KERACUNAN ORGANOFOSFAT
Disusun Oleh:
Parameswary (100100419)
Pembimbing:
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
yang telah memberikan berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan sari pustaka ini yang berjudul “Keracunan
Organofosfat”.
Penulisan sari pustaka ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Forensik,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, RSUP H.Adam Malik Medan.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Agustinus Sitepu, M.Ked(For), Sp.F yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan banyak masukan dalam proses penyusunan sari pustaka ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan sari pustaka ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga untuk itu penulis berharap agar pembaca dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun sebagai koreksi bagi penulis untuk
mendapatkan sari pustaka yang lebih baik. Semoga sari pustaka ini bermanfaat,
akhir kata kami selaku penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
2.3.5 Patofisiologi Keracunan Organofosfat ................................... 75
2.3.6 Manifestasi Klinis Keracunan Organofosfat .......................... 78
2.3.7 Diagnosis Keracunan Organofosfat ....................................... 81
2.3.8 Tatalaksana Keracunan Organofosfat .................................... 84
BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 88
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
berkembang. Tiga puluh persen dari pestisida yang diekspor dari Amerika Serikat
dilarang untuk digunakan di Amerika Serikat. Jumlah anak yang terkena mungkin
akan lebih besar di negara-negara berkembang dimana anak diharapkan untuk
bekerja di pertanian keluarga atau dapat disewa sebagai buruh. Pekerjaan dengan
paparan organofosfat adalah penyebab paling umum dari toksisitas, terutama ketika
tidak menggunakan alat pelindung diri dan kurang berhati-hati dalam
penggunaannya. Golongan insektisida merupakan salah satu penyebab keracunan
yang paling sering di Indonesia.
Organofosfat merupakan insektisida yang paling sering digunakan di seluruh
dunia. Pada tahun 1930, organofosfat digunakan sebagai insektisida, tetapi militer
Jerman mengembangkan zat ini sebagai neurotoksin dalam Perang Dunia II.
Senyawa organofosfat merupakan kelompok senyawa yang memiliki potensi dan
bersifat toksik di alam serta mekanisme kerjanya melalui penghambatan
kolinesterase yang mengakibatkan sasaran mengalami kelumpuhan dan
menyebabkan kematian. Organofosfat menghasilkan sindrom klinis yang dapat
diobati secara efektif jika dikenal secara dini.2,3
1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis agar dapat lebih mengetahui
dan memahami mengenai Keracunan Organofosfat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toksikologi
2.1.1 Perkembangan Awal Toksikologi
Sejak perkembangan peradaban manusia dalam mencari makanannya, tentu
telah mencoba beragam bahan baik botani, nabati, maupun dari mineral. Melalui
pengalamannya ini, mereka mengenal makanan yang aman dan berbahaya. Dalam
konteks ini kata makanan dikonotasikan ke dalam bahan yang aman bagi tubuhnya
jika disantap, bermanfaat serta diperlukan oleh tubuh agar dapat hidup atau
menjalankan fungsinya. Sedangkan kata racun merupakan istilah yang digunakan
untuk menjelaskan dan menggambarkan berbagai bahan ”zat kimia” yang dengan
jelas berbahaya bagi badan.
Kata racun ”toxic” berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata tox,
dimana dalam bahasa Yunani berarti panah. Panah pada saat itu digunakan sebagai
senjata dalam peperangan, yang pada anak panahnya selalu terdapat racun. Di
dalam “Papyrus Ebers (1552 S.M.)” orang Mesir kuno memuat informasi lengkap
tentang pengobatan dan obat. Di Papyrus ini juga memuat ramuan untuk racun,
seperti antimon (Sb), tembaga, timbal, hiosiamus, opium, terpentine, dan verdigris
(kerak hijau pada permukaan tembaga). Sedangkan di India (500-600 S.M.) di
dalam Charaka Samhita disebutkan bahwa tembaga, besi, emas, timbal, perak,
seng, bersifat sebagai racun, dan di dalam Susrata Samhita banyak tertulis racun
dari makanan, tananaman, hewan, dan penangkal racun gigitan ular.
Hippocrates (460-370 S.M.), dikenal sebagai bapak kedokteran, disamping itu
dia juga dikenal sebagai toksikolog di zamannya. Dia banyak menulis tentang racun
bisa ular dan di dalam bukunya juga menggambarkan bahwa orang Mesir kuno
telah memiliki pengetahuan penangkal racun, yaitu dengan menghambat laju
absorpsi racun dari saluran pencernaan. Disamping beberapa nama besar toksikolog
pada zaman ini, terdapat satu nama yang perlu mendapat catatan di sini, yaitu
Pendacious Dioscorides (50 M), dikenal sebagai bapak Materia Medika, seorang
3
dokter tentara. Di dalam bukunya dia mengelompokkan racun dari tanaman, hewan,
dan mineral.
Hal ini membuktikan, bahwa efek berbahaya (toksik) yang ditimbulkan oleh
zat racun (tokson) telah dikenal oleh manusia sejak awal perkembangan peradaban
manusia. Oleh manusia efek toksik ini banyak dimanfaatkan untuk tujuan seperti
membunuh atau bunuh diri. Untuk mencegah keracunan, orang senantiasa berusaha
menemukan dan mengembangkan upaya pencegahan atau menawarkan racun.
Usaha ini seiring dengan perkembangan toksikologi itu sendiri. Namun, evaluasi
yang lebih kritis terhadap usaha ini baru dimulai oleh Maimonides (1135-1204)
dalam bukunya yang terkenal “Racun dan Andotumnya”.
Sumbangan yang lebih penting bagi kemajuan toksikologi terjadi pada abad
ke-16 dan sesudahnya. Paracelcius adalah nama samaran dari Philippus Aureolus
Theophratus Bombast von Hohenheim (1493-1541), seorang toksikolog besar yang
pertama kali meletakkan konsep dasar dari toksikologi. Dalam postulatnya
menyatakan: “Semua zat adalah racun dan tidak ada zat yang tidak beracun, hanya
dosis yang membuatnya menjadi tidak beracun”. Pernyataan-pernyataan ini
menjadi dasar bagi konsep hubungan dosis reseptor dan indeks terapi yang
berkembang di kemudian hari.
Matthieu Joseph Bonaventura Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi
modern. Ia adalah orang Spayol yang terlahir di pulau Minorca, yang hidup antara
tahun 1787 sampai tahun 1853. Pada awal karirnya ia mempelajari kimia dan
matematika, dan selanjutnya mempelajari ilmu kedokteran di Paris. Dalam
tulisannya (1814-1815) mengembangkan hubungan sistematik antara suatu
informasi kimia dan biologi tentang racun. Dia adalah orang pertama yang
menjelaskan nilai pentingnya analisis kimia untuk membuktikan bahwa
simtomatologi yang ada berkaitan dengan adanya zat kimia tertentu di dalam badan.
Orfila juga merancang berbagai metode untuk mendeteksi racun dan menunjukkan
pentingnya analisis kimia sebagai bukti hukum pada kasus kematian akibat
keracunan. Orfila bekerja sebagai ahli medikolegal di Sorbonne di Paris. Orfila
memainkan peranan penting pada kasus LaFarge (kasus pembunuhan dengan arsen)
di Paris, dengan metode analisis arsen, ia membuktikan kematian diakibatkan oleh
4
keracunan arsen. M.J.B. Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi modern karena
minatnya terpusat pada efek zat tokson, selain itu karena ia memperkenalkan
metodologi kuantitatif ke dalam studi aksi zat tokson pada hewan, pendekatan ini
melahirkan suatu bidang toksikologi modern, yaitu toksikologi forensik. Dalam
bukunya Traite des poison, terbit pada tahun 1814, dia membagi racun menjadi
enam kelompok, yaitu: corrosives, astringents, acrids, stupefying atau narcotic,
narcoticacid, dan septica atau putreficants.
Toksikologi modern merupakan bidang yang didasari oleh multidisiplin ilmu,
yang dapat dengan bebas meminjam beberapa ilmu dasar, untuk mempelajari
interaksi antara tokson dan mekanisme biologi yang ditimbulkan. Ilmu toksikologi
ditunjang oleh berbagai ilmu dasar, seperti kimia, biologi, fisika, matematika.
Kimia analisis dibutuhkan untuk mengetahui jumlah tokson yang melakukan ikatan
dengan reseptor sehingga dapat memberikan efek toksik. Bidang ilmu biokimia
diperlukan untuk mengetahui informasi penyimpangan reaksi kimia pada
organisme yang diakibatkan oleh xenobiotik. Perubahan biologis yang diakibatkan
oleh xenobiotik dapat diungkap melalui bantuan ilmu patologi, immunologi, dan
fisiologi. Untuk mengetahui efek berbahaya dari suatu zat kimia pada suatu sel,
jaringan atau organisme memerlukan dukungan ilmu patologi, yaitu dalam
menunjukkan perubahan wujud atau perubahan makroskopik, mikroskopik, atau
submikroskopik dari normalnya. Perubahan biologis akibat paparan toksin dapat
termanisfestasi dalam bentuk perubahan sistem kekebalan (imun) tubuh, untuk itu
diperlukan bidang ilmu imunologi guna lebih dalam mengungkap efek toksik pada
sistem kekebalan organisme.
Bidang yang paling berkaitan dengan toksikologi adalah farmakologi, karena
ahli farmakologi harus memahami tidak hanya efek bermanfaat zat kimia, tetapi
juga efek berbahayanya yang mungkin diterapkan pada penggunaan terapi.
Farmakologi pada umumnya menelaah efek toksik, mekanisme kerja toksik,
hubungan dosis respon dari suatu tokson.
5
Gambar 2.1 Hubungan ilmu dasar dan terapan dengan cabang toksikologi.4
6
mekanisme biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi
bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi
seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem
biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan
berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
Pada umumnya efek berbahaya atau efek farmakologik timbul apabila terjadi
interaksi antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat
dua aspek yang harus diperhatikan dalam mempelajari interaksi antara zat kimia
dengan organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek
farmakodinamik atau toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif
(aspek farmakokinetik atau toksokinetik).
Telah dipostulatkan oleh Paracelcus, bahwa sifat toksik suatu tokson sangat
ditentukan oleh dosis (konsentrasi tokson pada reseptornya). Artinya kehadiran
suatu zat yang berpotensial toksik di dalam suatu organisme belum tentu
menghasilkan juga keracunan. Misal insektisida rumah tangga (DDT) dalam dosis
tertentu tidak akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi manusia, namun pada
dosis tersebut memberikan efek yang mematikan bagi serangga. Hal ini disebabkan
karena konsentrasi tersebut berada jauh di bawah konsentrasi minimal efek pada
manusia. Namun sebaliknya apabila kita terpajan oleh DDT dalam waktu yang
relatif lama, dimana telah diketahui bahwa sifat DDT yang sangat sukar terurai di
lingkungan dan sangat lipofilik, akan terjadi penyerapan DDT dari lingkungan ke
dalam tubuh dalam waktu relatif lama. Sifat fisiko-kimia dari DDT mengakibatkan
DDT akan terakumulasi (tertimbun) dalam waktu yang lama di jaringan lemak
sehingga apabila batas konsentrasi toksiknya terlampaui, barulah akan muncul efek
toksik. Efek atau kerja toksik seperti ini lebih dikenal dengan efek toksik yang
bersifat kronis.
Toksin Clostridium botulinum adalah salah satu contoh tokson, dimana dalam
konsentrasi yang sangat rendah (10-9 mg/kg berat badan), sudah dapat
mengakibatkan efek kematian. Berbeda dengan metanol yang baru bersifat toksik
pada dosis yang melebihi 10 g. Pengobatan parasetamol yang direkomendasikan
dalam satu periode 24 jam adalah 4 g untuk orang dewasa dan 90 mg/kg untuk anak-
7
anak. Namun pada penggunaan lebih dari 7 g pada orang dewasa dan 150 mg/kg
pada anak-anak akan menimbulkan efek toksik. Dengan demikian, risiko keracunan
tidak hanya tergantung pada sifat zatnya sendiri, tetapi juga pada kemungkinan
untuk berkontak dengannya dan pada jumlah yang masuk dan diabsorpsi. Dengan
kata lain, tergantung pada cara kerja, frekuensi kerja dan waktu kerja. Semua kerja
dari suatu obat yang tidak mempunyai sangkut paut dengan indikasi obat yang
sebenarnya dapat dinyatakan sebagai kerja toksik.
Kerja midriatik (pelebaran pupil), dari sudut pandangan ahli mata merupakan
efek terapi yang diinginkan, namun kerja hambatan sekresi dilihat sebagai kerja
samping yang tidak diinginkan. Bila seorang ahli penyakit dalam menggunakan zat
yang sama untuk terapi, lazimnya keadaan ini menjadi terbalik. Pada seorang anak
yang tanpa menyadarinya telah memakan buah Atropa belladonna, maka midriaris
maupun mulut kering harus dilihat sebagai gejala keracunan. Oleh sebab itu,
mekanisme terapeutik maupun mekanisme toksik tidak pernah dinilai secara
mutlak. Hanya tujuan penggunaan suatu zat yang mempunyai kerja farmakologi
dan dengan demikian sekaligus berpotensial toksik, memungkinkan untuk
membedakan apakah kerjanya sebagai obat atau sebagai zat racun.
Tidak jarang dari hasil penelitian toksikologi, justru diperoleh senyawa obat
baru. Seperti penelitian racun (glikosida digitalis) dari tanaman Digitalis purpurea
dan lanata, yaitu diperoleh antikoagulan yang bekerja tidak langsung, yang
diturunkan dari zat racun yang terdapat di dalam semanggi yang busuk. Inhibitor
asetilkolinesterase jenis ester fosfat, pada mulanya dikembangkan sebagai zat kimia
untuk perang, kemudian digunakan sebagai insektisida dan kini juga dipakai untuk
menangani glaukoma.
Mengadopsi konsep dasar yang dikemukakan oleh Paracelcius, manusia
menggolongkan efek yang ditimbulkan oleh zat tokson menjadi konsentrasi batas
minimum yang memberikan efek, daerah konsentrasi yang memberikan efek yang
menguntungkan (efek terapeutik, lebih dikenal dengan efek farmakologi), batas
konsentrasi dimana sudah memberikan efek berbahaya (konsentrasi toksik), dan
konsentrasi tertinggi yang dapat menimbulkan efek kematian. Agar dapat
menetapkan batasan konsentrasi ini toksikologi memerlukan dukungan ilmu kimia
8
analisis, biokimia, maupun kimia instrumentasi, serta hubungannya dengan biologi.
Ilmu statistik sangat diperlukan oleh toksikologi dalam mengolah baik data
kualitatif maupun data kuantitatif yang nantinya dapat dijadikan sebagai besaran
ekspresi parameter-parameter angka yang mewakili populasi.
9
Masih dijumpai subdisiplin toksikologi lainnya selain tiga golongan besar
diatas, seperti toksikologi analisis, toksikologi klinik, toksikologi kerja, toksikologi
hukum, dan toksikologi mekanistik.
Untuk menegakkan terapi keracunan yang spesifik dan terarah, diperlukan
kerjasama antara dokter dan toksikolog klinik. Hasil analisis toksikologi dapat
memastikan diagnosis klinis, dimana diagnosis ini dapat dijadikan dasar dalam
melakukan terapi yang cepat dan tepat, serta lebih terarah, sehingga ancaman
kegagalan pengobatan (kematian) dapat dihindarkan. Analisis toksikologi klinik
dapat berupa analisis kualitatif maupun kuantitatif. Dari hasil analisis kualitatif
dapat dipastikan bahwa kasus keracunan adalah memang benar diakibatkan oleh
intoksikasi. Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat diperoleh informasi
tingkat toksisitas pasien. Dalam hal ini diperlukan interpretasi konsentrasi toksikan,
baik di darah maupun di urin yang lebih seksama. Untuk mengetahui tepatnya
tingkat toksisitas pasien, biasanya diperlukan analisis toksikan yang berulang baik
dari darah maupun urin. Dari perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh
gambaran apakah toksisitas pada fase eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi.
