Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN HASIL DISKUSI BBDM

MODUL 6.2 SKENARIO 3

BBDM KELOMPOK 21

TUTOR PEMBIMBING
dr. Y. L. Aryoko Widodo, M.Si.Med

DISUSUN OLEH
Timothy Jordan
22010117120070

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2020
SKENARIO 3

Seorang anak berusia 2 bulan BB 5 kg datang ke puskesmas dengan keluhan batuk dan sesak
napas. Batuk sejak 2 minggu yang lalu, mula-mula batuk biasa disertai dengan pilek, kemudian
satu minggu terakhir batuk semakin bertambah berat, batuk disertai dengan tarikan napas yang
berbunyi, saat batuk anak terlihat biru di jari kaki dan tangan. Demam (+) naik turun sejak 2
minggu yang lalu, 3 hari terakhir demam tinggi terus menerus. Anak tidak mau makan dan
minum. Riwayat tersedak disangkal.
Anak mendapatkan susu formula, karena ibu bekerja sehingga ASI tidak keluar lagi.
Ayah pasien merokok, ibu pasien mempunyai riwayat alergi debu. Riwayat imunisasi yang telah
diberikan hepatitis B 2x, BCG satu kali.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan KU apatis, tampak sesak, dan sianosis. Tanda vital
laju jantung 130x/menit, isi dan tegangan cukup. Frekuensi napas 58x/menit. Suhu 39° C, SaO2
84%. Hidung napas cuping (+), pemeriksaan thoraks terlihat inspiratory effort disertai dengan
retraksi subkostal, auskultasi paru SD bronkial di seluruh lapangan paru, ST ronkhi kasar (+).
Ekstremitas atas dan bawah sianosis (+).
Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 9,6 gr%, Ht 32%, leukosit 24,000/mmk, trom-
bosit 556,000/mmk. Differential count 2/0/0/4/16/70/8. X foto thoraks didapatkan kesan bercak
infiltrat di parahiler.

I. Terminologi
1. BCG (Bacille Calmette-Guérin)
Vaksin untuk tuberkulosis yang dibuat dari basil tuberkulosis (Mycobacterium bovis)
yang dilemahkan dengan dikulturkan di medium buatan selama bertahun-tahun.
2. Imunisasi
Induksi imunitas seseorang agar kebal terhadap dengan pemberian vaksin.
3. Sianosis
Warna kebiruan pada kulit dan selaput lendir akibat kekurangan oksigen dalam darah.
Sianosis dapat terlihat jika konsentrasi absolut hemoglobin deoksigenasi sedikitnya 3
g/dL. Sianosis akan tampak apabila saturasi oksigen arteri (SaO2) ≤85%. Oleh karena
kadar hemoglobin neonatus seringkali lebih tinggi dan sirkulasi perifernya lebih lam-
bat, sianosis dapat terjadi saat saturasi oksigen >90%.
4. ST ronkhi kasar
ST (suara tambahan) ronkhi kasar adalah bunyi gaduh yang dalam saat ekspirasi. Ia
terdengar akibat gerakan udara melewati jalan napas yg mengalami obstruksi. Obs-
truksi dapat disebabkan oleh akumulasi infiltrat peradangan, seperti pada pneumonia.
5. Inspiratory effort
Usaha inspirasi yang muncul ketika seseorang mengalami sesak napas. Bila keadaan
semakin parah, pasien juga dapat mengalami retraksi (tarikan) dinding dada

II. Rumusan Masalah


1. Mengapa pasien mengalami demam seminggu sebelumnya? Apakah hubungannya
dengan batuk sekarang?
2. Apakah riwayat imunisasi pasien sudah sesuai dengan kriteria usia pasien?
3. Bagaimanakah interpretasi pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium?
4. Bagaimanakah hubungan kondisi orangtua (merokok, tidak diberi ASI karena peker-
jaan ibu, alergi debu pada Ibu) dengan kondisi bayi?
5. Apakah hubungan riwayat konsumsi susu formula dengan keluhan yang dialami oleh
anak?
6. Apakah diagnosis sementara dari pasien?

III. Hipotesis
1. Adanya demam mencerminkan suatu mekanisme peradangan (inflamasi) pada pasien.
Apabila digabungkan dengan tanda leukositosis pada pemeriksaan laboratorium,
dapat disimpulkan bahawa inflamasi tersebut disebabkan oleh infeksi. Perjalanan
klinis infeksi yang terjadi pada pasien ini terdiri dari beberapa fase. Dua diantaranya
adalah fase prodromal dengan gejala non-spesifik yang menyerupai common cold
(batuk, pilek) lalu dilanjutkan dengan fase dimana terjadi batuk yang parah.
2. Menurut IDAI 2017, anak usia 2 bulan sudah harus mendapat vaksin hepatitis B yang
kedua, polio 1, DPT 1, PCV 1, dan rotavirus 1. Saat lahir, anak sudah seharusnya
diberikan vaksin Hepatitis B pertama, BCG 1, dan polio 0. Pada kasus ini, anak baru
mendapatkan vaksin Hepatitis B 2 kali dan BCG. Ia belum mendapatkan imunisasi 2
polio, 1 DPT, Hepatitis B, dan 1 PCV, sehingga imunisasi pasien belum lengkap.

3. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut.


 Denyut nadi 130/menit  Normal (HR normal usia 2 bulan = 131/menit)

 Frekuensi napas 58/menit  Tinggi (normal 20 – 50)

 Suhu 39° C  Tinggi (normal 37,5° C)

 Saturasi O2 84%  Rendah (normal 95 – 100%)

 Nafas cuping hidung dan inspiratory effort mengindikasikan kesulitan bernafas


 Ronkhi kasar pada auskultasi paru mencerminkan obstruksi jalur pernapasan
 Sianosis mencerminkan hipoksemia

Interpretasi hasil pemeriksaan penunjang adalah sebagai berikut.


 Hb 9,6 g/dL  rendah (normal 13-17)

 Ht 32%  rendah (normal 40-52)

 Leukosit 24,000/mm3  tinggi (normal 3500-10.500)

 Trombosit 556,000/mm3  tinggi (normal 150.000-400.000)

 Bercak infiltrat pada X foto toraks menandakan adanya cairan dalam jaringan pa-
ru yang dapat disebabkan oleh respons inflamasi seperti pada kasus pneumonia.

4. Merokok menimbulkan iritasi saluran napas dan merusak epitelium bersilia yang
melapisinya. Mucociliary clearance yang tidak optimal akan memudahkan berbagai
patogen untuk meinginfeksi saluran napas bawah. ASI berperan dalam membentuk
imunitas anak dan mencegahnya dari infeksi patogen.

5. Pada ASI banyak terdapat kandungan antibakteri. Telah diketahui bahwa kandungan
ASI eksklusif yang diminum bayi sudah mencukupi kebutuhan dan sesuai dengan ke-
sehatan bayi. Bayi yang senantiasa mengonsumsi ASI jarang mengalami selesma dan
infeksi saluran pernapasan atas pada tahun pertama kelahiran apabila dibandingkan
dengan bayi yang tidak mengonsumsinya. Secara khusus, ASI bekerja melalui 2 cara:
 Bekerja secara lokal pada saluran cerna yang terpapar oleh berbagai kuman dan
protein asing dari makanan dan minuman bayi.
 Bekerja secara sistemik oleh karena ASI kaya akan berbagai zat kekebalan tubuh
yang bekerja secara langsung maupun tak langsung.
Dengan demikian, pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi tingkat kematian
bayi akibat berbagai penyakit seperti pneumonia, serta mempercepat pemulihan bila
sakit dan menjarangkan kelahiran. Bayi usia <6 bulan yang tidak mengonsumsi ASI
eksklusif memiliki angka kematian akibat pneumonia 5 kali lipat lebih tinggi diban-
dingkan yang diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan.

6. Pertusis. Terdapat beberapa petunjuk klinis yang mengarah pada diagnosis ini:
 Riwayat gejala common cold seperti batuk dan pilek yang mendahului terjadinya
periode batuk berat. Ini konsisten dengan perjalanan klinis pertusis yang memiliki
fase catarrhal dan fase paroksismal. Fase catarrhal ditandai oleh munculnya ge-
jala common cold, sedangkan fase paroksismal ditandai oleh batuk berat.
 Batuk disertai suara tarikan napas (whooping cough).
 Tidak terdapat riwayat imunisasi DPT.
 Limfositosis.
IV. Peta Konsep

Anak usia 2 bulan

Anamnesis: Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan penunjang:


BB 5 kg KU apatis, tampak sesak, Hb 9,6 g/dL
Batuk 2 minggu, sianosis Ht 32%
seminggu terakhir HR 130x/menit Leukosit darah
semakin memburuk, RR 58x/menit 24,000/mm3
disertai tarikan napas Napas cuping hidung Trombosit 556,000/mm3
berbunyi dengan jari Suhu 39oC X-foto thoraks didapatkan
tangan dan kaki membiru SaO2 84% bercak infiltrat di
Demam tinggi Pemeriksaan thoraks parahiler
Imunisasi belum lengkap Inspiratory effort dengan
Tidak ASI eksklusif retraksi subkostal
SD bronkial
ST ronkhi kasar

Pertusis

V. Sasaran Belajar
1. Definisi, etiologi, dan faktor risiko pertusis.
2. Patogenesis dan patofisiologi pertusis.
3. Pemeriksaan penunjang pertusis.
4. Diagnosis banding pertusis.
5. Komplikasi pertusis.
6. Tatalaksana pertssis.
7. Edukasi dan pencegahan pertusis.

