Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN INDIVIDU BBDM MODUL 7.

1
SKENARIO 2

Disusun oleh :

TRI ELINA SARI 22010117130197

Kelas C

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2020
SKENARIO 2 : IBU KESAKITAN SAAT PERSALINAN

Ny. Risti pasien baru datang ke IGD membawa rujukan bidan dengan diagnosa bidan G1P0A0
19 th hamil 9 bulan Inpartu kala I. Pasien mengatakan sudah kencang – kenceng sering dan
gerak janin berkurang. Pasien terlihat kesakitan dan saat dilakukan pemasangan kateter terlihat
urin bercampur darah. Pada pemeriksaan didapatkan TB 145 cm BB 50 Kg, tanda vital pasien
TD 120/90 mmHg, Nadi 112x/menit, RR 22x/menit, T 37 C. Pada pemeriksaan obstetri
didapatkan TFU 34 cm ~ TBJ 3565 gr. Leopold I-IV : janin I intrauterine preskep belum masuk
PAP puki, His 4-5’(50”). DJJ 170x/menit reguler. Tampak bandle ring. Osborn test (+). VT
pembukaan 4 cm, KK (+) menonjol, bagian bawah kepala masih tinggi, UUK sulit dinilai.

I. Terminologi

1. TFU dan TBJ : Tinggi fundus merupakan jarak dari puncak tulang panggul sampai ke
bagian paling atas perut ibu hamil. Tinggi fundus yang normal adalah 2 sentimeter lebih
besar dari usia kehamilan. Misalnya, saat usia kehamilan ibu 12 minggu, maka tinggi
fundus yang normal berkisar antara 10-14 sentimeter. Setelah usia kehamilan lebih dari
20 minggu, ukuran tinggi fundus seringkali sama angkanya dengan usia kehamilan ibu.
Namun, memasuki trimester ketiga, yaitu pada usia kehamilan 35 minggu, tinggi
fundus bisa lebih kecil dari usia kehamilan, yaitu sekitar 31-32 sentimeter.

Taksiran berat janin adalah salah satu cara menafsir berat janin ketika masih di dalam
uterus. Taksiran berat janin berguna untuk memantau pertumbuhan janin dalam rahim,
sehingga diharapkan dapat mendeteksi dini kemungkinan terjadinya pertumbuhan janin
yang abnormal. Selain itu, taksiran berat janin mempunyai arti yang sangat penting.
Berat bayi yang sangat kecil atau sangat besar berhubungan dengan meningkatnya
komplikasi selama masa persalinan dan nifas. suatu metode untuk menaksirkan berat
badan janin dengan pengukuran tinggi fundus uteri (TFU), yaitu dengan mengukur
jarak antara tepi atas simfisis pubis sampai puncak fundus uteri dengan mengikuti
lengkungan uterus, memakai pita pengukur dalam centimeter dikurangi 11, 12, atau 13
hasilnya dikalikan 155, didapatkan berat badan bayi dalam gram. Apabila sesuai dengan
TFU didapatkan TBJ adalah 3,255 gr. Namun pada skenario didapatkan tbj lebih besar.
2. Inpartu : Merupakan keadaan dimana pada ibu hamil mengalami kontraksi
uterus yang adekuat dan teratur minimal 2-3x dalam 10 menit disertai pembukaan
servix.
Bagaimana kontraksi yang adekuat?
• 2x dalam 10 menit
• Durasi 40-60 detik
• Fundus dominan
• Simetris
• Tidak teraba bagian janin
• Tersinkronisasi
3. Bandle ring : Bandle ring adalah cincin retraksi patologis yang terbentuk karena
penipisan segmen bawah uterus dan retraksi segmen atas uterus dikarenakan segmen
bawah uterus tidak mengalami kemajuan saat persalinan. Merupakan tanda dari partus
yang terlanbat.
4. Osborn Test : Osborn test merupakan tes yang digunakan untuk deteksi dini faktor
resiko adanya cephalo pelvic disproportion (CPD) pada ibu hamil, dengan indikasi pada
ibu hamil dengan panggul sempit atau primipara dengan bagian terendah janin belum
masuk PAP. Hasil dikatakan - apabila kepala janin mudah masuk PAP tanpa halangan
(mengindikasikan tidak ada CPD), sedangkan dikatakan + apabila kepala janin tidak
bisa masuk dan teraba di atas simfisis > 2 jari (indikasi ada CPD).
Prosedur pemeriksaan test Obborn ini, adalah sebagai berikut :
1. Dilakukan pada umur kehamilan 36 minggu.
2. Tangan kiri mendorong kepala janin masuk/ke arah PAP.
Apabila kepala mudah masuk tanpa halangan, maka hasil test Osborn adalah negatif (-).
Apabila kepala tidak bisa masuk dan teraba tonjolan diatas simfisi, maka tonjolan
diukur dengan 2 jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan. Apabila lebar tonjolan lebih
dari dua jari, maka hasil test osborn adalah positif (+).
5. PAP PUKI : Pintu Atas Panggul (PAP) suatu bidang yang dibentuk oleh
promontorium, korpus vertebrae sacral 1, linea terminalis, pinggir atas simfisis. Jarak
dari pinggir atas simfisis ke promontorium (conjugata vera) adalah 11cm. Jarak terjauh
garis melintang (diameter transversa) adalah 12,5 – 13 cm, untuk puki sendiri yaitu
presentase posisi punggung kiri.
II. Rumusan Masalah

1. Apakah ada hubungan antara kenceng kenceng. gerak janin berkurang dan kateter urin
bercampur darah?
2. Bagaimana interpretasi PF dan pemeriksaan obstetri pasien tersebut?
3. Apakah kemungkinan diagnosis pada kasus tersebut?
4. Mengapa dapat terjadi bandle ring pada kasus skenario tersebut?

III. Hipotesis

1. Urin bercampur darah dapat disebabkan apabila bagian terbawah janin tidak mengalami
kemajuan sementara segmen atas rahim terus berkontraksi dan makin menebal, maka
segmen bawah rahim makin tertarik ke atas dan menjadi tipis sehingga batas antara
segmen bawah rahim dan segmen atas rahim akan naik ke atas. Apabila batas tersebut
sudah melampaui pertengahan antara pusat dan simfisis maka lingkaran retraksi
fisiologis menjadi retraksi patologis (Bandl Ring). Apabila persalinan tetap tidak ada
kemajuan, segmen bawah uterus makin lama makin teregang sehingga akhirnya pada
suatu saat regangan yang terus bertambah ini melampaui batas kekuatan jaringan
miometrium sehingga dicurigai terjadi ruptur uteri. dimana itu juga akan menyebabkan
tertariknya vesica urinaria yang terhubung dengan uterus melalui ligamentum
vesicouterina. Tarikan ini dapat menyebabkan robekan / ruptur vesica urinaria,
sehingga bermanifestasi urin bercampur darah. Kemungkinan yang terjadi pada pasien,
melihat pada adanya hematuri pada saat pemasangan kateter, adalah adanya infeksi
saluran kemih (ISK).

Pada trimester ketiga, ISK paling sering di temukan, hal ini dikarenakan an terdesaknya
vesica urinaria ke anterior dan superior. Sehingga menyebabkan pengaliran urin
terbendung dan terjadinya refluks vesicoureteral yaitu naiknya urin ke sistem urinarius
bagian atas serta membawa kuman yang berada di vesica urinaria.

Bakteriuri asimptomatik yang tidak ditangani hingga tuntas, maka akan menyebabkan
timbulnya gejala (bakteriuri simptomatik), dimana apabila hal ini terus berlanjut akan
menyebabkan ketuban pecah dini dan lahirnya janin dengan keadaan prematur.

Hal ini karena pada infeksi saluran kemih, bakteri mengeluarkan endotoksin yang akan
memicu pengeluaran dan pembentukan sitokin proinflamasi, seperti IL1, IL6, IL8, dan
TNFα. Pengeluaran sitokin-sitokin tersebut akan memicu pengeluaran prostaglandin
yang akan memicu uterus untuk berkontraksi (terasa kenceng-kenceng), sehingga
terjadi persalinan prematur.

