Anda di halaman 1dari 28

Referat Kelompok

DERMATITIS SEBOROIK

Disusun oleh:

M. Dahriyan Ramadhan (1608154081)


Farah Diba Sari Tanjung (1508153938)
Rona Adilah Ulfa (1608111362)
Nurul Afrilla Ridwan (1908437998)
Sabrina Erla Venessa (1908437644)
Fatimah Firmani (1908437999)
Arista Safitri (1908437655)

Pembimbing :

dr. R. Nurhayati, M.Ked(DV), SpDV

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2021
DERMATITIS SEBOROIK
M. Dahriyan Ramadhan*, Farah Diba Sari Tanjung*, Rona Adilah Ulfa*, Nurul Afrilla
Ridwan*, Sabrina Erla Venessa*, Fatimah Firmani*, Arista Safitri*, R. Nurhayati**
*Program Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Riau/RSUD Arifin Achmad Pekanbaru
** Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, KJF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

ABSTRAK

Dermatitis seboroik adalah penyakit eritroskuamosa kronis yang sering kambuh,


biasa ditemukan pada usia anak dan dewasa . Keadaan ini ditandai oleh kelainan kulit di
area tubuh dengan banyak folikel sebasea dan kelenjar sebasea aktif. Penyebab
dermatitis seboroik adalah multifaktorial seperti respon imun dan inflamasi, efek
mikroba, peningkatan aktivitas kelenjar sebasea, hiperproliferasi epidermis,
abnormalitas neurotransmiter, dan faktor alternatif . Tujuan terapi dermatitis seboroik
tidak hanya untuk meredakan tanda dan gejalanya tetapi juga untuk menghasilkan
struktur dan fungsi kulit normal. Terapi dermatitis seboroik dapat dilakukan dengan
antijamur sistemik, topikal kortikosteroid, topikal nonsteroidal anti-inflammatory agent
with antifungal properties (AIAFp), topikal calcineurin inhibitor (TCI), topikal tar dan
keratolitik, dan fototerapi.

kata kunci: dermatitis seboroik, faktor risiko, tatalaksana

ABSTRACT
Seborrheic dermatitis is a chronic erythrosquamous disease that often relapse,
commonly affects adult and children. Seborrheic dermatitis characterized by
erythrosquamous lesions that can be found in areas rich with sebaceous follicles and
active sebaceous glands. Multiple factors could trigger the occurrence of seborrheic
dermatitis such as immune response and inflammation, microbial effect, Increased
activity of the sebaceous glands, epidermis hyperproliferation, neurotransmitter
abnormalities and alternative factors. Management of seborrheic dermatitis could be
done by systemic anti fungal, topical corticosteroid, topical nonsteroidal anti-
inflammatory agent with antifungal properties (AIAFp), topical calcineurin inhibitor
(TCI), topical tar and keratolytic, and phototerapy.

Keywords: Seborrheic dermatitis, risk factor, treatment

PENDAHULUAN

1
Dermatitis seboroik merupakan penyakit eritroskuamosa kronis, biasa ditemukan

pada usia anak dan dewasa.1 Keadaan ini ditandai oleh kelainan kulit di area tubuh

dengan banyak folikel sebasea dan kelenjar sebasea aktif, yaitu daerah wajah, kepala,

telinga, badan bagian atas dan lipatan tubuh (inguinal, inframamae dan aksila).

Dermatitis seboroik dapat juga mengenai daerah interskapular, umbilikus, perineum, dan

anogenital.1,2

Prevalensi dermatitis seboroik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS dr. Cipto

Mangunkusumo berkisar antara 1 sampai 5 % pada populasi umum. 3 Di Poliklinik Kulit

dan Kelamin RS dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2014, ditemukan

prevalensi dermatitis seboroik sebesar 1%, umumnya menyerang dewasa muda, laki-laki

lebih banyak dari pada perempuan dengan usia 1 bulan hingga 88 tahun. 3,4 Terdapat

berbagai faktor yang berpengaruh pada dermatitis seboroik yang berpengaruh pada

prinsip tatalaksana dermatitis seboroik. Prognosis dipengaruhi oleh awitan dermatitis

seboroik dan pada bayi prognosisnya jauh lebih baik daripada dermatitis seboroik pada

dewasa.1,4

Diagnosis dermatitis seboroik umumnya mudah ditegakkan secara klinis, dan

tidak memerlukan alat bantu khusus. Pemeriksaan tambahan lain berupa pemeriksaan

laboratorium dan pemakaian alat non invasif dapat membantu diagnosis dan terapi

spesifik yang diperlukan.1 Perjalanan penyakit dermatitis seboroik yang kronis dan

residif, dapat ditekan namun tidak dapat sembuh secara permanen sehingga, kondisi ini

memerlukan pengobatan yang rutin selama bertahun-tahun. 1 Pendekatan tatalaksana

dermatitis seboroik sebaiknya dipilih berdasarkan tampilan klinis, perluasan dan lokasi

penyakit.1,5

DEFINISI

2
Dermatitis seboroik merupakan penyakit kulit kronis, dan sering kambuh.

Dermatitis seboroik termasuk dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa yaitu penyakit

kulit yang terutama ditandai dengan adanya eritema dan skuama.2,7

EPIDEMIOLOGI

Dermatitis seboroik pada orang dewasa kejadian puncaknya terjadi pada dekade

ketiga dan keempat kehidupan. Insidensi adalah 1-3% dari populasi dewasa umum. 1,4 Pria

lebih sering terkena daripada wanita (3,0% dan 2,6%) pada semua kelompok umur,

menunjukkan bahwa dermatitis seboroik mungkin terkait dengan hormon seks seperti

androgen.4 Tidak ada perbedaan nyata yang diamati pada kejadian dermatitis seboroik

antara kelompok etnis. Pada remaja dan orang dewasa, dermatitis seboroik

mempengaruhi kulit kepala dan daerah seboroik lainnya pada wajah, tertinggi, aksila, dan

lipatan inguinal.1,4 Dermatitis seboroik juga lebih sering terjadi pada pasien dengan

penyakit Parkinson dan pada pasien yang diobati dengan obat-obatan psikotropika

tertentu seperti haloperidol decanoate, lithium, buspirone, dan chlorpromazine.6,7

FAKTOR RISIKO

Penyebab dermatitis seboroik adalah multifaktorial. Peran kelenjar sebasea dalam

patogenesis dermatitis seboroik penting untuk distribusi lesi. Status imunologis pasien

atau kerentanan terhadap dermatitis seboroik dapat menjadi faktor penting karena

dermatitis seboroik lebih banyak terjadi pada mereka yang memiliki penyakit dasar

tertentu seperti Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dan penyakit parkinson.