VI. Belajar Mandiri


1. Pertusis, atau disebut juga “whooping cough” dan “batuk seratus hari”, adalah penya-
kit pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Penyakit ini sering
menyerang dan menyebabkan kematian pada kaum anak-anak sebelum ditemukannya
vaksin untuk B. pertussis. Faktor risiko utama adalah usia bayi dan belum mendapat-
kan vaksinasi diphtheria-pertussis-tetanus (DPT).

2. Infeksi dimulai ketika B. pertussis masuk ke saluran pernapasan atas dan menempel
pada mukosa nasofaring menggunakan berbagai macam adhesin, seperti hemaggluti-
nin, pertactin, dan fimbriae. Bakteri berproliferasi, membentuk suatu koloni, dan me-
ngeluarkan sejumlah toksi: tracheal cytotoxin, dermonecrotic toxin, dan toksin per-
tusis. Tracheal cytotoxin menghambat pergerakan silia sehingga menurunkan tingkat
mucociliary clearance saluran pernapasan, sedangkan dermonecrotic toxin menye-
babkan iskemia jaringan lokal. Toksin pertusis adalah faktor virulensi utama dari B.
pertussis. Ia bekerja dengan mengaktivasi enzim adenilil siklase sehingga meningkat-
kan kadar cAMP intraseluler. Akibatnya, terjadi peningkatan sekresi cairan intraselu-
ler dan edema saluran pernapasan. Toksin tersebut juga menghambat kaskade pensi-
nyalan limfosit sehingga mereka sulit masuk ke dalam fokus infeksi dan terakumulasi
dalam darah: limfositosis.
Setalah masa inkubasi selama 7 – 10 hari, perjalanan klinis pertusis pada bayi ter-
diri dari 3 stadium sebagai berikut (Gambar 1).
 Stadium prodromal atau catarrhal (1 – 2 minggu)
Pasien menunjukkan gejala yang menyerupai common cold, seperti demam,
batuk, rhinorrhea (coryza), bersin-bersin, dan anoreksia. Stadium ini merupakan
stadium yang paling infeksius, dimana jumlah bakteri yang dihasilkan paling
banyak dan penyakit belum dapat diidentifikasi dengan baik.
 Stadium paroksismal (2 – 4 minggu)
Stadium ini dicirikan oleh batuk hebat yang terjadi secara episodik (paroksismal).
Batuk terjadi secara beruntun hingga dapat menghabiskan satu fase ekspirasi, lalu
pasien seringkali menghirup napas kencang melalui bukaan glottis yang menyem-
pit sehingga menimbulkan suara tarikan napas (whooping). Episode batuk dapat
diakhiri dengan mual dan muntah atau fase apneu dan sianosis. Limfositosis dan
komplikasi paling sering terjadi pada stadium ini.
 Stadium konvalesen (3 – 4 minggu)
Stadium ini ditandai oleh menurunnya derajat keparahan batuk. Komplikasi seper-
ti ensefalopati, kejang, dan pneumonia dapat terjadi dalam beberapa kasus.

Gambar 1. Perjalanan klinis pertusis.

3. Diagnosis pertusis pada bayi mudah ditegakkan sebab gejala klasik seringkali
muncul. Diagnosis akan lebih sulit ditegakkan pada anak yang lebih tua atau remaja
karena mereka lebih jarang menunjukkan gejala klasik sehingga sulit dibedakan
dengan in-feksi saluran napas lainnya. Dalam semua kasus, pemeriksaan penunjang
tetap perlu dilakukan.
 Limfositosis sering ditemukan pada anak yang mua, namun tidak pada usia rema-
ja dan dewasa.
 Kultur sekret nasofaring merupakan baku emas (gold standard) untuk mengiden-
tifikasi B. pertussis, namun dibutuhkan waktu ±5 hari hingga koloninya tumbuh.
Sekret diambil dengan aspirasi menggunakan kateter, lalu diinokulasikan dalam
medium Bordet-Gengou atau Regan-Lowe (Gambar 2).
 Serologi menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat digu-
nakan untuk mendeteksi antibodi IgA dan IgG terhadap toksin pertusis, hemag-
glutinin, pertactin, dan fimbriae.
 Pemeriksaan molekuler dengan polymerase chain reaction (PCR) mulai digalak-
kan karena ia mampu memberikan hasil dalam waktu yang lebih cepat dibanding-
kan dengan kultur. Ia juga memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi.

Gambar 2. Medium Bordet Gengou (A) dan Regan-Lowe (B) yang digunakan untuk
menumbuhkan B. pertussis dari aspirat sekret nasofaring.

