Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

MANIFESTASI ALERGI PADA RONGGA MULUT OLEH KARENA FAKTOR


KONTAK

Oleh :

1. I Komang Alit Baskara (21710173)


2. Rizki Amalia Mega Fitriani (21710177)

Dosen Pembimbing

drg. Enny Wilianti, M.Kes


drg. Theodora, Sp.Ort
drg. Wahyuni Dyah Parmasari, Sp.Ort

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER MUDA


KSM ILMU GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2022

i
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
“MANIFESTASI ALERGI PADA RONGGA MULUT OLEH KARENA FAKTOR KONTAK”

Penyusun :
1. I Komang Alit Baskara (21710173)
2. Rizki Amalia Mega Fitriani (21710177)

Telah disetujui dan disahkan pada :

Hari/Tanggal: Selasa/ 19 Juli 2022

Mengetahui,
Kepala Bagian KSM Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER MUDA


KSM ILMU GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2022

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan referat “MANIFESTASI ALERGI PADA
RONGGA MULUT OLEH KARENA FAKTOR KONTAK” ini dengan baik sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bersama ini saya juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga terselesaikannya laporan kasus ini, terutama kepada dokter pembimbing saya yang telah
membimbing, memberi arahan, dan masukan kepada saya sehingga referat ini dapat saya susun.
Dalam penyusunan laporan kasus ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan
saran sangat saya harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan referat ini dan untuk pelajaran
bagi kita semua.

Surabaya, 17 Juli 2022


Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ii


KATA PENGANTAR .........................................................................................................iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................iii
BAB I
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................................1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ......................................................................................................................2
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko........................................................................................2
2.3 Klasifikasi dan Patofisiologi......................................................................................3
2.4 Manifestasi Klinis .....................................................................................................8
2.5 Diagnosis ...................................................................................................................9
2.6 Diagnosis Banding.....................................................................................................14
2.7 Tatalaksana................................................................................................................14
2.8 Prognosis ...................................................................................................................15
BAB III
RESUME JURNAL ............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................35

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


hipersensitivitas merupakan reaksi abnormal dari sistem imun yang terjadi sebagai
respon akibat terpaparnya dengan substansi yang bahaya sehingga tingkat respon reaksinya
bervariasi dari ringan sampai mamtikan. Reaksi hipersensivitas mencakup kelainan autoimun
dan alergi, seperti yang diketahui kondisi autoimun merupakan suatu respon imunologis
abnormal yang menyerang bagian tubuhnya sendiri sedangkan alergi merupakan respon
imunologis abnormal yang timbul karena adanya stimulus dari lingkungan di luar tubuh
(substansi oksigen).
Rekasi hipersensivitas terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe 1 yang dimendiasi oleh IgE
(reaksi anafilatik), tipe 2 yang dimediasi oleh antibodi, tipe 3 yang dimediasi oleh kompleks
imun, dan tipe 4 yang dimediasi oleh sel (delayed hypersensitivity). Reaksi hipersensivitas
umumnya akan menimbulkan manifestasi pada tubuh sehingga sebagai seorang dokter wajib
mengetahui tanda dan gejala klinisnya, sehingga mampu memberikan penangan yang tepat.
Praktik kedokteran gigi menggunakan berbagai bahan denal dan obat – obatan yang
bervariasi seperti penggunaan antibiotic, hipnotik, dan anastetik. Ketika dokter gigi
menggunakan medikasi maka harus mengetahui cara menangangi reaksi hipersensivitas yang
mungki dapat ditimbulkannya.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari hipersensivitas ?
2. Bagaimana manifestasi alergi pada rongga mulut oleh karena faktor kontak ?
3. Bagaimana cara menangani alergi pada rongga mulut oleh karena faktor kontak ?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui tentang hipersensivitias.
2. Mengetahui manifestasi alergi pada rongga mulut oleh karena faktor kontak..
3. Mengetahui cara menangangi alergi pada rongga mulut oleh karena faktor kontak.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Hipersensitivitas merupakan peningkatan aktivitas atau sensitivitas terhadap
antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Respon imun, baik nonspesifik
maupun spesifik biasanya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap
infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak
menguntungkan bagi tubuh seperti reaksi hipersensitivitas tersebut. Komponen–
komponen sistem imun yang berperan pada fungsi proteksi adalah sama dengan yang
menimbulkan reaksi hipersensitivitas.

2.2. Etiologi dan Faktor Resiko


Reaksi hipersensitivitas dapat bersifat idiopatik atau diakibatkan oleh berbagai zat
dan keadaan. Ada yang berupa antigen seperti protein (serum, hormon, enzim, bisa
binatang, makanan, dan sebagainya) atau polisakarida, juga ada yang berupa hapten yang
nanti bertindak sebagai antigen apabila berikatan dengan protein (antibiotik, anastesi
lokal, analgetik, zat kontras, dan lain-lain). Antigen tersebut dapat masuk ke dalam tubuh
melalui oral, suntikan/sengatan, inhalasi, atau topikal.
Adapun beberapa obat – obatan yang bisa menimbulkan reaksi hipersensivitas
adalah antibiotic seperti golongan penicillin, streptomycin, klorampenikol, sulfonaminde,
kanamisin, obat – obatan kemoterapeutik dan vaksin. Makanan seperti ikan, udang,
kacang – kacangan, telur dan lain – lain. Bisa juga cairam binatang, getah tumbuhan, dan
kosmetik dapat menimbulkan reaksi hipersensivitas.
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi
hipersensitivitas adalah:
a. Riwayat keluarga. Suatu studi epidemiologi menyatakan bahwa faktor genetik
berpengaruh pada keluarga atopi. Bila salah satu orang tua memiliki penyakit
alergi, maka 25 – 40% anak akan menderita alergi. Bila kedua orang tua memiliki
alergi maka risiko pada anak adalah 50 – 70%.

2
b. Riwayat atopi. Atopi merupakan kecenderungan genetik untuk memproduksi IgE
antibodi terpapar alergen. Adanya riwayat atopi meningkatkan risiko terjadinya
reaksi hipersensitivitas. Sebagian besar penderita anafilaksis idiopatik memiliki
riwayat atopi.
c. Sifat alergen. Beberapa zat tertentu lebih sering menyebabkan reaksi
hipersensitivitas (obat golongan Penisilin, pelemas otot, media kontras
radiografis, aspirin, lateks, kacang-kacangan, kerang).
d. Alur pemberian obat. Pemberian obat secara parenteral lebih cenderung
menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan pemberian peroral, namun
reaksi hipersensitivitas dapat terjadi melalui berbagai jalur pemberian.
e. Kesinambungan (constancy) paparan allergen. Pemakaian obat yang sering
terputus dapat meningkatkan risiko terjadinya reaksi hipersensitivitas.
f. Pemberian imunoterapi berupa injeksi ekstrak alergen pada penderita yang
penyakit alerginya sedang tidak terkendali (misalnya injeksi ekstrak alergen pada
penderita asma yang belum terkendali akan meningkatkan risiko terjadinya
anafilaksis).

2.3. Klasifikasi dan Patofisiologi


Terdapat beberapa klasifikasi reaksi hipersensitivitas yaitu menurut waktu
timbulnya dan menurut Gell dan Coombs.
2.3.1 Klasifikasi Menurut Waktu Timbulnya Reaksi Hipersensitifitas
a. Reaksi cepat
Terjadi dalam hitungan detik, serta hilang dalam waktu 2 jam. Antigen
yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator
vasoaktif. Manifestasinya dapat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis
lokal seperti pilek, bersin, asma, urtikaria, dan eksema.
b. Reaksi intermediet
Terjadi setelah beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis ini
melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui
aktivasi komplemen. Reaksi intermediet diawali oleh IgG yang disertai
kerusakan jaringan pejamu oleh sel netrofil atau sel NK.

