Anda di halaman 1dari 18

Laporan BBDM MODUL 6.

2
SKENARIO 3

Disusun oleh

Alvyn Dio R

22010117130201

Kelas A

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2020
BBDM 6.2
SKENARIO 3
Seorang anak berusia 2 bulan BB 5 kg datang ke Puskesmas dengan keluhan batuk dan sesak
napas. Batuk sejak 2 minggu yang lalu, mula-mula batuk biasa disertai dengan pilek,
kemudian satu minggu terakhir batuk semakin bertambah berat, batuk disertai dengan tarikan
napas yang berbunyi, saat batuk anak terlihat biru dijari kaki dan tangan. Demam (+) naik
turun sejak 2 minggu yang lalu, 3 hari terakhir demam tinggi terus menerus. Anak tidak mau
makan dan minum. Riwayat tersedak disangkal. Anak mendapatkan susu formula, karena ibu
bekerja sehingga ASI tidak keluar lagi. Ayah pasien perokok, ibu pasien membunyai riwayat
alergi debu. Riwayat imunisasi yang telah diberikan Hepatitis B 2x, BCG satu kali. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan Keadaan umum apatis, tampak sesak dan sianosis. Tanda Vital
laju jantung 130x/menit, isi dan tegangan cukup, frekuensi napas 58x/menit, suhu 39 C, SaO2
84%. Hidung napas cuping (+), pemeriksaan thorax terlihat inspiratory effort disertai dengan
retraksi subcostal, auskultasi paru SD Bronkhial diseluruh lapangan paru, ST rhonki kasar (+).
Ekstremitas atas dan bawah sianosis (+). Pemeriksaan Laboratorium didapatkan Haemoglobin
9,6 gr%, Hematokrit 32%, Leukosit 24.000/mmk, Trombosit 556.000/mmk. Diffcount
2/0/0/4/16/70/8. X-Foto thoraks didapatkan kesan bercak infiltrat dipara hiler.

I. TERMINOLOGI
Retraksi Subcostal : retraksi subcostal adalah tarikan dinding dada ke dalam pada
saat inspirasi akibat sesak nafas (usaha untuk mendapatkan nafas).
Biasanya untuk sesak nafas dengan derajat berat (derajat 4)
 Alergi : Alergi adalah reaksi sistem kekebalan tubuh manusia terhadap
benda tertentu, yang seharusnya tidak menimbulkan reaksi di tubuh orang lain. Reaksi
tersebut dapat muncul dalam bentuk pilek, ruam kulit yang gatal, atau bahkan sesak
napas. Alergi disebabkan karena sistem kekebalan tubuh salah mengidentifikasi
alergen. Alergen dianggap membahayakan tubuh, padahal sebenarnya tidak. Saat
terpapar dengan alergen, terbentuk antibodi yang disebut Imunoglobulin E (IgE).
 Sianosis : Sianosis adalah suatu keadaan di mana kulit dan membran
mukosa berwarna kebiruan akibat penumpukan deoksihemoglobin pada pembuluh
darah kecil pada area tersebut. Sianosis biasanya paling terlihat pada bibir, kuku, dan
telinga. Sianosis menandakan kurangnya oksigen dalam darah.
 Imunisasi : Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan
penyakit tersebut tidak akan menderita penyakit tersebut.
Imunisasi dasar
•Usia 0 bulan: 1 dosis hepatitis B
•Usia 1 bulan: 1 dosis BCG dan polio
•Usia 2 bulan: 1 dosis DPT, hepatitis B, HiB, dan polio
•Usia 3 bulan: 1 dosis DPT, hepatitis B, HiB, dan polio
•Usia 4 bulan: 1 dosis DPT, hepatitis B, HiB, dan polio
•Usia 9 bulan: 1 dosis campak/MR

