DISUSUN OLEH :
FASILITATOR :
DRG. SAWITRI DWI P., M.Si
Puji dan syukur kami ucapkan atas ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya
kelompok kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Ilmu Kedokteran
Dasar I Alergi (Hipersensitivitas) Obat dimana makalah ini merupakan bagian dari tugas blok
IV skenario keempat.
Makalah ini adalah salah satu tugas yang diberikan dan kami menyusunnya bersama. Dalam
proses penyusunannya kami mengambil dari beberapa referensi dan kemudian kami ringkas.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada drg. Sawitri Dwi Indah p., M.Si
selaku dosen pengampu dan beberapa pihak media yang telah menyediakan referensi yang
kami gunakan dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menambah dan memperluas wawasan, dan pengetahuan mahasiswa
khususnya dalam proses pembelajaran di bidang Kedokteran Gigi. Di dalam makalah ini kami
juga menyertakan lampiran beberapa sumber dari jurnal dan buku.
Dalam proses pembuatan makalah ini, kami menyadari kami masih memiliki banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami mohon maaf dan kami mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.
penulis
2
DAFTAR ISI
3
4.1 KESIMPULAN ............................................................................................................ 23
4.2 SARAN ....................................................................................................................... 23
4
BAB 1
PENDAHULUAN
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 IMUNOLOGI
2. Fungsi homeostasis
memenuhi segala kebutuhan untuk mempertahankan keseragaman dari jenis sel tertentu.
Homeostasis ini memperhatikan fungsi degenerasi dan katabolik normal tubuh dengan cara
menyingkirkan sel-sel yang rusak seperti eritrosit dan leukosit dalam sirkulasi. Penyimpangan
dari fungsi homeostasis terjadi pada autoimunitas.
3. Fungsi pengawasan adalah pengawasan dini untuk memonitor pengenalam jenis-jenis sel
yang abnormal yang secara rutin selalu timbul dalam tubuh. Sel abnormal dapat
terjadi karena mutasi seperti sel tumor, sel yang berubah secara spontan disebabkan
pengaruh virus tertentu atau zat kimia. Pemusnahan sel- sel tersebut dilaksanakan oleh sel
6
imun khusus yang disebut sebagai natural killer cells (NK cell). Kegagalan fungsi pengawasan
menjadi penyebabberkembangnya penyakit keganasan (Darwin. Eryanti, dkk. 2021)
Fungsi dari sistem imun adalah satu sistem terpenting yang terus menerus melakukan
tugas dan kegiatan dan tidak pernah melalaikan tugasnya dalam menjaga kekebalan tubuh.
Sistem ini melindungi tubuh sepanjang waktu dari semua jenis penyerang atau benda asing
yang berpotensi menimbulkan berbagai penyakit pada tubuh kita. Ia bekerja bagi tubuh
bagaikan pasukan tempur yang mempunyai persenjataan lengkap.
(Murrell, 2018).
7
a) Neutrofil : berfungsi untuk merespon bakteri, virus, parasit yang
menyerang dan mengirimkan informasi kepada sel-sel lain untuk
bereaksi terhadap serangan dari patogen yang menyerang masuk ke
tubuh.
2) Timus (Thymus)
Organ ini terletak di mediastinum superior anterior (bagian depan)
jantung dan di belakang os. sternum (tulang dada).
● Gambaran Histolofisiologisnya
Tiap lobulus dibungkus jaringan pengikat longgar yang tipis. Terdapat
jaringan parenkim yang terdiri dari anyaman sel retikuler yang saling
8
berhubungan tanpa adanya jaringan pengikat yang lain, di antara sel
retikuler terdapat limfosit. Masing-masing lobulus terdiri dari :
a) Korteks : bagian luar yang disusun oleh limfosit dan sel epitel retikuler
yang akan berhubungan dengan medulla. Merupakan tempat awal
pembentukan limfosit T.
b) Medulla : bagian dalam yang memiliki sel epitel retikuler bagian ini
lebih kasar dan sel limfoitnya lebih sedikit. Merupakan tempat
terbentuknya limfosit T lanjutan. Di bagian ini juga terdapat makrofag
dan eosinopsil dalam jumlah yang sedikit.
● Histogenesis Timus (Thymus)
Proses perkembangan timus berasal dari 2 tonjolan epitel endoderm
Saccus Branchialis III. Dengan tahap mula-mula penonjolan ini memiliki
lumen yang berhubungan dengan faring dan dengan adanya polimerase
sel epitel pada dinding maka lumen akan terisi oleh sel-sel yang
mengadakan invansi di antara sel-sel jaringan mesenkim di sekelilingnya.
