Anda di halaman 1dari 29

PENYAKIT ALERGI (ALERGI OBAT

DAN ALERGI MAKANAN)

Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Genetika dan Bioreproduksi

Dosen Pengampu:

Bd. Herviza Wulandari, SST, M.Kes, M.Keb

Oleh :

SITI NURMAYANI
22152014068

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN

STIKES ASSYIFA KISARAN

TAHUN 2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh

Puji Syukur kita ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas anugerah-Nya penulisan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tidak

lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu Bd. Herviza Wulandari, SST, M.Kes,

M.Keb dan semua pihak yang telah membantu terlaksananya penulisan makalah

ini hingga bisa tersusun dengan baik.

Makalah ini bertujuan untuk memperluas pengetahuan mahasiswa tentang

Penyakit Alergi (Alergi Obat dan Alergi Makanan). Makalah ini juga dirancang

sebagai penunjang pembelajaran yang diberikan oleh mahasiswa. Setiap isi

makalah disajikan dalam bentuk materi dengan penjelasan singkat yang mudah

dipahami serta dilampirkan tujuan, permasalahan, dan kesimpulan juga saran.

Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat

kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dari

pembaca, semua sangat kami harapkan untuk kesempurnaan dalam pembuatan

makalah yang akan datang. Atas ketersediaan dari pembaca semua untuk

memberikan kritik dan sarannya penulis ucapkan terimakasih.

Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa

dalam penggunaannya. Wassalam.

Kisaran, 1 Januari 2024

Siti Nurmayani

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang......................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2

1.3 Tujuan.......................................................................................................3

BAB II......................................................................................................................4

PEMBAHASAN......................................................................................................4

2.1 Patofisiologi Pada Alergi Obat & Alergi Makanan...................................4

2.1.1 Reaksi cepat dari hipersensitivitas...........................................................4

Reaksi...............................................................................................................4

2.1.2 Reaksi lambat hipersensitivitas obat........................................................4

2.1.3 Reaksi Hipersensitivitas Ig E Pada Makanan..........................................5

2.1.4 Reaksi Hipersensitivitas Non-IgE Pada Makanan...................................7

2.2 Etiologi Terjadinya Alergi Obat & Alergi Makanan.................................8

2.2.1 Alergi Obat...............................................................................................8

iii
2.2.2 Alergi Makanan.......................................................................................9

2.3 Manifestasi klinis terjadinya alergi obat dan alergi makanan.................10

2.3.1 Alergi Obat.............................................................................................10

2.3.2 Alergi Makanan.....................................................................................12

2.4 Penatalaksaan Dari Alergi Obat & Alergi Makanan................................15

2.4.1 Alergi Obat.............................................................................................15

2.4.2 Alergi Makanan.....................................................................................20

BAB III..................................................................................................................24

PENUTUP..............................................................................................................24

3.1 Kesimpulan...................................................................................................24

3.2 Saran.............................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................25

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme

imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE (IgE- mediated allergy) yang spesifik

terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat

paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak

ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen. Alergen dapat masuk ke dalam

tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau

suntikan (The World Allergy Organization, 2012).

Alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas akibat induksi oleh

imunoglobulin E (IgE) yang spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan

dengan sel mast atau sel basofil. Ketika antigen terikat, terjadi silang molekul IgE,

sel mast manusia dirangsang untuk berdegranulasi dan melepaskan histamin,

leukotrein, kinin, Plateletes Activating Factor (PAF), dan mediator lain dari

hipersensitivitas, dimana histamin merupakan penyebab utama berbagai macam

alergi. Reaksi hipersensitivitas terjadi akibat aktivitas berlebihan oleh antigen atau

gangguan mekanisme yang akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik.

Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak

berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan. Menurut Gell dan Coombs,

v
reaksi hipersensitivitas dibagi dalam 4 tipe, yaitu tipe I, II, III, dan IV, dimana

hipersensitivitas tipe I merupakanreaksi hipersensitivitas anafilaktik atau reaksi

alergi (Hikmah, 2016).

Alergi makanan merupakan suatu gangguan kesehatan akibat respon imun

spesifik yang terjadi setelah terpapar suatu makanan. Alergi terjadi setelah suatu

antigen yang menstimulasi reaksi hipersensitivitas diperantarai oleh suatu

mekanisme imunologi, antigen ini disebut sebagai alergen. Kebanyakan alergen

yang bereaksi dengan antibodi IgE adalah suatu protein (Nuraini, 2015)

Faktor penyebab alergi yaitu defisiensi limfosit T yang mengakibatkan

kelebihan IgE, kelainan pada mekanisme umpan balik mediator, faktor genetik,

faktor lingkungan seperti debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai jenis

makanan dan zat lain. Alergi dapat terjadi baik sejak janin masih berada di dalam

kandungan maupun di berbagai macam rentang usia. Pada umumnya alergi timbul

di usia kanak-kanak, namun kejadian paling sering terjadi di usia dewasa.