Malassezia juga dapat menjadi salah satu penyebab dermatitis seboroik karena efek obat

antijamur yang efektif untuk pengobatan dermatitis seboroik. Hubungan lesi dengan

fluktuasi musiman atau paparan sinar matahari juga merupakan dapat berkontribusi pada

pengembangan dermatitis seboroik.1,8

1. Respon imun dan inflamasi


3
Komponen imun penting dalam patogenesis dermatitis seboroik karena dermatitis

seboroik sering terjadi pada pasien imunosupresi. Beberapa penelitian telah berfokus

pada imunitas seluler dan imunitas humoral, tetapi ada beberapa kontroversi. Satu

penelitian menunjukkan rasio CD4+ dan CD8+ yang normal, sedangkan penelitian lain

menunjukkan rasio CD4+ dan CD8+ yang menurun pada 68% pasien. Penurunan jumlah

sel B pada 28% pasien dan peningkatan jumlah sel natural killer pada 48% pasien

dilaporkan. Selain itu, 60% pasien menunjukkan peningkatan sel CD8+ dan 70% pasien

menunjukkan penurunan rasio CD4+ dan CD8+.1,8

Pernyataan lain mengatakan bahwa pasien dermatitis seboroik mengalami

peningkatan produksi antibodi imunoglobulin (Ig) A dan IgG dalam serum. Namun, tidak

ada perubahan jumlah total antibodi terhadap Malassezia, hal ini menunjukkan bahwa

perubahan antibodi kemungkinan tidak terkait dengan Malassezia. Perubahan sitokin

inflamasi pada pasien dengan dermatitis seboroik telah ditunjukkan oleh studi

imunohistokimia. Produksi interleukin (IL)-1α, IL-1β, IL-4, IL-12, tumor necrosis factor-

α, dan interferon (IFN)-γ meningkat pada lesi dibandingkan dengan kulit normal.

Peningkatan signifikan rasio IL-1RA ke IL-1α dan IL-1RA ke IL-8, serta kelebihan

produksi histamin, juga terbukti terjadi pada dermatitis seboroik bila dibandingkan

dengan kontrol yang sehat. Penelitian ekspresi gen oleh DNA pada 15 pasien dengan

ketombe menunjukkan ekspresi timbal balik dari gen inflamasi yang diinduksi dan gen

metabolisme lipid yang ditekan dibandingkan dengan individu yang tidak berketombe.

Ekspresi gen inflamasi yang diinduksi secara jelas diamati pada kulit pasien yang tidak

terlibat juga, menunjukkan adanya faktor predisposisi yang berhubungan dengan

peradangan pada pasien dengan dermatitis seboroik. Peradangan yang disebabkan oleh

stres oksidatif melalui spesies oksigen reaktif mungkin memiliki peran potensial dalam

patogenesis dermatitis seboroik.1,8,9

4
Disfungsi imun diduga berperan dalam perkembangan dermatitis seboroik dengan

memungkinkan hiperproliferasi Malassezia. Dermatitis seboroik lebih sering terjadi pada

pasien limfoma dan penerima transplantasi organ. Bukti terkuat datang dari pasien yang

terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang telah mengembangkan AIDS.

Sekitar 30-85% pasien dengan AIDS terkena dermatitis seboroik. Association HIV

British menyarankan tes HIV rutin kepada individu dengan dermatitis seboroik yang

berat.1,8,10

2. Efek mikroba

Malassezia adalah genus Basidiomycota, merupakan komensal pada kulit

manusia, dianggap penting dalam patogenesis dermatitis seboroik. Pendapat ini

didasarkan pada bukti bahwa lesi pada dermatitis seboroik terkait dengan distribusi

kelenjar sebaseous, di mana Malassezia hidup berkoloni, dan bahwa obat antijamur

memiliki efek terapeutik pada dermatitis seboroik. Penurunan jumlah Malassezia dengan

penggunaan agen antijamur sesuai dengan pengurangan gejala. Selain itu, pitiriasis

versikolor dan pitirosporum folikulitis, yang diinduksi oleh Malassezia, biasanya disertai

dengan dermatitis seboroik. Namun, ada sedikit perbedaan dalam jumlah Malassezia

antara pasien dengan dermatitis seboroik dan orang sehat. Selain itu, bentuk miselium

Malassezia, bentuk patogen yang diamati pada pitiriasis versikolor, belum terdeteksi

pada dermatitis seboroik. Fakta-fakta ini mendukung Malassezia sebagai salah satu

penyebab untuk dermatitis seboroik.1,10,11

Prevalensi dan jenis spesies Malassezia yang paling dominan yang ditemukan

pada lesi dermatitis seboroik berbeda antara penelitian, negara, atau bagian tubuh, tetapi

M. globosa dan M. restricta dianggap yang paling penting dari 14 spesies yang

diidentifikasi. Urutan genom lengkap M. globosa dan M. restricta telah ditentukan dan

genom ini mengkode lipase dan fosfolipase. M. globosa dan M. restricta bersifat lipofilik

5
dan sering didistribusikan pada area yang kaya sebum (lipid) di kulit kepala, wajah, dan

badan. Peran utama enzim ini adalah untuk memetabolisme lipid menjadi asam lemak

untuk menghasilkan dinding sel jamur yang bertanggung jawab atas virulensi, termasuk

invasi dan penyebaran. Hubungan antara produksi sebum yang berlebihan dan

hiperproliferasi Malassezia masih sangat lemah, karena individu dengan produksi sebum

yang normal masih dapat bermanifestasi sebagai dermatitis seboroik. Hal ini

menunjukkan faktor-faktor alternatif seperti komposisi sebum atau kecenderungan

imunologis mungkin menjadi penyebab.8,12

Peningkatan jumlah M. furfur diamati pada pasien dengan dermatitis seboroik

dibandingkan kontrol yang sehat. Konsentrasi tinggi M. furfur dapat mengganggu

pelindung kulit dan menyebabkan peradangan. Malassezin yang dihasilkan oleh M.

furfur atau M. restricta, dapat berfungsi sebagai agonis untuk reseptor aril hidrokarbon,

yang terlibat dalam diferensiasi sel T-helper 17 dan mediasi sensitivitas kontak. 1 Proses

Malassezia untuk mencapai reseptor aril hidrokarbon pada lapisan granular dan spinosus

juga mungkin bergantung pada karakter kulit yang rusak tersebut. Faktor kerentanan

inang ini dapat menjelaskan kurangnya korelasi positif antara jumlah Malassezia dan

tingkat keparahan ketombe. Faktanya adalah bahwa kasus dermatitis seboroik sering

merespon dengan baik terhadap terapi antijamur, yang mengarah pada anggapan bahwa

ragi komensal ini memainkan peran penting dalam perkembangannya.1,10,11,12

3. Peningkatan aktivitas kelenjar sebasea

Beberapa analisis lipid permukaan kulit pada pasien dengan dermatitis seboroik

atau ketombe telah menunjukkan perubahan pada mereka yang terlepas dari status HIV.

