Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK PKMRS

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2020

UNIVERSITAS HASANUDDIN

ALERGI MAKANAN PADA ANAK

Oleh:

Viola Sallo’ Bilangla’bi’


C014192006

Residen Pembimbing:

dr. Gebi Novianty


dr. Andi Emiral Amal

Supervisor Pembimbing:

dr. Bahrul Fikri, M.Kes, Sp.A, Ph.D

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Viola Sallo’ Bilangla’bi’

NIM : C014192006

Judul : Alergi Makanan pada Anak

Universitas : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Telah menyelesaikan tugas PKMRS dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, Agustus 2020

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Gebi Novianty dr. Andi Emiral Amal

Supervisor

dr. Bahrul Fikri, M.Kes, Sp.A, Ph.D

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................2

2.1 Definisi .........................................................................................................................2

2.2 Etiologi ........................................................................................................................2

2.3 Epidemiologi ................................................................................................................2

2.4 Patomekanisme ...........................................................................................................3

2.5 Klasifikasi ....................................................................................................................4

2.6 Gejala Klinis ...............................................................................................................5

2.7 Diagnosis .....................................................................................................................7

2.8 Penatalaksanaan .........................................................................................................10

2.9 Prognosis ....................................................................................................................12

BAB III PENUTUP .....................................................................................................................13

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................13

DAFTAR SINGKATAN .............................................................................................................. iv

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. vi

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan
tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya. Ada berbagai cara alergen
masuk ke dalam tubuh yaitu melalui saluran pernapasan (alergen inhalatif/alergi hirup),
alergen kontak, melalui suntikan atau sengatan, dan alergi makanan.1
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem
tubuh yang ditimbulkan karena mengonsumsi makanan. Istilah alergi makanan dikenal
sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap makanan yang mencakup reaksi imunologik
terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan.2 Alergi makanan dapat bermanisfestasi
seperti alergi yang lain pada satu organ atau berbagai organ target pada kulit (urtikaria,
angioedema, dermatitis kontak), saluran napas (rhinitis dan asma), saluran cerna (nyeri
abdomen dan muntah), dan pada kardiovaskuler (syok anafilaktik). Prevalensinya mencapai 6
- 8% pada usia 1 tahun lalu menurun secara progresif sampai akhir masa kanak-kanak.3
Sebagian besar alergi makanan dasarnya reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperankan
oleh antibodi IgE spesifik. Reaksi alergi makanan dapat juga didasari oleh non IgE, seperti
pada trombositopenia akibat alergi susu sapi yang diperankan oleh reaksi antigenantibody-
dependent cytotoxic (reaksi hipersensitivitas tipe II), reaksi kompleks antigen antibodi (reaksi
hipersensitivitas tipe III), dan reaksi imunologik lain seperti terdapat anti IgA gliadin
antibodi pada penyakit Celiac. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (reaksi hipersensitivitas
tipe IV) gejalanya timbul setelah beberapa jam sampai beberapa hari kemudian dan sering
memberikan gejala pada saluran cerna. Sampai sekarang sulit membuktikan patogenesis
alergi makanan yang disebabkan hipersensitivitas tipe II dan tipe III. Diperkirakan sebagian
besar alergi makanan didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperankan oleh IgE
dan reaksi hipersensitivitas tipe IV atau kombinasi dari keduanya.4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Alergi makanan adalah respon abnormal terhadap makanan tertentu yang diperantarai
oleh reaksi imunologis. Alergi makanan yang sering dijumpai pada anak-anak adalah alergi
terhadap susu sapi, telur ayam, gandum, dan kedelai. Alergi makanan pada masa kanak-
kanak sering kali sembuh atau berubah menjadi toleransi pada saat mereka tumbuh dan
berkembang menjadi remaja.5

2.2 Etiologi
Faktor genetik memiliki peran penting terhadap kejadian alergi makanan. Kemungkinan
anak menjadi alergi adalah 58% bila kedua orang tua atopik, 38% bila salah satu orang tua
atopik, dan hanya 12,5% bila kedua orang tuanya tidak atopik.6
Adanya paparan makanan juga merupakan etiologi munculnya alergi. Makanan yang
terlibat dalam reaksi alergi juga tergantung usia. Jadi, dalam dua tahun pertama kehidupan,
susu sapi adalah makanan yang menghasilkan reaksi alergi paling sering, diikuti dengan
telur. Pada anak usia dini, makanan lain seperti gandum, kedelai, kacang tanah dan kacang-
kacangan lainnya, ikan dan kerang dapat menimbulkan reaksi alergi.7
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan dikarenakan
maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain selain Air Susus Ibu
(ASI) contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan akan menimbulkan
manifestasi penyakit alergi. Hal ini karena makanan yang masuk masih dianggap asing oleh
mukosa usus di saluran pencernaan yang belum matur sehingga makanan tidak terdegradasi
secara sempurna lalu menimbulkan reaksi hipersensitivitas.7