Pada umur 6 minggu akan muncul limfosit yang makin lama akan makin
bertambah dan patrenkim akan mengubah sel-sel yang dihubungkan oleh
desosom kemudian mulailah terbentuk medulla di dalamnya.
9
● Histogenesis Limfa
Primordium lien tampak pada embrio umur 8-9 minggu sebagai
suatu penebalan jaringan mesenkim pada mesogastrium dorsalis. Sel-sel
mesenkim memperbanyak diri dengan mitosis membentuk hubungan
melalui tonjolannya sebagai rangka retikuler dalam pulpa alba dan pulpa
rubra. Kemudian muncul sel primitif basofil yang berasal dari sel-sel
induk dalam saccus vitelinus, hepar atau medulla oseum.
2) Tonsil (Amandel)
Organ ini terletak di bagian kiri dan kanan pangkal tenggorokan yang
berfungsi untuk membunuh bibit penyakit dan melawan infeksi pada
saluran pernafasan bagian atas dari faring.
● Gambaran Histofisiologisnya
a) Tonsila Lingualis : terdapat pada facies dorsalis radix linguae sebagai
tonjolan- tonjolan bulat. Pada permukaannya terdapat lubang kecil
yang melanjutkan diri sebagai celah invaginasi (crypta) yang dilapisi
oleh epitel gepeng berlapis. Crypta tersebut dikelilingi oleh jaringan
limpoid. Sejumlah limfosit yang mengalami infiltrasi dalam epitel
dan berkumpul dalam crypta yang kemudian mengalami degenerasi
dan membentuk suatu kumpulan dengan sel epitel yang sudah terlepas
bersama bakteri sebagai detritus. Kadang-kadang dalam crypta
bermuara kelenjar mukosa. Dalam jaringan limpoid tampak adanya
nodus lymphaticus.
b) Tonsila Palatina : berada diantara arcus glossoplatinus dan arcus
pharyngopalatinus terdapat dua buah jaringan limpoid dibawah
membrane mukosa yang masing-masing disebut tonsilla palatine.
Epitel bersama jaringan pengikat yang menutupi mengadakan
invaginasi membentuk crypta sebanyak 10-20 buah. Pada dasar
crypta, batas antara epitel dan jaringan limpoid kabur karena infiltrasi
limfosit dalam epitel. Limfosit yang telah melintasi epitel bersama
dengan leukosit dan sel epitel yang mati sebagai corpusculum
salivarius. Terdapat nodulus lymphaticus sebesar 1-2 mm dengan
germinal centernya tersusun berderet dalam jaringan limpoid yang
difus. Antara nodulus lymphaticus yang satu dengan yang lain
dipisahkan oleh jaringan pengikat (capsula) yang mengandung
limfosit, mast sell dan plasmasit. Apabila ditemukan granulosit, hal
ini menunjukkan adanya radang.
c) Tonsila Pharyngealis : digambarkan berada pada atap dan dinding
dorsal nasofaring, terdapat kelompok jaringan limpoid yang ditutupi
pula oleh epitel. Jenis epitelnya sama dengan epitel tractus
respiratorius yaitu epitel semu yang berlapis bercillia dengan sel
piala. Epitelnya tidak mengadakan invaginasi membentuk crypta
tetapi melipat-lipat. Pada puncak lipatan banyak infiltrasi limfosit,
dibawah epitel terdapat nodulus lymphaticus yang mengikuti lipatan-
10
lipatan. Jaringan limpoid ini dipisahkan oleh capsula tipis jaringan
pengikat dan diluar capsula yang terdapat kelenjar-kelenjar campuran
yang saluran keluarnya menembus jaringan limpoid dan bermuara
didalam saluran lipatan epitel.
● Histogenesis Tonsil
Semua orang sejak lahir sudah memiliki amandel atau tonsil,
namun tonsil bisa semakin membesar jika terdapat benda asing seperti
sisa makanan yang tidak sehat atau bakteri yang menumpuk di sela-
sela amandel.
11
b) Pertahanan adaptif oleh karena populasi jenis limfosit seperti sel
T dan sel B yang teraktivasi oleh adresin, serta sel plasma dan
makrofag yang masing-masing berperan untuk menemukan
antigen yg melewati epitel mukosa.
c) Jaringan mukosal di daerah usus berfungsi untuk meningkatkan
luas permukaan untuk penyerapan mukosa usus.