Keracunan mungkin terjadi akibat pejanan tokson di tempat kerja. Hal ini
mungkin dapat mengkibatkan efek buruk yang akut maupun kronik. Efek toksik
yang ditimbulkan oleh kesehatan dan keselamatan kerja merupakan masalah bidang
toksikologi kerja. Toksikologi kerja merupakan subbagian dari toksikologi
lingkungan.
Toksikologi hukum mencoba melindungi masyarakat umum dari efek
berbahaya tokson dengan membuat undang-undang, peraturan, dan standar yang
membatasi atau melarang penggunaan zat kimia yang sangat beracun, juga dengan
menentukan syarat penggunaan zat kimia lainnya. Gambaran lengkap tentang efek
toksik sangat diperlukan untuk menetapkan peraturan dan standar yang baik. Profil
semacam itu hanya dapat ditentukan lewat berbagai jenis penelititan toksikologi
yang relevan dan ini membentuk dasar bagi toksikologi hukum.
10
2.1.4 Perkembangan Toksikologi
Dalam perkembangan beradaban modern, masyarakat menuntut perbaikan
kondisi kesehatan dan kehidupan, diantaranya makanan bergizi, mutu kesehatan
yang tinggi, pakaian, dan transportasi. Untuk memenuhi tujuan ini, berbagai jenis
bahan kimia harus diproduksi dan digunakan, banyak diantaranya dalam jumlah
besar. Diperkirakan beribu-ribu bahan kimia telah diproduksi secara komersial baik
di negara-negara industri maupun di negara berkembang. Melalui berbagai cara
bahan kimia ini kontak dengan penduduk, dari terlibatnya manusia pada proses
produksi, distribusi ke konsumen, dan terakhir pada tingkat pemakai.
Meningkatnya jumlah penduduk dunia menuntut, salah satunya
meningkatnya jumlah produksi pangan. Dalam hal ini diperlukan bahan kimia,
seperti pupuk, pestisida, dan herbisida. Tidak jarang pemakaian pestisida yang tidak
sesuai dengan aturan, atau berlebih justru memberi beban pencemaran terhadap
lingkungan, perubahan ekosistem, karena pembasmian pada salah satu organisme
akan berefek pada rantai makanan dari organisme tersebut, sehingga dapat juga
mengakibatkan berkurangnya atau bahkan musnahnya predator organisme tersebut.
Pemakaian pestisida mengakibatkan mutasi genetika dari organisme tersebut,
sehingga pada akhirnya melahirkan mutan yang justru resisten terhadap pestisida
jenis tertentu. Pemakaian pertisida yang tidak benar juga merupakan salah satu
penginduksi toksisitas kronik (menahun). Petani berkeinginan mendapatkan untung
yang tinggi dari hasil pertaniannya, tidak jarang penyemprotan pestisida berlebih
justru dilakukan pada produk pertanian satu sampai dua hari sebelum panen, dengan
tujuan buah atau daun sayuran tidak termakan hama sebelum panen. Melalui cara
ini akan diperoleh buah atau sayuran yang masak dan tidak termakan oleh hama.
Namun tindakan ini justru membahayakan konsumen, karena pestisida
kemungkinan dapat terakumulasi secara perlahan di dalam tubuh konsumen,
melalui konsumsi buah atau sayuran yang sebelumnya diberikan pestisida sebelum
panen.
Banyaknya kasus keracunan masif akut dan keracunan kronik yang
diakibatkan oleh pencemaran lingkungan akibat proses produksi, seperti pada tahun
1930 di Detroit, Mich. kontaminasi ginger jake oleh Tri-o-kresil, mengakibatkan
11
neurotoksis, telah mengakibatkan keracunan saraf pada 16 ribu penduduk. Di
London pada tahun 1952, terjadi peningkatan jumlah kematian penduduk akibat
penyakit jantung dan paru-paru. Hal ini disebabkan oleh kontaminasi udara oleh
belerang dioksida dan partikel tersuspensi, yang merupakan limbah buangan pabrik
di Inggris pada saat itu.
Penyakit Minamata di Jepang pada tahun 1950-an diakibatkan karena
pembuangan limbah industri yang mengandung metil merkuri ke teluk Minamata,
yang mengakibatkan ikan di teluk tersebut terkontaminasi oleh metil merkuri. Ikan
terkontaminasi ini dikonsumsi oleh penduduk di sekitar teluk, mengakibatkan
deposisi (pengendapan) metil merkuri di dalam tubuh. Metil merkuri adalah
senyawa toksik yang mengakibatkan penyakit neurologik berat, salah satunya
mengakibatkan kebutaan.
Pada akhir 1950-an sampai awal tahun 1960-an, di Eropa Barat terjadi kasus
keracunan yang dikenal dengan kasus Talidomid. Talidomid adalah senyawa kimia
yang awalnya disintesis untuk obat penekan rasa mual dan muntah. Karena efeknya
tersebut, Talidomid pada waktu itu banyak diresepkan pada ibu hamil dengan
tujuan menekan mual-mutah yang sering muncul pada trimester pertama pada
kehamilan. Efek samping yang muncul dari pemakaian ini adalah terlahir janin
dengan pertumbuhan organ tubuh yang tidak lengkap, belakangan diketahui bahwa
salah satu dari bentuk rasemat Talidomid ini mempunyai efek menghambat
pertumbuhan organ tubuh pada janin di masa kandungan.
Salah satu contoh, kasus pencemaran lingkungan di Indonesia akibat proses
produksi adalah kasus teluk Buyat. Sampai saat ini masih kontroversial
didiskusikan.
Kejadian-kejadian di atas dan peristiwa tragis keracunan masif lainnya telah
menghasilkan program pengujian yang lebih intensif, yang telah mengungkapkan
beragamnya sifat dan sasaran efek toksik. Pada gilirannya ini menuntut lebih
banyak penelitian pada hewan, lebih banyak indikator toksisitas, persyaratan yang
lebih ketat sebelum suatu bahan kimia baru dapat dilepas pemakaiannya ke
masyarakat, serta melakukan evaluasi dan pemantauan efek toksik senyawa kimia
yang telah beredar dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, ada
12
kebutuhan untuk mempermudah tugas penilaian toksikologi atas begitu banyak
bahan kimia, dimana prosedur pengujian toksisitasnya menjadi semakin kompleks.
Untuk memenuhi kebutuhan ini, beberapa kriteria telah diajukan dan dipakai untuk
memilih bahan kimia yang akan diuji menurut prioritasnya. Disamping itu, “sistem
penilaian berlapis” memungkinkan keputusan dibuat pada berbagai tahap pengujian
toksikologi, sehingga dapat dihindarkan penelitian yang tidak perlu. Prosedur ini
sangat berguna dalam pengujian karsinogenisitas, mutagenisitas, dan
imunotoksisitas karena besarnya biaya yang terlibat dan banyaknya sistem uji yang
tersedia.
Karena banyaknya orang yang terpajan dengan bahan-bahan kimia ini, maka
kita harus berupaya mencari pengendalian yang tepat sebelum terjadi kerusakan
yang hebat. Karena itu, bila mungkin, ahli toksikologi modern harus mencoba
mengidentifikasikan berbagai indikator pajanan dan tanda efeknya terhadap
kesehatan yang dini dan reversibel. Hal ini penting untuk menentukan ketentuan
keputusan, pada saat yang tepat untuk melindungi kesehatan masyarakat baik
sebagai individu yang bekerja maupun masyarakat yang terpajan. Pencapaian di
bidang ini telah terbukti dapat membantu pemerintah yang bertanggungjawab
dalam menjalankan surveilan medik yang sesuai pada pekerja atau masyarakat yang
terpajan. Contoh yang menonjol adalah penggunaan penghambat kolinesterase
sebagai indikator pajanan pestisida organofosfat dan berbagai parameter biokimia
untuk memantau pajanan timbal. Menggunakan indikator biologi seperti jenis ikan
tertentu untuk memantau tingkat cemaran limbah cair industri sebelum dinyatakan
aman untuk dilepaskan ke lingkungan. “Petanda biologik” semacam itu
dimaksudkan untuk mengukur pajanan terhadap toksikan atau efeknya selain untuk
mendeteksi kelompok masyarakat yang rentan.
Kemajuan yang dicapai dalam bidang biokimia dan toksokinetik, toksikologi
genetika, imunotoksikologi, morfologi pada tingkat subsel, serta perkembangan
ilmu biologi molekuler berperan dalam memberikan pengertian yang lebih baik
tentang sifat, tempat, dan cara kerja berbagai toksikan. Misalnya perkembangan
bidang ilmu tersebut dapat memberikan berbagai metode uji toksikologi secara in
vitro, dimana target uji langsung pada tingkat sel, seperti uji senyawa yang
13
mengakibatkan kerusakan sel hati (hepatotoksik) dapat dilakukan langsung pada
kultur sel hati secara in vitro, atau uji toksikan yang mempunyai sifat sebagai
karsinogen juga dapat dilakukan pada kultur sel normal. Di sini dilihat tingkat
pertumbuhan sel dan perubahan DNA yang dialami oleh sel akibat pajanan toksikan
uji. Banyak lagi metode uji in vitro yang sangat bermanfaat dalam menunjang
perkembangan ilmu toksikologi itu sendiri.
Sebagai salah satu wujud perlindungan kesehatan masyarakat, ahli
toksikologi akan selalu terlibat dalam menentukan batas pajanan yang aman atau
penilaian risiko dari pajanan. Batas pajanan yang aman mencakup asupan (intake)
harian yang diperbolehkan, dan “nilai ambang batas” dari toksikan yang masih
dapat ditolerir, sedangkan penilaian risiko digunakan dalam hubungan dengan efek
bahan yang diketahui tidak berambang batas atau ambang batasnya tidak dapat
ditentukan. Penentuan ini merupakan penelitian menyeluruh tentang sifat toksik,
pembuktian dosis yang aman, penentuan hubungan dosis-efek dan dosis-respon,
serta penelitian toksokinetik, biotransformasi.
Meluasnya bidang cakupan dan semakin banyaknya subdisiplin toksikologi
seperti digambarkan di atas memberikan gambaran tersendiri tentang kemajuan
akhir dalam toksikologi.
14
prasyarat bahwa dalam pengembangan obat baru harus dibarengi baik uji toksisitas
akut maupun toksisitas kronis, dengan persyaratan uji yang ketat. Penilaian tentang
keamanannya merupakan tantangan dan tanggung jawab toksikologi.
Karena imbauan masyarakat untuk mengurangi penggunaan hewan coba
dengan alasan perikemanusiaan, maka lebih sering digunakan organ terisolasi,
jaringan biakan, sel, dan bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah. Sistem ini
memiliki banyak keuntungan, seperti pengujian yang lebih cepat dan lebih murah,
meningkatkan keragaman penelitian terutamanya yang berkaitan dengan
mekanisme keracunan. Dengan meningkatnya tuntutan ini akan mendorong
perbaikan prosedur pengujian yang lebih sederhana dan handal, misalnya pengujian
karsinogen (uji kanker), uji mutagenesis, menggunakan “petanda biologik”
(biomarker) yaitu kultur sel kanker.
Kebutuhan akan uji toksikologik semakin meningkat, namun pada
kenyataannya terdapat keterbatasan akan fasilitas dan sumber daya manusia yang
memenuhi syarat. Oleh sebab itu data toksisitas yang dihasilkan di mana saja
sebaiknya dapat diterima secara internasional. Agar data-data tersebut dapat
diterima secara umum, data tersebut harus memenuhi standar tertentu. Untuk itu
lembaga terkemuka dunia mengeluarkan standar seperti “Good Laboratory
Practice” yang dikeluarkan oleh lembaga pengawas obat dan makanan Amerika
(FDA), dimana standar ini dapat diterima secara internasional.
Pada akhirnya, ahli toksikologi harus terus memperbaiki prosedur uji untuk
mengurangi hasil positif palsu dan negatif palsu, dan terus melakukan penelitian
yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman yang lebih baik akan pentingnya
efek toksik sehingga penilaian keamanan/risiko berbagai tokson dapat dilakukan
dengan hasil lebih memuaskan.4
15
1. Racun
Menurut Taylor, “Racun adalah setiap bahan atau zat yang dalam jumlah
tertentu bila masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan reaksi kimiawi yang
akan menyebabkan penyakit dan kematian”. Menurut Dorland Dictionary:
Racun adalah setiap zat yang bila dalam jumlah sedikit ditelan atau dihirup atau
diserap atau dioleskan atau disuntikkan ke dalam tubuh atau dihasilkan dalam
tubuh, memiliki aksi kimiawi dan menyebabkan kerusakan pada struktur atau
gangguan fungsi yang menimbulkan gejala, penyakit atau kematian.
2. Toksin
Racun (poison) adalah zat yang memiliki efek berbahaya pada organisme hidup.
Sedangkan toksin adalah racun yang diproduksi oleh organisme hidup.
4. Toksikan
Perbedaan toksin dan toksikan: toksin adalah produk alami seperti yang
ditemukan pada jamur beracun, atau racun ular, sedangkan toksikan adalah
produk buatan manusia, produk buatan yang dipaparkan ke lingkungan karena
aktifitas manusia, contohnya adalah produk limbah industri dan pestisida.
5. Toksoid
Toksoid adalah toksin yang tidak aktif atau dilemahkan. Toksin adalah racun
yang dibuat oleh organisme lain yang bisa membuat kita sakit atau membunuh
16
kita. Dengan kata lain, toksin beracun. Toksoid tidak lagi beracun tetapi masih
sebagai imunogenik dari toksin sumbernya.
6. Xenobiotik
Xenobiotik berasal dari bahasa Yunani: Xenos yang artinya asing. Xenobiotik
adalah zat asing yang secara alami tidak terdapat dalam tubuh manusia. Contoh:
obat obatan, insektisida, zat kimia.5
17
Toksisitas dapat dinyatakan dengan peristilahan sebagai berikut:
a. Karsinogen
Zat karsinogenik dikaitkan dengan penyebab atau peningkatan kanker pada
manusia dan hewan. Contoh: benzena, vinil klorida, formaldehid, dioksan, dan
akrilamida.
b. Mutagen
Mutagen adalah zat yang mengubah informasi genetik suatu organisme,
biasanya dengan mengubah DNA. Mutagen biasanya juga karsinogen karena
mutasi sering menyebabkan kanker. Contoh mutagen termasuk etidium
bromida, formaldehid, dioksan, dan nikotin.
c. Teratogen
Teratogen adalah zat yang menyebabkan kerusakan pada janin atau embrio
selama kehamilan, yang menyebabkan cacat lahir sementara ibu tidak
menunjukkan tanda toksisitas. Teratogen umum meliputi etanol, senyawa
merkuri, senyawa timbal, fenol, karbon disulfida, toluena dan xilena.5
18
2.1.7 Klasifikasi Bahan Toksik
Bahan toksik dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan sumbernya
a. Toksin tanaman
b. Toksin hewan
c. Toksin lingkungan (air, tanah, udara)
2. Berdasarkan senyawanya
a. Logam berat
b. Senyawa organik
c. Racun gas
3. Berdasarkan penggunaannya:
a. Obat-obatan
b. Pestisida
c. Pelarut organik
d. Logam berat5
Ada banyak bahan kimia maupun organik yang beracun. Dari sekian banyak
itu setidaknya ada racun paling mematikan yang pernah digunakan menghabisi
nyawa manusia yaitu :
1. Arsenik
Arsenik telah disebut "Raja Segala Racun". Zat ini hampir tidak terdeteksi,
sehingga sangat sering digunakan baik sebagai senjata pembunuhan atau
sebagai elemen cerita misteri. Racun ini dapat dengan mudah menyatu dalam
air, makanan dan sejenisnya.