Selain itu, sitokin proinflamasi juga akan merubah struktur serviks dan membran fetus
sehingga terjadi ketuban pecah dini. Adanya ketuban pecah dini ini menyebabkan
adanya fetal distress sehingga gerak janin menjadi berkurang.

2. Pemeriksaan Fisik :
• Tinggi : 145 , korelasi dengan panggul sempit kategori kehamilan risiko tinggi
• Umur : 19 tahun => usia masih muda dan belum siap mengandung karena organ
reproduksi belum matang dan mental belum cukup, sehingga ada kemungkinan
terjadi CPD
• BB : 50 kg
• TBJ : 3565 gram => kalau ditambah panggul sempit risiko partus mengalami
macet , makin lama makin meningkatkan risiko rupture uteri => perdarahan atau
cedera jalan lahir
• Partus macet => fetal distress => gerak janin berkurang, DJJ janin meningkat
• TD : normal
• Nadi : 112x/menit (takikardi >100)
• RR (<22) normal
• Suhu tubuh normal

Pemeriksaan obstetrik :

• His : 4-5x kontraksi


• DJJ meningkat (170x/menit) : dapat fetal distress
• Bandle ring (+) disebabkan kontraksi uterus atas disertai dengan hambatan
penurunan janin yang menyebabkan penipisan dinding janin
• Osborn test (+)
• Kulit ketuban teraba
• Ubun-ubun kecil tidak dapat dinilai
• Ibu sudah masuk fase aktif karena kontraksi sudah lebih dari 3x
• Tinggi Fundus uteri usia 9 bulan normalnya setinggi proc. Xyphoideus
• Taksiran berat janin lebih tinggi dari perhitungan => dapat mengarah ke
makrosomnia
3. Ruptur Uteri Iminens --> Bandl Ring --> Saat persalinan kala 1 dan awal kala II maka
batas antara segmen bawah rahim dan segmen atas rahim dinamakan lingkaran retraksi
fisiologis. Saat persalinan kala II apabila bagian terbawah tidak mengalami kemajuan
sementara segmen atas rahim makin tertarik ke atas dan menjadi tipis sehingga batas
segmen antara segmen bawah rahim dan segmen atas rahim naik ke atas. Apabila batas
tsb sudah melampaui pertengahan anatara pusat dan simfisis, maka lingkaran retraksi
fisiologis menjadi retraksi patologis ( Bandl Rings). Apabila persalinan tetap ada tidak
ada kemajuan, segmen bawah uterus makin lama makin teregang sehingga akhirnya
pada suatu saat regangan akan terus bertambah ini melampaui batas kekuatan jaringan
miometrium sehingga terjadilah ruptur uteri.
4. Pada kehamilan 28 minggu istmus uteri berubah menjadi segmen bawah Rahim dan
saat kehamilan aterm segmen bawah Rahim berada 1-2 cm diatas simfisis. Saat
persalinan kala 1 dan awal kala 2 maka batas antara segmen bawah Rahim dan segmen
atas Rahim dinamakan lingkaran retraksi fisiologis. Saat persalinan kala 2 apabila
bagian terbawah tidak mengalami kemajuan sementara segmen atas Rahim terus
berkontraksi dan makin menebal, maka segmen bawah Rahim makin tertarik ke atas
dan menjadi tipis sehingga batas antara segmen bawah Rahim dan segmen atas Rahim
akan naik ke atas. Apabila batas tersebut sudah melapaui pertengahan antara pusat dan
simfisis maka lingkaran retraksi fisiologis menjadi retraksi patologis (bandle ring).