(Arif dan Anasagi, 2019)
Induksi yang pertama, terjadi saat sel dendritik yang berada pada jaringan tempat
terjadinya infeksi terikat antigen, teraktivasi menjadi sel penyaji antigen (APC), kemudian
bermigrasi ke dalam sistem limfati dan berakhir di nodus limfa, limpa, atau jaringan limfoid
mukosa (MALT). Sel T yang bermigrasi dari satu nodus limfa menuju ke nodus yang lain, akan
menempel pada APC dan berusaha untuk mengenali antigen dengan memindai sel tersebut
pada bagian MHC kelas II. Antigen yang tidak dikenali akan segera ditinggalkan oleh sel T
untuk dipindai sel T yang lain hingga akhirnya dikenali. Pada saat tersebut, sel T akan berhenti
bermigrasi dan akan mengikat erat APC. Kemudian teraktivasi untuk memicu sistem imun
adaptif.
Aktivasi penuh sel T CD4 membutuhkan waktu sekitar 4 hingga 5 hari. Setelah itu, sel T
pembantu bermigrasi dari sistem limfatik menuju jaringan tempat terjadinya infeksi.
Di dalam jaringan, sel T efektor yang mengenali antigen akan menseresikan sitokin seperti
TNF-α untuk mengaktivasi sel endotelial agar terjadi sekresi E-selektin, VCAM-1 dan ICAM-2
dan kemokin RANTES. Semuanya itu untuk merekrut lebih banyak sel T efektor, monosit, dan
granulosit. TNF-α and IFN-γ yang disekresi sel T pembantu yang telah teraktivasi juga bersifat
sinergis dengan proses peradangan berupa ekstravasasi.
12
infeksi berulang sehingga dapat mengancam jiwa. Kemampuan sistem imun untuk merespons
patogen dipengarui usia, pada anak-anak dan orang tuaimunitas seseorang berkurang, pada
kasus orang tua disebabkan oleh imunosenesens. Kondisi suatu negara memepengaruhi
imunitas seseorang dimana di negara-negara berkembang melemahnya sistem imun disebabkan
oleh obesitas, penyalah gunaan alkohol, dan penggunaan obat. Berbanding terbalik pada negara
berkembang penyebab utama kejadian imunodefisiensi adalah malnutrisi, diet dengan protein
yang tidak mencukupi dikaitkan dengan gangguan imunitas seluler, aktivitas komplemen,
fungsi fagosit, konsentrasi antibodi IgA, dan produksi sitokin. Selain itu, ketiadaan timus pada
usia dini melalui mutasi genetik atau pengangkatan melalui operasi mengakibatkan
imunodefisiensi yang parah dan kerentanan tinggi terhadap infeksi. Imunodefisiensi juga bisa
muncul akibat faktor turunan atau perolehan (didapat). Penyakit granuloma kronis merupakan
penyakit dengan rendahnya kemampuan fagosit untuk menghancurkan patogen, adalah contoh
dari imunodefisiensi turunan, seperti sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan
oleh retrovirus HIV.
(Giardino et al, 2016).
Komplemen merupakan salah satu molekul humoral dari imunitas innate/ non spesifik,
walaupun perannya juga terlibat di imunitas spesifik. Komplemen membentuk suatu sistem
yang disebut sistem komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang diketahui terdapat
lebih dari 30 molekul yang terlarut maupun yang terikat sel (Kindt et al., 2007)
komponen :
1. Komplemen Efektor secara umum dapat diartikan sebagai molekul yang mengatur aktivitas
biologikal dan dapat berperan sebagai sinyal dari suatu reaksi berantai. Komplemen sebagai
efektor juga memiliki peran yang sama, diantaranya sebagai sinyal agar reaksi aktivasi
komplemen dapat berjalan berurutan (cascade)
2. Komplemen Reseptor Komunikasi antara sel dan molekul disekelilingnya diperankan oleh
banyak perantara, salah satunya adalah reseptor. Komponen- komplemen yang aktif dan
menjalankan fungsinya juga memerlukan reseptor untuk berikatan dengan sel yang
membantu menjalankan fungsinya
3. Komplemen Regulator Komplemen merupakan suatu sistem yang berantai, yang
aktivasinya terjadi terus menerus selama sistem imun mengenali adanya bahan asing
(antigen) di dalam tubuh host. Akhir dari aktivasi komplemen melalui jalurnya masing-masing
akan mencetuskan terjadinya pelisisan membran pathogen
Interleukin merupakan sekelompok sitokin yang disintesis oleh limfosit, monosit, makrofag, dan sel
tertentu lainnya. Berfungsi terutama untuk mengatur sistem kekebalan.
