Anda di halaman 1dari 31

PERSALINAN NORMAL

dr.Bambang Widjanarko, SpOG

PENDAHULUAN
Persalinan (partus) adalah peristiwa keluarnya janin dari uterus. Persalinan terdiri dari dua
peristiwa utama yaitu proses persalinan-kala I (labor) dan proses kelahiran-kala II (delivery).

Proses persalinan (labor) : proses dilatasi dan pendataran servik yang progresif
akibat adanya kontraksi uterus yang berulang serta proses meneran untuk
mengawali ekspulsi produk konsepsi.

Proses kelahiran (delivery) : ekspulsi janin dan plasenta.

Tujuan penatalaksanaan pada peristiwa persalinan [partus] adalah memungkinkan


berlangsungnya proses tersebut secara normal dengan komplikasi ibu atau janin yang
sangat minimal.
Staf penolong persalinan harus melakukan segala sesuatu untuk :
1. Memberikan kenyamanan bagi pasien dan menumbuhkan adanya interaksi staf
kamar bersalin dengan keluarga.
2. Menjelaskan proses persalinan yang sedang berlangsung.
3. Memberi kesempatan bagi ibu untuk kontak fisik sedini mungkin dengan bayinya
yang baru dilahirkan.
4. Mengantisipasi setiap permasalahan atau komplikasi yang terjadi.
Penatalaksanaan terbaik pada peristiwa persalinan adalah observasi yang baik dan
melakukan intervensi dengan cara dan pada saat yang tepat.
Persalinan dan kelahiran adalah peristiwa kompleks yang
melibatkan prostaglandin, cytokinedan hormon seksual steroid.
Jenis persalinan didasarkan pada usia kehamilan sehingga dikenal adanya persalinan
preterm yang terjadi pada kehamilan < style="font-weight: bold;">persalinan aterm adalah
persalinan yang terjadi pada kehamilan > 37 minggu.

PERSIAPAN FISIOLOGIS MENJELANG PERSALINAN


Sebelum onset true labor terjadi beberapa perubahan fisiologis.
Pada nulipara, biasanya kepala janin masuk panggul 2 minggu sebelum persalinan
[lightening].
Kontraksi Braxton Hicks menjadi semakin sering (setiap 10 20 menit).
Beberapa hari sebelum persalinan, servik menjadi lunak-mendatar dan sedikit membuka
serta terdapat show (berupa lendir bercampur darah) . Disebut inpartu, biasanya bila
dilatasi servik sudah mencapai 2 cm.
True labor :
1. Kontraksi uterus berlangsung secara teratur dan semakin sering serta intensitas
yang semakin kuat.
2. Rasa tak nyaman pada punggung dan abdomen .
3. Terjadi dilatasi servik.
4. Kontraksi uterus tak dapat dihentikan dengan pemberian sedasi.
False labor
1. Kontraksi uterus tidak teratus dan interval semakin panjang dan intensitas tidak
berubah.
2. Rasa nyaman terutama pada bagian bawah abdomen.
3. Tidak terdapat dilatasi servik.
4. Rasa sakit umumnya hilang dengan pemberian sedasi.

KARAKTERISTIK PERSALINAN NORMAL


Stadium persalinan dibagi menjadi 3 :
1. Persalinan kala I : mulai saat inpartu sampai dilatasi lengkap
2. Persalinan kala II : mulai dilatasi lengkap sampai janin lahir

3. Persalinan kala III : Kala pengeluaran plasenta


4. [Persalinan kala IV] : 2 jam pasca persalinan

Gambar Kurve persalinan normal dan posisi kepala janin

Menurut Friedman 1967, Persalinan kala I terdiri dari 2 fase :

Fase LATEN (dilatasi 0 3 cm)

Fase AKTIF (dilatasi 3 10 cm)

Fase aktif :

Fase akselerasi

Fase dilatasi maksimal

Fase deselerasi

Pada fase aktif, kecepatan dilatasi servik pada nulipara 1.2 cm dan pada multipara 1.5
cm. Lama kala I persalinan pada nulipara 8 jam dan pada multipara 5 jam.
Evaluasi kemajuan persalinan
Persalinan Kala I dinilai melalui kecepatan perubahan pendataran dan dilatasi servik serta
desensus bagian terendah janin.
Frekuensi dan durasi kontraksi uterus bukan tanda-tanda untuk menilai kemajuan proses
persalinan pada kala I.

Persalinan kala II dimulai saat pembukaan lengkap. Kemajuan persalinan kala II dinilai dari
desensus - fleksi dan putar paksi dalam bagian terendah janin.

PENATALAKSANAAN PERSALINAN NORMAL


Faktor yang perlu dinilai dan dicatat dalam persalinan :
1. Waktu terjadinya kontraksi uterus pertama kali, frekuensi kontraksi uterus, keadaan
selaput ketuban, riwayat perdarahan atau gangguan pada gerakan janin.
2. Riwayat alergi, medikasi, saat makan terakhir.
3. Tanda vital ibu, protein urine dan glukosa serta pola kontraksi uterus.
4. Detik jantung janin, presentasi dan tafsiran berat badan janin.
5. Keadaan selaput ketuban, dilatasi & pendataran servik dan derajat penurunan
bagian terendah janin melalui pemeriksaan dalam (vaginal toucher) kecuali bila
terdapat kontraindikasi melakukan VT (perdarahan antepartum).
Pada saat masuk kamar bersalin perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium :

Hematokrit dan hemoglobin.

Faal pembekuan darah (waktu pembekuan dan waktu perdarahan).

Golongan darah.

PERSALINAN KALA I

Pasien diperkenankan untuk berjalan-jalan sesuai keinginannya.

Tidak perlu puasa, dapat diberikan makan dalam bentuk cair.

