PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Meningkatnya angka kejadian alergi selama 20 tahun terakhir dapat
Disamping itu, tempat untuk melakukan tes alergi masih belum banyak ditemukan. Salah
satu rumah sakit yang memiliki Poli Alergi Imunologi untuk melakukan tes alergi adalah
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui gambaran sensitivitas terhadap alergen makanan di Poli Alergi
Imunologi RSCM baik pada anak maupun dewasa Analisis univariat dilakukan terhadap
jenis makanan yang biasanya menyebabkan alergi pada kelompok anak maupun dewasa
seperti kacang tanah, maizena, tomat, coklat, soya, tepung terigu, pisang, stroberi,
alpukat, putih telur, udang, kuning telur, daging ayam, tuna, oyster, susu sapi dan
kepiting. Analisis tersebut kemudian diinterpretasikan secara deskriptif.
1.2 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah :
1.2.1 Tujuan Umum
a. Memenuhi penugasan sebagai pesyaratan Ujian Akhir semester V dalam Modul
Gawat Darurat Medik
b. Mengetahui dan memahami tentang alergi makanan
1.2.2 Tujuan Khusus
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Ilmu pengetahuan
Hasil karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat sebagai khasanah ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang kesehatan yang memberikan gambaran mengenai alergi
makanan
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi Alergi Makanan
Pengertian Alergi Makanan Secara umum, istilah alergi dipakai dalam konteks reaksi
hipersensitivitas yang disebabkan oleh reaksi imun yang berakibat buruk terhadap jaringan
atau mengganggu proses fisiologik manusia. Reaksi imun tersebut dicetuskan oleh adanya
kompleks biokimiawi atau respons inflamasi yang menghasilkan gejala klinis. Respons
tersebut bergantung pada tingkat reaktivitas reseptor jaringan yang terlibat dan sel efektor.
Pengertian alergi makanan mencakup reaksi imunologik terhadap makanan atau bahan
pelengkap makanan. Istilah alergi makanan (food hypersensitivity) perlu dibedakan dengan
intoleransi makanan ( food for intolerance atau food sensitivity). Alergi makanan adalah
reaksi terhadap makanan yang dapat berulang, mempunyai latar belakang reaksi imunologik
abnormal. Di lain pihak, pada intoleransi makanan, terdapat faktor mak anan itu sendiri,
seperti kontaminasi toksin bakteri, kandungan farmakologik (seperti tiramin yang terdapat
pada keju yang telah lama), atau kelainan 3 metabolik (seperti defisiensi enzim laktase).
Intoleransi makanan bertalian dengan semua jenis reaksi fisiologik abnormal terhadap
makanan atau bahan pelengkap makanan. Termasuk dalam kategori ini ialah reaksi
idiosinkratik (misal intoleransi laktosa), keracunan makanan, dan reaksi farma-5 kologik
(misal terhadap kafein, tiramin). Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan
yang dapat berulang, tidak mengenakkan, bukan psikologis, dengan latar belakang nonimunologik, seperti defisiensi enzim (misal defisiensi laktase), farmakologis (misal reaksi
terhadap kafein), pelepasan histamin non-imunologis (misal sehabis makan sejenis kerang),
dan iritasi langsung (oleh isi lambung pada esofagus sehingga terjadi esofagitis).
2.2 Etiologi atau Penyebab Alergi Makanan
a. Faktor Genetik
Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita . Bila
ada orang tua menderita alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak
dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita gejala alergi maka dapat
menurunkan resiko pada anak sekitar 20 40%, ke dua orang tua alergi resiko
meningkat menjadi 40 - 80%. Sedangkan bila tidak ada riwayat alergi pada kedua
orang tua maka resikonya adalah 5 15%. Pada kasus terakhir ini bisa saja terjadi bila
4
nenek, kakek atau saudara dekat orang tuanya mengalami alergi. Bisa saja gejala
alergi pada saat anak timbul, setelah menginjak usia dewasa akan banyak berkurang.
b. Imaturitas Usus
Alergi makanan sering terjadi pada usia anak dibandingkan pada usia dewasa.
Fenomena lain adalah bahwa sewaktu bayi atau usia anak mengalami alergi makanan
tetapi dalam pertambahan usia membaik. Hal itu terjadi karena belum sempurnanya
saluran cerna pada anak. Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik
merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam
lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik
sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal
allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur (tidak matang) sistem pertahanan
tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga memudahkan alergen
masuk ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir sel yang mengandung IgA,
Imunoglobulin utama di sekresi eksternal, jarana ditemui di saluran cerna. Dalam
pertambahan usia akan meningkat sesuai dengan maturasi (kematangan) sistem
kekebalan tubuh. Dilaporkan persentasi sampel serum yang mengandung antibodi
terhadap makanan lebih besar pada bayi berumur kurang 3 bulan dibandingkan
dengan bayi yang terpapar antigen setelah usia 3 bulan. Penelitian lain terhadap 480
anak yang diikuti secara prospektif dari lahir sampai usia 3 tahun. Sebagian besar
reaksi makanan terjadi selama tahun pertama kehidupan.
c. Pajanan Alergi
Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat terjadi
sejak bayi dalam kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada janin terhadap
penisilin, gandum, telur dan susu. Pajanan juga terjadi pada masa bayi. Pemberian
ASI eksklusif mengurangi jumlah bayi yang hipersensitif terhadap makanan pada
tahun pertama kehidupan. Beberapa jenis makanan yang dikonsumsi ibu akan sangat
berpengaruh pada anak yang mempunyai bakat alergi. Pemberian PASI meningkatkan
angka kejadian alergi. Dibanding dengan air susu sapi maka ASI dapat mengurangi
kejadian eksema sebanyak 7 kali lipat. Eliminasi telur, susu, dan ikan pada ibu yang
menyusui selama 3 bulan pertama mengurangi sensitivitas berikutnya, dan
menurunkan kejadian dermatitis atopik 6 bulan berikutnya.
adalah
salisilat,
tartarzine
(zat
pewarna
makanan),
nitrat,
amine,
Laktose
sering terdapat di dalam susu sapi
Glutamat
banyak didapatkan pada tomat, keju, mushrooms, saus, ekstrak daging dan jamur.
Tartazine
banyak didapatkan pada zat pewarna makanan : sosis
Bahan kimia yang digunakan dalam produksi dan pemrosesan makan atau
yang muncul sebagai contaminan dalam makanan.
ADITIF MAKANAN
Bahan Pengawet
Bahan Pewarna
Bahan Pemutih
Emulsifier
Enzim
Bahan Penetap
Bahan Pelapis atau Pengkilat
Bahan Pengatur pH
Bahan pemisah
Perubah patiu
Ragi makanan
Pelarut untuk ekstraksi atau pembawa
Bahan Anti Pembekuan
Bahan pemanis
BAHAN TAMBAHAN PEMROSESAN
Bahan Perasa dan Rempah-rempah buatan
Bahan Kemasan Makanan
Obat-obatan yang digunakan dalam produksi
Binatang / peternakan
Bahan-bahan kimia Pertanian
Pestisida (anti serangga)
Herbisida (anti Gulma)
Fungisida (anti Jamur)
Contaminan (pencemar) : bahan nimia industri
lambat seringkali memerlukan pertolongan doketr, dan ini merupakan bagian terbanyak
dari penderita alergi makanan.
Gejala seringkali sudah dijumpai sejak masa bayi. Makanan tertentu dapat
menimbulkan gejala tertentu pada seorang anak, tetapi pada anak lain menimbulkan
gejala yang lain. Pada seseorang makanan yang satu dapat mempunyai organ sasaran
yang lain dengan makanan lain. Misalnya udang menyebabkan urtakaria, sedangkan
kacang tanah menyebabkan sesak nafas. Susu sapi pada anak bisa menimbulkan gejala
alergi pada saluran nafas, saluran cerna, kulit, dan reaksi anafilaksis. Makanan lain juga
dpat menimbulakn reaksi anafilaksis. Susu formula hidrosilat kasein yang dianggap
aman sebagi pengganti susu sapi pernah pula dilaporkan menimbulkan reaksi anafilaksis.
Gejala alergi makanan dapat terjadi pada berbagai organ sasaran seperti kulit, saluran
nafas, saluran cerna, mata, dan telinga. Organ sasaran yang terkena dapat berpindah.
Tidak eksim, dan sekarang mengalami sesak nafas. Atau dulu anaknya sesak.
Tabel 1. Tanda dan gejala klinis yang sering dikaitkan dengan alergi pada anak.
ORGAN DAN SISTEM TUBUH
Sistem Pernapasan
Kulit
Mata
Sistem Hormonal
Trigger
Seorang ibu membawa anaknya yang berumur 7 bulan ke RS dengan keluhan sering
menangis, rewel, mencret lebih dari 3x sehari dalam satu hari ini. Selain itu terlihat timbul
penebalan merah di pipi dan telinga. Si ibu menceritakan bahwa pagi tadi ia memberikan
anaknya susu formula dan telah memberikan bedak antigatal pada daerah yang merah.
Setelah ditanya dokter ternyata itu adalah susu sapi. Pasien tinggal di kompleks perumahan
10
elit. Kedua orangtuanya bekerja di sebuah kantor Pemerintahan Umum. Sakit seperti ini
sebelumnya (-), riwayat alergi (-).
Status Pasien
Nama : Putri Ramadhani
Umur : 7 bulan
Suku : melayu
Riwayat penyakit dahulu : tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
Tempat tinggal : kompleks perumahan elit
Diagonosa
Anamnesa:
Pemeriksaan Fisik:
Keadan umum : tampak pucat
tampak sakit ringan
vital sign : nadi lemah
tekanan darah rendah
suhu 36oc
Inspeksi :
Penatalaksaan : penghentian pemeberian susu formula dan memberikan obat alergi makanan.
2.4 Patofisiologi
11
Alergen dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan besar
molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas, dan tahan enzim proteolitik. Pada pemurnian
alergen pada ikan diketahui alergen-M sebagai determinan walaupun jumlahnya hanya
sedikit. Pada telur ovomukoid diketahui merupakan alergen utama.
Betalaktaglobulin (BLG), alfalaktalbumin (ALA), bovin serum albumin (BSA) dan
bovin gama globulin (BGG) merupakan alergen utama dalam susu sapi. BLG adalah alergen
yang paling kuat. Protein kacang tanah yang terpenting sebagai alergen adalah arachin dan
conarachin, sedangkan pamurnian ditemukan alergen yang disebut sebgai peanu-1 yaitu suatu
glikoprotein dengan berat molekul 180.000 dalton. Pemurnian pada udang mendapatkan
alergen-1 dan alergen-2 masing-masing dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000
dalton. Albumin, pseudoglobulin dan eugllobulin adalah alergen utama pada gandum.
Pada paparan awal, alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji antigen untuk
selanjutnya mengekspresikan pada sel T secara langsung atau melebihi sitokin. Sel T
tersensitisasi dan akan merangsang sel B menghasilkan antibodi dan berbagai subtipe.
Alergen yang utuh diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel
pembentuk antibodi didalam mukosa usus dan organ limfoid usus, yang pada kebanyakan
anak-anak membentuk antibodi dari subtipe IgG, IgA, IgM. Pada anak-anak atopi cenderung
terbentuk IgE lebih banyak yang selanjutnya mengadakan sensitisasi melalui air susu ibu
terhadap makanan yang dikonsumsi ibu. Bayi-bayi dengan alergi awal terhadap satu
makanan, misalnya susu, juga mempunyai risiko yang tinggi untuk berkembang menjadi
alergi terhadap makanan lain. Pembuatan antibodi IgE dimulai sejak paparan awal dan
berlanjut dilakukan diet eleminasi. Komplemen akan mulai mengalami aktivasi oleh
kompleks antigen antibodi.
Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi sitokin oleh sel T. Sitokin
mempunyai berbagai efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang
misalnya neutrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan. Aktivasi
komplemen dan terjadinya lompleks imun akan menarik neutrofil.
Kombinasi alergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi ketika IgE telah melekat
pada sel mast, atau ketika lIgE masih belum melekat pada sel mast, atau IgE telah melekat
pada sel mast kemudian diaktivasi oleh pasanagn nonspesifik. Kombinasi ini kan
menimbulkan degranulasi mediator. Gejala klinis yang timbul adalah hasil interaksi mediator,
sitokin, dan kerusakan jaringan yang ditimbulkannya.
12
13
c. Darah Tepi
Hitung jenis leukosit dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit infeksi, dan
bila eosinofilia > 5% atau > 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit <5000ml
disertai neutropenia <30% seringkali ditemukan pada alergi makanan.
Hemoglobin dan hematokrit yang rendah sering ditemukan pada alergi susu
sapi oleh karena adanya perdarahan usus, yaitu timbulnya reaksi Arthus (tipe III).
Laju endap darah yang meningkat terdapat pada penyakit infeksi atau autoimun
d. Tes tempel (patch test)
Test tempel kurang bermanfaat dalam penegakan diagnosis karena hanya dapat
mendeteksi reaksi alergi fase lambat yang diperantarai IgE dan reaksi tipe IV. Namun,
apabila tes dilakukan dalam 30 menit, dapat mendeteksi reaksi alergi fase cepat.
Kombinasi tes tempel dengan tes cukit kulit atau pemeriksaan IgE serum spesifik
akan meningkatkan nilai prediksi positif hingga 100% pada kasus alergi susu sapi dan
telur ayam, sehingga tidak diperlukan tes provokasi makanan. Tes ini memiliki
kelemahan, yaitu sulit menjaga keping alergen yang digunakan tetap kontak pada
permukaan kulit, khususnya pada pasien anak.
e. Uji IgE spesifik
Uji ini digunakan untuk mengevaluasi kasus alergi makanan yang diperantarai
IgE. Kelebihan cara ini dibanding tes cukit kulit adalah dapat dilakukan pada pasien
alergi yang tidak dapat berhenti dari pengobatan antihistamin serta jika tes cukit kulit
tidak mungkin dilakukan pada kelainan kulit yang luas. Seperti pada tes cukit kulit,
hasil negatif tes ini dapat menyingkirkan alergi makanan yang diperantarai IgE;
namun, bila positif, tidak memastikan diagnosis. Tes provokasi makanan pada 196
anak pengidap dermatitis atopik sedang sampai berat, dengan konsentrasi IgE spesifik
yang diukur menggunakan Pharmacia CAP System FEIA (kU/I), mendapatkan bahwa
nilai IgE yang tinggi pada makanan tertentu (telur, susu, kacang, dan ikan) akan
memberikan reaksi positif sehingga tidak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut.
f. Intracutaneous progressive dilution food test (IPDFT)
IPDFT
pertama
kali
diperkenalkan
oleh
American
Academy
of
Otolaryngology Allergy (AAOA) tahun 1988 dan menjadikannya protokol untuk tes
penyaring alergi makanan tipe siklik. Tes ini berbeda dari teknik intradermal
14
dilutional testing (IDT) yang biasa dilakukan pada alergen inhalan. IDT merupakan
tes intrakutan pengenceran berganda, umumnya dipakai pengenceran 1:5. Konsentrat
alergen yang disediakan umumnya menggunakan pengenceran 1:20. Pada teknik IDT,
larutan disuntikkan mulai dari konsentrasi terendah, yang secara bertahap dinaikkan
ke konsentrasi lebih tinggi hingga tercapai titer end-point. Titer end-point adalah titik
saat respons negatif berubah menjadi positif. Larutan alergen pada IPDFT
menggunakan pengenceran 1:5. Alergen yang digunakan dengan konsentrasi 1:10
menggunakan pelarut gliserin 50 g/100 mL. Jadi, untuk larutan alergen per tama,
digunakan konsentrasi 1:50. Larutan alergen kedua dengan konsentrasi 1:250, larutan
alergen ketiga dengan konsentrasi 1:1.250, larutan alergen keempat 1:6.250, larutan
alergen kelima 1:31.250, dan larutan alergen keenam menggunakan konsentrasi
1:156.250. Histamin sebagai kontrol positif juga diencerkan seperti ekstrak alergen
(1:5), konsentrasi histamin adalah 0,0275 mg/mL. Sejumlah 3 mL buffered saline
ditambah dengan 2 mL histamin menghasilkan 5 mL sediaan yang ekuivalen dengan
larutan alergen kedua, kemudian sediaan ini diencerkan 5 kali, sehingga diperoleh
larutan alergen ketiga (yang digunakan sebagai kontrol positif ). Sebagai kontrol
negatif, digunakan larutan gliserin yang konsentrasinya sebanding dengan konsentrasi
gliserin dalam larutan alergen. Sebelum tes dilakukan, beberapa ketentuan harus
diketahui oleh klinisi :
Tes tidak boleh dilakukan pada pasien yang diketahui memiliki reaksi alergi tipe
tetap (IgE-mediated).
Tes dilakukan hanya untuk makanan dalam diet sehari-hari. Jika makanan
tersebut jarang dikonsumsi (kurang dari dua kali seminggu), tes tidak diperlukan
15
dengan pengawasan ketat dokter ahli dan harus tersedia sarana penanganan reaksi
anafilaktik. Pasien harus bebas dari pengaruh obat-obatan, antara lain anti-histamin,
kortikosteroid, teofilin dan agonis beta, juga harus bebas dari makanan yang akan
diuji selama 7-14 hari, atau selama 12 minggu pada kasus gangguan gastrointestinal.
Tes provokasi makanan terbagi dalam 3 tahap:
1. Eliminasi
Sebelum eliminasi, penderita harus mengonsumsi makanan yang akan diuji
setiap hari selama 2 minggu. Setelah itu, pasien harus menghindari konsumsi
makanan yang akan diuji selama 4 hari. Pada hari ke-5, dilakukan tes provokasi dalam
keadaan lambung kosong. Pada kasus tertentu, yang melibatkan saluran cerna, seperti
pada gastroesofagitis eosinofilik atau pada coeliac disease, diperlukan waktu
eliminasi yang lebih lama (6 minggu sampai 3 bulan) guna memberi kesempatan bagi
proses penyembuhan mukosa saluran cerna.
2. Provokasi
Pasien diberi makanan yang diduga menimbulkan reaksi alergi. Makanan
harus dalam keadaan murni. Pada alergi tipe tetap, dosis makanan bentuk kering ialah
8-10 g, sementara bentuk cair 100 mL (jumlah tersebut dilipatgandakan untuk
daging/ikan). Untuk kasus yang diduga non-IgE, dosis makanan 0,3-0,6 g/kg berat
badan diberikan dalam dosis tunggal atau dalam 2 dosis terbagi. Ekstrak makanan
diletakkan di mukosa mulut (lipatan mukosa bibir bawah) selama 2 menit untuk
penapisan. Observasi dilakukan terhadap gejala lokal ataupun sistemik. Bercak
eritematosa di daerah pipi dan dagu serta edema bibir yang disertai konjungtivitis atau
rinitis menandakan tes positif. Selama tes provokasi, pasien diobservasi ketat.
Tekanan darah dan nadi diawasi secara kontinu, gejala alergi yang timbul pada saluran
napas, kulit, dan saluran cerna diobservasi dan dicatat minimal pada 2 jam pertama
setelah\ provokasi. Gejala alergi pada saluran napas dapat dinilai secara objektif
menggunakan spirometri.
bevariasi; dapat timbul dalam waktu, seperti pada kasus yang diperantarai IgE, atau
timbul lambat, seperti pada kasus non-IgE (sehingga perlu pemberian makanan secara
kontinu selama 1-3 hari untuk menimbulkan gejala). Pada pasien anak, gejala yang
dapat timbul ialah rasa gatal di palatum, sesak napas, rasa gatal dan kemerahan pada
kulit, menarik-narik telinga karena gatal, atau diare. Apabila gejala klinis timbul, tes
provokasi dihentikan dan pasien diberi pengobatan darurat yang sesuai. Jika reaksi
yang timbul minimal (meragukan), tes dapat diulang keesokan harinya.
17
ditambahkan selama resusitasi. Pada anak-anak tanpa riwayat asam atau anafilaksis dan
reaksi sebelumnya hanay urtikaria, diphenhidramin 1-2 mg/kg maksimum 75 mg dapat
diberikan pada setiap kekeliruan paparan alergen. Sayur mayur bisa dianjurkan sebagai
penggati buah, daging sapi atau kambing sebagai pengganti telur ayam dan ikan.
Makan di restoran kurang aman dan dianjurkan selalu membaca labe bahan-bahan
makanan jika membeli makanan jadi (label reading). Pada bayi yang melakukan eliminasi
makanan yang masih menyusu pada ibu, maka ibu juga harus pentang makanan yang
dipantang bayinya karena alergen bisa ditansfer melalui susu ibu. Bila diet tidak bisa
dilaksanakan maka harus diberikan farmakoterapi.
Farmakoterapi
1. Kromolin, nedokromil
Obat ini dipakai pada penatalaksanaan farmakoterapi terutama pada penderita dengan
gejal asam dan rinitis alergika, dan akhir-akhir ini mengalami kemajuan pesat. Pada
penderita dengan geajala asma ringan dan asma latihan, khasiat anti inflamasi nedokromil
lebih kuat dibanding kromolin invitro, lebih banyak digunakan untuk tujuan pencegahan
sebelum terjadinya serangan sesak. Penggunaan kromolin pada penderita alergi makanan
dengan beberapa geja gastrointestinal sangat efektif. Pengobatan dimulai pada waktu
penderita masih melakukan diet eliminasi. Kromilin juga efektif untuk gejala kulit pada
dermatitis atopik yang disebabkan alergi makanan, sedangkan peneliti lain mendapatkan
bahwa kromolin baik untuk mengatasi gejala gastrointestinal karena alergi susu sapi,
tetapi tidak bisa mengatasi gejala ekstraintestinal.
2. Glukokortikoid
Digunakan sebagai antiinflamasi pada penderita alergi makanan dengan gejala
terutama asma. Pada asma akut tidak diperlukan kecuali pada penderita yang tergantung
steroid atau dalam pengobatan steroid sebelumnya. Pe,berian prednison 5-7 hari akan
mempercepat penyumbuhan asam akut dan tidak berbahaya.
Pada keadaan lain, setiap steroid oral dipakai pada asma akut dengan indikasi sebagi
berikut : gajala dan PEF makin hari makin memburuk, PEF kurang dari 60%, gangguan
asma malam dan menetap pada pagi hari, penggunaan bronkodilator lebih dari 4 kalu per
hari, serta penderita yang memerluka nebulizer dan bronkodilator parenteral darurat.
Preparat oral yang dipakai adalah: metil prednisolon, prednisolon dan prednison.
Prednison diberikan sebagai loadi ng dose 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari samapi
keadaan stabil kira-kira 4 hari, kemudian diturunkan dalm 4-10 hari. Steroid parenteral
19
digunakan untuk penderita alergi makanan dengan gejala status asmatikus. Preparat yang
digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis
tiap 406 jam samapi kegawatan dilewati, diikuti denagn rumatan prednison oral.
Kortikosteroid hirupan digunakn pada asma dan rinitis alergika.
3. Agonis beta adrenergik
Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus. Agonis-2
Dermatitis atopik akan berkurang pada usia 12 tahun akan tetapi ada kemingkinan
organ sasaran berpindah karena 50-805 anak ini akan mengalami rinitis alergik dan asma.
Alergi makananb yang mulai pada usia 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih baik karena
ada kemungkinan kurang lebih 40% dari mereka akan mengalami grow-out. Anak yang
mmengalami alergi pada usia 15 tahun ke ats cenderung untuk menetap, tetapi toleransi
terhadap susu, telur, dan kedelai cukup sering dijumpai.
2.8 Pencegahan Alergi Makanan
Masa bahaya terhadap kepekaan adalah empat sampai enam bulan pertama, jadi
tundalah penyapihan dan teruskan memberi ASI atau susu formula selama masa ini.
Bayi anda akan mendapat semua nutrisi yang dibutuhkan dari ASI atau susu formula
sampai usianya enam bulan.
Perkenalkan bayi pada makanan padat satu demi satu. Beri jarak waktu beberapa hari
untik setiap jenis makanan baru agar anda dapat mengeceknya bila suatu reaksi alergi.
Jika alergi mengenai keluarga anda, perhatikan saat pengenalan selai kacang dan
makanan lain dari kacang.
Hindari bayi dari bahan-bahan yang dapat menimbulkan alergi, seperti asap, rokok,
debu ruam, sebuk sari, dan binatang piaraan.
Formula Khusus
Jika bayi alergi terhadap susu sapi dan kita tidak dapat memberinya ASI, coba gunakan susu
bayi dari kacang kedelai. Susu ini juga diberikan pada bayi yang tidak tahan terhadap laktosa.
Sayangnya, kedelai sendiri jadi pencetus alergi. Selama masa penyapihan, susu kacang
kedelai dapat diberikan sebagai minuman dalam cangkir.
21
Susu formula dari kacang kedelai mengandung gula bukan dari susu. Waspadalah
kesehatan gigi bayi dan jangan berikan susu dalam botol setelah usianya satu tahun.
Hindari pemberian susu formula diantara waktu makan dan waktu tidur.
Susu kedelai biasanya (bukan susu kedelai bayi), tidak boleh diberikan pada bayi
yang sedang disapih karena tidak mengandung cukup kalori, vitamin, dan kalsium
Ada pula susu bayi yang menggunakan protein susu sapi yang telah dimodifikasi
secara khusus untuk bayi yang punya kecenderungan alergi.
Susu domba atau kambing terkadang dianggap kurang menimbulkan alergi. Namun
belum ada bukti ilmiah tentang hal ini. Dalam keadaan apapun, sebaiknya jangan
berikan susu ini pada bayi di bawah usia satu tahun karena susu ini tidak mengandung
cukup nutrisi penting seperti Vitamin A, D, asam folat dan zat besi.
22
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Permasalahan alergi pada anak tampaknya tidak sesederhana seperti yang
diketahui. Sering berulangnya penyakit, demikian luasnya sistem tubuh yang terganggu
dan bahaya komplikasi yang terjadi termasuk pengaruh ke otak dan perilaku pada anak.
Pengaruh alergi makanan ke otak tersebut adalah sebagai salah satu faktor pemicu dalam
memperberat penyakit Autisme. Eliminasi makanan tertentu dapat mengurangi gangguan
perilaku pada penderita Autisme. Selain mengidentifikasi penyebab alergi makanan, kita
harus mengenali pemicu alergi.Penanganan terbaik pada penderita alergi makanan adalah
dengan menghindari makanan penyebabnya, pemberian obat-obatan anti alergi,
mengenali secara cermat gejala alergi dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya.
3.2 Saran
Perlunya pengetahuan tentang alergi makanan, agar orangtua atau penderita dapat
menghindari bahan-bahan saja yang dapat menjadi pemicu terjadinya alergi dan bahaya
yang ditimbulkan. Sehingga kejadian alergi dapat diminimalisirkan.
23
DAFTAR RUJUKAN
Aas K. Fish Allergy and the codfish allergen model. In: Brostoff J; Challocombe SJ, eds.
Food Allergy And Intolerance. London: Bailliere Tindall; 1987.p.156-66.
Akib, Arwin AP. dkk., 2010. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta : Badan Penerbit
IDAI
Bischop JM, Hill D, Hosking CS. Natural history of Cows milk allergy: Clinical outcome. J
Pediatr 1990;117:561-7.
Bock SA, Atkins FH. Patterns of food hypersensitivity during sixteen years of double blind
placebo controlled food challenges. J Pediatr 1990,117:561-7.
Broadbent Jb, Taylor S, Sampson HA. Cross Allergenicity in the legume botanical family in
children with food hypersensitivity. J Allergy Clin Immunol 1989; 84:701-9.
Brostoff J, Challocombe SJ. Food allergy and tolerance. London: Balliere; 1987.
Businco L, Bruno G, Giampietro PG, Cantani A. allergenicity and nutrional adequacy of soy.
24
25