Penyebab sensitifnya seseorang terhadap alergen tertentu dan

berlebihannya produksi IgE akibat terkena alergen masih belum diketahui

penyebabnya. Diperkirakan hubungan yang paling sering adalah faktor keturunan.

Alergi dapat diturunkan dari orang tua ke anak.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana patofisiologi pada alergi obat dan alergi makanan?

2. Bagaimana etiologi pada terjadinya elergi obat dan alergi makanan?

vi
3. Bagaimana manifestasi klinis pada elergi obat dan alergi makanan?

4. Bagaimana penatalaksaan dari elergi obat dan alergi makanan?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi pada alergi obat dan alergi

makanan!

2. Untuk mengetahui bagaimana etiologi terjadinya elergi obat dan alergi

makanan!

3. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis pada elergi obat dan alergi

makanan!

4. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksaan dari elergi obat dan alergi

makanan!

BAB II

vii
PEMBAHASAN

2.1 Patofisiologi Pada Alergi Obat & Alergi Makanan

2.1.1 Reaksi cepat dari hipersensitivitas

Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE oleh

spesifik antigen limfosit B setelah sensitisasi. Antibodi IgE berikatan dengan

reseptor Fc RI afinitas tinggi pada permukaan sel mast dan basofil, menciptakan

ikatan multivalen terhadap antigen obat. Berdasarkan subsekuen paparan obat,

antigen kompleks protein hapten berikatan silang dengan IgE, menstimulasi

pelepasan preformed mediators (histamin, triptase, beberapa sitokin seperti TNF-

α) dan produksi mediator-mediator baru (leukotrin, prostaglandin, kinin, sitokin

lainnya). Preformed mediators menstimulasi respon dalam beberapa menit, lalu

komponen inflamasi sitokin berlangsung setelah beberapa jam. Waktu yang

dibutuhkan untuk sintesis protein dan pengerahan sel imun.

2.1.2 Reaksi lambat hipersensitivitas obat

Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui kerja

limfosit T. Kulit menjadi target organ yang umumnya terjadi dengan obat yang

responsif terhadap sel T, tetapi organ lain bisa saja terlibat. Diklofenak,

sebagaimana beberapa asam karboksil lainnya (obat anti inflamasi nonsteroid),

dapat menyebabkan cedera hati melalui sistem imun, dimana dijelaskan dengan

metabolisme hepar dan modifikasi selektif protein hepar. Penting untuk

diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat menimbulkan gejala dan tanda klinis

viii
yang berbeda pada individu yang berbeda pula, meskipun obat tersebut

diadministrasikan pada dosis dan rute administrasi yang sama. Untuk

menstimulasi sel T naif, sel dendritik proses pertama antigen obat. Antigen lalu

masuk dan ditranspor ke nodus limfa regional. Untuk berkembangnya respon

imun yang efektif, sistem imun innate perlu untuk diaktifkan, menyediakan sinyal

maturasi penting, sering ditujukan sebagai sinyal bahaya dimana termasuk obat

langsung atau stres terkait penyakit. Saat tiba di nodus limfa, antigen

dipresentasikan ke sel T naif. Sebagai alternatif, beberapa antigen obat bisa secara

langsung menstimulasi sel T spesifik pada patogen, kemudian menghindari

pengerahan untuk sel dendritik dan sel T. Antigen spesifik sel T bermigrasi ke

target organ dan sekali lagi melakukan paparan ulang terhadap antigen, mereka

diaktifkan untuk mensekresi sitokin yang meregulasi respon dan sitotoksin

(perforin, granzim, dan granulisin) yang mengakibatkan kerusakan jaringan.

2.1.3 Reaksi Hipersensitivitas Ig E Pada Makanan

Reaksi Hipersenstivitas Ig E Alergi dapat didefinisikan sebagai


kemampuan
kekebalan sistem tubuh untuk menghasilkan kadar tinggi antibodi imunoglobulin

(Ig) E terhadap alergen. Keadaan alergi makanan mengacu setiap respon imun

yang merugikan yang terjadi setelah konsumsi makanan tertentu. Alergi makanan

yang diperantarai IgE adalah alergi tipe 2 sel T helper (Th2) dan penyakit ini

semakin lazim di negara-negara industri. Penyakit ini mempengaruhi sekitar 6%

dari anak-anak dan 4% dari orang dewasa.Pemahaman tentang mekanisme yang

mendasari penyakit alergi telah meningkat secara signifikan selama beberapa

ix
dekade terakhir. Alergi dapat dibagi menjadi 2 tahap utama, yaitu, fase sensitisasi

dan fase efektor.Pada umumnya alergen adalah protein yang diambil oleh antigen

(Ag) sel presenting (APC), dan kemudian disajikan kepada sel T-helper (Th)

sebagai peptida bersifat imunogenik (epitop) di dalam alur Ag mengikat molekul

MHC kelas II. Alergen penyajian untuk sel Th menyebabkan terjadinya

diferensiasi sel Th naif menjadi sel efektor Th2 pada individu yang merupakan

predisposisi genetik (atopik) . Saat ini, tidak diketahui dengan baik bagaimana

alergen menginduksi diferensiasi Th2-sel pada individu atopic (George, 2014)

Sel-sel Th2 ditandai oleh adanya faktor generasi transkripsi

spesifik(GATA3) dan menghasilkan sitokin Th2 (IL-4, IL-5, IL-13 dan IL-25).