A B

4. Pertusis akibat B. pertussis sulit dibedakan secara klinis dengan infeksi B. paraper-
tussis sebab keduanya dapat menyebabkan batuk paroksismal dengan tarikan napas
dan muntah. Perbedaan keduanya dapat didasarkan atas hitung jenis leukosit, dimana
limfositosis lebih mungkin terjadi dalam kasus infeksi B. pertussis.
Gejala pertusis seringkali tidak spesifik pada pasien remaja dan dewasa sehingga
diagnosis bandingnya lebih luas. Etiologi infeksi yang perlu dipertimbangkan adalah
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Legionella pneumophila, adeno-
virus, virus influenza, dan virus pernapasan lainnya. Etiologi non-infeksi yang banyak
menyebabkan batuk berkepanjangan diantaranya adalah penggunaan inhibitor angio-
tensin-converting enzyme (ACE), penyakit saluran napas reaktif, dan gastroesopha-
geal reflux disease (GERD).

5. Komplikasi pertusis lebih sering muncul pada bayi dibandingkan remaja dan dewasa.
Komplikasi paling sering pada stadium paroksismal.
 Peningkatan tekanan rongga dada saat terjadi batuk yang hebat menyebabkan per-
darahan subkonjungtiva, hernia inguinalis dan abdominalis, pneumotoraks, dan
petechiae pada wajah dan tubuh.
 Penurunan berat badan apabila asupan makan berkurang dan sering muntah.
 Ensefalopati dan kejang diduga terjadi akibat hipoksemia atau apnea.
 Pneumonia terjadi pada 10% kasus bayi, dengan pola infiltrat difus bilateral. Pada
remaja dan dewasa, pneumonia sering diakibatkan oleh infeksi sekunder Strepto-
coccus pneumoniae atau Haemophilus influenzae.

6. Kasus ringan pada anak usia ≥6 bulan dilakukan secara rawat jalan dengan perawatan
penunjang. Anak usia <6 bulan atau yang mengalami pneumonia, kejang, dehidrasi,
gizi buruk, fase apnea lama, henti napas lama, dan sianosis memerlukan perawatan di
rumah sakit.
 Antibiotik eritromisin 12,5 mg/kgBB qid PO selama 7 – 14 hari.
 Terapi oksigen dengan nasal prongs diberikan pada anak yang mengalami siano-
sis, apnea, atau batuk paroksismal berat hingga gejala-gejala tersebut hilang.
 Selama batuk paroksismal, anak ditelungkupkan dan kepala diposisikan lebih ren-
dah untuk mencegah aspirasi dan memudahkan pembersihan sekret lendir.
Apabila anak mengalami sianosis, isap lendir dari hidung dan tenggorokan
dengan hati-hati.
Apabila anak mengalami apnea, segera bersihkan jalan napas dan berikan
bantuan napas manual atau ventilator dengan oksigen.
Antitusif diberikan apabila batuk sangat mengganggu.
 Parasetamol diberikan jika anak mengalami demam tinggi (>39° C) yang diang-
gap menyebabkan gagal napas.
 Memberikan ASI atau cairan peroral. Cairan rumatan intravena (IV) diberikan
jika anak mengalami gagal napas. Asupan nutrisi diberikan dengan frekuensi yang
sering namun sedikit demi sedikit.

7. Tindakan pencegahan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut.


 Memberi vaksinasi DPT pada anak pertusis dan setiap anggota keluarganya yang
riwayat vaksinasinya belum lengkap.
 Memberi vaksinasi DPT ulang untuk anak yang sebelumnya sudah divaksinasi.
 Memberi eritromisin suksinat 12,5 mg/kgBB qid PO selama 14 hari untuk setiap
bayi berusia <6 bulan yang mengalami demam dan tanda infeksi saluran napas.
Ibu anak dalam skenario perlu diedukasi mengenai pentingnya konsumsi ASI eks-
klusif dan vaksinasi lengkap bagi bayi untuk mencegah infeksi. Ayah anak disarankan
untuk berhenti atau mengurangi frekuensi merokok agar tidak mengganggu kesehatan
anggota keluarganya, termasuk bayi. Apabila tetap ingin merokok, ayah disarankan
untuk merokok di luar rumah dan jauh dari jangkauan bayi.
DAFTAR PUSTAKA

Anam, M. S., Rahmadi, F. A., & Dadiyanto, D. W. (2018). Buku Ajar Kesehatan Anak dan
Pubertas. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. (2008). World Health Organization.
Kasper, D. L., & Fauci, A. S. (2013). Harrison's Infectious Disease (2nd ed.). McGraw-Hill
Education.
Murray, P. R., Rosenthal, K. S., & Pfaller, M. A. (2016). Medical Microbiology (8th ed.).
Philadelphia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai