dengan ukuran lebih
besar dari sel-sel individu dari kompartemen ekstraseluler yang menyebabkan
dehidrasi intraseluler. Isi sel menjadi hiperosmolar, dan konsentrasi toksik dari
elektrolit dapat menyebabkan kematian sel. Biasanya, tidak terjadi ruptur yang
besar dari membran sel. Kejadian sebaliknya dari proses ini kemungkinan terjadi
selama mencairnya jaringan beku. Setelah mencairnya beku, vasodilatasi dan
kebocoran jaringan kapiler terjadi, menyebabkan edema jaringan. Siklus beku
cair yang berulang mempotensiasi cedera pembuluh darah dan menyebabkan
infark iskemik.11

Efek tak langsung dari dingin adalah terjadi reaksi vaskular yang keras
dan stasis, yang berhubungan dengan rangsangan terhadap prostaglandin yang
terlibat pada iskemik dermal progresif. Prostaglandin F2 dan tromboksan A2
menyebabkan agregasi platelet dan vasokonstriksi.11

13
2.4.2. Fase Klinis Hipotermia
Fase hipotermia dibedakan menjadi; fase 1, excitatory phase; fase 2, an
adynamic phase (kelelahan); fase 3 paralytic phase; dan fase 4, the phase of
apparent death (Tabel 1).12

Tabel 1. Fase klinis hipotermia dan gejalanya.

Klasifikasi lain dari tanda dan gejala hipotermia dapat ditemukan di


(Tabel 2). Meskipun suhu inti tubuh diberikan untuk tingkat dan fase yang
berbeda ini, harus diingat bahwa gambaran klinis pada suhu tubuh tertentu dapat
sangat bervariasi. Fase klinis terutama dicirikan oleh perubahan fungsional,
misalnya dalam sistem otot dari menggigil melalui penurunan tonus otot menjadi
peningkatan kekakuan otot, dalam sistem kardiovaskular dari takikardia ke sinus
bradikardia menjadi bradiaritmia, dan dalam sistem paru dari hiperventilasi
hingga depresi ventilasi hingga bradipnea.12

14
Tabel 2. Fase klinis hipotermia berdasarkan suhu inti tubuh

Perubahan hemodinamik pada hipotermia penting untuk perkembangan


perubahan morfologi, dan terutama bertanggung jawab untuk peningkatan
resistensi karena vasokonstriksi dan peningkatan viskositas darah.9,12

Perubahan fungsional ini juga penting secara medikolegal karena


kekakuan otot yang terlihat pada hipotermia tidak boleh disalahartikan sebagai
rigor mortis (Gambar. 5) Setelah menggigil awal pada suhu inti tubuh sekitar 33–
30°C, terjadi kekakuan akibat dingin. Diagnosis banding harus mudah dibuat
karena pada kekakuan otot akibat hipotermia, livor mortis tidak ditemukan,
sedangkan pada kasus rigor mortis, livor mortis ada. Ada beberapa laporan kasus
dalam literatur tentang orang yang masih hidup yang dinyatakan meninggal
karena kekakuan otot yang hebat yang disalahartikan sebagai rigor mortis.9,12

Gambar 4. Fase klinis hipotermia berdasarkan suhu inti tubuh.

2.4.3. Tanda Pemeriksaan Luar


a. Frostbite
Frostbite
terjadi ketika jaringan membeku setelah paparan terhadap udara
yang sangat dingin, cairan, atau metal. Bahkan suhu tubuh dapat menjadi sangat
dingin sehingga dapat terjadi hipotermia yang mengancan jiwa. Efek klinis dari
trauma tidak disengaja yang menyebabkan kematian jaringan adalah sama dengan

15
yang disebabkan oleh cryosurgery. Komponen dari jaringan yang dapat
menyebabkan kerusakan ketika membeku adalah air, dengan membentuk kristal
es pada suhu 0ºC (32ºF), dan lemak seperti globul lemak atau penyusun membran
sel.11,13

Frostbite biasanya melibatkan jari tangan dan kaki, telinga, hidung dan

pipi.
Presentasi klinis dari frostbite terdiri dari tiga kategori, berhubungan dengan
frostbite ringan atau frostnip, frostbite superfisial, dan frostbite dalam dengan
kehilangan jaringan.11,13