Bila perlu dapat diberikan cairan intravena untuk memenuhi kebutuhan cairan dan
kalori.

Nadi dan tekanan darah diperiksa setiap 2 4 jam.

Dilakukan pencatatan keseimbangan cairan (produksi urine dan cairan intravena


atau peroral).

Dapat dipertimbangkan pemberian analgesia bila pasien memerlukan oleh karena


merasa sangat nyeri dan tidak bisa hilangk dengan pemberian informasi mengenai
jalannya persalinan.

Pemeriksaan kesehatan janin melalui pemantauan janin dengan kardiotokografi.

Pada kasus resiko rendah dengarkan DJJ tiap 30 menit (pada kasus resiko tinggi
setiap 15 menit) segera setelah kontraksi uterus.

Pemantauan kontraksi uterus melalui palpasi dilakukan tiap 30 menit untUk


menentukan frekuensi, durasi dan intensitas his. Pada fase aktif penilaian dilatasi
dan desensus dengan VT dilakukan tiap 2 jam.

Tindakan amniotomi rutin tidak boleh dilakukan sebelum dilatasi servik lengkap.

PERSALINAN KALA II

Pada awal kala II (dilatasi servik lengkap), terdapat reflek meneran dari ibu pada tiap
kontraksi uterus.

Tekanan abdomen disertai dengan kontraksi uterus akan mendorong janin keluar
dari jalan lahir.

Pada kala II, kemajuan persalinan ditentukan berdasarkan derajat desensus (gambar
12.2). Pada saat bagian terendah janin berada setinggi spina ischiadica maka
dikatakan penurunan pada stasion 0.

Pada primigravida, umumnya kala II berlangsung selama 50 menit dan pada


multigravida 20 menit.

MEKANISME PERSALINAN NORMAL


Selama proses persalinan, janin melakukan serangkaian gerakan untuk melewati panggul seven cardinal movements of labor yang terdiri dari :
1. Engagemen
2. Fleksi
3. Desensus
4. Putar paksi dalam
5. Ekstensi
6. Putar paksi luar
7. Ekspulsi
Gerakan-gerakan tersebut terjadi pada presentasi kepala dan presentasi bokong.
Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan janin dapat mengatasi rintangan jalan lahir dengan
baik sehingga dap[at terjadi persalinan per vaginam secara spontan.

Engagemen

Suatu keadaan dimana diameter biparietal sudah melewati pintu atas panggul.

Pada 70% kasus, kepala masuk pintu atas panggul ibu pada panggul jenis ginekoid
dengan oksiput melintang (tranversal)

Proses engagemen kedalam pintu atas panggul dapat melalui


proses normalsinklitismus , asinklitismus anterior dan asinklitismus posterior :
o

Normal sinklitismus : Sutura sagitalis tepat diantara simfisis pubis dan


sacrum.

Asinklitismus anterior : Sutura sagitalis lebih dekat kearah sacrum.

Asinklitismus posterior: Sutura sagitalis lebih dekat kearah simfisis


pubis(parietal bone presentasion

Fleksi
Gerakan fleksi terjadi akibat adanya tahanan servik, dinding panggul dan otot dasar
panggul.
Fleksi kepala diperlukan agar dapat terjadi engagemen dan desensus.
Bila terdapat kesempitan panggul, dapat terjadi ekstensi kepala sehingga terjadi letak
defleksi (presentasi dahi, presentasi muka).

Desensus
Pada nulipara, engagemen terjadi sebelum inpartu dan tidak berlanjut sampai awal kala II;
pada multipara desensus berlangsung bersamaan dengan dilatasi servik.
Penyebab terjadinya desensus :
1. Tekanan cairan amnion
2. Tekanan langsung oleh fundus uteri pada bokong
3. Usaha meneran ibu
4. Gerakan ekstensi tubuh janin (tubuh janin menjadi lurus)
Faktor lain yang menentukan terjadinya desensus adalah :

Ukuran dan bentuk panggul

Posisi bagian terendah janin

Semakin besar tahanan tulang panggul atau adanya kesempitan panggul akan
menyebabkan desensus berlangsung lambat.

Desensus berlangsung terus sampai janin lahir.

Putar paksi dalam- internal rotation

Bersama dengan gerakan desensus, bagian terendah janin mengalami putar paksi
dalam pada level setinggi spina ischiadica (bidang tengah panggul).

Kepala berputar dari posisi tranversal menjadi posisi anterior (kadang-kadang kearah
posterior).

Putar paksi dalam berakhir setelah kepala mencapai dasar panggul.

Ekstensi
Aksis jalan lahir mengarah kedepan atas, maka gerakan ekstensi kepala harus terjadi
sebelum dapat melewati pintu bawah panggul.
Akibat proses desensus lebih lanjut, perineum menjadi teregang dan diikuti
dengancrowning
Pada saat itu persalinan spontan akan segera terjadi dan penolong persalinan melakukan
tindakan dengan perasat Ritgen untuk mencegah kerusakan perineum yang luas dengan
jalan mengendalikan persalinan kepala janin.
Episiotomi tidak dikerjakan secara rutin akan tetapi hanya pada keadaan tertentu.
Proses ekstensi berlanjut dan seluruh bagian kepala janin lahir.
Setelah kepala lahir, muka janin dibersihkan dan jalan nafas dibebaskan dari darah dan
cairan amnion. Mulut dibersihkan terlebih dahulu sebelum melakukan pembersihan hidung.
Setelah jalan nafas bersih, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat sekitar leher
dengan jari telunjuk. Lilitan talipusat yang terjadi harus dibebaskan terlebih dahulu. Bila
lilitan talipusat terlalu erat dapat dilakukan pemotongan diantara 2 buah klem.

Putar paksi luar- external rotation


Setelah kepala lahir, terjadi putar paksi luar (restitusi) yang menyebabkan posisi kepala
kembali pada posisi saat engagemen terjadi dalam jalan lahir.