2. Botulinum Toxin
Botulinum toxin menyebabkan botulisme, kondisi fatal jika tidak segera diobati.
Ini melibatkan kelumpuhan otot, mengarah pada kelumpuhan sistem pernafasan
yang dapat berujung kematian. Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka
terbuka atau dengan menelan makanan yang terkontaminasi.
19
3. Sianida
Sianida ditemukan dalam berbagai macam zat seperti almond, biji apel, aprikot
kernel, asap tembakau, insektisida, pestisida dan masih banyak lainnya. Dosis
fatal sianida bagi manusia adalah 1,5 mg per kilogram berat badan. Sianida juga
dapat menjadi pembunuh yang cepat: tergantung pada dosis, kematian terjadi
hanya dalam 1 sampai 15 menit
4. Merkuri
Ada tiga bentuk merkuri yang sangat berbahaya. Unsur merkuri dapat dengan
mudah ditemukan di termometer kaca. Zat ini tidak berbahaya jika disentuh,
tapi mematikan jika terhirup. Merkuri anorganik digunakan untuk membuat
baterai, dan mematikan hanya bila tertelan. Sedangkan merkuri organik
ditemukan dalam ikan, seperti tuna dan ikan todak.
5. Polonium
Polonium adalah racun radioaktif, pembunuh lambat tanpa ada obatnya. Satu
gram polonium yang menguap bisa membunuh sekitar 1,5 juta orang hanya
dalam beberapa bulan. Kasus yang paling terkenal dari keracunan polonium
adalah pada kasus kematian mantan mata-mata Rusia Alexander Litvinenko.
6. Tetrodotoxin
Zat ini ditemukan dalam dua makhluk laut: gurita cincin biru dan ikan buntal.
Namun racun di gurita adalah yang paling berbahaya karena mampu membunuh
dalam hitungan menit. Zat ini mampu membunuh 26 orang dewasa manusia
dalam beberapa menit. Di sisi lain, ikan buntal hanya mematikan jika Anda
ingin memakannya.
7. Dimethylmercury
Zat satu ini tergolong sebagai pembunuh lambat buatan manusia. Penyerapan
dosis serendah 0.1ml telah terbukti berakibat fatal. Namun, gejala keracunan
baru mulai muncul setelah berbulan-bulan paparan awal, namun tetap terlambat
20
untuk diobati. Orang yang terkena racun ini gejalanya baru muncul empat bulan
kemudian dan sepuluh bulan kemudian diperkirakan yang bersangkutan
meninggal.
8. Belladonna
Nama tanaman ini berasal dari bahasa Italia yang berarti “wanita cantik”. Itu
karena di abad pertengahan, tanaman ini banyak digunakan untuk tujuan
kosmetik. Meski terlihat bermanfaat, daun ini sangat mematikan jika sampai
daunnya tertelan.
9. Aconite
Racun ini dapat menyebabkan terganggunya fungsi jantung aritmia yang
menyebabkan korban mati lemas. Keracunan dapat terjadi bahkan hanya
dengan menyentuh daun tanaman tanpa mengenakan sarung tangan.
10. Hemlock
Hemlock atau conium adalah tanaman berbunga sangat beracun di Eropa dan
Afrika Selatan. Untuk orang dewasa, konsumsi 100 zmg conium atau sekitar 8
daun tanaman dapat berakibat fatal kematian yang diawali dengan kelumpuhan
hingga berhentinya sistem pernapasan.6
21
A. Fase Eksposisi
Dalam fase ini terjadi kontak (paparan) antara xenobiotik dengan suatu
organisme. Paparan ini dapat terjadi melalui kulit, oral, saluran pernafasan
(inhalasi) atau penyampaian xenobiotik langsung ke dalam tubuh organisme
(injeksi). Jika suatu objek biologik terpapar oleh sesuatu xenobiotik, maka, kecuali
senyawa radioaktif, efek biologik atau toksik akan muncul, jika xenobiotik tersebut
telah terabsorpsi menuju sistem sistemik. Umumnya hanya xenobiotik yang
terlarut, terdistribusi molekuler, yang dapat diabsorpsi. Dalam hal ini akan terjadi
pelepasan xenobiotik dari bentuk farmaseutikanya. Misalnya paparan xenobiotik
melalui oral (sediaan dalam bentuk padat: tablet, kapsul, atau serbuk), maka terlebih
dahulu kapsul/tablet akan terdisintegrasi (hancur), sehingga xenobiotik akan telarut
di dalam cairan saluran pencernaan. Xenobiotik yang terlarut akan siap terabsorpsi
secara normal dalam duodenum dan ditranspor melalui pembuluh kapiler
mesenterika menuju vena porta hepatika menuju hati sebelum ke sirkulasi sistemik.
Penyerapan xenobiotik sangat tergantung pada konsentrasi dan lamanya
kontak antara xenobiotik dengan permukaan organisme yang berkemampuan untuk
mengaborpsi xenobiotik tersebut. Dalam hal ini laju absorpsi dan jumlah xenobitika
yang terabsorpsi akan menentukan potensi efek biologik/toksik. Pada pemakaian
obat, fase ini dikenal dengan fase farmaseutika, yaitu semua proses yang berkaitan
dengan pelepasan senyawa obat dari bentuk farmaseutikanya (tablet, kapsul, salep,
dll). Bagian dosis dari senyawa obat, yang tersedia untuk diabsorpsi dikenal dengan
ketersediaan farmaseutika. Pada kenyataannya sering dijumpai, bahwa sediaan
tablet dengan kandungan zat aktif yang sama dan dibuat oleh fabrik farmasi yang
berbeda, dapat memberikan potensi efek farmakologik yang berbeda. Hal ini dapat
disebabkan oleh perbedaan ketersediaan farmaseutikanya. Perbedaan ketersediaan
farmaseutika suatu sediaan ditentukan oleh sifat fisiko-kimia, umpamanya ukuran
dan bentuk kristal, demikian pula jenis zat pembantu (tambahan pada tablet) dan
metode fabrikasi. Disamping bentuk farmaseutika yang berpengaruh jelas terhadap
absorpsi dan demikian pula tingkat toksisitas, sifat fisiko-kimia dari xenobiotik
(seperti bentuk dan ukuran kristal, kelarutan dalam air atau lemak, konstanta
disosiasi) tidak boleh diabaikan dalam hal ini. Laju absorpsi suatu xenobiotik
22
ditentukan juga oleh sifat membran biologi dan aliran kapiler darah tempat kontak.
Suatu xenobiotik, agar dapat diserap/diabsorpsi di tempat kontak, maka harus
melewati membran sel di tempat kontak. Suatu membran sel biasanya terdiri atas
lapisan biomolekuler yang dibentuk oleh molekul lipid dengan molekul protein
yang tersebar di seluruh membran.
Jalur utama bagi penyerapan xenobiotik adalah saluran cerna, paru-paru, dan
kulit. Namun pada accidental poisoning, atau penelitian toksikologi, paparan
xenobiotik dapat terjadi melalui jalur injeksi, seperti injeksi intravena,
intramuskular, subkutan, intraperitoneal, dan jalur injeksi lainnya.
23
granulosum). Selain itu sel ini juga menghasilkan keratohidrin yang nantinya
menjadi keratin dalam stratum corneum terluar, yakni lapisan tanduk. Epidermis
juga mengandung melanosit yang mengasilkan pigmen dan juga sel langerhans
yang bertindak sebagai makrofag dan limfosit. Dua sel ini belakangan diketahui
yang terlibat dalam berbagai respon imun.
Dermis terutama terdiri atas kolagen dan elastin yang merupakan struktur
penting untuk menyokong kulit. Pada lapisan ini terdapat beberapa jenis sel, yang
paling banyak adalah fibroblast, yang terlibat dalam biosintesis protein berserat,
dan zat-zat dasar, misalnya asam hialuronat, kondroitin sulfat, dan
mukopolisakarida. Disamping sel-sel tersebut, terdapat juga sel lainnya antara lain
sel lemak, makrofag, histosit, dan mastosit. Di bawah dermis terdapat jaringan
subkutan. Selain itu, ada beberapa struktur lain misalnya folikel rambut, kelenjar
keringat, kelenjar sebasea, kapiler pembuluh darah dan saraf. Paparan kulit terhadap
tokson sering mengakibatkan berbagai lesi (luka), namun tidak jarang tokson dapat
juga terabsorpsi dari permukaan kulit menuju sistem sistemik.
24
mempunyai pelapis epitel bersilia dan dilapisi oleh lapisan tipis lendir yang
disekresi dari sel tertentu dalam lapisan epitel. Dengan silia dan lendirnya, lapisan
ini dapat mendorong naik partikel yang mengendap pada permukaan menuju mulut.
Partikel yang mengandung lendir tersebut kemudian dibuang dari saluran
pernafasan dengan diludahkan atau ditelan. Namun, butiran cairan dan partikel
padat yang kecil juga dapat diserap lewat difusi dan fagositosis. Fagosit yang berisi
partikel-partikel akan diserap ke dalam sistem limfatik. Beberapa partikel bebas
dapat juga masuk ke saluran limfatik. Partikel-partikel yang dapat terlarut mungkin
diserap lewat epitel ke dalam darah.
Alveoli merupakan tempat utama terjadinya absorpsi xenobiotik yang
berbentuk gas, seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, belerang dioksida atau
uap cairan, seperti benzena dan karbon tetraklorida. Kemudahan absorpsi ini
berkaitan dengan luasnya permukaan alveoli, cepatnya aliran darah, dan dekatnya
darah dengan udara alveoli. Laju absorpsi bergantung pada daya larut gas dalam
darah. Semakin mudah larut akan semakin cepat diabsorpsi.
25
Pada umumnya tokson melintasi membran saluran pencernaan menuju sirkulasi
sistemik dengan difusi pasif. Namun disamping difusi pasif, juga dalam usus,
terdapat juga transpor aktif, seperti tranpor yang terfasilitasi dengan zat pembawa
(carrier), atau pinositosis.4
B. Fase Toksokinetik
Tubuh mengenal drug sebagai senyawa asing atau xenobiotik. Jika tubuh
terpejan oleh xenobiotik, maka tubuh akan berusaha menghancurkan dan kemudian
mengeliminasi senyawa xenobiotik ini dari dalam tubuh.
Toksokinetik menelaah perubahan konsentrasi tokson terhadap waktu di
dalam organisme. Secara umum toksokinetik menelaah dari mana dan berapa laju
absorpsi tokson dari lingkungan ke sistem peredaran darah, bagaimana
distribusinya ke seluruh tubuh, bagaimana enzim tubuh memetabolismenya, dari
mana dan bagaimana tokson atau metabolitnya dieliminasi dari dalam tubuh.7
Proses biologik yang terjadi pada fase toksokinetik umumnya dikelompokkan
ke dalam proses invasi dan evesi. Proses invasi terdiri dari absorpsi, transpor, dan
distribusi, sedangkkan evesi juga dikenal dengan eleminasi. Absorpsi suatu
xenobiotik adalah pengambilan xenobiotik dari permukaan tubuh (di sini termasuk
juga mukosa saluran cerna) atau dari tempat-tempat tertentu dalam organ ke aliran
darah atau sistem pembuluh limfe. Apabila xenobiotik mencapai sistem sirkulasi
sistemik, xenobiotik akan ditranspor bersama aliran darah dalam sistem sirkulasi.
Weiss (1990) membagi distribusi ke dalam konveksi (transpor xenobiotik bersama
peredaran darah) dan difusi (difusi xenobiotik di dalam sel atau jaringan).
Sedangkan eliminasi (evesi) adalah semua proses yang dapat menyebabkan
penurunan kadar xenobiotik dalam sistem biologi/tubuh organisme, mencakup
metabolisme (biotransformasi) dan ekskresi.
Sederetan proses tersebut sering disingkat dengan ADME, yaitu: absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi. Proses absorpsi akan menentukan jumlah
xenobiotik (dalam bentuk aktifnya) yang dapat masuk ke sistem sistemik atau
mencapai tempat kerjanya. Jumlah xenobiotik yang dapat masuk ke sistem sistemik
dikenal sebagai ketersediaan biologik/hayati. Keseluruhan proses pada fase
26
toksokinetik ini akan menentukan menentukan efficacy (kemampuan xenobiotik
mengasilkan efek), efektivitas dari xenobiotik, konsentrasi xenobiotik di reseptor,
dan durasi dari efek farmakodinamiknya.4
1. Absorpsi
Absorpsi didefinisikan sebagai jumlah xenobiotik yang mencapai sistem
sirkulasi sistemik dalam bentuk tidak berubah. Tokson dapat terabsorpsi umumnya
apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekuler. Absorpsi sistemik
tokson dari tempat extravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan
fisiologik tempat absorpsi (sifat membran biologis dan aliran kapiler darah tempat
kontak), serta sifat-sifat fisiko-kimia tokson dan bentuk farmaseutik tokson (tablet,
salep, sirup, aerosol, suspensi atau larutan). Jalur utama absorpsi tokson adalah
saluran cerna, paru-paru, dan kulit. Pada pemasukan tokson langsung ke sistem
sirkulasi sistemik (pemakaian secara injeksi), dapat dikatakan bahwa tokson tidak
mengalami proses absorpsi.
Absorpsi suatu xenobiotik tidak akan terjadi tanpa suatu transpor melalui
membran sel, demikian halnya juga pada distribusi dan ekskresi. Oleh sebab itu
membran sel (membran biologi) dalam absorpsi merupakan sawar (barrier) yaitu
batas pemisah antara lingkungan dalam dan luar. Membran biologik bersifat
dinamik yang artinya berubah secara terus menerus.
Pada umumnya produk farmaseutik mengalami absorpsi sistemik melalui suatu
rangkaian proses. Proses tersebut meliputi disintegrasi bentuk farmaseutik yang
diikuti oleh pelepasan xenobiotik, pelarutan xenobiotik dalam media “aqueous”,
dan absorpsi melalui membran sel menuju sirkulasi sistemik. Dalam suatu proses
kinetik, laju keseluruhan proses ditentukan oleh tahap yang paling lambat (rate
limiting step). Pada umumnya bentuk sediaan padat, kecuali sediaan “sustained
release” atau “prolonged action”, waktu hancur sediaan akan lebih cepat daripada
pelarutan dan absorpsi obat. Untuk xenobiotik yang mempunyai kelarutan kecil
dalam air, laju pelarutan seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh sebab
itu akan menjadi faktor penentu kecepatan ketersediaan hayati obat. Tetapi
sebaliknya, untuk xenobiotik yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju
27
pelarutannya cepat sedangkan laju lintasnya melewati membran sel merupakan
tahap paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan.
Pada pemakaian oral, maka terlebih dahulu kapsul/tablet akan terdisintegrasi,
sehingga xenobiotik akan terlarut di dalam cairan saluran pencernaan. Tokson yang
terlarut ini akan terabsorpsi secara normal dalam duodenum dan ditranspor melalui
pembuluh kapiler mesenterika menuju vena porta hepatika menuju hati sebelum ke
sirkulasi sistemik.
Tempat utama bagi absorpsi di saluran napas adalah alveoli paru-paru, terutama
berlaku untuk gas (seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, dan belerang oksida)
dan juga uap cairan (seperti benzen dan karbon tetraklorida). Sistem pernapasan
mempunyai kapasitas absorpsi yang tinggi. Kemudahan absorpsi ini berkaitan
dengan luasnya permukaan alveoli, laju aliran darah yang cepat, dan dekatnya darah
dengan udara alveoli. Luas permukaan alveoli yang sangat luas, ketebalan dinding
membran yang relatif tipis, permeabilitas yang tinggi, laju aliran darah yang tinggi,
dan tidak terdapat reaksi “first pass effect” merupakan faktor yang menguntungkan
proses absorpsi xenobiotik dari paru-paru.