Sitokin IL-4 dan IL-13 sangat penting untuk sintesis Imunoglobulin E (IgE),

imunoglobulin (Ig) yang merupakan kunci pokok dalam reaksi alergi yang segera.

Pengikatan IL-4 dan IL-13 pada reseptor masing-masing menyebabkan aktivasi

faktor transkripsi, kondisi ini disebut transduksi sinyal dan aktivasi transkripsi

(STAT). Hal ini menyebabkan transkripsi gen Ce IgEyang merupakan sinyal

tambahan untuk sintesis IgE yang diekspresikan pada masing-masing oleh sel Th

dan sel B. Inti sel, memulai transkripsi oleh dua enzim yang penting pada reaksi

ini (aktivasi yang diinduksi Cytidine deaminase dan Urasil nukleotida glikosilase),

yang keduanya penting untuk rekombinasi dari perubahan kelompok

Imunoglobulin ( Anna, 2014)

2.1.4 Reaksi Hipersensitivitas Non-IgE Pada Makanan

x
Alergi makanan yang diperantari Non IgE mencakup berbagai gangguan

yang mempengaruhi saluran pencernaan seperti Food protein–induced

enterocolitis syndrome [FPIES], Food protein–induced allergic proctocolitis

[FPIAP], Food protein–induced enteropathy [FPE], penyakit celiac, dan alergi

yang disebabkan kekurangan zat besi pada alergi susu sapi anemia), kulit

(dermatitis kontak untuk makanan dan dermatitis herpetiformis), dan paru-paru

(sindrom Heiner, juga dikenal sebagai hemosiderosis paru). Reaksi makanan

diperantarai non IgE merupakan suatu kelompok alergi dengan hasil tes kulit

negatif begitu juga dengan test Ig E pada makanan yang spesifik tetapi jika

dilakukan test makanan yang bersinggungan dengan makanan yang menimbulkan

alergi maka dijumpai test yang positif. Reaksi dapat bervariasi oleh sistem dari

gastrointestinal (GI) pada kulit dan juga pada pernapasan tetapi reaksi

gastrointestinal adalah reaksi yang paling umum. Barier mukosa saluran cerna

mempunyai peranan dalam proses pencernaan dan juga penyerapan tanpa memicu

reaksi imun dan dapat hidup bersama secara komensal dengan flora saluran cerna

sambil mempertahankan kekebalan tubuh terhadap mikroba yang pathogen. Di

mukosa usus terdapat mekanisme kekebalan yang mempunyai toleransi terhadap

makanan.

Imun toleransi ini diatur oleh mekanisme spesifik sel T dimana keadaan

dipengaruhi berbagai faktor lingkungan seperti perubahan flora komensal. Respon

alergi tersebut dapat akibat dari konsekuensi dari gagal toleransi imunologi, baik

karena tidak dibentuknya toleransi imunologi atau karena rusak setelah dibentuk

toleransi imunologi. Mekanisme yang berbeda dapat terjadi dalam secara

xi
bersamaan pada kondisi ini kasus.Pembentukan toleransi kekebalan diduga

didasarkan, setidaknya sebagian generasi sel pengaturan T (dan mungkin

makrofag). Saat ini, reaksi gastrointestinal terhadap protein oleh karena non-IgE

kurang begitu diteliti dari alergi makanan lainnya. Sebagai alasan utama

pemahaman yang terbatas pada reaksi makanan non-IgE adalah kurangnya akses

untuk menargetkan jaringan gastrointestinal kemudian pada banyak pasien gejala

membaik dengan makanan yang dipantangkan berdasarkan riwayat makanan yang

menimbulkan reaksi alergi ( Wang,2009)

2.2 Etiologi Terjadinya Alergi Obat & Alergi Makanan

2.2.1 Alergi Obat

Faktor penyebab terjadinya alergi obat termasuk usia, jenis kelamin,

polimorfisme genetik, infeksi virus dan faktor terkait obat (frekuensi paparan, rute

administrasi, berat molekul). Alergi obat secara khas terjadi pada usia muda dan

dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki. Polimorfisme

genetik dalam human leukocyte antigen (HLA) dan infeksi virus seperti human

immunodeficiency virus (HIV) dan Epstein-Barr virus (EBV), juga berkaitan

dengan peningkatan risiko terjadinya reaksi imunologis terhadap obat. Kerentanan

terhadap alergi obat dipengaruhi oleh polimorfisme genetik dalam metabolisme

obat.

Selain itu, rute administrasi seperti, topikal, intramuskular, dan intravena lebih

sering menyebabkan reaksi alergi obat dibandingkan administrasi secara oral.