2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat tahun 2014 prevalensi alergi makanan sekitar 6% (anak usia 1-3
tahun), 2%-3% pada bayi dan balita dengan alergi susu sapi, 1,5% alergi telur, dan 0,6%

2
alergi kacang. Di negara berkembang, insiden alergi makanan juga meningkat dengan susu
sapi merupakan alergen makanan tersering untuk bayi.8
Indonesia belum memiliki data tentang prevalensi pangan nasional alergi. Namun, dari
data RS. Cipto Mangunkusumo tahun 2013 didapatkan bahwa dari 42 pasien dermatitis pada
tahun 2012, kebanyakan dari mereka tersensitiasi putih telur (31%), susu sapi (23,8%), ayam
(23,8%), kuning telur (21,4%),kacang-kacangan (21,4%), dan gandum (21,4%).9

2.4 Patomekanisme

Sejak lahir, berbagai antigen makanan asing secara rutin masuk ke dalam saluran cerna,
namun sangat jarang menimbulkan gejala klinis. Hal ini karena adanya berbagai mekanisme
pertahanan saluran cerna baik yang bersifat imunologik maupun non imunologik.10

a. Mekanisme Non Imunologik/Fisiologik


Barier terpenting dalam mencegah antigen asing memasuki mukosa saluran cerna
adalah pemecahan antigen asing oleh berbagai enzim proteolitik yang terdapat di mulut,
lambung, usus kecil dan kolon. Selain itu, lapisan mukus sepanjang mukosa oropharing
hingga rectum yang membentuk lapisan tebal menutupi kripte juga berfungsi untuk
mencegah penetrasi antigen ke dalam epitel usus. Flora komensal di saluran cerna juga
berperan dalam proses imun saluran cerna. Flora komensal ini berkompetisi dengan
kuman patogen sehingga dapat menghambat pertumbuhan kuman patogen.10
b. Mekanisme Imunologik
Pada mekanisme imunologik, sel epitel intestinal mengekspresikan sejumlah reseptor
pada permukaannya, menangkap antigen (Ag), bertindak sebagai Antigen Presenting
Cells (APC), dan mengaktifkan sel CD 8+dan CD 4+.
Sel T regulator terdiri dari Th3 dan TR1. Antigen yang masuk menyebabkan Th3
mengaktifkan patch peyer di usus dan mengeluarkan Transforming Growth Factor-α
(TGF- α), suatu sitokin imunosupresif yang kuat. Hal ini penting dalam terjadinya proses
toleransi saluran cerna; sedangkan TR1 mensekresi IL-10 yang juga bersifat
imunosupresif.
Mekanisme Imunologik juga melibatkan Imunoglobulin A sekretari yang berperan
untuk mencegah antigen berikatan dengan sel epitel dan mengeluarkannya dari tubuh.10

3
2.5 Klasifikasi

Berdasarkan mekanisme imun, terjadinya alergi makanan dibagi menjadi reaksi yang
diperantarai IgE (IgE mediated) dan reaksi yang tidak diperantarai IgE (NonIgE mediated).

2.5.1 IgE Mediated


Kegagalan tubuh untuk dapat mentoleransi suatu makanan akan merangsang
imunoglobulin E (IgE), yang mempunyai reseptor pada sel mast, basofil dan juga pada
sel makrofag, monosit, limfosit, eosinofil dan trombosit dengan afinitas yang rendah.
Ikatan IgE dengan alergen makanan akan melepaskan mediator histamin, prostaglandin
dan leukotrien akan menimbulkan vasodilatasi, kontraksi otot polos, dan sekresi mukus
yang akan menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I. Sel mast yang aktif akan
melepaskan juga sitokin yang berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I yang lambat.
Bila alergen dikonsumsi berulang kali, sel mononuklear akan dirangsang untuk
memproduksi Histamin Releasing Factor (HRF) yang sering terjadi pada seorang yang
menderita dermatitis atopi.11
2.5.2 Non IgE Mediated
Alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE (cell-mediated) jarang terjadi dan
merupakan hasil dari pembentukan sel T yang bereaksi langsung terhadap protein
tersebut, menyebabkan pelepasan mediator yang menimbulkan respon inflamasi
(contoh: inflamasi eosinofilik) dan dapat menyebabkan kondisi penyakit subakut dan
kronik yang bervariasi. Tipe reaksi ini biasanya mengenai traktus gastrointestinal dan
kulit, contohnya adalah enterokolitis dan proktitis yang diinduksi oleh protein, gangguan
celiac dan dermatitis herpetiformis yang berhubungan dengannya. Reaksi
hipersensitivitas tipe II terjadi ketika antibodi yang spesifik berikatan dengan antigen
atau hapten pada permukaan jaringan yang menginduksi aktivasi komplemen. Pada
reaksi hipersensitivitas tipe III, kompleks imun terbentuk akibat interaksi IgG, IgA, atau
IgM terhadap β-lactoglobulin yang ditemukan 1 – 3 jam setelah konsumsi susu.
Hipersensitivitas tipe IV dan delayed type IV memiliki peran dalam alergi makanan
yang memiliki onset gejala beberapa jam setelah konsumsi alergen makanan.11

4
2.6 Gejala Klinis
Manifestasi alergi makanan dapat bermacam-macam, tergantung dari tempat dan luas
degranulasi sel mast. Mulai dari urtikaria akut sampai reaksi anafilaksis yang fatal dapat
terjadi pada alergi makanan. Organ target yang sering terkena adalah kulit, saluran cerna,
saluran napas atas/bawah, dan sistemik.
2.6.1 Manifestasi pada Kulit
Manifestasi alergi makanan paling banyak terdapat pada kulit (80%).16 Urtikaria akut
dan angioedema akibat kontak dan memakan sesuatu sering terjadi dan penyebabnya
mudah diketahui, misalnya tangan seseorang menjadi bengkak dan gatal setelah
mengupas udang atau bibir seorang anak bengkak setelah minum susu atau makan
kacang. Sedangkan urtikaria menahun atau berulang alergennya sukar diketahui dan
jarang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I saja, mungkin gabungan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe IV.
Bruno mendapatkan dari 554 pasien urtikaria menahun hanya 1,4% disebabkan alergi
makanan.13 Patogenesis Dermatitis Atopik (DA) pada anak masih belum diketahui
dengan pasti apakah disebabkan oleh alergi makanan. Masih banyak kontroversi
mengenai hal ini. Burks, dkk. melaporkan bahwa 33% DA pada anak disebabkan alergi
makanan yang dibuktikan dengan Double Blind Placebo Controle Food Challenge
(DBPCFC).14 Delapan puluh tujuh persen alergi makanan pada anak disebabkan oleh
alergen telur, susu sapi, kacang, kacang kedele, dan gandum. Siregar, dkk. melaporkan
bahwa pemberian telur pada usia di bawah 6 bulan pada pasien DA akan berisiko
mendapatkan alergi respiratorik lebih besar daripada bila diberikan setelah usia 12 bulan.
Seringkali dokter tidak memikirkan bahwa alergen makanan berperan pada penyakit DA.
Jadi bila DA pada anak sukar diobati dengan pengobatan konvensional sebaiknya juga
dicari kemungkinan penyebabnya alergen makanan.13

2.6.2 Manifestasi pada Gastrointestinal


Alergi makanan dapat menimbulkaan gejala sistemik saluran cerna seperti nausea,
muntah, diare, gembung, sering flatus, kolik dan konstipasi menahun. Sampsons
mendapatkan 51% pasien alergi makanan mempunyai gejala saluran cerna. Siregar, dkk.
mendapatkan 5 dari 18 pasien alergi susu sapi mempunyai keluhan diare.15 Gejala di
orofaring dapat timbul beberapa menit setelah memakan buah dan sayuran segar yang
5
disebut sindrom alergi oral. Diperkirakan IgE memegang peranan pada penyakit
gastroenteritis eosinofilik. Pada pasien dengan gastroentiritis eosinofilik terdapat gejala
nausea, muntah, gagal tumbuh dan peningkatan eosinofil darah tepi dan pada biopsi
saluran cerna tampak tumpukan infiltrasi sel eosinofil, dengan disertai intoleran berbagai
makanan dan peningkatan kadar IgE disertai rinitis dan asma alergik.15

2.6.3 Manifestasi pada Saluran Napas


Pasien asma yang disebabkan oleh alergi makanan umumnya terdapat pada anak usia
muda dan sebagian besar didahului oleh dermatitis atopik. Dari 300 pasien asma yang
berumur antara 7 bulan dan 80 tahun, terdapat alergi makanan pada 20 orang yang yang
dibuktikan secara DBPCFC, dan hanya 6 orang yang memberikan hasil uji kulit positif
atau IgE. Gejala pada saluran napas berupa mengi, batuk dan sesak. Anak dengan
dermatitis atopi disertai alergi makanan cenderung akan berkembang menjadi asma yang
dicetuskan oleh makanan, dan sebagian besar akan menjadi asma menahun yang sukar di
obati. Siregar, dkk mendapatkan batuk kronik berulang pada 13 dari 18 anak dengan
alergi susu sapi. Gejala batuk dan sesak napas dapat timbul setelah menghirup gandum
yang dibakar disebut bakers asma yang akan memberikan hasil kulit positif terhadap
gandum.15
Rinitis terdapat pada 70% anak dengan alergi makanan yang dibuktikan dengan
DBPCFC, dan sebagian besar juga menderita penyakit alergi lain, misalnya alergi pada
kulit dan saluran cerna. Rinitis alergik lebih sering terjadi pada bayi dan anak.16

2.6.4 Anafilaksis
Anafilaksis diinisiasi oleh perlekatan antigen ke sel mast atau basophil dalam tubuh
individu yang sudah tersensitisasi. Yang selanjutnya akan mengeluarkan tryptase dan
kemoaktraktan yang lain sehingga mengaktifkan eosinophil, terjadi spasme otot dan
peningkatan permeabilitas vaskular. Dalam beberapa menit sampai 2 jam setelah
mengkonsumsi makanan. Semua jenis makanan dapat menyebabkan reaksi anafilaksis,
tetapi alergen tersering adalah kacang, tree nuts, ikan dan kerang. Gejala sistemik diikuti
kelainan organ lain seperti kulit, saluran cerna dan saluran napas.17 Kadang kadang dapat
terjadi kelainan kardiovaskular seperti hipotensi, aritmia dan renjatan. Tidak seperti
anafilaksis yang disebabkan oleh obat, anafilaksis karena alergi makanan didominasi oleh
6
gejala respiratorius. Gejala lain seperti kardiovaskular jarang dijumpai.16 Dilaporkan
terjadi reaksi anafilaksis setelah memakan sesuatu yang diikuti olahraga dalam waktu 2-
4 jam, sedangkan bila tidak diikuti olah raga reaksi tidak terjadi.18

2.7 Diagnosis
Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang.
2.7.1 Anamnesis
Delapan puluh persen diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang baik. Pada
anak, seringkali yang digunakan yaitu alloanamnesis dimana informasi ditanyakan
kepada orang tua pasien. Keluhan utama pada alergi makanan berupa gatal-gatal, eksim,
dermatitis, mual, muntah, diare, asma, dan rhinitis. Reaksi setiap orang terhadap alergi
tidaklah sama, namun pada beberapa orang dapat berakibat fatal.
Adapun hal-hal yang perlu ditanyakan seputar alergi meliputi:
 Jenis makanan yang dicurigai menyebabkan alergi
 Apa saja gejala yang ditimbulkan?
 Apakah gejala selalu timbul bila memakan makanan yang dicurigai?
 Berapa lama gejala tersebut timbul?
 Bagaimana derajat keparahan gejala saat timbul?
 Apakah ada faktor lain yang mempermudah timbulnya gejala misalnya setelah
berolahraga?
 Apakah dalam keluarga juga terdapat anggota keluarga dengan riwayat alergi?

2.7.2 Pemeriksaan fisik


Tujuan utama pemeriksaan fisik adalah untuk melihat bukti atopi dan kelainan
alergi lainnya (contoh: dermatitis atopi, asma, dan rinitis alergi) dan untuk
menyingkirkan kondisi lain yang mirip dengan alergi makanan.
Saat melakukan pemeriksaan, perlu diperhatikan apakah terdapat tanda dari
penyakit atopi seperti kulit kering, bersisik, likenifikasi yang sering tampak pada
pasien dermatitis atopic (allergic shiners, Siemen grease). Apakah mukosa hidung
bengkak dan pucat, seperti yang tampak pada rinitis alergik, dan adakah gejala mengi

7
serta batuk berulang pada pasien asma. Juga penting menilai status gizi anak apakah
sudah terjadi kurang gizi akibat diet yang diberikan.

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa meliputi kadar eosinophil total dan IgE
total. Eosinofil normal: l-3% jumlah leukosit (reference value 0.04-0.45 xl0'/L
(404,10 /ld) Meningkal Jika hitung jenis eosinofil > 3% a&lu eosino{il total > 300/
td. Eosinofilia sering dijumpai pada: - Peflyakit alergi / atopik asma brsokial, seasonal
rhinitis, dermatitis atopik & eksim.
Pemeriksaan IgE total membantu konfirmasi alergi, memiliki keterbatasan dalam
menentukan ada tidaknya reaksi alergi. Nilai normal tergantung usia, kadar pada
orang dewasa non atopi 90 IU/ml (metode pemeriksaan ELISA).
Adapun nilai rujukan IgE total (IU/mL) :
 Neonatus <1,5 IU/mL
 Infants <15 IU/mL
 Anak :
- 1-5 tahun <60
- 6-9 tahun <90
- 10-15 tahun <200
 Dewasa <100

B. Skin Prick Test (SPT)


Skin prick test berperan untuk identifikasi alergen penyebab sehingga penting
dalam penentuan terapi, termasuk kontrol lingkungan dan imunoterapi. Adapun cara
melakukan SPT yaitu :
 Tes dilakukan di bagian volar lengan bawah. Bagian kulit yang akan dites
dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian ditunggu sampai kering.
 Batas tiap alergen digambarkan dengan pulpen sebanyak jumlah alergen yang
akan dites.

8
 Alergen diteteskan di tempat yang telah ditandai. Jarak tiap tetesan alergen 2-
3 cm untuk menghindari dua alergen yang kemungkinan bereaksi positif.
Kontrol positif (larutan histamin fosfat 0,1%) dan kontrol negatif (larutan
phosphatebuffered saline dengan fenol 0,4%) juga diteteskan.
 Dilakukan tusukan dangkal dengan jarum khusus pada masing-masing alergen
yang telah diteteskan. Jarum yang digunakan harus baru pada tiap tusukan
untuk masing-masing tetesan. Tusukan dijaga jangan sampai menimbulkan
perdarahan.
 Tes dibaca setelah 15-20 menit. Hasil dikatakan sahih/valid bila diameter
kontrol positif >3 mm dan kontrol negative.19

Gambar 1. Skin Prick Test (Uji Tusuk Kulit)

SPT merupakan metode diagnostik paling akurat untuk menunjukkan bahwa


alergen spesifik telah menginduksi respons spesifik antibodi IgE, sehingga dianggap
sebagai baku emas deteksi antibodi IgE. Namun pemeriksaan SPT memiliki beberapa
kelemahan, di antaranya tidak dapat dilakukan pada pasien dengan dermatografisme,
hamil, bayi dan balita, dan sedang menjalani terapi obat tertentu seperti antihistamin
dan beta bloker.19

C. Oral Food Challenge


Oral Food Challenge (OFC) adalah gold standard untuk diagnosis IgE Mediated
maupun Non IgE Mediated pada alergi makanan. Pemeriksaan ini digunakan untuk
membantu penegakan diagnosis, memonitoring resolusi alergi makanan ataupun
mengidentifikasi ambang batas dari respon alergi. OFC harus dilakukan oleh dokter
berpengalaman di lingkungan yang tepat yang dilengkapi dengan alat emergency,

9
untuk menilai dengan benar setiap tanda reaksi alergi yang mungkin saja terjadi
selama OFC dilakukan.20
OFC harus dilakukan saat pasien belum mengonsumsi makanan apapun minimal
4 jam untuk antisipasi reaksi cepat yang dapat timbul. Atau setidaknya 12 jam untuk
kasus reaksi lambat. Adapun prosedur OFC yaitu:
 Kumpulkan riwayat kesehatan pasien untuk mengetahui tingkat keparahan
reaksi sebelumnya, dan riwayat diet yang diberikan.
 Kumpulkan formulir persetujuan orang tua juga dari pasien. Untuk
menginformasikan tentang risiko, manfaat, dan hasil dari pemeriksaan OFC.
 Selidiki riwayat penggunaan obat yang dapat menyembunyikan reaksi alergi
(antihistamin tipe H1), ataupun yang membuat alergi lebih parah (antasida,
antihistamin tipe H2).
 Pasien tidak dianjurkan melakukan OFC apabila memiliki riwayat
mengonsumsi steroid sistemik dalam 7-14 hari.20

OFC dapat dilakukan secara terbuka (open-OFC), single-blind, dan double-blind.


Pada OFC terbuka, baik dokter maupun pasien (termasuk anggota keluarga)
mengetahui jenis makanan yang ditawarkan. Ini adalah OFC paling sederhana, paling
murah dalam hal waktu dan biaya, oleh karenanya paling sering digunakan. Pada
single-blind, komposisi makanan yang akan diujikan hanya diketahui oleh dokter
saja. Sedangkan pada Double Blind Placebo Controle Food Challenge (DBPCFC),
baik dokter maupun pasien mengetahui makanan yang akan diberikan. Ini
meminimalkan bias pada interpretasi dokter dan gangguan psikogenik pasien. Untuk
alasan ini, DBPCFC dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis alergi makanan;
Namun, karena sifatnya yang sulit diimplementasikan, pemeriksaan ini hanya
digunakan untuk tujuan penelitian ataupun tujuan klinis ketika hasil open OFC atau
singleblind challenge tidak jelas.21

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Pencegahan Alergen
Sampai saat ini tidak ada terapi baku yang dapat diandalkan untuk mengatasi alergi
makanan kecuali upaya penghindaran terhadap makanan penyebab alergi. Begitu

10
diagnosis alergi makanan ditegakkan, eliminasi alergen makanan penyebab harus
dilakukan secara ketat. Walaupun pelaksanaannya cukup sulit, diet eliminasi yang
dijalankan secara benar dan seimbang dapat menghindari muculnya gejala alergi
makanan namun masih tetap dapat mempertahankan status nutrisi yang baik pada
pasien.22
Penghindaran yang ketat harus dilakukan juga oleh keluarga pasien dalam
menghindarkan serta membantu untuk mencarikan makanan pengganti sehingga
terpenuhi makanan yang rasanya enak dan disukai anak. Mengetahui dengan pasti
makanan yang akan diberikan untuk anak seperti membaca semua label makanan yang
tercantum pada botol atau kaleng apakah mengandung produk dari makanan yang harus
dihindarkan. Seperti produk dari susu sapi (casein, whey, lactoglobulin, dan lain-lain).

2.8.2 Immunoterapi
Imunoterapi alergi makanan mengacu pada upaya memaparkan pasien terhadap
alergen makanan spesifik yang menjadi penyebab atau pemicu reaksi alergi, dengan dosis
yang dinaikkan secara bertahap, dengan tujuan untuk mengurangi reaktivitas klinis
pasien. Dua istilah yang terkait dengan imunoterapi makanan adalah desensitisasi dan
toleransi. Istilah “desensitisasi” mengacu pada kemampuan untuk meningkatkan dosis
alergen makanan yang dapat menginduksi reaksi klinis pada seseorang yang sedang
menjalani imunoterapi. Dengan kata lain, desensitisasi adalah kemampuan menaikkan
nilai ambang reaktivitas pasien terhadap alergen makanan tertentu. Desensitisasi itu
sendiri bersifat sementara. Sementara itu, istilah “toleransi” mengacu pada kemampuan
pasien untuk mengonsumsi sejumlah besar protein makanan sesudah program
imunoterapi selesai.23
Beberapa strategi yang telah dieksplorasi dan diujicobakan pada pasien adalah
sebagai berikut: imunoterapi subkutan (subcutaneous immunotherapy; SCIT),
imunoterapi sublingual (sublingual immunotherapy; SLIT), imunoterapi oral (oral
immunotherapy; OIT), dan imunoterapi epikutan (epicutaneous immunotherapy; EPIT).23

3 Pengobatan pada reaksi anafilaksis akibat alergi makanan


Adapun penanganan saat terjadi anafilaksis akibat alergi makanan, yaitu:
 Penghentian makanan tersangka.
11
 Epinephrin 0,01 mg/kg dalam larutan 1:1000 diberikan subkutan, dapat
diulang setelah 10-15 menit, dan dirawat di ruang gawat darurat.
 Antihistamin parenteral.
 Kortikosteroid parenteral.
 Diawasi minimal selama 4 jam setelah syok dapat diatasi.23

3.1 Prognosis
Umumnya alergi makanan akan menghilang dalam jangka waktu tertentu, kecuali alergi
terhadap kacang tanah, ikan laut, dan kerang-kerangan. Sekitar 85% anak dapat mentolerir
kembali makanan yang mengandung susu sapi, telur, kacang kedelai dan gandum sebelum
berumur 3-5 tahun. Keadaan ini disebabkan karena mukosa usus dan system imun yang
makin matur juga akibat menurunnya sensitivitas dari target organ.23

12
BAB III
PENUTUP

3.2 Kesimpulan
Alergi makanan bukan didasari reaksi hipersensitivitas tipe I saja (IgE Mediated), tapi
juga dapat disebabkan nonIgE mediated, ataupun mixed IgE/nonIgE. Gejala yang timbul
dapat menyerang berbagai organ setelah terkena alergen ataupun setelah mengonsumsi
makanan yang diduga menjadi penyebab alergi. Manifestasi klinik dapat berupa gejala pada
kulit, respiratorius, saluran cerna, bahkan sampai anafilaksis. Diagnosis ditegakkan melalui
anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisis dan juga pemeriksaan penunjang seperti Skin
Prick Test, maupun tes provokasi.
Setelah diagnosis alergi makanan ditegakkan, pengobatannya adalah eliminasi ketat.
Penghindaran suatu jenis makanan harus diperhitungkan kerugiannya terutama pada anak
yang memerlukan makanan tersebut untuk pertumbuhan dan perkembangan. Haruslah diganti
dengan bahan lain yang sama atau hampir sama nilai kalori dan nutriennya, serta penerangan
yang baik diberikan kepada orang tua dan anak, dan seorang ahli gizi anak harus diikut
sertakan untuk menghindarkan terjadinya gisi kurang. Penerangan yang jelas mengenai
makanan yang harus dihindarkan dan makanan yang diperbolehkan harus jelas tertulis, dan
selalu membaca terlebih dulu daftar isi makanan siap pakai dari kaleng/ botol. Sebagian
alergi makanan pada anak akan menghilang dengan bertambahnya umur, kecuali untuk
beberapa jenis makanan seperti kacang, ikan dan tree nuts.
Gejala klinik terhadap 1 macam alergen makanan adalah spesifik. Jarang terjadi alergi terhadap
beberapa macam alergen dalam satu famili botanik atau dalam satu jenis spesies binatang,
sehingga penghindaran makanan hanya terhadap makanan yang sudah terbukti dengan pasti
dengan cara eliminasi, akan memberikan perbaikan secara klinis. Sampai sekarang mekanisme
imunopatologi alergi makanan belum jelas. Sekarang para ahli sedang meneliti sifat karateristik
masing masing alergen dan patogenesis alergi makanan.

13
DAFTAR SINGKATAN

APC : Antigen Presenting Cell, Sel yang menyajikan antigen yang membentuk
kompleks dengan Major HIstocompibility Complex pada permukaannya.

ASI : Air Susu Ibu, Susu yang diproduksi oleh manusia untuk konsumsi bayi dan
merupakan sumber gizi utama bayi yang belum dapat mencerna makanan padat.

DA : Dermatitis Atopi, Penyakit inflamasi kulit yang khas bersifat kronis dan sering
terjadi kekambuhan.

DBPCTC : Double Blind Placebo Controle Food Challenge, Salah satu cara dalam uji
provokasi makanan, dimana baik dokter maupun pasien mengetahui makanan yang akan
diberikan.

ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay. Uji serologis yang umum digunakan di


berbagai laboratorium imunologi.

EPIT : Epicutaneus Immunotheraphy, Immunoterapi dengan pemberian melalui jalur


epikutan.

HRF : Histamine Releasing Factor, Produk turunan sel yang menyebabkan pelepasan
histamine dari basophil ataupun sel mast.

IL-10 : Interleukin 10, Sitokin yang banyak disekresi oleh monosit, yang memiliki efek
pleiotrofik pada sistem kekebalan dan peradangan.

OFC : Oral Food Challenge, Pemeriksaan digunakan untuk membantu penegakan


diagnosis, memonitoring resolusi alergi makanan ataupun mengidentifikasi ambang batas dari
respon alergi dengan memberikan makanan secara oral.

OIT : Oral Immunoteraphy, Pemberian imunoterapi melalui mulut.

SCIT : Sublingual Immunotherapy, Pemberian ekstrak alergen makanan dalam bentuk


cairan dan dalam jumlah yang kecil yang diletakkan di bawah lidah

SLIT : Subcutaneous Immunotherapy, Pemberian immunoterapi secara subkutan

iv
SPT : Skin Prick Test, Tes yang berperan untuk identifikasi alergen penyebab sehingga
penting dalam penentuan terapi, termasuk kontrol lingkungan dan imunoterapi.

TGF-α : Transforming Growth Factor, Polipeptida mitogenik yang menjadi aktif


ketika berikatan dengan reseptor yang mampu melakukan aktivitas protein kinase untuk
pensinyalan seluler.

v
DAFTAR PUSTAKA

1. Chafen JJ, Newberry SJ, Riedl MA, Bravata DM, Maglione M, Suttorp MJ, et al.
Diagnosing and managing common food allergies: a systematic review. JAMA.
2010;303(18):1848-56.
2. Lee AJ, Thalayasingam M, Lee BW. Food allergy in Asia: how does it compare? Asia
Pac Allergy 2013;3:3-14
3. Wang .J , Sampson A.H, Food allergy, The Journal of Clinical Investigation.2011
March;Vol 121(3):827-835
4. Garcia-Ara C, Boyano-Martinez T, Diaz-Pena JM, Martin-Munoz F, Reche-Frutos M,
Martin-Esteban M. Specific IgE levels in the diagnosis of immediate hypersensitivity to
cows’ milk protein in the infant. J Allergy Clin Immunol. 2011;107:185---90.
5. Gupta RS, Springston EE, Warrier MR, Smith B, Kumar R, Pongracic J, et al. The
prevalence, severity, and distribution of childhood food allergy in the United States.
Pediatrics. 2011;128(1):e9-17.
6. Beigelman A, Strunk RC, Garbutt JM, Schectman FB, Jaenicke MW, Stein JS, dkk.
Clinical and laboratory factors associated with negative oral food challenges. Allergy
Asthma Proc 2012;33:467-73.
7. Kulig M, Bergmann R, Klette U, Wahn V, Tacke U, Wahn U. Natural course of
sensitization to food and inhalant allergens during the first six years of life. J Allergy Clin
Immunol. 2011;103:1173---9.
8. Keet CA, Savage JH, Seopaul S, Peng RD, Wood RA, Matsui EC. Temporal trends and
racial/ethnic disparity in self-reported pediatric food allergy in the United States. Ann
Allergy Asthma Immunol. Mar; 2014 112(3):222–229. e223. [PubMed: 24428971]
9. Munasir Z, Muktiarti D, The management of food allergy in Indonesia, Asia Pasific
Allergic.2013.
10. Mayer L. Mucosal immunity. Pediatrics 2013; 111:1595- 600.
11. Jyonouchi H. Non-IgE mediated food allergy. Inflamm Allergy Drug Targets.
2015;7(3):173-80
12. Hill DJ, Hasking CS. Emerging disease profiles in infants and young children with food
allergy. Pediatr Allergy Immunol 2017: 8 (suppl 10): 21-26.

vi
13. Bruno LB. Prophylaxis of cow’s milk allergy. Pediatr Allergy Immunol 2010: 8 (suppl
10): 11-5.
14. Burks AW, James JM, Hiegel A, dkk,. Atopic dermatitis and food hypersensitivity
reactions. J Pediatr 2010; 132:132-6.
15. Alvaro M, García-Paba MB, Giner MT, Piquer M, Domínguez O, Lozano J, et al.Clinical
Manifestation in Fastrointestinal of Food Allergy. 2014;69: 1350---6.
16. Maria A, Martin, Food Allergic in Pediatric: Current Concept. Servicio Alergia e
Inmunología Clínica, Hospital Sant Joan de Déu, Barcelona, Spain. 2016
17. Guidelines for the Diagnosis and Management of Food Allergy in the United States.
Summary of the NIAIDSponsored Expert Panel Report. 2010. Available from:
https://www.niaid.nih.gov/sites/default/fil es/faguidelinesexecsummary.pdf (Accessed on
15th October 2017)
18. Cianferoni A, Muraro A. Food-induced anaphylaxis. Immunology and Allergy Clinics of
North America. 2012; 32(1):165-95. https://doi.org/10.1016/j.iac.2011.10.002 PMid:
22244239 PMCid: PMC3440177
19. 1. Pawankar R, Holgate ST, Canonica GW, Lockey RF, Blaiss MS. WAO white book on
allergy. Wisconsin: World Allergy Organization; 2013. p. 27
20. Grabenhenrich, L.B.; Reich, A.; Bellach, J.; Trendelenburg, V.; Sprikkelman, A.B.;
Roberts, G.; Grimshaw, K.E.; Sigurdardottir, S.; Kowalski, M.L.; Papadopoulos, N.G.; et
al. A new framework for the documentation and interpretation of oral food challenges in
population-base and clinical research. Allergy 2017, 72, 453–461.
21. Calvani M, Bianchi A, Reginelli C, Oral Food Challenge Operative Unit of Paediatrics,
S. Camillo-Forlanini Hospital, Circonvallazione Gianicolense 87, 00152 Rome, Italy,
2019
22. Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy: epidemiology, pathogenesis, diagnosis, and
treatment. J Allergy Clin Immunol. 2014;133(2):291-307.
23. Mousallem T, Burks AW. Immunology in the clinic review series; focus on allergies:
immunotherapy for food allergy. Clin Exp Immunol. 2012;167(1):26-31.

vii

Anda mungkin juga menyukai