Anda di halaman 1dari 24

Sari Pustaka

Keracunan Organofosfat

PEMBIMBING:

dr. Agustinus Sitepu, M.Ked(For), Sp. F

DISUSUN OLEH:

Mischka Scalvinni Suvero Suyar 150100022

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN


MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Keracunan
Organofosfat”.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing
Dr. Agustinus Sitepu, M.Ked (for), Sp.F (K), yang telah meluangkan waktunya kepada kami
dan memberikan bimbingan serta masukan dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik isi
maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca
sebagai masukan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi yang membaca dan dapat menjadi referensi
dalam pengembangan wawasan di bidang medis.

Medan, Maret 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................1

Daftar Isi ...............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................4

1.1 Latar Belakang .................................................................................................4

1.2 Tujuan ..............................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................6

I. Pengertian Racun ................................................................................................ 6

II. Jalan Masuk Racun ........................................................................................... 6

III. Klasifikasi Racun …… .............................................................................. 6


IV. Mekanisme Kerja Racun ................................................................................ 8
V. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerja Racun ............................................ 9
VI. Kriteria Diagnosis Keracunan ........................................................................ 12
VII. Organofosfat dan Penggolongannya ............................................................. 13
VIII. Mekanisme Keracunan Organofosfat .......................................................... 16
IX. Gejala Keracunan Organofosfat ………………………………………….... 18
X. Diagnosis………………………... ………………………………………….... 20
XI. Penanganan…………….............. ………………………………………….... 23
XII. Pencegahan……………..............………………………………………….... 24

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 26

3
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan di bidang pertanian, berbagai upaya diterapkan untuk
meningkatkan hasil pertanian yang optimal. Dalam paket intensifikasi pertanian
diterapkan berbagai teknologi, antara lain penggunan agrokimia (bahan kimia sintetik).
Penggunaan agrokimia, diperkenalkan secara besar-besaran menggantikan kebiasan atau
teknologi lama, baik dalam hal pengendalian hama maupun pemupukan tanaman.
Agrokimia yang digunakan yaitu pestisida. Pestisida mencakup bahan-bahan
racun yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak
dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnnya.
Penggunaan bahan-bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida dapat
membahayakan kehidupan manusia dan hewan dimana residu pestisida terakumulasi pada
produk-produk pertanian dan perairan.
Penyemprotan pestisida yang tidak memenuhi aturan akan mengakibatkan
banyak dampak, diantaranya dampak kesehatan bagi manusia yaitu timbulnya keracunan
pada petani yang dapat dilakukan dengan jalan memeriksa aktifitas kholinesterase darah.
Faktor yang berpengaruh dengan terjadinya keracunan pestisida adalah faktor dari dalam
tubuh (internal) dan dari luar tubuh (eksternal).
Faktor dari dalam tubuh antara lain umur, jenis kelamin, genetik, status gizi, kadar
hemoglobin, tingkat pengetahuan dan status kesehatan. Sedangkan faktor dari luar tubuh
mempunyai peranan yang besar. Faktor tersebut antara lain banyaknya jenis pestisida yang
digunakan, jenis pestisida, dosis pestisida, frekuensi penyemprotan, masa kerja menjadi
penyemprot, lama menyemprot, pemakaian alat pelindung diri, cara penanganan pestisida,
kontak terakhir dengan pestisida, ketinggian tanaman, suhu lingkungan, waktu
menyemprot dan tindakan terhadap arah angin.
Pestisida golongan sintetik yang banyak digunakan petani di Indonesia adalah
golongan organofosfat. Dampak penggunaan pestisida sering ditemui keluhan antara lain
muntah-muntah, ludah terasa lebih banyak, mencret, gejala ini dianggap oleh petani
sebagai sakit biasa. Beberapa efek kronis akibat dari keracunan pestisida adalah berat
badan menurun, anorexia, anemia, tremor, sakit kepala, pusing, gelisah, gangguan

4
psikologis, sakit dada dan lekas marah. Pestisida organofosfat yang masuk ke dalam tubuh
manusia mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan menghambat kerja enzim
kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam menghantarkan impuls sepanjang
serabut syaraf.
Golongan organofosfat mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan menghambat
kerja enzim kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam mengantarkan impuls
sepanjang serabut syaraf. Pengukuran tingkat keracunan berdasarkan aktifitas enzim
kholinesterase dalam darah dengan menggunakan metode Tintometer Kit, tingkat
keracunan adalah sebagai berikut : 75% - 100 % kategori normal, 50% - 75% kategori
keracunan ringan, 25% - 50 kategori keracunan sedang dan 0% - 25% kategori keracunan
berat.
Menurut laporan kegiatan pemeriksaan aktifitas kholinesterase darah petani
Propinsi Jawa Tengah Tahun 2005 dari 240 orang yang diperiksa menunjukkan bahwa
keracunan pestisida 67,5% dengan rincian keracunan berat 2,5%, keracunan sedang
8,75%, keracunan ringan 55,26% dan normal 32,5%, jenis pestisida yang digunakan
sebagian besar golongan organophospat. Berdasarkan keadaan tersebut diatas, diperlukan
upaya untuk mencegah dan mengendalikan faktor-faktor risiko terjadinya keracuan pada
petani.
2. Tujuan

Umum :
Agar masyarakat secara umum dapat memahami apa yang dimaksud dengan Keracunan dan
Keracunan Organofosfat serta pencegahannya.

Khusus :
1. Mahasiswa mengetahui definisi dan jenis dari keracunan .
2. Mahasiswa mengetahui jenis dari organofosfat.
3. Mahasiswa mengetahui penegakan diagnosis keracunan organofosfat.
4. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan keracunan organofosfat.
5. Mahasiswa mengetahui pencegahan keracunan organofosfat.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Racun
Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan
minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya
reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.
Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang bila mengenai
tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian, bahkan
kematian. Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang
dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh, tanpa
kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek yang
besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian1.

2. Jalan Masuk Racun


Racun masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara yaitu2 :
• Ditelan (per oral ; ingesti)
• Terhisap bersama udara pernafasan (inhalasi)
• Melalui penyuntikan (parenteral ; injeksi)
• Penyerapan melalui kulit yang sehat atau kulit yang sakit
• Melalui anus atau vagina (perektal ; pervaginam)

3. Klasifikasi Racun
Racun dapat digolongkan sebagai berikut1:
I. Pestisida
A. Insektisida
1. Organoklorin
a. Derivat Chlorinethane: DDT
b. Derivat Cyclodiene : Thiodane, Endrim, Dieldrine, Chlordan, Aldrin,
Heptachlor, toxapene.
c. Derivat Hexachlorcyclohexan : Lindan, myrex.
2. Organofosfat: DFP, TEPP, Parathion, Diazinon, Fenthoin, Malathion.
3. Carbamat: Carbaryl, Aldicarb, Propaxur, Mobam.

6
B. Herbisida
1. Chloropheoxy
2. Ikatan Dinitrophenal
3. Ikatan Karbonat: Prepham, Barbave
4. Ikatan Urea
5. Ikatan Triasine: Atrazine
6. Amide: Propanil
7. Bipyridye
C. Fungisida
1. Caplan
2. Felpet
3. Pentachlorphenal
4. Hexachlorphenal
D. Rodentisida
1. Warfarin
2. Red Squill
3. Norbomide
4. Sodium Fluoroacetate dan Fluoroacetamide
5. Aepha Naphthyl Thiourea
6. Strychnine
7. Pyriminil
8. Anorganik:
- Zinc Phosfat
- Thallium Sulfat
- Phosfor
- Barium Carbamat
- Al. Phosfat
- Arsen Trioxyde
II. Bahan Industri
III.Bahan untuk rumah tangga
IV. Bahan obat-obatan
V. Racun (tanaman dan hewan)
Berdasarkan sumber dan tempat dimana racun-racun tersebut mudah didapat, maka
racun dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu1:

7
1. Racun-racun yang banyak terdapat dalam rumah tangga.
Misalnya: desinfektan, deterjen, insektisida, dan sebagainya.
2. Racun-racun yang banyak digunakan dalam lapangan pertanian, perkebunan.
Misalnya: pestisida, herbisida.
3. Racun-racun yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran / pengobatan.
Misalnya: sedatif hipnotis, analgetika, obat penenang, anti depresan, dsb.
4. Racun-racun yang banyak dipakai dalam industri / laboratorium.
Misalnya: asam dan basa kuat, logam berat, dsb.
5. Racun-racun yang terdapat di alam bebas.
Misalnya: opium ganja, racun singkong, racun jamur serta binatang.

4. Mekanisme Kerja Racun


Mekanisme kerja racun dapat dibagi dalam beberapa hal yaitu2 :
1. Racun yang bekerja secara setempat (lokal)
Misalnya:
- Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat.
- Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2.
- Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol.
Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan menimbulkan sensasi
nyeri yang hebat, disertai dengan peradangan, bahkan kematian yang dapat disebabkan
oleh syok akibat nyerinya tersebut atau karena peradangan sebagai kelanjutan dari
perforasi yang terjadi pada saluran pencernaan.
2. Racun yang bekerja secara umum (sistemik)
Walaupun kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam golongan ini biasanya memiliki
akibat / afinitas pada salah satu sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila
dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.
Misalnya:
1. Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh pada susunan syaraf
pusat.
2. Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.
3. Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang belakang.
4. CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim pernafasan.
5. Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap ginjal.

8
6. Insektisida golongan hidrokarbon yang di-chlor-kan dan phosphorus terutama
berpengaruh terhadap hati.
3. Racun yang bekerja secara setempat dan secara umum
Misalnya:
1. Asam oksalat
2. Asam karbol
- Arsen
- Garam Pb

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kerja Racun


Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja racun adalah sebagai berikut1,2 :
1. Cara pemberian
Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada tubuh jika cara
pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-racun yang berbentuk gas tentu akan
memberikan efek maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika racun
tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu tidak akan menimbulkan akibat
yang sama hebatnya walaupun dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.
Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling cepat bekerja
pada tubuh jika masuk secara inhalasi, kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c),
ingesti, absorbsi melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun tersebut masuk ke
dalam tubuh melalui kulit yang sehat.
2. Keadaan tubuh
a. Umur
Pada umumnya anak-anak dan orang tua lebih sensitif terhadap racun bila
dibandingkan dengan orang dewasa. Tetapi pada beberapa jenis racun seperti
barbiturate dan belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan.
b. Kesehatan
Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau penyakit ginjal, biasanya
akan lebih mudah keracunan bila dibandingkan dengan orang sehat, walaupun
racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini
dapat dimengerti karena pada orang-orang tersebut, proses detoksikasi tidak
berjalan dengan baik, demikian pula halnya dengan ekskresinya. Pada mereka
yang menderita penyakit yang disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit
pada saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada umumnya jelek,

9
sehingga jika pada penderita tersebut terjadi kematian, kita tidak boleh terburu-
buru mengambil kesimpulan bahwa kematian penderita disebabkan oleh racun.
Dan sebaliknya pula kita tidak boleh tergesa-gesa menentukan sebab kematian
seseorang karena penyakit tanpa melakukan penelitian yang teliti, misalnya
pada kasus keracunan arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini gejala
keracunannya mirip dengan gejala gastroenteritis yang lumrah dijumpai.
c. Kebiasaan
Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang dapat
menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian, yaitu karena terjadinya
toleransi. Tetapi perlu diingat bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap.
Menurunnya toleransi sering terjadi misalnya pada pencandu narkotik, yang
dalam beberapa waktu tidak menggunakan narkotik lagi. Menurunnya toleransi
inilah yang dapat menerangkan mengapa pada para pencandu tersebut bisa
terjadi kematian, walaupun dosis yang digunakan sama besarnya.
d. Hipersensitif (alergi – idiosinkrasi)
Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin, streptomisin dan preparat-
preparat yang mengandung yodium menyebabkan kematian, karena sikorban
sangat rentan terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu kehakiman,
keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, kita harus menentukan apakah
kematian korban memang benar disebabkan oleh karena hipersensitif dan harus
ditentukan pula apakah pemberian preparat-preparat mempunyai indikasi. Ada
tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut dapat mempengaruhi berat-
ringannya hukuman yang akan dikenakan pada pemberi preparat tersebut.
3. Racunnya sendiri
a. Dosis
Besar-kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya akibat yang
ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan akan adanya faktor toleransi,
dan intoleransi individual. Pada intoleransi, gejala keracunan akan tampak
walaupun racun yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai level toksik.
Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat bawaan / kongenital atau intoleransi
yang didapat setelah seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan
gangguan pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan ekskresi.
b. Konsentrasi

10
Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal misalnya zat-zat
korosif, konsentrasi lebih penting bila dibandingkan dengan dosis total.
Keadaan tersebut berbeda dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana
dalam hal ini dosislah yang berperan dalam menentukan berat-ringannya akibat
yang ditimbulkan oleh racun tersebut.
c. Bentuk dan kombinasi fisik
Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat menimbulkan efek bila
dibandingkan dengan yang berbentuk padat. Seseorang yang menelan racun
dalam keadaan lambung kosong, tentu akan lebih cepat keracunan bila
dibandingkan dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya
berisi makanan.
d. Adiksi dan sinergisme
Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan alkohol, morfin,
atau CO, dapat menyebabkan kematian, walaupun dosis barbiturate yang
diberikan jauh di bawah dosis letal. Dari segi hukum kedokteran kehakiman,
kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti itu tidak boleh dilupakan,
terutama jika menghadapi kasus dimana kadar racun yang ditemukan rendah
sekali, dan dalam hal demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain
yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang ditemukan), sebelum
kita tiba pada kesimpulan bahwa kematian korban disebabkan karena reaksi
anafilaksi yang fatal atau karena adanya intoleransi.
e. Susunan kimia
Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia tertentu tidak akan
menimbulkan gejala keracunan, tetapi bila diberikan secara tersendiri terjadi hal
yang sebaliknya.
f. Antagonisme
Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan lebih dari satu
macam racun, tetapi tidak mengakibatkan apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi
tersebut saling menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat antagonis
ini dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya nalorfin dan kaloxone yang
dipakai untuk mengatasi depresi pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi
pada keracunan akut obat-obatan golongan narkotik.

11
6. Kriteria Diagnosis Keracunan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengungkap kasus keracunan yaitu1 :
1. Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun (secara
injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa).
Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya sebagai kriteria
diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri – keluarga korban tentunya tidak akan
memberikan keterangan yang benar, bahkan malah cenderung untuk
menyembunyikannya, karena kejadian tersebut merupakan aib bagi pihak keluarga
korban.
2. Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang diduga.
Adanya tanda / gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang bersifat darurat
dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai dengan data-
data klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian sehingga harus dipikirkan
terutama pada kasus yang mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam
keadaan sehat.
3. Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan / obat / zat
yang masuk ke dalam tubuh korban.
Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan korban itu
adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara analisa kimia,
kemungkinan-kemungkinan seperti tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau
si korban menelan semua racun – kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai.
4. Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopik atau
mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun yang
bersangkutan.
Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan, selain untuk
menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk menyingkirkan
kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus
yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini kita
tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat ditemukan adalah
kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan.
5. Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam tubuh
/ jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.
Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa pemeriksaan
tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak memiliki arti dalam hal

12
penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak
boleh terpaku pada dosis letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara
sistematik, diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya
berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban.
Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-kasus keracunan
seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima merupakan kriteria yang terpenting
dan tidak boleh dilupakan.

7. Organophosfat dan Penggolongannya


Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama Perang Dunia
II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Pada tahun 1937, G. Schrader
menyusun struktur dasar organofosfat. Meskipun organofosfat pertama telah disintesis pada
1944, struktur dasar organofosfat baru dipublikasikan pada tahun 1948.Golongan organofosfat
banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang menguntungkan.Cara kerja golongan ini selektif,
tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai
racun kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah
memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai.Golongan
organofosfat sering disebut dengan organic phosphates, phosphoris insecticides, phosphates,
phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoris acid esters. Mereka adalah
derivat dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang.
Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf3,4.

Tabel 2.1 Jenis-Jenis pestisida golongan organophosfat3

13
Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain3,4 :
➢ Asefat, diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan
hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva Lepidoptera
(termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng. LD50 (tikus) sekitar 1.030 – 1.147
mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 10.000 mg/kg menyebabkan iritasi ringan pada kulit
(kelinci).
➢ Kadusafos, merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan racun perut. LD50
(tikus) sekitar 37,1 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak menyebabkan iritasi
kulit dan tidak menyebabkan iritasi pada mata.
➢ Klorfenvinfos, diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat nonsistemik serta
bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang. LD50 (tikus)
sekitar 10 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 31 – 108 mg/kg.
➢ Klorpirifos, merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja
sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi.LD50 oral (tikus) sebesar 135 – 163
mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg berat badan.
➢ Kumafos, ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat non-sistemik untuk
mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 – 41 mg/kg; LD50
dermal (tikus) > 860 mg/kg.
➢ Diazinon, pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan insektisida dan
akarisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek inhalasi.
Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed treatment). LD50 oral
(tikus) sebesar 1.250 mg/kg.
➢ Diklorvos (DDVP), dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Insektisida dan akarisida
ini bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi.
Diklorvos memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di bidang-bidang
pertanian, kesehatan masyarakat, serta insektisida rumah tangga.LD50 (tikus) sekitar 50
mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.
➢ Malation, diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pro-insektisida yang dalam
proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi
serangga. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan
racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan dalam
bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit. LD50 oral (tikus) 1.375
– 2.800 mg/lg; LD50 dermal (kelinci) 4.100 mg/kg.

14
➢ Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang digunakan
di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure yang disarankan oleh G.
Schrader. Paration merupakan insektisida dan akarisida, memiliki mode of action sebagai
racun saraf yang menghambat kolinesterase, bersifat non-sistemik, serta bekerja sebagai
racun kontak, racun lambung, dan racun inhalasi. Paration termasuk insektisida yang sangat
beracun, LD50 (tikus) sekitar 2 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg.
➢ Profenofos, ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini
memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk mengendalikan
berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 358
mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 472 mg/kg.
➢ Triazofos, ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan insektisida, akarisida, dan
nematisida berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Triazofos
bersifat non-sistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam jaringan tanaman (translaminar)
dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat dan tungau. LD50 (tikus)
sekitar 57 – 59 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000 mg/kg.

Gambar 2.1 Beberapa gambaran struktur kimia dari golongan organofosfat4

8. Mekanisme Keracunan Organofosfat


Insektisida golongan organofosfat yang tidak membutuhkan aktifitas metabolic yang
disebut juga dengan inhibitor langsung, dimana akan menghasilkan efek toksik pada daerah
yang kontak langsung, termasuk keringan (berhubungan langsung dengan kulit), miosis atau
pupil pinpoint (kontak dengan mata), dan/atau bronkospasme (kontak dengan pernafasan).
Pada insektisida golongan organofosfat, ada organofosfat dengan inhibisi langsung (yang

15
mengandung = O) dan organofosfat dengan inhibisi tak langsung (yang mengandung = S)
tergantung dari dibutuhkan atau tidaknya pengaktivan metabolic sebelum terjadinya hambatan
pada acetylcholinesterase. Dengan kata lain, senyawa organofosfat indirek harus menjalani
bioaktivasi sehingga menjadi aktif secara biologi. Senyawa organofosfat indirek contohnya
parathion, diazinon, malathion, dan chlorpyrifos menjadi lebih toksik dibandingkan senyawa
induknya5.
Organofosfat diabsorpsi dengan baik melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan dengan
jalan utama pajanan pekerjaan melalui kulit. Setelah diabsorbsi sebagian besar diekskresikan
dalam urin, hamper seluruhnya dalam bentuk metabolit. Metabolit dan senyawa aslinya di
dalam darah dan jaringan tubuh terikat pada protein. Enzim-enzim hidrolitik dan oksidatif
terlibat dalam metabolism senyawa organofosfat. Selang waktu antara absorpsi dan ekskresi
bervariasi. Pada umumnya organofosfat yang diperdagangkan dalam bentuk –thion
(mengandung sulfur) atau yang telah mengalami konversi menjadi –okson (mengandung
oksigen), dalam –okson lebih toksik dari bentuk –thion. Konversi terjadi pada lingkungan
sehingga hasil tanaman pekerja dijumpai pajanan residu yang dapat lebih toksik dari pestisida
yang digunakan. Sebagian besar sulfur dilepaskan ke dalam bentuk mercaptan, yang
merupakan hasil bentuk aroma dari bentuk –thion organofosfat. Mercaptan memiliki aroma
yang rendah, dan reaksi-reaksi bahayanya meliputi sakit kepala, mual, muntah yang selalu
keliru sebagai akibat keracunan akut organofosfat. Konversi dari –thion menjadi -okson juga
dijumpai secara invivo pada metabolism mikrosom hati sehingga –okson menjadi pestisida
bentuk aktif pada hama binatang dan manusia. Hepatik esterase dengan cepat menghidrolisa
organofosfat ester, menghasilkan alkali fosfat dan fenol yang memiliki aktifitas toksikologi
lebih kecil dan cepat diekskresi3,5,6.
Asetilkolin (ACh) adalah penghantar saraf yang berada pada seluruh sistem saraf pusat
(SSP), saraf otonom (simpatik dan parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Asetilkolin bekerja
pada ganglion simpatik dan parasimpatik, reseptor parasimpatik, simpangan saraf otot,
penghantar sel-sel saraf dan medula kelenjar suprarenal. Setelah masuk dalam tubuh, golongan
organofosfat akan mengikat enzim asetilkolinesterase (AChe), sehingga AChe menjadi inaktif
dan terjadi akumulasi asetilkolin. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetilkolin
menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin
meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat

16
dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada
seluruh bagian tubuh. Keadaan ini akan menimbulkan efek yang luas3 .

Gambar 2.2 Reaksi Hidrolisis Asetilkolin Menjadi Asetat dan Kolin oleh Enzim Asetilkolinesterase3

Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan kolinesterase


dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Penghambatan kerja enzim terjadi karena
organofosfat melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.
Potensiasi aktivitas parasimpatik post-ganglionik, mengakibatkan kontraksi pupil, stimulasi
otot saluran cerna, stimulasi saliva dan kelenjar keringat, kontraksi otot bronkial, kontraksi
kandung kemih, nodus sinus jantung dan nodus atrio-ventrikular dihambat. Mula-mula
stimulasi disusul dengan depresi pada sel sistem saraf pusat (SSP) sehingga menghambat pusat
pernafasan dan pusat kejang. Stimulasi dan blok yang bervariasi pada ganglion dapat
mengakibatkan tekanan darah naik atau turun serta dilatasi atau miosis pupil. Kematian
disebabkan karena kegagalan pernafasan dan blok jantung3,6.

9. Gejala Keracunan Organofosfat


Efek dari keracunan organifisfat dapat local (keringat dari kulit yang kontak dengan agen
toksik) ataupun sistemik. Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat biasanya akan muncul
5 menit hingga 12 jam setelah kontak. Diagnosis intoksikasi organofosfat pada umumnya
terjadi 6 jam setelah kontak. Jika gejala muncul 12 jam setelah kontak makan dapat
dipertimbangkan kausa lain dan jika gejala muncul 24 jam setelah kontak maka intoksikasi
organofosfat menjadi samar-samar5.
Tanda dan gejala akut dari intoksikasi organofosfat berhubungan dengan inhibisi
asetilkolinesterase. Manifestasi klinik dari kontak dengan senyawa organofosfat berupa5,7 :
• Efek muskarinik (system parasimpatis) termasuk keringat, hipersalivasi,
hiperlakrimasi, bronchospasme, dyspnea, gejala gastrointestinal (mual, muntah, keram
abdomen, dan diare), miosis (pupil pinpoint), penglihatan kabur, inkontinensia urin,
wheezing, bradikardi.

17
• Efek nikotinik (system saraf simpatis dan motorik) termasuk hipertensi, fasikulasi oto,
keram otot, kelemahan motorik, takikardi, dan paralisis
• Efek CNS termasuk kecemasan, pusing, insomnia, mimpi buruk, sakit kepala, tremor,
bingung, ataksia, koma.
Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat ini dapat digambarkan dalam DUMBELS
: Diare, Urination, Miosis, Bronkospasme, Emesis, Lakrimasi, Salivasi. Tanda dan gejala dari
intoksikasi ini tidak akan terjadi kecuali aktifitas kolineterase sekitar 50 persen atau kurang
dari aktifitas normalnya5.
Tanda dan gejala dari intoksikasi sedang hingga berat akan berubah dalam beberapa hari
hingga minggu. Dalam beberapa kasus intoksikasi organofosfat berat, hal ini bisa terjadi
selama 3 bulan atau sebelum sel darah merah kolinesterase kembali normal. Kematian dari
kasus ini biasanya terjadi karena kegagalan pernafasan mulai dari depresi pusat pernafasan,
paralisis otot-otot pernafasan, dan sekresi bronchial yang berlebihan, edema pulmonal, dan
bronkokonstriksi. Kematian pad keracunan organofosfat yang akut terjadi pada pasien yang
tidak diterapi dalam waktu 24 jam atau pasien yang mendapatkan terapi selama 10 hari. Jika
tidak terjadi anoksia, maka penyembuhan total dapat terjadi, biasanya 10 hari setelah
kontaminasi5.
Pada umumnya, efek kronik dari intoksikasi organofosfat adalah delayed neuropathy.
Beberapa organofosfat dapat memicu neuropathy yang dikenal dengan organophosphate-
induced delayed neuropathy (OPIDN). Jenis organofosfat yang dapat menyebabkan OPIDN
adalah TOCP, mipafox, trichlorphon, leptophos, dan methamidophos. Hal ini menunjukkan
bahwa hanya beberapa senyawa organofosfat yang dapat menyebabkan OPIDN5.
Terjadinya suatu OPIDN tidak berhubungan secara fisilogis dengan inhibisi kolinesterase.
Teori tentang OPIDN mencakup dua proses pada system saraf. Pertama, terjadi fosforilasi pada
protein saraf. Enzim ini disebut dengan neuropathy target esterase (NTE), yang juga dikenal
dengan neurotoxic esterase. Kedua, transformasi dari enzim. Proses ini melibatkan
pembelahan grup R dari fosfor, menghasilkan residu negative yang melekat pada sisi aktif
enzim. Sindrom ini berkembang dalam 8-35 hari sesudah pajanan terhadap organofosfat.
Gejala awal dari OPIDN adalah keram dan kekakuan pada kaki dan kemudian pada tangan.
Selanjutnya, kelemahan akan terjadi pada tungkai bawah. Kelemahan bilateral pada tungkai
(foot drop)dan pergelangan tangan (wrist droop) dapat terjadi dan biasanya reflex tendon tidak
ada atau normal5.

18
Beberapa penelitian tidak mendeteksi adanya gangguan memori permanen atau masalah
psikologi pada individu yang kontak atau keracunan insektisida organofosfat. Walaupun
gejala-gejala neurobehavioral (sakit kepala, bingung, insomnia, dll) dapat terjadi selama fase
akut namun tidak ada gejala neuropsikiatrik yang dapat terjadi5

10. Diagnosis
Kriteria diagnosis pada keracunan adalah8 :
1. Anamnesa kontak antara korban dengan racun.
2. Adanya tanda – tanda serta gejala yang sesuai dengan tanda dan gejala dari keracunan
racun yang diduga.
3. Dari sisa benda bukti harus dapat dibuktikan bahwa na benda bukti tersebut memang
racun yang dimaksud.
4. Dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai
dengan keracunan dari racun yang diduga serta dari bedah mayat tidak ditemukan
adanya penyebab kematian lain.
5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik , harus dapat dibuktikan adanya racun
serta metabolitnya dalam tubuh atau cairan tubuh korban , secara sistemik.
Dalam menentukan jenis zat toksis yang menyebabkan keracunan, seringkali menjadi
rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi di tubuh manusia. Salah satu hal yang
dapaat digunakan untuk mengindentifikasi adalah dengan pemeriksaan biomarker zat toksik.
Biomarker dari suatu paparan zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari suatu
bahan yang mengalami perubahan (metabolism) dalam tubuh (dalam darah, urin, udara, dan
udara pernafasan) contohnya aktifitas asetilkolinesterase dalam darah untuk investigasi kasus
keracunan organofosfat8.
Untuk pemeriksaan toksikologik insektisida perlu diambil darah, jaringan hati, limpa,
paru-paru dan lemak badan. Penentuan kadar AchE dalam darah dan plasma dapat dilakukan
dengan cara tintimeter (Edson) dan cara paper-strip (Acholest)9.
1. Cara Edson : berdasarkan perubahan pH darah
AChE
Ach —— > kolin + asam asetat
Ambil darah korban dan tambahkan indikator brom-timol-biru, diamkan beberapa saat
maka akan terjadi perubahan warna. Bandingkan warna yang timbul dengan warna
standar pada comparator disc (cakram pembanding), maka dapat ditentukan AchE
dalam darah.

19
Tabel 2.2 Interpretasi hasil pemeriksaan dengan cara Edson9

% aktifitas AchE darah Interpretasi

75% – 100% dari normal Tidak ada keracunan

50% – 75% dari normal Keracunan ringan

25% – 50% dari normal Keracunan

0% – 25% dari normal Keracunan berat

2. Cara Acholest :
Ambil serum darah korban dan teteskan pada kertas Acholest bersamaan dengan
kontrol serum darah normal. Pada kertas Acholest sudah terdapat Ach dan indikator.
Waktu perubahan warna pada kertas tersebut dicatat. Perubahan warna harus sama
dengan perubahan warna pembanding (serum normal) yaitu warna kuning telur.
Interpretasi :
Kurang dari 18 menit → tidak ada keracunan
20-35 menit → keracunan ringan
35-150 menit → keracunan berat
Pemeriksaan toksikologi dapat dilakukan dengan cara9 :
1. Kristalografi :
Bahan yang dicurigai berupa sisa makanan/ minuman, muntahan, isi lambung dimasukkan
ke dalam gelas beker dipanaskan dalam pemanas air sampai kering, kemudian dilarutkan
dalam aceton dan disaring dengan kertas saring. Filtrate yang didapat, diteteskan dalam
gelas arloji dan dipanaskan sampai kering, kemudian dilihat di bawah mikroskop. Bila
terbentuk Kristal-kristal seperti sapu, ini adalah golongan hidrokarbon terklorinasi.
2. Kromatografi lapisan tipis (TLC)
Kaca berukuran 20 x 20 cm, dilapisi dengan absorben gel silikat atau dengan aluminium
oksida, lalu dipanaskan dalam oven 110 derajat celcius selama 1 jam. Filtrat yang akan
diperiksa (hasil ekstraksi dari darah atau jaringan korban) diteteskan dengan mikropipet
pada kaca. Disertai dengan tetesan lain yang telah diketahui golongan dan jenis serta
konsentrasinya sebagai pembanding. Ujung kaca TLC dicelupkan ke dalam pelarut,
biasanya n-Hexan. Celupan tidak boleh mengenai tetesan tersebut di atas. Dengan daya

20
kapilaritas maka pelarut akan ditarik ke atas sambil melarutkan filtrat-filtrat tadi. Setelah itu
kaca TLC dikeringkan lalu disemprot dengan reagensia Paladium klorida 0,5% dalam HCl
pekat, kemudian dengan Difenilamin 0,5% dalam alkohol.
Hasilnya :
Warna hitam (gelap) berarti golongan hidrokarbon terklorinasi. Warna hijau dengan
dasar dadu berarti golongan organofosfat. Untuk menentukan jenis dalam golongannya
dapat dilakukan dengan menentukan Rf masing-masing bercak.
Rf = jarak yang ditempuh bercak
Jarak yang ditempuh pelarut
Angka yang didapat dicocokan dengan standar, maka jenisnya dapat ditentukan.
Dengan membandingkan besar bercak dan intensitas warnanya dengan pembanding, dapat
diketahui konsentrasi secara semikuantitatif.
Selain analisa toksikologi, pemeriksaan post mortem juga merupakan hal yang
penting pada kasus keracunan.
A. Pemeriksaan Luar10
1. Pakaian. Perhatikan apakah ada bercak – bercak racun, distribusi dari bercak dan bau
bercak tersebut. Dari distribusi bercak racun kita dapat memperkirakan cara kematian,
apakah bunuh diri atau pembunuhan. Pada kasus bunuh diri, distribusi bercak
biasanya teratur pada bagian depan, tengah dari pakaian. Sedangkan pada kasus
pembunuhan, distribusi bercak biasanya tidak teratur.
2. Lebam mayat ( livor mortis ).Lebam mayat pada kasus keracunan organofosfat
menunjukkan warna yang sama dengan keadaan kematian normal, yaitu warna lebam
mayat adalah livide. Hal ini berbeda dengan keracunan CO dimana lebam akan
berwarna cherry red ( = warna COHb ). Pada keracunan sianida, lebam akan berwarna
merah terang ( = warna HbO2 ), karena kadar HbO2 dalam darah vena tinggi.
3. Bau yang keluar dari mulut dan hidung. Dilakukan dengan jalan menekan dada dan
kemudian mencium bau yang keluar dari mulut dan hidung, kita dapat mengenali bau
khas dari bahan pelarut yang dipakai untuk melarutkan insektisida ( transflutrin ).
B. Pemeriksaan Dalam10
Pada pemeriksaan dalam kasus keracunan ( secara umum ), umumnya tidak akan
dijumpai kelainan – kelainan yang khas atau yang spesifik yang dapat dijadikan pegangan
untuk menegakan diagnosis/menentukan sebab kematian karena keracunan sesuatu zat. Hanya
sedikit dari racun – racun yang dapat dikendalikan berdasarkan kelainan – kelainan yang
ditemukan pada saat pemeriksaan mayat. Pada kasus keracunan organofosfat ini juga tidak

21
dijumpai adanya kelainan yang khas. Beberapa kelainan yang didapat menunjukkan tanda –
tanda yang berhubungan dengan edema serebri, edema pulmonum dan konvulsi. Bau dari zat
pelarut mungkin dapat dideteksi. Diagnosis dapat ditegakan dari riwayat penyakit, gejala
keracunan yang kompleks dan tidak khas serta dari pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan
kromatografi lapisan tipis (thin layer chromatography), spektrofotometrik dan gas
kromatografi.
Jadi jelaslah bahwa pemeriksaan analisa kimia ( pemeriksaan toksikologi ) untuk menentukan
adanya racun dan menentukan sebab kematian korban mutlak dilakukan pada setiap kasus
keracunan atau yang diduga mati akibat racun. Pembedahan mayat berguna untuk
menyingkirkan kemungkinan – kemungkinan lain sebagai penyebab kematian dan bermamfaat
untuk memberikan pengarahan pemeriksaan toksikologi.

2.11. Penanganan
Penanganan yang dapat diberikan pada pasien dengan keracunan organofosfat yaitu2,5 :
• Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM. Dosis besar ini tidak
berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 10 – 15 menit sampai
terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan
mulut kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini harus
dipertahankan selama 24 – 48 jam, karena gejala-gejala keracunan organofosfat
biasanya muncul kembali. Pada hari pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg
atropin. Kemudian atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg selang beberapa jam,
tergantung kebutuhan. Atropin akan menghilangkan gejala –gejala muskarinik perifer
(pada otot polos dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernafasan diperbaiki karena
atropin melawan brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi
pernafasan di otak, tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot
rangka yang berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot
pernafasan.
• Pralidoksim. Diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan
reaktivator enzim kolinesterase. Jika pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah
keracunan, keefektifannya dipertanyakan. Dosis normal yaitu 1 gram pada orang
dewasa. Jika kelemahan otot tidak ada perbaikan, dosis dapat diulangi dalam 1 – 2 jam.
Pengobatan umumnya dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam kecuali pada kasus pajanan
dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau pajanan kronis. Pralidoksim dapat

22
mengaktifkan kembali enzim kolinesterase pada sinaps-sinaps termasuk sinaps dengan
otot rangka sehingga dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka.

2.12. Pencegahan
Cara-cara pencegahan keracunan pestisida yang mungkin terjadi pada pekerja pekerja
pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai berikut3 :
a. Penyimpanan pestisida :
1. Pestisida harus disimpan dalam wadah wadah yang diberi tanda, sebaiknya tertutup dan
dalam lemari terkunci.
2. Campuran pestisida dengan tepung atau makanan tidak boleh disimpan dekat makanan.
Campuran yang rasanya manis biasanya paling berbahaya. Tanda-tanda harus jelas juga
untuk mereka yang buta huruf.
3. Tempat-tempat bekas menyimpan yang telah tidak dipakai lagi harus dibakar agar sisa
pestisida musnah sama sekali.
4. Penyimpanan di wadah-wadah untuk makanan atau minuman seperti di botol-botol,
sangat besar bahayanya.
b. Pemakaian alat-alat pelindung :
1. Pakailah masker dan adakanlah ventilasi keluar setempat selama melakukan
pencampuran kering bahan-bahan beracun.
2. Pakailah pakaian pelindung, kacamata, dan sarung tangan terbuat dari neopren, jika
pekerjaan dimaksudkan untuk mencampur bahan tersebut dengan minyak atau pelarut-
pelarut organis. Pakaian pelindung harus dibuka dan kulit dicuci sempurna sebelum
makan.
3. Pakaialah respirator, kacamata, baju pelindung, dan sarung tangan selama menyiapkan
dan menggunakan semprotan, kabut, atau aerosol, jika kulit atau paru-paru mungkin
kontak dengan bahan tersebut.
Cara-cara pencegahan lainnya :
1. Selalu menyemprot ke arah yang tidak memungkinkan angin membawa bahan, sehingga
terhirup atau mengenai kulit tenaga kerja yang bersangkutan.
2. Hindarkan waktu kerja lebih dari 8 jam sehari bekerja di tempat tertutup dengan penguap
termis, juga alat demikian tidak boleh digunakan di tempat kediaman penduduk atau di
tempat pengolahan bahan makanan.
3. Janganlah disemprot tempat-tempat yang sebagian tubuh manusia akan bersentuhan
dengannya.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Santoso, Jihad. Keracunan Arsenik. [online] April, 2012 [accessed April 12, 2012] ;
Available from URL : http://forpapjs.blogspot.com/2005/06/forensic-paper.html.

2. Mun’im, Abdul. Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Binarupa Aksara . Jakarta : 1997.
Hal 329-46

3. Asti, Yodenca. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida


Organofosfat, Karbamat Dan Kejadian Anemia pada Petani Hortikultura Di Desa
Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro Semarang. 2008.
4. Joseph Fenton. Insecticides In : Toxicology A case-Oriented Approach. CRC Press.
Washington D.C : 2002.
5. Philip Wiliiams, dkk. Properties and Effects of Pesticides In : Priciple of Toxicology.
A Wiley – Interscience Publication. New York. 2000. Hal. 345-51
6. Sari Lubis, Halinda. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Keracunan Pestisida Golongan
Organofosfat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 2002.
7. Hodgson Ernest. A Textbook of Modern Toxicology. A John Wiley & Sons, Inc
Publication. New Jersey. 2004. Hal. 54-64
8. Budiawan. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus Keracunan dan
Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensik Sciences.Jakarta.
2008. Hal 35-9
9. Budiyanto A, Widiatmo W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A Sidhi, Hertian S, et al.
Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. Hal. 121-8
10. Saputra, Tri. Keracunan Baygon. [online] April, 2012 [accessed April 14, 2012] ;
Available from URL : http://dokmud.wordpress.com/2009/10/24/keracunan-baygon/

24

Anda mungkin juga menyukai