PENDAHULUAN
Terpeliharanya keutuhan genom dari semua organisme hidup selalu terancam dengan agen
agen eksogen dan endogen yang merusak DNA. Agen agen eksogen yang merusak DNA
termasuk agen agen fisik, seperti sinar ultraviolet (UV) atau radiasi ionisasi, dan bermacam
macam agen kimia seperti komponen komponen pada asap rokok. Kerusakan endogen DNA
timbul dari proses metabolik regular di dalam sel, dimediasi, sebagai contoh, oleh jenis oksigen
reaktif. Mempertahankan stabilitas genom adalah sangat penting untuk semua organisme hidup.
Oleh karena itu, sejak evolusi pertama, semua organisme mulai dari prokariotik sampai
eukariotik telah dilengkapi dengan mekanisme mekanisme yang bereaksi memperbaiki
kerusakan DNA untuk mempertahankan stabilitas genomik. Jenis jenis kerusakaan yang
dihasilkan berupa perubahan dalam struktur nukleotida, putusnya untaian DNA, DNA yang
menyilang, dan penambahan DNA. Jenis jenis agen perusak DNA yang berbeda mempengaruhi
jenis kerusakan DNA yang berbeda beda (tabel 109-1) yang pada prosesnya memerlukan
respon dan jalur perbai kan yang berbeda (tabel 109-2).
Jika kerusakan DNA tidak diperbaiki secara adekuat, dapat menyebabkan perubahan
fungsi sel, kematian sel, atau pembentukan mutasi (perubahan rangkaian DNA) pada sel yang
rusak. Mutasi yang dipicu kerusakan DNA ini akan menetap selama sel yang terserang masih
hidup. Pada tingkat selular, mutasi pada gen gen vital dapat menyebabkan perubahan fungsi sel
atau keganasan. Akumulasi dari mutasi dapat menyebabkan disfungsi organ, penuaan dan
kanker. Meskipun kebanyakan kerusakan DNA membutuhkan perbaikan secara adekuat, biar
bagaimanapun tidak ada respon selular yang 100 persen efektif dalam memperbaiki semua
kerusakan DNA yang terjadi.
Kegagalan dari
kerusakan DNA menyebabkan ketidakstabilan gen dan peningkatan jumlah bentuk mutasi.
Banyak kelainan bawaan yang ditandai dengan instabilitas genom seperti itu. Namun tidak
semua dari instabilitas genom tersebut berhubungan dengan peningkatan risiko kanker dan/atau
proses penuaan yang dipercepat.
Paparan kulit terhadap sinar UV memiliki efek efek selular dan efek klinis, termasuk
peningkatan risiko kanker kulit. Kejadian kaskade fotokarsinogenesis (gambar 109-1)
menunjukkan hubungan instabilitas genom, perbaikan DNA dan kanker. Sinar UV menyebabkan
suatu jenis kerusakan DNA yang melibatkan generasi dari fotoproduk - fotoproduk dimana
perubahannya di dalam struktur nukleotida. Fotoproduk - fotoproduk DNA yang terbesar adalah
cyclobutane pyrimidine dimers (CPDs; gambar 109-2) dan 6,4 pyrimidine pyrimidone
dimers. CPDs dan 6,4 pyrimidine pyrimidone dimers yang tidak diperbaiki dapat
mengakibatkan mutasi yang khas : mutasi substitusi single base C ke T dan tandem base CC ke
2
TT. Mutasi seperti itu khas untuk paparan sinar UV dan jarang hanya dipicu oleh mutagen
mutagen lain. Oleh karena itu diberi istilah UV-signature mutations.
Perbaikan DNA adalah suatu mekanisme pertahanan selular yang penting untuk
mencegah pembentukan mutasi pada DNA yang rusak setelah paparan sinar UV. Akan tetapi hal
ini bukanlah satu satunya mekanisme pertahanan (gambar 109-1). Kebanyakan mutasi terjadi
pada saat replikasi DNA yang rusak. Oleh karena itu, penghentian siklus sel yang dipicu suatu
kerusakan yang memberikan lebih banyak waktu untuk perbaikan, adalah respon kerusakan
selular penting lainnya untuk mencegah pembentukan mutasi. Selanjutnya kematian sel yang
terprogram (apoptosis) mencegah kerusakan yang berlebihan pada sel sel DNA yang tersisa,
dan melalui mekanisme tersebut frekuensi dari sel sel dengan mutasi yang dipicu UV juga
berkurang. Mekanisme pertahanan lainnya pada akhirnya melawan unsur unsur karsinogenik
termasuk meningkatnya karsinogenesis dan mempertebal epidermis dan stratum korneum yang
melindungi dari kerusakan DNA di masa mendatang, maupun penghilangan sel sel yang
bermutasi melalui respon imun host (gambar 109-1).
dari
100
gen
perbaikan
DNA
telah
diidentifikasi
Misalnya, XP dapat disebabkan oleh suatu defek dari beberapa gen yang dilibatkan dalam NER
pada setiap orang. Berdasarkan eksperimen penyatuan sel, sel sel/pasien pasien dengan defek
pada gen yang sama dianggap berada pada kelompok komplementasi yang sama, dan pada
kelompok komplementasi yang berbeda jika gen gen yang terkena berbeda. Jika perbaikan
DNA pada sel yang menyatu dinormalkan, dengan gen wild-type dari tiap sel sehingga
menghasilkan protein fungsional yang tidak ada pada sel sel lain, sel - sel tersebut saling
melengkapi satu sama lain dan berada pada kelompok komplementasi yang berbeda. Tujuh
kelompok komplementasi yang telah diidentifikasi (XPA sampai XPG), yang menyiratkan
bahwa mutasi pada salah satu dari tujuh gen yang berbeda dapat menyebabkan XP.
Gen yang ditranskripsi diperbaiki lebih cepat dibandingkan dengan genom lainnya. Pada
jalur NER, langkah pertama melibatkan pengenalan kerusakan DNA yang berbeda pada gen
yang tidak ditranskripsi dan yang ditranskripsi (global genome NER dan transcription coupled
NER). Pada gen yang tidak ditranskripsi dan area noncoding, yang mewakili kebanyakan genom,
produk produk gen XPE dan XPC berikatan pada DNA yang dirusak UV, menandainya untuk
melakukan proses lebih lanjut. Sebaliknya, kerusakan DNA pada gen yang ditranskripsi
kemungkinan dirasakan RNA polymerase berkerja bersama dengan produk produk gen CSA
dan CSB (Cockayne syndrome complementation groups A and B).
Setelah tahap pengenalan kerusakan DNA, global genome NER dan transcription coupled NER
mengikuti jalur yang sama. Produk gen XPA kemungkinan berfungsi bersama sama dengan
replication protein A, transcription factor IIH (TFIIH), XPF, dan excision repair crosscomplementing gene 1 (ERCC1). Tahap berikutnya yang terjadi pada perbaikan gen yang tidak
ditranskripsi dan yang ditranskripsi:
Produk produk gen XPB dan XPD secara parsial melepaskan DNA pada daerah yang
rusak dengan demikian mengekspos lesi untuk proses yang lebih lanjut. Protein protein
ini adalah bagian dari TFIIH basal transcription factor (lihat gambar 109-3B).
Produk gen XPF, dalam suatu kompleks dengan ERCC1 membentuk suatu untaian
tunggal tepat pada sisi 5 lesi sedangkan produk gen XPG membentuk suatu untaian yang
sama tepat pada sisi 3 yang mengakibatkan pelepasan pada sekitar 30 bagian nukleotida
yang mengalami kerusakan (lihat gambar 109-3C).
Celah yang dihasilkan diisi dengan DNA polymerase yang menggunakan untaian lainnya
(yang tidak rusak) sebagai template dalam suatu proses yang melibatkan proliferating cell
6
Seperti yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan, beberapa respon selular terhadap
kerusakan DNA berperan dalam mempertahankan integritas genom. Termasuk tertahannya siklus
sel, apoptosis ( kematian sel yang terprogram), dan perbaikan DNA. Karena respon respon ini
memerlukan penyusunan secara hati hati, banyak protein yang terlibat dalam pemberian sinyal
kerusakan DNA dan regulasi dari respon kerusakan DNA (gambar 109-4). Tipe tipe yang
berbeda dari agen agen perusak DNA dan tipe tipe yang berbeda dari kerusakan DNA
memerlukan respon kerusakan DNA yang berbeda. Gambar 109-4 mewakili beberapa dari
pemeran pemeran utama dalam pemberian sinyal kerusakan DNA dan pengaturan respon
kerusakan DNA. Demikian halnya dengan defek pada gen perbaikan DNA (lihat tabel 109-3),
defek defek pada kebanyakan gen pemberi sinyal kerusakan DNA (dirangkum pada gambar
109-4), juga terlibat dalam kelainan herediter dari instabilitas genom (tabel 109-4; untuk detil
yang lebih lanjut lihat bab 140).
Gen supresor tumor P53 disebut the guardian of the genome memainkan peranan yang
sangat penting dalam pengaturan dan penyusunan respon respon ini dan bermutasi pada banyak
kanker, termasuk karsinoma sel skuamosa pada kulit. Regulator regulator upstream dari P53
pada jalur respon kerusakan DNA selular adalah gen gen ATM (ataxia telangiectasia mutated)
dan ATR (ataxia telangiectasia-and Rad3- related). Salah satu dari beberapa fungsi P53 adalah
pengaturan siklus sel dalam respon terhadap kerusakan DNA. Setelah pembelahan sel (mitosis),
sel memiliki 23 pasang kromosom dan berada dalam fase G1 pada siklus sel. Kemudian
kromosom bereplikasi selama sintesis DNA, atau fase S, dan sebagai hasilnya didapatkan dua
kali lebih banyak kromosom (fase G2) tepat sebelum mitosis (fase M). Sel berhenti beredar
(ditahan) pada fase fase siklus sel spesifik, disebut cell cycle checkpoints. Suatu efektor
downstream yang penting dalam mencegah sel memasuki fase S (G1/S checkpoint) adalah p21.
p53 juga menginduksi NER dengan penginduksian secara transkripsional XPC, XPE/p48 dan
GADD45. Jika sel memasuki fase S dengan kerusakan DNA yang tidak diperbaiki, atau jika sel
terpajan dengan sinar UV selama fase S, DNA polymerase regular berada pada fotoproduk
fotoproduk DNA dan memutuskan untaian DNA. Untuk kejadian kejadian ini, sel sel
dilengkapi dengan beberapa DNA polymerase khusus untuk sintesis DNA translesional. DNA
polymerase eta adalah salah satunya, khusus untuk bypass fotoproduk fotoproduk DNA namun
dapat mengenali mutasi pada saat melakukannya. Ia bermutasi pada varian XP yang secara klinis
tidak dapat dibedakan dari XP (lihat tabel 109-3, bab 140). Hal ini menunjukkan pentingnya lini
kedua dari pertahanan untuk melawan konsekwensi mutagenik dan karsinogenik dari fotoproduk
fotoproduk DNA. Telah dilaporkan bahwa p53 dan p21 juga mengatur penurunan aktifitas
sintesis DNA translesional untuk mempertahankan suatu aktifitas mutagenik yang rendah dengan
mengurangi bypass kerusakan. Jika sintesis DNA translesional gagal, sel sel akan
menggunakan recombination repair untuk memecahkan replication forks. Ketika terlibat dalam
respon terhadap sinar UV, pertahanan lini ketiga ini dimediasi oleh aktifasi dari jalur respon
kerusakan DNA Fanconi anemia/BRCA. Mekanisme pasti yang mengawali kaskade pemberi
sinyal respon kerusakan DNA ini sedang diteliti. Telomer yang merupakan pengulangan
TTAGGG yang menutupi ujung dari kromosom dan dimana ujung tersebut membentuk suatu
struktur loop, diajukan menjadi pemeran penting dalam mengenali kerusakan DNA, sebagai
contohnya, dengan membuka loop telomerase. Sensor sensor lain kemungkinan menggunakan
9
DNA polymerase atau RNA polymerase, atau protein protein untuk mendeteksi lengkungan
heliks DNA pada tempat kerusakan DNA.
Apoptosis adalah suatu proses fisiologis yang diregulasi, menyebabkan kematian sel yang
ditandai dengan penyusutan sel, membrane blebbing dan fragmentasi DNA. Sekelompok
cysteine proteases yang disebut caspases adalah regulator sentral dari apoptosis. Pencetusnya
dapat ekstrinsik atau intrinsik terhadap sel tersebut (contoh; kerusakan DNA) dan melibatkan
initiator caspases yang terpisah (contoh; caspase 2 dalam respon terhadap kerusakan DNA)
namun berbagi caspase efektor downstream yang sama.
10
Ketika kelainan instabilitas genom dicurigai, klinisi ditantang untuk memilih uji laboratorium
yang sesuai untuk menjamin suatu diagnosis dan memberikan bimbingan untuk pasien yang
menderita kelainan tersebut dan keluarganya. Tabel 109-5 membuat daftar beberapa gambaran
tanda klinis yang dapat mengindikasikan adanya kelainan dan akan mendorong klinisi untuk
memulai pengujian.
Berbagai uji laboratorium untuk stabilitas genom, perbaikan DNA dan respon terhadap agen
agen fisik dan kimia didaftarkan pada tabel 109-6.
11
12
13
15
16
Comet Assay
Comet assay adalah suatu teknik berbasis sel tunggal yang memungkinkan pendeteksian dan
penghitungan kerusakan DNA. Inti yang rusak dilekatkan pada agarose, dilisiskan dan diekspos
pada suatu medan listrik. DNA keluar dari nukleus membentuk suatu comet ketika diwarnai.
Panjangnya comet proporsional untuk fragmentasi DNA. Pengujian ini dapat dimodifikasi untuk
mendeteksi putusnya DNA untaian tunggal atau ganda, kerusakan UV, atau kerusakan DNA
oksidatif. Sel sel dari pasien dengan XP mengalami perbaikan yang tidak sempurna pada post
UV comet assay.
Instabilitas mikrosatelit
DNA normal memiliki puluhan ribu daerah dengan pengulangan CA dinukleotida atau motif
pendek lainnya sampai sepanjang lima nukleotida. Pada individu normal, setiap mikrosatelit ini
(juga disebut simple sequence reapets atau short tandem repeats) memiliki ukuran yang sama.
Akan tetapi, ukuran ukuran ini sangat bervariasi diantara individu individu yang berbeda dan
sering digunakan untuk DNA fingerprinting. Munculnya pengulangan rangkaian sederhana
yang lebih panjang atau pendek secara abnormal pada jaringan berbeda atau tumor dari seorang
pasien disebut instabilitas mikrosatelit. Hal ini dapat berhubungan dengan suatu defek dalam gen
gen perbaikan mismatch.
17
Western Blotting
Beberapa mutasi menyebabkan pengurangan kadar atau ukuran protein - protein yang dikode,
sering melalui pembentukan stop codon prematur. Pengurangan kadar protein paling sering
dideteksi dengan Western blotting. Sel sel dilisiskan dan protein protein diekstraksi dan
dipisahkan menggunakan elektroforesis gel. Protein yang telah dipisahkan ditransfer ke suatu
membran dan diperiksa dengan antibodi yang spesifik untuk protein. Intensitas pewarnaan
antibodi merefleksikan jumlah protein pada sel dan lokasinya pada membran merupakan suatu
indikasi dari ukuran molekul protein.
DNA Sequencing
Direct sequencing dari gen gen yang rusak adalah baku emas untuk menentukan timbulnya
mutasi. Langkah akhir dalam mengkonfirmasi diagnosis dapat dilakukan DNA sequencing untuk
menentukan penyakit yang disebabkan mutasi. Menurut definisi, mutasi yang menyebabkan
penyakit merubah fungsi gen. Akan tetapi, tidak setiap perubahan pada rangkaian gen merubah
fungsi protein yang dikode. Pada genom manusia terdapat jutaan polimorfisme nukleotida
tunggal yang tidak berhubungan dengan penyakit dan bahkan tidak merubah komposisi asam
amino dari protein yang dikode. Pada kelainan resesif, setiap orang tua yang tidak terserang
secara klinis memiliki satu allel normal dan satu berpotensi mutasi yang menyebabkan penyakit.
Anak yang terserang menerima allel dengan mutasi yang menyebabkan penyakit dari tiap orang
tua. Kedua mutasi harus pada gen yang sama, meskipun mereka tidak perlu identik satu sama
lain.
18
19