(Oky, Putu. 2018)
13
2.2 HIPERSENSITIVITAS
14
sehingga individu kesulitan bernafas. Bisa juga dengan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga plasma darah bisa keluar dari pembuluh darah dan menyebabkan
syok. Kejadian ini disebut syok anafilaksis. Respon yang dihasilkan dari hipersensitivitas
tipe I ini sangat cepat, dalam waktu 15-30 menit setelah paparan agen penyebab alergi
(alergen). Ada beberapa macam alergen yaitu seperti bulu kucing, serbuk bunga, debu, dll.
Alergen untuk setiap individu bisa berbeda-beda. Contoh penyakit yang merupakan
hipersensitivitas tipe I adalah asma dan anafilaksis. Pada asma, saluran bronkiolus akan
menyempit dan mengganggu jalannya udara bernafas. Hal ini menyebabkan individu yang
terkena asma mengalami kesulitan bernafas.
2. TIPE II
Hipersensitivitas tipe II merupakan hipersensitivitas dengan perantaraan antibodi Ig M dan
Ig G yang berikatan dengan antigen pada permukaan sel. Ikatan antigen-antibodi ini
membentuk komplek yang menstimulasi protein komplemen beraksi. Respon dari protein
komplemen bersifat sitotoksik (merusak sel) sehingga bisa berdampak serius bagi individu
(Gambar 6.3). Contoh penyakit hipersensitivitas tipe II adalah trombositopenia, Grave’s
disease, eritroblastosis fetalis dan Myasthenia gravis.
3. TIPE III
Hipersensitivitas Tipe III diperantarai oleh pembentukan komplek imun di darah. Komplek
imun adalah antibodi dan antigen terlarut yang saling berikatan. Komplek imun ini tidak
dapat dapat dihilangkan oleh sel-sel imun, dan kemudian mengendap di dasar pembuluh
darah atau di ginjal (Gambar 6.6). Hal ini akan menyebabkan terjadinya peradangan di
daerah tersebut. Munculnya respon hipersensitivitas tipe III ini cukup lambat, sekitar 3-10
jam. Contoh penyakit hipersensitivitas tipe III adalah systemic lupus erythomatosis dan
arthritis (Baratawidjaja KG, 2009).
4. TIPE IV Hipersensitivitas tipe IV menghasilkan reaksi yang lambat, yaitu beberapa hari
setelah terpapar antigen (48-72 jam). Hipersensitivitas tipe ini merupakan satu-satunya
yang disebabkan atau diperantarai oleh sel limfosit T, baik sel T CD4+ maupun CD8+ .
Sel limfosit T CD4+ yang mengenali antigen akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin
yang berperan dalam inflamasi. Untuk hipersensitivitas tipe IV ini, inflamasi yang terjadi
lebih berat. Sedangkan sel T CD8+ pada kejadian hipersensitivitas tipe IV ini sangat aktif
merusak sel terinfeksi patogen. Contoh penyakit hipersensitivitas tipe IV ini adalah
penyakit multiple sclerosis (kerusakan myelin), dermatitis karena penggunaan bahan nikel
(misalnya penggunaan cincin) dan reaksi yang terjadi pada tes mantoux (Baratawidjaja
KG, 2012). Multiple sclerosis adalah penyakit autoimun, dimana sel limfosit T akan
menyerang selubung mielin pada sel saraf. Selubung mielin ini berfungsi untuk
melindungi sel saraf (Gambar 6.10). Apabila selubung ini dirusak, maka sel saraf juga akan
rusak. Hal ini mengakibatkan hilangnya fungsi dan koordinasi sel saraf dari otak.
Gejalanya juga cukup bervariasi, tergantung dimana sel saraf yang diserang dan tingkat
kerusakan sel saraf. Hal ini antara lain mati rasa atau kelemahan anggota gerak pada sisi
yang sama, penglihatan menjadi kabur, terjadi kesulitan dalam berbicara, menelan dan
berjalan.
(Abbas A.K et al., 2020).
15
2.2.4 Pencegahan
Sebelum memberikan obat kepada pasien, dokter harus mencatat secara teliti adanya
riwayat atopi, riwayat alergi sebelumnya, jenis obat yang menimbulkan reaksi alergi,
manifestasi alergi yang terjadi, jenis obat yang sedang digunakan saat ini. Pada pasien denga
riwayat alergi, pemberian obat harus dberikan secara hati-hati, jika memungkinkan lebih baik
diberikan obat secara oral. Hindari uji paparan alergen yang mengandung makanan dan obat-
obatan atau pemberian vaksin imunoterapi. Tes diagnostic atau pengobatan semacam itu
sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli bidang alergi-imunologi. Pada penderita yang sensitif
terhadap media kontras radiografis diperlukan langkah-langkah profilaksis dan pemilihan
media kontras radiografis dengan osmolalitas rendah.