Setelah putar paksi luar kepala, bahu mengalami desensus kedalam panggul dengan cara
seperti yang terjadi pada desensus kepala.
Bahu anterior akan mengalami putar paksi dalam sejauh 450 menuju arcus pubis sebelum
dapat lahir dibawah simfisis.
Persalinan bahu depan dibantu dengan tarikan curam bawah pada samping kepala janin .
Setelah bahu depan lahir, dilakukan traksi curam atas untuk melahirkan bahu posterior.
Traksi untuk melahirkan bahu harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari cedera
pada pleksus brachialis.
Setelah persalinan kepala dan bahu, persalinan selanjutnya berlangsung pada sisa bagian
tubuh janin dengan melakukan traksi pada bahu janin.
Setelah kelahiran janin, terjadi pengaliran darah plasenta pada neonatus bila tubuh anak
diletakkan dibawah introitus vagina.
Penundaan yang terlampau lama pemasangan klem pada talipusat dapat mengakibatkan
terjadinya hiperbilirubinemia neonatal akibat aliran darah plasenta tersebut.
Sebaiknya neonatus diletakkan diatas perut ibu dan pemasangan dua buah klem talipusat
dilakukan dalam waktu sekitar 15 20 detik setelah bayi lahir dan kemudian baru dilakukan
pemotongan talipusat diantara kedua klem.

PERSALINAN KALA III

Persalinan kala III adalah periode persalinan antara lahirnya janin sampai lahirnya plasenta
dan selaput ketuban.
Akibat masih adanya kontraksi uterus, ukuran plasenta dan plasental site mengecil sampai
tersisa 25% hematoma retroplasenta terjadi separasi plasenta.
Separasi plasenta umumnya terjadi 5 menit setelah anak lahir.
Penatalaksanaan kala III :
1. Penatalaksanaan klasik atau tradisional
2. Penatalaksanaan aktif

Penatalaksanan fisiologik (ekspektatif)


Separasi plasenta dan selaput ketuban dibiarkan terjadi secara spontan.
Tanda separasi plasenta :
1. Darah segar keluar dari vagina.
2. Talipusat didepan vulva menjadi bertambah panjang.
3. Fundus uteri naik.
4. Bentuk uterus menjadi bulat dan mengeras
Setelah tanda separasi muncul, dilakukan masase uterus agar terjadi kontraksi uterus.
Uterus yang sedang berkontraksi didorong kearah pelvis sehingga plasenta dan selaput
ketuban bergerak seperti piston keluar vagina.
Plasenta yang keluar dicekap dan dipeluntir agar plasenta dan selaput ketuban dapat keluar
secara utuh.

Penatalaksanaan aktif
Cara ini diyakini dapat menurunkan angka kejadian perdarahan pasca persalinan dari 4%
menjadi 2%.
1. Setelah janin lahir, disuntikkan methergin 0.5 ml i.m (atau oksitosin bila terdapat
kontra-indikasi pemberian methergin)

2. Untuk menghindari inversio uteri traksi talipusat hanya dilakukan saat ada kontraksi
uterus dan dengan meletakkan tangan suprasimfisis
3. Klem talipusat dipegang dengan tangan kanan dan talipusat diregangkan.
4. Tangan kiri melakukan masase fundus uteri, bila sudah timbul kontraksi uterus,
tangan kiri dipindahkan supra-simfisis dan kemudian dilakukan tarikan talipusat
secara terkendali untuk melahirkan plasenta.
5. Jangan melakukan tarikan pada talipusat untuk melahirkan plasenta pada saat tidak
ada kontraksi uterus untuk mencegah terjadinya inversio uteri.

Inspeksi Plasenta dan selaput ketuban

Plasenta dan selaput ketuban diperiksa dengan jalan memegang talipusat untuk
membuat plasenta dalam keadaan tergantung dan memeriksa fetal surface untuk
melihat adanya pembuluh darah yang melewati tepi selaput ketuban.

Selaput ketuban diperiksa untuk memastikan tidak adanya selaput yang tertinggal
dalam uterus.

Maternal surface plasenta diperiksa untuk menyingkirkan kemungkinan adanya


kotiledon yang tertinggal dalam uterus.

Retensio Plasenta

Batasan umum yang digunakan untuk retensio plasenta adalah bila plasenta tetap
berada dalam uterus selama 1 jam.

Keadaan ini sering disertai dengan perdarahan pasca persalinan.

Etiologi:

1. Inkarserasi dari plasenta yang sudah lepas seluruhnya dengan ostium servik yang
sudah menutup.
2. Atonia uteri.
3. Plasenta akreta ( melekat pada desidua dan miometrium) atau plasenta perkreta (
menembus sampai peritoneum viseralis/serosa).
Penatalaksanaan :

Bila perdarahan sangat banyak maka plasenta harus segera dilahirkan dengan caracara yang sudah dijelaskan atau dilakukan plasenta manual.

Plasenta akreta atau plasenta perkreta memerlukan tindakan histerektomi.

Inspeksi Jalan Lahir

Setelah plasenta dan selaput ketuban lahir, perdarahan biasanya berhenti.

Bila terdapat robekan perineum atau terdapat luka akibat tindakan episiotomi maka
hal tersebut memerlukan perbaikan.

Pada persalinan dengan ekstraksi cunam, inspeksi jalan lahir harus meliputi servik.