Apabila persalinan tidak ada kemajuan, segmen bawah uterus makin lama makin
teregang sehingga akhirnya pada suatu saat regangan yang terus bertambah ini melapaui
batas kekuatan jaringan myometrium sehingga terjadilah rupture uteri
IV. Peta Konsep

Wanita 19 th KU : Pemeriksaan :
G1P0A0 - Kenceng –kenceng - Bandle Ring
- Gerak janin - Osborn Test (+)
TB 145 cm - Pembukaan 4 cm
menurun
BB 50 kg - Hematuria - KK (+) menonjol
- Kesakitan - UUK sulit dinilai
- Leopold I-IV : Janin I
intrauterine preskep belum
masuk PAP

Tatalaksana
Dx :
Kegawatan
Ruptura Uteri Iminens
Tatalaksana Utama CPD
sesuai Indikasi

V. Sasaran Belajar

1. Definisi dan etiologi ruptur uteri iminens


2. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan pemeriksaan penunjang berdasarkan kasus
skenario
3. Patogenesis rupture uteri iminens
4. Diagnosis dan Diagnosis banding ruptur uteri
5. Penatalaksanaan awal kegawatdaruratan dan rujukan?

VI. Belajar Mandiri

1. Definisi dan etiologi ruptur uteri iminens


Ruptur uteri merupakan robekan dinding rahim akibat terlampauinya daya regang
miometrium atau robeknya dinding uterus saat kehamilan atau persalinan saat usia
kehamilan memasuki lebih dari 28 minggu.

Berdasarkan etiologinya, ruptur uteri dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Ruptur uteri spontan (non violent) à terjadi pada uterus yang normal yang
diakibatkan karena persalinan tidak maju yang disebabkan karena panggul
sempit, hidrosefalus, makrosomia, janin letak lintang, presentasi bokong, hamil
ganda, dan tumor pada jalan lahir
b. Ruptur uteri traumatika (violent) à meliputi kecelakaan (tidak berhubungan
dengan proses kehamilan dan persalinan, misalnya pada trauma abdomen) atau
tindakan (berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan, misalnya versi
ekstraksi, ekstraksi forceps, alat embriotomi, manual plasenta dan dorongan)
c. Ruptur uteri jaringan parut à terjadi karena adanya locus minoris dinding
uterus karena jaringan parut bekas operasi / enukleasi mioma uteri /
miomektomi / histerektomi / histerotomi / histerorafi, dsb.

Ruptur uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang sudah ada sebelumnya,
akibat trauma atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Ruptur
uteri paling sering terjadi pada rahim yang pernah dilakukan sectio cesarea pada
kehamilan terdahulu atau pada uterus yang dilakukan partus percobaan atau dirangsang
dengan oksitosin atau sejenisnya.

2. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan pemeriksaan penunjang berdasarkan kasus


skenario
A. Anamnesis
- Adanya riwayat partus yang lama atau macet
- Adanya riwayat partus dengan manipulasi oleh penolong.
- Adanya riwayat multiparitas
- Adanya riwayat operasi pada uterus (misalnya seksio sesaria. enukleasi mioma
atau miomektomi, histerektomi, histeritomi, dan histerorafi.
B. Gambaran Klinis
Gambaran klinis ruptur uteri didahului oleh gejala-gejala ruptur uteri yang
membakat, yaitu didahului his yang kuat dan terus menerus, rasa nyeri yang hebat
di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah, nadi dan pernapasan cepat.
segmen bawah uterus tegang, nyeri pada perabaan, lingkaran retraksi (Van Bandle
Ring) meninggi sampai mendekati pusat, dan ligamentum rotunda menegang. Pada
saat terjadinya ruptur uteri penderita dapat merasa sangat kesakitan dan seperti ada
robek dalam perutnya. Keadaan umum penderita tidak baik, dapat terjadi anemia
sampai syok (nadi filipormis, pernapasan cepat dangkal, dan tekanan darah turun).

C. Pemeriksaan Luar
• Nyeri tekan abdominal
• Perdarahan per vaginam
• Kontraksi uterus biasanya akan hilang
• Pada palpasi bagian janin mudah diraba di bawah dinding perut ibu atau janin
teraba di samping uterus
• Di perut bagian bawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi
• Denyut Jantung Janin (DJJ) biasanya negatif (bayi sudah meninggal)
• Terdapat tanda-tanda cairan bebas
• Jika kejadian ruptur uteri telah lama, maka akan timbul gejala-gejala
meteorismus dan defans muskular yang menguat sehingga sulit untuk meraba
bagian-bagian janin.

D. Pemeriksaan Dalam
Pada ruptur uteri komplit:
• Perdarahan pervaginam disertai perdarahan intra abdomen sehingga
didapatkan tanda cairan bebas dalam abdomen.
• Pada pemeriksaan pervaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba
tinggi dalam jalan lahir, selain itu kepala atau bagian terbawah janin dengan
mudah dapat didorong ke atas hal ini terjadi akrena seringkali seluruh atau
sebagian janin masuk ke dalam rongga perut melalui robekan pada uterus.
• Kadang-kadang kita dapat meraba robekan pada dinding rahim dan jika jari
tangan dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba omentum, usus, dan
bagian janin.
• Pada kateterisasi didapat urin berdarah.

Pada ruptur uteri inkomplit:


• Perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah berkumpul di bawah
peritoneum atau mengalir keluar melalui vagina.
• Janin umumnya tetap berada dalam uterus.
• Pada kateterisasi didapat urin berdarah.

E. Pemeriksaan Penunjang
Pada rupture uteri, pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah
cardiotocograph. Hasil abnormal dapat ditemukan pada 55-87% kasus rupture uteri,
dimana bradikardia adalah temuan tersering. Pemeriksaan darah berupa
hemoglobin dan golongan darah dibutuhkan untuk mempersiapkan transfusi.

3. Patogenesis rupture uteri iminens


Pada kehamilan 28 minggu maka isthmus uteri berubah mnjadi segmen bawah
rahim, dan pada kehamilan aterm segmen bawah rahim terdapat 1-2 cm di atas simfisis
dan pada kehamilan normal tak teraba. Pada kehamilan aterm saat persalinan kala I dan
awal kala II maka batas anatara segmen bawah rahim dan segmen atas rahim dinamakan
lingkaran retraksi fisiologis. Pada persalinan kala II apabila bagian terbawah tidak
mengalami kemajuan sementara itu segmen atas rahim terus berkontraksi dan makin
menebal, sedangkan segmen bawah rahim makin tertarik ke atas dan menjadi tipis
sehingga batas antara segmen bawah rahim dan segmen atas rahim akan naik ke atas.
Apabila batas tersebut sudah melampaui pertengahan antara pusat dan simfisis maka
lingkaran retraksi fisiologis menjadi retraksi patologis (Bandl Ring). Apabila persalinan
tetap tidak ada kemajuan maka akhirnya akan terjadi ruptur uteri.

Ruptur uteri spontan pada uterus normal dapat terjadi karena beberapa penyebab
yang menyebabkan persalinan tidak maju. Persalinan yang tidak maju ini dapat terjadi
karena adanya rintangan misalnya panggul sempit, hidrosefalus, makrosomia, janin
dalam letak lintang, presentasi bokong, hamil ganda dan lainnya. Keadaan-keadaan
tersebut dapat menyebabkan segmen bawah uterus makin lama makin teregang
sehingga akhirnya pada suatu saat regangan yang terus bertambah ini melampaui batas
kekuatan jaringan miometrium sehingga terjadilah ruptur uteri.

Selain itu ruptur uteri dapat disebabkan oleh trauma pada uterus baik karena
kecelakaan maupun tindakan. Kecelakaan meliputi trauma pada abdomen misalnya
jatuh dan terbentur. Robekan pada uterus karena kecelakaan ini dapat terjadi setiap saat
dalam kehamilan, tetapi ternyata ruptur seperti ini jarang terjadi karena otot uterus
(miometrium) cukup tahan terhadap trauma dari luar. Ruptur uteri karena trauma
tindakan lebih sering terjadi, misalnya karena versi ekstraksi, ekstraksi forcep, alat-alat
embriotomi, manual plasenta, dan ekspresi/ dorongan.

Ruptur uteri karena adanya tindakan dalam usaha pervaginal untuk melahirkan
janin pada uterus yang segmen bawahnya telah teregang karena adanya distosia.

Adanya jaringan parut (skar) juga merupakan penyebab lain ruptur uteri. Ruptur
uteri paling sering terjadi pada parut bekas seksio sesaria, jarang terjadi pada uterus
yang telah dioperasi untuk mengangkat mioma (miomektomi), dan lebih jarang lagi
terjadi pada uterus dengan parut karena kerokan yang terlampau dalam. Diantara parut-
parut bekas seksio sesaria, parut yang terjadi sesudah seksio sesarea klasik empat kali
lebih sering menimbulkan ruptur uteri daripada parut bekas seksio sesaria profunda.
Hal ini disebakan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang merupakan daerah
uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga
parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio sesaria biasanya terjadi tanpa banyak
menimbulkan gejala, hal ini terjadi karena tidak terjadi robekan secara mendadak
melainkan terjadi perlahan-lahan pada sekitar bekas luka. Daerah disekitar bekas luka
lambat laun makin menipis sehingga akhirnya benar-benar terpisah dan terjadilah ruptur
uteri. Robekan pada bekas sayatan lebih mudah terjadi karena tepi sayatan sebelah
dalam tidak berdekatan, terbentuknya hematom pada tepi sayatan, dan adanya faktor
lain yang menghambat proses penyembuhan.

4. Diagnosis dan Diagnosis banding ruptur uteri

Diagnosis Banding
1. Placenta Abruption
Gejala klinisnya tidak khas. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan USG
yang ditandai lepasnya plasenta dari uterus sebelum bayi dilahirkan.
2. Atonia Uteri
Pasien dengan rupture uteri dapat mengalami perdarahan pervaginam dan kontraksi
uterus yang hilang. Secara klinis, pasien atonia uteri dapat menunjukkan tanda
perdarahan pervaginam juga terutama setelah kala III dari persalinan. Pada atonia
uteri, gejala dapat membaik dengan pemberian uterotonika.
3. Inversio Uteri
Inversio uteri terjadi bila tenaga medis melakukan regangan tali pusat secara kuat
saat mengeluarkan plasenta. Hal ini menyebabkan segmen atas uterus tertarik dan
terlihat pada portio atau vagina. Inversio menyebabkan gangguan kontraksi uterus
sehingga akan terjadi perdarahan terus menerus. Pada pemeriksaan fisik, fundus
uteri tidak teraba.

4. Penatalaksanaan awal kegawatdaruratan dan rujukan?

Tatalaksana Awal
1. Pastikan jalan nafas baik
• Jangan berikan makanan / cairan peroral
• Putar kepala / badan pasien agar tidak aspirasi
• Jaga agar tidak hipotermia

2. Oksigen à 6 – 8 L/ menit
3. Pemberian cairan intravena untuk mengganti cairan dan perdarahan untuk
mengatasi keadaan syok
• Bila diperlukan buat dua jalur infus intravena, satu untuk larutan elektrolit,
misalnya ringer laktat, dan yang lain untuk transfuse darah (jaga agar jalur
ini tetap tebuka dengan mengalirkan saline normal). Jarum infus ukuran
16 – 18
4. Pemberian transfuse
• Harus dengan tanda perdarahan

5. Pasang kateter kandung kemih


• Untuk mengukur urin yang keluar à menilai fungsi ginjal daan
keseimbangan cairan tubuh
• Target urin per jam 100 mL / 4 jam atau 30 mL / jam
6. Pemberian antibiotika
• Diberikan apabila ada kondisi infeksi, pada kasus sepsis, syok septik,
cedera intraabdomen, perforasi uterus
• Antibiotik profilaksis, diberikan pada pasien tanpa tanda infeksi,
diberikan dengan dosis tunggal paling banyak 3x dosis
7. Segera merujuk penderita
8. Jangan melakukan manipulasi dengan pemeriksaan dalam untuk menghindari
terjadinya perdarahan baru.

