Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HIPERSENSIVITAS

DOSEN PEMBIMBING :

DOSEN PENGAMPU : Ns. Rani Lisa Indra, M.Kep.,Sp.Kep.MB

DI SUSUN OLEH KEL 4

1. Nadila Ramadhani 20031080 6. Elsa Sanusi 20031067

2. Dewita Sani 20031061 7. Milatul Qiftiyah 20031072

3. Ervima Neltra 20031078 8. Aldi Firmansyah 20031069

4. Nurhaliza 20031063 9. Sonia Diva Nurkasih 20031070

5. Indah Sri Ulandari 20031076 10. Fatkhul Mizan 20031065

6. Delvia Julianti 20031074 11. Eka Febriyanti 20031071

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS HANG TUAH


PEKANBARU TAHUN PELAJARAN 2021-2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi agung Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, sehingga
makalah “ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HIPERSENSIFITAS”
dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH II.

Penulis menyadari makalah bertema “ASUHAN KEPERAWATAN NYERI PADA


PASIEN DENGAN HIPERSENSIFITAS” ini masih perlu banyak penyempurnaan karena
kesalahan dan kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini
dapat lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan
maupun konten, penulis memohon maaf. Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima Kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu

Pekanbaru, 19 Mei 2022

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................2

DAFTAR ISI.................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................4

1.1 Latar Belakang................................................................................................................4

2.2 Tujuan Umum.................................................................................................................5

2.3 Manfaat Penulisan...........................................................................................................5

BAB II LANDASAN TEORI.....................................................................................................7

BAB III PEMBAHASAN...........................................................................................................8

3.1 Definisi Hipersensitivitas................................................................................................8

3.2 Etiologi Hipersensifitas...................................................................................................8

3.3 Manifestasi Klinis Tanda dan Gejala Hipersensivitas.....................................................9

3.4 Patofisiologi Hipersensivitas.........................................................................................10

3.5 WOC Hipersensivitas....................................................................................................14

3.6 Pemeriksaan Penunjang Hipersensivitas........................................................................15

3.7 Penatalaksaan Hipersesnsivitas......................................................................................15

3.8 Pencegahan Hipersesnsivitas.........................................................................................17

3.9 Asuhan Keperawatan Hipersesnsivitas..........................................................................18

BAB IV PENUTUP....................................................................................................................22

4.1 Kesimpulan....................................................................................................................22

4.2 Saran..............................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................23

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipersensitivitas merupakan peningkatan sensitivitas terhadap antigen yang
pernah terpapar sebelumnya (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Hipersensitivitas tipe 1
atau dikenal juga dengan istilah alergi adalah reaksi berlebihan sistem imun terhadap
suatu zat yang melibatkan aktivitas Imunoglobulin E (IgE). Respon imun ini
menyebabkan kerusakan di jaringan yang manifestasinya sesuai dengan target organ yang
dikenainya (Abbas & Lichtman, 2009).
Alergi merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah utama kesehatan di
dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa 20% penduduk dunia
mengalami alergi yang diperantarai IgE, seperti asma, rinitis alergi, konjungtivitis alergi,
eksema, dan anafilaksis. Prevalensi alergi di dunia meningkat pesat baik itu di negara
maju ataupun di negara berkembang. Peningkatan ini terjadi dalam dua dekade terakhir
dan menjadi masalah terutama pada anak-anak (Pawankar et al, 2012).
Angka kejadian alergi di Indonesia mengalami peningkatan mencapai 30%
pertahunnya sebagaimana yang disebutkan oleh Pusat Data dan Informasi Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (2012). Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi,
Semarang, menunjukkan prevalensi berbagai penyakit alergi, diantaranya rinitis alergi
63,6%, asma bronkial 25,0%, dermatitis atopik 40,9%, dan konjungtivitis alergi 2,3%.
Kasus alergi lebih banyak terjadi pada perempuan (54,5%) dibandingkan laki-laki
(45,5%) (Wistiani & Notoatmojo, 2011).
Alergi terjadi ketika seseorang terpapar dengan alergen. Beberapa jenis alergen
adalah serbuk sari, tungau debu rumah, bulu binatang, makanan, dan bahan kimia seperti
antibiotik. Salah satu alergen yang terbukti bisa menstimulasi alergi adalah ovalbumin.
Ovalbumin merupakan bagian dari protein yang ada di dalam putih telur yang
mempunyai tingkat alergenisitas 100% (Flaherty, 2012). Ovalbumin berpotensi
menimbulkan reaksi alergi karena mengandung senyawa protein dengan berat molekul
cukup besar serta mampu menginduksi pembentukan antibodi pada tubuh mencit (Aldi et

1
al., 2013). Penelitian pada mencit yang mendapatkan paparan kronik ovalbumin
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi reseptor Interleukin-4 (IL-4) yang
merupakan sitokin penting dalam proses alergi. Selain itu juga terjadi peningkatan
infiltrasi eosinofil pada jaringan peribronkhiolus pada kelompok mencit yang terpapar
ovalbumin (Barlianto et al., 2009).

Reaksi alergi terjadi jika individu dengan faktor predisposisi alergi yang telah
tersensitisasi terpapar ulang dengan alergen yang sama. Pada fase sensitisasi, alergen yang
masuk ke dalam tubuh akan diproses oleh Antigen Presenting Cell (APC), kemudian
APC akan menginduksi aktivasi limfosit T. Limfosit T kemudian mengaktivasi Sel T
Helper 2 (Th2) untuk menghasilkan IL-4 dan IL-13 yang akan menginduksi limfosit B
untuk menghasilkan IgE. Ketika terpapar ulang dengan alergen yang sama, maka alergen
tersebut berinteraksi dengan IgE yang terikat di permukaan sel mast dan akan
menyebabkan sel mast teraktivasi. Selanjutnya sel mast akan berdegranulasi dan
mengeluarkan mediator kimia. Salah satunya adalah histamin yang menyebabkan
terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan diikuti dengan ekstravasasi
cairan. Hal ini menimbulkan inflamasi alergi dengan manifestasi klinis berupa gatal,
bengkak, dan merah pada kulit (Fujita et al., 2012; Owen et al., 2013).

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum


Adapun tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi
penugasan SGD Keperawatan Medikal Bedah II dengan judul makalah “
Hipersensitivitas”

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Agar mahasiswa mengetahui mengenai tentang Hipersensitivitas
2. Agar Mahasiswa mengetahui bagaimana asuhan keperawatan Hipersensitivitas
3. Menambah wawasan mahasiswa mengenai Hipersensitivitas

5
1.3 Manfaat Penulisan

Makalah ini sekiranya dapat dijadikan sumber pengetahuan mengenai Konsep Teori dan
Asuhan Keperawatan pada pasien yang mengalami Hipersensitivitas dan sekiranya dapat
menambah wawasan mahasiswa/I keperawatan secara lebih mendalam mengenai asuhan yang
diberikan kepada pasien yang mengalami Hipersensitivitas.

6
BAB II
LANDASAN TEORI

1. Pengertian Hipersensivitas

a. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang


pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)

b. Istilah hipersensitivitas berkenaan dengan ketidaktepatan reaksi imunologis, daripada


usaha untuk menyembuhkan, reaksi ini menciptakan kerusakan jaringan dan merupakan
suatu bentuk penting dalam proses perjalanan penyakit secara keseluruhan (Mohanty dan
Leela, 2014). Walaupun secara umum dikatakan bahwa sistem imun baik spesifik
maupun nonspesifik merupakan suatu sistem pertahanan terhadap invasi benda asing
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2014), namun kenyataanya tidak selalu demikian, karena
ketika respon imun berusaha untuk mengeliminasi antigen tanpa menyebabkan kerusakan
yang luas, pada saat yang sama respon imun dapat menghasilkan efek merusak yang
memicu kerusakan jaringan (subowo, 1993) bahkan sampai menimbulkan kematian
(Stevens, 2010).

2. Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas


a. Klasifikasi menurut waktu timbulnya reaksi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)

1) Reaksi cepat;
2) Reaksi intermediet;
3) Reaksi lambat.
b. Klasifikasi menurut Gell dan Coombs (1963)
Berdasarkan perbedaan imunopatogenesis, Gell dan Coomb pada tahun 1963
mengusulkan 4 tipe reaksi hipersensitivitas, yaitu reaksi tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan tipe 4
(subowo, 1993) dengan menyertakan perbedaan masing-masing mekanisme, sel dan
mediatornya (Mohanty dan Leela, 2014). Berikut hanya akan dijelaskan mengenai
hipersensitivitas tipe 1 beserta komponen dan contoh wujud kelainannya.

1) Hipersensitivitas Tipe 1
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 atau yang dikenal juga sebagai reaksi alergi (Abbas dkk.,
2015), atopi (Abbas dkk., 2014) dan reaksi anafilaksis (subowo, 1993) adalah reaksi
hipersensitivitas tipe cepat yang terjadi dalam waktu detik-menit antara waktu eksposur dengan
antigen sampai dengan gejala klinis tampak, dan merupakan reaksi dengan manifestasi tercepat
diantara ketiga tipe lain (subowo, 1993).

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi hipersensitivitas


Hipersensitivitas (Reaksi Alergi) adalah reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi saat
jaringan tubuh sehat mengalami cidera atau luka. Reaksi alergi melibatkan antibodi, limfosit, dan
sel lainnya yang termasuk dalam komponen sistem imun sebagai pelindung fisiologis tubuh.
Reaksi alergi terbagi menjadi 4 macam menurut Gell dan Coombs yaitu tipe I – IV (Hikmah &
Dewanti, 2010).
Hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi segera atau biasa disebut anafilaksis yang sering
berhubungan dengan alergi. Gejalanya bermacam-macam mulai rasa tidak nyaman hingga
kematian. Reaksi ini terjadi melalui IgE yang dihasilkan oleh sel mast dan basofil.
Hipersensitivitas tipe II akan muncul ketika antibodi melilit pada antigen yang masuk ke dalam
tubuh untuk dihancurkan. Reaksi ini disebut denan sitotoksik yang terjadi melalui
Immunoglobulin G (IgG) dan Immunoglobulin M (IgM). Reaksi Hipersensitivitas tipe III
diperantarai oleh kompleks imun (antigen, protein komplemen, antibodi IgG, dan antibodi IgM)
yang bisa ditemukan pada berbagai jaringan. Hipersesitivitas tipe IV (selular) merupakan reaksi
alergi yang diperantarai oleh sel T, monosit, dan makrofag. Reaksi ini membutuhkan waktu
antara dua hingga tiga hari untuk berkembang (Hikmah & Dewanti, 2010)

3.2 Etiologi
Ada beberapa hal penyebab gangguan hipersensitivitas secara umum yaitu :
• Reaksi hipersensitivitas dapat ditimbulkan secara eksogen oleh antigen lingkungan
(mikroba dan non mikroba) atau secara endogen oleh antigen diri (self). Manusia hidup di
lingkungan yang penuh dengan zat-zat yang mampu menimbulkan respons imun. Antigen
eksogen meliputi yang ada di debu, serbuk sari, makanan, obat-obatan, mikroba, dan berbagai
bahan kimia. Respon imun akibat antigen eksogen dapat terjadi pada berbagai bentuk, mulai dari
gangguan ringan, seperti gatal-gatal kulit, hingga penyakit yang berpotensi fatal, seperti asma
bronkial dan anafilaksis. Beberapa reaksi yang umum pada antigen lingkungan menyebabkan
kelompok penyakit dikenal sebagai alergi. Respon imun terhadap diri sendiri atau autologous,
antigen, mengakibatkan penyakit autoimun.
• Hipersensitivitas biasanya diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara mekanisme
efektor respon imun dan mekanisme kontrol yang berfungsi membatasi respon-respon secara
normal. Faktanya banyak hipersensitivitas diduga penyebab utamanya adalah kegagalan regulasi
normal. Kita akan kembali ke konsep ini saat kita mempertimbangkan autoimmunitas.

8
• Perkembangan penyakit hipersensitivitas (alergi dan autoimun) sering dikaitkan dengan
pewarisan gen kepekaan tertentu. Gen HLA dan banyak gen non-HLA telah terlibat dalam
berbagai penyakit, contoh spesifik akan dijelaskan dalam konteks penyakitnya.

• Mekanisme cedera jaringan pada reaksi hipersensitivitas sama dengan mekanisme


efektor pertahanan terhadap infeksi patogen. Masalah pada hipersensitivitas adalah karena
reaksi-reaksi ini kurang terkontrol, berlebihan, atau tidak tepat (misalnya secara normal
berlawanan terhadap antigen lingkungan dan antigen diri) (Baratawidjaya.2004).

3.3 Manifestasi klinisTanda dan gejala


utama pada reaksi hipersensitivitas dapat digolongkan menjadi reaksi sistemik yang
ringan, sedang dan berat.Ringan.Reaksi sistemik yang ringan terdiri dari rasa kesemutan serta
hangat pada bagian perifer dan dapat disertai dengan perasaan penuh dalam mulut serta
tenggorokan. Kongesti nasal, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin dan mata berair
dapat terjadi. Awitan gejala dimulai dalam waktu 2 jam pertama sesudah kontak.Sedang.Reaksi
sistemik yang sedang dapat mencakup salah satu gejala diatas disamping gejala flushing, rasa
hangat, cemas, dan gatal-gatal. Reaksi yang lebih serius berupa bronkospasme dan edema
saluran pernafasan atau laring dengan dispnea, batuk serta mengi. Aawitan hgejala sama seperti
reaksi yang ringan.Berat.Reaksi sistemik yang berat memiliki onset mendadak dengan tanda-
tanda serta gejala yang sama seperti diuraikan di atas dan berjalan dengan cepat hingga terjadi
bronkospasme, edema laring, dispnea berat serta sianosis. Disfagia (kesulitan menelan), kram
abdomen, vomitus, diare, dan serangan kejang-kejang dapat terjadi. Kadang-kadang timbul henti
jantung.

1.Reaksi tipe I
Dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberianantigen
protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkananafilaksis
sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yangtersensitisasi akan muncul
rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), daneritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas
berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus.
Edema laring dapatmemperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
bagianatas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan
vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa interfensi segera,dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok
anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa
menit.reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentusesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktusgastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

9
2.Reaksi tipe II
Umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia,eosinofilia
dan granulksitopenia.
3.Reaksi Hipersensivitas tipe III
1). Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain.gejala
sering disertai pruritis.
2). demam
3). Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4). imfadenopati
- Kejang perut, mual
- neuritis optic
- glomerulonefritis
- Sindrom lupus eritematosus sistemik
- Gejala vaskulitis lain
4. Hipersensitivitas tipe IV
Dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang
tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial,ensafalomielitis.
hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.Adapun gejala klinis umumnya:
- Pada saluran pernafasan : asma
- Pada saluran cerna : mual,muntah,diare,nyeri perut
- Pada kulit : urtikaria. angi$derma, dermatitis, pruritus, gatal, demam, gatal
- Pada mulut : rasa gatal dan pembengkakan bibir

3.4. Patofisiologi

Hipersensitivitas tipe I disebabkan karena antibodi IgE yang melapisi sel mast dan
basofil berikatan dengan antigen bebas. Akibatnya, terjadi degranulasi sel dan pelepasan
histamin serta mediator inflamasi lainnya, seperti prostaglandin, leukotrien,
triptase, platelet-activating factor, dll.). Pelepasan histamin meningkatkan kontraksi otot
sehingga dapat terjadi bronkospasm, kram, rhinitis, hingga hypovolemi dan hypoxia.

10
Hipersensitivitas tipe II disebabkan oleh IgM atau IgG yang berikatan dengan antigen sel
normal pada jaringan tertentu. Kemudian, sistem komplemen akan teraktivasi untuk merangsang
fagositosis dan lisis pada sel yang berikatan.
Sistem komplemen merupakan protein yang bersirkulasi di dalam darah namun hanya sebagai
prekursor inaktif. Saat ada stimulasi, seperti tautan IgM atau IgG dengan sel, komplemen akan
teraktivasi dan merangsang aktivasi antibodi tersebut. Saat fungsi antibodi aktif, ia akan
mengganggu fungsi normal sel terikat.

11
Hipersensitivitas tipe III disebabkan karena IgG antibodi yang bertautan dengan antigen
membentuk kompleks imun sehingga membentuk endapan di jaringan tertentu. Kompleks imun
tersebut kemudian mengendap pada jaringan (umumnya pembuluh darah) sehingga
menimbulkan kaskade komplemen untuk melepaskan enzim lisosom dari netrofil guna
membunuh sel-sel yang terdapat di endapan kompleks imun tersebut. Akibatnya, dapat terjadi
inflamasi hingga vaskulitis (peradangan dinding pembuluh darah).

12
Hipersensitivitas tipe IV merupakan reaksi hipersensitivitas yang tertunda, atau tidak
langsung terjadi pada saat kontak pertama dengan agen, dan dimediasi oleh sel limfosit T.
Hipersensitivitas tipe IV disebabkan oleh sensitisasi pada kontak pertama yang tertangkap oleh
sel Langerhans sehingga merangsang limfosit T menjadi sensitif terhadap agen tersebut. Ketika
limfosit T terpapar kembali, sel T akan langsung merangsang sekresi limfokin dan sitokin (IFN-
γ, TNF-α). Setelah itu, makrofag akan teraktivasi dan terjadilah reaksi inflamasi pada jaringan.

13
3.5 WOC Hipersensivitas/alergi

14
3.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Uji kulit :
Sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergi hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergi makanan seperti susu,
telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi:
Bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik:
Harga normal IgE total adalah 1000u/1 sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih
dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeles parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensiti
6. Biopsi usus Sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi/atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE (dengan
mikroskop imunofluoresen).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda (Double blind food chalenge) untuk diagnosa pasti.

3.7 Penatalaksaan
Strategi yang efektif untuk manajemen alergi obat adalah dengan menghindari atau
menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien memakai bermacam-
macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak, dapat diberikan obat yang
esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga
diberikan obat lain yang struktur imunokimianya berlainan.
Terapi tambahan untuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat sebagian besar bersifat
suportif dan simptomatik. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi
obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang
lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ
lain.
Pada reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang berat seperti pada sindrom Steven
Johnson, pasiennya harus dirawat di ruangan intensif, karena selain harus mendapat
kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga.
Perawatan kulit juga memerlukan waktu berhari-hari sampai berminggu- minggu. Kadang-
kadang terjadi infeksi sekunder sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.
Pilihan terapi pada keadaan anafilaksis adalah epinefrin yang diinjeksi secara
intramuskular atau intravena. Pemberian epinefrin pertama diberikan 0,01 ml/kg/BB sampai
mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali. Pada
urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai, tetapi untuk
kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hati, nefritis

15
interstisial, dan lain-lain diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60-100 mg prednison atau
ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya pemberian prednison tersebut diturunkan
dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu. Manajemen terhadap beberapa obat
yang dapat menyebabkan alergi yaitu sebagai berikut:
a) Penisilin
Penisilin merupakan obat yang paling sering menyebabkan alergi. Untuk pasien dengan
alergi penisilin, pengobatan yang terbaik terbatas pada agen non-penisilin. Karbapenem
tidak memperlihatkan tingkat signifikan reaktivitas silang dengan penisilin dan dapat
diberikan sebagai graded challenge setelah tes kulit profilaksis dengan karbapenem yang
relevan. Monobaktam, seperti aztreonam, umumnya ditoleransi dengan baik oleh pasien
dengan alergi penisilin, kecuali mereka memiliki reaksi alergi terhadap ceftazidime.
Idealnya, manajemen pasien dengan alergi penisilin harus dilakukan tes kulit terhadap
penisilin. Sekitar 90% pasien memiliki respon tes kulit yang negatif terhadap penisilin
dan aman diberikan cephalosporin maupun agen betalaktam lainnya. Jika penisilin
dianggap mutlak diperlukan pada pasien alergi terhadap penisilin, maka desensitisasi
perlu dipertimbangkan, dan prosedur sebaiknya dilakukan di bawah pengawasan medis
dirumahsakit.
b) Sulfonamid
Sulfonamid merupakan salah satu antibiotik lainnya yang dapat menyebabkan reaksi
alergi dan sering berhubungan dengan erupsi makulopapular kutaneus yang tertunda, SJS
dan TEN. Pasien yang terinfeksi HIV mengalami peningkatan risiko untuk
berkembangnya reaksi kutaneus terhadap sulfonamid, dimana berkaitan dengan faktor
imunologis dan frekuensi paparan terhadap antibiotik. Struktur kimia dari sulfonamid
non-antibiotik (diuretik tiazid, beberapa NSAIDs dan antikonvulsan) bervariasi dari
antibiotik sulfonamid, agen ini tidak diharapkan untuk reaksi silang dan secara umum
aman diberikan untuk pasien dengan riwayat alergi terhadap antibiotik sulfonamid.
c) Cephalosporin
Pada penderita alergi terhadap cephalosporin, terdapat reaktivitas silang terbatas pada tes
imunologikal antara cephalosporin generasi kedua dan ketiga dan penisilin, terutama
amino-penisilin, tetapi hal ini belum tentu menunjukkan reaktivitas klinis. Pentingnya tes
kulit dengan tujuan pemberian antibiotik untuk terapi, dan/atau administrasi graded
challenge. Jika tes kulit positif dan tidak ada alternative obat, induksi dengan prosedur
toleransi obat dapat dicoba.
d) Media radiokontras
Media radiokontras berkaitan dengan reaksi alergi dan reaksi pseudoalergi. Reaksi
alergi/pseudoalergi terhadap media radiokontras dapat dicegah melalui penggunaan
sebelum terapi regimen yang termasuk kortikosteroid oral dan antihistamin H1. Agen
osmolaritas rendah juga bisa digunakan pada situasi tersebut.
e) Anastesi lokal
Reaksi alergi terhadap anastesi lokal (novokain, lidokain) sangat jarang terjadi. Reaksi
biasanya karena ada bahan-bahan lain dalam obat, seperti pengawet atau epinefrin.
Namun, jika riwayat reaksi konsisten dengan kemungkinan segera (reaksi IgE-mediated),
tes kulit diikuti tes graded challenge menggunakan anestesi lokal bebas epinefrin dan
pengawet dapat dilakukan. Anastesi umum meskipun jarang, anafilaksis dapat terjadi
pada pasien dibwah pengaruh anastesi umum. Reaksi selama anastesi umum sering

16
dikarenakan agen yang memblok neuromuscular, tetapi dapat juga dikaitkan dengan
anastesi intravena (propofol, thiopentone, etomidate), antibiotik, NSAIDs, dan alergi
lateks. Penilaian oleh ahli alergi penting untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis alergi
terhadap anastesi umum, mengidentifikasi agen penyebab kemungkinan serta agen
alternatif yang dapat digunakan dengan aman.
f) Reaksi asam asetilsalisilat/NSAIDs
Asam asetilsalisilat dan NSAIDs dapat menyebabkan reaksi alergi yang sebenarnya dan
reaksi pseudoalergi, termasuk eksaserbasi dari penyakit respirasi yang mendasari,
urtikaria, angioedema dan anafilaksis. Pasien dengan penyakit pernafasan kronis, seperti
asma, rinitis dan sinusitis, mungkin bereaksi terhadap asam asetilsalisilat dan NSAIDs
yang menghambat siklooksigenasi-1 (COX-1). Manajemen pasien ini dengan
menghindari aspirin dan NSAIDs dan pengobatan agresif dari penyakit respirasi yang
mendasari. Selektif COX-2 inhibitor hampir tidak pernah menyebabkan reaksi, dan
biasanya dapat digunakan secara aman untuk penderita alergi asam asetilsalisilat dan
NSAIDs. Induksi prosedur toleransi obat aspirin (juga dikenal sebagai desensitisasi
aspirin) juga dapat dipertimbangkan. Pasien dengan urtikaria kronis atau angioedema
umumnya toleran terhadap COX-2 inhibitor, tetapi mungkin mengalami eksaserbasi
urtikaria/angioedema terhadap NSAIDs yang menghambat COX-1. Reaksi alergi
terhadap NSAIDs biasanya spesifik pada obat tertentu dan pasien yang mengalami reaksi
ini seringkali tahan terhadap NSAIDs lainnya.

3.8 Pencegahan
Pencegahan hipersensitivitas terbagi atas tiga, yaitu penegahan primer, sekunder
dan tersier :
1. Pencegahan primer

Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi atau induksi kontak


pertama dengan alergen (yaitu ketika mengkonsumsi makanan penyebab alergi).
2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi yang telah


tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan dan allergen.
3. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah terjadinya manifestasi


hipersensitivitas lanjut atau lebih parah.
Cara untuk mencegah hipersensitivitas atau alergi tergantung pada jenis
alergennya. Upaya yang paling efektif adalah dengan menghindari pemicunya. Akan
tetapi, tidak semua sumber alergi dapat dihindari dengan mudah, misalnya debu, bulu
hewan peliharaan, atau makanan. Beberapa cara berikut ini dapat Anda lakukan untuk
membantu mencegah alergi :
1. Mengenakan pakaian tertutup atau mengoleskan losion anti serangga saat bepergian

17
2. Menghindari penggunaan parfum yang bisa menarik perhatian serangga
3. Menggunakan masker saat keluar rumah
4. Membersihkan rumah secara rutin, terutama ruangan yang sering digunakan, seperti
kamar tidur dan ruang keluarga
5. Menghindari penggunaan kemoceng, karena dapat menyebarkan alergen
6. Membersihkan perabotan dengan kain bersih yang dibasahi air atau cairan
pembersih, atau alat penyedot debu
7. Membuka jendela atau pintu, agar sirkulasi udara lebih lancar
8. Menempatkan hewan peliharaan di luar rumah atau di satu ruangan khusus
9. Memandikan hewan peliharaan dan membersihkan kandangnya secara rutin
10. Mencatat makanan yang dapat memicu reaksi alergi agar dapat dihindari
11. Membaca label kemasan makanan untuk mengetahui bahan-bahannya sebelum
mengonsumsinya
12. Membersihkan dapur agar terhindar dari lumut, terutama tempat cuci piring atau cuci
pakaian
13. Tidak menjemur pakaian di dalam rumah
14. Menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, mandi, dan sikat gigi secara teratur

3.9 Asuhan Keperawatan

1. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, no register dan diagnose medis
2. Keluhan utama
- Pasien mengeluh sesak nafas
- Pasien mengeluh bibirnya bengkak
- Pasien mengaku tidak ada nafsu makan, mual dan muntah
- Pasien mengeluh nyeri di bagian perut
- Pasien mengeluh gatal-gatal dan timbul kemerahan di sekujur tubuhnya
- Pasien mengeluh diare
- Pasien mengeluh demam
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya,bengkak, tibul kemerahan pada
kulit,mual muntah,dan terasa gatal.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut,sesak nafas, demam,
bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah
menjalani perawatan di RS atau pengobatan tertentu.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga

18
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang sama.
6. Riwayat psikososial dan spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit pasien
terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap
stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat ini,
dan sistem nilai kepercayaan.
7. Pemeriksaan fisik
a. Kulit, seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik, bekas
garukan terutama daerah pipi dan lipatan kulit daerah fleksor.
b. Mata, periksa terhadap hiperemia, edema, sekret mata yang berlebihan dan katarak
yang sering dihubungkan dengan penyakit atropi.
c. Telinga, telinga tengah merupakan penyulit rinitis alergi.
d. Hidung, beberapa tanda yang sudah baku misal: salute, allergic crease, allergic
shiners, allergic facies.
e. Mulut dan orofaring pada rinitis alergik, sering terlihat mukosa orofaring
kemerahan, edema. Palatum yang cekung kedalam, dagu yang kecil serta tulang
maksila yang menonjol kadang-kadang disebabkan alergi kronik.
f. Dada, diperiksa secara infeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada waktu serangan
asma kelainan dapat berupa hiperinflasi, penggunaan otot bantu pernafasan.
g. Periksa tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
h. Pemeriksaan Diagnostik.
• Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.
• Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.
• Pemeriksaan serum Ig E total dan Ig G spesifik.

8. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal, intrademal
sekunder
c. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
berlebih

9. Intervensi

No. Diagnosa NOC NIC


1. Ketidakefektifan pola Setelah melakukan tindakan • Kaji frekuensi, kedalaman
nafas berhubungan 3 x 24 jam, diharapkan pernapasan dan ekspansi
dengan terpajan pasien menunjukkan pola paru.
allergen nafas efektif dengan • Catat upaya pernapasan,
frekuensi dan kedalaman termasuk pengguanaan otot
rentang normal. bantu/ pelebaran masal.
Kriteria hasil : • Observasi pola batuk dan

19
• Frekuensi Pernapasan karakter secret.
pasien normal (16-20 • Auskultasi bunyi napas dan
kali per menit) catat adanya bunyi napas
• Pasien tidak merasa adventisius seperti krekels,
sesak lagi mengi, gesekan pleura.
• Pasien tidak tampak • Tinggikan kepala dan bantu
memakai alat bantu mengubah posisi.
pernapasan Bangunkan pasien turun
• Tidak terdapat tanda- dari tempat tidur dan
tanda sianosis ambulansi sesegera
mungkin.
• Berikan oksigen tambahan.
• Berikan humidifikasi
tambahan, mis: nebulizer
ultrasonic
2. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan • Lihat kulit, adanya edema,
kulit berhubungan keperawatan selama 3 x 24 area sirkulasinya terganggu
dengan infalamasi jam, diharapkan pasien tidak atau pigmentasi.
dermal, intrademal akan mengalami kerusakan • Hindari obat intramaskular.
sekunder integritas kul ulit lebih • Beritahu pasien untuk tidak
parah. menggaruk rea yang gatal
Kriteria hasil :
• Tidak terdapat
kemerahan, bentol-
bentol dan odema
• Tidak terdapat tanda-
tanda urtikaria, pruritus
dan angioderma
• Kerusakan integritas
kulit berkurang
3. Resiko Setelah dilakukan tindakan • Kaji turgor kulit,
ketidakseimbangan keperawatan selama 3 x 24 kelembaban membrane
volume cairan jam, diharapkan mukosa (bibir, lidah).
berhubungan dengan ketidakseimbangan volume • Ukur dan pantau TTV,
kehilangan cairan cairan pada pasien dapat contoh peningakatan suhu/
berlebih teratasi. demam memanjang,
Kriteria hasil : takikardia, hipotensi
• Pasien tidak mengalami ortostatik.
diare lagi • Beri obat sesuai indikasi
• Pasien tidak mengalami misalnya antipiretik,
mual dan muntah antiemetic.
• Tidak terdapat tanda-
tanda dehidrasi
• Turgor kulit kembali
normal

20
10. Implementasi

Implementasi merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan


dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Perawat melaksanakan tindakan
keperawatan untuk melakukan intervensi yang disusun dalam tahap perencanaan dan
kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat tindakan keperawatan dan
respons klien terhadap tindakan yang telah diberikan.
11. Evaluasi

Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan


keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien
secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Penilaian keberhasilan
adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai.

21
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi
sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kotak-ulang sesudah
seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi . Anafilaksis merupakan respon
klinis terhadap suatu reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe 1). Anafilaksis adalah repon
berlebihan system imun yang melibatkan seluruh tubuh. Tipe anfilaksia ada beberapa yaitu :
Local, reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat kontak
dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal. Sistemik, reaksi
sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam system organ berikut
ini : kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal dan integument .

4.2. Saran

Hal – hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipersensitivitas.

1. Menghindari zat yang dicurigai sebagai allergen

2. Melakukan tes alergi dan melihat riwayat keluarga serta riwayat frekuensi serangan terjadi.

3. Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara

4. Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu sekali

5. Konsultasi dengan dokter dan melakukan tes alergi untuk mengetahui allergen-allergen yang
harus dihindari

22
DAFTAR PUSTAKA

Hikmah, Dewanti, 2010. Seputar Reaksi Hipersensitivitas ( Alergi ). Bagian Biomedik Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas, Jember
Baratawidjaya KB. Reaksi hipersensivitas. Imunologi dasar. Edisike – 6. Jakarta: BalaiPenerbit
FKUI;2004. P.73-90
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, Jakarta: EGC.
www.medikaholistik.com Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit.Vol 2.Edisi 6.Jakarta:EGC.
Elshemy A, Abobakr M. Allergic reaction: symptoms, diagnosis, treatment and management.
Journal of scientific and innovative research. 2013;2(1):123-144.

Brockow K, Przybilla B, Aberer W, Bircher AJ, Brehler R, Dickel H, et al. Guideline for the
diagnosis of drug hypersensitivity reactions. Allergo J Int. 2015;24:94-105

23

Anda mungkin juga menyukai