2.3 ANTIGEN
Antigen ( imunogen ) adalah suatu bahan bila dimasukkan ke dalam tubuh dapat
membangkitkan respons imun baik respons imun seluler maupun humoral. Karaktristik
antigen yang sangat menentukan imunogenitas respomn imun adalah sebagai berikut:
a). Asing ( berbeda dari sself) : pada umumnya, molekul yang bersifat self tidak bersifat
imunogenik; untuk menimbulkan respon imun, molekul harus dikenal sebagai nonself .
b). Ukuran molekul : molekul dengan berat kurang dari 10.000 (misalnya asam amino) tidak
bersifat imunogenik. Mereka hanya bisa menjadi imunogenik hanya jika bergabung dengan
protein pembawa.
d). Determinan antigeik ( epitop ) : unit terkecil dari suatu antigen kompleks yang dapat diikat
oleh antiboddi isebu antigen atau epitop.
e). tatanan genetic penjamu : dua strain bintang yang dari spesies yang sama dapat merespon
secara berbeda terhadap antigren yang sama karena perbedaan komposisi gen respon imun.
f). dosis, cara dan pemberian antigen : respon imun dapat dioptimalkan dengan cara
menentukan dosis antigen denga cermat .
(Khamidah, 2018)
2.4 ANTIBODY
Pada saat antigen pertama kali masuk kedalam tubuh, terjadi respons imun primer yang
ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah pemaparan. Saat antara pemaparan
antigen dan munculnya IgM disebut lag phase. Kadar IgM mencapai puncaknya setelah kira-
16
kira 7 hari. Enam sampai tujuh hari setelah pemaparan, dalam serum mulai dapat dideteksi IgG,
sedangkan IgM mulai berkurang sebelum kadar IgG mencapai puncaknya yaitu 10-14 hari
setelah pemaparan antigen. Kadar antibodi kemudian berkurang dan umumnya hanya sedikit
yang dapat dideteksi 4-5 minggu setelah pemaparan.
Pada pemaparan antigen yang kedua kali, terjadi respon imun sekunder yang sering juga
disebut respons anamnestik atau booster. Baik IgM maupun IgG meningkat secara cepat
dengan lag phase yang pendek. Puncak kadar IgM pada respons sekunder ini umumnya tidak
melebihi puncaknya pada respons primer, sebaliknya kadar IgG meningkat jauh lebih tinggi
dan berlangsung lebih lama. Perbedaan respon tersebut adalah karena adanya limfosit B dan
limfosit T memori akibat pemaparan pertama. Sifat pemaparan antibodi dengan antigen juga
berubah dengan waktu, yaitu afinitas antibodi terhadap antigen makin lama makin besar, dan
kompleks antigen-antibodi yang terjadi juga makin lama makin stabil. 54 Imunologi Dan
Infeksi Antibodi yang dibentuk juga makin lama makin poliklonal sehingga makin kurang
spesifik, yang berarti makin besar kemungkinan terjadi reaksi silang. Perbedaan dalam respons
imun primer dan sekunder, kadar antibodi yang dibentuk, lamanya lag phase dan lain-lain
sangat bergantung pada jenis, dosis dan cara masuk antigen, serta sensitivitas tekhnik yang
digunakan untuk mengukur antibodi.
Mekanisme antibody class switching, pergantian kelas antibodi dari sel B dengan IgM dan
IgG menjadi IfA, IgM dan IgG setelah induksi antigen (Sumber: Duarte, 2016)
Kelas antibodi dapat berganti, disebut sebagai immunoglobulin class switching atau antibody
class switching. Pergantian kelas adalah proses yang menyebabkan perubahan isotipe Ig yang
diproduksi sel. Pergantian kelas melibatkan DNA sel tidak dapat kembali memproduksi Ig
seperti semula. Pergantian kelas terjadi setelah aktivasi sel B matang melalui molekul reseptor
sel B untuk menghasilkan kelas antibodi yang berbeda. Sel B naïve yang menghasilkan IgM
dan IgD yang diaktivasi oleh antigen akan berproliferasi dengan dimodulasi oleh Th akan
menjalani pergantian kelas antibodi untuk menghasilkan antibodi IgG, IgA atau IgE. Selama
pergantian kelas, wilayah konstan rantai berat imunoglobulin berubah tetapi wilayah variabel
tidak berubah, dan karena itu spesifisitas antigenik tetap sama. Hal ini memungkinkan sel anak
yang berbeda dari sel B teraktivasi yang sama untuk menghasilkan antibodi dari isotipe atau
subtipe yang berbeda misalnya IgG1 and IgG2.
(Eryati Darwin, 2021)
17
2.5 AUTOIMUN
Autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuh
sendiri. Normalnya, sistem kekebalan tubuh menjaga tubuh dari serangan organisme asing
seperti bakteri atau virus. Namun, pada seseorang yang menderita penyakit autoimun, sistem
kekebalan tubuhnya melihat sel tubuh yang sehat sebagai organisme asing. Sehingga sistem
kekebalan tubuh akan melepaskan protein yang disebut autoantibodi untuk menyerang sel-sel
tubuh yang sehat. Penyakit autoimun merupakan bagian dari hipersensitivitas. Penyakit
autoimun adalah penyakit dimana respon imun tubuh mengenali dan bereaksi dengan protein
tubuh (self antigen) sendiri. Oleh karena itu penyakit autoimun akan bersifat kronis
dikarenakan protein tubuh tidak akan hilang, namun menetap dalam tubuh. Pada manusia
autoimun ini belum diketahui secara jelas penyebabnya.
2.5.2 Mekanisme
Penyakit autoimun dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu (a) organ spesifik dan
(b) sistemik. Pada penyakit autoimun yang organ spesifik, maka alat tubuh yang menjadi
sasaran adalah kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas. Respon imun yang
terjadi adalah terbentuknya antibodi terhadap jaringan alatnya sendiri. Dalam hal ini muncul
antibodi yang tumpang tindih, seperti antibodi terhadap kelenjar tiroid dan antibodi terhadap
lambung sering ditemukan pada satu penderita. Kedua antibodi tersebut jarang ditemukan
bersamaan dengan antibodi yang non-organ spesifik/sistemik seperti antibodi terhadap
komponen nukleus dan nukleoprotein. Penderita anemia perniosa lebih cenderung menderita
penyakit tiroid autoimun dibanding orang normal dan juga sebaliknya penderita dengan
penyakit tiroid autoimun lebih cenderung untuk juga menderita anemia pernisiosa. Penyakitnya
terdapat atau terekspresikan pada organ-organ tertentu, contohnya pada penyakit Hashimoto’s
thyroiditis dan Graves disease. Sedangkan penyakit autoimun yang sistemik adalah penyakit
autoimun yang berdampak pada keseluruhan jaringan tubuh, seperti contohnya pada penyakit
lupus (SLE, Systemic Lupus Erythematosus) dan rheumatoid arthritis. Penyakit autoimun
spesifik terjadi karena dibentuknya antibodi terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam
tubuh, seperti DNA. Antibodi yang tumpang tindih ditemukan pula pada golongan penyakit
rheumatoid seperti arthritis rheumatoid dan lupus eritematosus sistemik. Juga sering ditemukan
gejala klinis yang sama pada kedua penyakit tersebut. Pada penyakit autoimun sistemik sering
juga dibentuk kompleks imun yang dapat diendapkan pada dinding pembuluh darah, kulit,
sendi, dan ginjal, serta menimbulkan kerusakan pada organ tersebut. Tempat endapan
kompleks imun didalam ginjal bergantung pada ukuran kompleks yang ada di dalam sirkulasi.
Mekanisme penyakit autoimun yang menyebabkan kerusakan sel merupakan suatu siklus yang
dapat berulang. Dimulai dari pengenalan self antigen oleh antibodi dan sel limfosit akan
menyebabkan terjadinya aktivasi antibodi dan limfosit tersebut. Hasil dari aktivasi ini adalah
adanya reaksi inflamasi pada tempat tertentu. Stimulasi perbanyakan antibodi terhadap sel
antigen terus berlanjut dan siklus akan kembali dari awal (Gambar 6.12) (Elshemy, Ahmed,
2013).
18
Sumber: https://slideplayer.com/slide/2807155/10/images/17/Figure+13-
7+part+2+of+2.jpg Mekanisme Penyakit Autoimun yang dapat Menyebabkan Kerusakan Sel
Berupa Siklus yang Berulang
19
Penyakit autoimun melalui kompleks imun:
1. Rematik (Rheumatoid Arthritis) Rematik (Rheumatoid arthritis) adalah gangguan
peradangan kronis yang dapat mempengaruhi lebih dari sekedar persendian. Pada beberapa
orang, kondisi ini dapat merusak berbagai sistem tubuh, termasuk kulit, mata, paru-paru,
jantung dan pembuluh darah Gangguan autoimun, rematik terjadi ketika sistem kekebalan
tubuh secara jahat menyerang jaringan tubuh. Tidak seperti kerusakan akibat keausan pada
osteoarthritis, rematik mempengaruhi lapisan sendi, menyebabkan pembengkakan yang
menyakitkan dan pada akhirnya dapat menyebabkan erosi tulang serta kelainan bentuk sendi .
Peradangan yang terkait dengan rematik adalah apa yang dapat merusak bagian lain dari tubuh
juga. Sementara jenis obat baru telah meningkatkan pilihan pengobatan secara dramatis,
rematik yang parah masih dapat menyebabkan cacat fisik (Elshemy, Ahmed, 2013)
2. Lupus (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah
penyakit kronis yang menyebabkan peradangan pada jaringan ikat, seperti tulang rawan dan
lapisan pembuluh darah, yang memberikan kekuatan dan fleksibilitas pada struktur di seluruh
tubuh. Tanda-tanda dan gejala SLE bervariasi di antara individu yang terkena, dan dapat
melibatkan banyak organ dan sistem, termasuk kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem saraf
pusat, dan sistem pembentuk darah (hematopoietik). SLE adalah salah satu dari sekelompok
besar kondisi yang disebut gangguan autoimun yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh
menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri (Siagian, Ernawati, 2018).
3. Diabetes Tipe I Diabetes tipe 1 adalah penyakit autoimun. Pankreas tidak dapat membuat
insulin karena sistem kekebalan menyerang dan menghancurkan sel-sel yang memproduksi
insulin. Anakanak dan remaja dengan diabetes tipe 1 berisiko mengalami masalah autoimun
lainnya, tetapi ini sebenarnya bukan disebabkan oleh diabetes. Diabetes tipe 1 pada anak-anak
adalah suatu kondisi di mana tubuh anak tidak lagi menghasilkan hormon penting (insulin).
Anak membutuhkan insulin untuk bertahan hidup, jadi harus mengganti insulin yang hilang.
Diabetes tipe 1 pada anak-anak dulu dikenal sebagai diabetes remaja atau diabetes tergantung
insulin. Diagnosis diabetes tipe 1 pada anak-anak dapat luar biasa pada awalnya. Maka harus
tau cara memberikan suntikan, menghitung karbohidrat, dan memantau gula darah (Riwayati,
2015). Diabetes tipe 1 pada anak-anak membutuhkan perawatan yang konsisten. Tetapi
kemajuan dalam pemantauan gula darah dan pengiriman insulin telah meningkatkan
manajemen kondisi sehari-hari (Riwayati, 2015).
4. Multiple Sclerosis (MS) Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit yang berpotensi
melumpuhkan otak dan sumsum tulang belakang (sistem saraf pusat) (gambar 6.16). Pada MS,
sistem kekebalan tubuh menyerang selubung pelindung (myelin) yang menutupi serat saraf dan
menyebabkan masalah komunikasi antara otak dan seluruh tubuh. Akhirnya, penyakit ini dapat
menyebabkan kerusakan permanen atau kerusakan saraf (Lodish, H., A. 2000).
5. Penyakit Graves Penyakit Graves adalah kelainan sistem kekebalan yang menyebabkan
produksi hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme) (gambar 6.17). Meskipun sejumlah
gangguan dapat menyebabkan hipertiroidisme, penyakit Graves adalah penyebab umum.
Karena hormon tiroid memengaruhi sejumlah sistem tubuh yang berbeda, tanda dan gejala
yang terkait dengan penyakit Graves bisa luas dan secara signifikan memengaruhi
kesejahteraan secara keseluruhan. Meskipun penyakit Graves dapat mempengaruhi siapa pun,
penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan sebelum usia 40 tahun. Tujuan pengobatan
20
utama adalah untuk menghambat produksi hormon tiroid yang berlebihan dan mengurangi
keparahan gejala.
6. Oftalmopati Graves Sekitar 30 persen orang dengan penyakit Graves menunjukkan beberapa
tanda dan gejala dari suatu kondisi yang dikenal sebagai oftalmopati Graves. Dalam
oftalmopati Graves, peradangan dan peristiwa sistem kekebalan lainnya memengaruhi otot dan
jaringan lain di sekitar mata. Tanda-tanda dan gejala yang dihasilkan mungkin termasuk mata
menonjol (exophthalmos), sensasi berpasir di mata, tekanan atau rasa sakit di mata, kelopak
mata bengkak atau retraksi, mata memerah atau meradang, sensitivitas cahaya, visi ganda,
hilangnya penglihatan.
(Darwin et al., 2021).
21
BAB III
KERANGKA KONSEP
22
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem imun merupakan sistem
pertahanan tubuh yang kompleks dan sangat penting untuk menjaga kesehatan kita. Sistem
imun memiliki kemampuan untuk mengenali dan melawan berbagai patogen, seperti virus,
bakteri, dan parasit, serta sel-sel yang bermutasi dan berpotensi menjadi kanker.
Respon imun yang dihasilkan oleh sistem imun dibagi menjadi dua, yaitu respon imun bawaan
dan respon imun adaptif. Respon imun bawaan terjadi secara cepat dan umumnya bersifat non-
spesifik, sementara respon imun adaptif membutuhkan waktu dan dapat menghasilkan respons
yang lebih spesifik dan efektif terhadap patogen yang spesifik pula.
Penting untuk memahami bagaimana sistem imun bekerja, karena ketidakseimbangan dalam
sistem imun dapat menyebabkan penyakit autoimun, di mana sistem imun menyerang sel-sel
tubuh yang sehat. Respon imun yang dihasilkan oleh sistem imun dapat membantu melawan
berbagai macam infeksi dan penyakit. Namun, terkadang sistem imun juga dapat bereaksi
secara berlebihan dan menyebabkan hipersensitivitas, termasuk hipersensitivitas terhadap
obat-obatan.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami mekanisme kerja sistem imun dan cara-
cara untuk menjaga kesehatan sistem imun kita agar dapat bekerja dengan optimal. Selain itu,
perlu juga diwaspadai kemungkinan terjadinya hipersensitivitas obat, dan bila ditemukan
gejala-gejala yang mencurigakan, segera berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan
penanganan yang tepat dan menghindari komplikasi yang lebih serius.
4.2 SARAN
Dari makalah ini kami mengharapkan agar para pembaca bisa membaca dan memahaminya
agar menjadikan makalah ini sebagai referensi para pembaca dalam mengetahui dan memahami
tentang Ilmu Kedokteran Dasar I (hipersensivitas, imunologi, dan autoimun )Demi kesempurnaan
makalah ini kami, sebagai penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
agar makalah ini bisa tersusun secara lebih baik.
23
DAFTAR PUSTAKA
Abbas,A. (2011). Cellular and Molecular Immunology. 7th ed. Philadelphia: Elsevier
Health Sciences.
Adelberg. (2013). Mikrobiologi Kedokteran. 25th ed. Jakarta: EGC.
Arif, M.S., & Anasagi, T. (2019). E-book Imunologi. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI.
Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2012). Imunologi Dasar. 10th ed. Jakarta: Badan
Penerbit FK UI.
Chaerunnisa, S. (2019). Biologi Kelas 11 Perbedaan Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik
dan Nonspesifik pada Manusia. Ruangguru.com
Chunreng, W. 2018. Interachon Between Gut microbiota and the Immune system.
Journal of filin Agricultural university, vol. 40, no. 4, PP. 475-479
Darwin, E. (2010). Imunologi dan Infeks. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Darwin, E., Elvira, D., & Elfi, E.F. (2021). E-book Imunologi dan Infeksi. Padang :
Andalas University Press.
Janeway, Charles A.; Travers, Paul; Walport, Mark; Shlomchik, Mark (2001).
Immunobiology. Garland Science.
Mansjoer Arif, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. 2018. Alergi
Imunologi. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p 568-72.
Purwanthi, I.G.A.P. (2019). Reaksi Hipersensitivitas. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Bali.
Sari, Desy Permata. 2019. ANALISIS MESIN INFERENSI FORWARD DAN
BACKWARD CHAINING UNTUK DIAGNOSIS PENYAKIT AUTOIMUN
BERBASIS WEB. Institut Teknologi Nasional Malang.
Sastra, M.M.P. (2019). Hipersensitivitas : Proses Imun Yang Menyebabkan Cedera
Jaringan. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis-1, Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali.
Togatorop, Lina Berliana, dkk.2021. Textbook Keperawatan Sistem Imun dan
Hematologi
YOLANDA, ALFIYYAH LARAKHANSA (2020) Uji Efek Ekstrak Etanol Pegagan Embun
(Hydrocotyle sibthorpioides Lam.) Terhadap Aktivitas dan Kapasitas
Fagositosis Sel Makrofag dan Persentase Sel Leukosit Mencit Putih Jantan.
Diploma thesis, Universitas Andalas.
24
Lampiran Dokumentasi Foto Zoom Hari Pertama
25