Imunisasi lanjutan
•Usia 18-24 bulan: 1 dosis DPT, hepatitis B, HiB, dan campak/MR
•Kelas 1 SD/sederajat: 1 dosis campak dan DT
•Kelas 2 dan 5 SD/sederajat: 1 dosis Td
 Diffcount : Hitung Jenis (differential count) adalah menghitung lima jenis
sel darah putih: neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil. Hasil masing-masing
dilaporkan sebagai persentase jumlah leukosit. Persentase ini dikalikan leukosit untuk
mendapatkan hitung ‘mutlak’. Contohnya, dengan limfosit 30% dan leukosit 10.000,
limfosit mutlak adalah 30% dari 10.000 atau 3.000. Interpretasi pada skenario
2/0/0/4/16/70/8 : basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit dan
monosit. Pemeriksaan hitung leukosit total atau hitung jenis leukosit ini dapat menjadi
bagian pemeriksaan Darah Lengkap dalam Pemeriksaan Kesehatan. Selain itu,
pemeriksaan hitung jenis leukosit ini dapat membantu diagnosis suatu penyakit dan
memonitor pada penyakit atau kondisi yang dapat mempengaruhi nilai satu atau lebih
dari jenis leukosit dengan melihat jumlah dari sel darah putihnya, apakah lebih tinggi
atau lebih rendah dari nilai normal/rujukkan yang ada.
 Hidung napas cuping : nafas cuping/ Nasal Flaring adalah kondisi dimana lubang
hidung melebar saat bernafas. Nama lain kondisi ini yaitu alae nasi. Nasal flaring bisa
menjadi tanda bahwa seseorang mengalami kesulitan bernapas. nafas cuping salah satu
tanda sesak nafas, atau meningkatnya usaha bernafas. Ini dapat terjadi karena asma,
PPOK/ penyakit paru obstruktif kronis, pneumonia/ infeksi paru, ataupun penyakit
metabolisme yang menyebabkan peningkatan usaha bernafas.
 Ronkhi kasar : Ronkhi merupakan jenis suara yang bersifat kontinu, pitch
rendah, mirip seperti wheeze. Tetapi dalam ronkhi jalan udara lebih besar, atau sering
disebut coarse ratling sound. Ronkhi menunjukkan halangan pada saluran udara yang
lebih besar oleh sekresi. Kondisi yang berhubungan dengan terjadinya ronkhi yaitu :
- Pneumonia
- Asthma
- Bronkitis
- Bronkospasme
ronkhi kasar ini terdengar akibat gerakan udara melewati jalan nafas yang menyempit
akibat obstruksi nafas berupa sekret, oedema, atau massa.Bisa juga karena sekret di
dalam alveoli. Sumber ronkhi kasar biasanya dari bronkus besar.
 Infiltrat parahiler : gambaran radiologis berupa bercak-bercak opak di serikat
hilus akibat adanya dahak (mucus) di paru. dapat menandakan adanya peradangan
pada paru.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan penunjang? (Hb, Ht, Leu, Trom,
Diffcount, x foto thoraks)
3. Bagaimana hubungan riwayat imunisasi dengan keadaan pasien?
4. Mengapa gejala diawali batuk pilek demam 2 minggu dan memberat dalam
1 minggu terakhir disertai sesak dan bunyi tarikan nafas? Apa
kemungkinan penyebabnya?
5. Apakah ada hubungan antara riwayat tidak pernah tersedak dan konsumsi
susu formula dengan keadaan pasien?
6. Bagaimana kemungkinan pengaruh riwayat keluarga dengan keadaan
pasien? (ayah perokok, ibu pekerja, ibu alergi debu)
7. Apa tatalaksana yang bisa dilakukan sebagai dokter umum
III. BRAINSTORMING
1. Tidak dapat makan/ minum -> pneumonia berat
-Batuk berat dengan tarikan nafas yang berbunyi, Sesak, Pernapasan
cuping hidung -> gejala tanda pneumonia kemungkinan anak
kekurangan O2-> batuk, sesak bias juga pertussis
-Demam (+), sianosis -> tanda gejala pneumonia dan pertussis
-KU : apatis (tidak peduli dengan keadaan lingkungan) -> Nilai GCS
apatis : 13-12.
-TTV : 130 x/mnt : normal
-Frekuensi nafas 58 x/mnt : normal (pada bayi usia 2-11 bulan,
frekuensi nafas dikatakan meningkat jika >50x/menit. Jadi frekuensi
nafas 58x sudah bisa dikategorikan takipneu karena biasanya kalau
sesak itu nafas menjadi cepat dan dangkal.)
-Suhu 39 : meningkat (normal anak adalah 36,5 – 37,5° C) -> ada
infeksi
-SaO2 84% : rendah (normal tingkat penyerapan oksigen (SaO2): 94-
100%.)
-inspiratory effort dengan retraksi subcostal -> pneumonia
-Auskultasi paru SD bronchial : bronchial terdengar di daerah trachea
dan suprasternal notch bersifat kasar, nada tinggi, fase ekspirasinya
lebih panjang daripada inspirasi dan tidak ada henti diatara dua fase
tersebut. -> tidak normal/ pneumonia (normalnya vesikuler)
-Suara tambahan ronkhi kasar(+) -> pneumonia
2. HB 9,6 gr% : rendah
HT 32%: rendah
Leukosit : meningkat
limfosit : meningkat ( khas pada DPT) ->15.000 – 100.000 /mmk dg
limfositosis absolut.
Belum mendapat vaksin DPT.
Foto thoraks infiltrate di parahiler (infiltrat perihiler berarti daerah
sebelah/sekitar hilus): menandakan adanya radang pada paru
3. Pada skenario pasien hanya diimunisasi Hepatitis B dan BCG,
sedangkan seharusnya setiap bayi (usia 0-11 bulan) wajib mendapatkan
imunisasi dasar lengkap yang meliputi 1 dosis Hepatitis B, 1 dosis
BCG, 3 dosis DPT-Hepatitis B, 4 dosis Polio, 1 dosis Campak. Pada
skenario terdapat gejala dan tanda pertusis anak, kemungkinan hal
tersebut terjadi akibat pemberian imunisasi yang tidak lengkap.
Imunisasi yang digunakan untuk memberi kekebalan terhadap pertusis
adalah DPT. Imunisasi DPT diberikan untuk memberi kekebalan
terhadap penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Imunisasi tersebut
diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan agar
mendapat level protektif yang yang maksimal. adanya riwayat
imunisasi BCG juga menyingkirkan kemungkinan TB pada anak.
4. Kemungkinan bayi menderita pertusis yang disebabkan oleh bakteri
gram negatif Bordetella pertussis. Pada awalnya, gejala pertusis mirip
gejala infeksi virus pada umumnya. Batuk pilek demam pada 2 minggu
awal merupakan gejala terjadinya infeksi saluran napas. Pada saat
berada di dalam tubuh, bakteri tersebut melipatgandakan diri dan
menghasilkan racun eksotoksin yang mempengaruhi kemampuan
saluran pernapasan. Pada 2 minggu awal, gangguan saluran nafas yang
terjadi tidak terlalu parah. Namun, semakin lama, lendir yang tebal akan
terbentuk di dalam saluran pernapasan, dan menyebabkan batuk yang
tidak terkontrol. Bakteri juga dapat mengakibatkan pembengkakan yang
mempersempit saluran pernapasan sehingga bayi terlihat kesulitan
bernapas hingga sianosis. Pertussis juga dapat diakibatkan oleh
Bordetella parapertussis walaupun jarang dan klinisnya juga lebih
ringan.
Pada pertusis ada 3 tahapan dalam perjalanan penyakitnya. Yaitu
- Tahap awal (fase catarrhal)
Terjadi selama 1-2 minggu dengan gejala sangat mirip dengan batuk
pilek biasa dan demam ringan naik turun. Fase ini merupakan fase
paing berisiko menularkan pertusis ke orang lain
- Tahap lanjut (fase paroksismal)
Terjadi selama 1-6 minggu dengan klinis yang makin berat. Pasien
mengalami batuk keras hingga muncul: Whooping cough, Sianosis saat
batuk, Letargi, Kesulitan mengambil nafas. Pada bayi biasanya terjadi
nafas terhenti sementara (apnea) yang membuat kulit bayi tampak biru
(khususnya ujung jari) karena kekurangan oksigen
- Tahap pemulihan (fase convalescent)
Selama 2-3 minggu, semua gejala dan tanda mengalami perbaikan
Jadi 1 minggu awal itu masih fase catarrhal, dan memberat pada fase
paroksismal
5. -Tidak tersedak
Batuk paroksismal dan sesak pada bayi perlu dipikirkan akibat tersedak
maupun menelan benda asing. Namun biasanya gejala timbul mendadak
dan dapat dibedakan dari pemeriksaaan radiologi
-Susu formula
Seharusnya bayi usia 2 bulan masih mengkonsumsi ASI eksklusif.
Didalam ASI terdapat IgA dari ibu yang dapat mencegah terjadinya
infeksi. Sehingga bayi yang tidak mengkonsumsi ASI lebih rentan
mengalami infeksi.
Riwayat tidak pernah tersedak menyingkirkan kemungkinan pneumonia
aspirasi
6. Paparan asap rokok bisa meningkatkan risiko tejadinya berbagai
gangguan kesehatan dan penyakit. Bayi dan anak-anak yang terpapar
asap rokok berisiko tinggi mengalami iritasi mata, infeksi telinga,
alergi, asma, bronkitis, pneumonia, meningitis, dan sindrom kematian
bayi mendadak.
Bahaya asap rokok yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah
munculnya gangguan pada sistem pernafasan. Anak yang memiliki
orangtua perokok akan lebih mudah terkena penyakit asma, bronkitis,
hingga pneumonia karena seringnya menghirup asap rokok. Anak yang
sering terpapar asap rokok juga diketahui lebih mudah terkena pilek dan
batuk yang biasanya disebabkan karena alergi akibat paparan asap
rokok yang terus menerus.
banyak anak-anak penderita pneumonia yang ternyata disebabkan oleh
kebiasaan orang tuanya yang kerap merokok di dalam rumah atau di
sekitar anak.
Alergi tidak ada ahubungan dengan pertussis. Untuk mengetahui alergi
cek dengan IgE, eusinofil. Tidak bisa dilihat dari manifestasi klinis saja.
Pada anak yg tidak diberi asi < 6 bulan maka bisa menimbulkan
gangguan alergi dan asma pada umur 6 tahun.
Pada pertusis sendiri sebenarnya tidak ada hubungannya dengan bapak
yang merokok karena pertusis disebabkan oleh bakteri, namun bapak
yang merokok dapat membuat gangguan nafas pada anak lebih parah
7. Anak harus diraawat di RS rujuk ke dokter spesialis,
• Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM
setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam
pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama
5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit
dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari
berikutnya.
• Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat
keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis,
distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25
mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
• Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
• Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk
terapi oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila
tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen
setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila
saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak
berguna
• Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan
oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak
direkomendasikan. Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap
waktu.
• Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas >
70/menit) tidak ditemukan lagi.
• Selama batuk paroksismal, letakkan anak dengan posisi kepala
lebih rendah dalam posisi telungkup, atau miring, untuk mencegah
aspirasi muntahan dan membantu pengeluaran sekret.
Bila anak mengalami episode sianotik, isap lendir dari hidung dan
tenggorokan dengan lembut dan hati-hati.
Bila apnu, segera bersihkan jalan napas, beri bantuan pernapasan
manual atau dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen.
IV. SKEMA

V.
VI. Batuk & sesak Pem. Fisik :
Riwayat imunisasi :
Anak 2 bulan napas yang
VII.  KU : apatis
berbunyi, sianosis  Hepatitis 2x
BB 5 kg jari kaki dan  Tampak sesak
 BCG 1x
tangan, demam, dan sianosis
anak tidak mau  Laju jantung
makan dan 130x/menit
minum, riwayat  Isi & tegangan
tersedak disangkal cukup
 Frek napas :
58x/menit
 Suhu 39 C
 saO2 84%
 hidung napas
cuping (+)

Pem. lain :
 Pem thoraks : inspiratory
effort disetai retraksi
subcostal
 Auskultasi paru SD
Bronkial di seluruh
lapangan paru
 ST ronkhi kasar (+)
 X-Foto thoraks
Pertusis didapatkan kesan
bercak infiltrat dipara
hiler
 Pem. Laborat:
-Hb : 9,6 gr%
-Ht : 32%
-leukosit : 24.000/mmk
Trombosit L
556.000/mmk
Diffcount
2/0/0/4/16/70/8

VIII. SASARAN BELAJAR


1. Etiologi dan faktor risiko pertusis
2. Patofisiologi pertusis
3. Gejala tanda pertusis
4. Pemeriksaan penunjang pertusis
5. Diagnosis banding pertusis
6. Tatalaksana dan edukasi pertusis

IX. BELAJAR MANDIRI


1. Etiologi dan Faktor Risiko Pertusis

Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu
yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. Pertusis biasanya
disebabkan diantaranya Bordetella pertussis (Hemophilis pertusis). Masa inkubasi
rata-rata sekitar 6 hari. Suatu penyakit sejenis telah dihubungkan dengan infeksi
oleh bordetella para pertusis, B. Bronchiseptiea dan virus. Adapun ciri-ciri
organisme ini antara lain :
1. Berbentuk batang (coccobacilus)
2. Tidak dapat bergerak
3. Bersifat gram negative.
4. Tidak berspora, mempunyai kapsul
5. Mati pada suhu 55 º C selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10º C)
6. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik
7. Tidak sensitive terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten
terhdap penicillin
8. Menghasilkan 2 macam toksin antara lain :
a. Toksin tidak yahan panas (Heat Labile Toxin)
b. Endotoksin (lipopolisakarida
Faktor Risiko
- Kontak dengan orang yang terinfeksi pertussis (kontak dengan sekresi oral,
nasal dan respirasi)
- Anak yang tidak atau belum divaksin DPT.
- Bayi berumur kurang dari enam bulan, bayi premature
- Bayi merupakan perokok sekunder
- Penderita penyakit jantung, paru-paru dan saraf.

2. Patofisiologi Pertusis
Peradangan terjadi pada lapisan mukosa saluran nafas. Dan organisme hanya
akan berkembang biak jika terdapat kongesti dan infiltrasi mukosa berhubungan
dengan epitel bersilia dan menghasilkan toksisn seperti endotoksin, perttusinogen,
toxin heat labile, dan kapsul antifagositik, oleh limfosist dan leukosit untuk
polimorfonuklir serta penimbunan debrit peradangan di dalam lumen bronkus.
Pada awal penyakit terjadi hyperplasia limfoid penbronklas yang disusun dengan
nekrosis yang mengenai lapisan tegah bronkus, tetapi bronkopnemonia disertai
nekrosis dan pengelupasan epitel permukaan bronkus. Obstruksi bronkhiolus dan
atelaktasis terjadi akibat dari penimbunan mucus. Akhirnya terjadi bronkiektasis
yang bersifat menetap.
Cara penularan: Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang lain melalui
percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin. Dapat pula melalui
sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari kuman-kuman penyakit
tersebut. Tanpa dilakukan perawatan, orang yang menderita pertusis dapat
menularkannya kepada orang lain selama sampai 3 minggu setelah batuk dimulai.

3. Gejala Tanda Pertusis


Pada Pertusis, masa inkubasi 7-14 hari, penyakit berlangsung 6-8 minggu atau
lebih dan berlangsung dalam 3 stadium yaitu :
1. Stadium kataralis / stadium prodomal / stadium pro paroksimal.
a. Lamanya 1-2 minggu.
b. Gejala permulaannya yaitu timbulnya gejala infeksi saluran pernafasan
bagian atas, yaitu timbulnya rinore dengan lender yang jernih:
 Kemerahan konjungtiva, lakrimasi.
 Batuk dan panas ringan.
 Anoreksia kongesti nasalis.
c. Selama masa ini penyakit sulit dibedakan dengan common cold.
d. Batuk yang timbul mula-mula malam hari, siang hari menjadi semakin
hebat, sekret pun banyak dan menjadi kental dan lengket.

2. Stadium paroksimal / stadium spasmodic


a. Lamanya 2-4 minggu
b. Selama stadium ini batuk menjadi hebat ditandai oleh whoop (batuk yang
bunyinya nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik nafas
pada akhir serangan batuk. Batuk dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk
anak tak dapat bernafas dan pada akhir serangan batuk anak mulai
menarik nafas denagn cepat dan dalam. Sehingga terdengar bunyi
melengking (whoop) dan diakhiri dengan muntah.
c. Batuk ini dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa
adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat.
d. Selama serangan, wajah merah, sianosis, mata tampak menonjol, lidah
terjulur, lakrimasi, salvias dan pelebaran vena leher.
e. Batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosional missal menangis dan
aktifitas fisik (makan, minum, bersin dll).

3. Stadium konvaresens
a. Terjadi pada minggu ke 4 – 6 setelah gejala awal.
b. Gejala yang muncul antara lain : Batuk berkurang.
c. Nafsu makan timbul kembali, muntah berkurang.
d. Anak merasa lebih baik.
e. Pada beberapa penderita batuk terjadi selama berbulan-bulan akibat
gangguan pada saluran pernafasan.

4. Pemeriksaan Penunjang Pertusis


Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnose pertusis yaitu :
a. Pemeriksaan sputum
b. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis
c. ELISA
Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap
“filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-
FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh
karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh
penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan
test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-
TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi
natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis.
d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama
stadium 1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal).
e. Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis)
f. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada
apus nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou).
g. Polymerase chain reaction (PCR) assay memiliki keuntungan
sensitivitasnya lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional.
h. Foto toraks
Infiltrat perihiler (perihilar infiltrates), edema (atau mild interstitial edema)
dengan berbagai tingkat atelektasis yang bervariasi, mild peribronchial
cuffing, atau empiema. Konsolidasi (consolidation) merupakan indikasi
adanya infeksi bakteri sekunder atau pertussis pneumonia (jarang).
Adakalanya pneumothorax, pneumomediastinum, atau udara di jaringan
yang lunak dapat terlihat.

5. Diagnosis Banding Pertusis

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,


pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang
menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
1. Bronkiolitis (RSV) pada bayi < 6 bulan
2. Asma
3. Obstruksi di trakea, benda asing, penekanan dari kelenjar lkimfe hilus
karena TBC atau tumor mediastinal
4. Pneumonia
5. Leukemia akut (Reaksi lukomoid), pada pertusis terjadi peningkatan
limfosit bukan limfoblas
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan
laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi
biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan
radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan
adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan
dengan isolasi kuman penyebab.

6. Tatalaksana dan edukasi pertusis

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati


keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi,
istirahat, dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas
adalah untuk menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang
mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi,
dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang
akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi,
keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam.

Pada kasus ringan, umumnya anak-anak umur ≥ 6 bulan, dilakukan


pengobatan rawat jalan. Sedangkan pada anak < 6 bulan perlu dirawat di Rumah
sakit. Selain itu, anak dengan penyulit juga perlu dirawat, misalnya pada anak
dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan
setelah batuk.

Obat Dosis dan sediaan


Azitromisin - < 6 bulan: 10 mg/kg selama 5 hari
- ≥6 bulan: 10 mg/kg (max 500 mg) selama 1 hari, diikuti 5
mg/kg selama 1 hari, kemudian 250 mg/ hari selama 2 – 5
hari
- Dewasa: 500 mg selama 1 hari, dilanjutkan 250 mg/hari
selama 2 – 5 hari
Claritromisi - < 1 bulan: tidak direkomendasikan
n - > 1 bulan: 15 mg/kg/hari (max 1g/hari) dibagi dalam 2 dosis
selama 7 hari
- Dewasa: 1 g/hari dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari
Eritromisin - < 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis.
Monitoring ketat karena beresiko stenosis pylorica
- > 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari (max 2 g/hari) dibagi dalam 4
dosis selama 14 hari
- Dewasa: 2 g/hari dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari
TMP – SMX - < 2 bulan: kontraindikasi
- >2 bulan: TMP 8 mg/kg/hari, SMX 40 mg/kg/hari, dibagi
dalam 2 dosis selama 14 hari
- Dewasa: TMP 320 mg/hari, SMX 1600 mg/hari, dibagi
dalam 2 dosis selama 14 hari

Diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman bordetella pertusis yang telah
dimatikan untuk mendapatkan imunitas aktif. Vaksin ini diberikan bersama vaksin
difteri dan tetanus. Dosis yang dianjurkan 12 unit diberikan pada umur 2 bulan.
Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis :
1. Panas lebih dari 33ºC
2. Riwayat kejang
Reaksi berlebihan setelah imunisasi DPT sebelumnya misalnya: suhu tinggi
dengan kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilatik lainnya.

Pencegahan
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang
seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan
toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat
prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2
minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin
diimunisasi.

Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama


adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai
sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis
monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara
orang dewasa yang terpapar.
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum
seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering
terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,
hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam
dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada
saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit
panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat
kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome
(SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi
untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis
berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang
demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3
jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam
2hari, suhu yang tidak dapat diterangkan

anafilaksis.
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru
lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang
telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.
Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi
B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala
penyakit. Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum
mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah
kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin
diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7
hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi
epidem.

Edukasi :
- Jaga cairan dan nutrisi anak
- Jaga hygiene anak
- Usahakan anak mendapatkan imunisasi lengkap (DPT)
- Hidari faktor risiko yang menimbulkan serangan batuk
- Edukasi ibunya tentang pentingnya pemberian ASI pada anak

X. DAFTAR PUSTAKA

1. Snyder J, Fisher D (2012). Pertussis in Childhood. Pediatrics in Review, 33 : 412


2. Manjoer, arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran,Edisi 3, jilid 2. Jakarta : media
aesculapius
3. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta :
EGC. 181: 960-965.

4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-


infective therapy 8 (2): 163–73.
5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2.
h: 564-56

6. Joseph J, Bocka MD. 2019. Pertussis :Practice Essentials. Medscape

Anda mungkin juga menyukai