Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN HASIL DISKUSI BBDM

MODUL 6.2 SKENARIO 3


BBDM KELOMPOK 16

TUTOR PEMBIMBING
dr. Sigid Kirana Lintang Bhima, Sp.KF

DISUSUN OLEH
Airiza Fatma Yossineura
22010117140106

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
SKENARIO KASUS
BBDM 3

Seorang anak berusia 2 bulan BB 5kg datang ke Puskesmas dengan keluhan batuk dan sesak
napas. Batuk sejak 2 minggu yang lalu, mula-mula batuk biasa disertai dengan pilek,
kemudian satu minggu terakhir batuk semakin bertambah berat, batuk disertai dengan tarikan
napas yang berbunyi, saat batuk anak terlihat biru dijari kaki dan tangan. Demam (+) naik
turun sejak 2 minggu yang lalu, 3 hari terakhir demam tinggi terus menerus. Anak tidak mau
makan dan minum. Riwayat tersedak disangkal. Anak mendapatkan susu formula, karena ibu
bekerja sehingga ASI tidak keluar lagi. Ayah pasien perokok, ibu pasien mempunyai riwayat
alergi debu. Riwayat imunisasi yang telah diberikan Hepatitis B 2x, BCG satu kali. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan umum apatis, tampak sesak dan sianosis. Tanda vital
laju jantung 130x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 58x/menit, suhu 39C,
SaO2 84 %. Hidung napas cuping (+), pemeriksaan thoraks terlihat inspiratory effort disertai
dengan retraksi subcostal, auskutasi paru SD Bronkhial diseluruh lapangan paru, ST rhonki
kasar (+). Ekstremitas atas dan bawah sianosis (+). Pemeriksaan Laboratorium didapatkan
Haemoglobin 9,6 gr%,Hematokrit 32 %,Lekosit 24.000/mmk, Trombosit 556.000/mmk.
Diffcount 2/0/0/4/16/70/8. X-Foto thoraks didapatkan kesan bercak infiltrat dipara hiler.

A. TERMINOLOGI
1. Napas cuping hidung:
Pergerakan kembang kempis ala nasi untuk mendapatkan oksigen, merupakan salah
satu tanda usaha napas.
2. Inspiratory effort:
Usaha lebih untuk melakukan pernapasan.
3. Bercak infiltrate parahiler:
Bentuknya seperti kabut keputihan tipis, ditemukan pada foto rontgen thorax, akibat
ada mucus diparu-paru disekitar hilus atau parahiler.
4. Suara dasar bronkial:
Suara dasar bernada tinggi dengan fase ekspirasi lebih lama dari inspirasi dan
terputus.
5. Retraksi subcostal:
Penarikan otot ke belakang di bawah costa. Biasanya akibat tekanan intrathorax
negative akibat struktur otot yang belum kuat.
6. ST ronkhi kasar:
Suara tambahan dari udara yang melewati cairan di saluran nafas bawah, merupakan
suara abnormal dengan nada rendah. Dapat terdengar saat inspirasi atau ekspirasi,
terjadi karena penumpukan secret pada trakea maupun bronchi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah kondisi orangtua tersebut berhubungan dengan kondisi bayi saat ini?
2. Apakah ada hubungan dengan riwayat imunisasi?
3. Apa interpretasi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang?
4. Mengapa gejala bayi memberat dari 2 minggu lalu?
5. Apa diagnosis sementara dari kasus ini?

C. HIPOTESIS
1. Bayi tidak mendapatkan ASI, ASI mengandung antibakteri (sudah mencakup
kebutuhan bayi). ASI mengandung protein, lemak dan gula dengan kadar yang tepat.
Selain itu mengandung antibody. Bayi yang mendapatkan ASI jarang mendapatkan
infeksi saluran napas atas dibandingankan dengan bayi tidak mendapatkan ASI.
Ayah perokok, asap tembakau menyebabkan kerusakan jaringan paru dan obstruksi
dari saluran udara kecil. Pada bayi dan anak-anak dapat terjadi infeksi pernapasan.
Zat nikotin dapat ditemukan pada perokok pasif juga. Anak-anak memiliki sistem
imun lebih rendah daripada dewasa sehingga rentan terkena penyakit.
Asap rokok dapat mengaktivasi neutrofil dan makrofag aktivasi protease
emfisema hipersekresi mucus dan obstruksi saluran pernapasan.
Ibu terdapat alergi debu dapat diturunkan pada anak.

2. Pada usia 2bulan sudah hepatisis 2x, BCG 1x, polio 1x, DPT 1 x, HIB 1x dan
rotavirus. Vaksin DPT merupakan vaksin kombinasi difteri, pertussis dan tetanus.
Sedangkan PCV untuk meningitis, pneumoni dan infeksi darah/sepsis. Bayi pada
scenario belum divaksin.

3. Pemeriksaan fisik:
a. Apatis, sesak :kurang oksigen
b. HR 130x/min : normal (usia 1-2bulan: 121-179x/mins)
c. RR 58x/min : normal (usia 0-6bulan: 30-60x/min)
d. 39 C : febris (karena reaksi inflamasi)
e. Sa O2 84% : penurunan saturasi (batas bawah 88%)
f. Hitung napas cuping(+) : tanda kesulitan bernapas. Biasanya ditemukan pada
pasien pneumonia, ISPA, dan obstruksi saluran pernapasan.
g. Inspiratory effort dan retraksi subcostal: usaha bernapas dengan kontraksi otot-
otot bantuan bernapas. Tanda kesulitan bernapas, adanya obstruksi atau restriksi
jalan napas.
h. Suara dasar paru bronchial: biasanya terdengar didaerah trachea dan suprasternal
notch bersifat kasar, nada tinggi, inspirasi lebih pendek
i. Auskultasi suara tambahan ronkhi kasar: bunyi dengan nada rendah, sangat kasar
terdengar baik insprasi maupun ekspirasi akibat terkumpulnya secret dalam
trachea atau bronkus. Sering ditemui pada pasien edema paru dan bronchitis.
j. Ekstrimitas atas dan bawah: sianosis + (kurangnya O2 ke jaringan perifer).
Sesak napas, sianosis, napas cuping hidung : trias bronkhopneumoni.
Pemeriksaan penunjang:
a. Hb 9,6 gr% : anemia (usia 1-6bulan: 10-13 gr%)
b. Hematokrit 32% : normal (1-6bulan: 29-42%)
c. Leukosit 24.000 mm3: meningkat (1-6bulan: 6.000-17.500 mm3) menandakan
adanya infeksi
d. Trombosit 556.000 mm3: normal (300.000-700.000 mm3)
e. Diffcount : limfositosis (normal 21-35); tinggi pada basophil (normalnya 1)
f. X foto thorax: bercak infiltrate parahiller.
4. Memberat karena pada scenario dicurigai pertussis. Pertusis ada 3 stadium:
a. Catarrhalis(1-2 minggu)
Gejala pertussis : batuk ringin, bersin, hidung berair dan tersumbat, demam
ringan dan mata merah.
b. Paroxysmal (2-4weeks)
Gejala semakin berat, batuk keras, muncul bunyi saat batuk “whoop”, wajah
memerah saat batuk, muntah setelah batuk, merasa lelah setelah batuk, kesulitan
mengambil napas. Durasi batuk menjadi lebih lama (>1 mins), frekuensi juga
lebih sering saat malam hari. Gangguan batuk menyebabkan apneu, kulit
berwarna biru karena kekurangan oksigen. Dicurigai sudah memasuki fase
paroxysmal dilihat dari gejalanya. Pemeriksaan lab: leukositosis, limfositosis
yang khas pada stadium catarrhalis dan paroxysmal dan menandakan ada infeksi.
c. Convalesence (1-2 minggu)
Pertusis disebabkan oleh bakteri, menyebabkan perlepasan racun sehingga
saluran napas meradang. Tubuh merespon dengan mengeluarkan mucus batuk.
Penumpukan lender kesulitan bernapas (memunculkan bunyi whoop tepat
sebelum batuk-batuk).

5. Diagnosis sementara: Pertusis

D. PETA KONSEP

Pemeriksaan penunjang:
Anamnesis: -Hb rendah: anemia
-Batuk kering -Ht normal
-Whooping cough Pemeriksaan fisik: -Leukositosis
-Ayah perokok -sianosis ekstrimitas -Limfositosis
-Ibu alergi - napas cuping hidung -Foto thorax: bercak
-Diberi susu formula -demam dan pilek infiltrate parahiller
-imunisasi belum lengkap -ST ronkhi kasar

Patogenesis

Diagnosis sementara:
Pertusis Manifestasi klinis

E. SASARAN BELAJAR
1. Etiologi dan faktor risiko pertussis.
2. Patofisiologi pertussis.
3. Manifestasi klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang pertussis.
4. Diagnosis banding pertussis.
5. Tatalaksana pertussis.
6. Edukasi (pola asuh) dan pencegahan pertussis.
7. Komplikasi pertussis.

F. BELAJAR MANDIRI
1. Etiologi dan faktor risiko pertussis.
 Etiologi
Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertussis, B.
parapertussis, B. bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertussis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang
disebabkan oleh Bordetella para pertussis dan adenovirus (tipe 1, 2, 3, dan 5).
Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, Gramnegatif, kecil, ovoid, ukuran
panjang 0,5-1 µm dan dengan diameter 0,2-0,3 µm, tidak bergerak, dan tidak
berspora.
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1).
Pasase dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen
(fase II, III, atau IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan
menghasilkan vaksin yang efektif. B. pertussis dapat mati dengan pemanasan
pada suhu 50oC selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0-
10oC).
 Faktor Resiko
 Imunisasi tidak lengkap
 Pemberian ASI yang tidak eksklusif
 Usia kurang dari 3 bulan

2. Patofisiologi pertussis.
Bordetella merupakan kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat kecil
yang tumbuh secara aerobik pada tepung atau media sintetik seluruh dengan faktor
pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energidan arang atau resin siklodekstrin
untuk bahan-bahan yang dapat digunakan. Spesies Bordetella memiliki bersama
tingkat homologi DNA yang tinggi padagena virulen. Hanya B. Pertusis yang
mengeluarkan toksin pertusis (TP). Proteinvirulem utama. Penggolongan serologis
tergantung pada aglutinogen K labilpanas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalang spesifik
untuk B. Pertusis. Serotipbervariasi secara geografis dan sesuai waktu.
Bordetella pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis,
banyak darinya untuk memainkan peran dalam penyakit dan kekebalan. Pasca aerosol,
hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3),
dan protein nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan
terhadap sel epitel bersilia pada pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan
TP tampak menghambat pemeliharaan. Sitotoksin trakhea, faktor demonekrotik, dan
adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel local yang
menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan sulit dicabut TP. TP terbukti memiliki
banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi
leukosit). Beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP
menyebabkan limfositisis segera pada hewan percobaan dengan penggantian limfosit
agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak memainkan peran sentral tetapi bukan
peran tunggal dalam patogenesis.