PERBAIKAN LUKA JALAN LAHIR


Episiotomi
Episiotomi adalah insisi pada perineum dan vagina yang sudah sangat teregang untuk
mencegah agar tidak terjadi perluasan dan robekan jalan lahir tak beraturan yang akan
dapat menyebabkan terjadinya prolapsus uteri kelak.
Pandangan saat ini adalah bahwa tindakan episiotomi tidak boleh dilakukan secara rutin
oleh karena dapat menyebabkan nyeri perineum yang berkepanjangan dan gangguan
hubungan seksual sampai 6 bulan pasca episiotomi.
Bila luka episiotomi meluas menjadi ruptura perinei derajat III dan IV, sfingter ani harus
diperbaiki dengan baik agar tidak terjadi inkontinensia urine dan atau inkontinensia ani.
Bila episiotomi harus dikerjakan karena regangan perineum yang sangat berlebihan, maka
maksud dan tujuan dari tindakan tersebut harus dijelaskan pada pasien dan keluarganya
terlebih dahulu. Tindakan episotomi harus dengan ijin pasien.

Episiotomi harus dikerjakan dengan anestesi regional atau lokal.


Episotomi dapat dikerjakan secara medial [midline] atau mediolateral.
Episiotomi Mediana :
- Perdarahan sedikit.
- Mudah meluas menjadi ruptura perinei totalis.
- Tehnik perbaikan lebih mudah.
- Keluhan dispareunia atau nyeri pasca persalinan minimal .
Episiotomi Medio-lateral:
- Perdarahan lebih banyak.
- Jarang meluas menjadi ruptura perinei totalis.
- Tehnik perbaikan lebih sulit.
- Keluhan dispareunia dan nyeri pasca persalinan lebih sering terjadi.

Ruptura perinei
Dikenal 4 derajat ruptura perinei :
1. Derajat I : cedera pada commisura posterior, mukosa vagina dan otot dibelakangnya
menjadi terbuka.
2. Derajat II : cedera dinding vagina bagian posterior dan otot perineum, sfingter ani
utuh.
3. Derajat III : robekan pada sfingter ani namun mukosa rektum utuh.
4. Derajat IV : kanalis ani terbuka dan robekan dapat meluas ke rectum.

Prinsip perbaikan luka episiotomi :


1. Hemostasis.
2. Restorasi anatomis tercapai tanpa jahitan berlebihan.
3. Benang yang digunakan chromic cat-gut atau poliglikolik # 3-0 .

Perbaikan pada ruptura perinei derajat IV

Gambar Perbaikan ruptura perinei totalis


A. Mendekatkan mukosa dan submukosa anorektum dengan benang absorable (misalnya
chromic # 3-0 atau 4-0 atau Vicryl. Dilakukan identifikasi tepi atas laserasi canalis ani dan
jahitan ditempatkan melalui submukosa anorektum dengan jarak 0.5 cm kearah lubang
anus.
B. Lapisan kedua ditempatkan melalui otot rectum dengan Vicryl 3-0 secara jelujur atau
terputus. Lapisan penguat ini harus disatukan dengan ujung luka pada sfingter ani (
berupa otot polos sirkuler sejauh 2 3 cm dari canalis ani)
C. Dilakukan identifikasi ujung sfingter ani eksterna yang putus dan kemudian dijepit dengan
Allis klem
D. 4 jahitan terputus pada otot sfingter ani yang terputus posisi jam 3-6-9-12

Robekan servik

Robekan servik dapat terjadi bila pasien meneran pada saat dilatasi servik belum
lengkap dan ketuban sudah pecah.

Pasca tindakan persalinan operatif pervaginam (ekstraksi cunam), dapat


menyebabkan terjadinya robekan servik.

Untuk keperluan hemostasis perbaikan robekan servik harus dimulai pada apex luka.

PENATALAKSANAAN PASCA PERSALINAN


Sebelum dirawat di ruang perawatan nifas, pasien pasca persalinan harus

1. Keadaan umum baik .


2. Kontraksi uterus baik dan tidak terdapat perdarahan pervaginam.
3. Cedera perineum sudah diperbaiki.
4. Kandung kemih kosong.

Rujukan
1. American College of Obstetricians and Gynecologist: Optimal goals for
anaesthesia care in obstetrics. Committee Opinion No 256, May 2001
2. Cunningham FG et al : Normal Labor and Delivery in Williams Obstetrics , 22nd ed,
McGraw-Hill, 2005
3. DeCherney AH. Nathan L : The course & Conduct of Normal Labor and Delivery ini
Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Therapy , McGraw Hill
Companies, 2003
4. Llewelyn-Jones : Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999
5. Poen AC, Felt-Nersma RJ, Strijers RL et al: Third degree obstetric perineal tear:
Long-term clinical and functional result after primary repair. Br J surg 85:1433, 1998
DIPOSKAN OLEH BAMBANG WIDJANARKO DI 06.44
LABEL: RUJUKAN PERSIAPAN KLINIK

Penatalaksanaan Persalinan Normal

Penatalaksanaan proses persalinan (kala I) dan proses kelahiran ( kala II ) yang ideal
adalah
1. Peristiwa persalinan harus dipandang sebagai proses fisiologik yang normal dimana
sebagian besar wanita akan mengalaminya tanpa komplikasi.
2. Komplikasi intrapartum kadang-kadang terjadi secara cepat dan tidak diharapkan
sehingga diperlukan antisipasi yang memadai.
Dengan demikian maka tugas para klinisi adalah secara bersama-sama membuat ibu
bersalin (parturien) dan pendampingnya merasa aman dan nyaman.

PROSEDUR PASIEN MASUK ADMISSION PROCEDURES


Memasukkan pasien ke unit persalinan secara dini adalah sikap yang harus diambil bila
pada perawatan antepartum masuk kedalam kategori kehamilan resiko tinggi.
Identifikasi persalinan
Menentukan diagnosa inpartu terhadap pasien yang datang dengan akan melahirkan
seringkali tidak mudah.
Persalinan Sebenarnya - TRUE LABOR

His terjadi dengan interval teratur

Interval semakin singkat

Intensitas his semakin kuat

Rasa sakit pada punggung dan abdomen

Disertai dengan dilatasi servik

Rasa sakit tidak hilang dengan pemberian sedasi

Persalinan Palsu - FALSE LABOR

His terjadi dengan interval tidak teratur

Interval his semakin lama

Intensitas his semakin lemah

Rasa sakit terutama di perut bagian bawah

Tidak disertai dengan dilatasi servik

Rasa sakit hilang dengan pemberian sedasi

Didalam hal terdapat kecurigaan adanya persalinan palsu, perlu dilakukan pengamatan
terhafap parturien dengan waktu yang lebih lama di unit persalinan.

Identifikasi parturien:
1. Keadaan umum ibu dan anak ditentukan dengan akurat dan cepat melalui
serangkaian anamnesa dan pemeriksaan fisik.
2. Keluhan yang berkaitan dengan selaput ketuban, perdarahan pervaginam dan
gangguan keadaan umum ibu lain adalah data yang penting diketahui.
3. Pemeriksaan fisik meliputi :
1. Keadaan umum pasien : kesan umum, kesadaran, ikterus, komunikasi
interpersonal.
2. Tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu tubuh.
4. Pemeriksaan obstetri :
1. Palpasi abdomen (palpasi Leopold)
2. Frekuensi-durasi dan intensitas his
3. Denyut jantung janin
4. Vaginal toucher : ( bila tak ada kontraindikasi )
1. Servik: posisi (kedepan, tengah, posterior), konsistensi, pendataran
dan pembukaan (cm)
2. Keadaan selaput ketuban (keadaan cairan amnnion bila selaput
ketuban sudah pecah).
3. Bagian terendah janin (presenting part):
1. Kepala/bokong/bahu
2. Penurunan (station), gambar 6.1
3. Posisi janin berdasarkan posisi denominator
4. Arsitektur panggul dan keadaan jalan lahir
5. Keadaan vagina dan perineum
5. 5. Kardiotokografi : fetal admission test untuk memantau keadaan janin dan
memperkirakan keadaan janin .

Gambar : Derajat desensus bagian terendah janin.

Spina ischiadica = level 0

Diatas spina ischiadica = tanda -

Dibawah spina ischiadica= tanda +

Pemeriksaan laboratorium :
1. Haemoglobin dan hematokrit.
2. Urinalisis ( glukosa dan protein ).
3. Untuk pasien yang tidak pernah melakukan perawatan antenatal harus dilakukan
pemeriksaan:
o

Syphilis ( VDRL/RPR )

Hepatitis B

HIV (atas persetujuan parturien )

PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA I


1. Berikan dukungan dan suasana yang menyenangkan bagi parturien
2. Berikan informasi mengenai jalannya proses persalinan kepada parturien dan
pendampingnya.
3. Pengamatan kesehatan janin selama persalinan
o

Pada kasus persalinan resiko rendah, pada kala I DJJ diperiksa setiap 30
menit dan pada kala II setiap 15 menit setelah berakhirnya kontraksi uterus
(his ).

Pada kasus persalinan resiko tinggi, pada kala I DJJ diperiksa dengan
frekuensi yang lbih sering (setiap 15 menit ) dan pada kala II setiap 5 menit.

4. Pengamatan kontraksi uterus


o

Meskipun dapat ditentukan dengan menggunakan kardiotokografi, namun


penilaian kualitas his dapat pula dilakukan secara manual dengan telapak

tangan penolong persalinan yang diletakkan diatas abdomen (uterus)


parturien.
5. Tanda vital ibu
o

Suhu tubuh, nadi dan tekanan darah dinilai setiap 4 jam.

Bila selaput ketuban sudah pecah dan suhu tubuh


sekitar 37.50 C (borderline) maka pemeriksaan suhu tubuh dilakukan setiap
jam.

Bila ketuban pecah lebih dari 18 jam, berikan antibiotika profilaksis.

6. Pemeriksaan VT berikut
1. Pada kala I keperluan dalam menilai status servik, stasion dan posisi bagian
terendah janin sangat bervariasi.
2. Umumnya pemeriksaan dalam (VT) untuk menilai kemajuan persalinan
dilakukan tiap 4 jam.
3. Indikasi pemeriksaan dalam diluar waktu yang rutin diatas adalah:

Menentukan fase persalinan.

Saat ketuban pecah dengan bagian terendah janin masih belum


masuk pintu atas panggul.

Ibu merasa ingin meneran.

Detik jantung janin mendadak menjadi buruk (< 120 atau > 160 dpm).

7. Makanan oral
0. Sebaiknya pasien tidak mengkonsumsi makanan padat selama persalinan
fase aktif dan kala II. Pengosongan lambung saat persalinan aktif
berlangsung sangat lambat.
1. Penyerapan obat peroral berlangsung lambat sehingga terdapat bahaya
aspirasi saat parturien muntah.
2. Pada saat persalinan aktif, pasien masih diperkenankan untuk
mengkonsumsi makanan cair.
8. Cairan intravena
o

Keuntungan pemberian cairan intravena selama inpartu:

Bilamana pada kala III dibutuhkan pemberian oksitosin profilaksis


pada kasus atonia uteri.

Pemberian cairan glukosa, natrium dan air dengan jumlah 60120 ml


per jam dapat mencegah terjadinya dehidrasi dan asidosis pada ibu.

9. Posisi ibu selama persalinan


o

Pasien diberikan kebebasan sepenuhnya untuk memilih posisi yang paling


nyaman bagi dirinya.

Berjalan pada saat inpartu tidak selalu merupakan kontraindikasi.

10. Analgesia
o

Kebutuhan analgesia selama persalinan tergantung atas permintaan pasien.

11. Lengkapi partogram

Keadaan umum parturien ( tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan ).

Pengamatan frekuensi durasi intensitas his.

Pemberian cairan intravena.

Pemberian obat-obatan.

12. Amniotomi
o

Bila selaput ketuban masih utuh, meskipun pada persalinan yang


diperkirakan normal terdapat kecenderungan kuat pada diri dokter yang
bekerja di beberapa pusat kesehatan untuk melakukan amniotomi dengan
alasan:

Persalinan akan berlangsung lebih cepat.

Deteksi dini keadaan air ketuban yang bercampur mekonium ( yang


merupakan indikasi adanya gawat janin ) berlangsung lebih cepat.

Kesempatan untuk melakukan pemasangan elektrode pada kulit


kepala janin dan prosedur pengukuran tekanan intrauterin.

Namun harus dingat bahwa tindakan amniotomi dini memerlukan observasi


yang teramat ketat sehingga tidak layak dilakukan sebagai tindakan rutin.

13. Fungsi kandung kemih


o

Distensi kandung kemih selama persalinan harus dihindari oleh karena dapat:

Menghambat penurunan kepala janin

Menyebabkan hipotonia dan infeksi kandung kemih

Carley dkk (2002) menemukan bahwa 51 dari 11.322 persalinan


pervaginam mengalami komplikasi retensio urinae ( 1 : 200 persalinan
).

Faktor resiko terjadinya retensio urinae pasca persalinan:

Persalinan pervaginam operatif

Pemberian analgesia regional

PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA II


Tujuan penatalaksanaan persalinan kala II :
1. Mencegah infeksi traktus genitalis melalui tindakan asepsis dan antisepsis.
2. Melahirkan well born baby.
3. Mencegah agar tidak terjadi kerusakan otot dasar panggul secara berlebihan.
Penentuan kala II :
Ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan vaginal toucher yang acapkali dilakukan atas
indikasi :
1. Kontraksi uterus sangat kuat dan disertai ibu yang merasa sangat ingin meneran.

2. Pecahnya ketuban secara tiba-tiba.


Pada kala II sangat diperlukan kerjasama yang baik antara parturien dengan penolong
persalinan.
1. Persiapan :
1. Persiapan set pertolongan persalinan lengkap.
2. Meminta pasien untuk mengosongkan kandung kemih bila teraba kandung
kemih diatas simfisis pubis.
3. Membersihkan perineum, rambut pubis dan paha dengan larutan disinfektan.
4. Meletakkan kain bersih dibagian bawah bokong parturien.
5. Penolong persalinan mengenakan peralatan untuk pengamanan diri ( sepatu
boot, apron, kacamata pelindung dan penutup hidung & mulut).
2. Pertolongan persalinan :
1. Posisi pasien sebaiknya dalam keadaan datar diatas tempat tidur persalinan.
2. Untuk pemaparan yang baik, digunakan penahan regio poplitea yang tidak
terlampau renggang dengan kedudukan yang sama tinggi.
3. Persalinan kepala:
1. Setelah dilatasi servik lengkap, pada setiap his vulva semakin terbuka akibat
dorongan kepala dan terjadi crowning.
2. Anus menjadi teregang dan menonjol. Dinding anterior rektum biasanya
menjadi lebih mudah dilihat.
3. Bila tidak dilakukan episiotomi, terutama pada nulipara akan terjadi penipisan
perineum dan selanjutnya terjadi laserasi perineum secara spontan.
4. Episotomi tidak perlu dilakukan secara rutin dan hendaknya dilakukan secara
individual atas sepengetahuan dan seijin parturien.

Gambar 6 2 : Rangkaian persalinan kepala

1. Kepala membuka pintu (crowning)


2. Perineum semakin teregang dan semakin tipis
3. Kepala anak lahir dengan gerakan ekstensi
4. Kepala anak jatuh didepan anus
5. Putaran restitusi
6. Putar paksi luar
Episiotomi terutama dari jenis episiotomi mediana mudah menyebabkan terjadinya ruptura
perinei totalis (mengenai rektum) ; sebaliknya bila tidak dilakukan episiotomi dapat
menyebabkan robekan didaerah depan yang mengenai urethrae.
Manuver Ritgen :

Gambar 3 Maneuver RITGEN


Tujuan maneuver Ritgen :
1. Membantu pengendalian persalinan kepala janin
2. Membantu defleksi (ekstensi) kepala
3. Diameter kepala janin yang melewati perineum adalah diameter yang paling kecil
sehingga dapat
4. Mencegah terjadinya cedera perineum yang
Saat kepala janin meregang vulva dan perineum (crowning) dengan diameter 5 cm,
dengan dialasi oleh kain basah tangan kanan penolong melakukan dorongan pada
perineum dekat dengan dagu janin kearah depan atas. Tangan kiri melakukan tekanan
ringan pada daerah oksiput. Maneuver ini dilakukan untuk mengatur defleksi kepala agar
tidak terjadi cedera berlebihan pada perineum.

Gambar 4 Persalinan kepala, mulut terlihat didepan perineum


Persalinan bahu:
Setelah lahir, kepala janin terkulai keposterior sehingga muka janin mendekat pada anus
ibu. Selanjutnya oksiput berputar (putaran restitusi) yang menunjukkan bahwa diameter bisacromial (diameter tranversal thorax) berada pada posisi anteroposterior Pintu Atas
Panggul(gambar 2d) dan pada saat itu muka dan hidung anak hendaknya
dibersihkan (gambar 5)

Gambar 5 Segera setelah dilahirkan, mulut dan hidung anak dibersihkan


Seringkali, sesaat setelah putar paksi luar, bahu terlihat di vulva dan lahir secara spontan.
Bila tidak, perlu dlakukan ekstraksi dengan jalan melakukan cekapan pada kepala anak dan
dilakukan traksi curam kebawah untuk melahirkan bahu depan dibawah arcus
pubis. (gambar 6)

Gambar 6 Persalinan bahu depan

Gambar 7 Persalinan bahu belakang


Untuk mencegah terjadinya distosia bahu, sejumlah ahli obstetri menyarankan agar terlebih
dulu melahirkan bahu depan sebelum melakukan pembersihan hidung dan mulut janin atau
memeriksa adanya lilitan talipusat ( gambar 8)

Gambar 8 Memeriksa adanya lilitan talipusat


Persalinan sisa tubuh janin biasanya akan mengikuti persalinan bahu tanpa kesulitan, bila
agak sedikit lama maka persalinan sisa tubuh janin tersebut dapat dilakukan dengan traksi

kepala sesuai dengan aksis tubuh janin dan disertai dengan tekanan ringan pada fundus
uteri.
Jangan melakukan kaitan pada ketiak janin untuk menghindari terjadinya cedera saraf
ekstrimitas atas
5. Membersihkan nasopharynx:
Perlu dilakukan tindakan pembersihan muka , hidung dan mulut anak setelah dada lahir dan
anak mulai mengadakan inspirasi, seperti yang terlihat pada gambar 5 untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya aspirasi cairan amnion, bahan tertentu didalam cairan amnion serta
darah.
6. Lilitan talipusat
Setelah bahu depan lahir, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat dileher anak
dengan menggunakan jari telunjuk seperti terlihat pada gambar 8
Lilitan talipusat terjadi pada 25% persalinan dan bukan merupakan keadaan yang
berbahaya.
Bila terdapat lilitan talipusat, maka lilitan tersebut dapat dikendorkanmelewati bagian atas
kepala dan bila lilitan terlampau erat atau berganda maka dapat dilakukan pemotongan
talipusat terlebih dulu setelah dilakukan pemasangan dua buah klem penjepit talipusat.
7. Menjepit talipusat:
Klem penjepit talipusat dipasang 45 cm didepan abdomen anak dan penjepit talipusat
(plastik) dipasang dengan jarak 23 cm dari klem penjepit. Pemotongan dilakukan diantara
klem dan penjepit talipusat.
Saat pemasangan penjepit talipusat:
Bila setelah persalinan, neonatus diletakkan pada ketinggian dibawah introitus vaginae
selama 3 menit dan sirkulasi uteroplasenta tidak segera dihentikan dengan memasang
penjepit talipusat, maka akan terdapat pengaliran darah sebanyak 80 ml dari plasenta ke
tubuh neonatus dan hal tersebut dapat mencegah defisiensi zat besi pada masa neonatus.
Pemasangan penjepit talipusat sebaiknya dilakukan segera setelah pembersihan jalan
nafas yang biasanya berlangsung sekitar 30 detik dan sebaiknya neonatus tidak
ditempatkan lebih tinggi dari introitus vaginae atau abdomen (saat sectio caesar )

PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA III


Persalinan Kala III adalah periode setelah lahirnya anak sampai plasenta lahir.
Segera setelah anak lahir dilakukan penilaian atas ukuran besar dan konsistensi uterus dan
ditentukan apakah ini aalah persalinan pada kehamilan tunggal atau kembar.
Bila kontraksi uterus berlangsung dengan baik dan tidak terdapat perdarahan maka dapat
dilakukan pengamatan atas lancarnya proses persalinan kala III.
Penatalaksanaan kala III FISIOLOGIK :
Tanda-tanda lepasnya plasenta:
1. Uterus menjadi semakin bundar dan menjadi keras.
2. Pengeluaran darah secara mendadak.
3. Fundus uteri naik oleh karena plasenta yang lepas berjalan kebawah kedalam
segmen bawah uterus.
4. Talipusat di depan menjadi semakin panjang yang menunjukkan bahwa plasenta
sudah turun.
Tanda-tanda diatas kadang-kadang dapat terjadi dalam waktu sekitar 1 menit setelah anak
lahir dan umumnya berlangsung dalam waktu 5 menit.
Bila plasenta sudah lepas, harus ditentukan apakah terdapat kontraksi uterus yang baik.
Parturien diminta untuk meneran dan kekuatan tekanan intrabdominal tersebut biasanya
sudah cukup untuk melahirkan plasenta.
Bila dengan cara diatas plasenta belum dapat dilahirkan, maka pada saat terdapat kontraksi
uterus dilakukan tekanan ringan pada fundus uteri dan talipusat sedikit ditarik keluar untuk
mengeluarkan plasenta (gambar 9)

Gambar 9. Ekspresi plasenta. Perhatikan bahwa tangan tidak melakukan tekanan pada
fundus uteri. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan
kanan mempertahankan posisi tangan )
Tehnik melahirkan plasenta :
1. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan kanan
mempertahankan posisi talipusat.
2. Parturien dapat diminta untuk membantu lahirnya plasenta dengan meneran.
3. Setelah plasenta sampai di perineum, angkat keluar plasenta dengan menarik
talipusat keatas.
4. Plasenta dilahirkan dengan gerakan memelintir plasenta sampai selaput ketuban
agar selaput ketuban tidak robek dan lahir secara lengkap oleh karena sisa selaput
ketuban dalam uterus dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan.

Gambar 10 Melahirkan plasenta


Kiri: Plasenta dilahirkan dengan mengkat talipusat
Kanan : selaput ketuban jangan sampai tersisa dengan menarik selaput ketuban
menggunakan cunam

Penatalaksanaan kala III AKTIF :


Penatalaksanaan aktif kala III ( pengeluaran plasenta secara aktif ) dapat menurunkan
angka kejadian perdarahan pasca persalinan.
Penatalaksanaan aktif kala III terdiri dari :
1. Pemberian oksitosin segera setelah anak lahir

2. Tarikan pada talipusat secara terkendali


Masase uterus segera setelah plasenta lahir
Tehnik :
1. Setelah anak lahir, ditentukan apakah tidak terdapat kemungkinan adanya janin
kembar.
2. Bila ini adalah persalinan janin tunggal, segera berikan oksitosin 10 U i.m (atau
methergin 0.2 mg i.m bila tidak ada kontra indikasi)
3. Regangkan talipusat secara terkendali (controlled cord traction):
o

Telapak tangan kanan diletakkan diatas simfisis pubis. Bila sudah terdapat
kontraksi, lakukan dorongan bagian bawah uterus kearah
dorsokranial (gambar 11 )

Gambar 11. Melakukan dorongan uterus kearah dorsokranial sambil melakukan traksi
talipusat terkendali
o

Tangan kiri memegang klem talipusat , 56 cm didepan vulva.

Pertahankan traksi ringan pada talipusat dan tunggu adanya kontraksi uterus
yang kuat.

Setelah kontraksi uterus terjadi, lakukan tarikan terkendali pada talipusat


sambil melakukan gerakan mendorong bagian bawah uterus kearah
dorsokranial.

1. Penarikan talipusat hanya boleh dilakukan saat uterus kontraksi.


2. Ulangi gerakan-gerakan diatas sampai plasenta terlepas.
3. Setelah merasa bahwa plasenta sudah lepas, keluarkan plasenta dengan kedua
tangan dan lahirkan dengan gerak memelintir.
4. Setelah plasenta lahir, lakukan masase fundus uteri agar terjadi kontraksi dan sisa
darah dalam rongga uterus dapat dikeluarkan.

5. Jika tidak terjadi kontraksi uterus yang kuat (atonia uteri) dan atau terjadi perdarahan
hebat segera setelah plasenta lahir, lakukan kompresi bimanual.
6. Jika atonia uteri tidak teratasi dalam waktu 1 2 menit, ikuti protokol
penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan.
7. Jika plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan injeksi oksitosin kedua dan
ulangi gerakan-gerakan diatas.
8. Jika plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit:
o

Periksa kandung kemih, bila penuh lakukan kateterisasi.

Periksa adanya tanda-tanda pelepasan plasenta.

Berikan injeksi oksitosin ketiga.

PERHATIAN : Jika uterus bergerak kebawah waktu saudara


menarik talipusat, HENTIKAN !! Plasenta mungkin belum lepas
dari insersinya dan kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya
inversio uteri.
Jika ibu merasa nyeri atau jika uterus tidak mengalami kontraksi
(lembek) , HENTIKAN USAHA MENARIK TALIPUSAT
Siapkan rujukan bila tidak ada tanda-tanda lepasnya plasenta.

PENATALAKSANAAN PERSALINAN KALA IV


2 jam pertama pasca persalinan merupakan waktu kritis bagi ibu dan neonatus. Keduanya
baru saja mengalami perubahan fisik luar biasa dimana ibu baru melahirkan bayi dari dalam
perutnya dan neonatus sedang menyesuaikan kehidupan dirinya dengan dunia luar.
Petugas medis harus tinggal bersama ibu dan neonatus untuk memastikan bahwa keduanya
berada dalam kondisi stabil dan dapat mengambil tindakan yang tepat dan cepat untuk
mengadakan stabilisasi.
Langkah-langkah penatalaksanaan persalinan kala IV:
1. Periksa fundus uteri tiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 30 menit pada jam
kedua.
2. Periksa tekanan darah nadi kandung kemih dan perdarahan setiap 15 menit
pada jam pertama dan 30 menit pada jam kedua.
3. Anjurkan ibu untuk minum dan tawarkan makanan yang dia inginkan.
4. Bersihkan perineum dan kenakan pakaian ibu yang bersih dan kering.

5. Biarkan ibu beristirahat.


6. Biarkan ibu berada didekat neonatus.
7. Berikan kesempatan agar ibu mulai memberikan ASI, hal ini juga dapat membantu
kontraksi uterus .
8. Bila ingin, ibu diperkenankan untuk ke kamar mandi untuk buang air kecil. Pastikan
bahwa ibu sudah dapat buang air kecil dalam waktu 3 jam pasca persalinan.
9. Berikan petunjuk kepada ibu atau anggauta keluarga mengenai:
o

Cara mengamati kontraksi uterus.

Tanda-tanda bahaya bagi ibu dan neonatus.

Ibu yang baru bersalin sebaiknya berada di kamar bersalin selama 2 jam dan sebelum
dipindahkan ke ruang nifas petugas medis harus yakin bahwa:
1. Keadaan umum ibu baik.
2. Kontraksi uterus baik dan tidak terdapat perdarahan.
3. Cedera perineum sudah diperbaiki.
4. Pasien tidak mengeluh nyeri.
5. Kandung kemih kosong.
Rujukan :
1. Saifuddin AB (ed): Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono, Jakarta 2002
2. American Academy of Pediatrics and the American College of Obstetricians
and Gynecologists : Guideline for Perinatal Care, 5th ed Washington,DC AAP and
ACOG, 2002
3. Carley ME et al : Factors that associated with clinically overt postpartum urinary
retention after vaginal delivery. Am J Obstet Gynecol 187:430, 2002
4. Cunningham FG (editorial) : Normal Labor and Delivery in William
Obstetrics 22nded p 409- 441, Mc GrawHill Companies 2005
5. Eason E et al : Preventing perineal trauma during childbirth. A Systematic Review.
Obstet Gynecol 95,464, 2000
6. Jackson KW et al: A randomized controlled trial comparing oxytocin administration
before and after placental delivery in the prevention of postpartum haemorrhage. Am
J Obstet Gynecol 185:873, 2001
7. Jones DL : Course and Management of Childbirth in Fundamentals of Obstetric &
Gynaecology 7th ed Mosby, London1997.
editor :

dr. Bambang Widjanarko, SpOG


e mail : dodo.widjanarko@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai