PENDAHULUAN
Persalinan (partus) adalah peristiwa keluarnya janin dari uterus. Persalinan terdiri dari dua
peristiwa utama yaitu proses persalinan-kala I (labor) dan proses kelahiran-kala II (delivery).
Proses persalinan (labor) : proses dilatasi dan pendataran servik yang progresif
akibat adanya kontraksi uterus yang berulang serta proses meneran untuk
mengawali ekspulsi produk konsepsi.
Fase aktif :
Fase akselerasi
Fase deselerasi
Pada fase aktif, kecepatan dilatasi servik pada nulipara 1.2 cm dan pada multipara 1.5
cm. Lama kala I persalinan pada nulipara 8 jam dan pada multipara 5 jam.
Evaluasi kemajuan persalinan
Persalinan Kala I dinilai melalui kecepatan perubahan pendataran dan dilatasi servik serta
desensus bagian terendah janin.
Frekuensi dan durasi kontraksi uterus bukan tanda-tanda untuk menilai kemajuan proses
persalinan pada kala I.
Persalinan kala II dimulai saat pembukaan lengkap. Kemajuan persalinan kala II dinilai dari
desensus - fleksi dan putar paksi dalam bagian terendah janin.
Golongan darah.
PERSALINAN KALA I
Bila perlu dapat diberikan cairan intravena untuk memenuhi kebutuhan cairan dan
kalori.
Pada kasus resiko rendah dengarkan DJJ tiap 30 menit (pada kasus resiko tinggi
setiap 15 menit) segera setelah kontraksi uterus.
Tindakan amniotomi rutin tidak boleh dilakukan sebelum dilatasi servik lengkap.
PERSALINAN KALA II
Pada awal kala II (dilatasi servik lengkap), terdapat reflek meneran dari ibu pada tiap
kontraksi uterus.
Tekanan abdomen disertai dengan kontraksi uterus akan mendorong janin keluar
dari jalan lahir.
Pada kala II, kemajuan persalinan ditentukan berdasarkan derajat desensus (gambar
12.2). Pada saat bagian terendah janin berada setinggi spina ischiadica maka
dikatakan penurunan pada stasion 0.
Engagemen
Suatu keadaan dimana diameter biparietal sudah melewati pintu atas panggul.
Pada 70% kasus, kepala masuk pintu atas panggul ibu pada panggul jenis ginekoid
dengan oksiput melintang (tranversal)
Fleksi
Gerakan fleksi terjadi akibat adanya tahanan servik, dinding panggul dan otot dasar
panggul.
Fleksi kepala diperlukan agar dapat terjadi engagemen dan desensus.
Bila terdapat kesempitan panggul, dapat terjadi ekstensi kepala sehingga terjadi letak
defleksi (presentasi dahi, presentasi muka).
Desensus
Pada nulipara, engagemen terjadi sebelum inpartu dan tidak berlanjut sampai awal kala II;
pada multipara desensus berlangsung bersamaan dengan dilatasi servik.
Penyebab terjadinya desensus :
1. Tekanan cairan amnion
2. Tekanan langsung oleh fundus uteri pada bokong
3. Usaha meneran ibu
4. Gerakan ekstensi tubuh janin (tubuh janin menjadi lurus)
Faktor lain yang menentukan terjadinya desensus adalah :
Semakin besar tahanan tulang panggul atau adanya kesempitan panggul akan
menyebabkan desensus berlangsung lambat.
Bersama dengan gerakan desensus, bagian terendah janin mengalami putar paksi
dalam pada level setinggi spina ischiadica (bidang tengah panggul).
Kepala berputar dari posisi tranversal menjadi posisi anterior (kadang-kadang kearah
posterior).
Ekstensi
Aksis jalan lahir mengarah kedepan atas, maka gerakan ekstensi kepala harus terjadi
sebelum dapat melewati pintu bawah panggul.
Akibat proses desensus lebih lanjut, perineum menjadi teregang dan diikuti
dengancrowning
Pada saat itu persalinan spontan akan segera terjadi dan penolong persalinan melakukan
tindakan dengan perasat Ritgen untuk mencegah kerusakan perineum yang luas dengan
jalan mengendalikan persalinan kepala janin.
Episiotomi tidak dikerjakan secara rutin akan tetapi hanya pada keadaan tertentu.
Proses ekstensi berlanjut dan seluruh bagian kepala janin lahir.
Setelah kepala lahir, muka janin dibersihkan dan jalan nafas dibebaskan dari darah dan
cairan amnion. Mulut dibersihkan terlebih dahulu sebelum melakukan pembersihan hidung.
Setelah jalan nafas bersih, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat sekitar leher
dengan jari telunjuk. Lilitan talipusat yang terjadi harus dibebaskan terlebih dahulu. Bila
lilitan talipusat terlalu erat dapat dilakukan pemotongan diantara 2 buah klem.
Setelah putar paksi luar kepala, bahu mengalami desensus kedalam panggul dengan cara
seperti yang terjadi pada desensus kepala.
Bahu anterior akan mengalami putar paksi dalam sejauh 450 menuju arcus pubis sebelum
dapat lahir dibawah simfisis.
Persalinan bahu depan dibantu dengan tarikan curam bawah pada samping kepala janin .
Setelah bahu depan lahir, dilakukan traksi curam atas untuk melahirkan bahu posterior.
Traksi untuk melahirkan bahu harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari cedera
pada pleksus brachialis.
Setelah persalinan kepala dan bahu, persalinan selanjutnya berlangsung pada sisa bagian
tubuh janin dengan melakukan traksi pada bahu janin.
Setelah kelahiran janin, terjadi pengaliran darah plasenta pada neonatus bila tubuh anak
diletakkan dibawah introitus vagina.
Penundaan yang terlampau lama pemasangan klem pada talipusat dapat mengakibatkan
terjadinya hiperbilirubinemia neonatal akibat aliran darah plasenta tersebut.
Sebaiknya neonatus diletakkan diatas perut ibu dan pemasangan dua buah klem talipusat
dilakukan dalam waktu sekitar 15 20 detik setelah bayi lahir dan kemudian baru dilakukan
pemotongan talipusat diantara kedua klem.
Persalinan kala III adalah periode persalinan antara lahirnya janin sampai lahirnya plasenta
dan selaput ketuban.
Akibat masih adanya kontraksi uterus, ukuran plasenta dan plasental site mengecil sampai
tersisa 25% hematoma retroplasenta terjadi separasi plasenta.
Separasi plasenta umumnya terjadi 5 menit setelah anak lahir.
Penatalaksanaan kala III :
1. Penatalaksanaan klasik atau tradisional
2. Penatalaksanaan aktif
Penatalaksanaan aktif
Cara ini diyakini dapat menurunkan angka kejadian perdarahan pasca persalinan dari 4%
menjadi 2%.
1. Setelah janin lahir, disuntikkan methergin 0.5 ml i.m (atau oksitosin bila terdapat
kontra-indikasi pemberian methergin)
2. Untuk menghindari inversio uteri traksi talipusat hanya dilakukan saat ada kontraksi
uterus dan dengan meletakkan tangan suprasimfisis
3. Klem talipusat dipegang dengan tangan kanan dan talipusat diregangkan.
4. Tangan kiri melakukan masase fundus uteri, bila sudah timbul kontraksi uterus,
tangan kiri dipindahkan supra-simfisis dan kemudian dilakukan tarikan talipusat
secara terkendali untuk melahirkan plasenta.
5. Jangan melakukan tarikan pada talipusat untuk melahirkan plasenta pada saat tidak
ada kontraksi uterus untuk mencegah terjadinya inversio uteri.
Plasenta dan selaput ketuban diperiksa dengan jalan memegang talipusat untuk
membuat plasenta dalam keadaan tergantung dan memeriksa fetal surface untuk
melihat adanya pembuluh darah yang melewati tepi selaput ketuban.
Selaput ketuban diperiksa untuk memastikan tidak adanya selaput yang tertinggal
dalam uterus.
Retensio Plasenta
Batasan umum yang digunakan untuk retensio plasenta adalah bila plasenta tetap
berada dalam uterus selama 1 jam.
Etiologi:
1. Inkarserasi dari plasenta yang sudah lepas seluruhnya dengan ostium servik yang
sudah menutup.
2. Atonia uteri.
3. Plasenta akreta ( melekat pada desidua dan miometrium) atau plasenta perkreta (
menembus sampai peritoneum viseralis/serosa).
Penatalaksanaan :
Bila perdarahan sangat banyak maka plasenta harus segera dilahirkan dengan caracara yang sudah dijelaskan atau dilakukan plasenta manual.
Bila terdapat robekan perineum atau terdapat luka akibat tindakan episiotomi maka
hal tersebut memerlukan perbaikan.
Pada persalinan dengan ekstraksi cunam, inspeksi jalan lahir harus meliputi servik.
Ruptura perinei
Dikenal 4 derajat ruptura perinei :
1. Derajat I : cedera pada commisura posterior, mukosa vagina dan otot dibelakangnya
menjadi terbuka.
2. Derajat II : cedera dinding vagina bagian posterior dan otot perineum, sfingter ani
utuh.
3. Derajat III : robekan pada sfingter ani namun mukosa rektum utuh.
4. Derajat IV : kanalis ani terbuka dan robekan dapat meluas ke rectum.
Robekan servik
Robekan servik dapat terjadi bila pasien meneran pada saat dilatasi servik belum
lengkap dan ketuban sudah pecah.
Untuk keperluan hemostasis perbaikan robekan servik harus dimulai pada apex luka.
Rujukan
1. American College of Obstetricians and Gynecologist: Optimal goals for
anaesthesia care in obstetrics. Committee Opinion No 256, May 2001
2. Cunningham FG et al : Normal Labor and Delivery in Williams Obstetrics , 22nd ed,
McGraw-Hill, 2005
3. DeCherney AH. Nathan L : The course & Conduct of Normal Labor and Delivery ini
Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Therapy , McGraw Hill
Companies, 2003
4. Llewelyn-Jones : Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999
5. Poen AC, Felt-Nersma RJ, Strijers RL et al: Third degree obstetric perineal tear:
Long-term clinical and functional result after primary repair. Br J surg 85:1433, 1998
DIPOSKAN OLEH BAMBANG WIDJANARKO DI 06.44
LABEL: RUJUKAN PERSIAPAN KLINIK
Penatalaksanaan proses persalinan (kala I) dan proses kelahiran ( kala II ) yang ideal
adalah
1. Peristiwa persalinan harus dipandang sebagai proses fisiologik yang normal dimana
sebagian besar wanita akan mengalaminya tanpa komplikasi.
2. Komplikasi intrapartum kadang-kadang terjadi secara cepat dan tidak diharapkan
sehingga diperlukan antisipasi yang memadai.
Dengan demikian maka tugas para klinisi adalah secara bersama-sama membuat ibu
bersalin (parturien) dan pendampingnya merasa aman dan nyaman.
Didalam hal terdapat kecurigaan adanya persalinan palsu, perlu dilakukan pengamatan
terhafap parturien dengan waktu yang lebih lama di unit persalinan.
Identifikasi parturien:
1. Keadaan umum ibu dan anak ditentukan dengan akurat dan cepat melalui
serangkaian anamnesa dan pemeriksaan fisik.
2. Keluhan yang berkaitan dengan selaput ketuban, perdarahan pervaginam dan
gangguan keadaan umum ibu lain adalah data yang penting diketahui.
3. Pemeriksaan fisik meliputi :
1. Keadaan umum pasien : kesan umum, kesadaran, ikterus, komunikasi
interpersonal.
2. Tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu tubuh.
4. Pemeriksaan obstetri :
1. Palpasi abdomen (palpasi Leopold)
2. Frekuensi-durasi dan intensitas his
3. Denyut jantung janin
4. Vaginal toucher : ( bila tak ada kontraindikasi )
1. Servik: posisi (kedepan, tengah, posterior), konsistensi, pendataran
dan pembukaan (cm)
2. Keadaan selaput ketuban (keadaan cairan amnnion bila selaput
ketuban sudah pecah).
3. Bagian terendah janin (presenting part):
1. Kepala/bokong/bahu
2. Penurunan (station), gambar 6.1
3. Posisi janin berdasarkan posisi denominator
4. Arsitektur panggul dan keadaan jalan lahir
5. Keadaan vagina dan perineum
5. 5. Kardiotokografi : fetal admission test untuk memantau keadaan janin dan
memperkirakan keadaan janin .
Pemeriksaan laboratorium :
1. Haemoglobin dan hematokrit.
2. Urinalisis ( glukosa dan protein ).
3. Untuk pasien yang tidak pernah melakukan perawatan antenatal harus dilakukan
pemeriksaan:
o
Syphilis ( VDRL/RPR )
Hepatitis B
Pada kasus persalinan resiko rendah, pada kala I DJJ diperiksa setiap 30
menit dan pada kala II setiap 15 menit setelah berakhirnya kontraksi uterus
(his ).
Pada kasus persalinan resiko tinggi, pada kala I DJJ diperiksa dengan
frekuensi yang lbih sering (setiap 15 menit ) dan pada kala II setiap 5 menit.
6. Pemeriksaan VT berikut
1. Pada kala I keperluan dalam menilai status servik, stasion dan posisi bagian
terendah janin sangat bervariasi.
2. Umumnya pemeriksaan dalam (VT) untuk menilai kemajuan persalinan
dilakukan tiap 4 jam.
3. Indikasi pemeriksaan dalam diluar waktu yang rutin diatas adalah:
Detik jantung janin mendadak menjadi buruk (< 120 atau > 160 dpm).
7. Makanan oral
0. Sebaiknya pasien tidak mengkonsumsi makanan padat selama persalinan
fase aktif dan kala II. Pengosongan lambung saat persalinan aktif
berlangsung sangat lambat.
1. Penyerapan obat peroral berlangsung lambat sehingga terdapat bahaya
aspirasi saat parturien muntah.
2. Pada saat persalinan aktif, pasien masih diperkenankan untuk
mengkonsumsi makanan cair.
8. Cairan intravena
o
10. Analgesia
o
Pemberian obat-obatan.
12. Amniotomi
o
Distensi kandung kemih selama persalinan harus dihindari oleh karena dapat:
kepala sesuai dengan aksis tubuh janin dan disertai dengan tekanan ringan pada fundus
uteri.
Jangan melakukan kaitan pada ketiak janin untuk menghindari terjadinya cedera saraf
ekstrimitas atas
5. Membersihkan nasopharynx:
Perlu dilakukan tindakan pembersihan muka , hidung dan mulut anak setelah dada lahir dan
anak mulai mengadakan inspirasi, seperti yang terlihat pada gambar 5 untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya aspirasi cairan amnion, bahan tertentu didalam cairan amnion serta
darah.
6. Lilitan talipusat
Setelah bahu depan lahir, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat dileher anak
dengan menggunakan jari telunjuk seperti terlihat pada gambar 8
Lilitan talipusat terjadi pada 25% persalinan dan bukan merupakan keadaan yang
berbahaya.
Bila terdapat lilitan talipusat, maka lilitan tersebut dapat dikendorkanmelewati bagian atas
kepala dan bila lilitan terlampau erat atau berganda maka dapat dilakukan pemotongan
talipusat terlebih dulu setelah dilakukan pemasangan dua buah klem penjepit talipusat.
7. Menjepit talipusat:
Klem penjepit talipusat dipasang 45 cm didepan abdomen anak dan penjepit talipusat
(plastik) dipasang dengan jarak 23 cm dari klem penjepit. Pemotongan dilakukan diantara
klem dan penjepit talipusat.
Saat pemasangan penjepit talipusat:
Bila setelah persalinan, neonatus diletakkan pada ketinggian dibawah introitus vaginae
selama 3 menit dan sirkulasi uteroplasenta tidak segera dihentikan dengan memasang
penjepit talipusat, maka akan terdapat pengaliran darah sebanyak 80 ml dari plasenta ke
tubuh neonatus dan hal tersebut dapat mencegah defisiensi zat besi pada masa neonatus.
Pemasangan penjepit talipusat sebaiknya dilakukan segera setelah pembersihan jalan
nafas yang biasanya berlangsung sekitar 30 detik dan sebaiknya neonatus tidak
ditempatkan lebih tinggi dari introitus vaginae atau abdomen (saat sectio caesar )
Gambar 9. Ekspresi plasenta. Perhatikan bahwa tangan tidak melakukan tekanan pada
fundus uteri. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan
kanan mempertahankan posisi tangan )
Tehnik melahirkan plasenta :
1. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan kanan
mempertahankan posisi talipusat.
2. Parturien dapat diminta untuk membantu lahirnya plasenta dengan meneran.
3. Setelah plasenta sampai di perineum, angkat keluar plasenta dengan menarik
talipusat keatas.
4. Plasenta dilahirkan dengan gerakan memelintir plasenta sampai selaput ketuban
agar selaput ketuban tidak robek dan lahir secara lengkap oleh karena sisa selaput
ketuban dalam uterus dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan.
Telapak tangan kanan diletakkan diatas simfisis pubis. Bila sudah terdapat
kontraksi, lakukan dorongan bagian bawah uterus kearah
dorsokranial (gambar 11 )
Gambar 11. Melakukan dorongan uterus kearah dorsokranial sambil melakukan traksi
talipusat terkendali
o
Pertahankan traksi ringan pada talipusat dan tunggu adanya kontraksi uterus
yang kuat.
5. Jika tidak terjadi kontraksi uterus yang kuat (atonia uteri) dan atau terjadi perdarahan
hebat segera setelah plasenta lahir, lakukan kompresi bimanual.
6. Jika atonia uteri tidak teratasi dalam waktu 1 2 menit, ikuti protokol
penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan.
7. Jika plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan injeksi oksitosin kedua dan
ulangi gerakan-gerakan diatas.
8. Jika plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit:
o
Ibu yang baru bersalin sebaiknya berada di kamar bersalin selama 2 jam dan sebelum
dipindahkan ke ruang nifas petugas medis harus yakin bahwa:
1. Keadaan umum ibu baik.
2. Kontraksi uterus baik dan tidak terdapat perdarahan.
3. Cedera perineum sudah diperbaiki.
4. Pasien tidak mengeluh nyeri.
5. Kandung kemih kosong.
Rujukan :
1. Saifuddin AB (ed): Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono, Jakarta 2002
2. American Academy of Pediatrics and the American College of Obstetricians
and Gynecologists : Guideline for Perinatal Care, 5th ed Washington,DC AAP and
ACOG, 2002
3. Carley ME et al : Factors that associated with clinically overt postpartum urinary
retention after vaginal delivery. Am J Obstet Gynecol 187:430, 2002
4. Cunningham FG (editorial) : Normal Labor and Delivery in William
Obstetrics 22nded p 409- 441, Mc GrawHill Companies 2005
5. Eason E et al : Preventing perineal trauma during childbirth. A Systematic Review.
Obstet Gynecol 95,464, 2000
6. Jackson KW et al: A randomized controlled trial comparing oxytocin administration
before and after placental delivery in the prevention of postpartum haemorrhage. Am
J Obstet Gynecol 185:873, 2001
7. Jones DL : Course and Management of Childbirth in Fundamentals of Obstetric &
Gynaecology 7th ed Mosby, London1997.
editor :