3. Manifestasi klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang pertussis.


 Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Masa inkubasi pertusis biasanya 7-10 hari, dengan kisaran 4-21 hari,
dan jarang mungkin selama 42 hari. Perjalanan klinis penyakit ini dibagi
menjadi tiga tahap.
 Tahap pertama, tahap catarrhal, ditandai dengan onset coryza (pilek)
yang berbahaya, bersin, demam ringan, dan batuk ringan yang kadang-
kadang terjadi, mirip dengan flu biasa. Batuk berangsur-angsur
menjadi lebih parah, dan setelah 1-2 minggu.
 Tahap kedua, atau paroksismal, dimulai. Demam umumnya minimal
sepanjang perjalanan penyakit. Selama tahap paroksismal, diagnosis
pertusis biasanya dicurigai. Secara khas, pasien mengalami semburan,
atau paroksismus, dari banyak batuk cepat, tampaknya karena kesulitan
mengeluarkan lendir kental dari trakeobronkial. Pada akhir serangan
tiba-tiba, upaya inspirasi yang panjang biasanya disertai dengan suara
bernada tinggi yang khas. Selama serangan seperti itu, pasien dapat
menjadi sianotik (membiru). Anak-anak dan bayi kecil, terutama,
tampak sangat sakit dan tertekan. Muntah dan kelelahan biasanya
mengikuti episode. Orang tersebut tampaknya tidak sakit di antara
serangan. Serangan paroksismal terjadi lebih sering pada malam hari,
dengan rata-rata 15 serangan per 24 jam. Selama 1 atau 2 minggu
pertama tahap ini, serangan meningkat dalam frekuensi, tetap pada
tingkat yang sama selama 2 hingga 3 minggu, dan kemudian secara
bertahap berkurang. Tahap paroxysmal biasanya berlangsung 1 hingga
6 minggu tetapi dapat bertahan hingga 10 minggu. Bayi yang berusia
kurang dari 6 bulan mungkin tidak memiliki kekuatan untuk batuk
yang bersuara khas, tetapi mereka sedang memasuki fase batuk
paroksismal.
 Pada tahap pemulihan, pemulihan dilakukan bertahap. Batuk menjadi
berkurang dan menghilang dalam 2 hingga 3 minggu. Namun,
paroxysms sering kambuh dengan infeksi pernapasan berikutnya
selama berbulan-bulan setelah timbulnya pertusis.
 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan lab darah
Leukositosis (20.000-50.000/UI) dengan limfositosis absolut
(khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal)
 Biakan sekret nasofaring (kultur) → gold standard
Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium
paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk
waktu berikutnya.
 Radiografi dada
Sedikit abnormal pada sebagian besar bayi yang menunjukkan
infiltrat perihulus atau edema (kadang-kadang dengan gambaran kupu-
kupu) dan berbagai atelektasis. Konsolidasi parenkim memberi kesan
infeksi bakteri sekunder. Pneumotoraks, pneumomediastinum, dan
udara di dalam jaringan lunak kadang dapat terlihat.
 ELISA
Dilakukan untuk menentukan Igm, IgG, dan IgA serum
terhadap FHA dan PT. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling
sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak
setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lain yaitu foto toraks dapat
memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis atau empisema.

4. Diagnosis banding pertussis.


 Batuk spasmodik pada bayi yang perlu dipikirkan adalah bronkiolitis,
pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang
menyebabkan limfadenopati dengan penekanan di luar trakea dan bronkus.
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.
 Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai
sindrom klinis B. pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab.

5. Tatalaksana pertussis.
Antibiotik makrolida, seperti eritromisin, dapat mencegah atau mengurangi
pertusis klinis bila diberikan selama masa inkubasi atau tahap awal catarrhalis. Ketika
diberikan selama fase paroxysmal, obat antimikroba tidak mengubah perjalanan
klinis, tetapi dapat menghilangkan bakteri dari nasofaring dan dengan demikian
mengurangi penularan.
Maka dari itu pentingnya untuk menemui dokter segera setelah Anda mulai
mengalami gejala. Walaupun sulit untuk mengetahui sejak dini apakah gejalanya. Jika
batuknya semakin parah atau anak Anda belum mendapatkan vaksin, yang terbaik
adalah memeriksakannya. Perawatan dini, idealnya ketika gejalanya lebih mirip
dengan flu biasa, sangat penting karena dapat membuat infeksi menjadi lebih parah
dan dapat mencegah penyebarannya ke orang lain. Semakin dini antibiotik dimulai
pada penyakit, semakin besar kemungkinan Anda dapat menghindari mantra batuk
rejan yang berlangsung selama berminggu-minggu. Dokter Anda akan memberi Anda
atau anak Anda antibiotik untuk mengobati infeksi. Kadang-kadang infeksi sangat
parah sehingga perawatan perlu diberikan di rumah sakit. Bayi berisiko tinggi karena
perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit. Cairan oksigen dan intravena (IV)
mungkin diperlukan karena mantra batuk yang parah. Orang tidak dapat kembali ke
tempat penitipan anak, sekolah atau bekerja sampai mereka menyelesaikan perawatan
antibiotik. Jangan memberikan obat batuk kecuali dokter Anda memberi tahu Anda.
Obat batuk tidak akan membantu dan dapat memberikan efek samping. Obat bebas
batuk dan pilek tidak boleh diberikan kepada anak-anak berusia di bawah 4 tahun.

6. Edukasi (pola asuh) dan pencegahan pertussis.


 Edukasi (pola asuh)
 Memberikan edukasi kepada ibu tentang pentingnya imunisasi,
khususnya DPT pada kasus ini
 Bagi pasien anak; edukasi orang tua mengenai mudahnya potensi
infeksi menular serta saran meminum profilaksis.
 Pasien disarankan untuk menghindarkan tindakan yang dapat
merangsang batuk. Sebaiknya tidak meminum penekan batuk, namun
antitusif dapat diberikan bila batuk sangat mengganggu.
 Memberikan ASI eksklusif
 Meningkatkan higienitas lingkungan sekitar
 Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah infeksi pertusis adalah dengan
mendapatkan vaksin pertusis. Vaksin pertusis tidak mengandung bakteri hidup
dan tidak dapat memberi Anda infeksi. Pada anak-anak vaksin pertusis
biasanya diberikan bersama vaksin lain. Bentuk paling umum disebut DTaP.
Vaksin kombinasi ini juga melindungi terhadap infeksi lain yang disebut
difteri dan tetanus. Dosis pertama diberikan pada usia 2 bulan. Pastikan bayi
Anda mendapatkan semua dosis vaksin tepat waktu. Penyedia layanan
kesehatan Anda akan memberi tahu Anda jadwal untuk vaksin dan membantu
Anda melacak kapan dosis dibutuhkan. Beberapa anak dengan kondisi
neurologis dan kejang mungkin tidak menerima vaksin pertussis atau menunda
mendapatkannya. Penyedia layanan kesehatan Anda juga dapat memberi tahu
Anda tentang risiko atau alasan Anda atau anak Anda tidak akan diberikan
vaksin pertussis

7. Komplikasi pertussis.
Komplikasi yang paling umum, dan penyebab kematian terkait pertussis
adalah pneumonia bakteri sekunder. Bayi muda memiliki risiko tertinggi untuk
mendapatkan pertussis komplikasi terkait. Data dari tahun 1997-2000 menunjukkan
bahwa pneumonia terjadi sekitar 5,2% dari semua kasus pertusis yang dilaporkan dan
di antara 11,8% bayi berusia di bawah 6 bulan.
Komplikasi neurologis seperti kejang dan ensefalopati (gangguan difus otak)
dapat terjadi sebagai akibat hipoksia (pengurangan pasokan oksigen) akibat batuk,
atau mungkin akibat toksin. Komplikasi neurologis pertusis lebih sering terjadi pada
bayi. Komplikasi pertusis lain yang kurang serius termasuk otitis media, anoreksia,
dan dehidrasi. Komplikasi yang dihasilkan dari efek tekanan paroxysms parah
termasuk pneumotoraks, epistaksis, hematoma subdural, hernia, dan prolaps rektum.
Pada tahun 2008 hingga 2011 terdapat total 72 kematian akibat pertusis
dilaporkan ke CDC. Anak-anak usia 3 bulan atau lebih muda menyumbang 60 (83%)
dari kematian ini. Selama 2008-2011, rata-rata tahunan kasus pertusis pada bayi
adalah 3.132 (kisaran 2.230 - 4.298), rata-rata rawat inap adalah 1.158 (kisaran 687-
1.459) dan rata-rata kematian adalah 16 (kisaran 11-25).

G. DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
2. Soedarmo SSP. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2008. 331–337 p.
3. Curtis CR, Baughman AL, Debolt C, Goodykoontz S, Kenyon C, Watson B, et al.
Risk Factors Associated with Bordetella pertussis among Infants ≤4 Months of
Age in the Pre-Tdap Era: United States, 2002-2005 [Internet]. Vol. 36, Pediatric
Infectious Disease Journal. Lippincott Williams and Wilkins; 2017 [cited 2020
Apr 1]. p. 726–35. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28033240
4. Hu Y, Liu Q. [Clinical analysis of 247 children with whooping cough and the risk
factors of severe cases]. Zhonghua er ke za zhi = Chinese J Pediatr [Internet].
2015 Sep [cited 2020 Apr 1];53(9):684–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26757969
5. Kliegman RM. Nelson Textbook Of Pediatrics. Philadelphia: Elsevier; 2016.
1377– 1382 p.
6. World Health Organization (WHO). Pertussis Vaccine-Preventable Diseases. Who
[Internet]. 2018;16. Available from:
https://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/WHO_S
urveillanceVaccinePreventable_16_Pertussis_R1.pdf?ua=1
7. Bena WW. Polls at parliamentary elections before 1832. Notes Queries. 1893;s8-
III(69):301–3.
8. Series I. What Is Pertussis ( Whooping Cough )? 2016;

Anda mungkin juga menyukai