Temuan ini tidak konsisten satu sama lain, tetapi mereka memperkenalkan hubungan

kausatif antara dermatitis seboroik dan komposisi lipid permukaan kulit. Secara khusus,

asam lemak bebas yang mengiritasi, seperti asam oleat yang diproduksi oleh lipase M.

6
globosa, dapat memediasi pengelupasan seperti ketombe pada individu yang rentan

ketombe dengan dermatitis seboroik tetapi tidak pada individu yang tidak rentan,

melindungi kulit yang dari penetrasi metabolit yang mengiritasi.8,10

4. Hiperproliferasi epidermis

Peningkatan pergantian epidermal pada dermatitis seboroik juga ditunjukkan

pada psoriasis. Gangguan hiperproliferasi dan Malassezia dapat dianggap sebagai salah

satu faktor yang menyebabkan fenomena tersebut. Dermatitis seboroik menyerupai

psoriasis dalam banyak aspek, baik secara klinis maupun histologis, dan terkadang sulit

untuk membedakan kedua penyakit tersebut bahkan setelah biopsi kulit. Ada laporan

kasus bahwa keratolitik dan obat anti inflamasi berhasil dalam pengobatan pasien dengan

dermatitis seboroik yang pengobatannya dengan amfoterisin B gagal. Perubahan

epidermis ini mungkin berhubungan dengan peningkatan aktivitas kalmodulin dan

menjelaskan dasar penggunaan obat sitostatik seperti asam azelaik.1,8

5. Abnormalitas neurotransmitter

Dermatitis seboroik yang diekspresikan pada penyakit parkinson dianggap

sebagai hasil dari peningkatan kadar sebum yang memungkinkan proliferasi Malassezia.

Perubahan kadar sebum mungkin dipicu oleh efek endokrin daripada efek neurotropik.

Ini mungkin terkait dengan peningkatan sirkulasi hormon perangsang α-melanosit pada

penyakit parkinson. Hormon perangsang α-melanosit berfungsi untuk meningkatkan

produksi sebum. Pada pasien dengan penyakit parkinson, terdapat kekurangan faktor

penghambat hormon perangsang melanosit karena kadar dopamin yang tidak memadai.

Oleh karena itu, pasien dengan parkinson cenderung memiliki peningkatan kadar sebum

dan lebih mungkin untuk mengembangkan dermatitis seboroik.1,8,10

Pemberian levodopa secara klinis dapat memperbaiki gejala kulit dengan

mengurangi produksi atau sekresi sebum dengan mengembalikan produksi faktor

7
penghambat hormon perangsang melanosit. Prevalensi dermatitis seboroik juga

meningkat pada pasien dengan gangguan neurologis lainnya, termasuk gangguan mood,

penyakit alzheimer, siringomielia, epilepsi, infark serebrovaskular, post ensefalitis,

keterbelakangan mental, poliomielitis, quadriplegia, cedera saraf trigeminal, dan

alkoholisme. Gaya hidup, paparan sinar matahari yang lebih sedikit dan status kebersihan

pasien mungkin berperan dalam hubungan ini.1,8,10

6. Faktor alternatif

Diet, khususnya defisiensi seng, stres emosional dan musim dingin juga terlibat

dalam perkembangan dermatitis seboroik, meskipun prevalensi dermatitis seboroik tinggi

pada orang yang terpapar radiasi ultraviolet (UV) tingkat tinggi, seperti pemandu gunung

atau mereka yang terpapar terapi UVA untuk waktu yang lama. Dermatitis seboroik

biasanya muncul sebagai bercak berminyak eritematosa simetris dengan sisik

kekuningan. Banyak terdapat pada daerah yang kaya kelenjar sebaseous, yaitu kulit

kepala, garis rambut, telinga, alis, kelopak mata (blefaritis), lipatan nasolabial, bibir atas,

dada atas dan punggung, pusar dan selangkangan.10,13

Dermatitis seboroik umum sering ditemukan pada pasien imunokompromais dan

dapat menyebabkan perkembangan eritroderma (eritema mempengaruhi >90% dari luas

permukaan tubuh). Keterlibatan genital dapat bermanifestasi sebagai plak merah bersisik

yang dapat menimbulkan tantangan diagnostik terutama jika itu adalah satu-satunya area

yang terkena. Diagnosis banding balanitis, psoriasis atau bahkan penyakit bowen harus

dipertimbangkan dalam kasus tersebut. Pada bayi, penyakit kulit kepala atau 'cradle cap'

adalah manifestasi klinis yang paling umum. Namun, bisa juga menyebar hingga

melibatkan lipatan wajah, ketiak, dan selangkangan. Ruam terdiri dari bercak merah

8
muda salmon yang mungkin berhubungan dengan scaling dan dengan sedikit atau tanpa

pruritus.1,8,10,13

PATOGENESIS

Banyak studi berkenaan patogenesis dari dermatitis seboroik namun belum ada

etiologi yang benar-benar jelas terkait dermatitis seboroik ini.

1. Respon imun dan inflamasi

Komponen imun yang sangat penting dalam patogenesis dermatitis seboroik

sering ditemui pada pasien imunokompromais. DBA/2 2C TCR transgenic mouse,

yang mana mempengaruhi ekspresi dari CD4+ dan CD8+ yang ditunjukan dengan

kurangnya sel T-timosit progenitor dan akan menyebabkan erupsi.1,14

2. Efek mikroba

Malassezia furfur adalah jamur lipofilik yang sebagian besar ditemukan pada

bagian seboroik dari tubuh. Hal ini dibuktikan pada berbagai studi yang menyatakan

bahwa ditemukan Malassezia furfur lebih banyak pada pasien yang menderita

dermatitis seboroik.1,14

Studi lain juga membuktikan dengan efektivitas terapi menggunakan anti jamur

seperti golongan azol, hidroksipiridon, allilamin, selenium dan seng. Malassezia

furfur mengalami aktivitas lipase yang menghidrolisis trigliserida pada sebum

manusia dan merubahnya menjadi asam lemak tidak tersaturasi seperti asam oleat

dan asam arakidonat. Metabolisme tersebut menyebabkan gangguan diferensiasi

keratinosit sehingga terjadi kerusakan stratum korneum seperti parakeratosis, droplet

interseluler lipid dan abnormalitas perkembangan dari stratum korneum.1,14

Hal ini juga menyebabkan kerusakan fungsi barrier epidermis dan memicu

respons inflamasi. Metabolit ini juga menginduksi sitokin proinflamasi yang akan

memperpanjang respon inflamasi. Asam arakidonat (Arachidonic acid) juga

9
merupakan sumber prostaglandin yang merupakan mediator pro-inflamasi yang akan

menyebabkan inflamasi melalui rekrutmen neutrofil dan vasodilatasi.1,14

Gambar 1. Patogenesis dermatitis seboroik 14


3. Peningkatan aktivitas kelenjar sebasea

Glandula sebasea tersebar diseluruh permukaan kulit manusia, kecuali telapak

tangan dan kaki. Sekresi sebum terjadi paling banyak pada scalp, wajah dan dada.

Produksi sebum terjadi dibawah kontrol hormon dan glandula sebasea aktif saat lahir

dengan pengaruh androgen ibu via reseptor androgen di sebosit. Glandula sebasea

aktif kembali pada masa pubertas dibawah kontrol androgen yang tersirkulasi. Hal

ini menyebabkan peningkatan sekresi sebum selama masa remaja yang stabil pada

usia 20 – 30 tahun dan kemudian perlahan menurun. Pada periode sekresi sebum

yang aktif, jumlah sekresi sebum lebih tinggi pada laki-laki dan tetap tinggi pada usia

30 hingga 60 tahun, sedangkan pada perempuan sekresi sebum menurun drastis

setelah menopause.1,14

4. Hiperproliferasi epidermal

Peningkatan pergantian epidermal pada dermatitis seboroik, serupa dengan kasus

psoriasis, hal ini disebabkan karena terjadinya hiperproliferasi dan dapat pula

disebabkan oleh Malassezia. Kasus dermatitis seboroik ini sangat menyerupai

dermatitis seboroik dalam berbagai aspek baik itu aspek klinis maupun aspek

10
histologis dan tak jarang cukup sulit untuk membedakan keduanya, bahkan setelah

dilakukan biopsi kulit.1

5. Abnormalitas neurotransmiter

Pada pasien Parkinson biasanya terdapat dermatitis seboroik yang ditandai dengan

adanya peningkatan kadar sebum akibat Malassezia. Peningkatan kadar sebum ini

dipicu oleh efek endokrin daripada efek neurotropik, hal ini terkait dengan

peningkatan sirkulasi α-melanocyte-stimulating hormone pada penyakit parkinson.

Pemberian levodopa secara klinis dapat memperbaiki gejala kulit dan mengurangi

sekresi sebum dengan meningkatkan faktor penghambat hormon melanosit.1,14

Prevalensi dermatitis juga meningkat pada pasien dengan gangguan neurologis,

pada pasien alzheimer, epilepsi, retardasi mental, poliomyelitis dan serebrovaskular

infark. Gaya hidup dengan pencahayaan matahari yang kurang dan higienitas yang

buruk juga sangat berpengaruh.1,14

6. Faktor alternatif

Faktor alternatif, seperti kelembaban yang rendah dan suhu yang dingin dapat

memperburuk keluhan dermatitis seboroik. Penggunaan obat-obat seperti

griseofulvin, metildopa, buspiron, haloperidol dapat menyebabkan erupsi kulit pada

dermatitis seboroik.1,1

DIAGNOSIS

Daerah yang sering terkena pada dermatitis seboroik yaitu yang banyak kelenjar

sebasea seperti kulit kepala, area retroaurikuler, wajah (lipatan nasolabial, bibir atas,

kelopak mata dan alis), dada punggung, lipat gluteus, inguinal, genital dan ketiak.

Distribusi lesi umumnya simetris. Dermatitis seboroik pada bayi biasanya berupa

skuama berminyak pada vertex kulit kepala. Skuama dapat menumpuk dan menebal di

seluruh kulit kepala yang dapat disertai dengan inflamasi. Hal ini dapat memicu

11
terjadinya infeksi sekunder. 16,17

Kulit kepala seperti asbes, disebut pityriasis amiantacea. Pityriasis amiantacea

juga disebut tinea asbestina, tinea amiantacea, keratosis follicularis amiantacea, dan

porrigo amiantacea. kondisi kulit kepala yang dicirikan oleh lempengan-lempengan besar

yang tebal, sisik keperakan yang melekat erat pada kulit kepala dan rambut. Hal Ini bisa

menjadi kondisi lokal atau difus, dan dikaitkan dengan hiperkeratosis difus dan

parakeratosis dengan keratosis folikel yang mengelilingi setiap rambut dengan selubung

korneosit dan debris. Hal ni lebih sering terjadi pada wanita dan dapat terjadi pada usia

berapa pun, seringkali tanpa penyebab yang jelas. Alopesia, yang umumnya reversibel

tetapi kadang-kadang sikatrik, merupakan gambaran umum dari pityriasis

amiantacea. Infeksi bakteri sekunder bersamaan, kebanyakan Staphylococcus aureus,

dapat menyebabkan jaringan parut alopesia, sehingga pengobatan dini dan tepat

diperlukan. Penyakit kulit yang paling sering terkait dengan pityriasis amiantacea adalah

psoriasis (35%) dan kondisi eksim seperti dermatitis seboroik dan dermatitis atopik

(34%). Pada pasien anak dengan pityriasis amiantacea, lesi pada 2% sampai 15%

berkembang menjadi psoriasis tipikal.11 

Pityriasis amiantacea juga dapat bermanifestasi sebagai komplikasi dari lichen

planus, lichen simplex chronicus, jamur superfisial, atau infeksi piogenik, atau sebagai

efek samping dari terapi target molekuler seperti vemurafenib.

Gambar 2. Dermatitis seboroik yang muncul pada bayi. terdapat lesi yang meluas ke seluruh
tubuh.1
Orang tua anak yang terkena dermatitis seboroik biasanya mengaku bahwa

anaknya pernah terkena penyakit serupa saat bayi. Beberapa daerah skuama yang tebal

12
akan muncul di kulit kepala selama beberapa bulan sebelum akhirnya orang tua pasien

menyadari rontoknya rambut pasien atau adanya skuama berwarna putih kekuningan

yang menempel pada helaian rambut dan kulit kepala seperti pada Gambar 3. Ukuran

kumpulan skuama ini bervariasi antara 2 hingga 10 cm. 17,18

Gambar 3. Dermatitis seboroik pada anak. Terdapat daerah-daerah di kulit kepala yang memiliki
skuama. Skuama ini dapat menempel pada helaian rambut. 18

Manifestasi klinis dermatitis seboroik pada remaja kurang lebih sama dengan

dermatitis seboroik pada dewasa. Sebagian besar pasien mengeluhkan skuama berwarna

putih yang halus dan kering serta terasa gatal, yang biasanya disembut ketombe

(dandruff). Ketidakmauan untuk mencuci rambut akan mempermudah skuama tersebut

menumpuk dan memicu inflamasi. Pasien dengan dandruff yang ringan sebaiknya

mencuci rambut setiap hari atau setiap dua hari dengan shampo anti-dandruff. Distribusi

skuama dan inflamasi biasanya lebih menyeluruh dan terpusat pada area seboroik seperti

kulit kepala, alis mata, dasar bulu mata, lipatan nasolabia, lipatan auricular posterior dan

daerah presternal.17,18

Skuama dapat timbul saat rambut wajah mulai tumbuh dan menghilang setelah

dicukur, namun, jika sudah pernah muncul, skuama akan tetap ada walaupun sedikit.

Pasien-pasien geriatri, terutama pasien-pasien yang bedridden atau memiliki gangguan

neurologi kronis seperti penyakit Parkinson, cenderung menderita dermatitis seboroik

13
kronis yang lebih luas. Pada beberapa kasus, skuama di kulit kepala biasanya tebal dan

lengket. Pasien sebaiknya diedukasi bahwa dermatitis seboroik tidak menyebabkan

rontoknya rambut secara permanen. 17,18

Pada pasien HIV-AIDS atau immunosupresi, dermatitis seboroik sering meluas,

intens dan efrakter terhadap terapi. Secara klinis ditemukan erupsi pada wajah berupa

butterfly rush, menyerupai lupus eritematosa, seperti terdapat pada Gambar 3. Dermatitis

seboroik biasanya terjadi pada pasien dengan CD4+ sebesar 200-500/mm3 dan dapat

ditemukan sebagai manifestasi klinis pertama pada pasien HIV-AIDS.16,17

Dermatitis seboroik muncul dalam pola yang lebih luas dan refrakter pada 83%

pasien HIV-seropositif dan AIDS. Gejala klinis awal dapat muncul sebagai ruam seperti

kupu-kupu yang terlihat pada lupus eritematosus sistemik, dermatitis seboroik  dikaitkan

dengan penurunan fungsi sel-T, dan memburuk saat jumlah limfosit CD4+ menurun,

menjadikan dermatitis seboroik sebagai indikator untuk mengevaluasi perkembangan

AIDS.1

14
Tabel 1. Perbedaan dermatitis seboroik dan dermatitis seboroik bermanifestasi dengan
AIDS.1
Banyak penelitian untuk mengungkap patogenesis dermatitis seboroik pada

pasien dewasa dan remaja telah dilakukan, namun etiologinya belum diketahui secara

jelas. Penyebab multifaktorial, termasuk beberapa faktor predisposisi endogen dan

eksogen, berhubungan dengan dermatitis seboroik. Peran kelenjar sebasea dalam

patogenesis dan distribusi lesi dermatitis seboroik. Status imunologis pasien atau

kerentanan terhadap dermatitis seboroik dapat menjadi faktor penting karena lebih

banyak terlihat pada mereka yang memiliki penyakit dasar tertentu seperti AIDS dan

penyakit Parkinson. Malassezia  juga dapat menjadi salah satu penyebab dermatitis

seboroik karena obat antijamur yang efektif. Hubungan lesi dermatitis seboroik dengan

fluktuasi musiman atau paparan sinar matahari menyiratkan bahwa beberapa faktor

eksogen dapat berkontribusi pada pengembangan dermatitis seboroik. Peningkatan

pergantian epidermal pada dermatitis seboroik, yang juga ditunjukkan pada psoriasis,

berimplikasi pada dermatitis seboroik pada gangguan hiperproliferasi,

dan Malassezia dapat dianggap sebagai salah satu hasil insidental yang diturunkan dari

fenomena tersebut. Dermatitis seboroik menyerupai psoriasis dalam banyak aspek, baik

secara klinis maupun histologis, dan terkadang sulit untuk membedakan kedua penyakit

tersebut bahkan setelah biopsi kulit. Diagnosis dermatitis seboroik tetap merupakan

diagnosis klinis, berdasarkan morfologi dan pola karakteristik dermatitis seboroik.

Dermoskopi memungkinkan identifikasi rinci struktur morfologi, yang sangat membantu

dalam mendiagnosis dermatitis seboroik pada kulit kepala.1,16

Pembesaran pola vaskular khas yang diamati oleh dermoskopi adalah lingkaran

bengkok, titik merah dan globules, dan pembuluh glomerulus pada psoriasis kulit kepala,

tetapi pembuluh arborizing dan pembuluh darah merah atipikal pada dermatitis seboroik.

Biopsi kulit tidak secara rutin diperlukan, tetapi mungkin berguna ketika diagnosis tidak

15
jelas. Berbagai fitur histopatologi dapat diamati tergantung pada berbagai tahap penyakit:

akut, subakut, dan kronis. Dermatitis seboroik akut dan subakut dapat menunjukkan

dermatitis spongiotik ringan hingga sedang dengan hiperplasia psoriasis ringan, kerak

folikulosentrik yang mengandung neutrofil yang tersebar di ujung lubang folikel,

ortokeratosis dengan parakeratosis fokal, dan infiltrasi limfohistiositik perivaskular

superfisial. Dermatitis seboroik kronis menunjukkan pola yang lebih intens dari

gambaran sebelumnya dengan spongiosis minimal dan pembuluh darah superfisial yang

melebar. Gambaran histopatologi pada kasus kronis kadang-kadang mirip dengan

psoriasis, dan perhatian yang cermat harus diberikan pada pembacaan histopatologi.1,16

Dermatitis seboroik terkait HIV secara histologis berbeda dari dermatitis

seboroik biasa, menunjukkan pola yang sangat parah seperti parakeratosis luas,

leukositosis, nekrosis keratinosit, dan infiltrat perivaskular superfisial sel plasma.

Pengikisan lesi untuk preparasi kalium hidroksida dapat bermanfaat untuk

mengkonfirmasi diagnosis folikulitis Pityrosporum yang  menyertai . Perlu diingat bahwa

dermatitis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit kulit lainnya. Ketika dermatitis

seboroik terjadi pada bayi, kriteria diagnostik klasik yang disarankan oleh Beare dan

Rook dapat digunakan dalam mendiagnosis dermatitis seboroik pada anak yang terdiri

dari onset dini (sebelum usia 6 bulan) terdapat ruam eritematosa dan bersisik yang

tersebar di kulit kepala, popok, atau area fleksural; dan relatif tidak adanya

pruritus.1 Keterlibatan area popok saja dianggap sebagai tanda karakteristik yang

mendukung tipe psoriasiform dengan diagnosis dermatitis seboroik pada anak dan tidak

ada ciri patognomonik yang khas atau tes laboratorium untuk menegakkan diagnosis

dermatitis seboroik yang akurat.1,18

16
Gambar 4. Dermatitis seboroik pada HIV. Terdapat erupsi pada wajah berupa butterfly
rush, menyerupai lupus eritematosa.16

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis dermatitis seboroik biasanya tidak terlalu sulit ditegakkan,

namun pada kasus-kasus yang tidak khas terdapat sejumlah diagnosis banding yang

memungkinkan. Skuama pada kulit kepala juga dapat ditemukan pada psoriaris

namun, skuama pada psoriasis biasanya lebih tebal dan berwarna keabuan dengan

batas yang lebih jelas.16,18 Beberapa pasien dermatitis kontak alergi memiliki gejala

yang mirip dengan dermatitis seboroik di beberapa daerah kulit kepala dan

wajah.1,18 Dermatitis perioral juga dapat mengenai lipatan nasolabia walaupun pada

kasus ini biasanya terdapat papul-papul kecil dengan distribusi berbentuk berlian

disertai keterlibatan jaringan kulit di daerah inferolateral bibir bawah.1,18

Beberapa obat dapat menimbulkan erupsi dengan lesi seperti pada

dermatitis seboroik, terutama obat-obatan yang memiliki gugus sulfhidril seperti

captopril, lithium, metildopa atau cimetidin.19 Terdapat laporan yang mengatakan

bahwa dermatitis seboroik merupakan salah satu efek samping dari obat-obat

kemoterapi seperti erlotinib, sorafenib, sunitinib dan vemurafenib.18,19

Diagnosis banding dermatitis seboroik pada bayi antara lain adalah

histiositosis, defisiensi seng, akrodermatitis enteropathika dan penyakit leiner di

17
mana pada kasus-kasus ini biasanya ditemukan lesi yang lebih menyeluruh disertai

dengan infeksi rekuren, gagal tumbuh dan defisiensi mineral lainnya.18

TATALAKSANA

Tujuan dari pengobatan dermatitis seboroik tidak hanya untuk

menghilangkan tanda dan gejalanya tetapi juga untuk memperbaiki struktur dan

fungsi kulit serta mempertahankan remisi dengan terapi jangka panjang. Pasien

harus diberitahu bahwa dermatitis seboroik adalah kondisi kronis, kambuh dan

bahwa mereka harus mengantisipasi kejadian yang terulang di masa depan. Pasien

juga harus disarankan untuk menghindari pemicu gejala dermatitis seboroik sejauh

mungkin dan tidak mengiritasi lesi dengan menggaruk berlebihan atau

menggunakan preparat keratolitik yang kuat. Sebelum memberikan pengobatan

dermatitis seboroik, terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan seperti

usia, penyakit penyerta, kepatuhan dan keamanan dalam pemberian obat.

Mekanisme tatalaksana yang paling umum termasuk antijamur, pengurangan

pruritus dan eritema, mengurangi sisik, dan pengurangan peradangan. 15,20,21

1. Terapi sistemik

Penggunaan terapi sistemik pada dermatitis seboroik ditujukan pada kasus-kasus

akut, area keterlibatan luas, bentuk resisten, berhubungan dengan HIV dan kelainan

neurologis. Antijamur sistemik yang diindikasikan dalam terapi dermatitis seboroik

adalah golongan triazol (itrakonazol dan flukonazol), diazol (ketokonazol), allilamin

dan terbinafin. Azol dan allilamin menghambat sintesis ergosterol (suatu komponen

kunci membran sel).20,21

a. Diazol dan triazol menghambat enzim 14 α-sterol dimetilase, yang menyebabkan

akumulasi 14 α-metilnsterol menghasilkan penghambatan pertumbuhan jamur.

Itrakonazol merupakan terapi antijamur sistemik yang telah dicoba sebagai pilihan

18
pengobatan pasien dengan penyakit dermatitis sedang hingga berat. Studi lain

mengungkapkan terdapat perbaikan yang signifikan dari gejala seperti eritem,

gatal terkait dengan peningkatan sensasi terbakar dan terjadi penurunan jumlah

Malassezia setelah pengobatan. Studi ini menunjukkan bahwa itrakonazol tidak

hanya efektif dan terapi aman untuk dermatitis seboroik eksaserbasi tetapi juga

efektif untuk terapi pemeliharaan. 21,2

b. Allilamin juga menghambat sintesis enzim skualan epoxidase yang

mempengaruhi metabolisme ergosterol dan akumulasi skualan yang menyebabkan

kematian sel jamur. Efek samping yang paling umum terjadi adalah gangguan

gastrointestinal, sedangkan efek samping lain berupa sakit kepala, erupsi

eksantematosa, psoriasis pustular, nyeri dada, malaise, kelelahan, gangguan hati,

dan nekrolisis epidermal toksik. 15,21

Terbinafin mudah diserap di saluran pencernaan, preparatnya berbentuk tablet dan

granul. Metabolisme terbinafin terjadi di hati melalui oksidasi oleh CYP2D6 dan

eliminasi terjadi terutama melalui urin (80%) dan feses. Terbinafin meningkatkan

plasma konsentrasi beberapa obat, seperti trisiklik, antidepresan, beta blocker,

selective serotonin reuptake inhibitor. Terbinafin bisa digunakan secara topikal

atau oral, jika digunakan secara oral diberikan setiap hari dengan dosis 250 mg,

umumnya selama 4 sampai 6 minggu. Beberapa studi menemukan bahwa

pengobatan intermiten dengan terbinafin oral (250 mg/hari selama 12 hari setiap

bulan, 3 bulan berturut-turut) efektif dan lebih nyaman dari pada terus

menerus.15,21

2. Terapi Topikal

Terapi topikal bertujuan untuk mengatur produksi sebum, mengurangi kolonisasi

Malassezia furfur pada kulit dan mengendalikan inflamasi. Terapi lini pertama yang

19
direkomendasikan pada dermatitis seboroik adalah terapi tropikal termasuk:

kortikosteroid topikal, inhibitor kalsineurin, antijamur topikal dan keratolitik. Studi

ahli Denmark mengatakan bahwa terapi topikal hanya boleh digunakan untuk gejala

yang signifikan dan untuk serangan dermatitis seboroik hingga berat. Tatalaksana

dermatitis seboroik dengan obat-obatan topikal dibagi menjadi terapi scalp dan non

scalp.1,21

a. Antijamur topikal, karena dermatitis seboroik adalah penyakit inflamasi kronis

yang terjadi sebagai respons terhadap adanya jamur pada kulit, antijamur

memainkan peran penting dalam pengobatan dermatitis seboroik. Antijamur

topikal digunakan dalam pengobatan dermatitis seboroik karena kemampuannya

untuk mengurangi Malassezia dan respon inflamasi, oleh karena itu antijamur

topikal umumnya salah satu pengobatan lini pertama untuk dermatitis seboroik.

Golongan azol topikal seperti ketokonazol, klotrimazol, dan mikonazol telah

terbukti efektif dalam pengobatan dermatitis seboroik. Mekanisme kerjanya terdiri

dari penghambatan sintesis dinding sel jamur. Ketokonazol topikal 2% dalam

presentasi yang berbeda seperti shampo, krim atau gel telah terbukti efektif dalam

pengobatan dermatitis seboroik. Pengobatan topikal ketokonazol 2%

menunjukkan tingkat remisi mirip dengan steroid. Namun, terjadinya efek

samping sebesar 44% lebih rendah pada kelompok ketokonazol dibandingkan

kelompok steroid. Studi lain menunjukkan bahwa shampo mikonazol 2%

setidaknya sama efektif dan amannya dengan ketokonazol shampo untuk

perawatan kulit kepala pada penderita dermatitis seboroik dan penelitian lain

melaporkan keefektifannya untuk pengobatan dan profilaksis. Krim klotrimazol

1% adalah pilihan lain untuk pengobatan dermatitis yang secara rutin diresepkan

untuk mengobati dermatitis seboroik. 1,15,21

20
Krim sertakonazol 2% dilaporkan adalah pengobatan yang efektif dan dapat

ditoleransi dengan baik untuk dermatitis seboroik sedang di wajah tanpa

kekambuhan penyakit setelah satu bulan menghentikan pengobatan. Ciclopirox

olamine 1% (krim, sampo dan gel) adalah antijamur spektrum luas yang

mekanisme kerjanya melibatkan penghambatan enzim yang bergantung pada

logam dalam sel jamur dengan aktivitas anti inflamasi, telah terbukti efektif untuk

dermatitis seboroik pada wajah dan kulit kepala. Terbinafin memiliki aksi

fungisida terutama sebagai akibat dari squalene epoxidase penghambatan yang

mengarah pada akumulasi squalene sementara menjadi kekurangan ergosterol,

komponen kunci dari membran sel jamur. Terbinafin krim 1% telah dilaporkan

aman dan efektif seperti krim ketoconazol 2% dalam mengobati dermatitis dengan

tidak ada efek samping yang serius dan tidak ada perbedaan dalam tingkat

kekambuhan. 1,15,21

b. Kortikosteroid topikal diindikasi untuk dermatitis seboroik berat, dapat digunakan

bersamaan dengan antijamur untuk mengelola inflamasi terutama eritema dan

pruritus. Penggunaan jangka panjang tidak disarankan karena efek samping

seperti hipertrikosis, atrofi kulit, telangiektasia, dermatitis perioral, dll. Beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa monoterapi dengan kortikosteroid topikal

tidak lebih unggul dari topikal antijamur.15,21 Agen antijamur masih dianggap

sebagai pengobatan lini pertama untuk dermatitis ringan, tetapi kortikosteroid

topikal adalah pengobatan lini pertama untuk dermatitis sedang hingga berat.

Dalam satu penelitian, betametason valerat 0,1% dilaporkan sangat efektif

mengurangi gejala eritema, scaling dan pruritus lebih cepat di wajah dan kulit

kepala, tetapi kekambuhan diamati lebih sering dan lebih parah daripada

21
pimekrolimus. Di sisi lain ketokonazol 2% telah terbukti unggul dari betametason

dipropionat 0,05% dalam mengurangi gejala dan mengurangi Malassezia. 15,21

Hidrokortison menunjukkan pembersihan lesi dan efek samping yang mirip

dengan sertakonazol dengan lebih banyak peningkatan yang dibuktikan dalam

kelompok hidrokortison pada minggu kedua pengobatan. Beberapa studi

merekomendasikan sertaconazol sebagai alternatif nonsteroid untuk terapi steroid

topical bila dibandingkan dengan krim hidrokortison 1%.15,21

c. Topikal AIAFp (Nonsteroidal Anti-inflammatory Agent with Antifungal

Properties) seperti pirokton olamin, bisabolol, glycyrrhetinic acid, laktoferin dan

promise. Agen anti inflamasi nonsteroid adalah terapi topikal yang mengobati

kulit kepala dan dermatitis seboroik kulit kepala terutama melalui penghambatan

pertumbuhan Malassezia seperti efek anti-inflamasi, antimikotik, keratolitik dan

antioksidan. Efek samping dari anti inflamasi non steroid umumnya ringan dan

terbatas pada sensasi tertusuk sementara, menyengat, gatal, terbakar, eritema dan

gastroenteritis. Pirokton olamin adalah garam etanolamin berasal dari asam

hidroksamat, mekanisme dengan menembus sel membran, mengikat ion besi dan

membuat kompleks dan kemudian menghambat metabolisme energi dalam

mitokondria protein. Bisabolol adalah alkohol seskuiterpen monosiklik dengan

antioksidan dan anti inflamasi. Mekanisme kerjanya dengan menurunkan regulasi

neutrofil polimorfonuklear dan melepaskan spesies oksigen reaktif. 15,21

Bisabolol terbukti efektif dalam kombinasi dengan agen lain, seperti pirokton

olamin, alglisera dan temestein. Glycyrrhetinic acid berasal dari licorice hitam

yang memiliki anti inflamasi, anti iritasi, anti alergi dan sifat antivirus.

Mekanisme kerjanya dengan menghambat 11-β-hyroxysteroid hidroksigenase,

yang menyebabkan penghambatan konversi hidrokortison dalam metabolisme

22
steroid. Mekanisme kerja dari laktoferin dihipotesiskan oleh modulasi fungsi,

pematangan dan migrasi sel imun, serta pengikatan dan interaksi besi dengan

senyawa lain. Promiseb® adalah kombinasi glycyrrhetinic acid dan krim pirokton

olamin dengan antijamur dan sifat anti inflamasi. 15,21

d. Topical calcineurin inhibitor (TCI) mekanisme kerja adalah dengan menghambat

sekresi sitokin yang diinduksi sel T yang akan menyebabkan penurunan inflamasi,

namun, penggunaan jangka panjang tidak disarankan karena terdapat laporan

keganasan pada pasien yang menggunakan inhibitor kalsineurin topikal untuk

penggunaan jangka panjang.15 Tidak ada perbedaan antara kalsineurin inhibitor

topical dengan kortikosteroid topical dalam pembersihan total lesi yang

diidentifikasi dalam jangka waktu pendek. Tidak terdapat adanya efek

telangiectasia dan atrofi kulit, sehingga kalsineurin inhibitor topical

direkomendasikan untuk diterapkan pada daerah yang rentan daripada

kortikosteroid topical. 1,15,21

e. Tar dan keratolitik seperti coal tar, asam salisilat dan k301. Coal tar memiliki

sifat keratoplastik, yang bermakna dalam pengobatan dermatitis seboroik.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak coal tar 8,75%

dalam deterjen cair setiap hari sebelum keramas dan dua kali seminggu selama 3

minggu ditemukan memperbaiki tanda dan gejala dermatitis seboroik pada 86,4%

subjek. Asam salisilat ditemukan untuk menginduksi stimulasi reepitelisasi dan

deskuamasi yang memiliki sifat antimikroba terhadap Malassezia ovalis. K301

atau Kaprolac adalah campuran asam laktat, urea, propilen glikol dan sedikit air

serta gliserol yang memiliki sifat keratolitik, menghidrasi, pengelupasan dan

antijamur. Perbaikan klinis yang signifikan dapat dilihat setelah 2 minggu

23
pengobatan. Efek samping yang mungkin terjadi adalah eritema, ruam, pruritus,

sensasi terbakar, eksim dan ulserasi. 15,21

f. Selenium sulfida topikal memiliki sifat antijamur dengan pelepasan stratum

korneum di tempat yang terinfeksi. Shampo selenium sulfida 2,5% dikombinasi

dengan shampo kotekonazol 2% efektif dalam mengobati dermatitis seboroik

sedang hingga berat terutama dalam mengurangi pruritus dan iritasi. Penggunaan

shampo selenium sulfida 2,5 % satu kali sehari selama 3 hari dan diikuti oleh

prosedur yang sama satu minggu kemudian. Terapi pemeliharaan dilakukan setiap

3 bulan sekali. 15,21

3. Fototerapi (Ultraviolet) telah terbukti menghambat pertumbuhan Malassezia pada

kulit. Ultraviolet B (UVB) dapat dipertimbangkan untuk dermatitis seboroik yang

parah atau berat. Studi sebelumnya menunjukkan peningkatan pada pasien yang

diobati dengan NB-UVB 3 kali seminggu selama 2 bulan. Namun, kekambuhan

terjadi pada 2 – 6 minggu setelah penghentian terapi. Di sisi lain, studi tentang

psoralen plus ultraviolet A (PUVA) masih kontradiktif. Risiko besar efek

karsinogenik pada individu berkulit putih ditemukan. 15,21

4. Terapi lain yang dapat diberikan antara lain anethum graveolens, minyak emulsi,

asam hialuronat, litium glukonat, nikotinamida, propilen glikol, quassia amara dan

minyak pohon teh. 15,21

Berikut ini merupakan algoritma mengenai penatalaksanaan dermatitis seboroik

pada orang dewasa di area non scalp berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu:

24
Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan dermatitis seboroik orang dewasa di area non scalp
berdasarkan tingkat keparahannya.21
Berikut ini merupakan algoritma mengenai penatalaksanaan dermatitis seboroik

pada orang dewasa di area scalp dan non glabrous berdasarkan tingkat keparahannya,

yaitu:

Gambar 6. Algoritma penatalaksanaan dermatitis seboroik orang dewasa a rea scalp dan non
glabrous berdasarkan tingkat keparahannya.21
PROGNOSIS

Dermatitis seboroik pada infant biasanya mengenai kulit kepala ringan dan

sembuh sendiri, sedangkan pada orang dewasa menunjukkan pola kronis penyakit

25
kulit yang ditandai dengan kekambuhan dan remisi. Dermatitis seboroik pada orang

dewasa sangat terkontrol tetapi tidak dapat disembuhkan.2,15,20

DAFTAR PUSTAKA

1. Dae Hun Suh. Seborrheic Dermatitis. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL,
Alexander H, Margolis D, McMichael AJ. Fitzpatick’s Dermatology in General
Medicine, 9th ed, vol 1. New York: Mc Graw Hill, 2019;p.428-37.
2. Tucker D, Masood S. Seborrheic Dermatitis. [Updated 2020 Jun 30]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551707/
3. Data kunjungan Poliklinik Kulit dan Kelamin Divisi Dermatologi Umum RSCM.
Jakarta: RSCM; 2014.
4. Sanders MGH, Pardo LM, Franco OH, Ginger RS, Nijsten T. Prevalence and
determinants of seborrhoeic dermatitis in a middle-aged and elderly population: the
Rotterdam Study. Br J Dermatol. 2018 Jan;178(1):148-153.
5. Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, Suh DH, Ungpakorn R, Widaty S, Azizan
NZ, Gabriel MT, Tran HK, Chong WS, Shih IH, Dall'Oglio F, Micali G. Treatment
of Seborrhoeic Dermatitis in Asia: A Consensus Guide. Skin Appendage Disord.
2016 May;1(4):187-96.
6. Skorvanek M, Bhatia KP. The Skin and Parkinson's Disease: Review of Clinical,
Diagnostic, and Therapeutic Issues. Mov Disord Clin Pract. 2017 Jan-Feb;4(1):21-
31.
7. Lacarrubba F, Nasca MR, Benintende C, Micali G. Topical treatment. In:
Seborrheic dermatitis. Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015:41-50.
8. Wikramanayake, T. C., Borda, L. J., Miteva, M., & Paus, R. Seborrheic Dermatitis
– Looking beyond Malassezia. Experimental Dermatology.2019; p.994

26
9. Adalsteinsson, J. A., Kaushik, S., Muzumdar, S., Guttman, E., & Ungar, J. An
Update on the Microbiology, Immunology and Genetics of Seborrheic Dermatitis.
Experimental Dermatology.2020;p.485.
10. Ijaz, N; Fitzgerald, D. Seborrhoeic dermatitis. British Journal of Hospital Medicine.
2017; 78(6), C88–C91.
11. Lin, Q., Panchamukhi, A., Li, P., Shan, W., Zhou, H., Hou, L., & Chen, W.
Malassezia and Staphylococcus dominate scalp microbiome for seborrheic
dermatitis. Bioprocess and Biosystems Engineering. 2020.
12. Tao, R., Li, R., & Wang, R. Skin microbiome alterations in seborrheic dermatitis
and dandruff: A systematic review. Experimental Dermatology.2021;p.1-7
13. Lancar R, Missy P, Dupuy A, Beaulieu P, Fardet L Dominique Costagliola D. Risk
Factors for Seborrhoeic Dermatitis Flares: Case-control and Case-crossover Study.
Acta Derm Venereol 2020; 100, p.1-5.
14. Salmanca-Cordoba MA, et al. Seborrheic Dermatitis and Its Relationship with
Malassezia spp. Infectio. 2021;25(2) 120-129.
15. Borda LJ, Perper M, Keri JE. Treatment of Seborrheic Dermatitis : A
Comprehensive Review. Journal of Dermatological Treatment. 2018.
16. Nurul Tjut Alam Jacoeb. Dermatitis Seboroik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit. FKUI 2017:232-33
17. TP Habif. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 6th
edition. Elsevier; 2016: h. 302-6.
18. CEM Griffiths, Barker J, Blelker T, Chalmers R & Creamer D. Rook’s Textbook of
Dermatology. 9th edition. Wiley Blackwell: 2016; h. 40.1-6.
19. Budianti WK. Erupsi Obat Alergik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ketujuh.
Jakarta: Balai penerbit. FKUI 2017:190-195
20. Kemenkes. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Dermatitis
Seboroik. Jakarta :2019.
21. Widaty S, Bramono K, Listiawan MY, Yosi A, Miranda E, Rahmayunita G, et all.
The Management of Seborrheic Dermatitis 2020 : An Update. J Gen Proced
Dermatol Venereol Indones. 2020:5(1); 19-27.

27

Anda mungkin juga menyukai