2. Distribusi
Xenobitotik akan didistribusikan ke seluruh tubuh segera setelah mencapai
sistem sirkulasi. Distribusi suatu xenobiotik di dalam tubuh dapat dilihat sebagai
suatu proses transpor reversibel suatu xenobiotik dari satu lokasi ke tempat lain di
dalam tubuh. Distribusi adalah proses dimana xenobiotik secara reversibel
meninggalkan aliran darah dan masuk menuju interstitium (cairan ekstraselular)
dan/atau masuk ke dalam sel.
Distribusi xenobiotik di dalam tubuh umumnya melalui proses transpor, yang
mana dapat dikelompokkan ke dalam dua proses utama, yaitu konveksi (transpor
xenobiotik bersama aliran darah) dan transmembran (transpor xenobiotik melewati
membran biologis). Distribusi suatu xenobiotik di dalam tubuh dipengaruhi oleh
tercampurnya xenobiotik di dalam darah, laju aliran darah, dan laju transpor
transmembran. Umumnya faktor tercampurnya xenobiotik di darah dan laju aliran
darah ditentukan oleh faktor psikologi, sedangkan laju transpor transmembran
28
umumnya ditentukan oleh faktor sifat fisiko-kimia xenobiotik. Transpor
transmembran dapat berlangsung melalui proses difusi pasif, difusi terfasilitasi,
difusi aktif, filtrasi melalui pori membran, atau proses fagositosis.4
Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses distribusi dari suatu
xenobiotik, dimana faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Faktor biologis
• Laju aliran darah dari organ dan jaringan
• Sifat membran biologis
• Perbedaan pH antara plasma dan jaringan
b. Faktor sifat molekul xenobiotik
• Ukuran molekul
• Ikatan antara protein plasma dan protein jaringan
• Kelarutan
• Sifat kimia7
Senyawa yang larut lemak akan lebih mudah terdistribusi ke seluruh jaringan
tubuh, sehingga pada umumnya senyawa lipofilik akan mempunyai volume
distribusi yang jauh lebih besar ketimbang senyawa yang hidrofilik. Tetra-Hidro-
Canabinol (THC) (zat halusinogen dari tanaman ganja) bersifat sangat larut lemak,
sehingga THC akan sangat mudah terdistribusi ke seluruh jaringan dan akan
terdeposisi di jaringan lemak. Oleh sebab itu THC memiliki volume distribusi yang
relatif besar (4-14 l/kg). Karena kelarutannya yang tinggi, THC sangat lama
terdeposisi di jaringan lemak, dan ini akan memperlambat laju eliminasi THC.
Etanol (alkohol), senyawa yang bersifat agak hidrofilik, sebagian besar terdistribusi
di dalam cairan intra- dan ekstraseluler tubuh.
29
lainnya (kelenjar keringat, kelenjar mammae, kelenjar ludah, paru-paru). Jalur
eliminasi yang paling penting adalah eliminasi melalui hati (metabolisme) dan
ekskresi melalui ginjal.
Xenobiotik yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahan struktur
kimia oleh enzim dan pada akhirnya dapat diekskresi dari dalam tubuh. Proses
biokimia yang dialami oleh xenobiotik dikenal dengan reaksi biotransformasi.
Biotransformasi pada umumnya berlangsung di hati dan sebagian kecil di organ-
organ lain seperti: ginjal, paru-paru, saluran pencernaan, kelenjar susu, otot, kulit
atau di darah.
Secara umum proses biotransformasi dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu fase
I (reaksi fungsionalisasi) dan fase II (reaksi konjugasi). Dalam fase pertama ini
tokson akan mengalami penambahan gugus fungsi baru, pengubahan gugus fungsi
yang ada atau reaksi penguraian melalui reaksi oksidasi (dehalogenasi, dealkilasi,
deaminasi, desulfurisasi, pembentukan oksida, hidroksilasi, oksidasi alkohol dan
oksidasi aldehida); reaksi reduksi (reduksi azo, reduksi nitro, reduksi aldehid atau
keton) dan hidrolisis (hidrolisis dari ester amida). Pada fase II ini tokson yang telah
siap atau termetabolisme melalui fase I akan membentuk konjugat atau melalui
proses sintesis dengan senyawa endogen tubuh, seperti konjugasi dengan asam
glukuronida asam amino, asam sulfat, metilasi, alkilasi, pembentukan asam
merkaptofurat.
Enzim-enzim yang terlibat dalam biotransformasi pada umumnya tidak spesifik
terhadap satu substrat. Enzim ini (seperti monooksigenase, glukuronidase)
umumnya terikat pada membran dari retikulum endoplasmik dan sebagian
terlokalisasi juga pada mitokondria. Disamping itu ada bentuk terikat sebagai enzim
terlarut (seperti esterase, amidase, sulfoterase). Sistem enzim yang terlibat pada
reaksi fase I umumnya terdapat di dalam retikulum endoplasmik halus, sedangkan
sistem enzim yang terlibat pada reaksi fase II sebagian besar ditemukan di sitosol.
Disamping memetabolisme xenobiotika, sistem enzim ini juga terlibat dalam reaksi
biotransformasi senyawa endogen (seperti: hormon steroid, biliribun, asam urat,
dll). Selain organ-organ tubuh, bakteri flora usus juga dapat melakukan reaksi
metabolisme, khususnya reaksi reduksi dan hidrolisis.
30
Ginjal sangat memegang peranan penting dalam mengekskresi baik senyawa
eksogen (xenobiotik) maupun seyawa endogen, yang pada umumnya tidak
diperlukan lagi oleh tubuh. Proses utama ekskresi renal dari xenobiotik adalah
filtrasi glomerulus, sekresi aktif tubular, dan resorpsi pasif tubular. Pada filtrasi
glomerulusr, ukuran molekul memegang peranan penting. Molekul-molekul
dengan diameter yang lebih besar dari 4 nm atau dengan berat lebih besar dari 50
kilo Dalton (kDa) tidak dapat melewati filtrasi glomerulusr. Oleh sebab itu hanya
senyawa dengan ukuran dan berat lebih kecil yang dapat terekskresi. Xenobiotik
yang terikat dengan protein plasma tentunya tidak dapat terekskresi melalui ginjal.
Resorpsi pasif tubular ditentukan oleh gradien konsentrasi xenobitik antara urin dan
plasma di dalam pembuluh tubuli. Berbeda dengan resorpsi tubular, sekresi tubular
melibatkan proses transport aktif.
C. Fase Toksodinamik
Setelah tokson didistribusikan ke reseptor, maka tokson siap berinteraksi
dengan reseptor. Hasil interaksi ini diimplementasikan sebagai efek farmakologik
(efek racun yang ditimbulkan, seperti efek toksik alergi, syok anafilaktik,
mutagenesis, teratogenesis, dan lainnya). Kualitas efek ini sebanding dengan
konsentrasi tokson di reseptor.7
Mekanisme utama interaksi tokson-resptor adalah:
a. Interaksi dengan sistem enzim
- Inhibisi enzim irreversibel
• Contoh: inhibisi asetilkolenesterase oleh organofosfat
- Inhibisi enzim reversibel
- Pemutusan reaksi biokimia
- Inhibisi fotosintesis pada tanaman
- Sintesis zat mematikan
- Pengambilan ion logam penting untuk kerja enzim
- Inhibisi penghantaran elektron dalam rantai pernafasan
b. Inhibisi pada transport oksigen karena gangguan pada hemoglobin
c. Interaksi dengan fungsi umum sel
31
d. Gangguan pada sintesis DNA dan RNA
e. Kerja teratogenik
f. Reaksi hipersensitivitas (alergi)7
32
Gambar 2.3 Fase Kerja Zat Toksik.4
33
menginterpretasi hasil, seperti: pemahaman perilaku zat, sumber penyebab
keracunan/pencemaran, metode pengambilan sampel dan metode analisa,
interpetasi data terkait dengan gejala/efek atau dampak yang timbul serta bukti-
bukti lainnya yang tersedia.8
Tosikologi forensik adalah salah satu cabang forensik sains, yang
menekunkan diri pada aplikasi atau pemanfaatan ilmu toksikologi dan kimia
analisis untuk kepentingan peradilan. Kerja utama dari toksikologi forensik adalah
melakukan analisis kualitatif maupun kuantitatif dari racun dari bukti fisik dan
menerjemahkan temuan analisisnya ke dalam ungkapan apakah ada atau tidaknya
racun yang terlibat dalam tindak kriminal, yang dituduhkan, sebagai bukti dalam
tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Hasil analisis dan interpretasi temuan
analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan
perundangan-undangan. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan “Surat Keterangan Ahli” atau “Surat
Keterangan”.6
Seorang ahli toksikologi forensik harus mempertimbangkan keadaan suatu
investigasi, khususnya adanya catatan mengenai gejala fisik, dan adanya bukti
apapun yang berhasil dikumpulkan dalam lokasi kriminal/kejahatan yang dapat
mengerucutkan pencarian, misalnya adanya barang bukti seperti botol obat-obatan,
serbuk, residu jejak dan zat toksik (bahan kimia) apapun yang ditemukan. Dengan
informasi tersebut serta sampel yang akan diteliti, ahli toksikologi forensik harus
dapat menentukan senyawa toksik apa yang terdapat dalam sampel, dalam
konsentrasi berapa, dan efek yang mungkin terjadi akibat zat toksik tersebut
terhadap seseorang (korban).8
Temuan analisis sendiri tidak mempunyai makna yang berarti jika tidak
dijelaskan makna dari temuan tersebut. Seorang toksikolog forensik berkewajiban
menerjemahkan temuan tersebut berdasarkan kepakarannya ke dalam suatu kalimat
atau laporan, yang dapat menjelaskan atau mampu menjawab pertanyaan yang
muncul berkaitan dengan permasalahan/kasus yang dituduhkan. Berkaitan dengan
analisis penyalahgunaan obat-obatan terlarang, mengacu pada hukum yang berlaku
di Indonesia, interpretasi temuan analisis oleh seorang toksikolog forensik adalah
34
merupakan suatu keharusan. Heroin menurut UU no 22 tahun 1997 termasuk
narkotika golongan I, namun metabolitnya (morfin) masuk ke dalam narkotika
golongan II. Kodein (narkotika golongan III) di dalam tubuh akan termetabolisme
sebagian menjadi morfin. Namun pada kenyataannya heroin ilegal juga
mengandung acetilkodein, yang merupakan hasil asetilasi dari kodein, sehingga
dalam analisis toksikologi forensik pada pembuktian kasus penyalahgunaan heroin
ilegal akan mungkin ditemukan morfin dan kodein. Menurut UU narkotika ini
(pasal 84 dan 85), menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika golongan I, II, dan
III memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, sehingga interpretasi temuan
analisis toksikologi forensik, khususnya dalam kaitan menjawab pertanyaan
narkotika apa yang telah dikonsumsi, adalah sangat mutlak dalam penegakan
hukum.
Pada interpretasi hasil analisis pada kasus kematian, seorang toksikolog
forensik dituntut mampu menjawab pertanyaan spesifik seperti: rute pemakaian
toksikan, apakah konsentrasi toksikan yang ditetapkan cukup sebagai menyebabkan
kematian atau penyebab keracunan. Penetapan rute pemakaian biasanya diperoleh
dari analisis berbagai spesimen, dimana pada umumnya konsentrasi toksikan yang
lebih tinggi ditemukan di daerah rute pemakaian. Jika ditemukan toksikan dalam
jumlah besar di saluran pencernaan dan hati, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
paparan melalui jalur oral. Demikian juga apabila konsentrasi yang tinggi
ditemukan di paru-paru atau pada organ viseral lainnya mengindikasikan paparan
melalui inhalasi. Bekas suntikan yang baru pada permukaan tubuh (seperti telapak
tangan, lengan, dll), yang ditemukan pada kasus kematian akibat penyalahgunaan
narkotika, merupakan petujuk paparan melalui injeksi.6
Dalam mengungkap kasus kejahatan/pencemaran lingkungan, toksikologi
forensik digunakan untuk memahami perilaku pencemar, mengapa dapat bersifat
toksik terhadap biota dan manusia, dan sejauh mana risikonya, serta
mengidentifikasi sumber dan waktu pelepasan suatu bahan pencemar. Kemudian
dilakukan pengujian secara sistematik terhadap informasi lingkungan antara lain
untuk menentukan sumber pencemaran bahan kimia, waktu pelepasan ke
lingkungan, distribusi spatial suatu peristiwa pencemaran, hubungan paparan
35
dengan dosis dan respon/efek toksik, serta mencakup semua aspek pencemaran dan
kontaminasi baik di udara, air, tanah, dan biota.8
Toksikologi forensik mencakup terapan ilmu alam dalam analisis racun
sebagai bukti dalam tindak kriminal. Toksikologi forensik merupakan gabungan
antara kimia analisis dan prinsip dasar toksikologi. Bidang kerja toksikologi
forensik meliputi:
a. Analisis dan evaluasi racun penyebab kematian.
b. Analisis ada/tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau napas,
yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku (menurunnya kemampuan
mengendarai kendaraan bermotor di jalan raya, tindak kekerasan dan
kejahatan, penggunaan dooping).
c. Analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika
dan obat terlarang lainnya.7
Analisis toksikologi meliputi: (1) toksikologi darurat dan rumah sakit umum,
termasuk pemeriksaan “bisa” dan (2) kategori khusus: toksikologi forensik,
skrining untuk penyalahgunaan obat (drugs abuse), pemantauan obat terapeutik
(therapeutic drugs monitoring/TDM) dan toksikologi lingkungan serta yang terkait
dengan pekerjaan (occupational toxicology), meskipun ada banyak tumpang tindih
antara semua area ini.
Metode analisis yang digunakan dalam melakukan analisis toksikologi pada
sampel biologis terkait dari studi toksikologi itu sendiri, terutama toksikologi klinis
dan forensik. Laboratorium tidak dapat melakukan apapun untuk membantu proses
diagnostik kecuali seseorang, baik itu klinisi, ahli patologi, atau orang lain,
mencurigai penyebab keracunan dan memastikan spesimen dikumpulkan dan
dikirim untuk dianalisis. Namun, pengumpulan dan penanganan sampel yang tepat
tidak selalu mudah dan memang merupakan subjek tersendiri.5
36
2.1.10 Aspek Medikolegal Keracunan
Kasus keracunan pada manusia dapat berupa accidental, suicidal, atau
homicidal poisoning.
1. Accidental Poisoning
Sebagian besar kasus keracunan merupakan tindakan accidental atau tidak
disengaja. Accidental poisoning terutama terjadi pada anak di bawah umur 5
tahun karena kebiasaannya memasukkan segala benda yang dijumpai ke dalam
mulut, seperti obat berlapis gula atau asetosal. Minyak tanah merupakan
penyebab keracunan terbesar pada anak menurut survei keracunan yang
dilakukan di Jakarta pada tahun 1971 dan 1972. Accidental poisoning dapat
terjadi pada petani saat menyemprotkan insektisida. Hal ini juga dapat terjadi
jika seseorang mengonsumsi air yang terkontaminasi arsenik, dll.9,10
2. Suicidal Poisoning
Saat ini, bunuh diri menggunakan racun sangat umum di kalangan petani,
terutama di Andhra Pradesh dan Punjab. Mereka mengonsumsi insektisida
ketika mereka tidak mampu membayar pinjaman. Senyawa aluminium fosfat
dan organofosfor adalah pilihan pertama diikuti oleh senyawa organoklor.
Barbiturat dan hipnotik-sedatif lain merupakan pilihan pertama untuk bunuh
diri pada orang dewasa.9,10
3. Homicidal Poisoning
Racun sangat umum digunakan untuk pembunuhan, terutama pada anak-anak.
Arsenik merupakan yang biasanya digunakan diikuti oleh opium, aconitum,
kecubung (datura), stiknin dan kalium sianida. Jika tujuannya bukan untuk
membunuh tetapi merampok, digunakan agen yang memabukkan seperti datura,
Cannabis indica atau kloralhidrat.10
37
1. Klasifikasi menurut cara terjadinya keracunan
a. Self Poisoning
Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi dengan
pengetahuan bahwa dosis ini tidak akan membahayakan. Jadi pasien tidak
bermaksud bunuh diri, biasanya hanya untuk menarik perhatian
lingkungannya. Pada anak muda kadang-kadang dilakukan untuk coba-
coba, tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat membahayakan dirinya.
b. Attempted Suicide
Dalam hal ini, pasien memang bermaksud bunuh diri, tetapi bisa berakhir
dengan kematian atau pasien sembuh kembali bila ia salah tafsir tentang
dosis yang dimakannya.
c. Accidental Poisoning
Ini jelas merupakan kecelakaan, tanpa faktor kesengajaan sama sekali.
d. Homicidal Poisoning
Keracunan ini akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja
meracuni orang lain.
38
Gejala keracunan akut dapat menyerupai setiap sindrom penyakit, karena itu
harus selalu diingat kemungkinan keracunan pada keadaan sakit mendadak
dengan gejala seperti muntah, diare, kejang, koma, dan sebagainya.
39
A. Pengelompokan Jenis Racun
Pengelompokan racun dibagi berdasarkan:
1. Sumber racun
Racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti opium (dari Papaver
somniferum), kokain, kurare, aflatoksin (dari Aspergilus niger),
Amygdala (sianida dalam tumbuhan). Racun yang berasal dari hewan:
bisa/toksin ular, laba-laba, hewan laut. Racun yang berasal dari mineral:
arsen, timah hitam. Racun sintetik: heroin.
2. Tempat dimana racun berada
a. Racun yang terdapat di alam bebas, misalnya gas beracun di alam.
b. Racun yang terdapat dalam rumah tangga misalnya, deterjen,
desinfektan, insektisida, dan pembersih (cleaners).
3. Racun yang digunakan dalam pertanian, misalnya insektisida, herbisida,
pestisida. Racun yang digunakan dalam industri dan laboratorium,
misalnya asam, basa kuat, dan logam berat.
4. Racun yang terdapat dalam makanan, misalnya CN dalam singkong,
toksin botulinum, bahan pengawet, zat aditif serta “racun” dalam bentuk
obat, misalnya hipnotik, sedatif dan lain sebagainya.
5. Racun yang banyak beredar dikalangan medis, seperti hipnotik, sedatif,
transquillizer, antidepresan, analgetik, narkotik, antibiotik.
6. Mekanisme kerja
a. Racun yang bekerja lokal atau setempat.
- Zat-zat korosif: lisol, asam urat, basa kuat.
- Zat yang bersifat iritan: arsen, HgCl2.
- Zat yang bersifat anestetik: kokain, asam karbol.
b. Racun yang bekerja secara sistemik.
- Narkotika, barbiturat dan alkohol, terutama berpengaruh terhadap
susunan saraf pusat.
- Digitalis dan asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.
- Karbon-monoksida dan sianida terutama berpengaruh terhadap
sistem enzim pernafasan dalam sel.
40
- Insektisida golongan “chlorinated hydrocarbon”, dan golongan
fosfor organik; terutama berpengaruh terhadap hati.
- Strychnine, terutama berpengaruh pada medulla spinalis.
- Cantharides dan HgCl2; terutama berpengaruh terhadap ginjal.
c. Racun yang bekerja secara lokal dan sistemik.
- Asam oksalat
- Asam karbol
- Arsen
- Garam Pb
d. Racun yang mengikat gugus sulfhidril (-SH) misalnya Pb, yang
berpengaruh pada ATP-ase.
e. Racun yang membentuk methemoglobin misalnya nitrat dan nitrit
(nitrat dalam usus oleh flora usus diubah menjadi nitrit).
41
B. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan
Dalam menyelidiki suatu kasus forensik karena keracunan baik secara sengaja
maupun tidak, seorang ahli kedokteran forensik harus memperhatikan beberapa
faktor yang mempengaruhinya. Untuk mengidentifikasikan faktor yang
mempengaruhi toksisitas, seorang ahli kedokteran forensik harus mengetahui
mekanisme farmakologik dari bahan kimia atau obat terhadap makhluk hidup
termasuk orang. Sehingga seorang ahli kedokteran forensik harus mengetahui
dasar-dasar respons tubuh terhadap obat tersebut. Untuk itu perlu diketahui terlebih
dahulu faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan, antara lain:
1. Cara masuk
a. Ditelan (per oral, ingesti)
b. Terhisap bersama dengan udara pernafasan (inhalasi)
c. Melalui penyuntikan (parenteral, injeksi, seperti intravena, intramuscular,
intraperitoneal)
d. Penyerapan melalui kulit yang sehat atau yang sakit
e. Melalui anus atau vagina (per rektal, pervaginam).
Berdasarkan kecepatan kerjanya, maka racun paling cepat menimbulkan
efek pada manusia bila racun masuk secara inhalasi, kemudian secara
berturut-turut intramuscular, intraperitoneal dan yang paling lambat adalah
melalui kulit yang sehat.
2. Umur
Kecuali untuk beberapa jenis racun tertentu, orang tua dan anakanak lebih
sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi prematur lebih rentan terhadap obat
karena ekskresi melalui ginjal belum sempurna dan aktivitas mikrosom dalam
hati belum cukup.
3. Kondisi tubuh
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami keracunan. Pada
penderita demam dan penyakit lambung, absorpsi dapat terjadi dengan lambat.
Bentuk fisik dan kondisi fisik, misalnya lambung berisi atau kosong.
42
4. Kebiasaan
Sangat berpengaruh pada racun golongan alkohol dan morfin sebab dapat
terjadi toleransi, tetapi toleransi tidak dapat menetap, jika suatu ketika
dihentikan, maka toleransi akan menurun lagi.
5. Waktu pemberian
Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum makan, absorpsi terjadi lebih
baik sehingga efek akan timbul lebih cepat.
6. Kuantitas (dosis) racun
Pada umumnya dosis racun yang besar akan menyebabkan kematian yang lebih
cepat. Tetapi pada beberapa kasus, misalnya racun tembaga sulfat dalam dosis
besar akan merangsang muntah sehingga racun dikeluarkan dari dalam tubuh.
43
D. Pemeriksaan Forensik
• Pada korban yang masih hidup
Beberapa pertimbangan yang sangat perlu diperhatikan adalah bahwa
untuk mengetahui jenis racun yang masuk ke dalam tubuh korban dapat
melalui pemeriksaan pada tinja korban atau dari bahan yang dimuntahkan
oleh korban. Gejala yang ditimbulkan tergantung kepada jenis dan
klasifikasi racun. Misalnya racun yang bersifat korosif akan
meninggalkan bekas pada bagian luar tubuh. Racun yang bersifat iritan
menyebabkan gejala yang mirip seperti kolera. Racun dari jenis spinal
menyebabkan rangsangan sehingga bisa menyebabkan kejang-kejang.
Bukti-bukti yang sangat menjurus adanya keracunan adalah dengan
ditemukannya racun pada makanan, obat, bahan yang dimuntahkan, urin
atau feses. Dengan demikian setiap menangani kasus yang diduga karena
keracunan, setiap bahan tersebut di atas harus diambil untuk pemeriksaan
laboratorium.
44
samping mayat, ia harus menekan dada mayat dan menentukan
apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari lubang-lubang
hidung dan mulut.
c. Bercak coklat
Kadang dapat ditemukan luka bakar kimiawi berupa bercak
berwarna coklat agak mencekung di kulit yang terkena insektisida
bersangkutan. Penyebaran bercak perlu diperhatikan, karena dari
penyebaran itu dapat diperoleh petunjuk tentang kemauan korban
yaitu apakah racun itu ditelan atas kemauan sendiri atau dipaksa.
Jika korban dipaksa maka bercak-bercak racun akan tersebar pada
daerah yang luas dan pada pakaian melekat bau racun.
d. Pakaian
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak yang disebabkan
oleh tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya
bercak berwarna coklat karena asam sulfat atau kuning karena
asam nitrat.
e. Bercak-bercak racun
Dari distribusi racun dapat diperkirakan cara kematian: bunuh diri,
kecelakaan atau pembunuhan. Pada kasus bunuh diri distribusi
bercak biasanya teratur pada bagian depan dan tengah dari
pakaian, pada kecelakaan tidak khas, sedangkan pada kasus
pembunuhan distribusi bercak racun biasanya tidak beraturan
(seperti disiram).
45
f. Tanda-tanda asfiksia
- Lokasi: dapat ditemukan bibir, ujung jari, dan kuku kebiruan.
- Lebam mayat: warna lebam mayat merah kebiruan gelap.
Kadang warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai
makna, karena pada dasarnya adalah manifestasi warna darah
yang tampak pada kulit misalnya cherry pink colour pada
keracunan CO, merah terang pada keracunan sianida,
kecoklatan pada keracunan nitrit, nitrat, aniline, fenasetin dan
kina.
h. Perubahan kulit
Hiperpigmentasi atau malanosis dan keratosis telapak tangan dan
kaki tampak pada keracunan arsen kronik. Kulit warna kelabu
kebiru-biruan dijumpai pada keracunan perak kronik. Kulit warna
kuning pada keracunan tembaga dan fosfor akibat hemolisis, juga
pada keracunan insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi
gangguan fungsi hati. Dermatitis pada keracunan kronik salsilat,
46
bromida dan beberapa logam berat seperti arsen dan talium.
Vesikel atau bula pada tumit, bokong dan punggung pada
keracunan karbon monoksida dan barbiturat akut.
i. Kuku
Pada keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal
secara tidak teratur.
j. Rambut
Kebotakan atau alopesia dapat ditemukan pada keracunan talium,
arsen, air raksa dan boraks.
k. Sklera
Sklera tampak ikterik pada keracunan zat hepatotoksik seperti
fosfor, karbon tetraklorida. Perdarahan dijumpai pada pemakaian
dikoumarol atau akibat bisa ular.11
2. Pemeriksaan dalam
Pada pemeriksaan dalam akibat keracunan akan ditemukan tanda-
tanda seperti:
a. Darah berwarna lebih gelap dan encer.
b. Busa halus di dalam saluran nafas.
c. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingg
menjadi lebih berat, berwarna gelap dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
d. Ptekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada
bagian belakang jantung daerah aurikuloventrikuler, subpleura
visceralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan
fisura interlobularis, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah
otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis.
47
e. Edema paru: bau dari zat pelarut mungkin dapat terdeteksi,
misalnya bau minyak tanah, bensin, terpentin atau bau seperti
mentega yang tengik. Dalam lambung akan ditemukan cairan yang
terdiri dari dua lapis, yang satu adalah cairan lambung dan lapisan
lainnya adalah lapisan larutan insektisida.11
48
sianida, alkohol, kloroform maka darah dalam jantung dan
pembuluh darah besar tetap cair, tidak terdapat bekuan darah.
b. Lidah
Perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau
menunjukan kelainan yang disebabkan oleh zat korosif.
c. Esofagus
Bagian atas dibuka sampai pada ikatan di atas diafragma, apakah
terdapat regurgitasi dan selaput lendir. Perhatikan adanya
hiperemis dan korosif.
e. Paru-paru
Ditemukan kelainan yang tidak spesifik berupa bendungan akut.
Pada inhalasi gas yang merangsang seperti klorin dan nitrogen
oksida ditemukan perbendungan dan oedem hebat serta emfisema
akut karena terjadi batuk-batuk, dispneu dan spasme bronkus.
49
g. Usus-usus
Secara rutin usus-usus sebaiknya dikirim seluruhnya dengan ujung
terikat. Pemeriksaan isi usus diperlukan pada kematian yang
terjadi beberapa jam setelah korban menelan zat beracun dan ingin
diketahui berapa lama waktu tersebut. Isi usus dikeluarkan dengan
membuka satu ikatan dan mengurut usus kemudian ditampung
dalam gelas dan tentukan beratnya. Selaput lendir diperiksa
kemudian dicuci dengan aquadest kemudian air cucian ditimbang
serta dimasukkan ke dalam tabung yang berisi usus. Dalam isi usus
kadang-kadang dapat ditemukan enteric tablets atau tablet lain
yang belum tercerna.
h. Hati
Apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi
lemak sering ditemukan pada peminum alkohol. Nekrosis dapat
ditemukan pada keracunan fosfor, karbon tetrachlorida.
i. Ginjal
Perubahan degeneratif pada korteks ginjal dapat disebabkan oleh
racun yang merangsang ginjal agak membesar, korteks membesar,
gambaran tidak jelas dan berwarna suram kelabu kuning.
j. Urin
Dengan semprit dan jarum yang bersih urin diambil dari kandung
kemih. Urin merupakan cairan yang paling baik untuk spot test
yang mudah dikerjakan sehingga dapat diperoleh petunjuk
pertama dalam suatu analisis toksikologi secara sistematis.
k. Otak
Pada keracunan akut dengan kematian yang cepat biasanya tidak
ditemukan adanya edema otak misalnya pada kematian cepat
50
akibat barbiturat atau eter dan juga pada keracunan kronik arsen
atau timah hitam. Perdarahan kecil dalam otak dapat ditemukan
pada keracunan karbon monoksida, barbiturat, nitrogen oksida dan
logam berat seperti merkuri, arsen dan timah hitam.
l. Jantung
Racun-racun yang dapat menyebabkan degenerasi parenkim,
lemak atau hidrofik pada epitelium dapat menyebabkan degenerasi
sel-sel otot jantung sehingga jantung menjadi lunak, berwarna
merak pucat coklat kekuning-kuningan dan ventrikel mungkin
melebar. Pada keracunan karbon monoksida bila korban hidup
selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak
dalam otot septum interventrikel bagian ventrikel kiri atau
perdarahan bergaris pada musculus papillaris ventrikel kiri dengan
garis menyebar radial dari ujung otot tersebut sehingga tampak
gambaran seperti kipas. Pada keracunan arsen hampir selalu
ditemukan perdarahan kecil seperti nyala api (flame-like) di bawah
endokardium septum interventrikel ventrikel kiri. Pada keracunan
fosfor juga dapat ditemukan perubahan-perubahan itu.
m. Limpa
Selain adanya pembendungan akut, limpa tidak menunjukan
kelainan patologik. Limpa jarang dipergunakan dalam analisis
toksikologik, sehingga umumnya limpa tidak diambil terkecuali
bila tidak dapat diperoleh lagi darah dari jantung dan pembuluh-
pembuluh darah besar.
n. Empedu
Empedu merupakan bahan yang baik untuk penentuan glutetimida
(doriden), quabaina (Strophantin, Strophantus gratus), morfin dan
heroin.
51
o. Lemak
Jaringan lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak di
bawah kulit perut. Beberapa racun cepat diabsorpsi dalam jaringan
lemak dan kemudian dengan lambat dilepaskan ke dalam darah.
Jika terdapat sangkaan bahwa korban meninggal akibat
penyuntikan, jaringan di sekitar tempat suntikan diambil dalam
radius 5-10 cm.
p. Rambut
Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala, rambut diikat
terlebih dahulu sebelum dicabut, termasuk akar-akarnya, dan
kemudian diberi label agar ahli toksikologi dapat mengenali mana
bagian proksimal dan distal. Rambut diambil kira-kira 10 gram
tanpa menggunakan pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap
bagian rambut yang telah digunting beberapa bagian dimulai dari
bagian proksimal dan setiap bagian panjangnya ½ inci atau 1 cm,
terhadap setiap bagian itu ditentukan kadar arsennya.
q. Kuku
Kuku diambil sebanyak 10 gram, di dalamnya selalu harus
terdapat kuku-kuku kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku
dicabut dan dikirim tanpa diawetkan. Ahli toksikologi membagi
kuku menjadi 3 bagian mulai dari proksimal. Kadar tertinggi
ditemukan pada 1/3 bagian proksimal.11
3. Pemeriksaan Toksikologi
Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun umumnya
tidak akan dijumpai kelainan-kelainan yang khas yang dapat dijadikan
pegangan untuk menegakan diagnosis atau menentukan sebab
kematian karena racun suatu zat. Jadi pemeriksaan toksikologi mutlak
52
harus dilakukan untuk menentukan adanya racun pada setiap kasus
keracunan atau yang diduga mati akibat racun.
Setelah mayat si korban dibedah oleh dokter kemudian diambil dan
dikumpulkan jaringan-jaringan atau organ-organ tubuh si korban
untuk dijadikan barang bukti dan bahan pemeriksaan toksikologi.
Prinsip pengambilan sampel pada keracunan adalah diambil
sebanyak-banyaknya setelah disisihkan untuk cadangan dan untuk
pemeriksaan histopatologis. Secara umum sampel yang harus diambil
adalah:
a. Lambung dengan isinya
b. Seluruh usus dengan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-
ikatan pada usus setiap jarak sekitar 60cm.
c. Darah yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari
perifer (v. jugularis, a. femoralis dan sebagainya) masing-masing
50 ml dan dibagi 2, yang satu diberi bahan pengawet (NaF 1%),
yang lain tidak diberi bahan pengawet.
d. Hati sebagai tempat detoksifikasi, tidak boleh dilupakan, hati yang
diambil sebanyak 500gram.
e. Ginjal, diambil keduanya, yaitu pada kasus keracunan dengan
logam berat khususnya, dan bila urin tidak tersedia.
f. Otak diambil 500 gram, khusus untuk keracunan kloroform dan
keracunan sianida, hal tersebut dimungkinkan karena otak terdiri
dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan untuk meretensi
racun walaupun telah mengalami pembusukan.
g. Urin diambil seluruhnya, penting oleh karena pada umumnya
racun akan diekskresikan melalui urin, khususnya untuk tes
penyaring pada keracunan narkotika, alkohol, dan stimulan.
h. Empedu sama halnya dengan urin diambil oleh karena tempat
ekskesi berbagai racun terutama narkotika.
i. Pada kasus khusus dapat diambil :
- Jaringan sekitar suntikan dalam radius 5-10 cm.
53
- Jaringan otot, yaitu dari tempat yang terhindar dari
kontaminasi, misalnya otot psoas sebanyak 200 gram.
- Lemak di bawah kulit dinding perut sebanyak 200 gram.
- Rambut yang dicabut sebanyak 10 gram.
- Kuku yang dipotong sebanyak 10 gram.
- Cairan otak sebanyak-banyaknya.11
Pada kasus mayat yang tidak diautopsi, darah diambil dari vena
femoral. Jika vena ini tidak berisi, dapat diambil dari vena subklavia.
Pengambilan darah dengan cara jarum ditusuk pada trans-thoracic
secara acak, secara umum tidak bisa diterima, karena bila tidak
54
berhati-hati darah bisa terkontaminasi dengan cairan dari esofagus,
selaput pericardial, perut/cavitas pleura. Urine diambil dengan
menggunakan jarum panjang yang dimasukkan pada bagian bawah
dinding perut sampai pada tulang pubis.
Pada mayat yang diautopsi darah diambil dari vena femoral. Jika darah
tidak dapat diambil dari vena femoral, dapat diambil dari: vena
subklavia, aorta, arteri pulmonalis, vena cava superior dan jantung.
Darah seharusnya diberi label sesuai dengan tempat pengambilan.
Pada kejadian yang jarang terjadi biasanya berhubungan dengan
trauma masif, darah tidak dapat diambil dari pembuluh darah tetapi
terdapat darah bebas pada rongga badan. Setelah diambil darah diberi
label sesuai dengan tempat pengambilan. Jika dilakukan tes untuk obat
tersebut tidak di bawah efek obat pada saat kematian. Jika tes positif
harus diperhitungkan kemungkinan kontaminsai. Pada beberapa kasus
bahan lain seperti vitreus/otot dapat dianalisa untuk mengevaluasi
akurasi dari hasil tes dalam kavitas darah.11
55
Asetilkolinesterase (AchE) dalam darah dan plasma dapat juga
dilakukan pemeriksaan:
a. Kristalografi
Bahan yang dicurigai berupa sisa makanan/minuman, muntahan,
isi lambung dimasukkan ke dalam gelas beker, dipanaskan dalam
pemanas air sampai kering, kemudian dilarutkan dalam aseton dan
disaring dengan kertas saring. Filtrat yang didapat, diteteskan di
bawah mikroskop. Bila bentuk kristal-kristal seperti sapu, ini
adalah golongan hidrokarbon terklorisasi.
56
Angka yang didapat dicocokan dengan standar, maka jenisnya
dapat ditentukan dengan membandingkan besar bercak dan
intensitas warnanya dengan pembandingan, dapat diketahui
konsentrasinya secara semikuantatif.11
57
bila kasus menyangkut alkohol. Sebagai gantinya dapat digunakan
sublimate 1% atau merkuri klorida 1%.
2.2 Pestisida
2.3.1 Perkembangan Pestisida
Pestisida sama sekali bukanlah suatu penemuan baru. Penggunaan pestisida
yang bertujuan pertama kali dilakukan pada 2500 S.M. ketika bangsa Sumeria
menggosok senyawa sulfur yang berbau busuk pada tubuh mereka untuk
mengendalikan serangga dan tungau dengan keyakinan bahwa bau busuk akan
mengusir hama. Orang Mesir kuno juga bereksperimen dengan pestisida. Ebers’
Papyrus, suatu dokumen medis tertua, menjelaskan lebih dari 800 resep, yang mana
banyak mengandung zat yang dapat dikenali, yang digunakan sebagai racun dan
pestisida.
Di Yunani, Homer mendeskripsikan bagaimana Odysseus “mengasapi aula,
rumah dan pengadilan dengan membakar belerang untuk mengendalikan hama”
sekitar 1000 S.M. Sekitar waktu yang sama, orang Cina menggunakan senyawa
yang terbuat dari merkuri dan arsenik untuk mengendalikan kutu tubuh. Orang Cina
pada saat ini sudah menggunakan semut sebagai predator untuk melindungi kebun
jeruk dari ulat dan kumbang kayu. Mereka bahkan menggunakan tali atau bambu
yang diikat di antara cabang-cabang yang berdekatan untuk memudahkan semut
bergerak dari satu tempat ke tempat lain, ini mungkin bentuk paling awal dari
Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). Sekitar 300 S.M. Theophrastus, dianggap
sebagai bapak botani modern, adalah orang pertama yang menulis tentang berbagai
kerusakan akibat hama. Dia dikatakan membunuh pohon muda yang tidak
diinginkan dengan menuangkan minyak zaitun ke akarnya. Dia juga mengamati
58
bahwa gulma tertentu berhubungan dengan tanaman tertentu juga. Cato, seorang
pejabat negara Romawi yang hidup dari tahun 234 S.M. hingga 149 S.M.,
menganjurkan penggunaan semprotan yang dibuat dari minyak tanaman hellebore
untuk membunuh tikus dan serangga.
Marcus Terentius Varro, yang dikenal pada masanya sebagai yang paling
terpelajar dari semua orang Romawi, diberi penghargaan atas penemuan bahan
kimia pembunuh gulma pertama pada abad pertama S.M. Dia mencatat bahwa
amurca yang terbuat dari zaitun yang dihancurkan, bersifat toksik bagi semut, tikus
mondok, dan gulma. Setiap kali amurca meresap ke tanah, tanah menjadi tandus,
meskipun ini kemungkinan karena penambahan garam ke zaitun sebelum ditekan
ke tanah. Varro mulai merekomendasikan aplikasi amurca untuk semua bibit
berbahaya.
Amurca adalah bahan dasar untuk berbagai pembasmi hama. Amurca
biasanya direbus dalam wadah tembaga dan sering dicampur dengan garam. Baik
tembaga dan garam memiliki sifat pestisida. Amurca digunakan untuk membasmi
serangga serta gulma. Palladius menulis tentang pencampuran amurca dan ekstrak
mentimun atau lupin yang ditambah urin untuk mengusir ulat dari kubis. Orang
Romawi menggunakan belerang yang dibakar untuk mengendalikan serangga dan
garam untuk mengendalikan gulma. Pada 800 M, orang Cina menggunakan
campuran arsenik dan air untuk mengendalikan serangga di ladang dan kebun jeruk.
Pestisida telah ada selama berabad-abad meskipun kemajuan dalam
pengendalian hama masih minimal sampai saat ini. Pada tahun 1750-1880, Eropa
mengalami revolusi pertanian. Perlindungan tanaman menjadi lebih luas dan
perdagangan internasional membantu penemuan dan penggunaan insektisida
pyrethrum dan derris. Ini adalah saat yang sama ketika buku dan kertas yang
ditujukan untuk pengendalian hama mulai muncul. Rotenone terkenal sebagai
insektisida untuk mengendalikan ulat pemakan daun. Pada awal abad ke-19, para
ilmuwan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang jamur, dan pada tahun 1807,
mereka menggunakan larutan tembaga sulfat untuk mengendalikan bunt disease
pada gandum. Paris green, dikembangkan pada tahun 1867 dari campuran tembaga
59
& arsenik, digunakan secara luas untuk mengendalikan kumbang kentang dan
melindungi anggur dari kerusakan serangga.
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, Eropa dan AS menggunakan asam
sulfat encer, sulfat besi, tembaga sulfat (vitriol biru), tembaga nitrat, dan natrium
arsenat untuk mengendalikan gulma pada tanaman sereal. Pada tahun 1885,
campuran kapur terhidrasi dan tembaga sulfat (dikenal sebagai "campuran
Bordeaux") digunakan untuk mengendalikan jamur pada anggur. Campuran
Bordeaux masih merupakan salah satu fungisida yang paling banyak digunakan di
seluruh dunia. Pyrethrum, insektisida alami yang dibuat dari berbagai bunga krisan,
digunakan sebagai bubuk kutu. Bahkan minyak bumi digunakan untuk
mengendalikan gulma di parit dan pada tanaman wortel.
Pada tahun 1880, penyemprot pertama memungkinkan pestisida disemprot
dalam butiran halus. Formulasi yang lebih tua seperti Paris green tergantikan
dengan formulasi yang lebih murah seperti timbal arsenat. Segera setelah itu, pada
tahun 1896, herbisida selektif pertama, besi sulfat, diketahui telah membunuh
gulma.
Ketika pestisida menjadi lebih efektif, para petani bermimpi untuk
mendispersikan pestisida dari udara untuk mencakup area yang luas secara efisien.
Namun, aplikasi udara pertama dari insektisida tidak terjadi sampai tahun 1921
ketika petani Ohio berjuang melawan Sphinx Moth catalpa. Pilot menjatuhkan debu
timbal arsenate dari pesawat yang dimodifikasi. Dengan prinsip ini, sekarang sawah
dapat disemprot dengan cepat dan efisien melalui udara.
Pada tahun 1934, dengan diciptakannya fungisida, thiram, yang berlanjut
pada pengembangan serangkaian fungisida yang efektif dan banyak digunakan
selama sepuluh tahun ke depan. Ahli kimia Swiss, Paul Müller, mengembangkan
senyawa baru pada tahun 1939 yang akan mengubah kehidupan petani dan orang-
orang di seluruh dunia secara drastis. Müller menemukan sifat insektisida dari DDT
(dichlorodiphenyltrichloroethane), sebuah inovasi yang kemudian membuatnya
mendapatkan hadiah Nobel. Dia menunjukkan bahwa DDT membunuh kumbang
kentang Colorado, hama yang merusak tanaman kentang di seluruh Amerika Utara
dan Eropa.
60
DDT, bahan kimia organik sintetis pertama untuk kontrol selektif, dengan
cepat menjadi “insektisida ajaib" yang baru. Senyawa ini mendapat pengakuan
karena menyelamatkan ribuan nyawa selama perang dunia II dengan membunuh
kutu pembawa tipus dan nyamuk pembawa malaria. Namun, di tahun-tahun
mendatang, produk 30-an ini akan beralih dari penyelamat menjadi bencana.
DDT akhirnya dilarang, tetapi hal ini membuka kesempatan insektisida kimia
organik baru yang akan mengubah pertanian dalam dekade-dekade berikutnya.
Faktanya, perang dunia II berperan sebagai papan pijakan untuk industri pertanian-
kimia modern. Bahan kimia dan teknologi yang awalnya dikembangkan untuk
peperangan selama era itu kemudian dialihkan untuk digunakan di pertanian.
Sebagai contoh, para ilmuwan Jerman yang bereksperimen dengan gas saraf selama
perang dunia II, mensintesis suatu insektisida golongan organofosfat, yaitu
parathion. Zat ini pertama kali dipasarkan pada tahun 1943, dan hingga hari ini,
parathion masih banyak digunakan. Perang dunia II menandai zaman ilmiah
pestisida karena terciptanya DDT, BHC, Aldrin Dieldrin, endrin dan herbisida
fenoksi seperti 2,4-D; 2,4-DP (1944); dan 2,4,5-T (1945).
Sepanjang tahun 1950-an dan 60-an, jenis bahan kimia ini menjadi agen
utama dalam pengendalian hama. Dekade ini sering disebut era racun organofosfat.
Malathion diperkenalkan oleh American Cyanamid Company pada tahun 1950.
Herbisida atrazin, paraquat, dan pikloram dikembangkan pada tahun 1958 dan
1960. Namun, telah menjadi hal yang sangat umum bagi orang untuk menggunakan
bahan kimia ini dalam jumlah besar sebagai upaya untuk “mensterilkan” habitat
dari hama, menciptakan kekacauan ekologis. Rachel Carson, pada tahun 1962,
dalam bukunya, The Silent Spring, menceritakan peringatan penggunaan pestisida
secara berlebihan pertama yang banyak dibaca. Meskipun banyak yang
menganggap faktanya dipertanyakan, The Silent Spring merupakan tantangan besar
bagi penyalahgunaan pestisida sintetik dan memprakarsai gerakan menuju regulasi
agrokimia yang masih dalam perdebatan sengit hingga saat ini.12
61
2.3.2 Klasifikasi Pestisida
Pestisida adalah zat atau campuran zat yang dimaksudkan untuk mencegah,
menghancurkan, menangkal, atau mengurangi kerusakan akibat hama. Hama
tersebut dapat berupa serangga, tanaman patogen, gulma, moluska, burung,
mamalia, ikan, nematoda (cacing gelang) dan mikroba yang berkompetisi dengan
manusia untuk mendapatkan makanan, menghancurkan barang, menyebarkan atau
membantu membawa atau menyebarkan penyakit atau dilihat sebagai gangguan.
Pestisida yang paling umum digunakan mencakup insektisida, herbisida, fungisida
dan rodentisida. Pestisida lain yang jarang dikenal terdiri dari pengatur
pertumbuhan, defoliasi tanaman, desinfektan permukaan dan beberapa bahan kimia
kolam renang. Umumnya, pestisida digunakan di bidang kesehatan dan tanaman
pertanian. Mereka berguna dalam kesehatan masyarakat untuk membunuh vektor
penyakit, seperti nyamuk, sedangkan hama yang merusak tanaman pertanian
dibunuh oleh pestisida. Secara alami, pestisida berpotensi toksik bagi organisme
non-target lainnya, termasuk manusia. Karena itu, perlu menggunakannya dengan
aman dan membuangnya dengan benar.
Jenis pestisida berbeda dalam sifat fisik, kimia, dan kemiripan struktur antara
satu golongan dengan golongan lainnya. Pestisida diklasifikasikan ke dalam
berbagai kelas yang berbeda sesuai kebutuhannya. Drum mengklasifikasikan
pestisida ke dalam 3 kelas, yaitu:
1. Klasifikasi berdasarkan jalur masuknya
a. Sistemik
Pestisida sistemik adalah pestisida yang diserap oleh tanaman atau hewan
dan dipindahkan ke jaringan yang tidak terpapar. Herbisida sistemik
bergerak melalui tanaman dan dapat mencapai area daun, batang atau akar
yang tidak terpapar. Mereka mampu membunuh gulma dengan cakupan
semprotan parsial. Contoh pestisida sistemik: 2,4-Dichlorophenoxyacetic
acid (2, 4-D) dan glifosat.
62
b. Non-sistemik (Kontak)
Pestisida kontak hanya bekerja pada hama target ketika terjadi kontak fisik
antara keduanya. Pestisida memasuki tubuh hama melalui epidermisnya
saat kontak dan menyebabkan kematian dengan keracunan. Pestisida ini
tidak menembus jaringan tanaman dan akibatnya tidak diangkut melalui
sistem vaskular tanaman. Contoh pestisida kontak adalah paraquat dan
diquat dibromide.
c. Racun lambung
Pestisida jenis ini masuk ke tubuh hama melalui mulut dan sistem
pencernaan sewaktu menelan insektisida pada daun dan bagian lain dari
tanaman dan menyebabkan kematian akibat keracunan. Penggunaannya
lebih tepat terutama dalam pengendalian vektor termasuk bakteri, atau
toksinnya, yang ditambahkan pada air dimana nyamuk atau larva lalat hitam
akan mengonsumsi racun tersebut. Insektisida ini membunuh vektor dengan
menghancurkan midgut larva. Contoh: Malathion.
d. Fumigant
Fumigant adalah pestisida yang bekerja atau membunuh hama target
melalui produksi gas beracun saat digunakan. Uap pestisida ini memasuki
tubuh hama melalui sistem trakea (pernapasan) melalui spirakel dan
menyebabkan kematian karena keracunan. Beberapa bahan aktifnya adalah
cairan ketika dikemas di bawah tekanan tinggi tetapi berubah menjadi gas
saat dilepaskan. Bahan aktif lainnya adalah cairan yang mudah menguap
bila dimasukkan ke dalam wadah biasa dan tidak diformulasikan di bawah
tekanan. Pestisida ini digunakan untuk menghilangkan produk simpanan
hama pada buah-buahan, sayuran dan biji-bijian. Pestisida ini juga sangat
berguna dalam mengendalikan hama di tanah.
63
e. Repellent
Repellent tidak membunuh tetapi menjauhkan hama dari tanaman. Pestisida
ini juga mengganggu kemampuan hama untuk menemukan tanaman.
64
Tabel 2.2 Klasifikasi pestisida berdasarkan fungsinya.13
65
World Health Organization (WHO) membuat klasifikasi pestisida
berdasarkan risiko kesehatan yang berhubungan dengan pestisida dan sifat
toksiknya. WHO melakukan eksperimen pada tikus dan binatang percobaan lainnya
dengan memasukkan dosis pestisida per oral dan dermal, lalu diperkirakan LD50
rata-rata untuk menghasilkan klasifikasi ini. WHO membagi pestisida ke dalam 4
kategori mulai dari toksisitas yang tertinggi (I) ke yang terendah (IV).13
66
seberapa besar dampak bahayanya bagi kesehatan manusia. Toksisitas senyawa
kimia bergantung pada sifat alami toksikan, jalur paparan (oral, dermal, dan
inhalasi), dosis, dan organisme. Toksisitas dapat berlangsung akut maupun kronik.
Toksisitas akut adalah kemampuan suatu zat untuk menimbulkan dampak
berbahaya yang berkembang cepat setelah diabsorpsi (hitungan jam atau hari).
Toksisitas kronik adalah kemampuan suatu zat untuk menimbulkan dampak
gangguan kesehatan akibat paparan jangka lama terhadap zat tersebut. Toksisitas
insektisida umumnya dinyatakan dalam LD50 atau LC50.13
A. Toksisitas Akut
Dampak berbahaya yang timbul akibat paparan tunggal melalui jalur masuk
apa pun disebut efek akut. Terdapat empat jalur paparan, yaitu kulit, inhalasi (paru-
paru), mulut, dan mata. Toksisitas akut ditentukan dengan pemeriksaan toksisitas
kulit, toksisitas inhalasi, dan toksisitas oral hewan coba. Selain itu, iritasi mata dan
kulit juga diperiksa. Penyakit akut umumnya muncul dalam waktu singkat setelah
kontak dengan pestisida. Penyemprotan pestisida di ladang pertanian, paparan
pestisida selama penggunaan dan keracunan yang disengaja atau tidak disengaja
umumnya menimbulkan penyakit akut pada manusia. Beberapa gejala seperti sakit
kepala, sakit di tubuh, ruam kulit, konsentrasi yang buruk, mual, pusing, gangguan
penglihatan, kram, serangan panik dan dalam kasus yang parah, koma dan kematian
dapat terjadi akibat keracunan pestisida. Sekitar 3 juta kasus keracunan akut akibat
pestisida dilaporkan di dunia setiap tahunnya. Dari 3 juta kasus keracunan pestisida
ini, 2 juta adalah upaya bunuh diri dan sisanya adalah kasus keracunan akibat
pekerjaan atau kecelakaan.13
B. Toksisitas Kronik
Dampak berbahaya yang terjadi dari paparan berulang dosis kecil pestisida
selama periode waktu tertentu disebut efek kronik. Efek kronik dari paparan
pestisida tertentu mencakup cacat lahir, toksisitas pada janin, dan terbentuknya
tumor jinak atau ganas, perubahan genetik, kelainan darah, gangguan saraf,
gangguan endokrin, dan efek reproduksi. Lebih sulit menentukan toksisitas kronik
67
suatu pestisida daripada toksisitas akut melalui analisis laboratorium. Paparan dosis
subletal pestisida yang berulang dan berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama
(beberapa tahun hingga dekade) menyebabkan penyakit kronik pada manusia.
Gejala tidak segera terdeteksi tetapi baru muncul pada stadium lanjut. Umumnya,
petani berisiko lebih tinggi untuk terkena dampaknya. Namun populasi umum juga
mempunyai kesempatan yang sama untuk terkena dampaknya terutama karena
makanan dan air yang terkontaminasi atau terpapar pestisida yang disemprot di
ladang. Baru-baru ini beberapa penelitian menghubungkan antara paparan pestisida
dan kejadian penyakit kronik pada manusia yang mempengaruhi sistem saraf,
reproduksi, ginjal, kardiovaskular, dan pernapasan.13
68
Senyawa OP sangat fleksibel dan sering digunakan di lingkungan dan industri
yang bergerak di bidang pertanian dan medis. OP digunakan sebagai antioksidan,
zat aditif minyak bumi dan stabilisator untuk plastik dan minyak industri, serta di
bidang agrokimia (insektisida, herbisida, fungisida), sebagai agen yang relatif aman
dan efektif. Sejumlah senyawa OP telah terbukti sebagai agen antikanker yang
potensial, di antaranya adalah siklofosfamid dan turunannya. OP juga digunakan
sebagai penggugur daun, pemadam api, pelarut dan pelunak, tetapi terutama
digunakan sebagai pestisida dan agen saraf sebagai senjata kimia perang (chemical
warfare agent/CWA).
CWA merupakan salah satu temuan yang paling penting sejak tahun 1940-an,
namun sayangnya telah digunakan sebagai senjata dan untuk terorisme selama
beberapa dekade terakhir. Meskipun CWA memiliki kemiripan dalam stuktur kimia
dan fungsi biologis dengan sebagian besar pestisida OP, potensi toksisitas dan
fatalitasnya umumnya lebih tinggi daripada pestisida OP. CWA secara tradisional
diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu agen G dan V. Senyawa GV (2-
dimethylaminoethyl-(dimethylamido)-fluorophosphate) yang mengandung struktur
agen G dan V juga ada. Agen G mencakup tabun (GA; ethyl N, N-
dimethylphophoramidocyanidate), sarin (GB; 2-fluoromethylphophoryloxypropane),
soman (GD; 3-fluoromethyl-phosphoryloxy-2, 2-dimethyl-butane) dan siklosarin
(GF; fluoro-methylphophoryloxycyclohexane). Agen V mencakup VE (S-2-
diethylaminoethyl O-ethylethylphophonothioate), VM (2-ethoxy-methylphosphoryl
sulfanyl-N, N-diethylethanamine), VG (2-diethoxyphosphorylsulfanyl- N, N-
diethylethanamine), VR (N, N-diethy-2-methyl-2-methylpropoxy
phosphorylsulfanylethanamine), dan VX (S-2 diisopropylamino O-
ethylmethylphosphonothioate). VX adalah agen utama dan tertua dari seri V dan
telah diproduksi dalam jumlah besar.
Tabun (GA) digunakan untuk pertama kalinya oleh pasukan Irak saat
melawan tentara Iran pada tahun 1984 di pulau Majnoon. Pasukan Irak juga
menggunakan CWA lainnya (GB; sarin) pada tahun 1988 melawan populasi Kurdi
Halabjah di utara Irak. Sarin juga digunakan dalam serangan teroris di Matsumoto
69
dan Tokyo metro pada tahun 1993 dan 1994, yang menyebabkan sekitar 6.000
orang keracunan dengan 18 kematian.14
70
Senyawa organofosfat yang banyak digunakan dikelompokkan berdasarkan
toksisitasnya dengan ukuran LD50 sebagai berikut:
1. Sangat beracun (LD50 = 1-50 mg/kg), atau toksik (LD50 = 51-500 mg/kg):
Chlorfenvinphos, Chlorpyriphos, Demeton, Diazinon, Dichlorvos, Dimethoate,
Disulfoton, Ediphenphos, Ethion, Fenitrothion, Fensulfothion, Fenthion,
Fonophos, Formothion, Methyl Parathion, Mevinphos, Monocrotophos,
Oxydemeton Methyl, Phenthoate, Phorate, Phosphamidon, Quinalphos, TEPP,
dan Thiometon.
2. Senyawa berikut cukup toksik (LD50 = 501-5000 mg/kg), atau sedikit toksik
(LD50 ≥ 5000 mg/kg): Abate, Acephate, Coumaphos, Crufomate, Famphur,
Glyphosate, Malathion, Phenthoate, Primiphos Methyl, Ronnel, Temephos,
Triazophos, dan Trichlorphon.17
71
OP adalah pestisida yang paling umum digunakan di sebagian besar negara di
dunia untuk melindungi tanaman pertanian dari hama. OP telah menjadi semakin
populer baik untuk pertanian maupun penggunaan di rumah karena struktur
kimianya yang tidak stabil menyebabkan hidrolisis yang cepat dan akumulasi
jangka panjang yang sedikit di lingkungan. Penggunaan dan keterjangkauannya
yang luas telah mengakibatkan meningkatnya angka keracunan manusia terutama
di negara-negara berkembang. Angka keracunan OP diperkirakan sekitar 3.000.000
per tahun, dan lebih dari 80% merupakan pasien rawat inap akibat pestisida.
Tingkat fatalitas total diperkirakan sekitar 20%. Pekerja yang menggunakan OP
berisiko lebih tingi terpapar daripada pekerja yang tidak menggunakan OP.
Inhalasi, dermal, dan/atau okular merupakan jalur paparan yang paling umum pada
pekerja. Tenaga medis juga berisiko terpapar OP karena adanya kontaminasi
sekunder dari kontak dekat atau penanganan pasien dengan keracunan OP akut.
Keracunan OP dapat terjadi secara disengaja maupun tidak disengaja.
Terdapat perbedaan pola keracunan OP di negara berkembang dan negara maju.
Bunuh diri dan keracunan OP terkait pekerjaan pada petani sering dijumpai di
negara berkembang, sedangkan keracunan OP yang tidak disengaja yang utama
dijumpai di negara maju.18
72
transportasi (proses ini sedikit banyak tertunda), dan didistribusikan ke dalam sisi
efek metabolik dan toksik. OP dapat diserap oleh rute apapun termasuk transdermal,
transconjunctival, inhalasi, melintasi mukosa saluran cerna dan melalui injeksi
langsung.
Metabolisme terjadi terutama melalui oksidasi, dan hidrolisis oleh esterase
dan oleh reaksi dengan glutation. Demetilasi dan glukuronidasi juga dapat terjadi.
Oksidasi pestisida OP dapat menghasilkan produk beracun. Secara umum
fosforotioat tidak beracun secara langsung namun membutuhkan metabolisme
oksidatif pada racun proksimal. Reaksi glutation transferase menghasilkan produk
yang, dalam banyak kasus, rendah toksisitasnya. Reaksi hidrolisis dan transferase
mempengaruhi kedua thioate tersebut dan turunannya. Berbagai reaksi konjugasi
mengikuti proses metabolisme primer dan eliminasi. Residu mengandung fosfor
dapat diekskresi melalui urine atau feses. Parathion, misalnya, harus diaktifkan
melalui oksidasi di hati oleh enzim sitokrom P450 mikrosomal menjadi paraoxon,
penghambat kolinesterase poten. Kedua senyawa tersebut dengan cepat dihidrolisis
oleh esterase plasma dan jaringan, menjadi asam diethylthiophosphoric, asam
dietil-fosfat, dan p-nitrofenol. Produk ini diekskresikan sebagian besar di urin dan
mewakili mayoritas dosis parathion. Metabolitnya (dapat kurang atau lebih beracun
daripada senyawa induknya) dilepaskan ke dalam aliran darah dan didistribusikan
ke lokasi target.
Organofosfat dapat dimetabolisme, dapat terikat pada protein, enzim, dan
lain-lain. Dengan demikian, ada beberapa kemungkinan untuk pengambilan sampel
biologis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5. Sampel biologis yang mungkin
diperoleh pra atau post mortem dapat dianalisis dengan cara yang berbeda seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.6. Namun, cairan dan organ sangat penting untuk
deteksi keracunan pada manusia (ini lebih penting untuk diagnosis laboratorium
penyakit lain).17
73
Gambar 2.5 Tahapan toksokinetika OP terkait dengan sampel untuk diagnosis
keracunan OP.17
74
Kolinesterase termasuk ke dalam kelompok hidrolase yang membelah ikatan
ester, yaitu subkelompok esterase yang mengkatalisis hidrolisis ester menjadi
alkohol dan asam. Kolinesterase menghidrolisis ester kolin lebih cepat daripada
ester lainnya dan sensitif terhadap OP dan eserine. Berdasarkan afinitas terhadap
substrat alaminya yaitu ester kolin, kolinesterase dibagi menjadi AChE dan BuChE.
AChE (kolinesterase spesifik atau “true”, jenis "e" kolinesterase, acetycholine
acetylhydrolase, E.C. 3.1.1.7) dengan afinitas yang lebih tinggi terhadap asetilkolin
daripada butirylkolin, dan menghidrolisis asetil beta metilkolin. Aktivitas AChE
yang tinggi diamati pada eritrosit, otak, organ Electrophorus Electricus dan
sambungan neuromuskular. AChE terdiri dari subunit dan dapat dipisahkan ke
dalam bentuk molekul yang berbeda. BuChE (pseudokolinesterase, kolinesterase
tidak spesifik, jenis “s” kolinesterase, butyrylcholinesterase, acylcholine
asylhydrolase, E.C. 3.1.1.8) terdapat dalam plasma (serum), pankreas dan hati.
BuChE tidak menghidrolisis asetil-beta-metilkolin dan memiliki afinitas yang lebih
tinggi terhadap butiril dan propionil kolin dibandingkan dengan asetilkolin.
Terdapat isoenzim BuChE yang ditentukan secara genetik. Tergantung pada materi
genetik, beberapa individu memiliki aktivitas BuChE yang sangat rendah atau tidak
sama sekali. Orang-orang dengan aktivitas BuChE yang genetik dapat berisiko
lebih tinggi bila terkena pestisida. Plasma individu dengan aktivitas BuChE normal
menghidrolisis suksinilkolin atau mengikat sebagian pestisida OP dan oleh karena
itu, dosis sebenarnya dari senyawa-senyawa ini yang menembus ke lokasi target
berkurang. Jika tidak terjadi BuChE, dosis yang diberikan tidak akan menurun dan,
oleh karena itu, dosis relatif lebih tinggi terjadi.17
75
difenthion, chlorfenthion). Senyawa yang larut lemak mungkin tidak menyebabkan
toksisitas selama beberapa hari sampai minggu karena zat tersebut harus
dikeluarkan dari lemak sampai jumlah kolinesterase yang cukup dihambat untuk
menimbulkan gejala. Agen lain yang mungkin telah menunda timbulnya gejala
termasuk senyawa yang memerlukan aktivasi hati untuk mengubah zat ke keadaan
toksik aktifnya (misalnya parathion ke paraoxon).
Pasien akan tetap sakit secara klinis selama ada toksin aktif yang tersedia
untuk mengikat kolinesterase bebas dan menekan kolinesterase menjadi kurang dari
20% aktivitasnya. Hal ini dipengaruhi oleh laju hidrolisis endogen (hitungan bulan
untuk organofosfat sampai jam untuk karbamat), jumlah esterase nonspesifik yang
tidak terikat yang tersedia untuk menghilangkan racun bebas, dan menyebarkan
pralidoxime. Kecuali agen yang larut lemak, pada awalnya diyakini bahwa sebagian
besar residu organofosfat dieliminasi dalam 48 jam pertama setelah terpapar. Data
yang lebih baru menunjukkan residu ini mungkin bertahan selama beberapa hari
sampai berminggu-minggu, bahkan setelah pengobatan gejala awal yang berhasil.
AChE, jika tidak diregenerasi oleh oksim nukleofilik seperti penangkal
pralidoxime, harus dihasilkan di terminal saraf, sebuah proses yang mungkin
memakan waktu beberapa bulan. BuChE adalah protein fase akut yang disintesis di
hati yang dapat diganti dalam beberapa minggu.
Senyawa organofosfat menghambat fungsi hidrolase ester karboksilat seperti
kimotripsin, AChE, BuChE (pseudokolinesterase), karboksilesterase (aliesterase),
paraoxonase (asterase), dan esterase nonspesifik lainnya di dalam tubuh. Efek klinis
yang paling menonjol dari keracunan OP terkait dengan penghambatan AChE.
Asetilkolin (ACh) adalah neurotransmiter yang ditemukan pada sambungan
neuromuskular, sinapsis preganglionik pada sistem saraf otonom simpatis dan
parasimpatis, terminal parasimpatis postganglionik (muskarinik), dan di dalam
otak. Potensial aksi yang dihasilkan oleh stimulasi sistem kolinergik menyebabkan
pelepasan ACh yang dimediasi kalsium di terminal saraf. ACh kemudian mengikat
reseptor postsinaptik melalui protein G (muskarinik) dan saluran ion terkait ligan
(nikotinik). Pengikatan reseptor mengubah aliran ion kalium, natrium, dan kalsium
yang menyebabkan perubahan permeabilitas membran dan potensial membran
76
yang berubah. Hal ini memungkinkan untuk propagasi potensial aksi. AChE, yang
menghidrolisis ACh menjadi asam asetat dan kolin, ditemukan di setiap lokasi
dimana ACh adalah neurotransmiter operatif. Hal ini mengakhiri efek pengikatan
ACh melalui penghancuran ACh dengan cepat di celah sinaptik. Ketika AChE tidak
aktif, ACh menumpuk dan depolarisasi membran masif terjadi, mengakibatkan
stimulasi reseptor tetanik dan kelumpuhan fungsi.
ACh berikatan pada lekukan asil pada molekul AChE. Di dekat lekukan
adalah situs pengikat anionik dan situs aktif serin. Bentuk lekukan memberi
stereospesifikasi karena mengikat AChE. ACh memasuki kantong dan mengikat di
tempat aktif kolin, menyebabkan perubahan alosterik dalam bentuk lekukan.
Setelah hidrolisis enzimatik ACh menjadi asam asetat dan kolin, lekukan akan
kembali berbentuk normal.
Organofosfat adalah penghambat kuat asetilkolinesterase. Akibatnya,
asetilkolin terakumulasi pada reseptor dan menyebabkan kelumpuhan saraf atau
otot. Organofosfat dan karbamat berikatan di kantong asil di tempat aktif AChE.
Pengikatan gugus fosfat (organofosfat) atau karbamil (karbamat) ke asam amino
serin di tempat aktif ACh mengubah konfigurasi molekul enzim, menstabilkan dan
mencegahnya berfungsi. Kelompok karbamil dari karbamat secara spontan akan
terdisosiasi dalam waktu 24 jam, meninggalkan enzim fungsional. Namun,
regenerasi spontan AChE yang terfosforilasi membutuhkan waktu beberapa hari
sampai berbulan-bulan. Jadi, dari perspektif fisiologis, enzim yang terfosforilasi
oleh organofosfat secara permanen tidak aktif. Fungsi hanya dapat dipulihkan jika
enzim baru dibuat atau obat penawar menggantikan bagian fosfat. Karena
regenerasi enzim memakan waktu berminggu-minggu, satu-satunya pilihan
fisiologis adalah menggunakan obat penawar.17
77
Gambar 2.7 Efek Organofosfat terhadap AChE.17
78
c. Manifestasi sistem saraf pusat (SSP): kecemasan, sakit kepala, tremor, ataksia,
kelumpuhan, emosi yang labil, kebingungan, kejang, koma, dan depresi sistem
kardiorespirasi.19
79
Tabel 2.7 Gejala keracunan OP.21
80
Gejala yang paling awal terlihat adalah adanya kelemahan fleksi leher dengan
ketidakmampuan untuk mengangkat kepala dari bantal.
81
berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari suatu bahan yang mengalami
metabolisme dalam tubuh (dalam darah, urin, udara, dan udara pernafasan),
contohnya aktivitas AChE dalam darah untuk investigasi kasus keracunan
organofosfat.
Untuk pemeriksaan toksikologik insektisida perlu diambil darah, jaringan hati,
limpa, paru-paru dan lemak badan. Penentuan kadar AChE dalam darah dan plasma
dapat dilakukan dengan cara tintimeter (Edson) dan cara paper-strip (Acholest).
1. Cara Edson: berdasarkan perubahan pH darah
AChE
Ach Kolin + Asam asetat
2. Cara Acholest
Ambil serum darah korban dan teteskan pada kertas Acholest bersamaan
dengan kontrol serum darah normal. Pada kertas Acholest sudah terdapat ACh
dan indikator. Waktu perubahan warna pada kertas tersebut dicatat. Perubahan
warna harus sama dengan perubahan warna pembanding (serum normal) yaitu
warna kuning telur.
Interpretasi :
• Kurang dari 18 menit → tidak ada keracunan
• 20-35 menit → keracunan ringan
82
• 35-150 menit → keracunan berat
83
Selain analisa toksikologi, pemeriksaan post mortem juga merupakan hal
yang penting pada kasus keracunan. Tanda postmortem yang dijumpai pada kasus
keracunan OP berupa tanda-tanda asfiksia. Pada pemeriksaan luar: adanya sianosis,
lebam mayat berwarna livid, busa pada hidung dan mulut, yang dapat disertai
bercak darah. Bau minyak yang menandakan pelarut dari bahan toksik juga dapat
dijumpai. Pemeriksaan dalam: kongesti mukosa lambung dan usus, tercium bau
minyak pada isi lambung (kandungan pelarut bahan toksik), bintik-bintik
perdarahan (petechial hemorrhagic spots) pada permukaan subpleura dan
submukosa organ visera, paru-paru bengkak dan edem, busa disertai bercak darah
di saluran pernapasan, dan kongesti organ lainnya.19
84
high flow oxygen dan intubasi. Analisis gas darah serial dilakukan untuk menilai
kecukupan pertukaran gas dan ventilasi.
Hipotensi merupakan komplikasi kardiovaskular utama dari keracunan OP.
Hal ini terjadi akibat penurunan tahanan sistemik dan bradikardi. Asetilkolin
menginduksi pelepasan Nitric Oxide (NO) yang menyebabkan vasodilatasi dan
penurunan resistensi sistemik. Penanganan awal hipotensi berupa pemasangan
akses intravena dan resusitasi cairan dengan NaCl 0,9% untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik > 80 mmHg dan urine output 0,5 ml/kg/jam. Jika hipotensi
tidak teratasi dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor seperti
norepinefrin.24,25
Tabel 2.9 Penilaian awal pasien keracunan OP akut.25
85
Pemberian antidotum berupa sulfas atropin dengan dosis 2 mg I.M. dan
diulang tiap 3-6 menit sampai timbul tanda atropinisasi (wajah merah, mulut kering,
dilatasi pupil dan nadi cepat). Pertahankan atropinisasi dengan mengulang
pemberian atropin 2 mg. Pemberian atropin sebanyak 12 mg dalam 2 jam pertama
cukup aman. Terapi atropin yang terputus akan segera disusul dengan kegagalan
pernafasan. Takaran sulfas atropin untuk anak-anak adalah 0,04 mg/kg BB. Bila
timbul takikardi hebat dapat diberi propranolol.
Kolinesterase reaktivator hanya digunakan pada keracunan organofosfat
tetapi berbahaya untuk keracunan golongan karbamat. Kolinesterase reaktivator
hanya diberikan setelah atropinisasi penuh. Contoh: Pralidoksim (Protopam,
piridin-2-aldoksim metoklorida, 2-PAM) sebanyak 1 gr dalam larutan aquadest I.V.
perlahan-lahan, dapat diulang setelah 30 menit bila pernafasan tidak membaik.
Takaran dapat diberikan 2 kali/24 jam. 2-PAM harus diberikan secepatnya karena
dapat timbul ageing phenomenon, yaitu keadaan dimana ikatan insektisida-AChE
telah mengalami dealkilasi sehingga 2-PAM tidak dapat lagi melepaskan ikatan
tersebut. Hal ini berbahaya karena atropin tidak memperbaiki paralisis otot-otot
pernafasan. Hindari pemakaian morfin, aminofilin, barbiturat, fenotiazin dan obat
yang menimbulkan depresi pernafasan. Kejang-kejang diatasi dengan obat
antikejang (Diazepam). Untuk menghindari terjadinya sindrom intermediate,
pasien harus diobservasi selama 3-4 hari.23
86
BAB III
KESIMPULAN
Pestisida adalah zat atau campuran zat yang dimaksudkan untuk mencegah,
menghancurkan, menangkal, atau mengurangi kerusakan akibat hama. Terdapat
banyak klasifikasi pestisida, salah satunya yaitu pembagian berdasarkan struktur
kimia (organoklorin, organofosfat, karbamat, dan piretroid). Istilah organofosfat
mengacu pada setiap kelompok senyawa organik yang mengandung fosfor.
Keracunan organofosfat dapat terjadi secara disengaja maupun tidak disengaja.
Gejala awal keracunan paling cepat timbul dengan paparan inhalasi atau senyawa
yang disuntikkan dan paling lambat dengan penyerapan transdermal Senyawa
organofosfat merupakan inhibitor kuat asetilkolinesterase dan menyebabkan
asetilkolin terakumulasi pada reseptor nikotinik dan muskarinik. Manifestasi klinis
keracunan organofosfat merupakan efek dari inhibisi reseptor asetilkolin, dapat
berupa manifestasi muskarinik (SLUDGE DUMBELLS), manifestasi nikotinik,
dan manifestasi SSP. Keracunan organofosfat akut juga menimbulkan 3 sindrom
toksik berdasarkan waktu terjadinya kelemahan neuromuskular, yaitu sindrom
kolinergik akut, sindrom intermediate, dan OPIDP.
Diagnosis keracunan organofosfat dibuat berdasarkan anamnesis, tanda dan
gejala klinis, pemeriksaan toksikologik (penentuan kadar AChE dalam darah dan
plasma) dan adanya barang bukti serta temuan postmortem (autopsi). Tanda
postmortem pada kasus keracunan organofosfat sesuai dengan tanda-tanda asfiksia
(sianosis, busa pada hidung dan mulut, kongesti organ viscera, bintik-bintik
perdarahan pada subpleura dan submukosa organ viscera, paru-paru bengkak dan
edem, busa disertai bercak darah di saluran pernapasan).
Keracunan organofosfat merupakan suatu kegawatdaruratan medis.
Tatalaksananya mencakup resusitasi, pemberian oksigen high-flow, cairan,
dekontaminasi (kulit dan gastrointestinal), pemberian antidotum (atropin) sampai
tercapai atropinisasi, dan pemberian asetilkolinesterase reaktivator (Pralidoxime).
87
DAFTAR PUSTAKA
88
12. Taylor EL, Holley AG, Kirk M. Pesticide Development a Brief Look at the
History. Southern Regional Extension Forestry. 2007: 1-7.
13. Yadav IC, Devi NL. Pesticides Classification and Its Impact on Human and
Environment in Environmental Science and Engineering. Studium Press.
2017. Available at:
https://www.researchgate.net/publication/313445102_Pesticides_ClassificClas
s_and_Its_Impact_on_Human_and_Environment.
14. Balali-Mood M, Abdollahi M. Chemistry and Classification of OP
Compounds in Basic and Clinical Toxicology of Organophosphorous
Compounds. Springer. 2014: 1-4.
15. Sharma RK. Irritant Poisons – Non-metallic Poisons (Inorganic) in Concise
Textbook of Forensic Medicine and Toxicology, 3rd ed. Global Education
Consultants. 2008: 254-256.
16. Nurulain SM, Szegi P, Tekes K, Naqvi SNH. Antioxidants in
Organophosphorous Compounds Poisoning. Arh Hig Rada Toksikol. 2013;
64: 170.
17. Rahayu M, Solihat MF. Pestisida Organofosfat in Toksikologi Klinik. 2018.
Available at: http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2018/09/Toksikologi-Klinik_SC.pdf
18. Balali-Mood M, Abdollahi M. History of the Use and Epidemiology of
Organophosphorous Poisoning in Basic and Clinical Toxicology of
Organophosphorous Compounds. Springer. 2014: 30-32.
19. Vij K. Agro-chemical Poisoning in Textbook of Forensic Medicine and
Toxicology: Principle and Practice, 5th ed. Elsevier. 2011: 533-535.
20. Holstege CP, Neer TM, Saathoff BG, Furbee RB. Organophosphates (Nerve
Agents) in Criminal Poisoning : Clinical and Forensic Perspectives. Jones
and Bartlett Publishers. 2011: 111.
21. Rajan A, Jesudoss I, Premkumar J. Organophosphate poisoning: A case report,
overview of management and nursing interventions. Current Medical Issue.
2016; 14(1): 40-45.
89
22. Balali-Mood M, Abdollahi M. Acute Toxicity of Organophosphorous
Compounds in Basic and Clinical Toxicology of Organophosphorous
Compounds. Springer. 2014: 54-63.
23. Budiyanto A, Widiatmo W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A Sidhi, Hertian
S, et al. Ilmu Kedokteran Forensik, 1st ed. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997: 124-127.
24. Eddleston M, Buckley NA, Eyer P, Dawson AH. Management of acute
organophosphorus pesticide poisoning. Lancet. 2008; 371(9612): 597-607.
25. Balali-Mood M, Abdollahi M. Clinical Mangement of Acute OP Pesticide
Poisoning in Basic and Clinical Toxicology of Organophosphorous
Compounds. Springer. 2014: 153-156.
90