3
Manifestasinya berupa reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan
anemia hemolitik autoimun dan reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti
serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan
LES.
c. Reaksi lambat
Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Terjadi
akibat aktivasi sel Th. Pada delayed type of hypersensitivity yang berperan
adalah sitokin yang dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan
menimbulkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinisnya yaitu dermatitis
kontak, reaksi mikobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
2.3.2 Klasifikasi Menurut Gell dan Coombs
a. Hipersensitivitas Tipe I
Disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi. Reaksi
ini timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Mekanisme
terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I mulanya antigen masuk ke tubuh
dan merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th. IgE
diikat oleh sel mast atau basofil melalui reseptor Fcɛ. Apabila tubuh terpajan
ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE
yang sudah ada pada permukaan sel mast atau basofil. Akibat ikatan
tersebut, sel mast atau basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator.
Senyawa vasoaktif yang dilepaskan oleh sel mast atau basofil, yaitu
histamin dan faktor kemotaktik eosinofilik.
Senyawa lain yang juga dilepaskan yaitu substansi reaksi lambat
anafilaksis yang disintesis oleh sel. Substansi tersebut terdiri atas
prostaglandin, leukotrin, tromboksan dan aktor pengaktif trombosit. Efek
kombinasi dari senyawa-senyawa ini menimbulkan pelebaran pembuluh
darah, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edem (pembengkakan
yang disebabkan oleh masuknya serum ke dalam jaringan), dan masuknya
eosinofil yang khas pada respons atopik lokal. Pada kasus asma,
menyebabkan sekresi berlebihan dan kelenjar mukus bronkus dan spasme
bronkus.

4
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel
mast atau basofil.
2. Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor, yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai
efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik.
Manifestasi hipersensitivitas tipe I dapat bervariasi dari lokal, ringan
sampai berat dan keadaan yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan
asma berat. Diagnosis hipersensitivitas tipe I biasanya dibuat dengan
memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan antigen dalam
lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada waktu anamnesis.
b. Hipersensitivitas Tipe II
Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk
antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor
Fcγ-R. Sel NK dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan
kerusakan melalui Antibody Dependent Cell (mediated) Cytotoxicity.
Karakteristik hipersensitivitas tipe II ialah pengerusakan sel dengan
mengikat antibodi yang spesifik pada permukaan sel. Kerusakan sel yang
terjadi utamanya bukan merupakan hassil pengikatan antibodi, ini
tergantung pada bantuan limfosit lainnya atau makrofag atau pada sistem
komplemen.
Manifestasi yang sering dari reaksi hipersensitivitas reaksi ini
melibatkan sel-sel darah, sel jaringan lainnya dapat juga diikutsertakan.
Misalnya saja pada anemia hemolitik autoimun dan trombositopenia.
c. Hipersensitivitas Tipe III

5
Disebut juga reaksi kompleks imun. Terjadi bila kompleks
antigenantibodi ditemukan dalam sirkulasi atau dinding pembuluh darah
atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang berperan
biasanya jenis IgM atau IgG. Kompleks imun akan mengaktifkan sejumlah
komponen sistem imun. Komplemen yang diaktifkan melepas anafilaktosis
yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainnya dan
Macropaghe Chemotactic Factor mengerahkan polimorf yang melepas
enzim proteolitik dan protein polikationik. Komplemen juga menimbulkan
agregasi trombosit yang membentuk mikrotombi dan melepas amin
vasoaktif, selain itu komplemen mengaktifkan makrofag yang melepas IL-1
dan produk lainnya.
Bahan vasoaktif yang dibentuk sel mast dan trombosit menimbulkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan inflamasi. Neutrofil
ditarik dan mengeliminasi kompleks. Bila neutrofil terkepung di jaringan
akan sulit untuk memakan kompleks dan akan melepas granulnya. Kejadian
ini menimbulkan banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke
tempat tersebut melepas berbagai mediator, antara lain enzim-enzim yang
dapat merusak jaringan sekitarnya. Manifestasi klinisnya antara lain lupus
eritamatosis sistemik, penyakit serum, artritis reumatoid, infeksi malaria,
virus, dan lepra.
d. Hipersensitivitas Tipe IV
Hypersensitivitas yang terjadi melalui sel CD4 dan T Cell Mediated
Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8.
1. Delayed Type Hipersensitivity (DTH)
Pada tipe ini, sel CD4 Th1 mengaktifkan makrofag yang berperan
sebagai sel efektor. CD4 Th1 melepas sitokin yang mengaktifkan
makrofag dan menginduksi inflamasi. Pada DTH, kerusakan jaringan
disebabkan oleh produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim
hidrolitik, oksigen reaktif intermediat, oksida nitrat, dan sitokin
proinflamasi. DTH dapat juga terjadi sebagai respon terhadap bahan
yang tidak berbahaya dalam lingkungan seperti nikel yang

6
menimbulkan dermatitis kontak. Pada keadaan yang paling
menguntungkan DTH berakhir dengan hancurnya mikroorganisme oleh
enzim lisosom dan produk makrofag lainnya seperti peroksid radikal
dan superoksid. DTH dapat merupakan reaksi fisiologik terhadap
patogen yang sulit disingkirkan misalnya M. Tuberkulosis.
2. T Cell Mediated Cytolysis
Dalam T Cell Mediated Cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel
CD8 yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan
hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja
dan biasanya tidak sistemik. Manifestasi klinisnya antara lain
dermatitis kontak, diabetes insulin dependen, artritis reumatoid,
sklerosis multipel.

7
Gambar 2.3.1 Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III dan IV
menurut Gell dan Coombs

8
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas bervariasi dalam hal awal mula
timbulnya gejala maupun perjalanan klinisnya.
1. Kulit: rasa kesemutan, panas di kulit diikuti dengan kemerahan pada kulit, pruritus,
urtikaria dengan atau tanpa angioedema.
2. Saluran napas: keluarnya cairan dalam rongga hidung, hidung buntu, bersin-bersin,
rasa gatal pada hidung. Keterlibatan saluran napas bagian bawah umumnya berupa
bronkospasm, dan edema saluran napas yang menimbulkan sesak napas, mengi, dan
perasaan dada terhimpit.
3. Kardiovaskular: aritmia berupa gangguan irama atrium maupun ventrikel. Dapat
dijumpai iskemia miokard, palpitasi, dizziness, atau nyeri dada. Hipotensi
merupakan gejala yang paling mengkhawatirkan
4. Gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasm otot polos,
berupa nyeri perut, mual muntah atau diare.
5. Susunan saraf pusat: disorientasi, pingsan, kejang, dan penurunan kesadaran.
Beberapa gejala yang sering timbul pada masing – masing tipe hipersensitivitas
menurut Gell dan Coombs adalah :
1. Hipersensitivitas tipe I: anafilaksis, urtikaria, angioedem, mengi, hipotensim
nausea, muntah, sakit abdomen dan diare.
2. Hipersensitivitas tipe II: agranulositosis, anemia hemolitik dan trombositopenia.
3. Hipersensitivitas tipe III: panas, urtikaria, atralgia, limfadenopato dan serum
sickness.
4. Hipersensitivitas tipe IV: eksema, eritema, lepuh, pruritus, fotoalergi, fixed drug
eruption, lesi makulopapular.

9
2.5 Diagnosis
A. Urtiklaria dan Angioedema
Reaksi anafilaktik (hipersensitivitas tipe 1 terjadi secara lokal pada pembuluh
darah superfisial dan menghasilkan urtikaria. Urtikaria merupakan suatu kondisi
kelainan kulit berupa reaksi vaskular yang terjadi karena pruritus atau gatal pada
daerah yang kontak dengan alergen, kemudian akan muncul welt atau tanda merah
pada daerah mukosa atau kulit tersebut. Angioedema merupakan reaksi dengan
gambaran klinis pembengkakan dengan konsistensi lunak, tidak gatal dan sakit serta
dapat terjadi secara cepat setelah berkontak dengan allergen. Hal ini umum terjadi
pada kepala dan leher.
Terkadang angioedema dan urtikaria dapat terjadi pada daerah yang sama.
Urtikaria pada bibir dan mukosa mulut sering terjadi setelah menelan makanan
yang menimbulkan alergi pada individu tertentu, seperti coklat, kacang, kerang, dan
tomat. Obat seperti penisilin dan aspirin dapat menyebabkan urtikaria, dan pada
bidang kedokteran gigi bahan cetak, bahan perwarna, bahan pengawet dan bahan-
bahan pada obat kumur dapat menyebabkan pembengkakan lokal ataupun
anafilaksis. Angiodema paling umum terjadi pada bibir, lidah dan disekitar mata,
yang disebabkan baik oleh obat-obatan maupun makanan.

(A) (B)
Gambar 2.5.1 (A) Urikaria yang terjadi pada kulit karena obat, (B) Angioedema
pada bibir.

10
B. Eritema Multiforme
Eritema multiforme merupakan suatu penyakit kulit akut, self-limited, dan dapat
berulang yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas. Kondisi ini terjadi karena
reaksi hipersensitivitas kompleks imun (tipe 3) yang terjadi 7-10 hari setelah
alergen masuk dan antibodi IgG yang terbentuk akan berikatan dengan antigen dari
alergen tersebut sehingga menimbulkan inflamasi bahkan ulserasi. Reaksi
hipersensitivitas ini dapat disebabkan oleh infeksi virus dan obat seperti NSAIDs,
sulfonamides, antikonvulsan, phenitonin juga dapat menimbulkan kondisi ini.
Eritema multiforme dapat timbul di kulit dan rongga mulut yang dimulai dengan
adanya pembengkakan dan eritema, kemudian terjadi pembentukan blister atau
lepuhan yang pecah dan meninggalkan daerah ulserasi. Pada beberapa kasus, bibir
menjadi bengkak dan timbul krusta atau kerak yang menimbulkan pendarahan, dan
pada kulit secara khas ditandai dengan adanya lesi target atau iris lesion yang pada
umumnya muncul di daerah tangan, kaki dan permukaan ekstensor dari siku dan
lutut.

(A) (B) (C)


Gambar 2.5.2 (A) Eritema multiform pada bibir yang bengkak dan terdapat krusta, (B)
Eritema multiform pada mukosa bibir, terdapat lepuh yang pecah menjadi ulser, (C) Lesi
target atau iris lesion pada kulit yang menjadi ciri khas eritema multiform.

11
C. Contact Allergic Stomatitis
Contact allergic stomatitis merupakan hasil dari reaksi hipersensitivitas tipe 4
(delayed hypersensitivity) yang terjadi ketika antigen memasuki jaringan sehingga
mengaktifkan sel langerhans dan akan berinteraksi dengan limfosit T sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi pada lokasi kontak. Gambaran klinis contact
allergic stomatitis ditandai dengan adanya eritema dan pembengkakan yang dapat
terjadi di seluruh daerah di rongga mulut, baik lidah, palatum, mukosa, dan bibir.
Contact allergic stomatitis dapat diakibatkan oleh kontak dengan bahan yang
digunakan di kedokteran gigi, produk-produk yang digunakan untuk menjaga
kebersihan rongga mulut, ataupun oleh makanan. Penyebab yang paling umum
adalah kayu manis dan mint, sering digunakan sebagai bahan perasa di makanan,
permen, dan permen karet, serta produk untuk menjaga kebersihan rongga mulut
seperti pasta gigi, obat kumur, dan benang gigi. Bahan di bidang kedokteran gigi
yang menyebabkan reaksi tipe ini antara lain adalah merkuri pada amalgam,
logam mulia pada mahkota, monomer bebas yang dikandung di dalam akrilik,
nikel pada kawat ortodontik atau gigi tiruan, serta bahan logam pada implan.
Tanda dan gejala klinis dari contact allergic stomatitis di rongga mulut tidak
spesifik dan umumnya sulit dibedakan dengan iritasi secara fisik. Reaksi yang
terjadi pada daerah kontak adalah rasa terbakar atau rasa perih yang disertai
eritema, dan terkadang terbentuk vesikel dan ulser. Lesi lichenoid dengan
gambaran klinis garis plak putih tidak beraturan pada mukosa bukal dan tepi
lateral lidah yang berkontak langsung dengan amalgam. Gingivitis juga dapat
menjadi tanda terjadinya contact allergic stomatitis dengan gambaran klinis
terdapat eritema dan edema secara menyeluruh pada gingiva cekat dan terkadang
diikuti dengan terdapatnya cheilitis dan glositis. Hal ini dapat terjadi pada
beberapa kasus yang dipicu oleh penggunaan pasta gigi, permen karet atau
permen. Contact allergic stomatitis dapat secara pasti terdiagnosis jika terjadi
inflamasi pada daerah yang dilakukan patch test dengan meletakan alergen pada
kulit selama 48 jam.

12
(A) (B)

(C)

Gambar 2.5.3 (A) Kontak alergi terhadap peppermint pada mukosa labial, (B) Stomatitis
akibat kontak alergi dengan resin akrilik, (C) Gingivitis plasma sel.

D. Oral Lichenoid Reaction


Oral lichenoid reaction (OLR) adalah reaksi hipersensitivitas tipe 4 (delayed
hypersensitivity). Kondisi ini berkaitan dengan imunitas sel terhadap antigen yang
terdapat pada obat-obatan, bahan perasa makanan, dan bahan restorasi di bidang
kedokteran gigi seperti tambalan amalgam, logam mulia, komposit, ataupun glass
ionomer.1 Secara klinis OLR terlihat sebagai garis-garis plak berwarna putih yang
terkadang disertai daerah berwarna merah, bersifat kronis, posisi unilateral,
permukaan lesi sedikit timbul, tipis, dan umumnya terletak di mukosa bukal dekat
dengan restorasi penyebab lesi ini. Oral lichenoid reaction perlu diperhatikan
karena pada beberapa penelitian lesi ini memiliki potensi untuk menjadi ganas.

13
(A) (B)

Gambar 2.5.4 (A) Lesi lichenoid karena obat-obatan yang berupa plak berwarna
merah-keputihan pada sisi lateral lidah, (B) . Lesi lichenoid pada lidah akibat
restorasi logam.

E. Serum Sickness
Serum sickness dimediasi kompleks imun (hipersensitivitas tipe 3) yang
terjadi karena pemberian serum untuk perawatan terhadap infeksi penyakit.
Reaksi ini dapat ditemukan pada pemeberian antitoxin tetanus, antiserum rabies,
dan obat yang berkombinasi dengan badan protein dan membentuk alergen.
Serum sickness umumnya terjadi 7-10 hari setelah kontak dengan alergen, dan
jangka waktunya bervariasi dari 3 hari sampai dengan selama 1 bulan. Gejala
utama serum sickness berupa demam, pembengkakan, limfadenopati, nyeri sendi
dan otot, dan gatal.

14
Gambar 2.5.5 Edema pada bibir akibat reaksi alergi terhadap penisilin.

2.6 Diagnosa Banding


A. Urtiklaria dan Angioedema
- Wheal-like eruption
1. Insect bites
2. Eritema multiform
3. Eritema nodosum
4. Drug erupsi
5. Urtikatia pigmentosa
- Angioedema like eruption
1. Insect bites
2. Selulitis
3. Erisipelas
4. Episodic angioedema dengan eosinofilia
5. Cheilitis granulomatosa
B. Oral Lichenoid Reaction
1. Bulosa
2. Leukoplakia
3. Lupus eritematosus

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan berdasarkan penyakitnya, seperti :
A. Urtiklaria dan Angioedema
Urtikaria dan angioedema hanya bersifat sementara. Kondisi ini akan
menimbulkan masalah jika oedema terjadi pada daerah posterior lidah atau
laring karena gangguan pada saluran pernapasan. Penanganan kondisi tersebut
adalah dengan injeksi epinefrin secara intramuskuler sebanyak 0.5 mL (1:1000)
yang diulang 10 menit sekali dan pemberian oksigen jika masih terdapat
pembengkakan.
B. Eritema Multiforme

15
Eritema multiforme di rongga mulut yang ringan dapat di rawat dengan
perawatan suportif seperti obat kumur anestesi topikal dan makan-makanan yang
lunak. Pada kasus dengan lesi yang luas dan lebih berat dapat diatasi dengan
kortikosteroid sistemik jangka pendek kecuali pada pasien dengan kontraindikasi
pengunaan steroid.
C. Contact Allergic Stomatitis
Penatalaksanaan kasus contact allergic stomatitis ringan cukup dengan
menghilangkan penyebab (allergen) dari permukaan yang terkena. Pada kasus
yang berat dan menimbulkan keluhan nyeri maka dapat menggunakan steroid
secara topikal untuk mempercepat penyembuhan dan menghilangkan rasa sakit.
D. Oral Lichenoid Reaction
Jika lesi muncul di rongga mulut dan kulit maka riwayat pemakaian obat
merupakan aspek yang perlu ditelaah karena kemungkinan besar penyebabnya
berasal dari obat yang dikonsumsi pasien sehingga perlu penatalaksanaan secara
holistik dengan sejawat medis lainnya untuk menghentikan atau mengubah obat
tersebut. Pada umumnya lesi akan hilang dalam beberapa bulan jika penyebab
dihilangkan. Jika OLR disebabkan oleh restorasi di rongga mulut, maka restorasi
dapat diganti dengan bahan lainnya.
E. Serum Sickness
Pada beberapa penelitian, serum sickness di bidang kedokteran gigi dapat
terjadi akibat pemberian obat dengan golongan penisilin. Serum sickness
merupakan kondisi yang akan hilang dengan sendirinya (self-limiting). Kondisi
ini terjadi spontan dan sembuh setelah 1-3 minggu. Pengobatan kondisi nyeri
sendi dapat diberikan aspirin sedangkan rasa gatal dapat dihilangkan dengan
penggunaan antihistamin.

2.9 Prognosis
Prognosis baik bila penangan kontak alergi pada rongga mulut tepat dan sesuai
dengan penyebab terjadi kontak alergi tersebut. Serta tidak menimbulkan komplikasi
selama dilakukannya pengobatan.

16
BAB III
RESUME JURNAL

3.1 Stomatitis Kontak Alergi (Stomatitis Venenata): Sebuah Laporan Kasus Reaksi

Hipersensitifitas Pada Mulut Akibat Penggunaan Pasta Gigi

 LAPORAN KASUS

Seorang wanita, sudah menikah berusia 37 tahun datang ke Departemen Ilmu


Penyakit Mulut dan Radiologi dengan keluhan utama gigi sensitif, terkelupas, dan
ulserasi pada gingiva gigi posterior kanan atas dan gigi posterior kanan bawah dan kiri
bawah selama 3 minggu. Lesi bertambah besar secara progresif tanpa riwayat
bula/vesikel. 1 bulan sebelum melapor ke departemen, dia menggunakan profilaksis, dan
karena adanya reaksi hipersensitivitas, dia telah mengganti pasta giginya dan
mengoleskan pasta desensitisasi pada daerah yang sama selama lebih dari 10 menit
sebelum melanjutkan dengan menyikat gigi. Tidak ada riwayat ulserasi sebelumnya atau
adanya penyakit sistemik yang dilaporkan.
Pada pemeriksaan lokal, ditemukan ulser multipel dengan batas eritematosa pada
gingiva 13 dan 14 (Gambar. 1a) dan 25 dan 26 ukuran yang terbesar, sekitar 5 mm × 2
mm (Gambar. 1b), pada margin gingiva 36. Tidak ada kelenjar getah bening yang teraba.
Daerah berpigmen dengan batas lurik terdapat pada mukosa bukal yang berdekatan
dengan lokasi 37 dan 47. Ada bercak berpigmen pada permukaan posterolateral kiri lidah.
Kedua lesi menyerupai pigmentasi pasca inflamasi (Gambar. 2).
Berdasarkan gambaran klinis, diagnosis sementaranya adalah stomatitis kontak
alergi terhadap pasta gigi dengan diagnosis banding stomatitis aphtous rekuren dan
eritema multiforme. Stomatitis kontak adalah diagnosis pertama karena dapat terjadi di
bagian manapun dari mukosa mulut terlepas dari keratin atau non-keratin, dan
manifestasinya juga bervariasi dengan riwayat kontak positif dengan alergen.
Stomatitis aphthous rekuren dijadikan diagnosis banding karena ulkus bulat atau
ovoid yang dikelilingi oleh daerah mukosa yang meradang dan warna kekuningan.
Namun, tidak adanya rasa sakit dan keterlibatan mukosa terkeratinisasi dan
nonkeratinisasi tidak umum terjadi pada ulkus aftosa. Eritema multiforme dijadikan

17
diagnosis banding karena onset mendadak, timbulnya pengelupasan mukosa, dan
kemerahan difus dengan makula merah kecil yang dapat membesar dan putih pada bagian
tengah. Ini biasanya terlihat pada pria dewasa muda dengan kondisi gingiva yang jarang
terkena dan makula berkembang menjadi bula yang bertentangan dengan kasus kami.
Pasien disarankan untuk menghentikan penggunaan pasta gigi. Pada tindak lanjut
setelah 1 minggu, pasien melaporkan bahwa lesi berkurang dalam 3 hari setelah
penghentian pasta gigi, ini mengkonfirmasi diagnosis stomatitis kontak alergi (Gambar.
3).

Gambar 1. Lesi terlihat (a) pada gingiva 13 dan 14; (b) pada gingiva 25 dan 26

Gambar 2. Pigmentasi post-inflamasi pada mukosa buccal kiri dan lidah

18
Gambar 3. Lesi yang telah berkurang (a) pada gingiva 13 dan 14; (b) pada gingiva 25 dan
26 akibat penghentian penggunaan pasta gigi

Sel dendritik memproses agen antigen

Internalisasi agen antigen yang diangkut ke kelenjar getah bening


regional

Stimulasi sel T

Sinyal pematangan penting- sinyal bahaya diaktifkan

Migrasi sel T spesifik antigen ke organ target

Paparan ulang antigen menyebabkan aktivasi sel T dan sekresi sitokin


juga sitotoksin

Kerusakan sel atau jaringan

Gambar 4. Patogenesis reaksi hipersensitivitas

 DISKUSI

Konsensus Internasional alergi obat telah mengklasifikasikan reaksi


hipersensitivitas obat (DHR) secara klinis sebagai DHR segera ketika terjadi dalam 1-6
jam setelah pemberian obat terakhir dan DHR tidak langsung yang dapat tertunda dan

19
dapat terjadi kapan saja mulai dari 1 jam dari pemberian obat awal. DHRs dapat
didefinisikan sebagai kondisi alergi dan non-alergi.
Stomatitis kontak alergi dan/atau reaksi lichenoid oral mungkin menyerupai
lichen planus oral secara klinis yang dapat bersifat akut atau kronis. Disarankan uji
eliminasi dan provokasi dari agen yang dicurigai menghasilkan resolusi lesi dalam 1
minggu. Uji tempel adalah gold standar untuk mengidentifikasi alergen.

Tampilan klinis lesi dapat menyebar atau terlokalisasi. Oleh karena itu, ketika
seorang pasien datang dengan gejala akut dan riwayat positif, lebih baik menghentikan
penggunaan bahan yang dicurigai dan melihat apakah gejala berkurang sebelum
melakukan biopsi. Banyak bahan penyebab telah dikaitkan dengan perkembangan reaksi
tersebut dan yang paling umum adalah bahan restorasi gigi atau bahan perasa dalam pasta
gigi atau permen karet.

Obat-obatan tertentu, bahan tambahan makanan, permen, obat kumur, bahan gigi,
dan bahan gigi tiruan adalah sumber lain untuk perkembangan lesi ini. Lesi oral lebih
jarang terjadi dibandingkan manifestasi lesi pada kulit, meskipun rongga mulut lebih
sering terpapar bahan-bahan ini daripada kulit. Alasan penyebabnya:

(a) Durasi kontak yang singkat


(b) Terjadi pengenceran bahan penyebab oleh air liur
(c) Lebih sedikit keratinisasi mukosa mulut dibandingkan dengan kulit yang membuat
pengikatan hapten menjadi sulit dan
(d) Vaskularisasi mukosa mulut yang tinggi.
Fiksasi antigen pada keratinosit merupakan penyebab perubahan jaringan yang
dikenali dan dapat dihancurkan oleh sel-sel sistem imun, terutama limfosit T. Literatur
mengenai patogenesis proses obat tertentu kurang, tetapi hipotesis berikut disarankan
oleh Demoly et al. dalam Konsensus Internasional tentang alergi obat tahun 2014 seperti
yang ditunjukkan pada Gambar. 4.

Pencatatan riwayat menyeluruh sangat wajib untuk menegakkan diagnosis


stomatitis kontak alergi. Pasien mungkin datang dengan adanya eritema dan edema pada
gingiva, lidah, bibir, hingga bercak putih atau plak yang tampilan klinisnya seperti lichen

20
planus, juga adanya erosi dan ulserasi dengan batas tidak teratur disertai lingkaran merah.
Deskuamasi atau pengelupasan dan pembentukan vesikel juga dicatat dalam beberapa
kasus. Kriteria diagnostik untuk lesi kontak alergi oral diberikan pada Tabel 1.

Pengobatan stomatitis kontak alergi yaitu menghilangkan bahan/agen alerginya.


Ini dapat dikonfirmasi dengan munculnya kembali lesi inflamasi ketika kontak dengan
bahan alergi lagi. Penyembuhan lesi dapat memakan waktu hingga 2 minggu. Pasien
dengan gejala yang lebih parah mungkin memerlukan kortikosteroid topikal berupa obat
kumur, salep, atau gel untuk mempercepat penyembuhan.

Tabel 1 Kriteria Diagnosis Pada Lesi Mulut Akibat Kontak Alergi

Kriteria Diagnosis Temuan


Presentasi klinis Hubungan topografi antara bahan
penyebab dan lesi
Histopatologi Tidak selalu diperlukan.
Infiltrat sel plasma mungkin ada
Uji temple (patch tes) Untuk penentuan penyebabnya
Replacement (penggantian bahan Penggantian atau penghentian
penyebab alergi ) atau removal penggunaan bahan penyebab akan
(penghentian penggunaan bahan menghasilkan perubahan tampilan pada
penyebab alergi) lesi

 KESIMPULAN
Ulserasi oral dapat ditemui dalam praktek klinis sehari-hari. Laporan kasus ini
menekankan pentingnya anamnesis. Setiap lesi tidak memerlukan manajemen terapeutik
aktif. Dalam hal ini, adanya riwayat pasien dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis, kemudian memberikan manajemen dengan menghentikan penggunaan pasta
gigi penyebab alergi dan menghindari intervensi terapeutik.

 TELAAH JURNAL

KELEBIHAN JURNAL:

21
1. Penjelasan isi laporan kasus dan bagian diskusi disajikan dengan bahasa yang
mudah dipahami
2. Memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan khas antara diagnosis
utama dan diagnosis bandingnya
3. Mencantumkan kriteria diagnosis lesi mulut akibat kontak alergi
4. Menjelaskan tentang patogenesis reaksi hipersensitivitas dengan lengkap

KEKURANGAN JURNAL:
1. Laporan kasus jurnal tidak menjelaskan komposisi pasta gigi yang digunakan
sehingga menimbulkan reaksi alergi pada mulut
2. Kurang menjelaskan kondisi pasien berat yang bagaimana sehingga
membutuhkan kortikosteroid topikal untuk membantu penyembuhan pasien
dengan stomatitis kontak alergi

3.2 Laporan Kasus Stomatitis Venenata Akibat Penggunaan Lip Balm

 LAPORAN KASUS

Seorang perempuan 17 tahun datang dengan keluhan utama nyeri, bengkak dan
ulserasi pada bibir atas dan bawah sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat penyakit
menunjukkan bahwa pasien mengalami bisul kecil berisi cairan di bibirnya setelah
penggunaan lip balm satu minggu yang lalu. Lepuh ini dilaporkan segera pecah, diikuti
oleh ulserasi dan pengerasan kulit di bibirnya. Pasien juga mengeluhkan bibir kaku dan
kering dengan sesekali keluar darah dan keluar cairan. Dia lebih lanjut mengeluh
ketidakmampuan untuk membuka mulut dan ketidaknyamanan saat mengunyah dan
menelan makanan. Pasien telah mengunjungi dokter kulit untuk masalah yang sama 1
minggu yang lalu dan didiagnosis dengan herpes labialis. Dia diberi resep antibiotik
selama 5 hari yang semakin memperburuk kondisinya.
Pasien menyangkal adanya riwayat gejala prodromal atau episode serupa dari lesi
dermatologis atau reaksi alergi di masa lalu. Riwayat keluarga, riwayat pribadi atau
manifestasi sistemik pasien tidak berkontribusi. Pasien tidak memberikan riwayat alergi
makanan atau obat yang diketahui.

22
Pemeriksaan klinis menunjukkan pembengkakan dan eversi bibir bawah dengan
ulserasi dan pengelupasan yang luas. Adanya daerah kekuningan dengan pengerasan kulit
dan beberapa daerah kecoklatan juga dicatat. Pada palpasi, bibir terasa lunak, kasar
dengan sedikit perdarahan, nanah dan keluarnya cairan. Pada bibir atas, terdapat lesi yang
tidak terlalu luas, dengan beberapa celah yang lunak, kasar dan kaku teraba saat dipalpasi
(Gambar 1).

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, diagnosis sementara stomatitis


venenata (stomatitis kontak) dibuat dengan beberapa diagnosis banding seperti herpes
labialis, cheilitis granulomatosa, eritema multiforme dan drug eruption lichenoid oral. Lip
balm yang digunakan oleh pasien dianggap sebagai sumber alergi karena tidak ada
riwayat lain yang diperoleh dari pasien yang berhubungan dengan kondisinya. Untuk
memastikan sumber alergi, sejumlah kecil lip balm dioleskan di lidahnya sebagai tes
provokatif dan timbulnya bula kecil yang mengkonfirmasi penyebabnya adalah alergi.

Pada kunjungan awal, pasien diberi resep antihistamin, kortikosteroid topikal dan
tablet multivitamin. Pasien juga disarankan untuk menggunakan obat kumur
Benzydamine selama seminggu dan menghindari penggunaan produk bibir merek apapun
baik yang menyebabkan alergi atau tidak.

Pada kunjungan kedua, setelah dua hari, pasien menunjukkan perbaikan gejala
dengan pengurangan rasa sakit dan pembengkakan pada bibirnya. Namun, kondisi bibir
yang kering, ulserasi dan pengerasan kulit masih ada. Pasien sudah dapat membuka mulut
menunjukkan kemajuan yang luar biasa dan disarankan untuk melanjutkan pengobatan
sebelumnya sesuai resep. Kortikosteroid sistemik yaitu Prednisolon, 5 mg dua kali sehari
ditambahkan lebih lanjut.

Pada kunjungan berikutnya, setelah lima hari, lesi menunjukkan perbaikan yang
signifikan dengan pengurangan krusta dan ulserasi pada kedua bibirnya. Tidak ada rasa
sakit atau kaku pada bibirnya dan pasien dapat membuka mulutnya sepenuhnya, namun
masih terasa kering dan adanya perubahan pigmentasi. Pasien disarankan untuk
melanjutkan pengobatan dengan mengaplikasikan minyak kelapa organik (Gambar 2).

23
Pada kunjungan terakhir, lesi pada bibir sembuh sempurna dengan pembukaan
mulut yang sudah normal. Dosis kortikosteroid sistemik secara bertahap diturunkan dan
pasien diminta untuk menghentikan pengobatan. Disarankan juga untuk tidak
menggunakan produk kosmetik bibir apapun (Gambar 3).

Gambar 1. Bibir atas dan bawah terlihat bengkak, disertai ulser luas, pengerasan dan
pengelupasan pada tampilan awal

Gambar 2. Bibir atas dan bawah memperlihatkan perbaikan selama pengobatan

24
Gambar 3. Penyembuhan sempurna pada bibir atas dan bawah

 DISKUSI

Stomatitis venenata atau kontak alergi adalah jenis reaksi hipersensitivitas (tipe
IV) akibat kontak berulang dengan agen penyebab. Biasanya terjadi di area lokal pada
individu yang sudah tersensitisasi. Ada dua fase yang berbeda dalam proses alergi yaitu
fase induksi dan fase efektor.

Alergen yang bertanggung jawab untuk stomatitis venenata adalah bahan kimia
dengan berat molekul rendah yang menyusup ke epitel mukosa dan menjadi efektif
hanya setelah berikatan dengan protein epitel. Proses ini terjadi dengan bantuan sel
Langerhans intraepitel dimana hapten diubah menjadi antigen yang kompeten. Pada
kontak awal antigen selama fase induksi dari proses alergi, mereka dimakan oleh
makrofag dan diberikan kepada limfosit T helper untuk sensitisasi. Mereka kemudian
memasuki fase stimulasi dan pembelahan kemudian menghasilkan limfosit T memori
dan limfosit T sitotoksik.

Selama antigenic diproduksi kembali, limfosit T memori akan memicu respon


imun yang lebih cepat dan agresif karena mereka ada di dalam tubuh seumur hidup.
Namun pada fase efektor, sel T sitotoksik yang diproduksi pada fase induksi
mensekresikan mediator kimia inflamasi (limfokin) dan mengikat sel epitel (yang
menyebabkan kerusakan dan kematian sel).

Produk kosmetik tertentu seperti lipstik, lip balm; preparat gigi seperti pasta gigi,
obat kumur, perekat gigi tiruan; zat makanan seperti permen karet, permen; bahan gigi
seperti amalgam, eugenol, lateks, akrilik; agen terapeutik seperti antibiotik, alkohol,
sirup obat batuk dan prokain diketahui menyebabkan lesi oral pada stomatitis venenata.

Peningkatan ketersediaan dan penggunaan produk kosmetik telah menyebabkan


peningkatan prevalensi reaksi kontak alergi. Lipstik atau pelembap bibir berwarna

25
khususnya diketahui memicu reaksi hebat pada bibir pada individu yang peka dan
ditandai dengan edema juga ulserasi parah.

Presentasi klinis pasien dengan stomatitis venenata dapat bervariasi seperti


dermatitis venenata. Dapat terjadi secara lokal atau menyebar. Pada kontak dengan
alergen, pasien biasanya datang dengan peradangan dan edema mukosa dengan
permukaan mengkilap halus. Gingiva menunjukkan inflamasi yang seragam dan
deskuamasi, dengan mukosa bukal menunjukkan area merah tua hingga area keputihan
atau plak. Pada kasus kronis, mukosa yang kontak dengan alergen berubah menjadi
hiperkeratosis dan berwarna putih disertai edema juga disertai dengan eritema yang luas.
Pembentukan vesikel kecil dapat segera pecah, menimbulkan erosi dan ulserasi yang
terkadang menjadi luas.

Pembengkakan, erosi, dan ulserasi merupakan gejala umum yang timbul di bibir,
dapat disertai gejala lain seperti gatal, terbakar, kesemutan, nyeri dengan terasa bersisik,
kering, pengerasan kulit dan pembentukan fisura. Infeksi sekunder juga sering terlihat.

Gambaran klinis dari kasus ini dikuatkan karena sebagian besar sesuai dengan
gambaran yang disebutkan. Agen penyebab yang bertanggung jawab atas reaksi alergi
yang terlihat dalam kasus ini dipersempit ke lip balm yang dia gunakan, berdasarkan
riwayat dan tes provokatif. Reaksi yang terjadi pada bibir sering terjadi pada wanita
karena alergen pada kosmetik.

Lip balm adalah kosmetik yang paling sering menyebabkan stomatitis venenata.
Karena terdiri dari wewangian, minyak esensial, eugenol, butylated hydroxytoluene,
kamper, propolis, lilin lebah, lanolin, paraben, oxybenzone, octinoxate, bahan kimia
tabir surya, rasa dan warna.

Wewangian, pengawet seperti paraben dan rasa yang ditemukan dalam kosmetik
bibir adalah agen penyebab terjadinya stomatitis venenata. Lanolin adalah bahan lain
yang ditambahkan di sebagian besar lip balm untuk melembabkan bibir termasuk
alergen yang kuat. Minyak atsiri, mentega, lilin, atau bahkan bahan tabir surya yang ada
dalam pelembap bibir telah diketahui dapat menyebabkan alergi pada individu.

26
Namun, bahan-bahan yang disebutkan di atas dapat menunjukkan sedikit variasi
komposisi dan konsentrasi dari satu merek ke merek lainnya. Pasien dalam kasus kami
mungkin alergi terhadap salah satu komponen yang ada dalam lip balm. Karena status
sosial ekonomi yang buruk, pasien tidak bersedia untuk pemeriksaan lebih lanjut dan
oleh karena itu alergen yang tepat tidak dapat dipastikan.

Mukosa mulut bervariasi lebih signifikan daripada lapisan kulit karena


perbedaan biologis dan fisiologis sehingga kurang rentan terhadap kontak alergi. Saliva
yang ada di rongga mulut membatasi durasi dan jumlah alergen yang kontak dengan
mukosa mulut dengan bertindak sebagai pelarut sehingga mengencerkan, mencerna dan
akhirnya membersihkan alergen.

Keratinisasi yang lebih rendah pada mukosa mulut membuat pengikatan hapten
menjadi sulit sehingga kemungkinan lebih kecil untuk mengenali alergen. Selanjutnya,
alergen dihilangkan lebih cepat di mukosa mulut daripada di kulit karena
vaskularisasinya yang lebih tinggi dan laju pembaruan epitel yang lebih cepat.

Secara histopatologi, stomatitis venenata menunjukkan adanya edema intra dan


interseluler dengan pembentukan vesikel pada epitel maupun pada membran basal.
Banyak pembuluh darah yang melebar dan membesar juga terlihat pada jaringan ikat
dengan sel plasma dan eosinofil. Namun, eliminasi agen penyebab yang dicurigai harus
diutamakan sebelum menyarankan pasien untuk biopsi.

Modalitas pengobatan untuk stomatitis venenata/ stomatitis kontak pada


dasarnya melibatkan eliminasi alergen penyebab. Penyembuhan lengkap dari lesi dapat
memakan waktu hingga dua minggu. Pasien dengan gejala yang luas harus diobati
dengan antihistamin, kortikosteroid topikal atau sistemik dan obat kumur.

Stomatitis venenata secara klinis mirip beberapa lesi lain sehingga harus
dibedakan. Herpes labialis, infeksi virus umum yang mempengaruhi rongga mulut
memiliki gambaran serupa. Pembedanya dari stomatitis venenata adalah riwayat agen
alergi yang positif, tidak adanya gejala prodromal dan vesikel berisi cairan kekuningan
dengan halo eritematosa.

27
Cheilitis granulomatosa juga menyerupai stomatitis venenata karena tampilan
bibir yang bengkak, pecah-pecah dan terbentuk fisura. Pembedanya dari stomatitis
venenata adalah tidak adanya hubungan agen alergi.

Eritema multiforme juga merupakan lesi serupa yang dapat dibedakan dari
stomatitis venenata, yaitu dengan karakteristik khas lesi seperti “target” atau “iris”.
Namun lesi lain yang perlu dibedakan dari kasus ini adalah angioedema yang muncul
dengan gejala angioedema difus yang bisa soliter atau multipel tanpa ulserasi, fisura dan
krusta.

 KESIMPULAN
Stomatitis kontak alergi, meskipun tidak fatal, dapat terbukti menjadi penyebab
stress baik fisik maupun emosional bagi individu yang terkena, dan menyebabkan
penurunan drastis dalam kesejahteraan juga gaya hidup mereka. Setelah didiagnosis,
alergen harus segera dihilangkan diikuti dengan manajemen terapi yang tepat sehingga
dapat terjadi penyembuhan lesi yang lengkap.

 TELAAH JURNAL

KELEBIHAN JURNAL:

1. Merupakan jurnal laporan kasus terbaru (tahun 2020)


2. Memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan khas antara diagnosis
utama dan diagnosis bandingnya
3. Menjelaskan komponen yang terkandung dalam lip balm yang bisa menimbulkan
risiko alergi
4. Menjelaskan tatalaksana kasus pasien disertai proses penyembuhannya
KEKURANGAN JURNAL:

1. Kurang menjelaskan ada tidaknya riwayat alergi sebelumnya pada pasien

3.3 Lesi Hipersensitivitas Kontak Amalgam (ACHL): Sebuah Tampilan Yang Tidak

Biasa-Laporan Dari Kasus Yang Jarang

28
 LAPORAN KASUS
Seorang pasien wanita berusia 30 tahun dilaporkan dengan keluhan bercak hitam
di sisi kanan mulut di daerah pipi, yang dia sadari sejak 4 bulan yang lalu. Area tersebut
terasa kasar dan ada sensasi terbakar ringan. Pasien tidak melihat adanya perubahan
ukuran lesi sejak saat itu. Riwayat medisnya tidak berkontribusi dan dia tidak
memberikan riwayat pengobatan atau alergi. Gigi 16 (gigi molar pertama rahang atas
kanan) dan gigi 46 (gigi molar pertama rahang bawah kanan) direstorasi dengan amalgam
perak 2 tahun yang lalu. Satu bulan sebelum kunjungan ini, restorasi amalgam 46 diganti
dengan restorasi sementara. Pemeriksaan kulit dan kuku tidak ditemukan kelainan.

Pada pemeriksaan intra-oral terlihat bercak hitam difus pada mukosa bukal kanan
pada gigi 15, 16, 17, 45, 46, dan 47 diselingi daerah keputihan. Lesi berukuran sekitar 3
cm × 2 cm dan mukosa sekitarnya tampak normal. Pada gigi 16 memiliki restorasi
amalgam perak Kelas II (mesio-oklusal) dan gigi 46 memiliki restorasi sementara Kelas
II [Gambar 1].

Lesi tidak nyeri saat ditekan. Mukosa bukal kiri tampak normal. Kasus ini
sementara didiagnosis sebagai ACHL. Diagnosis banding dari tato amalgam, fase
penyembuhan lichen planus (LP), melanoplakia, dan melanoma dipertimbangkan.

Restorasi amalgam perak diganti dengan restorasi sementara. Pasien diperiksa


setelah 2 bulan. Tidak ada perubahan pada ukuran lesi, karena pasien khawatir maka
dilakukan biopsi insisional dengan anestesi lokal dan spesimen dikirim untuk
pemeriksaan histopatologi. Potongan hematoxyllin dan Eosin (H dan E) menunjukkan
epitel skuamosa berlapis parakeratin hiperplastik dengan akantosis, hiperplasia basilar
dan terjadi perubahan degeneratif. Jaringan ikat menunjukkan infiltrasi sel inflamasi
padat yang didominasi limfosit dan sedikit sel plasma.

Melanofag dan inkontinensia melanin juga terlihat [Gambar 2 dan 3]. Gambaran
histopatologinya sugestif dari LR. Berdasarkan gambaran klinis dan histopatologi, kasus
tersebut didiagnosis sebagai ACHL. Restorasi sementara pada gigi 16, dan gigi 46 pasien
diganti dengan komposit posterior. Pasien ditinjau secara berkala selama satu tahun dan
lesi mengalami penyembuhan yang signifikan [Gambar 4].

29
Tabel 1. Manifestasi klinis OLL

Manifestasi klinis OLL


 OLLC akibat stomatitis kontak alergi yang terjadi dalam hubungan
topografi langsung dengan bahan restorasi gigi, paling sering dengan
amalgam
 OLLD di mana lesi oral dan/atau kulit muncul akibat hubungan dengan
konsumsi obat-obatan tertentu
 Lesi lichenoid oral pada pasien yang menderita acute graft versus host
disease
 lesi yang memiliki aspek seperti lichen planus, tetapi tidak memiliki satu
atau lebih aspek klinis yang khas
OLL: Lesi lichenoid oral
OLLC: OLL terkait dengan kontak
OLLD: OLL terkait dengan obat-obatan

30
Gambar 1. Foto intra-oral menunjukkan bercak hitam difus pada mukosa bukal kanan
diselingi area keputihan. Restorasi amalgam kelas II terlihat pada gigi molar pertama
rahang atas kanan

Gambar 2. Fotomikrograf (mikroskop cahaya, × 10) menunjukkan epitel parakeratin


dengan bagian pembatas gigi, hiperplasia basilar dengan perubahan degeneratif dan
campuran infiltrat sel inflamasi di jaringan ikat

Gambar 3. Fotomikrograf (mikroskop cahaya, ×40) menunjukkan inkontinensia melanin


subepitel dengan infiltrasi sel inflamasi

31
Gambar 4. Foto intra-oral yang diambil setelah 1 tahun, menunjukkan pengurangan lesi
kecuali untuk area kecil dari pigmentasi residual

 DISKUSI
Amalgam selalu menjadi salah satu bahan restorasi yang paling banyak digunakan
untuk gigi bagian posterior. Bahkan saat ini, dengan munculnya bahan sintetis non-logam
baru dan prosedur hemat waktu baru, amalgam perak adalah bahan gigi yang paling
banyak digunakan dan hemat biaya dalam kedokteran gigi restoratif. Ini dikenal karena
kekuatan tekannya yang tinggi dan teknik sensitivitas yang minimal, amalgam telah lama
digunakan untuk restorasi bagian posterior dan pembentukan inti.

Laporan terjadinya hipersensitivitas terhadap amalgam jarang terjadi. Penyebab


insiden rendah tersebut mungkin karena air liur membersihkan, mengencerkan dan
membuat alergen menghilang dengan cepat, keratinisasi mukosa rendah yang membuat
kombinasi hapten lebih sulit; vaskularisasi mukosa mulut yang tinggi, yang
menghilangkan alergen dari area tersebut; dan resistensi yang tinggi dari mukosa mulut.
Tingkat pergantian sel mukosa mulut yang tinggi juga dapat menjadi alasan tambahan.

Lesi hipersensitivitas kontak amalgam paling sering terlihat di area yang sebagian
atau seluruhnya bersentuhan dengan amalgam. Lesi sering terjadi pada mukosa bukal,
permukaan lateral lidah dan lebih jarang pada bagian gingiva, bibir dan dasar mulut.
Tampilannya terlihat dengan striae putih dan plak, eritematosa, erosif, atrofi, atau lesi
ulseratif.

32
Lesi kontak yang muncul sebagai area hiperpigmentasi di rongga mulut sangat
jarang dan tidak ada kasus seperti itu yang dilaporkan dalam literatur. Oleh karena itu,
laporan kasus ini unik dan menarik. Lesi tersebut harus dibedakan dari pigmentasi pasca
inflamasi oral yang juga muncul dengan tampilan pigmentasi coklat-hitam secara lokal
atau menyeluruh.

Lesi ini berhubungan dengan kondisi inflamasi kronis seperti LP, pemfigus dan
pemfigoid. Namun, ciri yang membedakan lesi ini adalah adanya gejala akut seperti
eritema, plak putih, sensasi terbakar atau deskuamasi, yang mendahului terjadinya
pigmentasi. Manifestasi klinis ini tidak terlihat dalam kasus kami.

Hiperpigmentasi umumnya dikaitkan dengan lesi kontak di kulit. Menurut Rycroft


dkk. pigmentasi seperti yang terkait dengan dermatitis kontak diklasifikasikan menjadi
tiga:

(a) Hiperpigmentasi karena incontinentia pigmenti histologica (IPH)


(b) Hiperpigmentasi karena peningkatan melanin di sel basal epidermis (melanosis
basal)
(c) Hiperpigmentasi karena perdarahan ringan di sekitar pembuluh dermis bagian atas
yang mengakibatkan akumulasi hemosiderin.
Rycroft dkk. telah menyatakan bahwa ketika derajat dermatitis kontak lebih parah
atau durasinya lebih lama, hiperpigmentasi sekunder setelah dermatitis dapat terlihat
lebih menonjol. Manifestasi dermatitis seperti eritema, vesikulasi, papula atau scaling
jarang terjadi pada IPH, dan pasien tersebut mungkin hanya mengeluhkan perubahan
pigmentasi, meskipun penyakit ini merupakan akibat dari dermatitis kontak. Analogi
yang sama terlihat dalam laporan kasus ini, yaitu keluhan pasien hanya pigmentasi, dan
tidak ada manifestasi klinis lain dari hipersensitivitas kontak seperti eritema, sensasi
terbakar, deskuamasi, dll.

Diagnosis ACHL didasarkan pada kriteria yang disarankan oleh Al-Hashimi et


al.:

(1) Tampilan klinis


(2) Hasil histologis

33
(3) Uji temple/ patch tes
(4) Hasil penggantian bahan/agen yang dicurigai menyebabkan alergen.
Lesi selalu berada di tempat yang berkontak dekat dengan restorasi amalgam dan
terdistribusi secara asimetris. Kasus yang dilaporkan memiliki lesi berpigmen pada
mukosa bukal di regio 16 dan 46 dan bersifat unilateral. Secara histopatologi, lesi ini
memiliki banyak kesamaan dengan LP. van der Meij dkk., dan Thornhill dkk. telah
mengusulkan kriteria histologis tertentu untuk membedakan OLL dan LP. Laporan kasus
kami menunjukkan hiperplasia basilar dengan perubahan deskuamasi, inkontinensia
melanin (pigmen melanin di bagian atas jaringan ikat), infiltrat limfosit dan sel plasma di
jaringan ikat. Uji tempel telah digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas pasien
terhadap bahan restorasi gigi.

Namun, Issa dkk. berpendapat bahwa uji tempel memiliki manfaat terbatas
sebagai prediktor reaksi alergi tersebut. Diagnosis kasus kami didasarkan pada
manifestasi klinis, histopatologi dan perbaikan lesi setelah penggantian restorasi.

Dalam laporan kasus kami, istilah LR, ACHL, IPH telah digunakan. Manifestasi
klinis dari semua kondisi ini serupa dan ketiganya berhubungan dengan agen alergi yang
diketahui. Terminologi ini telah digunakan secara bergantian dalam literatur.
Hiperpigmentasi yang disebabkan oleh IPH sering disebut LR karena gambaran
histopatologi yang mirip dengan LP. ACHL adalah bentuk LR khusus untuk kontak
mukosa mulut dengan amalgam. Oleh karena itu dalam kasus kami, kami telah
menggunakan istilah ACHL sebagai diagnosis.

Penggantian bahan restoratif yang kontak langsung dengan lesi dan diduga
sebagai penyebabnya merupakan manajemen tatalaksana yang paling diterima untuk
ACHL. Berbagai studi klinis telah menemukan bahwa penggantian restorasi amalgam
dengan bahan yang hipoalergi seperti komposit dan emas dapat menghentikan keparahan
lesi ini dalam beberapa hari atau minggu. Dalam sebuah studi oleh Thornhill et al.
mereka menemukan bahwa 71,4% kasus memiliki tingkat penyembuhan lengkap dalam
3-12 bulan, 21,4% dalam 8-27 bulan, 3,6% mengalami sedikit peningkatan setelah 15
bulan. Rentang penyembuhannya antara 37,5 dan 100%.

34
Kondisi pemulihan lesi paling terlihat ketika ada kontak langsung antara lesi dan
restorasi atau ketika tidak ada kontak. Ditemukan juga bahwa lesi sembuh ketika tidak
bersentuhan dengan bahan restorasi. Hal ini dapat disebabkan oleh aspek parafungsional
yang dapat menghubungkan lesi dan restorasi amalgam. Restorasi amalgam di 16 dan 46
diganti dengan komposit posterior, kemudian pasien dipantau secara berkala dengan
melihat lesi yang mengalami perbaikan dalam waktu sekitar satu tahun.

 KESIMPULAN
Bukti ilmiah yang tersedia tidak membenarkan penghentian penggunaan
amalgam, juga tidak merekomendasikan penghentian dan penggantian tambalan amalgam
dengan bahan lain. Reaksi alergi lokal jarang terjadi, ketika lesi seperti itu terjadi, dokter
harus menyadari berbagai manifestasi klinis termasuk area yg mengalami pigmentasi.
Diagnosis dibuat karena adanya bahan restorasi yang ditemukan dekat dengan lesi.
Diperlukan pemantauan reaksi setelah bahan restoratif yang menyebabkan alergi diganti.
Biopsi dan uji temple (patch tes) mungkin tidak selalu diperlukan.

 TELAAH JURNAL

KELEBIHAN JURNAL:

1. Jurnal sudah disertai dengan gambar dan tabel yang mendukung penjelasan isi
laporan kasusnya
2. Laporan terjadinya hipersensitivitas terhadap amalgam jarang terjadi, dengan

adanya laporan kasus ini dapat menambah referensi pembelajaran

3. Jurnal laporan kasus ini telah dilengkapi dengan penjelasan tambahan dari
berbagai sumber sebagai pendukung
KEKURANGAN JURNAL:

1. Banyak singkatan yang digunakan dalam jurnal sehingga perlu memahami


kepanjangannya terlebih dahulu
2. Tahun terbit jurnal cukup lama (tahun 2014)

35
36
DAFTAR PUSTAKA

Harlim, A., 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Penyakit Alergi Kulit.
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

Lelyana, Shelly. 2020. Hypersensitivity in Dentistry. Department of Oral Medicine, Faculty of


Dentistry, Maranatha Christian University, Bandung, Indonesia. SONDE (Sound of
Dentistry) Vol 5 No 2.

Purwathi, I Gusti Ayu Putri. 2019. Reaksi Hipersensitivitas. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Denpasar, Bali.

37

Anda mungkin juga menyukai