Anda di halaman 1dari 49

Laporan Kasus

LUPUS ERITEMATOSA SISTEMIK

Oleh:
Nyimas Nursyarifah, S.Ked

04054821517109

Hendy Wijaya, S.Ked

04054821517127

Pembimbing:
dr. Nova Kurniati, SpPD, K-AI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Judul
Lupus Eritematosa Sistemik
Oleh:
Nyimas Nursyarifah, S.Ked
Hendy Wijaya, S.Ked
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Junior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang, Periode 21 November 2016 29 Januari 2017.

Palembang, Desember 2016


Pembimbing

dr. Nova Kurniati, SpPD, K-AI

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat
dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul Lupus Eritematosa Sistemik. Laporan kasus ini merupakan salah satu
syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Nova Kurniati,
SpPD, K-AI selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta kepada
semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini dapat
memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... 1
KATA PENGANTAR................................................................................................. 2
DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 4
BAB II LAPORAN KASUS.................................................................................... 5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................14
BAB IV ANALISIS KASUS.....................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................42

BAB I
PENDAHULUAN
Sistemic Lupus Eritematosus (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibodi patogen dan
kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisistem yang bermanifestasi
sebagai lesi kulit seperti kupu-kupu di wajah, perikarditis, kelainan ginjal, artritis,
anemia, dan gejala-gejala susunan saraf pusat.1
Insiden tahunan LES di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat data
epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan
Sadikin Bandung terdapat 291 pasien LES atau 10.5% dari total pasien yang berobat
ke poliklinik reumatologi selama 2010.
Manifestasi klinik dari LES beragam tergantung organ yang terlibat, dimana
dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan. 2 klinis yang
kompleks dan sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif,
terkendali, ataupun remisi.
Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, berdasarkan data
yang diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian pasien
dengan LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahuntahun pertama mortalitas LES berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi
(termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam
jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.5
Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam, dan
risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta
penatalaksanaan yang tepat.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTIFIKASI
Nama
Tanggal Lahir
Usia
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Kewarganegaraan
Agama
Alamat
Tanggal MRS
Nomor MR

: Anggini Binti Yari


: 11 Desember 1997
: 18 tahun
: Perempuan
: Pelajar
: Indonesia
: Islam
: Talang Subur Rt.01, Rw. 04, Talang Ubi, Muara
Enim
: 27 November 2016
: 981245

2.2 ANAMNESIS
(Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 29 November 2016, pukul 15:00 WIB)
a. Keluhan Utama:
Sesak yang bertambah hebat sejak 1 minggu SMRS
b. Keluhan Tambahan:
Lemas dan nyeri pada seluruh tungkai atas dan bawah
c. Riwayat Perjalanan Penyakit:
7 bulan SMRS, penderita mengeluh timbul bercak merah pada kedua pipi
berbentuk seperti kupu-kupu. Gatal (-). Bercak timbul setelah penderita terpapar
sinar matahari selama 6 jam dan kelelahan. Penderita mengeluh sering demam,
tidak terlalu tinggi, hilang dengan sendirinya. Demam timbul terutama ketika
penderita merasa lelah. Nyeri sendi di kedua kaki, tangan, pinggang dan
punggung. Nyeri dirasakan sepanjang hari, terutama saat berjalan, nyeri
mengganggu aktivitas, sendi kemerahan (-), sendi terasa panas (-), kaku pada
sendi (-). Penderita juga mengeluh badan terasa lemas, rambut rontok (+), pucat
(+), kuning (-) gusi berdarah (-), mimisan (-), bintik-bintik merah dan lebam (-),
perut membesar (-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-), nafsu makan
menurun (+). BAK berkurang ada, nyeri saat berkemih (+), BAK berbusa (+),
BAK seperti cucian daging (-). BAB tidak ada keluhan. Kaki dan mata bengkak
ada, sesak (-). Penderita berobat ke dokter Spesialis Penyakit Dalam dan

dikatakan menderita Penyakit Lupus. Penderita mendapat obat metil prednisolon


3x4 tablet. Keluhan berkurang, bengkak hilang, kemerahan di pipi hilang.
3 bulan SMRS Penderita mengeluh nyeri sendi dan otot di kedua kaki,
tangan, pinggang dan punggung yang bertambah hebat. Nyeri dirasakan
sepanjang hari, terutama saat berjalan, nyeri mengganggu aktivitas, sendi
kemerahan (-), sendi terasa panas (-), kaku pada sendi (-). Penderita mengeluh
sering demam, tidak terlalu tinggi, hilang dengan sendirinya. Demam timbul
terutama ketika penderita merasa lelah. Penderita juga mengeluh badan terasa
lemas, rambut rontok (+), pucat (+), kuning (-), gusi berdarah (-), mimisan (-),
bintik-bintik merah dan lebam (-), perut membesar (-), batuk (-), pilek (-), mual
(-), muntah (-), berat badan menurun (+) dari 60 kg menjadi 50 kg, nafsu makan
menurun (+). BAK dan BAB tidak ada perubahan. Kaki dan mata bengkak (-),
sesak (-). Penderia berobat ke dokter Spesialis Penyakit Dalam rutin dan diberi
obat makan. Keluhan berkurang.
1 hari SMRS, penderita mengeluh sesak. Sesak dirasakan terus menerus
dan bertambah berat saat beraktivitas. Sesak tidak dipengaruhi cuaca, debu.
Sesak lebih ringan jika penderita miring ke kanan. Nafas disertai suara mengi (-).
Nyeri dada (+) sebelah kiri terutama saat menarik nafas. Nyeri dirasakan seperti
ditusuk. Nyeri tidak menjalar. Penderita masih mengeluh nyeri sendi dan otot di
kedua kaki, tangan, pinggang dan punggung. Nyeri dirasakan sepanjang hari,
terutama saat berjalan, nyeri mengganggu aktivitas, sendi kemerahan (-), sendi
terasa panas (-), kaku pada sendi (-). Penderita mengeluh demam tinggi terus
menerus. Penderita juga mengeluh badan terasa lemas, rambut rontok (-), pucat
(+), kuning (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), bintik-bintik merah dan lebam (-),
perut membesar (-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-), berat badan
menurun (+) dari 50 kg menjadi 40 kg, nafsu makan menurun (+). BAK
berkurang ada, nyeri saat berkemih (+), BAK berbusa (+), BAK seperti cucian
daging (-). BAB tidak ada keluhan. Kaki dan mata bengkak (-). Pasien mengeluh
sering sariawan. Pasien kemudian berobat ke dokter Spesialis Penyakit Dalam
dan dirujuk ke RSMH.
d. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat sakit Lupus sejak 7 bulan yang lalu


Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat sakit jantung disangkal
Riawayat sakit ginjal disangkal
Riwayat sakit kuning disangkal
Riwayat minum alkohol disangkal
Riwayat merokok disangkal
Riwayat trauma disangkal
Riwayat pemakaian alat kontrasepsi disangkal
Kebiasan makan mie instant 2-3x/hari selama 6 tahun
Kebiasaan minum-minuman teh gelas
Kebiasaan makan chiki

e. Riwayat Pengobatan
Semenjak 7 bulan yang lalu rutin mengonsumsi obat metil-prednisolon 3x4
tablet, dan 3 obat tablet lainnya (pasien dan ibu pasien lupa nama obat)
f. Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal


Riwayat darah tinggi dalam keluarga disangkal
Riwayat sakit jantung dalam keluarga disangkal
Riwayat sakit ginjal dalam keluarga disangka;
Riwayat kencing manis dan keluarga disangkal

g. Riwayat makanan

Makan 2-3x / hari


Tiap makan banyaknya 3-4 sendok makan
Makan tidak teratur, jarang sarapan
Variasi : Daging (jarang), Ikan 1-2x/ minggu, ayam 1-2/minggu, sayur 2-3x/

minggu, tahu 3-4 x/hari, tempe 3-4x/hari.


Nafsu makan kurang
Pencernaan : BAB 1x/hari
Kesan : gizi kurang

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


(Dilakukan pada tanggal 29 November 2016, jam 16:00 WIB)
a. Keadaan Umum
Keadaan sakit
: Tampak sakit sedang

Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
Pernafasan
Suhu
Tinggi Badan
Berat Badan
IMT

: Compos mentis
: 100/70 mmHg
: 74 kali/menit, irama regular, isi dan tegangan cukup
: 26 kali/menit, reguler
: 36,6oC
: 155 cm
: 39 kg
: 16.25 kg/m2 (underweight)

b. Keadaan Spesifik
Kepala : Normosefali, ekspresi wajar, rambut mudah rontok (-), warna hitam,
tipis, lurus, distribusi merata, alopesia (+) di frontal, deformitas (-),
Mata

sembab wajah (-), butterfly rash (-)


: Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (-/-), pupil bulat, isokor, refleks cahaya (+/+), diameter

Hidung
Telinga

3mm/3mm.
: Deviasi septum nasal (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
: MAE lapang, selaput pendengaran tidak ada kelainan, pendengaran

Mulut

baik
: Bibir kering (-), bibir pucat (+), sianosis (-), atrofi papil lidah (-),

Leher

lidah tremor (-), faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, oral ulcer (+)
: JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB aurikula (-), submandibular (-),

supraklavikula (-), aksila (-), struma (-)


Thoraks : Bentuk dada simetris, barrel chest (-), retraksi dinding dada (-), scar
(-)
Paru-paru
Inspeksi:
Statis simetris, dinamis pergerakan dinding dada kiri sedikit
tertinggal, retraksi (-)
Palpasi :
Stem fremitus kiri lebih lemah daripada kanan, nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
Perkusi:
Sonor pada paru kanan dan kiri, redup pada paru kiri ICS IV, batas
paru hepar ICS VI, batas paru lambung sulit dinilai
Auskultasi:
suara napas pokok vesikuler kanan (+) normal, vesikuler kiri (+)
menurun dan menghilang pada basal paru kiri setinggi ICS IV,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-), pleural friction rub(+) pada basal paru
kiri

Jantung

Inspeksi:
Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi:
Iktus kordis tidak teraba
Perkusi:
Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan ICS V linea
parasternalis kanan, batas jantng kiri sulit dinilai
Auskultasi:
HR : 74 kali/menit, BJ I-II (+) normal, regular, murmur (-), gallop

(-)
Inspeksi:
Datar, striae (-), skar (-)
Palpasi :
Lemas, nyeri tekan (-)
Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba
Nyeri tekan supra pubik (+)
Perkusi:
Timfani, shifting dullness (-)
Auskultasi:
Bising usus (+) normal, 3 kali/menit
Kulit
: Tidak ada kelainan
Genitalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat (+) Palmar pucat (+/+), discoid lession (-), edema
Abdomen

pretibial (-/-), kuku sendok (-), Clubbing finger (-)


2.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (tanggal 24 November 2016)
Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
RBC
WBC
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
LED
Hitung jenis leukosit
Basofil

Hasil

Rujukan

8,6
3.400.000
3.700
28%
175.000
80,9
25
31
45

11,4 15,0
4,0 5,7
4,73 10,89
35 45
189 436
85 95
28 32
33 35
< 20

01

Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
Retikulosit
Kimia Klinik
Hati

1
75
21
3
1,5

16
50 70
20 40
28
0,5 1,5

Protein total
Albumin
Globulin
AST/SGOT
ALT/SGPT
LDH
Imunoserologi
ANA Test
Anti ds-DNA
Ginjal
Ureum
Kreatinin
Asam Urat
Elektrolit
Kalsium
Natrium
Kalium
Urinalisis
Urine Lengkap
Warna
Kejernihan
Berat Jenis
pH (Urine Rutin)
Protein
Glukosa
Keton
Darah
Bilirubin
Urobilinogen
Nitrit
Leukosit esterase

5,8
1,9
3,9
22
9
577

6,4-8,3
3,5-5,0
2,6-3,9
0 32
0 31
240-480

Sedimen urine
Epitel
Leukosit
Eritrosit
Silinder

Hasil Menyusul
Hasil Menyusul
75
1,32
10,9

16,6 48,5
0,5 0,9
<5,7

7,4
135
5

9,2 11,0
135 155
2,5 5,5

Kuning
Agak keruh
1,015
6,0
Positif ++
Negatif
Negatif
Positif +++
Negatif
1
Negatif
Negatif

Kuning
Jernih
1,003 1,030
5-9
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
0,1-1,8
Negatif
Negatif

Positif ++
15-20
15-21
Silinder granular ++

Negatif
0-5
0-1
Negatif

10

Kristal
Bakteri
Mukus
Jamur

Negatif
Positif ++
Negatif
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
Negatif

Gambaran Darah Tepi (24 November 2016)


Eritrosit

Mikrositik, hipokrom, anisopoikilositosis (tear drops,

Leukosit
Trombosit

cigar shape, mikrosit, fagmentosit


Jumlah menurun, neutrofilia relatif
Jumlah cukup, penyebaran merata, morfologi dalam batas

Kesan

normal
o Anemia mikrositik hipokrom suspek hemolitik dd/
defisiensi Fe disertai tersangka proses

Saran

inflamasi/infeksi
o Bisitopenia
LDH, bilirubin, Fe, TIBC, Ferritin, CRP

EKG (24 November 2016)


o Irama sinus
o Axis normal
o HR 115
o Gelompang P normal
o PR interval 0,16s
o QRS complex 0,04s
o R di V1 <1s
o S di V1 + R di V5/V6 < 35s
o ST-T Change (-)
o Kesan : low voltage + sinus tachycardia

o Foto thoraks (26 November 2016)

11

o Tulang-tulang tak tampak kelainan, tampak perselubungan homogen


di lapangan bawah paru kiri setinggi ICS VI.
o Kesan : Efusi pleura minimal sinistra
2.5 DAFTAR MASALAH
1. Lupus Nefritis
2. ISK
3. Anemia Penyakir Kronis
4. Serositis
5. Hipokalsemia
6. Hipoalbuminemia
7. Hiperurisemia
2.6 DIAGNOSIS KERJA
LES dengan manifestasi lupus nefritis + ISK + Anemia sekunder ec penyakit
kronis + Pleuritis dengan efusi pleura sinistra+ hipokalsemi + hipoalbumin
2.7 DIAGNOSIS BANDING
LES dengan manifestasi lupus nefritis + ISK + Anemia sekunder ec penyakit
kronis dd/ defisiensi Fe + Pleuritis dengan efusi pleura sinistra dd/ pericarditis +
hipokalsemi + hipoalbumin
2.8 PENATALAKSANAAN
Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet tinggi karbohidrat, rendah purin
IVFD NaCl 0,9% gtt xv/m
Edukasi
Farmakologi:

Paracetamol 3x500 mg
Metilprednisolon 1gr IV (3 hari)
Metilprednisolon 20 mg/ hari (2 2 1)
Mikofenolat mofetil 2 g/ hari
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Asam folat 3 x 1 mg
CaCO3 3 x 500 mg
Vit. D 25 mikrogram/hari
Human Albumin 20%
Allopurinol 1 x 30 mg

2.9 RENCANA PEMERIKSAAN

12

ANA test
Antids-DNA
Profil besi
Pemeriksaan Lab berkala
Biopsi ginjal

2.10 PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: dubia ad malam
: malam
: malam

2.11 FOLLOW UP
Tanggal
S
O
Sensorium
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Kepala
Leher
Thoraks

30 November 2016 (15.00 WIB)


Nyeri otot dan sendi masih ada, sesak masih ada
Compos mentis
90/60 mmHg
86 kali/menit
28 kali/menit
36,5oC
Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), bibir
pucat (+), oral ulcer (+)
JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Statis simetris, dinamis pergerakan dinding dada kiri sedikit
tertinggal, stem fremitus kiri lebih lemah daripada kanan,
sonor pada paru kanan dan kiri, redup pada paru kiri ICS IV,
batas paru hepar ICS VI, batas paru lambung sulit dinilai,
suara napas pokok vesikuler kanan (+) normal, vesikuler kiri
(+) menurun dan menghilang pada basal paru kiri setinggi
ICS IV, pleural friction rub (+) pada basal paru kiri, HR 86

Abdomen

kali/menit, regular, murmur (-), gallop (-)


Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan

Ekstremitas
A

suprapubik (+)
Akral hangat (+), Pucat (+), Edema pretibial (-)
LES dengan manifestasi lupus nefritis + ISK + Anemia
sekunder ec penyakit kronis + Pleuritis dengan efusi pleura

sinistra+ hipokalsemi + hipoalbumin


Nonfarmakologi:
Bedrest

13

Diet tinggi karbohidrat rendah purin


IVFD NaCl 0,9% gtt xv/m
Edukasi

Farmakologi:

Tanggal
S
O
Sensorium
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Kepala
Leher
Thoraks

Paracetamol 3x500 mg
Metilprednisolon 1gr IV
Metilprednisolon 20 mg/ hari (2 2 1)
Mikofenolat mofetil 2 g/ hari
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Asam folat 3 x 1 mg
CaCO3 3 x 500 mg
Vit. D 25 mikrogram/hari
Human Albumin 20%
Allopurinol 1 x 30 mg
Tunggu hasil lab ANA test dan Anti ds-DNA

1 Desember 2016 (15.30 WIB)


Sesak berkurang, nyeri bawah perut bertambah
Compos mentis
110/70 mmHg
92 kali/menit
22 kali/menit
36,6oC
Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), bibir
pucat (+), oral ulcer (+)
JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Statis simetris, dinamis pergerakan dinding dada kiri sedikit
tertinggal, stem fremitus kiri lebih lemah daripada kanan,
sonor pada paru kanan dan kiri, redup pada paru kiri ICS IV,
batas paru hepar ICS VI, batas paru lambung sulit dinilai,
suara napas pokok vesikuler kanan (+) normal, vesikuler kiri
(+) menurun dan menghilang pada basal paru kiri setinggi
ICS IV, pleural friction rub (+) pada basal paru kiri, HR 86

Abdomen

kali/menit, regular, murmur (-), gallop (-)


Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan

Ekstremitas

suprapubik (+)
Akral hangat (+), Pucat (+), Edema pretibial (-)

14

LES dengan manifestasi lupus nefritis + ISK + Anemia


sekunder ec penyakit kronis + Pleuritis dengan efusi pleura

sinistra+ hipokalsemi + hipoalbumin


Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet tinggi karbohidrat rendah purin
IVFD NaCl 0,9% gtt xv/m
Edukasi
Farmakologi:

Paracetamol 3x500 mg
Metilprednisolon 1gr IV
Metilprednisolon 20 mg/ hari (2 2 1)
Mikofenolat mofetil 2 g/ hari
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Asam folat 3 x 1 mg
CaCO3 3 x 500 mg
Vit. D 25 mikrogram/hari
Human Albumin 20%
Allopurinol 1 x 30 mg
Tunggu hasil lab ANA test dan Anti ds-DNA

15

Tanggal
S
O
Sensorium
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
Kepala
Leher
Thoraks

2 Desember 2016 (16.30 WIB)


Compos mentis
100/70 mmHg
87 kali/menit
22 kali/menit
36,9oC
Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), bibir
pucat (+), oral ulcer (+)
JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Statis simetris, dinamis pergerakan dinding dada kiri sedikit
tertinggal, stem fremitus kiri lebih lemah daripada kanan,
sonor pada paru kanan dan kiri, redup pada paru kiri ICS IV,
batas paru hepar ICS VI, batas paru lambung sulit dinilai,
suara napas pokok vesikuler kanan (+) normal, vesikuler kiri
(+) menurun dan menghilang pada basal paru kiri setinggi
ICS IV, pleural friction rub (+) pada basal paru kiri, HR 86

Abdomen

kali/menit, regular, murmur (-), gallop (-)


Datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan

Ekstremitas
A

suprapubik (+)
Akral hangat (+), Pucat (+), Edema pretibial (-)
LES dengan manifestasi lupus nefritis + ISK + Anemia
sekunder ec penyakit kronis + Pleuritis dengan efusi pleura

sinistra+ hipokalsemi + hipoalbumin


Nonfarmakologi:
Bedrest
Diet tinggi karbohidrat rendah purin
IVFD NaCl 0,9% gtt xv/m
Edukasi
Farmakologi:

Paracetamol 3x500 mg
Metilprednisolon 1gr IV
Metilprednisolon 20 mg/ hari (2 2 1)
Mikofenolat mofetil 2 g/ hari
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Asam folat 3 x 1 mg
CaCO3 3 x 500 mg

16

Vit. D 25 mikrogram/hari
Human Albumin 20%
Allopurinol 1 x 30 mg
Hasil anti ds-DNA 1.876,79

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES ) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.1
Sistemik lupus eritematosus adalah penyakit autoimun sistemik yang

17

ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan


kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada
beberapa organ tubuh4. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang
diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai
jaringan dan organ yang berbeda.
Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai
penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis
antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit
diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES harus
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang
tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue.
Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan
dalam disregulasi sistem imun.
3.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan sebanyak tiga
kali lebih sering ditemukan pada ras African, Asian, Hispanic, dan Native
Americans. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi
penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak
pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibanding
dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 1.1
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat
dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada
periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000
perawatan, sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000
perawatan.1
3.3 Etiologi
Walaupun penyebab spesifik dari LES tidak diketahui, presdisposisi

18

genetik multipel dan interaksi lingkungan-genetik diduga menjadi pemicu dari


terjadinya LES (lihat gambar1). Situasi yang komplek ini mungkin dapat
menjelaskan manifestasi klinis yang beragam pada penderita LES.
Gambar 1. Faktor-Faktor Pencetus LES2

Pada LES, pemicu lingkungan, respon antigen-antibodi, interaksi sel-B dan


sel-T, faktor genetik, dan proses pembersihan kekebalan yang kemudian berinteraksi
dan mencetuskan autoimunitas. LES memiliki tingkat kecendrungan rekurensi
familial pada keluarga: 8% dari penderitanya memiliki paling tidak satu anggota
keluarga pada minimal satu generasi (orangtua, saudara kandung, dan anak)
menderita LES. Sebagai tambahan, LES terjadi pada kedua anak kembar pada 24%
kembar identik dan 2% pada kembar nonidentik, hal ini diduga sebagai akibat
peranan dari kombinasi faktor genetik dan lingkungan.
Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui mekanisme penyakit LES
dan hubungannya dengan genetik. Peningkatan risiko LES diketahui berkaitan
dengan paling tidak 35 jenis gen. Predisposisi genetik didukung oleh 40% keadaan
yang sama pada kembar monozigotik; jika seorang ibu dengan LES, risiko anak
perempuannya mendapat penyakit yang sama diperkirakan sebesar 1:40 dan pada
anak laki-lakinya sebesar 1:250.

19

Penelitian yang luas tentang genetik pada populasi Eropa Utara mencari
hubungan antara kecenderungan LES dengan gen yang berkaitan dengan pengiriman
sinyal jalur reseptor sel B, sebagaimana telah dikonfirmasi hubungan antara LES
dengan gen pada faktor regulator interferon lokus 5 (IRF5)-TNPO3. Peneliti juga
meyakinkan bahwa lokus lain berhubungan dengan LES (TNFAIP3, FAM167ABLK, BANK1 and KIAA1542). Meskipun demikian, diketahui bahwa lokus ini
memiliki tingkat signifikansi yang lebih rendah dan berkontribusi rendah sebagai
risiko seseorang menderita LES.
Penelitian mengenai human leukocyte antigens (HLAs) menunjukkan
bahwa HLA-A1, HLA-B8, dan HLA-DR3 lebih dominan untuk seseorang dengan
LES dibandingkan populsi umum. Adanya alel tambahan dan defisiensi kongenital
tambahan (terutama C4, C2, dan komponen-komponen awal lainnya) juga
berhubungan

dengan

peningkatan

risiko

LES.

Banyak

penelitian

telah

mengidentifikasi adanya peranan infeksi untuk mencetuskan autoimunitas. Pasien


dengan LES memiliki titer antibodi EBV yang lebih tinggi, memiliki kadar virus
yang bersirkulasi lebih tinggi.
Banyak penelitian yang mengidentifikasi peran infeksi sebagai etiologi yang
mencetuskan autoimun. Pasien dengan LES memiliki titer antibodi Epstein-Barr
Virus (EBV) yang lebih tinggi, dan kadar virus dalam sirkulasi yang meningkat,
sehingga terbentuk antibodi untuk retrovirus, termasuk antibodi terhadap protein
yang homolog dengan antigen nukleus. Pada pasien LES dengan infeksi EBV, sel B
bukanlah gangguan primer yang mendasari, melainkan abnormalitas sel T
menimbulakan kegagalan imunoregulasi dari respon sel B. Virus kemudian akan
menstimulasi sel spesifik pada sisterm imun. Infeksi kronik dapat mencetuskan
antibodi anti-DNA atau gejala mirip lupus, dan renjatan lupus yang akut seringkali
didahului infeksi bakteri. Lingkungan dan paparan yang berhubungan menyebabkan
LES belum jelas hubungannya langsung terhadap terjadinya LES.
3.4 Patogenesis
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor

20

genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor
genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Mekanisme patogenik dari LES digambarkan pada gambar 2. Interaksi
antara genetik yang dan faktor lingkungan menghasilkan respon imun yang
abnormal dan bervariasi antar pasien. Respon tersebut antara lain (1) aktivasi sel
imun non spesifik (sel dendritik, monosit/ makrofag) oleh CpG DNA, DNA pada
komplek imun, DNA atau RNA virus, dan RNA pada RNA/ antigen protein
sendiri; (2) penurunan ambang aktivasi dan jalur aktivasi abnormal pada sel
imunitas spesifik (limfosit T dan B matur); (3) pengaturan tidak efektif pada
CD4+ dan CD8+, sel B, dan sel sel supresor yang berasal dari mieloid; dan (4)
penurunan bersihan komplek imun dan sel-sel apoptosis. Antigen sendiri (DNA
nukleosomal/ protein; RNA/ protein pada Sm, Ro, dan La; fosfolipid) dikenali
ole sistem imum dalam permukaan sel apoptosis; sehingga autoantigen,
autoantibodi, dan komplek imun terbentuk untuk waktu yang lama,
memungkinkan proses inflamasi dan penyakit berkembang. Aktivasi sel imun
diikuti peningkatan sekresi proinflamasi tipe 1 dan 2 interferons (IFNs), tumor
necrosis faktor (TNF-), interleukin (IL) 17 dan sel B-matur/ stimulator
limfosit B sitokin survival (BlyS/BADD), dan IL-10. Peningkatan regulasi gene
diinduksi oleh IFN adalah tanda genetik pada sel-sel darah perifer pada 5060% pasien LES.
Gambar 2. Patogenesis LES4

21

Peran apoptosis dalam perkembangan LES didukung oleh beberapa model


tikus dengan fungsi abnormal dari faktor yang terlibat dalam apoptosis.
lnterferensi ekspresi Fas (lpr), FasL (gld), BclZ/Bim, progrommed cell death 1,
fosfatase dan tensin homolog, stimulator limfosit B dan TACI menimbulkan
akumulasi sel/gelembung/kromatin apoptosis sehingga mengakibatkan gangguan
toleransi, yang akhirnya terbentuk antibodi anti-nuklear dan Iupus- Iike g Iomeru
loneph ritis.
Selama proses apoptosis, protein, DNA dan RNA akan dipecah oleh
protease, caspase dan endonuklease. Autoantigen nuklear (kromatin) yang
merupakan target untuk LES, membentuk cluster dalam blebs pada permukaan
sel apoptosis. Dalam keadaan normal, selsel apoptosis dan blebs akan segera
dibersihkan oleh fagosit, sebelum sempat mengeluarkan modified content.
Pada LES, proses apoptosis dan/atau pembersihan material apoptosis
terganggu. Apoptosis menginduksimodified nuklear autoantige n yang akan
merangsang sistem imun dan dikenali sebagai antigen non-self yang mampu
mencetuskan signal yang berbahaya.Sel dendritik khususnya plasmasitoid
dendritik sel (pDC) memberikan respon terhadap asam nukleat yang
mengandung imun kompleks dengan memproduksi IFN-q, yang merupakan
mediator kunci dalam patogenesis LES. Myeloid dendritik sel memainkan peran

22

penting dalam memelihara keseimbangan antara imunitas dan toleransi, serta


dapat diaktivasi oleh modified autoantigen. Proses ini akhirnya menghasilkan
respon imunogenik dan pembentukan autoantibodi terhadap modified (nuklear)
autoantigen (Gambar 3).
Gambar 3. Peran Apoptosis dan Pembersihan Materi Apoptotik Pada LES1

Penurunan produksi sitokin tertentu juga berkontribusi menyebabkan LES;


lupus T dan natural killer (NK) cell gagal memproduksi IL-2 yang cukup dan
mentransformasi TGF- untuk menginduksi dan mempertahankan regulasi
CD4+ dan CD8+ sel T. Hasilnya dari abnormalitas mempertahankan produksi
autoantibodi (lihat gambar 2) dan komplek imun; patogenik yang berikatan
dengan jaringan target, dengan aktivasi komplemen, menimbulkan pelepasan
sitokin, kemokin, peptid vasoaktif, oksidan, dan enzim proteolitik. Hasil dari
aktivasi dari sel-sel jaringan multipel (sel-sel endotel, makrofag jaringan, dan
sel-sel dendritik. Pada inflamasi kronik, akumulasi dari faktor pertumbuhan dan
produk oksidan kronik berkontribusi pada kerusakan jaringan ireversible,
termasuk fibrosis/sklerosis pada glomerulus, paru dan jaringan lain.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan
terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan
dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas
II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang

23

berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan
C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang
mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.6
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2, C4, atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan
sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan
menimbulkan respon imun.6
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita
lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung
mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal
membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan
lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki
resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam
tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan
gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu
dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus.
Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan
apoptosis.6
Faktor lain yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen
dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga

24

mengakibatkan

produksi

autoantibodi

berlebihan

pada

pasien

LES 7.

Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear


( ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya
seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan
ginjal.9
3.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan
akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal
tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis
penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja
selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa
adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria
LES.
1. Manifestasi konstitusional1
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan
ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan
seperti pada anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan
ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala

25

gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 0C tanpa
adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya
tidak disertai menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal1
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling
sering terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi
berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu
artitis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali
dianggap sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas ,
kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Osteoporosis
juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan terapi
steroid.
3. Manifestasi Kulit9
Kelainan

kulit

yang

sering

didapatkan

pada

LES

adalah

fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia,


panikulitis, lesi psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga
dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud,
livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
4. Manifestasi Paru9
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa
radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi
pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut
dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan
merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini
sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan
respon baik terhadap pemberian streroid.
5. Manifestasi Kardiologis1,9

26

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,


dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia
muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka
panjang.
6. Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai
keterlibatan ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
Komplikasi pada ginjal merupakan salah satu komplikasi yang serius pada
penderita LES sebab akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
penderita LES. Pada saat ini harapan hidup selama 15 tahun penderita LES
dengan nefritis berkisar 80%, sedangkan ditahun 60an harapan hidupnya
selama 5 tahun hanya 50 %, walaupun kita sudah mengalami kemajuan
yang berarti dalam memberikan terapi akan tetapi insidensi terjadinya
progresifitas gagal ginjal masih cukup tinggi hal ini karena seringkali kita
mengalami kesulitan mengidentifikasi penderita LES yang mengenai ginjal
secara klinik, karena seringkali komplikasi nefritis lupus terjadi secara
diam-diam dan gejala dini sering tidak terdeteksi. Yang paling mencolok
keterlibatan ginjal pada penderita LES yakni berupa adanya protein uria
atau silinder eritrosit atau granular pada pemeriksaan sedimen urin, bahkan
pada keadaan yang lebih ringan dijumpai hematuri-piuria tanpa gejala,
sedangkan pada keadaan yang lanjut dapat terjadi kenaikan serum ureumkreatinin dan hipertensi.

27

Hal yang penting pada nefritis lupus didapatkan proteinuria dan


silinder urin dengan berbagai derajatnya adalah gambaran yang paling
dominan pada nefritis lupus. Secara umum apabila pasien yang belum
mendapat terapi jumlah proteinuria < 1 gram/hari dengan hematuria dan
tidak adanya silinder urin dikenal sebagai nefritis mesangial. Dikatakan
glomerulopati membraneus bila proteinuria disertai silinder urin dengan
berbagai variasi-nya. Nefritis proliferatif bila yang disebut belakangan
disertai dengan hipertensi. Untuk lebih jelasnya biopsi ginjal diperlukan
mengetahui seberapa jauh ginjal terl ibat, derajat kerusakan ginjalnya dan
prognosisnya serta untuk mendapatkan penanganan yang lebih tepat. Di
bawah ini beberapa keadaan yang memerlukan biopsi ginjal pada kasus LES
antara lain bila: 1). bila sedimen urin didapatkan nefritis (hematuria
glomeruler dan silinder cosf (+), 2). hematuria glomerular dan proteinuria >
500 mg /hari,3.hematuria glomerular dan proteinuria 300 - 500 mg /hari
dengan C3 yang rendah dan Anti ds DNA yang tinggi. Diagnosis nefritis
lupus umumnya didasarkan atas kriteria World Health Organizotion (WHO)
yangmana penilaian berdasarkan gambaran histologi dan lokasi atau tempat
komplek imun, akan tetapi saat ini digunakan kriteria yang lebih baru oleh
lnternatioanal Society of Nephrology (lSN) dan Renol Pathology Society
(RPS) ada perbedaan penting pada klasifikasi yang baru berusaha
melakukan stratifikasi lesi proliferatif fokal dan difus (klas lll dan IV).
7. Manifestasi Gastrointestinal1,9
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric
valkulitis, inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT
harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.

28

Tabel 1. Klasifikasi Lupus Nefritis4


Kelas
Kelas I

Kelas II

Kelas III

Kelas IV

Kriteria
lesi minimal mesangial nefritis lupus
glomeruli normal dengan mikroskop cahaya tetapi bila dilihat dengan imunofluorosensi adanya deposit
kompleks imun di mesangial.
lesi proliferatif mesangial nefritis lupus
murni hiperselularitas mesangial dengan berbagai derajat atau adanya ekspansi matrik mesangial,
dengan mikroskop cahaya didapat deposit
kompleks imun pada mesangial, mungkin adanya sedikit terisolasi deposit kompleks imun di sub epitel
atau sub endotel yang dapat terlihat dengan imunofluorosensi atau elektron mikroskop dan tak
terlihat dengan mikroskop cahaya
lesi fokal nefritis lupus
aktif atau inaktif fokal, segmental atau global endo kapiler atau ekstra kapiler glomerulonefritis yang
melibatkan kurang dari 50% dari seluruh glomeruli, khususnya didapat deposit komplek imun di sub
endotelial yang bersifat fokal dengan atau tidak perubahan mesangial.
Klas lll (A)
lesi aktif bersifat proliferatif fokal nefritis lupus
Klas lll (A/C)
lesi aktif dan kronik proliferatif fokal dan sklerosis nefritis lupus
Klas lll (C)
lesi kronik tidak aktif dengan glomerulus yang meng-alami sikatrik (jaringan parut), sklerosis fokal
nefritis lupus

lesi difus nefritis lupus


lesi difus aktif atau tidak aktif, segmental, atau endokapilerglobal atau ekstra kapiler glomerulonefritis yang melibatkan >50% dari seluruh glomeruli dengan ciri khasnya endapan komplek imun
yang difus di sub endotelial dengan atau tanpa perubahan mesangial. Klas ini dibagi menjadi difus
segmengtal (lV-S) nefritis lupus bila melibatkan >50 % lesi glomeruli yang bersifat lesi segmental
dan lesi difus global (lV-G) nefritis lupus bila melibatkan >50 % lesi glomeruli yang bersifat
global.
Klas lV-S (A)
lesi aktif difus -segmental proliferatif nefritis lupus
Klas lV-G (A)
lesi aktif difus -global proliferatif nefritis lupus
Klas lV-S (A/C):
o aktif dan lesi kronik difus -segmental proliferatif dan sklerosing
o nefritis lupus
o aktif dan lesi kronik difus -global proliferatif dan sklerosing
o nefritis lupus
Klas lV-S (C)
lesi kronik tidak aktif dengan glomerulus yang mengalami
sikratrik (parut) dengan difus segmental sklerosing nefritis
lupus
Klas lV-G (C)
lesi kronik tidak aktif dengan glomerulus yang mengalami
sikratrik (parut)dengan difus global sklerosing nefritis lupus

29

Kelas V

Kelas VI

lesi membraneus nefritis lupus


global atau segmental deposit kompleks imun pada lapisan sub epitelialdengan kerusakan yang
sesuai dengan mikroskop cahaya dan dengan imunofluorosensi atau dengan mikroskop elektron
dengan atau tanpa perubahan mesangial deposit imun komplek secara global atau segmental
padanlapisan sub epitelial atau kerusakannya dengan mikroskop cahaya, mikroskop elektron dan
imunofluorosensi tanpa perubahan mesangial klas V nefritis lupus mungkin terjadi dengan
kombinasi dengan klas lll atau klas lV yang mana kasusnya didiagnosis secara bersamaan.
Sklerosis yang lanjut nefritis lupus > 90 % glomeruli yang terlibat mengalami secara sklerosing
secara global tanpa aktivitas residual (sisa)

8. Manifestasi Hemopoetik9
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat
penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan
dan anemia hemolitik autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80%
kasus.

Adanya

leukositosis

harus

dicurigai

kemungkinan

infeksi.

Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mulamula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali
kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang
lain.
9. Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab
terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama
tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.
Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik
juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali
tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan
gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan.

30

3.6.

Penegakan Diagnosis
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau

lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :


1.

Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

2.

Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan


penurunan berat badan.

3.

MuskuloLELEStal: artritis, artralgia, miositis

4.

Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana


mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

5.

Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik

6.

Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

7.

Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.

8.

Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

9.

Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali

10.

Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

11.

Neuropsikiatri:

psikosis,

kejang,

sindroma

otak

organik,

mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer


Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan
laboraturium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982,
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4 kriteria,
maka diagnosis LES dapat ditegakan (lihat tabel 2).
Tabel 2. Kriteria ARA3
No
1.

Kriteria
Ruam malar

2.

Ruam diskoid

3.

fotosensitivitas

4.

Ulkus mulut

Batasan
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.

31

5.

Artitritis

6.

Serositis
a. Pleuritis
b. Karditis

7.

Gangguan renal

8.

Gangguan
Neurologi

9.

Gangguan
hematologi

10
.

Gangguan
imunologik

Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi


perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction
rub atau terdapat bukti efusi perikardium
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran
Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak
seimbangan elektrolit
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan
Metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak
seimbangan elektrolit.)
a. Anemia
hemolitik
dengan retikulosis.
Atau
b. Lekopenia
<4.000/mm3
pada
dua kali pemeriksaan
atau lebih. Atau
c. Limfopenia
<1.500/mm3
pada
dua kali pemeriksaan
atau lebih. Atau
d. Trombositopenia
<100.000/mm3 tanpa
disebabkan
oleh
obat-obatan
a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan
titer yang abnormal. Atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm. Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid
yang didasarkan atas :
1. kadar serum antibodi anti
kardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2. Tes lupus anti koagulan
positif menggunakan metoda
standard,
3. hasil tes serologi positif

32

11.

Antibodi
Anti nuklear
positif (ANA)

palsu terhadap sifi lis


sekurang- kurangnya selama
6 bulan dan dikonfirmasi
dengan
test
imobilisasi
Treponema pallidum atau tes
fluoresensi absorpsi an
bodi treponema.
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjanan penyakit tanpa
keterlibatan
obat yang diketahui hubungan dengan
sindroma lupu yang diinduksi obat.

Bila didapatkan 4 kriteria dari 11 kriteria, maka bisa ditegakkan LES yang
memiiki sensitifitas 85% dan spesiisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria
dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis
lain tidak ada maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.
3.7

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan

penunjang

yang

dilakukan

pada

penyakit

Lupus

Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan


pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan
adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia;
erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif,
Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albuminglobulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria,
hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular
atau sel darah merah pada urin.
2.

Pemeriksaan imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES
adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA

33

dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah


pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain
yang mempunyai gambaran klinis menyerupa LES misalnya infeksi krnis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease
(MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun) , keganasan atau pada orang
normal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA
pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai
substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya
diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah
tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm,
nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal
sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk
LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%.
Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis LES
dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin
dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% - 30%
pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes
anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis
LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti anti-dsDNA,
anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
3.8.

Derajat Berat Ringannya Penyakit


Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama

34

menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya
yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah
dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.
Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam
nyawa

11

1. Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:


a.

Secara klinis tenang

b.

Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa


c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

2. Kriteria LES Derajat Sedang adalah:


a.

Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II) \

b.

Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

c.

Serositis mayor

3. Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:


a.

Jantung:

endokarditis

Libman-Sacks,

vaskulitis

arteri

koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.


b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f.Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.

35

3.9.Penatalaksanaan LES Secara Umum


1.

12

Edukasi

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan


dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru
terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada
penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu secara
berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya,
penderita LES mengalami fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu
diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka
dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju
lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di
kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu,
penderita LES juga harus menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus
selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obatobat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus
di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada
penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan
prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama
penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau dapat
mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap
fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama
kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu
apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak
mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat

36

diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan


mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi
agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.
2. Terapi Konservatif
a)

Athritis, athralgia dan myalgia

Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering


dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan
analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus
diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar
tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap
sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal haru diperhatikan, misalnya
dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak
memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat
antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6
bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera distop.
Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari
6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai
efek toksik terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat
dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat
antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis
rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat
dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi arthritis pada penderita LES.
b)

Lupus Kutaneus

Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas.


Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar
ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar

37

fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung terhadap paparan


sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela
yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan
sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion
atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan
sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini
harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus
hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi
dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi teleangiektasis dan
fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid
lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison.
Untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal
berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon
asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar
pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi,
misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid
berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian
diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus,
baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria
mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Pada
penderita yang resisten terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan
pemberikan glukokortikoid sistemik. Dapson dapat dipertimbangkan
pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LES
berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik adalah
methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang
kadang-kadang memperburuk ruam LES di kulit.
c)

Kelelahan dan Keluhan Sistemik

Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita

38

LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga
dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat
badan dan demam dapat juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin.
Dokter harus bersikap simpati dalam mengatasi masalah ini. Seringkali
hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu
istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat
menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian
glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
d)

Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan
tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan
salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid
dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan
glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya.

4. Terapi Agresif
a)

Kortikosteroid

12

Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien


dengan LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan
efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai
sebagai antiinlamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang
digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi
dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan
patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana
kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang
relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang aktif.
Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang
berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral. Pulse

39

terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam


nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini ini biasanya
diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon diberikan
selama 3 hari berturut-turut.
Tabel 2. Terminologi Pembagian Kortikosteroid
Dosis rendah
Dosis sedang
Dosis tinggi
Dosis sangat

< 7.5 mg prednison atau setara perhari


>7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
>30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
>100 mg prednison atau setara perhari

tinggi
Terapi pulse

>250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau


beberapa hari

b)

Sparing Agen Kortikosteroid


Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit
dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah
siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan metrotrexate.
1

1) Siklofosfamid , Indikasi siklofosfamid pada LES :


Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent).
Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang.
Glomerulonefritis difus awal.
LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktorfaktor ekstrarenal lainnya.

LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.


Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl
0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24
jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada

40

terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval


1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian
siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan
memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan
fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai
500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus
dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis
siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan
jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid
yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada
pemberian berikutnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan
muntah, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan
fungsi ovarium dan azoospermia.
2) Azatioprin

Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan


sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3
mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat diberikan
selama 6-12 bulan pada penderita LES, setelah penyakitnya dapat
dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis
azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah
penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik,
peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan.
3) Siklosporin

Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan


LES adalah Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini
dapat digunakan pada LES baik tanpa manifestasi renal maupun
dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan
tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar

41

kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum


pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.

Algoritma penatalaksanaan LES dapat dilihat dibawah ini

42

Keterangan :
TR

: Tidak respon

CYC : Siklofosfamid

RS

: Respon sebagian

AZA : Azatioprin

RP

: Respon penuh

MP

OAINS

: Obat anti inflamasi non steroid

NPLES: Neuropsikiatri LES

KS

: Kortikosteroid setara prednison

: Metilprednisolon

43

BAB IV
ANALISIS KASUS
Pada pasien ini dapat ditegakan diagnosis dari identifikasi pasien,
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari identifikasi
pasien, pasien berjenis kelamin wanita dengan usia 18 tahun, dimana
epidemiologi dari systemic lupus eritematous (LES) itu sendiri sering ditemukan
pada wanita pada usia paling banyak 15-40 tahun yaitu pada masa reproduksi.
Frekuensi pada wanita dibanding dengan laki-laki berkisar antara 5,5-9 : 1. Jadi
jika dilihat dari jenis kelamin dan usia pasien dapat menjadi faktor risiko untuk
kejadian penyakit

pada kasus ini. Selain itu terdapat faktor lingkungan seperti

terpapar sinar matahari, stress dan riwayat makan-makanan berpengawet.


Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan gejala konstitusional
yang dikeluhkan pasien, yaitu cepat merasa lelah, sering demam tanpa ditemukan
bukti infeksi, dan penurunan berat badan yang signifikan. Berdasarkan kriteria
menurut The America Rheumatism Association (ARA), pada pasien ini dapat
ditemukan beberapa kriteria yang memenuhi, yaitu:
1. Kriteria untuk kelainan kulit
-

Malar rash (+)

Oral ulcer (+)

Fotosensitivitas (+) dimana wajah menjadi ruam merah ketika terkena


cahaya matahari

2. Kriteria Sistemik
-

Arthritis (+)

Serositis: Pleuritis dengan bukti efusi pleura (+)

Gangguan renal berupa silinder seluler (+)

3. Kriteria Laboratorium
-

Kelainan hematologi berupa leukopenia (+)

Antibodi antinuklear (+)

Anti ds DNA (+)


Pada pasien ini telah ditemukan 9 kriteria berdasarkan ARA sehingga

diagnosis systemic lupus eritematous (SLE) sudah bisa ditegakkan dengan


sensitifitas 95% dan didukung dengan pemeriksaan ANA dan ds DNA yang
bernilai positif. Pada kasus ini ditemukan gangguan renal sebagai bentuk LES
44

manifestasi lupus nefritis. Hal ini terutama karena terdapat penurunan fungsi
ginjal dilihat dari peningkatan ureum dan kreatinin, hematuria >8 sel/lpb, dan
adanya proteinuria (++) serta kencing berbusa , dan ditemukan silinder (granular
++) pada pemeriksaan sidemen urine sehingga dapat ditegakkan diagnosis LES
dengan manifestasi lupus nefritis. Untuk menentukan klasifikasi lupus nefritis
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut berupa biopsi ginjal.
Pada pasien ini, dalam algoritma penatalaksanaan LES maka tergolong
LES derajat sedang dengan klinis nefritis dan ada serositis mayor. Oleh karena itu,
pasien ini diberikan terapi induksi dengan metilprednisolon 1 gram intravena per
hari selama 3 hari diikuti mikofenolat mofetil 2 gram per hari + metilprednisolon
(0,5x39) 20 mg per hari selama 4-6 minggu lalu diturunkan bertahap. Pemantauan
aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin terutama sedimen, kadar kreatinin,
tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds DNA, proteinuria dan
bersihan

kreatinin.

Pasien

juga

diberikan

kalsium

karena

pemakaian

kortikosteroid lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan suplemen vitamin D.


Memonitor toksisitas kortikosteroid dan agen sitotoksik dengan parameter:
tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium, gula darah,
kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi gonad, dan densitas
massa tulang.
Pasien dianjurkan untuk menghindari salisilat dan obat antiinflamasi non
steroid, karena dapat mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan
hipertensi serta meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi bila
dikombinasikan dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya).
Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri saat berkemih dan pada
pemeriksaan fisik terdapat nyeri tekan suprapubik dan demam. Pada pemeriksaan
laboratorium diketahui bakteri urin (++), sedimen urin (++), dan kejernihannya
agak keruh. Maka dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis dengan infeksi saluran kemih (ISK). ISK dapat terjadi pada
pasien dengan LES terutama terkait dengan penurunan daya tahan tubuh akibat
autoimunitas

serta

konsumsi

kortikosteroid

jangka

panjang.

Untuk

penatalaksanaan ISK diberikan antibiotik berupa ceftriaxon 2x1 gram.


Pada anamnesis ditemukan pucat, sering merasa lemah sehingga
menindikasikan

adanya

anemia.

Tidak

ada

organomegali

dan

ikterik

menyingkirkan diagnosis anemia hemolitik, anemia autoimun, maupun anemia


45

karena keganasan. Tidak ada adanya manifestasi perdarahan seperti mimisan, gusi
berdarah, lebam-lebam atau bintik-bintik merah menguatkan bahwa anemia bukan
karena keganasan. Pada pemeriksaan apusan darah tepi ditemukan adanya
gambaran mikrositik hipokrom. Hal ini dapat mengindikasikan penyakit anemia
karena penyakit kronis, anemia defisiensi besi dan thalasemia. Tidak ada
hepatosplenomegali menyingkirkan thalasemia. Pada pasien terdapat penyakit
ginjal yang mengganggu sintesis eritropoetin sehingga produksi sel darah merah
menurun. Tetapi belum menyingkirkan adanya anemia defisiensi besi mengingat
gizi dan asupan makanan pasien yang kurang. Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksan kadar besi. Pada pasien ini belum terdapat indikasi untuk transfusi
darah, mengingat Hb hanya menurun sedikit (8,6). Pemberian asam folat 3 x 1 mg
dapat diberikan untuk mengkompensasi anemia yang terjadi.
Penderita mengeluh sesak napas dan nyeri dada kiri terutama saat menarik
napas. Pada saat auskultasi terdapat pleural friction rub pada basal paru kiri
sehingga mengindikasikan suatu pleuritis. Pleuritis memiliki manifestasi yang
hampir sama dengan perikarditis berupa nyeri dada terutama saat menarik nafas
sehingga perikarditis belum dapat disingkirkan. Perikarditis dan pleuritis
merupakan salah satu manifestasi dari LES. Pada pemeriksaan fisik juga
ditemukan dada kiri tertinggal saat inspeksi pergerakan dinding dada dinamis,
Stem fremitus kiri lebih lemah daripada kanan, redup pada paru kiri ICS IV,
vesikuler kiri (+) menurun dan menghilang pada basal paru kiri setinggi ICS IV
yang mengindikasikan adanya efusi pleura didukung oleh hasil foto toraks yang
positif. Kesimpulannya pada pasien ini menderita serositis dengan efusi pleura.
Tatalaksana yang dapat diberikan berupa analgetik PCT 3 x 500 mg dan antibiotik
Ceftriaxone 2x 1 selain untuk pengobatan ISK.
Pada pemeriksan laboratorium juga ditemukan penurunan elektrolit
kalsium dan albumin sehingga menyimpulkan adanya hipokalsemi dan
hipoalbuminemia. Akibat, proteinuri dan asupan gizi yang kurang, albumin dapat
menurun sehingga diperlukan pemberian human albumin 20%. Untuk tatalaksana
hipolaksemia dapat diberikan CaCo3 3x500 mg.
Penderita juga mengalami peningkatan asam urat. Asam urat yang
meningkat dapat terjadi pada penderita LES karena destruksi sel-sel tubuh yang
luas sehingga DNA sel yang rusak banyak yang dimetabolisme menjadi purin
dengan hasil akhir asam urat. Lupus nefritis yang mengganggu fungsi ginjal
46

sehingga ekskresi asam urat juga terganggu. Untuk itu pada pasien diberikan
allopurinol 1 x 300 mg.
Jadi berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, masalah yang ada pada pasien antara lain lupus nefritis,
ISK, anemia sekunder e.c. penyakit kronis, serositis, hipoalbuminemia, dan
hipokalsemia.

47

DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. 2015. Lupus Eritematosus Sistemik.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Edisi keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.
2. NN. 2009. Kehamilan dengan Lupus Eritematosus Sistemik. Dikutip dari :
http://digilib.unsri.ac.id/download/Lupus%20eritematosus.pdf
3. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. 2006. Epidemiology of systemic lupus
rythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus; 308-318.
4. NN. Lupus dan Penatalaksanaannya. 2010. Dikutip dari :
http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan%20penat
alaksanaannya.pdf
5. Urowitz MB, Bookman AAM, Koehler BE, Gordon DA, Smythe HA,
Ogryzlo MA. 1976. The Bimodal Mortality Pattern of Systemic Lupus
Erythematosus. Am J Med;60:221-225.
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus
page. J Clin Pathol; 481-490.
7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic
lupus erythematosus. Arthritis Rheum; 2100-2110
8. Kanda N, Tamaki K. 1999. Estrogen enhances immunoglobulin
production by human peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin
Immunol; 282-288
9. DCruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus:
pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. [cited 2011 Dec 7].
Available from
http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf
10. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, Masi AT, McShane DJ, Rothield NF, et al.
1982. The 1982 revised criteria for the classification of systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum; 1271-1277
11. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus
erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9):1785-96
12. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta

48

Anda mungkin juga menyukai