Dosis berlebihan dalam jangka waktu yang panjang atau frekuensi dosis dapat

xii
menyebabkan reaksi hipersensitivitas lebih besar daripada dosis tunggal.

Selanjutnya, obat dengan makromolekular atau obat hapten seperti penisilin, juga

berhubungan dengan kemungkinan besar penyebab reaksi hipersensitivitas.

2.2.2 Alergi Makanan

Kejadian alergi makanan dipengaruhi oleh genetik, umur, jenis kelamin,

pola makan, jenis makanan awal, jenis makanan, dan faktor lingkungan.Penyakit

alergi merupakan gangguan kronik yang umum terjadi pada anak-anak dan

dewasa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh prawirohartono pada

penelitian tahun 2007 di dapatkan data bahwa 400 anak umur 3-12 tahun sebesar

60% penderita alergi makanan adalah perempuan dan 40% laki-laki (Yolanda dkk,

2011).

Timbulnya alergi makanan disebabkan adanya senyawa penyebab alergi

atau lebih dikenal dengan alergen. Alergen pangan berupa protein yang tidak

rusak pada saat proses pemasakan dan saat berada di keasaman lambung. Secara

struktural protein makanan (alergen) tidak sama dengan struktur protein tubuh

manusia sehingga dideteksi oleh sistem imun tubuh sebagai protein asing.

Akibatnya alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui peredaran darah mencapai

organ yang menjadi tergetnya sehingga menginduksi respon imun dan

menimbulkan reaksi alergi. Gejala reaksi alergi dapat terlihat sebagai timbulnya

gangguan kulit berupa bercak-bercak merah yang gatal pada permukaan kulit,

gangguan saluran pencernaan berupa diare dan muntah, sesak nafas sampai syok

anafilaksis yang fatal dan gangguan rongga mulut. (Sampson, 2009)

xiii
Pada dasarnya semua makanan dapat menimbulkan reaksi alergi, yang

membedakan hanya kadar protein di dalamnya dan kondisi tubuh seseorang dalam

menerima pasokan protein tersebut. Sekitar 90% reaksi alergi pangan disebabkan

oleh kacang tanah, susu, telur ayam, kedelai, ikan, kerang dan gandum.Ikan dan

makanan laut memiliki peranan penting dalam gizi manusia,makanan laut

merupakan sumber protein yang sangat berharga dan mengandung sejumlah besar

asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) dan vitamin larut lemak. Namun, makanan

laut juga merupakan salah satu jenis pangan penyebab terpenting timbulnya alergi,

terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya bergantung pada sektor

perikanan, makanan laut ditemukan sebagai alergen pangan terpenting kedua

setelah telur pada pasien penderita alergi (Wang, 2009)

2.3 Manifestasi klinis terjadinya alergi obat dan alergi makanan

2.3.1 Alergi Obat

Pada penderita reaksi hipersensitivitas obat, banyak manifestasi klinis yang

dapat terlihat. Klinis yang terlihat, dapat membantu untuk melakukan penegakkan

diagnosis dan melakukan penanganan secara cepat pada penderita. Manifestasi

akut reaksi hipersensitivitas obat biasanya seperti, urtikaria, angioedema, rinitis,

konjungtivitis, bronkospasme, gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare) atau

anafilaksis, dimana dapat mengakibatkan kolapsnya kardiovaskular. Reaksi

lambat hipersensitivitas obat sering mempengaruhi kulit dengan gejala kutaneus

yang bervariasi, seperti urtikaria yang lambat terjadi, erupsi makulopapular, fixed

xiv
drug eruptions (FDE), vaskulitis, penyakit blistering (Toxic Epidermal Necrosis

(TEN), Steven Jonhson Syndrome (SJS) dan FDE bula general), sindrom

hipersensitivitas, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), dan

symmetrical drug-related intertriginous and flexural exanthemas (SDRIFE).

Organ internal yang bisa terkena baik secara tunggal atau dengan gejala pada kulit

dan termasuk hepatitis, gagal ginjal, pneumonitis, anemia, neutropeni, dan

trombositopeni.9 Klasifikasi alergi obat.

berdasarkan reaksi imun, mekanisme kerja, manifestasi klinis dan waktu

terjadinya reaksi dapat dilihat pada Tabel

Reaksi Mekanisme Manifestasi Waktu untuk


imun klinis bereaksi

Tipe I (IgE- Kompleks obat-IgE berikatan Anafilaksis, Menit hingga


mediated) pada sel mast dengan pelepasan urtikaria, jam setelah
histamin, mediator inflamasi angioedema, paparan obat
bronkospasme
Tipe II Spesifik antibodi IgG atau IgM Anemia, Bervariasi
(sitotoksik) langsung pada sel-sel yang sitopeni,
terbungkus obat-hapten trombositopeni
Tipe III Deposisi jaringan dari kompleks Serum sickness, 1 – 3 minggu
(kompleks obat-antibodi dengan aktivasi vaskulitis, setelah paparan
imun) komplemen dan inflamasi demam, ruam, obat
arthralgia
Tipe IV Presentasi MHC dari molekul Sensitivitas 2-7 hari setelah
(delayed, obat terhadap sel T dengan kontak paparan obat
cell sitokin dan pelepasan mediator Ruam pada
mediated) inflamasi; dapat berkaitan kulit, kerusakan
dengan aktivasi dan pengerahan jaringan organ
eosinofil, monosit, dan neutrofil

2.3.2 Alergi Makanan.

a) Alergi makanan yang diperantarai Ig E (Ig E mediated)

xv
 Oral allergy syndrome (Pollen-food syndrome). Pada anak dengan

oral allergy syndrome (OAS) setelah makan sayur dan atau buah

segar tertentu akan segera timbul rasa gatal di mulut, angioedem

pada bibir, lidah dan palatum.8 Umumnya anak dengan OAS

mempunyai reaksi silang, sebagai contoh alergi terhadap melon

bereaksi silang dengan alergi terhadap ragweed, atau alergi

terhadap apel, peach dan chery bereaksi silang dengan alergi

terhadap pollen birch dengan gejala seperti rhinitis alergi.

 Reaksi anafilaksis gastrointestinal. Reaksi anafilaksis

gastrointestinal bersifat akut, biasanya dalam beberapa menit

hingga 1-2 jam, berupa mual, muntah dan nyeri perut. Diare dapat

terjadi beberapa jam setelah timbulnya gejala awal.8 Penyebab

yang tersering adalah alergi terhadap susu sapi, telur, kacang tanah,

kedelai, gandum, dan ikan laut.13 Reaksi ini terjadi akibat

dilepaskannya berbagai mediator oleh sel mast seperti histamin.

Meski tergolong reaksi alergi tipe cepat, gejala gastrointestinal

tidak selalu disertai dengan reaksi sistemik.

b) Alergi makanan yang tidak diperantarai IgE (non IgE mediated)

 Proktitis / protokolitis. Gangguan ini biasanya timbul pada bulan-

bulan pertama kehidupan, dengan rerata umur 2 bulan. Protein susu

sapi dan protein kedelai (lebih jarang) adalah pencetus tersering.

Bayi-bayi ini secara umum tampak sehat namun pada feses dapat

ditemukan bintik-bintik darah dengan lendir. Pada pemeriksaan

xvi
endoskopi ditemukan kolitis fokal atau difus dengan udem dan

erosi. Pada biopsi didapatkan infiltrasi eosinofil dan kadang

hiperplasia nodular.

 Sindrom enteropati. Gangguan ini ditandai dengan muntah (2/3

kasus) dan diare yang berkepanjangan. Hal ini menyebabkan

gangguan absorpsi makanan dan gagal tumbuh. Enteropati ini

paling banyak disebabkan respon imun terhadap susu sapi dan

kadang- kadang kedelai, biji-bijian (sereal), telur dan ikan laut.

Pada pemeriksaan endoskopi dapat terlihat luka pada usus kecil,

pemanjangan kripti, peningkatan limfosit intraepithelial dan

eosinofil.13 Pada cow’s milk protein sensitive enteropathy, diare

kronik merupakan gejala yang mencolok. Hampir semua kasus

mengalami gangguan pertumbuhan akibat gangguan absorpsi

berbagai nutrien, kehilangan protein dan darah melalui saluran

cerna, serta efek sistemik sebagai akibat interaksi antigen-antibodi.

 Enterokolitis. Gejala enterokolitis ini hampir sama dengan sindrom

enteropati, namun menunjukkan derajat yang lebih berat. Gejala

pada bayi adalah muntah dan diare hebat sehingga dapat terjadi

dehidrasi, letargi, asidosis dan methemoglobinemia. Gejala pada

anak dapat terlihat seperti sepsis dengan jumlah leukosit

polimorfonuklear darah perifer yang tinggi.8 Penyebab

enterokolitis yang diinduksi protein ini sebagai akibat alergi

terhadap protein susu sapi namun hampir setengahnya juga

xvii
bereaksi terhadap kedelai. Beberapa jenis makanan tambahan yang

dapat menimbulkan enterokolitis adalah beras, gandum dan biji-

bijian (cereals). Diagnosis biasanya dapat ditegakkan tanpa

melakukan biopsi.

 Penyakit Celiac (Celiac disease). Penyakit celiac terjadi sebagai

akibat respon imun terhadap protein makanan (gluten) sehingga

dikelompokkan dalam alergi makanan. Gejala yang timbul meliputi

mual, muntah, diare, dan gagal tumbuh. Gejala awal bisa tampak

pada tahun pertama kehidupan namun gambaran yang spesifik

bermanifestasi setelah anak berumur satu tahun. Lebih dari 95%

anak memiliki antigen HLA DQ2.

c) Alergi makanan yang merupakan kombinasi IgE mediated dan non IgE

mediated

 Gastroenteropati eosinofilik. Pasien menunjukkan gejala mual

setelah makan, disfagia, nyeri perut, muntah, diare, nyeri

epigastrium yang hebat dan jika terjadi inflamasi yang luas dapat

terjadi obstruksi. Penyakit ini ditandai dengan adanya riwayat di

dalam keluarga dan eosinofil yang meningkat pada darah perifer

hingga 60% dari total jumlah leukosit. Perlu adanya konfirmasi

dengan pemeriksaan biopsi yaitu ditemukan adaanya infiltrasi

eosinofil pada dinding saluran cerna.

