Anda di halaman 1dari 17

ALERGI MAKANAN PADA ANAK

Raissa Eunike Oslin


Pembimbing: Dr. Fitriani, Sp.KK
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
FK Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Palembang 2017

PENDAHULUAN
Alergi makanan merupakan suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan. The American of Allergy
and Immunology and the National Institute of Allergy and Infectious Diseases (National
Institutes of Health=NIH) menetapkan beberapa istilah untuk alergi makanan. Reaksi yang
tidak diinginkan terhadap makanan, disebut juga reaksi simpang makanan (adverse food
reaction) adalah istilah umum yang dipakai untuk menyatakan reaksi yang timbul setelah
memakan sesuatu makanan. Reaksi alergi makanan adalah reaksi simpang makanan akibat
respons imunologik yang abnormal, sedangkan intoleransi makanan akibat mekanisme non
imunologis.1
Sebagian besar alergi makanan dasarnya adalah reaksi hipersensitivitas tipe I yang
diperankan oleh antibodi IgE spesifik. Reaksi alergi makanan dapat juga didasari oleh non
IgE, seperti pada trombositopenia akibat alergi susu sapi yang diperankan oleh reaksi antigen
antibody - dependent cytotoxic (reaksi hipersensitivitas tipe II), dan reaksi kompleks antigen
antibodi (reaksi hipersensitivitas tipe III) dan reaksi imunologik lain seperti terdapat anti IgA
gliadin antibodi pada penyakit Celiac. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (reaksi
hipersensitivitas tipe IV) gejalanya timbul setelah beberapa jam sampai beberapa hari
kemudian dan sering memberikan gejala pada saluran cerna. Sampai sekarang sulit
membuktikan patogenesis alergi makanan yang disebabkan hipersensitivitas tipe II dan tipe
III. Diperkirakan sebagian besar alergi makanan didasari oleh reaksi hipersensitivitas tipe I
yang diperankan oleh IgE dan reaksi hipersensitivitas tipe IV atau kombinasi dari keduanya.2,3
Sebagian besar reaksi simpang makanan tergolong intoleransi makanan. Contohnya
kontaminasi toksik histamin yang dihasilkan ikan, toksin dari Salmonella atau Shigella, reaksi
farmakologis terhadap kafein dalam kopi, tiramin dari keju, reaksi metabolik pada defisiensi
enzim laktase dan reaksi idiosinkrasi akibat gangguan psikis.
Reaksi alergi makanan lebih sering terjadi pada usia tahun pertama kehidupan seorang
anak. Di Poliklinik Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo
terdapat 4,6% alergi makanan selama kurun waktu 9 tahun. Dan dari 18 anak alergi susu sapi,

1
13 di antaranya berusia di bawah 1 tahun.4,5 Referat ini disusun untuk menambah informasi
bagaimana mendiagnosis dan memberikan terapi yang tepat pada alergi makanan.
DEFINISI
Pada tahun 1906, von Pirquet mengusulkan istilah allergie untuk suatu keadaan
respons imun yang menyimpang dari respon imun yang biasanya protektif. Istilah tersebut
berasal dari bagasa Yunani yang terdiri atas 2 akar kata: allos = yang lain; dan ergon = kerja.
Dengan istilah alergi, fenomena tersebut akan mencakup semua keadaan penderita yang
bermanifestasi dari respon imun yang biasa.6
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
system organ tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan.7,8 Alergi makanan
juga diartikan sebagai suatu kondisi dimana system imun tubuh secara salah atau tidak tepat
mengidentifikasi protein yang terdapat pada makanan dan atau bahan pelengkap makanan
sebagai benda asing (alergen) dan melepaskan bahan-bahan kimia ke dalam darah sebagai
respon pertahanan tubuh. Akibat dari pelepasan bahan-bahan kimia tersebut, menimbulkan
reaksi alergi. Secara singkat, alergi makanan adalah reaksi imun yang merugikan terhadap
makanan.8
Istilah alergi makanan perlu (food hypersensitivity) dibedakan dengan intoleransi
makanan (food intolerance atau food sensitivity).6
The American Academy of Allergy and Immunology dan The National Institute of
Allergy and Infectious Disease membuat batasan mengenai reaksi simpang makanan,
alergi makanan, dan intoleransi makanan :
1. Reaksi Simpang Makanan
Reaksi simpang makanan adlaah suatu istilah umum untuk reaksi yang tidak
diinginkan terhadap makanan. Reaksi tersebut bisa merupakan reaksi sekunder
terhadap alergi makanan atau intoleransi makanan.
2. Alergi Makanan
Alergi makanan adalah reakasi iunologik yang menyimpang, sebagian besar reaksi
ini melalui reaksi hipersensitivitas tipe 1.
3. Intoleransi Makanan
Intoleransi makanan adalah reaksi nonimunologik dan merupakan sebagian besar
penyebab reaksi yang tidak diiginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan
oleh zat yang terkandung dalam makanan seperti kontaminan toksik (misalnya
histamine pada keracunan ikan, toksin yang disekresi oleh salmonella, shigela, dan

2
kampilobakter), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan (misalnya kafein
pada kopi, tiramin pada keju), atau kelainan pada penjamu sendiri,misalnya
gangguan metabolism pada defisiensi lactase dan maltase.6

EPIDEMIOLOGI
Reaksi alergi makanan lebih sering terjadi pada usia tahun pertama kehidupan
seorang anak. Di Poliklinik Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto
Mangunkusumo terdapat 4,6% alergi makanan selama kurun waktu 9 tahun. Dan dari 18 anak
alergi susu sapi, 13 di antaranya berusia di bawah 1 tahun.4,5
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Oehling et al. dalam
Prawirohartono pada 400 anak umur 3-12 tahun didapatkan data bahwa 60% penderita alergi
makanan adalah perempuan dan 40% laki-laki. Pola makan (eating habits) juga memberi
pengaruh terhadap reaksi tubuh, contohnya populasi di Skandinavia sering menderita alergi
terhadap ikan. Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5-11%.7

ETIOPATOGENESIS
Peran IgE
Kegagalan tubuh untuk dapat mentoleransi suatu makanan akan merangsang imunoglobulin E
(IgE), yang mempunyai reseptor pada sel mast, basofil dan juga pada sel makrofag, monosit,
limfosit, eosinofil dan trombosit dengan afinitas yang rendah. Ikatan IgE dan alergen makanan
akan melepaskan mediator histamin, prostaglandin dan leukotrien dan akan menimbulkan
vasodilatasi, kontraksi otot polos dan sekresi mukus yang akan menimbulkan gejala reaksi
hipersensitivitas tipe I. Sel mast yang aktif akan melepaskan juga sitokin yang berperan pada
reaksi hipersensitivitas tipe I yang lambat. Bila alergen dikonsumsi berulang kali, sel
mononuklear akan dirangsang untuk memproduksi histamin releasing factor (HRF) yang
sering terjadi pada seorang yang menderita dermatitis atopi.3

Peran Non IgE


Banyak dilaporkan bahwa mekanisme imun yang lain. selain reaksi hipersensitivitas tipe I)
dapat sebagai penyebab alergi makanan, namun bukti secara ilmiah sangat terbatas.
Dilaporkan bahwa penelitian membuktikan reaksi hipersensitivitas tipe III berperan, tapi
sedikit bukti yang menyokong penyakit kompleks imun antigen makanan. Reaksi

3
hipersensitivitas tipe IV timbul beberapa jam kemudian, tetapi bukti yang pasti juga belum
cukup.
GAMBARAN KLINIS
Manifestasi alergi makanan tipe IgE dapat bermacam - macam, tergantung dari tempat
dan luas degranulasi sel mast, mulai dari urtikaria akut sampai reaksi anafilaksis yang fatal.4
Organ target yang sering terkena adalah kulit, saluran cerna, saluran napas atas, bawah
dan sistemik. Hill, dkk.8 membagi alergi susu sapi menjadi 3 kelompok yaitu:

 Kelompok I: Awitan timbul beberapa menit setelah memakan makanan yang


jumlahnya sedikit. Gejala biasanya berupa urtikaria, angioedema, eksaserbasi eksema
dan gejala saluran napas. Uji kulit positip, kadar IgE spesifik tinggi.

 Kelompok II: Awitan timbul beberapa jam setelah memakan makanan yang jumlahnya
cukup banyak. Gejala pada saluran cerna berupa muntah dan diare. Uji kulit negatif
dan kadar
IgE spesifik negatif. Kelompok ini disebut intoleran protein susu sapi atau enteropati
susu sapi.

 Kelompok III: Awitan timbul lebih lama sampai setelah 20 jam kemudian dan jumlah
yang
diminum sangat banyak. Gejala muntah, diare, gejala saluran napas dan eksaserbasi
eksema. Uji kulit kadang dapat positif pada pasien dengan eksema kulit.

Erythematotelangiectatic Rosacea (ETR)


ETR ditandai eritem yang menetap pada wajah dan flushing diikuti telangiektasis,
edema pada sentral wajah, perasaan seperti terbakar atau tersengat, wajah menjadi kasar, atau
kombinasi dari tanda dan gejala ini. Fase awal subtipe ini adalah kemerahan yang bersifat
rekuren akibat berbagai macam stimulus seperti stres emosional, minuman panas, alkohol,
makanan pedas, latihan fisik, dan cuaca panas atau dingin (Gambar 1a). Seiring berjalannya
waktu, kemerahan timbul dalam durasi lebih lama hingga menjadi permanen. Timbul rasa
terbakar dan menyengat, edema pada area wajah berbentuk cembung, dan kadang disertai
pengelupasan (Gambar 1b). Telangiektasis akan terbentuk pertama kali di ala nasi, kemudian
pada hidung dan pipi. Pada ETR dibagi menjadi subtipe ringan, sedang dan berat.1,2,10

4
Papulopustular Rosacea (PPR)
Subtipe ini bermanifestasi dengan eritem persisten di daerah sentral wajah dengan
papul dan pustul yang dominan pada area wajah berbentuk cembung. Riwayat flushing
terdapat di sebagian besar pasien, namun gejala iritasi tidak menonjol pada subtipe ini. Derajat
subtipe dibagi menjadi derajat ringan, sedang, dan berat. Rasa terbakar dan menyengat pada
wajah juga ditemukan pada subtipe ini, tetapi tidak seberat subtipe ETR (Gambar 2a). Pada
kedua subtipe (ETR dan PPR), eritem dapat menyebar sampai area periorbital. Edema dapat
bersifat ringan atau berat. Edema yang berat memberikan gambaran morfologi berupa plak
yang padat pada wajah, paling sering terjadi di dahi, glabella, sedikit mengenai kelopak mata
dan pipi bagian atas (Gambar 2b).1,3

Phymatous
Rosasea phymatosa memiliki karakteristik yakni penebalan kulit, nodul, kontur
permukaan yang ireguler pada area wajah yang cembung (Gambar 3a). Pima sering muncul
di hidung (rhinophyma), tetapi juga terbentuk di dagu (gnathophyma), dahi (metaphyma),
kelopak mata (blepharophyma), dan telinga (otophyma). Wanita yang menderita rosasea tidak
terbentuk pima. Subtipe ini juga dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat (Gambar 3b).1

A B

Gambar 1. a. Subtipe Eritemtotelangiektasis, ringan. b. Subtipe Eritemtotelangiektasi, berat.1

5
A B

Gambar 2. a. Tipe papulopustul ringan b. Tipe papulopustul berat.1

Rosasea okuler
Rosasea okuler dapat muncul sebelum gejala kutan
eus pada 20% kasus rosasea. Separuh pasien baru mendapat gejala okuler setelah
muncul gejala pada kulit. Gejala kulit dan mata timbul secara simultan di sejumlah kecil
kasus. Derajat keparahan rosasea okuler tidak berkaitan dengan rosasea kulit.1
Manifestasi rosasea okuler adalah blefaritis, konjungtivitis, iritis, skleritis, hipopion,
keratitis, neovaskularisasi kornea, ulserasi kornea dan ruptur kornea. Blefaritis adalah
manifestasi klinis yang sering ditemukan, ditandai eritem pada tepi kelopak mata, terkelupas,
dan terbentuk krusta, pada beberapa kasus ditemukan kalazion dan infeksi stafilokokus karena
disfungsi glandula meibom (Gambar 4). Gejala lain yang dapat ditemukan adalah fotofobia,
nyeri, rasa terbakar, gatal, dan sensasi seperti ada benda asing di mata. Untuk kasus yang
berat, keratitis rosasea dapat menyebabkan kebutaan.1,11

A B

6
Gambar 3. a. Subtipe phymatosa, tipe sedang dengan penebalan kulit, nodul dan kontur
permukaan yang ireguler. b. Rinofima berat1

Gambar 4. Subtipe okuler, berat. Pasien mengalami blefaritis, konjungtivitis dan keratitis1

Selain keempat subtipe rosasea di atas, terdapat varian rosasea, yaitu rosasea
granulomatous dan rosasea glandular. Rosasea granulomatous memiliki gambaran histologi
berupa formasi granuloma, dengan gambaran klinis papul/nodul merah atau kuning coklat
monomorfik berukuran sama, serta berlokasi pada pipi dan kulit di antara kulit wajah
periorifisium (Gambar 5). Pada uji diaskopi, papul ini akan menunjukkan perubahan warna
seperti apel-jelli sama seperti pada sarkoidosis atau lupus vulgaris. Tidak ada kelainan pada
kulit sekitar.1,2

Gambar 5. Rosasea granulomatousa1

DIAGNOSIS
Diagnosis rosasea ditegakkan berdasarkan adanya satu atau lebih gambaran klinis
(Tabel 2). Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi

7
rosasea. Pemeriksaan biopsi dilakukan hanya untuk menyingkirkan diagnosa alternatif, namun
gambaran histopatologi yang didapat tidak bersifat diagnostik.1,10,12
Pada tahap awal atau stadium 1 rosasea dimulai dengan timbulnya eritem tanpa sebab
atau akibat sengatan matahari. Eritem menetap diikuti timbulnya beberapa telangiektasis.
Pada stadium 2 diselingi episode akut menyebabkan timbulnya papul, pustul dan edema,
terjadilah eritem persisten dan banyak telangiektasis, papul dan pustul. Pada stadium 3 terlihat
eritem persisten yang dalam, banyak telangiektasia, papul, pustul, nodul, dan edema.1,10,12
Tabel 2. Pedoman Diagnosis Rosasea
Gambaran Primer (satu atau lebih)
Kemerahan (eritema yang bersifat sementara)
Eritema yang tidak bersifat sementara
Papul dan pustul
Telangiektasi
Gambaran Sekunder (satu atau lebih)
Terbakar atau menyengat
Plak
Kering
Edema
Gejala pada mata
Lokasi perifer
Perubahan phymatosa

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik rosasea yaitu
papul/pustul wajah dan flushing atau eritem.13
Papul atau pustul pada wajah
Papul atau pustul adalah salah satu karakteristik primer rosasea dan sering terjadi pada
rosasea subtipe ETR dan PPR. 1,4
Akne vulgaris
Dapat terjadi pada umur remaja, kulit seboroik, terdapat komedo, papul, pustul, nodus,
kista (Gambar 6). Tempat predileksi muka, leher, bahu, dada, dan punggung bagian atas.
Tidak ada telangiektasis.13

8
Gambar 6. Akne Vulgaris13

Dermatitis perioral
Terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan dagu, polimorfik tanpa
telangiektasis dan ada keluhan gatal (Gambar 7).13

Gambar 7. Dermatitis perioral13

Flushing atau eritem pada wajah


Flushing adalah salah satu tanda dan gejala awal pada rosasea, dan hampir seluruh
subtipe dari rosasea mengalami flushing.
Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik sering terjadi bersamaan dengan rosasea, tetapi yang
membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat skuama berminyak dan agak gatal
dengan predileksi retroaurikular, alis mata, dan sulkus nasolabialis (Gambar 8).13

9
Gambar 8. Dermatitis seboroik pada wajah. Terlihat eritem dan skuama kekuningan pada dahi ,
pipi, sulkus nasolabialis dan dagu13
Lupus Eritemtosus Sistemik
Meskipun SLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun klinis terlihat eritem dan
atrofi pada pipi dan hidung dengan batas tegas dan berbentuk kupu-kupu (Gambar 9).13

Gambar 9. SLE nampak gambaran eritem pada kedua pipi yang memberi gambaran mirip kupu-kupu13

Dermatomiositis
Dermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik yang menyerang kulit
dan atau otot rangka. Dermatomiositis ditandai edema dan inflamasi periorbita, eritem pada
wajah, leher, dan bagian atas tubuh (Gambar 10).13

Gambar 10. Dermatomiositis. Terdapat eritem dan edema pada wajah, terutama pada daerah
sekitar mata13

KOMPLIKASI

10
Rosasea dalam waktu yang lama dapat menyebabkan berbagai komplikasi, meliputi
limpoedema yang merupakan kondisi yang jarang mengenai area wajah dan telinga,
komplikasi pada mata, dan juga pada kelenjar saliva.1,4,15

TATALAKSANA
Sebelum memberikan terapi terhadap pasien, faktor pencetus yang spesifik dari
terjadinya rosasea harus dapat diidentifikasi (Gambar 11). Memberikan edukasi kepada
pasien untuk mencegah terjadinya stress, atau melakukan pencegahan yaitu pemberian tabir
surya, penggunaan topi, menghindari terik matahari, serta menghindari penggunaan produk-
produk iritan.1,14,15
Topikal
Metronidazol gel atau krim 0,75%.
Bentuk gel adalah yang paling efektif untuk papul dan pustul rosasea. Obat ini bekerja
sebagai antibakteri dan anti inflamasi. Metronidazol dapat menghambat spesies oksigen
reaktif oleh neutrofil.1,4

Asam azeleat krim 20% atau gel 15%.


Obat ini juga bertindak sebagai antibakteri dan anti inflamasi. Preparat ini dapat
digunakan dua kali sehari sebagai terapi inisial atau maintenanace. 1,4

Tanda Primer Tanda Sekunder Asesmen pasien Pencetus


- kemerahan - rasa terbakar - fisik - panas/dingin
- eritem yang persisten - kulit kering - psikososial - angina
- papul dan pustul - edema/plak - social - minuman panas
- telangiektasis - eritem di perifer - pekerjaan - makanan pedas
- tanda okuler - respon terhadap terapi - olahraga
- phymatosa - alkohol
- emosi
- iritan topikal
- obat

Hasil penilaian subtipe

Eritematelangiektasis Papulopustular Phymatosa Okuler


11
Gambar 11. Terapi dan Diagnosis Tiap Subtipe Rosasea1

Sodium Sulfasetamid krim 10% + sulfur 5%


Preparat ini menghasilkan efek antibakteri dan keratolitik. Penggunaan yang
dianjurkan 2 kali sehari. Kontraindikasi pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap
sulfonamid dan sulfur.1,4

Adapalene
Adapalene ialah derivat Neftoic acid terbaru dengan aktivitas retinoid acid reseptor
agonis dan anti inflamasi yang poten. Adapalene terbukti aman sebagai penatalaksanaan
topikal untuk akne dan kulit yang teriritasi. Adapalene gel 0,1% berefek kuat pada papul dan
pustul tapi kurang signifikan pada eritem dan telangiektasis.1,4

Sistemik
Tetrasiklin
Pemberian tetrasiklin 250 mg 2 kali sehari, atau eritromisin 250 mg 2 kali sehari diberikan 2
sampai 4 bulan baik digunakan untuk terapi awal. Tetrasiklin dapat dengan cepat mengurangi
papul, pustul dan eritem dibandingkan dengan isotretinoin. Pada 1 dari 4 pasien mengalami
relaps setelah 1 bulan off dari tetrasiklin. Karena itu, terapi topikal dianjurkan untuk diberikan
juga.1,4

Isotretinoin

12
Isotretinoin diberikan 10-60mg/hari adalah terapi alternative pada rosasea yang telah
resisten. Tidak hanya mengurangi inflamasi tapi juga meningkatkan kualitas hidup, bahkan
dapat mengurangi rinofima. Biasanya diberikan dengan dosis rendah karena dapat
menyebabkan gangguan pada mata.1,4

Pembedahan
Umumnya rinofima pada rosasea dapat ditatalaksana dengan pembedahan. Eksisi atau
ablasi krioterapeutik seperti halnya bedah listrik, laser CO2, bedah skalpel, dan dermabrasi
merupakan metode yang efektif. Terapi ini dapat menghilangkan telangiektasis,
mengurangi atau menghilangkan eritem, mengurangi jumlah papul, dan memperpanjang masa
remisi dari penyakit ini. Namun terapi ini mahal dan memiliki efek samping berupa transien
eritem, edema, purpura, diskromia, dan yang jarang adalah skar.1

PROGNOSIS
Rinofima biasanya berkembang secara progresif dan pada pengobatan bedah kulit
sering rekurens. Kecenderungan ke arah keganasan dapat terjadi pada kurang dari 10% kasus.2

KESIMPULAN
Rosasea adalah penyakit kulit kronis pada daerah sentral wajah ditandai kemerahan
pada kulit dan telangiektasis disertai erupsi papul, pustul, dan edema yang bertahan selama
beberapa bulan atau lebih. Predileksi tersering adalah di hidung, pipi, dagu, alis, dan dahi.
Diagnosis banding rosasea adalah akne vulgaris, dermatitis seboroik, dermatitis perioral dan
SLE. Komplikasi yang ditimbulkan oleh rosasea antara lain rinofima, inflamasi okular, dan
rosasea limfadema. Terapi yang diberikan berupa topikal, sistemik, dan dapat dilakukan
pembedahan. Umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui episode akut. Namun
adapula yang remisi secara spontan.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis I,Yunihastuti E. Allergi Makanan.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,


Internal Publishing, Juli 2014;VI:507-512.
2. Bock SA. Prospective appraisal of complaints of adverse reaction to foods in children
during the first 3 years of life. Pediatrics 1987; 79:683-8.
3. Burks Wesley A. Childhood food allergy. Immunol and Allergy Clin North Amer
1999; 19:397-407.
4. Sampson HA. Food allergy. JAMA 1997; 278:1888-94. Siregar P Sjawitri. Faktor
atopi dan asma bronkial pada anak. Dipresentasikan pada simposium alergi saluran
napas pada anak informasi terkini. Jakarta, Oktober 1999.

14
5. Siregar P Sjawitri, Ida Mardiati, Akib Arwin. Cows milk allergy. Paediatr Indones
1999; 39:83-7.
6. Woodroff TJ, Axelrad DA, Kyle AD. Trends of disease in the childhood. Pediatric
2004; 113; 1133-40
7. Prawirohartono EP. Makanan sebagai Penyebab Alergi dalam Alergi Makanan, ed.
Djuffrie. Yogyakarta Gadjah Mada Universitas Press; 2001.
8. Hill DJ, Hasking CS. Emerging disease profiles in infants and young children and
young children with food allergy. Pediatr Allergy Immunol and Allergy Clin North
Amer 1999; 19 : 463-77.
9. Helen E. Cox. Food Allergy as Seen by an Allergist. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition. 2008; 47:S45-S48.
10. Vickery P. B, Chin S, and Burks A. W. Pathophysiology of Food Allergy, Pediatr
Clin North;2011.
11. Sicherer. H.S, Sampson.A.H. Food Allergy Recent Advances in Pathophysiology and
Treatment, Annu. Rev. Med. 2009. 60:261–77.
12. Wang .J , Sampson A.H, Food allergy, The Journal of Clinical Investigation.2011
March;Vol 121(3):827-835.
13. Jyonouch. Harumi, Non-IgE Mediated Food Allergy, Inflammation & Allergy - Drug
Targets. 2008, Vol. 7(3)
14. Nowak Anna, George Konstantinou. Non IgE Mediated Food Allergy: FPIES Curr
Pediatr Rep .2014 2:135–143
15. James JM. Respiratory manifestations of food allergy. Pediatrics. 2003 Jun.
111(6):1625-30.
16. Weber RW. Food additives and allergy. Ann Allergy. 1993 Mar. 70(3):183-90.
17. James JM, Eigenmann PA, Eggleston PA, Sampson HA. Airway reactivity changes in
asthmatic patients undergoing blinded food challenges. Am J Respir Crit Care Med.
1996 Feb. 153(2):597-603.
18. Kristen D. Jackson, LaJeana D. Howie,Lara J. Akinbami. Trends in Allergic
Conditions Among Children: United States, 1997-2011.
19. O Palomares, The Role of Regulatory T Cells in IgE-Mediated Food Allergy : J
Investig Allergol Clin Immunol 2013; Vol. 23(6): 371-382
20. We.Nowak A, Grzyn, Yitzhak Katz, et al. Non– IgE-mediated gastrointestinal food
allergy, American Academy of Allergy, Asthma & Immunology, Journal Allergy clin

15
Immunology Volume 135,2015
21. Spergel. M. Jonathan. Nonimmunoglobulin E–
Mediated Immune Reactions to Foods, Allergy, Asthma, and Clinical Immunology
2006; Volume 2
Pelle MT. 2012. Rosacea. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th edition. New
York: McGraw Hill.
1. Wasitaatmadja SM. 2010. Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea, Rinofima. Dalam:
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. James WD, Berger TG, Elston DM. 2016. Hansen’s Disease. Andrews’ Disease of the
Skin; Clinical Dermatology. 12th ed. Philadelphia; Elsevier Inc.
3. Burns T, Stephen B, Neil C, dan Christopher G. 2010. Rook’s Textbook of
Dermatology. UK: Wiley-Blackwell
4. Bolognia JL, Joseph LJ, Ronald RP. 2008. Bolognia: Dermatology, 2nd Edition.
Edinburgh: Elsevier
5. Udo Herz. Immunological Basis and Management of Food of Allergy. Journal of
Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2008; 47: S54-S57
6. Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. Feb 2010;125(2
Suppl 2):S116-25
7. Bodo Niggenann, Kirsten Beyer.Diagnosis of Food Allergy in Children: Toward a
Standardization of Food Chalange. Journal of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition. 2007; 45; 399-404
8. Mehl A, Rolinck-Werninghaus C, Staden U, et al. The atopy patch test in the
diagnostic work-up of suspected food related symptoms in children. J Allergy Clin
Immunol 2006;118:923–9.
9. Vemuri RC, Rohit G, Shamala DS, Rishya M. 2015. Major Pathophysiological
Correlations of Rosacea: A Complete Clinical Appraisal. Int. J. Med. Sci. 12:5. Hal
387-388
10. Wilkin J, Chair, Dahl M, Detmar M, Drake L, Liang MH, et al. 2004. Standard
grading system for rosacea: Report of the National Rosacea Society Expert Committee
on the Classification and Staging of Rosacea. J Am Acad Dermatol.

16
11. Frankel DH. 2006. Field Guide to Clinical Dermatology, 2nd Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.
12. Vela, Angelica VT, Sunarso S. 2010. Klasifikasi Baru dan Patogenesis Rosasea. FK
UNAIR. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 22:2. Hal 127-128
13. Cowell FC. Rosacea. England: The New England Journal of Medicine; 2005.
14. Randleman JB. Roy H, editor. Occular Rosacea Clinical Presentation. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1197341. Accessed on September 25th,
2016.
15. Jarmuda S, O’Reilly N, Zaba R, et al. The Potential Role of Demodex folliculorum
Mites and Bacteria in the Introduction of Rosacea. Poland: Journal of Medical
Microbiology Papers in Press. Published August 29, 2012.
16. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology, 6th edition. New York: McGraw Hill. 2009
17. Sterry W, Ralf P, dan Walter B. 2006. Thieme Clinical Companions Dermatology.
Germany: Georg Thieme Verlag.
18. Hall JC. 2006. Sauer’s Manual of Skin Diseases, 9th Ed. Missouri: Lippincott
Williams&Wilkins.

17

Anda mungkin juga menyukai