Rujukan
Rujuk ibu segera ke dokter spesialis atau rumah sakit yang memiliki fasilitas yang
dibutuhkan. Rujukan pada fase ini disebut sebagai rujukan tepat waktu, namun jika
ibu sudah mengalami perdarahan maka rujukannya menjadi rujukan kasep atau
rujukan gawat darurat. Keadaan ini termasuk kegawatdaruratan obstetri, sehingga
pengambilan keputusan harus cepat dan tepat untuk mencegah mortalitas dan
kecacatan pada ibu maupun janin. Persalinan harus segera diselesaikan.
Tatalaksana Rujukan

• Indikasi : tenaga kesehatan tidak mampu melakukan tatalaksana komplikasi


yang mungkin terjadi
• Kontaindikasi :
• Kondisi ibu tidak stabil
• Kondisi janin tidak stabil dan terancam untuk terus memburuk
• Persalinan sudah akan terjadi
• Tidak ada tenaga kesehatan yang terampil yang dapat menangani
• Kondisi cuaca atau modalitas transportasi membahayakan
• Perencanaan rujukan :
a. Komunikasikan rencana rujukan pada ibu dan keluarga
b. Hubungi pusat layanan kesehatan yang menjadi tujuan rujukan
c. Komunikasikan data seperti nama pasien, nama tenaga perujuk, indikasi
rujukan, kondisi ibu hamil dan janin, tatalaksana sebelumnya, dan nama
dan profesi tenaga kesehatan pendamping pasien
d. Mengirim berkas-berkas :
• Form rujukan
• FC RM antenatal dan kondisi saat ini
• Hasil Pemeriksaan Penunjang
• Berkas lain (pembiayaan)
e. Pastikan pasien diberi gelang identifikasi
f. Bila terdapat indikasi pasang jalur IV dengan kanul 16 atau 18
g. Mulai tatalaksana setelah diskusi dengan tenaga kesehatan tujuan
rujukan
h. Periksa kelengkapan alat dan perlengkapan
i. Selalu siap dengan kemungkinan terburuk
j. Evaluasi :
• Keadaan umum pasien
• Tanda vital
• DJJ
• Presentasi
• Dilatasi serviks
• Letak janin
• Kondisi ketuban
• Kontraksi uterus

Tatalaksana Klinis

Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adala :

• Keadaan umum penderita


• Jenis ruptur incompleta atau completa
• Jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak rata dan
sudah banyak nekrosis
• Tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim
• Perdarahan dari luka : sedikit, banyak
• Umur dan jumlah anak hidup
• Kemampuan dan ketrampilan penolong

Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi
dengan tindakan jenis operasi :

a. Histerektomi total maupun subtotal, jika :


• Fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi
• Kondisi buruk yang membahayakan ibu
b. Repair uterus (histeorafi), jika :
• Fungsi reproduksi ibu masih diharapkan
• Kondisi klinis ibu stabil
• Ruptur tidak berkomplikasi
c. Konservatif dengan tamponade dan pemberian antibiotik profilaksis.

VII. Daftar Pustaka

1. Sari R. Ruptur Uteri. Bagian Obstet dan Ginekol Fak Kedokteran, Univ Lampung.
2015

2. Manoharan M, Wuntakal R, Erskine K. Review Uterine rupture: a revisit Author


details. Obstet Gynaecol. 2010

3. Schmidt P, Raines DA. Placental Abruption (Abruptio Placentae). StatPearls. 2018.

4. Nahum GG. Uterine Rupture in Pregnancy: Overview, Rupture of the Unscarred


Uterus, Previous Uterine Myomectomy and Uterine Rupture. Medscape. 2016.

5. Leal RFM, Luz RM, De Almeida JP, Duarte V, Matos I. Total and acute uterine
inversion after delivery: A case report. J Med Case Rep. 2014

6. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan edisi keempat. PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo, Jakarta. 2014

Anda mungkin juga menyukai