Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Persalinan
A. Definisi Persalinan
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah
cukup bulan atau dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan
lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri) (Manuaba, 2010).
Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan
cukup bulan (37 - 42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang
berlangsung tidak lebih dari 18 jam tanpa komplikasi baik bagi ibu maupun janin
(Wiknjosastro, 2009).
Persalinan diartikan pula sebagai peregangan dan pelebaran mulut rahim. Kejadian
itu terjadi ketika otot-otot rahim berkontraksi mendorong bayi keluar. Otot-otot rahim
atau kantong muskuler yang bentuknya menyerupai buah pir terbalik menegang selama
kontraksi. Bersamaan dengan setiap kontraksi, kandung kemih, rectum, tulang belakang
dan tulang pubic menerima tekanan kuat dari rahim. Berat dari kepala bayi ketika
bergerak kebawah saluran lahir juga menyebabkan tekanan (Saiffudin, 2009).
Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari
uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan
cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit. Persalinan di mulai
(inpartu) sejak uterus berkontraksi dan menyebabkan perubahan pada serviks
(membuka dan menipis) dan berakhir dengan lahirnya plasenta secara lengkap. Ibu
belum inpartu jika kontraksi uterus tidak mengakibatkan perubahan serviks (JNPK -
KR, 2007).
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis yang normal. Persalinan
merupakan proses pergerakan keluarnya janin, plasenta, dan membran dari dalam rahim
melalui jalan lahir. Proses ini berawal dari pembukaan dan dilatasi serviks sebagai
akibat kontraksi uterus dengan frekuensi, durasi, dan kekuatan yang teratur. Mula-mula
kekuatan yang muncul kecil, kemudian terus meningkat sampai pada puncaknya
pembukaan serviks lengkap sehingga siap untuk pengeluaran janin dari rahim ibu.
Persalinan normal adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang kepala dengan
tenaga ibu sendiri tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi, umumnya

6
berlangsung kurang dari 24 jam. Persalinan normal dianggap normal jika prosesnya
terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya
penyulit (Rohani,et al, 2011, hal.3).

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan adalah diantaranya sebagai
berikut:
 Faktor Power, power adalah tenaga atau kekuatan yang mendorong janin keluar.
Kekuatan tersebut meliputi his, kontraksi otot-otot perut, kontraksi diafragma dan
aksi dari ligamen, dengan kerjasama yang baik dan sempurna dan tenaga
mengejan.
 Faktor Passanger, yaitu faktor janin, yang meliputi sikap janin, letak, presentasi,
bagian terbawah, dan posisi janin.
 Faktor Passage (jalan lahir), dibagi menjadi: (a) Bagian keras: tulang-tulang
panggul (rangka panggul), (b) Bagian lunak: otot-otot, jaringan-jaringan dan
ligamen-ligamen.
 Faktor psikologi ibu, keadaan psikologi ibu memengaruhi proses persalinan.
Dukungan mental berdampak positif bagi keadaan psikis ibu, yang berpengaruh
pada kelancaran proses persalinan.
 Faktor penolong, dengan pengetahuan dan kompetensi yang baik yang dimiliki
penolong, diharapkan kesalahan atau malpraktik dalam memberikan asuhan tidak
terjadi sehingga memperlancar proses persalinan. (Asrinah,et al, 2010, hal.9).

C. Tanda-tanda Persalinan
Tanda dan gejala inpartu :
 Timbul rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering, dan teratur.
 Keluar lendir bercampur darah (bloody show) yang lebih banyak karena robekan
kecil pada serviks. Sumbatan mukus yang berasal dari sekresi servikal dari
proliferasi kelenjar mukosa servikal pada awal kehamilan, berperan sebagai barier
protektif dan menutup servikal selama kehamilan. Bloody show adalah
pengeluaran dari mukus.
 Kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya. Pemecahan membran yang
normal terjadi pada kala I persalinan. Hal ini terjadi pada 12% wanita,dan lebih
dari 80% wanita akan memulai persalinan secara spontan dalam 24 jam.

7
 Pada pemeriksaan dalam : serviks mendatar dan pembukaan telah ada.

D. Tahap-Tahapan Persalinan
Persalinan dibagi menjadi 4 tahap. Pada kala I serviks membuka dari 0 sampai 10
cm. Kala I dinamakan juga kala pembukaan. Kala II disebut juga dengan kala
pengeluaran, oleh karena kekuatan his dan kekuatan mengedan, janin di dorong keluar
sampai lahir. Dalam kala III atau disebut juga kala uri, plasenta terlepas dari dinding
uterus dan dilahirkan. Kala IV mulai dari lahirnya plasenta sampai 2 jam kemudian.
Dalam kala tersebut diobservasi apakah terjadi perdarahan post partum. (Rohani; dkk,
2011)
 Kala I (Kala Pembukaan)
Inpartu ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah karena serviks mulai
membuka dan mendatar. Darah berasal dari pecahnya pembuluh darah kapiler
sekitar kanalis servikalis karena pergeseran-pergeseran, ketika serviks mendatar dan
membuka. Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan
pembukaan serviks, hingga mencapai pembukaan lengkap (10cm). Persalinan kala I
dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase laten dan fase aktif.
1) Fase laten, dimana pembukaan serviks berlangsung lambat dimulai sejak awal
kontraksi yang menyebabkan penipisan dan pembukaan secara bertahap sampai
pembukaan 3 cm, berlangsung dalam 7-8 jam.
2) Fase aktif (pembukaan serviks 4-10 cm), berlangsung selama 6 jam dan dibagi
dalam 3 subfase. Pada fase aktif persalinan, frekuensi dan lama kontraksi uterus
umumnya meningkat (kontraksi dianggap adekuat jika terjadi tiga kali atau lebih
dalam waktu 10 menit dan berlangsung selama 40 detik atau lebih) dan terjadi
penurunan bagian terbawah janin. Berdasarkan kurve Friedman, diperhitungkan
pembukaan pada primigravida 1 cm/jam dan pembukaan multigravida 2 cm/jam.
Mekanisme membukanya serviks berbeda antara primigravida dan multigravida.
Pada primigravida, ostium uteri internum akan membuka lebih dulu, sehingga
serviks akan mendatar dan menipis, kemudian ostium internum sudah sedikit
terbuka. Ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan pendataran
serviks terjadi dalam waktu yang sama.
 Kala II (Kala Pengeluaran Janin)

8
Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi. Kala II pada primipara berlangsung selama 2 jam dan
pada multipara 1 jam. Tanda dan gejala kala II :
1) His semakin kuat, dengan interval 2 sampai 3 menit.
2) Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi.
3) Ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rektum dan/atau vagina.
4) Perineum terlihat menonjol.
5) Vulva-vagina dan sfingter ani terlihat membuka.
6) Peningkatan pengeluaran lendir dan darah.
Diagnosis kala II ditegakkan atas dasar pemeriksaan dalam yang menunjukkan :
1) Pembukaan serviks telah lengkap.
2) Terlihat bagian kepala bayi pada introitus vagina.
 Kala III (Kala Pengeluaran Plasenta)
Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban. Seluruh proses biasanya berlangsung 5-30 menit
setelah bayi lahir.
Perubahan psikologis kala III :
1) Ibu ingin melihat, menyentuh, dan memeluk bayinya.
2) Merasa gembira, lega, dan bangga akan dirinya; juga merasa sangat lelah.
3) Memusatkan diri dan kerap bertanya apakah vagina perlu dijahit.
4) Menaruh perhatian terhadap plasenta.
 Kala IV (Kala Pengawasan)
Kala IV dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir 2 jam setelah proses
tersebut. Observasi yang harus dilakukan pada kala IV :
1) Tingkat kesadaran.
2) Pemeriksaan tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi,dan pernapasan.
3) Kontraksi uterus.
4) Terjadinya perdarahan. Perdarahan dianggap masih normal jika jumlahnya tidak
melebihi 400 sampai 500 cc.
Asuhan dan pemantauan pada kala IV :
1) Lakukan rangsangan taktil (seperti pemijatan) pada uterus, untuk merangsang
uterus berkontraksi.

9
2) Evaluasi tinggi fundus dengan meletakkan jari tangan secara melintang antara
pusat dan fundus uteri.
3) Perkirakan kehilangan darah secara keseluruhan.
4) Periksa perineum dari perdarahan aktif (misalnya apakah ada laserasi atau
episiotomi).
5) Evaluasi kondisi ibu secara umum.
6) Dokumentasikan semua asuhan dan temuan selama kala IV persalinan di halaman
belakang partograf segera setelah asuhan diberikan atau setelah penilaian
dilakukan.
 Asuhan Persalinan
Tujuan asuhan persalinan adalah memberikan asuhan yang memadai selama
persalinan, dalam upaya mencapai pertolongan persalinan yang bersih dan aman
dengan memperhatikan aspek sayang ibu dan sayang bayi.
Kebijakan pelayanan asuhan persalinan :
1) Semua persalinan harus dihindari dan dipantau oleh petugas kesehatan terlatih.
2) Rumah bersalin dan tempat rujukan dengan fasilitas memadai untuk menangani
kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal harus tersedia 24 jam.
3) Obat-obatan esensial, bahan, dan perlengkapan harus tersedia bagi seluruh
petugas terlatih.

2.2 Nyeri Persalinan


Nyeri merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan disebabkan oleh
stimulus spesifik mekanis, kimia, elektrik pada ujung-ujung syaraf serta tidak dapat
diserahterimakan kepada orang lain (Rusmini, 2009). Nyeri adalah sesuatu yang bersifat
universal dan merupakan keluhan yang bersifat umum pada sebagian besar manusia.
Perasaan nyeri ini merupakan suatu perasaan yang tidak dapat dielakkan bagi seseorang
dan melibatkan segenap diri yang meliputi aspek biopsikososial dan emosional. Nyeri
merupakan sesuatu yang melelahkan dan menuntut energi seseorang. Nyeri pula yang
dapat mengganggu hubungan personal dan mempengaruhi makna kehidupan seseorang.
(Andarmoyo & Suhartini, 2013)
1. Teori Nyeri
Terdapat beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri, yaitu:
 Teori Pemisahan ( Specificiy Theory).

10
 Teori Pola ( Pattern Theory)
 Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)
 Teori Trasmisi dan Inhibisi.

2. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
 Nyeri akut merupakan nyeri yang bersifat mendadak, nyeri ini hanya bertahan
sementara, tidak lebih dari 6 bulan. Reaksi yang mungkin ditimbulkan dari rasa
nyeri ini antara lain adalah peningkatan denyut jantung, peningkatan pernapasan,
berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan perubahan perilaku seperti rasa cemas
yang dapat ditimbulkan dari ekspresi wajah (Judha, 2012).
 Nyeri kronik merupakan kebalikan dari nyeri akut, nyeri ini tidak bersifat
mendadak, tetapi nyeri ini terjadi sangat lambat dan akan terus meningkat dlam
waktu lebih dari 6 bulan (Smeltzer, 2004).

3. Penyebab Nyeri Persalinan


Khasanah (2005) berpendapat rasa nyeri pada persalinan merupakan hal
normalyang terjadi. Penyebabnya meliputi faktor fisiologis dan faktor psikis.
 Faktor Fisiologis : Faktor fisiologis yang dimaksud adalah kontraksi. Gerakan otot
ini menimbulkan rasa nyeri karena saat itu otot-otot rahim memanjang dam
kemudian memendek. Serviks juga akan melunak, menipis dan mendatar kemudian
tertarik. Saat itulah kepala janin menekan mulut rahim dan kemudian
membukanya. Jadi, kontraksi merupakan upaya membuka jalan lahir. Intensitas
rasa nyeri sampai pembukaan lengkap akan bertambah tinggi dan semakin sering
sebanding dengan kekuatan kontraksi dan tekanan bayi terhadap struktur panggul,
diikuti regangan. Dari tidak ada pembukaan sampai pembukaan 2 cm, rasa
sakit/nyeri muncul rata-rata dua kali dalam sepuluh menit proses ini berlangsung
sekitar 8 jam. Rasa sakit pada pembukaan 3cm sampai selanjutnya rata-rata 0,5-1
cm per jam (Andarmoyo & Suhartini, 2013).
 Faktor Psikologis : Rasa takut dan cemas berlebihan mempengaruhi rasa nyeri.
Setiap ibu memiliki rasa nyeri sendiri-sendiri tentang nyeri persalinan dan
melahirkan. Hal ini karena ambang batas rasa nyeri setiap orang berlainan dan
subjektif sekali. Ada yang merasa tidak sakit hanya perutnya terasa kencang. Ada
pula yang merasa tidak tahan mengalami rasa nyeri. Beragamnya respons tersebut

11
merupakan suatu mekanisme proteksi dari rasa nyeri yang dirasakan (Andarmoyo
& Suhartini, 2013).

4. Fisiologis Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam
kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor)
ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Rasa nyeri
pada persalinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: anoksia (kekurangan oksigen)
pada otot rahim, karena otot rahim ini berkontraksi, peregangan serviks (mulut
rahim), tarikan pada tuba (saluran telur), ovarium dan ligamen – ligamen penyangga
uterus, penekanan pada saluran dan kandung kemih, rektum serta regangan otot-otot
dasar panggul.
Persalinan berhubungan dengan dua jenis nyeri yang berbeda. Pertama berasal dari
otot rahim pada saat otot itu ber-kontraksi. Karena merupakan organ internal maka
nyeri yang timbul disebut nyeri viseral. Sama seperti nyeri viceral lainnya, nyeri yang
timbul tidak dapat ditentukan dengan tepat lokasinya (pin-pointed). Nyeri viceral juga
dapat dirasakan pada organ lain yang bukan merupakan asalnya disebut nyeri alih
(reffered pain).
Pada persalinan nyeri alih dapat dirasakan pada punggung bagian bawah dan
sakrum. Jenis yang kedua timbul pada saat mendekati kelahiran. Tidak seperti nyeri
viceral, nyeri ini terlokalisir di daerah vagina, rectum dan perineum, sekitar anus..
Nyeri jenis ini disebut nyeri somatik dan disebabkan peregangan struktur jalan lahir
bagian bawah akibat penurunan bagian terbawah janin. Rasa nyeri akibat dilatasi
serviks dan kontraksi rahim dihantarkan oleh serat sensoris berukuran kecil dari
pleksus paracervikal dan pleksus hipogastrikus inferior yang kemudian bersatu
dengan pleksus saraf simpatikus setinggi L2- L3 (tulangtulang belakang sekitar
pinggang).

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri Persalinan


Menurut Hidayat (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri adalah
sebagai berikut:
 Faktor fisiologis
12
1) Keadaan umum : Kondisi fisik yang menurun seperti kelelahan dan malnutrisi
dapat meningkatkan intensitas nyeri yang dirasakan. Dengan demikian dapat
dikatakan di dalam proses persalinan diperlukan kekuatan atau Energi yang cukup
besar, karena jika ibu mengalami kelelahan dalam persalinan tidak cukup toleran
dalam menghadapi rasa nyeri yang timbul sehingga intensitas nyeri yang
dirasakan semakin tinggi.
2) Usia : Ibu yang melahirkan pertama kali pada usia tua umumnya akan mengalami
persalinan yang lebih lama dan merasakan lebih nyeri dibandingkan ibu yang
masih muda. Sehingga dapat dikatakan pada primipara dengan usia tua akan
merasakan intensitas nyeri yang lebih tinggi dan persalinan yang lebih lama dari
primipara usia muda.
3) Ukuran janin : Dikatakan bahwa persalinan dengan ukuran janin yang besar akan
menimbulkan rasa nyeri yang lebih kuat dari persalinan dengan ukuran janin
normal. Karena itu dapat disimpulkan bahwa semakin besar ukuran janin semakin
lebar diperlukan peregangan jalan lahir sehingga nyeri yang dirasakan semakin
kuat.
4) Endorphin : Efek opioid endogenatau endorphin adalah zat seperti opiate yang
berasal dari dalam tubuh yang disekresi oleh medulla adrenal. Endorphin adalah
neurotransmitter yang menghambat pengiriman rangsang nyeri sehingga dapat
menurunkan sensasi nyeri. Tingkatan Endorphin berbeda antara satu orang
dengan orang lainnya. Hal ini yang menyebabkan rasa nyeri seseorang dengan
yang lain berbeda.
 Faktor psikologi
1) Takut dan cemas : Cemas dapat mengakibatkan perubahan fisiologis seperti
spasme otot, vasokontriksi dan mengakibatkan pengeluaran substansi penyebab
nyeri (kotekolamin), sehingga cemas dapat meningkatkan intensitas nyeri yang
dirasakan. Sementara perasaan takut dalam menghadapi persalinan akan
menyebabkan timbulnya ketegangan dalam otot polos dan pembuluh darah
seperti kekakuan leher rahim dan hiposia rahim. Oleh Karena itu dapat
disimpulkan bahwa perasaan cemas dan takut selama persalinan dapat memicu
sistem syaraf simpatis dan parasimpatis, sehingga dapat lebih meningkatkan
intensitas nyeri yang dirasakan.

13
2) Arti nyeri bagi individu Arti nyeri bagi individu adalah penilaian seseorang
terhadap nyeri yang dirasakan. Hal ini sangat berbeda antara satu orang dengan
yang lainnya, karena nyeri merupakan pengalaman yang sangat individual dan
bersifat subjektif.
3) Kemampuan kontrol diri : Kemampuan kontrol diartikan sebagai suatu
kepercayaan bahwa seseorang mempunyai sistem kontrol terhadap suatu
permasalahan sehingga dapat mengendalikan diri dan dapat mengambil tindakan
guna menghadapi masalah yang muncul. Hal ini sangat diperlukan ibu dalam
menghadapi persalinan sehingga tidak akan terjadi respon psikologis yang
berlebihan seperti ketakutan dan kecemasan yang dapat menganggu proses
persalinan.
4) Percaya diri : Percaya diri adalah keyakinan pada diri seseorang bahwa ia akan
mampu menghadapi suatu permasalahan dengan suatu tindakan atau perilaku
yang akan dilakukan dikatakan pula jika ibu percaya bahwa ia dapat melakukan
sesuatu untuk mengontrol persalinan maka ia akan memerlukan upaya minimal
untuk mengurangi nyeri yang dirasakan. Dengan kata lain bahwa percaya diri
yang tinggi dapat menghadapi rasa nyeri yang timbul selama persalinan dan
mampu mengurangi intensitas nyeri yang dirasakan.

2.3 Metode Pengurangan Nyeri Persalinan


Penatalaksanaan nonfarmakologis pada nyeri persalinan merupakan pendekatan
yang tidak menggunakan terapi medis seperti obat-obatan analgesik dan anestesia untuk
mengurangi nyeri. Penatalaksanaan non - farmakologis pada persalinan tidak hanya
bertujuan untuk mengontrol rasa nyeri. Metode penatalaksanaan nonfarmakologis
menekankan pada harapan yang ingin dipenuhi ibu untuk mengatasi rasa nyeri saat
bersalin, bukan berfokus pada jumlah nyeri yang dialami oleh ibu (UI, 2009).
Metode non - farmakologis untuk menurunkan nyeri persalinan yang dapat
dilakukan oleh perawat antara lain dengan relaksasi, tekhnik pernafasan, fokus perhatian,
latihan fisik, musik, dukungan dan infomasi, stimulasi cutaneus, massage, accupressure,
acupunctur dan TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation) (UI, 2009).
Beberapa metode lain yang bisa dilakukan antara lain metode DickRead, metode
Lamaze, metode Bradley, effleurage dan tekanan sakrum, hidroterapi jet, kompres hangat
atau dingin, hipnosis, yoga, biofeedback, imagery, visualisasi, dan aromaterapi (UI,
2009).

14
2.4 Penatalaksanaan Relaksasi
A. Teknik Relaksasi Napas Dalam
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stres.
Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman
atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri. Teknik relaksasi merupakan upaya
pencegahan untuk membantu tubuh segar kembali dan beregenerasi setiap hari
dan merupakan alternatif terhadap alkohol, merokok, atau makan berlebihan
(Edelman dan Mandle 1994, dalam Potter dan Perry, 2006, p. 1528-1529).
Menurut Handerson Cristine dalam penelitian Fitriani, R. (2014), teknik
relaksasi napas dapat mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktifitas simpatik
dalam sistem saraf otonom. Teknik tersebut dapat mengurangi sensasi nyeri dan
mengontrol intensitas reaksi ibu terhadap rasa nyeri. Hormon adrenalin dan kortisol
yang menyebabkan stres akan menurun, ibu dapat meningkatkan konsentrasi dan
merasa tenang sehingga memudahkan ibu mengatur pernapasan sampai frekuensi
pernapasan kurang dari 60-70 x/menit. Kadar PaCo 2 akan meningkat dan
menurunkan PH sehingga meningkatkan kadar oksigen dalam darah.
Teknik relaksasi napas dalam merupakan suatu bentuk asuhan yang mengajarkan
kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan
inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara
perlahan. Teknik relaksasi napas dalam dapat menurunkan intensitas nyeri,
meningkatkan ventilisasi paru, menurunkan kecemasan dan meningkatkan
oksigenisasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Teknik relaksasi napas dalam merupakan bentuk latihan napas yang terdiri dari
pernapasan abdominal (diafragma) dan pursed lip breathing (Lusianah, 2012, p.
42). Perlakuan teknik relaksasi napas dalam efektif atau banyak memberikan
pengaruh penurunan tingkat nyeri setelah diberi perlakuan selama 30 menit (Fitriani,
R., 2014).

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Teknik Relaksasi Napas Dalam terhadap


Penurunan Nyeri.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), teknik relaksasi napas dalam dipercaya
dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu :

15
 Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan
oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah
dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan
iskemik.
 Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk
melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin.
 Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat Teknik relaksasi napas dalam
merupakan cara yang paling mudah dilakukan dalam mengontrol ataupun
mengurangi nyeri. Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak
membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-
waktu. Selain mudah dilakukan, teknik ini tidak membutuhkan banyak biaya
dan konsentrasi yang tinggi (Trullyen, 2013). 32

C. Tujuan dan Manfaat Teknik Relaksasi Napas Dalam


Menurut Lusianah (2012, p. 42-43), beberapa tujuan teknik relaksasi napas dalam
yaitu:
 Meningkatkan ventilasi alveoli
 Mempertahankan pertukaran gas
 Mengatur frekuensi dan pola napas
 Memperbaiki fungsi diafragma
 Mencegah atelectasis
 Menurunkan kecemasan
 Meningkatkan relaksasi otot
 Mengurangi udara yang terperangkap
 Meningkatkan inflasi alveolar
 Meningkatkan mekanisme batuk agar efektif
 Memperbaiki kekutan otot-otot pernapasan
 Memperbaiki mobilitas dada dan vertebra thorakalis
Menurut Priharjo (2003), manfaat teknik relaksasi napas dalam menurut
adalah sebagai berikut:
 Ketentraman hati.
 Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan gelisah.
 Tekanan darah dan ketegangan jiwa menjadi rendah.

16
 Detak jantung lebih rendah.
 Mengurangi tekanan darah.
 Meningkatkan keyakinan.
 Kesehatan mental menjadi lebih baik.

D. Patofisiologi Teknik Relaksasi Napas Dalam terhadap Nyeri Persalinan


Menurut Brunner & Suddarth (2002), teknik relaksasi napas dalam dapat
mengendalikan nyeri dengan meminimalkan aktivitas simpatik dalam sistem saraf
otonom. Relaksasi melibatkan otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat
lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu. Prinsip yang
mendasari penurunan oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi sistem saraf
otonom yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer yang mempertahankan
homeostatis lingkungan internal individu.
Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin
dan substansi p yang akan merangsang saraf simpatis sehingga menyebabkan
saraf simpatis mengalami vasokonstriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot
yang menimbulkan berbagai efek spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh
darah. Mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang
menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak dan
dipersepsikan sebagai nyeri (Brunner & Suddarth 2002).

E. Penatalaksanaan Teknik Relaksasi Napas Dalam


Ada beberapa posisi relaksasi napas dalam yang dapat dilakukan menurut
Smeltzer & Bare (2002) dalam penelitian Trullyen (2013) yaitu :
 Posisi relaksasi dengan terlentang
Letakkan kaki terpisah satu sama lain dengan jari-jari kaki agak meregang lurus
kearah luar, letakkan pada lengan pada sisi tanpa menyentuh sisi tubuh,
pertahankan kepala sejajar dengan tulang belakang dan gunakan bantal yang
tipis dan kecil di bawah kepala.
 Posisi relaksasi dengan berbaring miring
Berbaring miring, kedua lutut ditekuk, dibawah kepala diberi bantal dan
dibawah perut sebaiknya diberi bantal juga, agar perut tidak menggantung.
 Posisi relaksasi dalam keadaan berbaring terlentang

17
Kedua lutut ditekuk, berbaring terlentang, kedua lutut ditekuk, kedua lengan
disamping telinga.
 Posisi relaksasi dengan duduk
Duduk dengan seluruh punggung bersandar pada kursi, letakkan kaki datar pada
lantai, letakkan kaki terpisah satu sama lain, gantungkan lengan pada sisi
atau letakkan pada lengan kursi dan pertahankan kepala sejajar dengan tulang
belakang.

F. Prosedur Teknik Relaksasi Napas Dalam


Berikut ini adalah langkah-langkah tindakan dalam melakukan teknik
relaksasi napas dalam menurut Lusianah (2012, p. 43-45):
 Mengecek program terapi medik klien.
 Mengucapkan salam terapeutik pada klien.
 Melakukan evaluasi atau validasi.
 Melakukan kontrak (waktu, tempat, dan topik) dengan klien.
 Menjelaskan langkah-langkah tindakan atau prosedur pada klien.
 Mempersiapkan alat : satu bantal.
 Memasang sampiran.
 Mencuci tangan.
 Mengatur posisi yang nyaman bagi klien dengan posisi setengah duduk di tempat
tidur atau di kursi atau dengan lying position (posisi berbaring) di tempat tidur
atau di kursi dengan satu bantal.
 Memfleksikan (membengkokkan) lutut klien untuk merilekskan otot abdomen.
 Menempatkan satu atau dua tangan klien pada abdomen yaitu tepat dibawah
tulang iga.
 Meminta klien untuk menarik napas dalam melalui hidung, menjaga mulut
tetap tertutup. Hitunglah sampai 3 selama inspirasi.
 Meminta klien untuk berkonsentrasi dan merasakan gerakan naiknya abdomen
sejauh mungkin, tetap dalam kondisi rileks dan cegah lengkung pada
punggung. Jika ada kesulitan menaikkan abdomen, tarik napas dengan cepat,
lalu napas kuat melalui hidung.

18
 Meminta klien untuk menghembuskan udara melalui bibir, seperti meniup dan
ekspirasikan secara perlahan dan kuat sehingga terbentuk suara hembusan tanpa
mengembungkan pipi, teknik pursed lip breathing ini menyebabkan resistensi
pada pengeluaran udara paru, meningkatkan tekanan di bronkus (jalan napas
utama) dan meminimalkan kolapsnya jalan napas yang sempit.
 Meminta klien untuk berkonsentrasi dan merasakan turunnya abdomen ketika
ekspirasi. Hitunglah sampai 7 selama ekspirasi.
 Menganjurkan klien untuk menggunakan latihan ini dan meningkatkannya
secara bertahap 5-10 menit. Latihan ini dapat dilakukan dalam posisi tegap,
berdiri, dan berjalan.
 Merapikan lingkungan dan kembalikan klien pada posisi semula.
 Membereskan alat.
 Mencuci tangan.
 Mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan dan memantau respon
klien.

2.5 Manajemen Dan Penerapan Asuhan Kebidanan.


A. Manajemen Varney
Manajemen kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode
untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, temuan, keterampilan,
dalam rangkaian/tahapan yang logis untuk mengambil suatu keputusan yang terfokus pada
klien (Varney, 2012).
Sesuai dengan pelayanan kebidanan maka bidan diharapkan lebih kritis dalam
melaksanakan proses manajemen kebidanan untuk mengambil keputusan. Menurut (Varney,
2012) ia menggabungkan manajemen kebidanan dari lima langkah menjadi tujuh langkah yaitu
mulai dari pengumpulan data sampai dengan evaluasi.
Langkah-langkah tersebut membentuk kerangka lengkap yang bisa diaplikasikan dalam
semua situasi, akan tetapi setiap langkah tersebut dapat dipecah-pecah kedalam tugas-tugas
tertentu dan bervarisi sesuai dengan kondisi klien.
Langkah – langkah Manajemen Asuhan Kebidanan sesuai 7 langkah Varney, yaitu :
a. Langkah I, Tahap Pengumpulan Data Dasar
Pada langkah pertama ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dan lengkap dari
semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien. Tahap ini merupakan langkah yang

19
akan menentukan langkah berikutnya. Kelengkapan data yang sesuai dengan kasus yang
dihadapi akan menentukan.
b. Langkah II : Interpretasi Data Dasar
Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosis atau masalah berdasarkan
interpretasi yang benar atas data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang sudah
dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan diagnosis dan masalah yang
spesifik. Masalah sering berkaitan dengan hal-hal yang sedang dialami wanita yang
diidentifikasi oleh bidan sesuai dengan hasil pengkajian. Diagnosis kebidanan adalah
diagnosis yang ditegakkan bidan dalam lingkup praktik kebidanan dan memenuhi standar
nomenklatur diagnosis kebidanan.
c. Langkah III : Mengidentifikasi Diagnosa Atau Masalah Potensial
Langkah ketiga adalah langkah ketika bidan melakukan identifikasi diagnosis atau masalah
potensial dan mengantisipasi penanganannya. Pada langkah ini kita mengidentifikasi
masalah potensial atau diagnosis potensial berdasarkan diagnosis/masalah yang sudah
diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan
pencegahan. Bidan diharapkan waspada dan bersiap-siap mencegah diagnosis/masalah
potensial ini menjadi benar-benar terjadi. Langkah ini penting dalam melakukan asuhan
yang aman.
d. Langkah IV : Penetapan Kebutuhan Tindakan Segara
Pada langkah ini bidan menetapkan kebutuhan terhadap tindakam segera, melakukan
konsultasi, kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain berdasarkan kondisi klien.
e. Langkah V : Penyusunan Rencana Asuhan Menyeluruh
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh yang ditentukan berdasarkan
langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan manajemen terhadap
masalah atau diagnosis yang telah diidentifikasi atau diantisipasi.
f. Langkah VI : Pelaksanaan Asuhan
Pada langkah ini dilakukan pelaksanaan asuhan langsung secara efisien dan aman. Pada
langkah ke VI ini, rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan dilangkah ke V
dilaksanakan secara efisien dan aman.
g. Langkah VII : Evaluasi
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan asuhan yang sudah diberikan. Hal yang
dievalusi meliputi apakah kebutuhan telah terpenuhi dan mengatasi diagnosis dan masalah
yang telah diidentifikasi.

20
B. Konsep SOAP
Untuk mengetahui apa yang telah dilakukan oleh seorang bidan melalui proses berpikir
sistematis, didokumentasikan dalam bentuk SOAP, yaitu :
S : Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data klien melalui anamnesis
sebagai langkah I Varney.
O: Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil laboratorium dan
uji diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung asuhan sebagai
langkah I Varney
A : Menggambarkan pendokumentasian hasil ananlisis dan interpretasi data subjektif dan
objektif dalam suatu identifikasi diagnosis/masalah, antisipasi diagnosis/masalah potensial dan
perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter, konsultasi/kolaborasi dan/atau rujukan
sebagai langkah II, III, IV dalam manajemen Varney.
P : Menggambarkan pendokumentasian dan tindakan dan evaluasi perencanaan berdasarkan
assessment sebagai langkah V, VI dan VII Varney.

2.6 Evidence Based Midwifery (EBM)


A. Pengertian
Evidence based artinya berdasarkan bukti. Artinya tidak lagi berdasarkan pengalaman atau
kebiasaan semata.
Evidence based midwifery adalah pemberian informasi kebidanan berdasarkan bukti dari
penelitian yang bisa dipertanggung jawabkan (Gray,1997)
Praktik kebidanan sekarang lebih didasarkan pada bukti ilmiah hasil penelitian dan
pengalaman praktik dari para praktisi dari seluruh penjuru dunia. Rutinitas yang tidak terbukti
manfaatnya kini tidak dianjurkan lagi (jayanti, 2020).

B. Manfaat Evidence Based Midwifery dalam praktik kebidanan.


Dengan pelaksanaan praktik asuhan kebidanan yang berdasarkan evidence based tersebut
tentu saja bermanfaat membantu mengurangi angka kematian ibu hamil dan resiko-resiko yang
dialami selama persalinan bagi ibu dan bayi serta bermanfaat juga untuk memperbaiki keadaan
kesehatan masyarakat.

C. Kategori Evidence Based menurut World Health Organization (2017).


Menurut WHO, Evidence based terbagi sebagai berikut :
1) Evidence based medicine, adalah pemberian informasi obat-obatan berdasarkan bukti dari
penelitian yang bisa dipertanggung-jawabkan. Temuan obat baru yang dapat saja segera

21
ditarik dan peredaran hanya dalam waktu beberapa bulan setelah obat tersebut dipasarkan,
karena dipopulasi terbukti memberikan efek samping yang berat pada sebagian
penggunanya.
2) Evidence based policy adalah satu sistem peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan
kedokteran (Clinical Governance) : suatu tantangan profesi kesehatan dan kedokteran
dimasa mendatang.
3) Evidence based midwifery adalah pemberian informasi kebidanan berdasarkan bukti dari
penelitian yang bisa dipertanggung-jawabkan.
4) Evidence based report adalah merupakan bentuk penulisan laporan kasus yang baru
berkembang, memperlihatkan bagaimana hasil penelitian dapat diterapkan pada semua
tahapan penatalaksanaan pasien.
D. Sumber Evidence based
Sumber EBM dapat diperoleh melalui bukti publikasi jurnal dari internet maupun
berlangganan baik hardcopy seperti majalah, bulletin atau CD. Situs internet yang ada dapat
diakses, ada yang harus dibayar namun banyak pula yang public domain.

22

Anda mungkin juga menyukai