Anda di halaman 1dari 16

BBDM MODUL 7.

1
SKENARIO 2

Disusun oleh :
Nama : Narulita Dyah P
NIM : 22010117140087
Kelompok : 15

UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
SKENARIO 2 : IBU KESAKITAN SAAT PERSALINAN

Ny. Risti pasien baru datang ke IGD membawa rujukan bidan dengan diagnosa bidan G1P0A0
19 th hamil 9 bulan Inpartu kala I. Pasien mengatakan sudah kencang – kenceng sering dan
gerak janin berkurang. Pasien terlihat kesakitan dan saat dilakukan pemasangan kateter terlihat
urin bercampur darah. Pada pemeriksaan didapatkan TB 145 cm BB 50 Kg, tanda vital pasien
TD 120/90 mmHg, Nadi 112x/menit, RR 22x/menit, T 37 C. Pada pemeriksaan obstetri
didapatkan TFU 34 cm ~ TBJ 3565 gr. Leopold I-IV : janin I intrauterine preskep belum masuk
PAP puki, His 4-5’(50”). DJJ 170x/menit reguler. Tampak bandle ring. Osborn test (+). VT
pembukaan 4 cm, KK (+) menonjol, bagian bawah kepala masih tinggi, UUK sulit dinilai.

I. Terminologi

1. TFU dan TBJ : Tinggi fundus merupakan jarak dari puncak tulang panggul sampai ke
bagian paling atas perut ibu hamil. Tinggi fundus yang normal adalah 2 sentimeter lebih
besar dari usia kehamilan. Misalnya, saat usia kehamilan ibu 12 minggu, maka tinggi
fundus yang normal berkisar antara 10-14 sentimeter. Setelah usia kehamilan lebih dari
20 minggu, ukuran tinggi fundus seringkali sama angkanya dengan usia kehamilan ibu.
Namun, memasuki trimester ketiga, yaitu pada usia kehamilan 35 minggu, tinggi
fundus bisa lebih kecil dari usia kehamilan, yaitu sekitar 31-32 sentimeter.

Taksiran berat janin adalah salah satu cara menafsir berat janin ketika masih di dalam
uterus. Taksiran berat janin berguna untuk memantau pertumbuhan janin dalam rahim,
sehingga diharapkan dapat mendeteksi dini kemungkinan terjadinya pertumbuhan janin
yang abnormal. Selain itu, taksiran berat janin mempunyai arti yang sangat penting.
Berat bayi yang sangat kecil atau sangat besar berhubungan dengan meningkatnya
komplikasi selama masa persalinan dan nifas. suatu metode untuk menaksirkan berat
badan janin dengan pengukuran tinggi fundus uteri (TFU), yaitu dengan mengukur
jarak antara tepi atas simfisis pubis sampai puncak fundus uteri dengan mengikuti
lengkungan uterus, memakai pita pengukur dalam centimeter dikurangi 11, 12, atau 13
hasilnya dikalikan 155, didapatkan berat badan bayi dalam gram. Apabila sesuai dengan
TFU didapatkan TBJ adalah 3,255 gr. Namun pada skenario didapatkan tbj lebih besar.
2. Inpartu : Merupakan keadaan dimana pada ibu hamil mengalami kontraksi
uterus yang adekuat dan teratur minimal 2-3x dalam 10 menit disertai pembukaan
servix.
Bagaimana kontraksi yang adekuat?
• 2x dalam 10 menit
• Durasi 40-60 detik
• Fundus dominan
• Simetris
• Tidak teraba bagian janin
• Tersinkronisasi
3. Bandle ring : Bandle ring adalah cincin retraksi patologis yang terbentuk karena
penipisan segmen bawah uterus dan retraksi segmen atas uterus dikarenakan segmen
bawah uterus tidak mengalami kemajuan saat persalinan. Merupakan tanda dari partus
yang terlanbat.
4. Osborn Test : Osborn test merupakan tes yang digunakan untuk deteksi dini faktor
resiko adanya cephalo pelvic disproportion (CPD) pada ibu hamil, dengan indikasi pada
ibu hamil dengan panggul sempit atau primipara dengan bagian terendah janin belum
masuk PAP. Hasil dikatakan - apabila kepala janin mudah masuk PAP tanpa halangan
(mengindikasikan tidak ada CPD), sedangkan dikatakan + apabila kepala janin tidak
bisa masuk dan teraba di atas simfisis > 2 jari (indikasi ada CPD).
Prosedur pemeriksaan test Obborn ini, adalah sebagai berikut :
1. Dilakukan pada umur kehamilan 36 minggu.
2. Tangan kiri mendorong kepala janin masuk/ke arah PAP.
Apabila kepala mudah masuk tanpa halangan, maka hasil test Osborn adalah negatif (-).
Apabila kepala tidak bisa masuk dan teraba tonjolan diatas simfisi, maka tonjolan
diukur dengan 2 jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan. Apabila lebar tonjolan lebih
dari dua jari, maka hasil test osborn adalah positif (+).
5. PAP PUKI : Pintu Atas Panggul (PAP) suatu bidang yang dibentuk oleh
promontorium, korpus vertebrae sacral 1, linea terminalis, pinggir atas simfisis. Jarak
dari pinggir atas simfisis ke promontorium (conjugata vera) adalah 11cm. Jarak terjauh
garis melintang (diameter transversa) adalah 12,5 – 13 cm, untuk puki sendiri yaitu
presentase posisi punggung kiri.
II. Rumusan Masalah

1. Apakah ada hubungan antara kenceng kenceng. gerak janin berkurang dan kateter urin
bercampur darah?
2. Bagaimana interpretasi PF dan pemeriksaan obstetri pasien tersebut?
3. Apakah kemungkinan diagnosis pada kasus tersebut?
4. Mengapa dapat terjadi bandle ring pada kasus skenario tersebut?

III. Hipotesis

1. Urin bercampur darah dapat disebabkan apabila bagian terbawah janin tidak mengalami
kemajuan sementara segmen atas rahim terus berkontraksi dan makin menebal, maka
segmen bawah rahim makin tertarik ke atas dan menjadi tipis sehingga batas antara
segmen bawah rahim dan segmen atas rahim akan naik ke atas. Apabila batas tersebut
sudah melampaui pertengahan antara pusat dan simfisis maka lingkaran retraksi
fisiologis menjadi retraksi patologis (Bandl Ring). Apabila persalinan tetap tidak ada
kemajuan, segmen bawah uterus makin lama makin teregang sehingga akhirnya pada
suatu saat regangan yang terus bertambah ini melampaui batas kekuatan jaringan
miometrium sehingga dicurigai terjadi ruptur uteri. dimana itu juga akan menyebabkan
tertariknya vesica urinaria yang terhubung dengan uterus melalui ligamentum
vesicouterina. Tarikan ini dapat menyebabkan robekan / ruptur vesica urinaria,
sehingga bermanifestasi urin bercampur darah. Kemungkinan yang terjadi pada pasien,
melihat pada adanya hematuri pada saat pemasangan kateter, adalah adanya infeksi
saluran kemih (ISK).

Pada trimester ketiga, ISK paling sering di temukan, hal ini dikarenakan an terdesaknya
vesica urinaria ke anterior dan superior. Sehingga menyebabkan pengaliran urin
terbendung dan terjadinya refluks vesicoureteral yaitu naiknya urin ke sistem urinarius
bagian atas serta membawa kuman yang berada di vesica urinaria.

Bakteriuri asimptomatik yang tidak ditangani hingga tuntas, maka akan menyebabkan
timbulnya gejala (bakteriuri simptomatik), dimana apabila hal ini terus berlanjut akan
menyebabkan ketuban pecah dini dan lahirnya janin dengan keadaan prematur.

Hal ini karena pada infeksi saluran kemih, bakteri mengeluarkan endotoksin yang akan
memicu pengeluaran dan pembentukan sitokin proinflamasi, seperti IL1, IL6, IL8, dan
TNFα. Pengeluaran sitokin-sitokin tersebut akan memicu pengeluaran prostaglandin
yang akan memicu uterus untuk berkontraksi (terasa kenceng-kenceng), sehingga
terjadi persalinan prematur.

Selain itu, sitokin proinflamasi juga akan merubah struktur serviks dan membran fetus
sehingga terjadi ketuban pecah dini. Adanya ketuban pecah dini ini menyebabkan
adanya fetal distress sehingga gerak janin menjadi berkurang.

2. Pemeriksaan Fisik :
• Tinggi : 145 , korelasi dengan panggul sempit kategori kehamilan risiko tinggi
• Umur : 19 tahun => usia masih muda dan belum siap mengandung karena organ
reproduksi belum matang dan mental belum cukup, sehingga ada kemungkinan
terjadi CPD
• BB : 50 kg
• TBJ : 3565 gram => kalau ditambah panggul sempit risiko partus mengalami
macet , makin lama makin meningkatkan risiko rupture uteri => perdarahan atau
cedera jalan lahir
• Partus macet => fetal distress => gerak janin berkurang, DJJ janin meningkat
• TD : normal
• Nadi : 112x/menit (takikardi >100)
• RR (<22) normal
• Suhu tubuh normal

Pemeriksaan obstetrik :

• His : 4-5x kontraksi


• DJJ meningkat (170x/menit) : dapat fetal distress
• Bandle ring (+) disebabkan kontraksi uterus atas disertai dengan hambatan
penurunan janin yang menyebabkan penipisan dinding janin
• Osborn test (+)
• Kulit ketuban teraba
• Ubun-ubun kecil tidak dapat dinilai
• Ibu sudah masuk fase aktif karena kontraksi sudah lebih dari 3x
• Tinggi Fundus uteri usia 9 bulan normalnya setinggi proc. Xyphoideus
• Taksiran berat janin lebih tinggi dari perhitungan => dapat mengarah ke
makrosomnia
3. Ruptur Uteri Iminens --> Bandl Ring --> Saat persalinan kala 1 dan awal kala II maka
batas antara segmen bawah rahim dan segmen atas rahim dinamakan lingkaran retraksi
fisiologis. Saat persalinan kala II apabila bagian terbawah tidak mengalami kemajuan
sementara segmen atas rahim makin tertarik ke atas dan menjadi tipis sehingga batas
segmen antara segmen bawah rahim dan segmen atas rahim naik ke atas. Apabila batas
tsb sudah melampaui pertengahan anatara pusat dan simfisis, maka lingkaran retraksi
fisiologis menjadi retraksi patologis ( Bandl Rings). Apabila persalinan tetap ada tidak
ada kemajuan, segmen bawah uterus makin lama makin teregang sehingga akhirnya
pada suatu saat regangan akan terus bertambah ini melampaui batas kekuatan jaringan
miometrium sehingga terjadilah ruptur uteri.
4. Pada kehamilan 28 minggu istmus uteri berubah menjadi segmen bawah Rahim dan
saat kehamilan aterm segmen bawah Rahim berada 1-2 cm diatas simfisis. Saat
persalinan kala 1 dan awal kala 2 maka batas antara segmen bawah Rahim dan segmen
atas Rahim dinamakan lingkaran retraksi fisiologis. Saat persalinan kala 2 apabila
bagian terbawah tidak mengalami kemajuan sementara segmen atas Rahim terus
berkontraksi dan makin menebal, maka segmen bawah Rahim makin tertarik ke atas
dan menjadi tipis sehingga batas antara segmen bawah Rahim dan segmen atas Rahim
akan naik ke atas. Apabila batas tersebut sudah melapaui pertengahan antara pusat dan
simfisis maka lingkaran retraksi fisiologis menjadi retraksi patologis (bandle ring).

Apabila persalinan tidak ada kemajuan, segmen bawah uterus makin lama makin
teregang sehingga akhirnya pada suatu saat regangan yang terus bertambah ini melapaui
batas kekuatan jaringan myometrium sehingga terjadilah rupture uteri
IV. Peta Konsep

Wanita 19 th KU : Pemeriksaan :
G1P0A0 - Kenceng –kenceng - Bandle Ring
- Gerak janin - Osborn Test (+)
TB 145 cm
menurun - Pembukaan 4 cm
BB 50 kg - Hematuria - KK (+) menonjol
- Kesakitan - UUK sulit dinilai
- Leopold I-IV : Janin I
intrauterine preskep belum
masuk PAP

Tatalaksana
Dx :
Kegawatan
Ruptura Uteri Iminens
Tatalaksana Utama CPD
sesuai Indikasi

V. Sasaran Belajar

1. Definisi dan etiologi ruptur uteri iminens


2. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan pemeriksaan penunjang berdasarkan kasus
skenario
3. Patogenesis rupture uteri iminens
4. Diagnosis dan Diagnosis banding ruptur uteri
5. Penatalaksanaan awal kegawatdaruratan dan rujukan?

VI. Private Study

1. Definisi dan Etiologi Ruptur Uteri Iminens


Definisi :
Ruptur uteri iminens adalah ancaman terjadinya perdarahan yang terjadi pada
kehamilan lanjut dan persalinan, selain akibat dari plasenta previa, solusio plasenta, dan
gangguan pembekuan darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut yaitu
perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan,
sedangkan perdarahan persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran.

Etiologi :
Etiologi ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

A. Ruptur uteri spontan

Yaitu bila ruptur uteri terjadi secara spontan pada uterus tanpa parut (utuh) dan
tanpa adanya manipulasi dari penolong. Faktor pokok disini ialah bahwa persalinan
tidak maju karena rintangan, misalnya panggul sempit, hidrosepalus, janin dalam letak
lintang dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin meregang.
Faktor yang merupakan predisposisi terhadap terjadinya rupture uteri adalah
multiparitas, disini ditengah – tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat
yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan lebih
mudah menimbulkan robekan. Oleh banyak penulis dilaporkan pula bahwa kebiasaan
yang dilakukan oleh dukun – dukun memudahkan timbulnya rupture uteri. Pada
persalinan yang kurang lancar, dukun – dukun biasanya melakukan tekanan keras
kebawah terus – menerus pada fundus uteri, hal ini dapat menambah tekanan pada
segmen bawah uterus yang sudah meregang dan mengakibatkan terjadinya ruptur uteri.
Pemberian oksitosin dalam dosis yang terlampau tinggi dan atau atas indikasi yang
tidak tepat, bisa pula menyebabkan ruptur uteri

B. Ruptur uteri traumatika

Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan
seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap
saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap
trauma dari luar. Yang lebih sering terjadi adalah ruptur uteri yang dinamakan ruptur
uteri violenta. Di sini karena distosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan
usaha vaginal untuk melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptur uteri. Hal itu
misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan
dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah
ketika melakukan embriotomi. Berhubung dengan itu, setelah tindakan-tindakan
tersebut diatas dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar perlu dilakukan
pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi rupture uteri.
Gejala- gejala ruptur uteri violenta tidak berbeda dari ruptur uteri spontan.

C. Ruptur uteri pada parut uterus

Terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesarea, peristiwa ini jarang
timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangkat mioma (miomektomi) dan
lebih jarang lagi pada uterus dengan parut karena kerokan yang terlampau dalam. Di
antara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang terjadi sesudah seksio sesarea klasik
lebih sering menimbulkan rupture uteri daripada parut bekas seksio sesarea profunda.
Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah
uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat
sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio
bisa menimbulkan gejala- gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa
juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi
robekan secara mendadak, melainkan lambat laun jaringan disekitar bekas luka menipis
untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptur uteri. Disini biasanya
peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta. Pada peristiwa
ini ada kemungkinan arteria besar terbuka dan timbul perdarahan yang untuk sebagian
berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih
tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada. Sementara itu penderita merasa
nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas luka. Jika arteria besar luka,
gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok, janin dalam uterus meninggal pula.

FAKTOR PREDISPOSISI
1. Faktor uterus
• Jaringan parut pada uterus
• Kelaianan kongenital pada uterus
2. Faktor ibu
• Grande/multiparitas
• Usia tua
3. Faktor janin
• Hamil ganda
• Makrosomia
• Letak lintang
• Presentasi bokong
4. Faktor plasenta
Kelainan letak dan implantasi plasenta misalnya pada plasenta akreta, inkreta, dan
perkreta.
5. Faktor persalinan
• Jarak yang terlalu dekat dengan persalinan sebelumnya
• Induksi persalinan
• Persalinan lama
• Persalinan macet
• Persalinan dengan ekstraksi forcep
• Manual plasenta
• Versi luar
• Dorongan pada fundus

2. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan pemeriksaan penunjang berdasarkan kasus


skenario
2.1 Anamnesis
a. Apakah terdapat riwayat partus lama atau macet
b. Apakah terdapat riwayat partus dengan manipulasi oleh penolong
c. Apakah terdapat riwayat multiparitas
d. Apakah terdapat riwayat operasi pada uterus (misal seksio sesaria, enukleasi,
mioma, atau miomektomi, histerektomi, histeritomi, dan histerorafi)

2.2 Pemeriksaan Fisik

Gambaran Klinik

Keadaan umum penderita tidak baik, dapat terjadi anemia sampai syok (nadi
filipormis, pernapasan cepat dangkal, dan tekanan darah turun).

Pemeriksaan Luar:
• Nyeri tekan abdominal
• Perdarahan per vaginam
• Kontraksi uterus biasanya hilang
• Pada palpasi bagian janin mudah diraba di bawah dinding perut ibu atau janin
teraba di samping uterus
• Di perut bagian bawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi
• DJJ biasanya negatif (bayi sudah meninggal)
• Terdapat tanda-tanda cairan bebas
• Defans muskular menguat
Pemeriksaan Dalam:
• Pada ruptur uteri komplit
ü Perdarahan pervaginam disertai perdarahan intra abdomen sehingga
didapatkan tanda cairan bebas dalam abdomen.
ü Pada pemeriksaan pervaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau
teraba tinggi dalam jalan lahir, selain itu kepala atau bagian terbawah
janin dengan mudah dapat didorong ke atas hal ini terjadi karena
seringkali seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam rongga perut
melalui robekan pada uterus.
ü Kadang-kadang kita dapat meraba robekan pada dinding rahim dan jika
jari tangan dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba omentum, usus,
dan bagian janin.
ü Pada kateterisasi didapat urin berdarah.

• Pada ruptur uteri inkomplit


ü Perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah berkumpul di bawah
peritoneum atau mengalir keluar melalui vagina.
ü Janin umumnya tetap berada dalam uterus.
ü Pada kateterisasi didapat urin berdarah.

2.3 Pemeriksaan penunjang


TES LABORATORIUM
• Hitung Darah lengkap dan Apusan Darah
Batas dasar hemoglobin dan nilai hematokrit dapat tidak menjelaskan
banyaknya kehilangan darah.
• Urinalisis :
Hematuria sering menunjukkan adanya hubungan denga perlukaan
kandung kemih.
• Golongan Darah dan Rhesus
4 sampai 6 unit darah dipersiapkan untuk tranfusi bila diperlukan

3. Patogenesis ruptur uteri iminens

Gambar 1. Patogenesis Ruptur Uteri


Pada kehamilan 28 minggu maka isthmus uteri berubah mnjadi segmen bawah
rahim, dan pada kehamilan aterm segmen bawah rahim terdapat 1-2 cm di atas simfisis
dan pada kehamilan normal tak teraba. Pada kehamilan aterm saat persalinan kala I dan
awal kala II maka batas anatara segmen bawah rahim dan segmen atas rahim dinamakan
lingkaran retraksi fisiologis. Pada persalinan kala II apabila bagian terbawah tidak
mengalami kemajuan sementara itu segmen atas rahim terus berkontraksi dan makin
menebal, sedangkan segmen bawah rahim makin tertarik ke atas dan menjadi tipis
sehingga batas antara segmen bawah rahim dan segmen atas rahim akan naik ke atas.
Apabila batas tersebut sudah melampaui pertengahan antara pusat dan simfisis maka
lingkaran retraksi fisiologis menjadi retraksi patologis (Bandl Ring). Apabila persalinan
tetap tidak ada kemajuan maka akhirnya akan terjadi ruptur uteri.
Ruptur uteri spontan pada uterus normal dapat terjadi karena beberapa penyebab
yang menyebabkan persalinan tidak maju. Persalinan yang tidak maju ini dapat terjadi
karena adanya rintangan misalnya panggul sempit, hidrosefalus, makrosomia, janin
dalam letak lintang, presentasi bokong, hamil ganda dan lainnya. Keadaan-keadaan
tersebut dapat menyebabkan segmen bawah uterus makin lama makin teregang
sehingga akhirnya pada suatu saat regangan yang terus bertambah ini melampaui batas
kekuatan jaringan miometrium sehingga terjadilah ruptur uteri.

4. Diagnosis dan Diagnosis banding ruptur uteri

4.1 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala serta temuan yang terdapat pada
pemeriksaan fisik.

• Partus telah lama berlangsung


• Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri di perut.
• Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan
bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
• Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
• Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu mulut
kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
• His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
• Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras,
terutama sebelah kiri atau keduanya.
• Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR
teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
• Di antara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang
yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukkan SBR yang semakin tipis dan
teregang. Sering lingkaran Bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih yang
penuh, untuk itu lakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan
tipisnya SBR terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa,
misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-ubun belakang.
• Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang ke
atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi
ada hematuri.
• Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia).
• Pada pemeriksaan dalam dapat dijumpai tanda-tanda obstruksi seperti edema
porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar

4.2 Diagnosis banding

Klinis Ruptura Uteri Solutio Plasenta Plasenta Previa

Terjadinya Lebih sering inpartu Sewaktu hamil dan Sewaktu hamil


inpartu

Cara Dimulai dengan RUI Tiba-tiba Perlahan-lahan


mulainya

Perdarahan Bergantung pada Non-recurrent Recurrent


pembuluh darah
yang pecah

Warna Merah Terang Merah Kehitaman Merah terang


Darah

Palpasi Defans Muskular Uteri in-bois Biasa dan floating

His Hilang Kuat Biasa

DJJ - - +

VT Robekan Ketuban tegang Jaringan plasenta


5.
Tatalaksana awal kegawatdaruratan dan rujukan

Tatalaksana Awal dan Resusitasi Intrauterin

1. Pemasangan infus untuk mengganti cairan dan perdarahan untuk mengatasi


keadaan syok

ü Bila diperlukan buat dua jalur infus intravena, satu untuk larutan
elektrolit, misalnya ringer laktat, dan yang lain untuk transfuse darah
(jaga agar jalur ini tetap tebuka dengan mengalirkan saline normal,
sampai darah didapatkan ).

2. Memberikan profilaksis antibiotika atau antipiretik. Sehingga infeksi dapat


dikurangi.
3. Oksigen dengan canul 2-4 L
4. Posisi Ibu miring ke kiri, supaya aorta tidak terlalu tergencet oleh uterus
5. Segera merujuk penderita
6. Jangan melakukan manipulasi dengan pemeriksaan dalam untuk menghindari
terjadinya perdarahan baru.

Rujukan
Termasuk dalam rujukan gawat darurat/kasep dengan indikasi perdarah
antepartum

Tatalaksana Klinis

Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adala :

• keadaan umum penderita


• jenis ruptur incompleta atau completa
• jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggir tidak rata dan sudah
banyak nekrosis
• tempat luka : serviks, korpus, segmen bawah rahim
• perdarahan dari luka : sedikit, banyak
• umur dan jumlah anak hidup
• kemampuan dan ketrampilan penolong

Bila keadaan umum mulai baik, tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi
dengan tindakan jenis operasi :

1. Histerektomi baik total maupun sub total


2. Histerorafia, yaitu luka di eksidir pinggirnya lalu di jahit sebaik- baiknya
3. Konserfatif : hanya dengan temponade dan pemberian antibiotika yang cukup.
Daftar Pustaka

Atukunda, E.C., Mugyenyi, G.R., Obua, C., Atuhumuza, E.B., Musinguzi, N., Y.F &
Siedner, M.J. (2016). Measuring Post Partum Haemorrhage in Low Resource
Settings The Diagnostic Validity of Weighed Blood Loss Versus Quantitative
Changes in Hemoglobin. PLOS ONE, 11 (4).
Baktiyani, S.C.W., Meirani, R., & Khasanah, U. (2016). Hubungan Antara Partus Lama
Dengan Kejadian Perdarahan Postpartum Dini Di Kamar Bersalin Rumah Sakit
Umum Dr. Saiful Anwar Malang. Majalah Kesehatan FKUB, 3 (4).
Chalik, T.M.A. (2008). Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan. Jakarta :
EGC
Hidayat, A.A.A. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis
Data.Jakarta : Salemba Medika. Hidayati, R., & Zahariah, S. (2014).
Pengaruh Pemijatan Perineum terhadap Ruptur Perineum pada Primigravida di Bps Ny.
“R” Di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Jurnal Ilmu Kebidanan, 2 (2),
51-99. Hikmah, N. & Yani, D.P. (2015).
Gambaran Hemoragic Post Partum pada Ibu Bersalin dengan Kejadian Anemia di
Ruang PONEK RSUD Kabupaten Jombang. Jurnal Edu Health, 5 (2).

Anda mungkin juga menyukai