Frostnip hanya melibatkan kulit dan tidak menyebabkan kerusakan yang


ireversibel. Terdapat sensasi dingin berat yang berkembang menjadi rasa kebas
(mati rasa) yang diikuti dengan rasa sakit. Eritema biasanya terjadi pada pipi,
telinga, hidung, jari, dan jari kaki. Tidak terdapat edema atau pembentukan bula.
Frostnip merupakan satu-satunya bentuk frostbite yang dapat diobati dengan
aman di lapangan dengan menggunakan tindakan pertolongan pertama. Frostnip
paling sering terjadi pada pemain ski. pemanasan baik dengan tekanan tangan
atau dengan menempatkan tangan di ketiak adalah perawatan yang

mencukupi.11,13

Gambar 5. Frostnip

16
Frostbite superfisial melibatkan kulit serta jaringan subkutaneus. Tanda-
tandanya termasuk seperti yang telah disebutkan sebelumnya tetapi disertai

dengan rasa nyeri. Hal ini merupakan tanda dari keterlibatan yang luas. Kulit
terlihat seperti lilin tapi jaringan yang lebih dalam tetap lunak dan kenyal. Dalam
waktu 24-36 jam setelah mencair, terbentuk bula jernih yang disertai dengan
edema dan eritema. Lesi dapat mengalami erosi.11,13

Gambar 6. Frostbite superfisial


Frostbite yang dalam dapat meluas sampai jaringan subkutaneus yang
dalam. Kulit yang mengalami trauma menjadi berwarna keputihan atau putih
kebiruan dengan derajat anastesi yang bervariasi. Seringkali kulit yang terkena
seolah bebas dari rasa nyeri dan rasa tidak nyaman akibat dingin pun menghilang.
Jaringan secara total menjadi mati rasa, berindurasi dengan imobilitas sendi dan
ekstremitas. Otot dapat mengalami paralisis. Syaraf, pembuluh darah besar, dan
bahkan tulang dapat dirusak. Bula berukuran besar terbentuk 1 sampai 2 hari
setelah rewarming dan dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalamannya seperti
halnya pada luka bakar yang disebabkan oleh panas. Cairan bula akan mulai
direabsorbsi dalam 5-10 hari, yang akan menyebabkan pembentukan gangren
hitam yang mengeras. Beberapa minggu kemudian, timbul garis demarkasi dan
jaringan yang terletak distal dari garis akan mengalami autoamputasi.11,13

Gambar 7. Deep Frostbite yang telah di lakukan rewarming.

17
2.3.2. Frost Eritema
Frost eritema tidak boleh disalahartikan sebagai hematoma karena secara
makroskopis dan histologis bebas dari ekstravasasi eritrosit. Patogenesisnya
masih belum jelas, meskipun hemoglobin plasma bocor ke jaringan karena
kerusakan beku pada eritrosit. Secara histologis, eritema es muncul sebagai
hiperemia dan edema dermal ringan dan positif untuk hemoglobin dalam lapisan
kulit epidermal dan subepidermal pada pewarnaan imunohistokimia. Menurut
penelitian yang berbeda, perubahan kulit dapat ditemukan pada sekitar 50% kasus
hipotermia. Mereka tidak terjadi pada hipotermia perendaman.9,14

Perubahan kulit pada hipotermia generalisata berbeda dari yang terlihat


pada hipotermia lokal. Pada hipotermia generalisata, cedera seperti radang dingin
dapat dilihat sebagai pembengkakan pada telinga, hidung dan tangan tetapi
temuan yang lebih mencolok adalah kulit merah atau ungu dan bercak ungu pada
lutut atau siku atau di atas aspek luar sendi panggul (Gambar. 9,10 ).9,14

18
Gambar 8. Frosteritema pada bagian panggul

Gambar 9. Frosteritema pada bagian lutut

2.4.4. Tanda Pemeriksaan Dalam


a. Bintik-bintik hemoragik pada mukosa lambung

Wischnewsky (1895) adalah orang pertama yang menggambarkan erosi


lambung hemoragik multipel sebagai tanda yang menunjukkan hipotermia
(Gambar 11). Lesi bervariasi dengan diameter dari 1 mm sampai sekitar 2 cm dan

dalam jumlah dari hanya beberapa sampai lebih dari 100 tersebar di seluruh
mukosa lambung. Secara histologis, bercak Wischnewsky ditandai dengan
nekrosis mukosa dengan pembentukan hematin. Imunohistokimia
mengungkapkan bahwa lesi bereaksi positif terhadap hemoglobin. Bercak
Wischnewsky adalah temuan non-spesifik karena dapat di temukan juga pada
etiologi yang mendasari seperti perubahan serupa pada mukosa lambung juga
ditemukan sebagai akibat penyalahgunaan obat atau alkohol atau stres atau
syok.9,15

Gambar 10. Bercak Wischnewsky pada mukosa lambung

19
b. Perdarahan ke dalam otot inti

Perdarahan ke otot inti, terutama otot iliopsoas, telah ditemukan pada


kematian terkait hipotermia. Mereka diyakini karena kerusakan hipoksia dan
merupakan temuan langka. Mereka dapat divisualisasikan dengan pencitraan
resonansi magnetik.9,15

Perubahan morfologi karena paparan dingin mungkin jarang terjadi pada


kematian akibat hipotermia dan sebagian besar temuan tidak spesifik. Namun,
temuan luar dan dalam, dan kombinasi frosteritema dan bintik-bintik
Wischnewsky pada khususnya, memiliki signifikansi diagnostik yang tinggi
karena kombinasi ini tidak ditemukan sehubungan dengan penyebab kematian
lainnya.9,15

20
BAB III
KESIMPULAN

Trauma suhu merukan cedera yang diakibatkan oleh paparan dari suhu
yang terlalu tinggi (trauma panas) atau suhu yang terlalu rendah (trauma dingin).

Gambaran yang didapatkan pada korban trauma panas berupa luka bakar,
Gambaran kulit bisa bervariasi, seperti kulit menjadi putih pada luka bakar
akibat panas radiasi, melepuh dan merah akibat bersentuhan dengan benda panas,
luka merah terpanggang akibat bersentuhan dengan benda panas dalam waktu
yang cukup lama, kehitaman dan seperti tattoo akibat ledakan, hitam dan
berjelaga pada beberapa bagian tubuh akibat minyak tanah, kemerahan dan
pembentukan vesikel pada kulit akibat terkena uap panas, luka basah dan kulit
kehilangan sifat elastisnya akibat uap yang sangat panas. Gambaran yang
didapatkan pada korban trauma dingin dapat berupa Frostbite, terjadi ketika
jaringan membeku setelah paparan terhadap udara yang sangat dingin, cairan,
atau metal. Dapat terjadi juga sensasi dingin berat yang berkembang menjadi rasa
kebas (mati rasa) yang diikuti dengan rasa sakit. Eritema biasanya terjadi pada
pipi, telinga, hidung, jari, dan jari kaki. Tidak terdapat edema atau pembentukan
bula. Kulit yang mengalami trauma menjadi berwarna keputihan atau putih
kebiruan dengan derajat anastesi yang bervariasi. Jaringan menjadi mati rasa,
berindurasi dengan imobilitas sendi dan ekstremitas. Secara histologis, bercak
Wischnewsky ditandai dengan nekrosis mukosa dengan pembentukan hematin.

Mekanisme trauma panas ketika tubuh mengalami luka bakar, akan terjadi
kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan, kemudian tubuh
mengadakan respon dengan menurunkan sirkulasi gastrointestinal yang mana
dapat terjadi ileus paralitik, tachycardia, dan tachypnea, yang merupakan
kompensasi untuk menurunkan volume vaskuler dengan meningkatkan
kebutuhan oksigen terhadap jaringan yang luka. Mekanisme trauma dingin
berupa kejadian hipotermia yang terjadi ketika suhu inti tubuh dibawah 35°C.
Selama terjadinya suhu dingin, terbentuk kristal dengan ukuran lebih besar dari
sel-sel individu dari kompartemen ekstraseluler yang menyebabkan dehidrasi
intraseluler. Isi sel menjadi hiperosmolar, dan konsentrasi toksik dari elektrolit
dapat menyebabkan kematian sel.

21
Pada pemeriksaan luar korban trauma panas terutama luka bakar dapat
dilakukan dari melihat kondisi pakaian apakah terdapat bekas bahan yang mudah
terbakar atau tidak. Selanjutnya mengindentifikasi kondisi tubuh pasien terutama
pada bagian tubuh yang mengalami kontak langsung dengan dengan benda panas,
dapat juga didapatkan sikap pugilistik yang mengambarkan kondisi posisi pasien
ketika terpapar panas. Pemeriksaan luar korban trauma dingin akan didapatkan
gambaran frostbite yang terjadi ketika jaringan membeku setelah terpaparan
udara, cairan, atau benda yang sangat dingin. Penurunan suhu tubuh yang terlalu
rendah juga dapat terjadi hipotermia yang membahayaka jiwa. Frostbite biasanya
terjadi di tanga, kaki, telinga, hidung, atau pipi. Frostnip merupakan kejadian
yang menimbulkan sensasi dingin yang berkembang hingga rasa kebas atau mati
rasa yang bisa diikuti rasa sakit. Frost eritema ditandai dengan cedera
pembengkakan pada organ luar tubuh hingga berupa kulit merah atau ungu dan
bercak ungu pada organ lainnya.

Pada pemeriksaan dalam korban trauma panas luka bakar akan didapatkan
Hematoma dalam kepala (pseudoepidural hematom), tulang tengkorak
mengalami fraktur pada kematian akibat kebakaran, jika kematian akibat asfiksia
pada traktus respiratorius bisa ditemukan partikel karbon, inflamasi pleura bisa
terjadi dan terdapat efusi ke dalam rongga pleura, bilik jantung penuh berisi
darah, lambung dan duodenum menunjukkan reaksi inflamasi, pada hati terdapat
perlemakan, pada ginjal terdapat pembengkakan (cloudy swelling), thrombosis
kapiler, bahkan mengalami infark, limpa dan kelenjar mengalami kongesti.
Pemeriksaan dalam korban trauma suhu dingin akan didapatkan berupa bintik-
bintik merah pada mukosa lambung akibat erosi lambung hemoragik multipel
sebagai tanda hipotermia, dan perdarahan dalam otot inti terutama otot iliopsoas
dapat ditemukan pada kematian akibat hipotermia.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Dix Jay. In : Color Atlas of Forensic Pathology, 2000


2. Algozi, A. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya;2013. h. 71
3. Bisono, P. 1997. Luka, Trauma, Syok dan Bencana. Hlm 81-91. Pada: Buku Ajar
Ilmu Bedah.
4. Syamsuhidajat R. and W.D. Jong. Jakarta: EGC.Dewi D, Sanarto, Taqiyah B.
Pengaruh frekuensi perawatan luka bakar derajat II dengan madu nectar flora
terhadap lama penyembuhan luka. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya; 2011.
5. Dewi YRS. Luka bakar: konsep umum dan investigasi berbasis klinis luka
antemortem dan postmortem. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana;
2013.
6. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama.
Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
7. Rutty GN. Essentials of Autopsy Practice:Current Methods and Modern UI; 1997.
8. Dahlan, Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik. Trends. UK: Springer 2006. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 67-91.
9. Bukhard Madea. Injuries to Cold. Handbook of Forensic Medicine:First Edition. 2014.
23:468-476
10. Morphological findings, their pathogenesis and diagnostic value. In: Tsokos, M. (ed.)
Forensic Pathogy Reviews.5:3–21. Berlin: Springer.
11. Pierard GE, Henry F, Pierard-Franchimont. Cold Injuries .Dalam : Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Edisi ke-7. New York : McGraw-Hill ; 2008. hal : 844-851
12. Türk, E. Hypothermia. Forensic Science, Medicine and Pathology. 2010. 6:106–15.
13. Imray CHE, Oakley EHN. Cold Still Kills: Cold-Related Illnesses In Military Practice
Freezing And Non-Freezing Cold Injury. J R Army Med Corps. 2006. 152 :218-222
14. Oehmichen, M. Hypothermia. Clinical, pathomorphological and forensic features. 2004.
Lübeck: Schmidt-Römhild
15. Nixdorf-Miller, A., Hunsaker, D.M. & Hunsaker, J.C. Hypothermia and hyperthermia.
Archives of Pathology and Laboratory Medicine. 2006. 130:1297–304.

23
24

Anda mungkin juga menyukai