2.4 Penatalaksaan Dari Alergi Obat & Alergi Makanan

2.4.1 Alergi Obat

xviii
Strategi yang efektif untuk manajemen alergi obat adalah dengan

menghindari atau menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada

saat itu pasien memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya

dihentikan. Tetapi bila tidak, dapat diberikan obat yang esensial saja dan

diketahui paling kecil kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat

juga diberikan obat lain yang struktur imunokimianya berlainan.

Terapi tambahan untuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat sebagian

besar bersifat suportif dan simptomatik. Pengobatan simtomatik

tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang ringan

biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang

lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat

reaksi pada organ-organ lain.

Pada reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang berat seperti

pada sindrom Steven Johnson, pasiennya harus dirawat di ruangan

intensif, karena selain harus mendapat kortikosteroid, yang lebih

penting lagi adalah pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga.

Perawatan kulit juga memerlukan waktu berhari-hari sampai

berminggu- minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder

sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.7,11

Pilihan terapi pada keadaan anafilaksis adalah epinefrin yang

diinjeksi secara intramuskular atau intravena. Pemberian epinefrin

pertama diberikan 0,01 ml/kg/BB sampai mencapai maksimal 0,3 ml

subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali. Pada

xix
urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya

sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti

vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hati, nefritis interstisial,

dan lain-lain diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60-100 mg

prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan

selanjutnya pemberian prednison tersebut diturunkan dosisnya

secara bertahap selama satu sampai dua minggu.11 Manajemen

terhadap beberapa obat yang dapat menyebabkan alergi yaitu

sebagai berikut:7

a) Penisilin

Penisilin merupakan obat yang paling sering menyebabkan

alergi. Untuk pasien dengan alergi penisilin, pengobatan yang

terbaik terbatas pada agen non-penisilin. Karbapenem tidak

memperlihatkan tingkat signifikan reaktivitas silang dengan

penisilin dan dapat diberikan sebagai graded challenge setelah

tes kulit profilaksis dengan karbapenem yang relevan.

Monobaktam, seperti aztreonam, umumnya ditoleransi dengan

baik oleh pasien dengan alergi penisilin, kecuali mereka

memiliki reaksi alergi terhadap ceftazidime. Idealnya,

manajemen pasien dengan alergi penisilin harus dilakukan tes

kulit terhadap penisilin. Sekitar 90% pasien memiliki respon tes

kulit yang negatif terhadap penisilin dan aman diberikan

cephalosporin maupun agen betalaktam lainnya. Jika penisilin

xx
dianggap mutlak diperlukan pada pasien alergi terhadap

penisilin, maka desensitisasi perlu

dipertimbangkan, dan prosedur sebaiknya dilakukan di bawah

pengawasan medis di rumah sakit.7

a) Sulfonamid

Sulfonamid merupakan salah satu antibiotik lainnya yang dapat

menyebabkan reaksi alergi dan sering berhubungan dengan

erupsi makulopapular kutaneus yang tertunda, SJS dan TEN.

Pasien yang terinfeksi HIV mengalami peningkatan risiko untuk

berkembangnya reaksi kutaneus terhadap sulfonamid, dimana

berkaitan dengan faktor imunologis dan frekuensi paparan

terhadap antibiotik. Struktur kimia dari sulfonamid non-

antibiotik (diuretik tiazid, beberapa NSAIDs dan antikonvulsan)

bervariasi dari antibiotik sulfonamid, agen ini tidak diharapkan

untuk reaksi silang dan secara umum aman diberikan untuk

pasien dengan riwayat alergi terhadap antibiotik sulfonamid.7

b) Cephalosporin

Pada penderita alergi terhadap cephalosporin, terdapat reaktivitas

silang terbatas pada tes imunologikal antara cephalosporin

generasi kedua dan ketiga dan penisilin, terutama amino-

penisilin, tetapi hal ini belum tentu menunjukkan reaktivitas

klinis. Pentingnya tes kulit dengan tujuan pemberian antibiotik

untuk terapi, dan/atau administrasi graded challenge. Jika tes

xxi
kulit positif dan tidak ada alternative obat, induksi dengan

prosedur toleransi obat dapat dicoba.7

c) Media radiokontras

Media radiokontras berkaitan dengan reaksi alergi dan reaksi

pseudoalergi. Reaksi alergi/pseudoalergi terhadap media

radiokontras dapat dicegah melalui penggunaan sebelum terapi

regimen yang termasuk kortikosteroid oral dan antihistamin H1.

Agen osmolaritas rendah juga bisa digunakan pada situasi

tersebut.7

d) Anastesi lokal

Reaksi alergi terhadap anastesi lokal (novokain, lidokain) sangat

jarang terjadi. Reaksi biasanya karena ada bahan-bahan lain

dalam obat, seperti pengawet atau epinefrin. Namun, jika riwayat

reaksi konsisten dengan kemungkinan segera (reaksi IgE-

mediated), tes kulit diikuti tes graded challenge menggunakan

anestesi lokal bebas epinefrin dan pengawet dapat dilakukan.

e) Anastesi umum

Meskipun jarang, anafilaksis dapat terjadi pada pasien dibwah

pengaruh anastesi umum. Reaksi selama anastesi umum sering

dikarenakan agen yang memblok neuromuscular, tetapi dapat

juga dikaitkan dengan anastesi intravena (propofol, thiopentone,

etomidate), antibiotik, NSAIDs, dan alergi lateks. Penilaian oleh

xxii
ahli alergi penting untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis alergi

terhadap anastesi umum, mengidentifikasi agen penyebab

kemungkinan serta agen alternatif yang dapat digunakan dengan

aman.

f) Reaksi asam asetilsalisat/NSAIDs

Asam asetilsalisilat dan NSAIDs dapat menyebabkan reaksi

alergi yang sebenarnya dan reaksi pseudoalergi, termasuk

eksaserbasi dari penyakit respirasi yang mendasari, urtikaria,

angioedema dan anafilaksis. Pasien dengan penyakit pernafasan

kronis, seperti asma, rinitis dan sinusitis, mungkin bereaksi

terhadap asam asetilsalisilat dan NSAIDs yang menghambat

siklooksigenasi-1 (COX-1). Manajemen pasien ini dengan

menghindari aspirin dan NSAIDs dan pengobatan agresif dari

penyakit respirasi yang mendasari. Selektif COX-2 inhibitor

hampir tidak pernah menyebabkan reaksi, dan biasanya dapat

digunakan secara aman untuk penderita alergi asam asetilsalisilat

dan NSAIDs. Induksi prosedur toleransi obat aspirin (juga

dikenal sebagai desensitisasi aspirin) juga dapat

dipertimbangkan. Pasien dengan urtikaria kronis atau

angioedema umumnya toleran terhadap COX-2 inhibitor, tetapi

mungkin mengalami eksaserbasi urtikaria/angioedema terhadap

NSAIDs yang menghambat COX-1. Reaksi alergi terhadap

NSAIDs biasanya spesifik pada obat tertentu dan pasien yang

xxiii
mengalami reaksi ini seringkali tahan terhadap NSAIDs lainnya.

2.4.2 Alergi Makanan

a) Tatalaksana Kondisi Akut

Anafilaksis adalah manifestasi alergi yang cepat dan berpotensi meningkatkan

mortalitas. Kriteria diagnosis anafilaksis adalah onsetnya akut (beberapa

menit sampai beberapa jam) melibatkan kulit dan/atau jaringan mukosa,

dengan gejala seperti gatal-gatal, seluruh badan, kemerahan pada kulit wajah,

bengkak pada bibir, lidah, dan uvula diikuti 1 dari: gangguan pernapasan

(sesak napas, bronkospasme, wheezing, stridor, penurunan peak expiratory

flow rate, dan hipoksemia) atau penurunan tekanan darah disertai gejala-

gejala seperti hipotonia, syncope, dan inkontinensia.

b) Tatalaksana dan Penanganan Reaksi Non-akut

Untuk menghadapi berbagai masalah pada pencegahan alergi, pengembangan

terapi saat ini diarahkan pada perbaikan homoestasis sistem biologis penderita

alergi yang ditujukan pada imunomodulasi respon imun dengan

menyeimbangkan respons imun Th1 dan Th2, sehingga reaksi alergi dapat

diperbaiki dengan cara menurunkan respons pembentukan IgE terhadap

rangsangan alergen. Sampai saat ini belum ada satu pun terapi yang dapat

dengan tuntas menghilangkan adanya reaksi alergi terhadap makanan, namun

terus dikembangkan penelitian-penelitian mengenai imunoterapi, desensitisasi

terhadap alergen, juga terapi herbal dan alternatif lainnya yang diharapkan

dapat berhasil untuk menghilangkan reaksi alergi yang timbul terhadap jenis

xxiv
makanan tertentu.

Perkembangan ilmu dan teknologi memungkinkan perubahan

paradigma dari pencegahan alergi berupa tindakan menghindari alergen ke

desensitisasi dan induksi aktif toleransi imunologik. Pendekatan yang tengah

dievaluasi adalah pemaparan alergen melalui jalur oral maupun intranasal,

kulit, injeksi, dan pemberian alergen melalui jalur mukosa (misalnya

imunoterapi sublingual), pemberian alergen bersama produk mikrobial dan

pemberian alergen bersama anti IgE.

c) Allergen Immunotherapy

Prinsip imunoterapi mendominasi dalam prinsip tatalaksana alergi

makanan. Imunoterapi yang dilakukan berdasarkan hubungan dengan

alergen spesifik dilakukan dengan dasar teori yaitu dengan melakukan

peningkatan paparan secara gradual seorang penderita dengan alergen yang

spesifik, maka diharapkan akan terjadi suatu proses desensitisasi atau

diharapkan akan terjadi suatu peningkatan toleransi terhadap alergen

tersebut.

xxv
Tabel: Perbandingan perubahan imunologi dalam
imunoterapi

Efek imunologis yang terjadi setelah pemberian imunoterapi adalah sebagai


berikut:

1. Antibodi penghalang

Imunoterapi akan menginduksi IgG spesifik alergen (IgG4) yang

berperan sebagai antibodi penghalang yang berkompetisi dengan IgE

untuk berikatan dengan alergen. Sejumlah studi mengemukakan bahwa

terbukti ada hubungan antara pengurangan gejala alergi dengan jumlah

IgG serum. Peningkatan IgG4 berhubungan dengn inhibisi ikatan antara

IgE dengan reseptor sehingga menekan aktivasi basofil.10,11

2. Penurunan IgE

Respons Th 2 terhadap alergen akan dihambat dan menginduksi

respons Th 1 dengan peningkatan interferon dan IL-12. Perubahan fungsi

ini akan mempengaruhi produksi IgE, pematangan populasi sel,

pelepasan mediator oleh sel mast dan basofil. Akhirnya penurunan IgE

akan menurunkan respons alergi.

26
3. Modulasi sell mast dan basofil

aImunoterapi memodulasi fungsi sel mast dan basofil sehingga

terjadi penurunan pelepasan mediator walaupun terdapat IgE spesifik

pada permukaannya. Efek ini ditunjukkan dengan penurunan pelepasan

histamin pasca imunoterapi setelah pajanan alergen spesifik yang

didahului oleh penurunan IgE spesifik atau peningkatan IgG spesifik.

4. Peningkatan aktivitas limfosit T supresor

Imunoterapi akan mengubah jaringan kerja pengaturan sel oleh

karena peningkatan aktivitas limfosit T supresor. Produksi IgE,

pematangan sel mast, aktivasi makrofag, pelepasan mediator oleh sel

mast dan basofil akan berkurang dan mempengaruhi mekanisme alergi.

T regulator yg spesifik terhadap alergen menekan sel Th1 dan Th2, secara

langsung dan tidak langsung menekan sel mast dan basofil. Terjadi supresi

IgE, induksi IgG4, mengarah pada supresi terhadap sel T efektor dan

dendritik.

27
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Alergi obat secara khas terjadi pada usia muda dan dewasa, dan lebih sering

terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki. Polimorfisme genetik dalam human

leukocyte antigen (HLA) dan infeksi virus seperti human immunodeficiency virus

(HIV) dan Epstein-Barr virus (EBV), juga berkaitan dengan peningkatan risiko

terjadinya reaksi imunologis terhadap obat. Kerentanan terhadap alergi obat

dipengaruhi oleh polimorfisme genetik dalam metabolisme obat.

Timbulnya alergi makanan disebabkan adanya senyawa penyebab alergi atau

lebih dikenal dengan alergen. Alergen pangan berupa protein yang tidak rusak

pada saat proses pemasakan dan saat berada di keasaman lambung. Secara

struktural protein makanan (alergen) tidak sama dengan struktur protein tubuh

manusia sehingga dideteksi oleh sistem imun tubuh sebagai protein asing.

Akibatnya alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui peredaran darah mencapai

organ yang menjadi tergetnya sehingga menginduksi respon imun dan

menimbulkan reaksi alergi.

3.2 Saran

Pentingnya bagi penderita alergi oabat maupun makanan harus lebih

memperhatikan terhadap pengkonsumsian obat-obatan dan makanan karena dapat

mengakibatkan penyakit tertentu.

28
DAFTAR PUSTAKA

Anna Nowak, George Konstantinou. Non IgE Mediated Food Allergy:

FPIES Curr Pediatr Rep .2014.

Hikmah, N., & Dewanti, I. D. A. R. (2016). Seputar Reaksi

Hipersensitivitas (Alergi). Somatognatic (J.K.G Unej ), 7(2), 108–112.

Nuraini B. Risk Factors of Hypertension. J Majority. Februari 2015;4(5):

10- 18.

Wang J. Sampson A.H, Food allergy recent advances in pathophysiology

and treatment. Allergy Asthma Immunol Res. 2009.

World Allergy Organization. The Allergic March. 2012. Tersedia dari:

URL https://www.worldallergy.org/education-and-programs/education/allergic-

diseaseresource-center/professionals/the-allergic-march (Diakses pada 24 Juni

2015)

Yolanda Candra, Asih Setiarini, Iris Rengganis, 2011. Gambaran

Sensivitas Terhadap Alergi Makanan. Universitas Indonesia, Jakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai