Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia merupakan kanker yang berasal dari sel-sel pembentuk darah dalam

sumsum tulang. Penyakit ini dijumpai pada anak dan dewasa, yang dapat terjadi jika

terdapat perubahan dalam proses pengaturan sel normal sehingga mengakibatkan

proliferasi sel-sel punca hematopoietik dalam sumsum tulang. Ada 4 subtipe leukemia

yang ditemukan yaitu leukemia limfositik akut, leukemia mieloid akut, leukemia

limfositik kronik, dan leukemia mieloid kronik. Suatu leukemia dikatakan akut atau

kronik adalah tergantung pada sebagian besar sel-sel abnormal yang dijumpai. Jika sel-

sel lebih menyerupai sel punca (imatur) maka dikatakan akut, sedangkan jika sel-sel

lebih menyerupai sel normal (matur) maka dikatakan kronik. Pada leukemia akut, sel-

sel imatur terus memperbanyak diri dan tidak dapat menjadi matur sebagaimana

mestinya. Tanpa terapi, sebagian besar pasien leukemia akut hanya hidup beberapa

bulan. Berbeda halnya dengan sel-sel pada leukemia kronik, pertumbuhannya lambat

dan pasien dapat hidup lebih lama sebelum timbul gejala. (Lawrenti H, 2017)

Chronic Myeloid Leukemia (CML) merupakan keganasan myeloproliferatif

yang relatif sering ditemukan. Sebagian besar pasien CML mempunyai kromosom

Philadelphia, yaitu kromosom yang berasal dari hasil translokasi resiprokal antara

kromosom 9 dan 22, t(9;22)(q34;q11) sehingga membentuk gen fusi BCRABL. Secara
2

umum, terdapat 3 tipe breakpoint cluster region gen BCR-ABL yaitu mayor (M-bcr),

minor (m-bcr) dan mikro (μ-bcr). (Sholihah TA, 2016)

GLOBOCAN memperkirakan insiden seluruh leukemia di seluruh dunia pada

tahun 2012 menjadi 351.965 kasus (ASR 4,7 per 100.000). Insiden leukemia secara

keseluruhan di daerah yang lebih berkembang pada tahun 2012 diperkirakan sebagai

141.274 (ASR 7,2 per 100.000) dibandingkan dengan insiden 210.691 (3,8 per

100.000) di daerah yang kurang berkembang. GLOBOCAN tidak memberikan

informasi spesifik tentang (CML).

Informasi tentang insiden dan prevalensi CML sangat mengerikan, karena

CML adalah penyakit langka. Pada penelitian orang Eropa yang diterbitkan pada tahun

2007 memperkirakan insiden CML menjadi 1 atau 2 kasus per 100 000 orang setiap

tahun. Penelitian yang sama menyatakan bahwa CML paling sering terjadi pada

populasi yang lebih tua, dengan usia rata-rata saat terdiagnosis sekitar usia 65 tahun.

CML lebih sering terjadi pada pria, namun wanita cenderung memiliki tingkat

kelangsungan hidup yang lebih tinggi daripada pria. Menurut studi 2007, muncul

insidensi penyakit konsisten di seluruh geografi dan etnis, meskipun dicatat bahwa

tingkat ketahanan hidup di beberapa negara-negara kemungkinan akan dipengaruhi

oleh ketersediaan obat dan teknologi diagnostik. (WHO, 2014)


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
CML merupakan penyakit atau kelainan neoplastik ganas sistem
hemopoetik, yang di tandai dengan adanya proliferasi dari seri sel granulosit
matur tanpa gangguan diferensiasi dengan ciri khas didapatkan kromosom
Philadelphia. Kromosom Philadelphia yang merupakan hasil fusi dari Gen
BCR-ABL, yaitu hasil translokasi respirokal t(9;22) antara lengan panjang
kromosom 9 dan kromosom 22. (Askandar 2015)
2.2 Epidemiologi
Chronic myeloid leukemia (CML) merupakan penyakit keganasan
neoplasma dengan insidensi di negara-negara Barat sebesar 1-2 kasus per
100.000 individu pertahun (Apperley, 2015). American Cancer Society
melaporkan bahwa pada tahun 2015, kasus CML di wilayah Amerika adalah
6.660 kasus dengan estimasi angka kematian sebesar 1.140 kasus (Siegel et al.,
2015). Di Asia Tenggara, prevalensi leukemia sebesar 1,3% dari 28 jenis
kanker per 100.000 individu (GLOBOCAN, 2012), sedangkan prevalensi CML
sebesar 15% dari total leukemia (Garcia-Manero et al., 2003). Di Indonesia,
insidensi leukemia sebesar 2,8% dari seluruh kasus kanker, namun belum ada
angka pasti yang menyebutkan insidensi CML di Indonesia (Handayani &
Haribowo, 2008).
2.3 Etiopatogenensis

Sampai saat ini yang dicurigai ikut berperan dalam patogenesis


terjadinya CML adalah factor radiasi ion, virus dan bahan-bahan kimia.
Menurut beberapa laporan kasus CML lebih tinggi pada orang yang bekerja di
unit radiology, orang yang terpapar radiasi bom atom, penderita yang mendapat
4

terapi radiasi karena penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain.


Walaupun begitu, hanya 5 – 7 % dari kasus CML yang dilaporkan berhubungan
dengan adanya paparan radiasi dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok
anak-anak. Berdasarkan penelitian terhadap penduduk yang hidup setelah
terpapar radiasi bom atom, waktu yang diperlukan mulai dari saat terpapar
sampai timbulnya gejala klinis adalah antara 5-10 tahun. Pada anak muda,
khususnya yang terpapar saat umur di bawah 5 tahun akan meningkatkan
kejadian CML, tetapi tidak dijumpai adanya peningkatan kejadian pada bayi
dalam kandungan yang ibunya terpapar saat hamil. Secara skematis perubahan-
perubahan yang terjadi mulai dari masa inisiasi, pre-leukemia dan selanjutnya
menjadi leukemia. (Besa EC, 2014)

2.4 Patofisiologi

Leukemia mielositik kronik (CML) adalah kelainan diperoleh yang


melibatkan sel batang hematopoietik. Hal ini ditandai oleh kelainan
sitogenetika terdiri dari translokasi timbal balik antara lengan panjang
kromosom 22 dan 9 [t (9; 22)]. Hasil translokasi dalam kromosom, dipersingkat
22 pengamatan pertama dijelaskan oleh Nowell dan Hungerford dan kemudian
disebut kromosom Philadelphia. (Besa EC, 2014)
5

Gambar 1 : Kromosom Philadelphia

Seperti yang telah dijelaskan di atas, gen BCR-ABL pada kromosom Ph


menyebabkan proliferasi yang berlebihan dari sel induk pluripoten pada system
hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan, juga dapat
bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-ABL juga
bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya
klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak system hematopoiesis lainnya.
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga
kini masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan
Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat
6

akibat mutasi spontan. Sejak tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini
menyebabkan pembentukan gen hybrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen
resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9. Gen hybrid BCR-ABL yang berada
dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis protein 210 kD yang berperan
dalam lekemogenesis, sedangkan peran gen resiprokal ABLBCR tidak
diketahui. Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu
terdapat pada semua pasien CML, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya
terdapat pada 70% pasien CML. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan
Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti
pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan adanya
trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17i (17)q.
dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang
berperan dalam patofisiologi CML atau terjadi abnormalitas dari gen supresor
tumor, seperti gen p53, p16, dan gen Rb. (Price SA, Wilson LM, 2006, Besa
EC, 2014 dan Hoffbrand AV, 2005)
Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit CML dibagi menjadi 3 fase yaitu, fase
kronik,akselerasi dan blas. (Khrisnan K, 2014)
1. Fase kronik
Fase kronik ditandai ekspansi yang tinggi dari hemopoetik pool dengan
peningkatan pembentukan sel darah matur, dengan sedikit gangguan
fungsional. Umumnya sel neoplasma sedikit dijumpai di sumsum tulang, hepar,
lien dan darh perifer. Akibatnya gejala penyakit tergantung infiltrasi ke organ,
pengaruh metabolik dan hiperviskositas serta umumnya mudah dikontrol.
Lama waktu fase kronik umumnya 3 tahun.
Gejala klinik umumnya non spesifik akibat hipermetabolik seperti panas,
keringat malam, lemah, perut kembung, gangguan penglihatan, penurunan
berat badan dan anoreksia.
Pada pemeriksaan fisik penderita tampak pucat, ekimosis,
hepatosplenomegali dan nyeri sternum. Gejala tersebut berhubungan dengan
derajat leukositosis Kadang-kadang (20%) asimptomatis dan ditemukan secara
7

kebetulan. Pemeriksaan Laboratorium dapat dijumpai anemia normokrom


normositer, Leukostosis berat dengan shift to the left dan trombostosis. Kadar
leukosit meningkat antara 80.000 – 800.000 / mm3. Leukositosis sangat berat
(> 500.000 /mm3) dapat dijumpai pada anak-anak. Pemeriksaan hapusan darah
tepi dijumpai seluruh stadium diferensiasi sel seperti myeloblas dan promileosit
yang umumnya dibawah 15%, serta tidak dijumpai hiatus leukemikus. Juga
dijumpai peningkatan absolut basofil dan eosinofil.
Pemeriksaan sumsum tulang dijumpai hiperselular dengan granulositosis
(sering diikuti megakariositik), maturasi granulosit lebih matur disertai
basofilia dan eosinofilia. Myelofibrosis umumnya jarang dijumpai pada fase
kronik, dan dapat dijumpai pada 30-40% penderita. Juga dapat dijumpai lipid-
laden histiosit atau gaucher sel atau sea blue histiosit. Pada pemeriksaan
serologi dapat dijumpai peningkatan asam urat, laktik dehidrogenase, vitamin
B12 dan vitamin B12 binding protein. Kelainan granulosit dapat diketahui
dengan adanya penurunan aktivitas leukosit alkalin fosfatase (LAP) dengan
pemeriksaan sitokimia. Diagnosis banding CML fase kronik reaksi lekemoid,
CML tipe juvenil dan penyakit myeloproliferatif lain. Pada lekemoid,
splenomegali biasanya tidak menonjol, aktivitas LAP meningkat tinggi, Ph’
kromosom negatif, leukositosis dan splenomegali tidak sehebat CML dan
melibatkan organ seperti kulit dan kelenjar limpa. Penyakit myeloproliferatif
dibedakan dari CML dengan pemeriksaan granulosit berseri dan Ph’
kromosom.
2. Fase akselerasi
Setelah lebih kurang 3 tahun, CML kronik akan menjadi fase akselerasi
dengan meningkatnya progresifitas penyakit. Sekitar 5 % kasus, terjadi
perubahan mendadak dengan peningkatan yang cepat sel blas pada darah
perifer (krisis blas). Sekitar 50% kasus akan berkembang menjadi lebih
progressif yang menimbulkan gejala seperti leukemia akut dan sisanya 45%
terjadi peningkatan progresif secara pelan-pelan. Gejala dan tanda dari fase
akselerasi :
- Panas tanpa penyebab yang jelas dan splenomegali progresif
8

- Anemia dan trombositopenia setelah sebelumnya sempat normal


- Trombositosis > 1000 x 109/ L
- Basofil > 20% dan myeloblas > 5 %
- Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi nuetrofil, mikro
megakariosit atau mononuclear yang besar.
- Fibrosis kolagen pada sumsum tulang
- Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti Ph’-2 kromosom
- Peningkatan uptake timidin oleh neutrofil
- Peningkatan kandungan DNA dan penurunan fraksi proliferasi.
3. Fase blas
Pada fase ini gejala klinik meliputi anemia, trombositopenia dan
peningkatan sel blas pada darah tepi dan sumsum tulang. Pada sumsum tulang
dijumpai lebih dari 30 % sel blas yang merupakan tanda diagnostik fase ini. Sel
blas didominasi oleh sel myeloid tetapi sel eritroid, megakariositik dan
limfoblas dapat dijumpai. Gejala klinik pada fase ini sama dengan leukemia
akut dan jika sel blas mencapai lebih dari 100 000 per mm3 maka penderita
memiliki resiko terjadinya sindroma hiperleukositosis. Fase ini dibedakan
dengan leukemia akut di mana splenomegali tidak menonjol, basofilia dan
adanya Ph’-2 kromosom.
2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik pasien leukemia mieloid kronik adalah:

1. Sitogenetika
Merupakan pemeriksaan baku emas untuk deteksi kromosom
Philadelphia. Hasil pemeriksaan ini yaitu jumlah kromosom Philadelphia
positif dari setidaknya 20 metafase. Walaupun sensivitas rendah dan
spesimen diambil dari aspirasi sumsum tulang, pemeriksaan ini banyak
dilakukan di pusat-pusat kesehatan dan dalam uji klinik. Selain untuk
diagnosis, pemeriksaan ini juga diperlukan untuk memantau respons
sitogenetik. (Tohami T, 2012)
2. FISH
9

Fluorescent in situ hybridization dilakukan untuk mencari gen BCR-


ABL yang spesifik pada kromosom.1 FISH terutama digunakan jika
pemeriksaan sitogenetika negatif atau tidak dapat mendapat sel-sel
metafase (Tohami T, 2012). Pemeriksaan ini dapat menggunakan sampel
darah perifer atau dari sumsum tulang. (American Cancer Society, 2016)
3. PCR
Polymerase chain reaction termasuk pemeriksaan yang sangat sensitif
untuk memberikan informasi adanya BCR-ABL transcript. Pemeriksaan
PCR untuk diagnosis adalah PCR kualitatif, sedangkan PCR kuantitatif
untuk memantau hasil terapi. Pemeriksaan ini dapat menggunakan sampel
darah perifer atau dari sumsum tulang. (Tohami T, 2012)
4. Hapusan darah tepi

Pada CML, peningkatan granulosit matang dan jumlah limfosit normal


(persentase rendah karena dilusi dalam hitungan diferensial) menghasilkan
jumlah leukosit total 20,000-60,000 sel/uL. Kenaikan ringan pada basofil
dan eosinofil terjadi dan menjadi lebih menonjol selama masa transisi ke
leukemia akut. Proses apoptosis neutrofil matang/granulosit mengalami
penurunan (kematian sel terprogram), mengakibatkan akumulasi sel
berumur panjang dengan enzim yang rendah atau tidak ada, seperti alkalin
fosfatase (ALP). Akibatnya, pada pengecatan alkali fosfatase leukosit
sangat rendah bahkan tidak ada pada sebagian besar sel, menghasilkan nilai
yang rendah. Darah perifer pada pasien dengan CML menunjukkan
gambaran darah khas leukoeritroblastik, dengan sirkulasi sel dewasa dari
sumsum tulang.
10

Gambar 2. Hapusan Darah Tepi Pasien CML. fillm blood pada perbesaran 400x menunjukkan
leukositosis dengan kehadiran sel-sel prekursor dari garis keturunan myeloid. Selain itu, basophilia,
eosinofilia, dantrombositosis dapat dilihat.

Fase transisi atau akselerasi CML ditandai dengan penurunan


respon terhadap terapi obat myelosuppressive, munculnya sel-sel blast
perifer (≥ 15%), promyelocytes (≥ 30%), basofil (≥ 20%), dan
penurunan trombosit jumlah sampai kurang dari 100.000 sel/uL.

Gambar 3. Hapusan Darah Tepi Pasien CML Fase Transisi. Film Blood pada perbesaran
1000X menunjukkan promyelocyte, eosinofil, dan basofil.
11

Gambar 4. Hapusan Darah Tepi Pasien CML Fase Blast Film Blood pada perbesaran
1000X menunjukkan garis keturunan granulocytic keseluruhan, termasuk eosinofil dan
basofil a.

Tanda-tanda transformasi atau fase akselerasi pada pasien dengan


CML adalah penurunan respon terhadap obat-obatan myelosupresi atau
interferon, meningkatnya sel blast dalam darah tepi dengan basophilia dan
trombositopenia tidak berhubungan dengan terapi, kelainan sitogenetika
baru, dan meningkatnya splenomegali dan myelofibrosis. Pada sekitar dua
pertiga kasus, sel blast yang ditemukan adalah myeloid. Namun, pada
sepertiga kasus sisanya, sel blast yang ditemukan memperlihatkan fenotipe
limfoid, bukti lebih lanjut dari sifat sel induk penyakit asli. Kelainan
kromosom tambahan biasanya ditemukan pada saat fase blast krisis,
termasuk tambahan Ph translokasi kromosom atau lainnya. Sel myeloid
awal seperti myeloblasts, mielosit, metamyelocytes, dan sel darah merah
yang berinti biasa terlihat dalam hapusan darah, seperti temuan di sumsum
tulang. Kehadiran sel-sel progenitor yang berbeda midstage membedakan
CML dari leukemia myelogenous akut, dimana leukemic gap (maturation
arrest) atau hiatus ada dan menunjukkan adanya sel-sel ini. Anemia ringan
sampai anemia sedang sangat umum pada saat diagnosis dan biasanya
normokromik normositik dan. Jumlah trombosit pada diagnosis bisa
rendah, normal, atau bahkan meningkat pada beberapa pasien (> 1 juta pada
beberapa).
5. Analisis sumsum tulang
Sumsum tulang bersifat hypercellular, dengan perluasan lini sel
myeloid (misalnya, neutrofil, eosinofil, basofil) dan sel progenitornya.
Megakaryocytes (lihat gambar di bawah) yang menonjol dan dapat
ditingkatkan. Fibrosis ringan sering terlihat pada pengecatan reticulin.
12

Gambar 5. Hapusan Sumsum Tulang Pasien CML. Sumsum tulang Film pada perbesaran
400x menunjukkan dominasi jelas granulopoiesis. Jumlah eosinofil dan megakaryocytes
meningkat.

Pemeriksaan sitogenetik pada sel sumsum tulang, dan darah bahkan


perifer, harus mengungkapkan kromosom khas Ph1, yang merupakan
translokasi resiprokal antara kromosom dari bahan kromosom 9 dan 22
(lihat gambar di bawah). Ini adalah ciri khas CML, ditemukan di hampir
semua pasien dengan penyakit dan terdapat sepanjang perjalanan klinis
seluruh CML.
2.5 Diagnosis

1. Anamnesis
Pasien sering mengalami gejala yang berkaitan dengan pembesaran
limpa, hati, atau keduanya. Limpa besar dapat mengganggu pada lambung dan
menyebabkan cepat kenyang sehingga asupan makanan berkurang. Nyeri perut
kuadran kiri atas digambarkan sebagai nyeri dengan kualitas "mencengkeram"
mungkin terjadi akibat infark limpa. Limpa yang membesar juga dapat
dikaitkan dengan keadaan hipermetabolik, demam, penurunan berat badan, dan
kelelahan kronis. Hati yang membesar dapat menyebabkan penurunan berat
badan pasien. Beberapa pasien dengan CML akan mengalami demam ringan
dan berkeringat berlebihan terkait dengan hipermetabolisme. Pada beberapa
pasien yang ada pada fase akselerasi, atau fase akut dari penyakit (melewatkan
fase kronis), perdarahan, petechiae, ekimosis dan mungkin merupakan gejala
yang menonjol. Dalam situasi ini, demam biasanya berhubungan dengan
infeksi. Nyeri tulang dan demam, serta peningkatan fibrosis sumsum tulang,
merupakan pertanda dari fase blast. (Cardama AQ, 2006)
13

2. Pemeriksaan fisis
Splenomegali adalah penemuan fisik yang paling umum pada pasien
dengan CML. Pada lebih dari 50% pasien dengan CML, limpa berukuran lebih
dari 5 cm di bawah batas kosta kiri pada saat penemuan. Ukuran limpa
berkorelasi dengan hitungan granulocyte darah perifer, dengan limpa terbesar
yang diamati pada pasien dengan jumlah leukosit yang tinggi. Limpa yang
besar biasanya pertanda transformasi menjadi bentuk krisis blast akut dari
penyakit. Hepatomegali juga terjadi, meskipun kejadiannya tidak sesering dari
splenomegali. Hepatomegali biasanya bagian dari hematopoiesis
extramedullary terjadi di limpa. Temuan fisik leukostasis dan hiperviskositas
dapat terjadi pada beberapa pasien, dengan peningkatan leukosit yang sangat
tinggi, lebih dari 300,000-600,000 sel/uL. Setelah funduscopy, retina dapat
menunjukkan papilledema, obstruksi vena, dan perdarahan. Krisis blast
ditandai oleh peningkatan dalam sumsum tulang atau ledakan jumlah darah
perifer atau oleh perkembangan leukemia infiltrat jaringan lunak atau kulit.
Gejala khas adalah karena trombositopenia, anemia, basophilia, limpa cepat
memperbesar, dan kegagalan obat yang biasa untuk mengontrol leukositosis
dan splenomegali. (Hoffbrand, 2005)
2.6 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan CML telah berubah signifikan dalam 10 tahun


terakhir meliputi:
1. Remisi hematologi (jumlah sel darah lengkap [CBC] normal dan
pemeriksaan fisik normal yaitu, tidak ada organomegali)
2. Remisi sitogenetika remisi (kembali normal dengan sel kromosom Ph-
positif 0%).
3. Remisi molekular ( hasil polymerase chain reaction negatif [PCR] untuk
mutasi BCR/ABL mRNA), yang merupakan upaya untuk penyembuhan
dan memperpanjang hidup pasien
Lukemia mielositik kronk memiliki 3 fase klinis: fase kronis awal,
selama proses penyakit mudah dikontrol, kemudian fase transisi dan tidak
14

stabil (fase akselerasi), dan, akhirnya, tentu saja lebih agresif (blast krisis),
yang biasanya berakibat fatal. Dalam semua 3 fase, terapi suportif dengan
transfusi sel darah merah atau platelet dapat digunakan untuk meringankan
gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Di negara-negara Barat, 90%
pasien dengan CML didiagnosis dalam tahap kronis. Jumlah sel darah putih
pasien (WBC) biasanya dikontrol dengan obatobatan (remisi hematologi).
Tujuan utama dari pengobatan selama fase ini adalah untuk mengendalikan
gejala dan komplikasi akibat anemia, trombositopenia, leukositosis, dan
splenomegali. Pengobatan standar pilihan sekarang mesylate imatinib
(Gleevec), yang merupakan molekul kecil inhibitor spesifik BCR / ABL
dalam semua tahap CML. Fase kronis bervariasi dalam durasi, tergantung
pada terapi pemeliharaan yang digunakan, biasanya berlangsung 2-3 tahun
dengan terapi HU (Hydrea) atau busulfan, tetapi dapat berlangsung selama
lebih dari 9,5 tahun pada pasien yang merespon dengan baik untuk terapi
interferon-alfa. Selain itu, munculnya mesylate imatinib telah secara
dramatis meningkatkan durasi hematologi dan, memang, remisi sitogenetik.
Beberapa pasien dengan kemajuan CML pada fase transisi atau cepat, yang
bisa berlangsung selama beberapa bulan. Kelangsungan hidup pasien yang
didiagnosis pada tahap ini adalah 1-1,5 tahun. Fase ini ditandai dengan
penurunan respon remisi dari jumlah darah dengan obat myelosuppressive
dan munculnya sel blast perifer (≥ 15%), promyelocytes (≥ 30%), basofil
(≥ 20%), dan jumlah trombosit kurang dari 100.000 sel / uL tidak
berhubungan dengan terapi. Untuk mencapai remisi hematologis diperlukan
obat mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis dilanjutkan dengan
terapi interferon dan cangkok sumsum tulang. Terapi myelosuppressive
dulunya adalah andalan pengobatan untuk mengkonversi pasien dengan
CML dari presentasi awal yang tidak terkendali untuk satu dengan remisi
hematologi dan normalisasi dari pemeriksaan fisik dan penemuan
laboratorium. Namun, agen baru terbukti lebih efektif, dengan efek samping
yang lebih sedikit dan kelangsungan hidup lebih lama. (Saglio G, 2010,
Alberta Healt Service, 2012 dan Desmukh C, 2005)
15

a. HU
HU (Hydrea), penghambat sintesis deoksinukleotida, adalah agen
myelosuppressive paling umum digunakan untuk mencapai remisi
hematologi. Hitungan darah awal sel dimonitor setiap 2-4 minggu, dan
dosis disesuaikan tergantung pada jumlah WBC dan platelet. Kebanyakan
pasien mencapai remisi hematologi dalam waktu 1-2 bulan. Obat ini hanya
menyebabkan durasi singkat myelosupresi, dengan demikian, bahkan jika
jumlah sel lebih rendah daripada yang dimaksudkan, menghentikan
pengobatan atau mengurangi dosis biasanya mengontrol jumlah darah.
Dosis terapi pemeliharaan dengan HU jarang menghasilkan remisi
sitogenetik. (Saglio G, 2010, Alberta Healt Service, 2012 dan Desmukh C,
2005)
b. Busulfan
Busulfan (Myleran) merupakan agen alkylating yang secara
tradisional telah digunakan untuk menjaga jumlah WBC di bawah 15.000
sel / uL. Namun, efek myelosuppressive dapat terjadi jauh di kemudian hari
dan bertahan lama yang membuat mempertahankan angka dalam batas
normal lebih sulit. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan fibrosis
paru, hiperpigmentasi, dan penekanan sumsum berkepanjangan yang
berlangsung berbulan-bulan. (Saglio G, 2010, Alberta Healt Service, 2012
dan Desmukh C, 2005)
c. Imatinib mesylate (Gleevec)
Mesylate imatinib (Gleevec) adalah inhibitor tirosin kinase yang
menghambat tirosin kinase bcr-abl yang dihasilkan oleh Philadelphia (Ph1)
kromosom. Imatinib menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis
pada sel positif BCR / ABL. Dengan imatinib pada 400 mg / hari secara oral
pada pasien dengan yang baru didiagnosis Ph1- positif CML dalam tahap
kronis, tingkat respon sitogenetika lengkap adalah 70% dan tingkat
kelangsungan hidup 3-tahun diperkirakan adalah 94%. Dengan dosis tinggi
800 mg / hari, tingkat sitogenetika lengkap respon meningkat menjadi 98%,
16

tingkat respons utama molekul adalah 70%, dan tingkat respon lengkap
molekuler adalah 40-50%. Mekanisme molekuler untuk resistensi imatinib
primer tidak diketahui. Mutasi kinase-domain BCR / ABL merupakan
mekanisme yang paling umum dari resistensi sekunder atau diperoleh untuk
imatinib, terhitung 50-90% kasus, 40 mutasi yang berbeda saat ini telah
dijelaskan. Karena imatinib mengikat ke domain kinase ABL dikonformasi
tertutup atau tidak aktif untuk menginduksi perubahan konformasi,
resistensi terjadi ketika mutasi mencegah domain kinase dari mengadopsi
konformasi spesifik terhadap ikatan. (Saglio G, 2010, Alberta Healt
Service, 2012 dan Desmukh C, 2005)
d. Leukapheresis
Leukapheresis menggunakan pemisah sel dapat menurunkan jumlah
WBC dengan cepat dan aman pada pasien dengan jumlah WBC lebih dari
300.000 sel / uL, dan dapat mengurangi gejala akut leukostasis,
hiperviskositas, dan infiltrasi jaringan. Leukapheresis biasanya mengurangi
jumlah WBC hanya sementara. Dengan demikian, sering dikombinasikan
dengan kemoterapi Cytoreductive untuk efek lebih lama. (Besa EC, 2014)
e. Interferon alfa
Di masa lalu, interferon alfa adalah terapi pilihan untuk sebagian besar
pasien dengan LMK yang terlalu tua untuk transplantasi sumsum tulang
(BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang cocok. Dengan
munculnya inhibitor tirosin kinase, interferon alfa tidak lagi dianggap terapi
lini pertama untuk LMK. Ini dapat digunakan dalam kombinasi dengan
obat-obat baru untuk pengobatan kasus-kasus refrakter. Sebuah studi oleh
Simonsson et al menemukan bahwa penambahan periode yang relatif
singkat bahkan alfa2b pegylated interferon untuk imatinib meningkatkan
tingkat respon utama molekul pada 12 bulan terapi. Dosis yang lebih rendah
dari alfa2b pegylated interferon dapat meningkatkan toleransi sementara
tetap mempertahankan efikasi dan dapat dipertimbangkan dalam penelitian
selanjutnya. (Besa EC, 2014)
f. Transplantasi
17

Sumsum tulang alogenik transplantasi (BMT) atau transplantasi sel


induk saat ini satu-satunya obat yang telah terbukti untuk LMK. Idealnya,
harus dilakukan dalam tahap kronis dari penyakit daripada pada fase
transformasi atau krisis blast. Calon pasien harus ditawarkan prosedur ini
jika mereka memiliki donor terkait cocok atau single antigen-cocok
tersedia. Secara umum, pasien yang lebih muda umum lebih baik daripada
pasien yang lebih tua. BMT harus dipertimbangkan dini pada pasien muda
(<55 y) yang memiliki donor saudara kandung yang cocok. Semua saudara
harus bertipe untuk antigen leukosit manusia (HLA)-A, HLA-B, dan HLA-
DR. Jika tidak cocok, jenis HLA dapat dimasukkan ke dalam register
sumsum tulang untuk donor yang tidak sepenuhnya cocok. BMT alogenik
dengan donor yang cocok tidak berhubungan telah menghasilkan hasil yang
sangat menggembirakan dalam penyakit ini. Prosedur ini memiliki tingkat
yang lebih tinggi dari kegagalan graft awal dan akhir (16%), penyakit host
graft akut kelas III-IV (50%), dan extensive chronic graft versus host
disease (55%). Tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan berkisar
dari 31% menjadi 43% untuk pasien yang lebih muda dari 30 tahun dan dari
14% menjadi 27% untuk pasien yang lebih tua. Manfaat dan risiko harus
dinilai dengan hati-hati dengan setiap pasien. Angka kematian yang terkait
dengan BMT adalah 10-20% atau kurang dengan saudara cocok dan 30-
40% dengan donor yang tidak berhub ungan. Registri sumsum tulang
mendekati angka kesembuhan untuk pasien dengan LMK pada 50%.
Transplantasi telah ditujunkan ke pasien yang tidak mencapai remisi
molekular atau menunjukkan resistensi terhadap imatinib dan kegagalan
generasi kedua BCR-ABL inhibitor kinase seperti dasatinib. Paparan
sebelumnya untuk imatinib sebelum transplantasi tidak mempengaruhi
hasil posttransplant seperti kelangsungan hidup secara keseluruhan dan
kelangsungan hidup bebas perkembangan. Sebuah analisis retrospektif
yang mencakup 70 pasien dengan LMK (44% pada fase akselerasi atau
krisis blast) yang telah menerima imatinib sebelum transplantasi sel induk
menunjukkan engraftment 90% dan diperkirakan transplantasi terkait
18

kematian 44% dan mortalitas kambuh diperkirakan 24% pada 24 bulan .


Graft versus host tingkat penyakit adalah 42% untuk% akut dan 17 untuk
kronis. [35] Sebagian besar data berasal dari transplantasi alogenik dari
donor yang cocok HLA-saudara dan transplantasi syngeneic beberapa dari
saudara kembar identik. Data menunjukkan bahwa transplantasi alogenik
memiliki hasil lebih baik dibandingkan transplantasi syngeneic karena
beberapa efek graft versus leukemia. BMT adalah autologous yang diteliti,
tetapi, relatif baru-baru ini, kemoterapi kombinasi atau interferon telah
ditemukan untuk menginduksi remisi sitogenetik dan memungkinkan
pemanenan Ph-negatif CD34 sel induk hematopoietik dari darah perifer
pasien. Munculnya terapi imatinib telah dibayangi transplantasi sel induk
alogenik hematopoietik di LMK baru didiagnosa. Namun, telah
menyarankan bahwa pasien dengan skor Sokal miskin berisiko (lihat
Prognosis), tetapi risiko yang baik untuk transplantasi sel induk alogenik
hematopoietik ditransplantasikan awal atau dimuka. Tidak ada konsensus
saat ini ada pada masalah ini. Namun, konsensus secara luas diterima adalah
bahwa pasien yang kemajuan luar fase kronis pada imatinib harus
ditawarkan transplantasi sel induk hematopoietik jika ini adalah pilihan.
Dengan pasien dalam krisis ledakan yang belum terpapar imatinib, obat ini
digunakan dalam kombinasi dengan rejimen induksi sama dengan yang
digunakan di myelogenous akut atau leukemia limfoblastik. Namun, karena
persentase yang tinggi dari imatinib-tahan mutasi ada pada pasien, kambuh
lebih sering terjadi dan pada waktu sebelumnya dari induksi. Dengan
demikian, semua upaya yang dilakukan untuk melakukan transplantasi sel
induk alogenik hematopoietik sesegera mungkin. Kebanyakan pasien
dengan penyakit sisa minimal (MRD) setelah transplantasi membutuhkan
terapi pemeliharaan interferon. Atau, mereka mungkin memerlukan
reinfusion sel T yang dikumpulkan dari donor. (Besa EC, 2014 dan Alberta
Health Service, 2012)
g. Splenektomi
19

Splenektomi dan radiasi limpa telah digunakan pada pasien dengan


splenomegali, biasanya dalam tahap akhir dari LMK. Ini jarang diperlukan
pada pasien dengan LMK yang terjaga. Beberapa penulis percaya bahwa
splenektomi mempercepat terjadinya metaplasia myeloid di hati. Selain itu,
splenektomi berhubungan dengan morbiditas perioperatif tinggi dan tingkat
kematian karena perdarahan atau komplikasi trombotik. (Besa EC, 2014)
2.8 Prognosis

Secara historis, kelangsungan hidup rata-rata pasien dengan LMK


adalah 3-5 tahun dari saat diagnosis. Saat ini, pasien dengan LMK memiliki
hidup rata-rata 5 tahun atau lebih dan 5 tahun tingkat kelangsungan hidup
50-60%. Peningkatan tersebut telah dihasilkan dari diagnosis dini, terapi
ditingkatkan dengan interferon dan transplantasi sumsum tulang, dan
perawatan suportif yang lebih baik. (Besa EC, 2014 dan Alenzy FQ, 2007)
20

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Sdr. Bayu Setio Budi


Tanggal Lahir : 28 Agustus 1991
Umur : 27 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Dsn. Mojoranu-Tanggalrejo-Mojoagung-Jombang
MRS : 18 September 2018
3.2 Anamnesa
 Keluhan Utama : Muntah Darah
 Keluhan Tambahan : Lemas
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh badan lemas, muntah darah berwarna hitam sejak
tadi siang (tgl 18-9-2018) 1 kali kurang lebih 1200 ml. BAB hitam (-) mual
(+), Pusing(+) BAK dbn.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah seperti ini 5 tahun yang lalu + BAB hitam
 Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Present (18/09/2018)

KU : Lemah
21

Kesadaran : Compos mentis, GCS 456

Nadi : 90 x/menit, reguler

Respirasi : 22 x/menit

Suhu : 36oC

Tensi : 70/40

Status Generalis (18/09/2018)

Kepala/leher : a/i/c/d +/-/-/-

JVP flat, pembesaran KGB (-)

Mata : anemis +/+ , ikterus -/-

THT : Telinga : sekret (-)

Hidung : sekret (-), nafas cuping hidung (-)

Tenggorokan : Tonsil T 1/ T1 Hiperemis (-)

Faring hiperemis (-)

Thorax : Simetris (+) Retraksi (-)

Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : Vesikuler +/+, wheezing -/-, ronki -/-

Abdomen : Flat, BU (+), Shifting dullness (+) Splenomegali Schuffner 3

Ekstremitas : Hangat (+), edema (-), CRT < 2 detik, nadi lemah

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap 18 September 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 5,3 g/dl L: 13,2-17,3 P: 11,7-15,5 g/dl

Lekosit 2.430 /ul L: 3.800-10.600 P: 3.600-11.000 /ul


22

Hematokrit 18,1 % L: 40-52 P: 35-47 %

Eritrosit 2.420.000 jt/ul L: 4,5-5,5 P:4-5 jt/ul

Trombosit 57.000 /cmm 150.000-350.000 /cmm

Hitung Jenis:

Eosinofil 1% 1-3 %

Basofil -

Batang - 3-5 %

Segmen 78 % 50-65 %

Limfosit 17 % 25-35 %

Monosit 4% 4-10%

Cl 107 meq/L 96-107 meq/L

Natrium 139 meq/L 136-144 meq/L

Kalium 3,91 meq/L 3.5 – 5.0 meq/L


23

Hasil USG : Splenomegali

1.5 Diagnosis

Anemia Aplastik

Pansitopenia

Splenomegali (Susp. CML)

3.6 Diagnosis Banding

3.7 Penatalaksanaan

Farmakologi

Inf NaCl 20 tts/mnt


Inj Ondansentron 3x1
Inj OMZ 2x1
Inj. Dexamethason 3x1n
Sucralfat 3xCI
Transf. PRC 1 Kolf/hari

Pasang NGT  Kumbah Lambung di IGD

BAB IV
24

PEMBAHASAN

1.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Pasien mengeluh badan lemas, muntah darah berwarna hitam sejak tadi
siang (tgl 18-9-2018) 1 kali kurang lebih 1200 ml. BAB hitam (-) mual (+),
Pusing(+) BAK dbn.
Pada pemeriksaan Fisik didapatkan tanda-tanda CML yaitu adanya
Splenomegali. Hal tersebut menguatkan diagnosis karena dari penjelasan di
atas bahwa dari pemeriksaan fisik CML Splenomegali adalah penemuan fisik
yang paling umum di temukan. lebih dari 50% pasien pada CML, limpa
berukuran lebih dari 5 cm di bawah batas kosta kiri sering di temukan.

4.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien antara lain


pemeriksaan darah lengkap, serum elektrolit serta pemeriksaan HbsAg pada
pasien. Dari hasil pemeriksaan darah lengkap ditemukan kadar Hemoglobin,
leukosit, eritrosit dan trombosit dengan kadar yang menurun.
Dari hasil pemeriksaan foto rontgen thorax ap pada tanggal 26 juni 2018
didiapatkan yaitu dalam batas normal. Pada pemeriksaan HbsAg di dapatkan
hasil Negatif.
Adapun usulan pemeriksaan yang belum dilakukan adalah Hapusan darah
tepi dan USG untuk mengetahui penyebab dan menyingkirkan diagnosis banding
anemia yang berulang dari kasus ini.
4.3 Penatalaksanaan

Kebutuhan cairan pasien diberikan infus Nacl 1500cc/24jam 20tpm.


Terapi yang diberikan pada pasien ini antara lain, ondansentron 3x4mg,
Omeprazol 2x1, Dexamethason 3x, Sucralfat 3xCI dan Transfusi PRC 1
Kolf/hari.
Diet lunak berupa bubur dan rendah serat diberikan karena pasien sempat
mengalami mual muntah sebelum masuk rumah sakit. Diet yang diberikan berupa
25

diet tinggi karbohidrat dan tinggi protein untuk memenuhi kebutuhan


pertumbuhan pasien.

BAB IV

PENUTUP

CML merupakan penyakit atau kelainan neoplastik ganas sistem hemopoetik,

yang di tandai dengan adanya proliferasi dari seri sel granulosit matur tanpa gangguan

diferensiasi dengan ciri khas didapatkan kromosom Philadelphia. Kromosom


26

Philadelphia yang merupakan hasil fusi dari Gen BCR-ABL, yaitu hasil translokasi

respirokal t(9;22) antara lengan panjang kromosom 9 dan kromosom 22.

Lukemia mielositik kronik memiliki 3 fase klinis: fase kronis awal, selama

proses penyakit mudah dikontrol, kemudian fase transisi dan tidak stabil (fase

akselerasi), dan, akhirnya, tentu saja lebih agresif (blast krisis), yang biasanya berakibat

fatal. Dalam semua 3 fase, terapi suportif dengan transfusi sel darah merah atau platelet

dapat digunakan untuk meringankan gejala dan meningkatkan kualitas hidup. Di

negara-negara Barat, 90% pasien dengan CML didiagnosis dalam tahap kronis. Jumlah

sel darah putih pasien (WBC) biasanya dikontrol dengan obat obatan (remisi

hematologi). Tujuan utama dari pengobatan selama fase ini adalah untuk

mengendalikan gejala dan komplikasi akibat anemia, trombositopenia, leukositosis,

dan splenomegali.

Pengobatan standar pilihan sekarang mesylate imatinib (Gleevec), yang

merupakan molekul kecil inhibitor spesifik BCR / ABL dalam semua tahap CML. Fase

kronis bervariasi dalam durasi, tergantung pada terapi pemeliharaan yang digunakan,

biasanya berlangsung 2-3 tahun dengan terapi HU (Hydrea) atau busulfan, tetapi dapat

berlangsung selama lebih dari 9,5 tahun pada pasien yang merespon dengan baik untuk

terapi interferon-alfa. Selain itu, munculnya mesylate imatinib telah secara dramatis

meningkatkan durasi hematologi dan, memang, remisi sitogenetik. Beberapa pasien

dengan kemajuan CML pada fase transisi atau cepat, yang bisa berlangsung selama

beberapa bulan. Kelangsungan hidup pasien yang didiagnosis pada tahap ini adalah 1-

1,5 tahun. Fase ini ditandai dengan penurunan respon remisi dari jumlah darah dengan

obat myelosuppressive dan munculnya sel blast perifer (≥ 15%), promyelocytes (≥


27

30%), basofil (≥ 20%), dan jumlah trombosit kurang dari 100.000 sel / uL tidak

berhubungan dengan terapi. Untuk mencapai remisi hematologis diperlukan obat

mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis dilanjutkan dengan terapi interferon

dan cangkok sumsum tulang. Terapi myelosuppressive dulunya adalah andalan

pengobatan untuk mengkonversi pasien dengan CML dari presentasi awal yang tidak

terkendali untuk satu dengan remisi hematologi dan normalisasi dari pemeriksaan fisik

dan penemuan laboratorium. Namun, agen baru terbukti lebih efektif, dengan efek

samping yang lebih sedikit dan kelangsungan hidup lebih lama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffbrand AV. Petit JE. Moss PAH. Hematologi. 4th. Jakarta: EGC; 2005.
p:167-176
2. Besa EC. Chronic myelogenous leukemia. Medscape: 2014.
3. Chen YB. Chronic myelogenous leukemia. Medlineplus: 2014
28

4. Price SA. Wilson LM. Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit.


Vol.1. 6th . Jakarta: EGC; 2006. P:277-281
5. Khrisnan K. Leukemia chronic myeloid. American cancer association: 2014
6. Cardama AQ. Cortes JE. Chronic myeloid leukemia (diagnosis and
treatment). Symposium oncology practice: 2006
7. Alenzy FQ. Wyse RK. A close link between Fas, p53 and Apaf1 in chronic
myeloid leukemia. Vol.28. Saudi med journal: 2007
8. Saglio G. Kim DW. Issaragrisil S. Nilotinib vs imatinib for newly diagnose
chronic myeloid leukemia. NEJM: 2010
9. Alberta health service. Management of chronic myeloid leukemia. Clinical
practice guidline Lyhe: 2012
10. Desmukh C. Saikia T. Bakshi A. Imatinib mesylate in chronic myelocytic
leukemia. Vol.53. JAPI: 2005
11. Lawrenti H. Tatalaksana Leukemia Mieloid Kronik. Medical Departemen
PT Kabe Farma. CDK Edisi Suplemen/Vol.44 th 2017, Jakarta. Indonesia
12. Solikah TA. Indonesian Journal of Medicine and Health. Histologi
Departmet, Medical Faculty of Sebelas Maret University. Vol.8. JKKI :
2016

Anda mungkin juga menyukai