PNEUMONIA/BRONKOPNEUMONIA
3. Pemeriksaan Suhu ≥ 390C, dispnea: inspiratory effort ditandai dengan takipnea, retraksi
Fisik (chest indrawing), nafas cuping hidung dan sianosis. Gerakan dinding
toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena, perkusi normal atau redup.
Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus,
yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.di lapangan
paru yang terkena..
4. Kriteria Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat
Diagnosis infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini:
1. Batuk-batuk bertambah
2. Perubahan karakteristik dahak / purulen
3. Suhu tubuh > 38°C (aksila) / riwayat demam
4. Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
5. Leukosit > 10.000 atau < 4500
5. Diagnosis
Pneumonia/ Bronkopneumonia
Kerja
6. Diagnosis Bronkiolitis
Banding Payah jantung
Aspirasi benda asing
Abses paru
7. Pemeriksaan - Darah Tepi: leukositosis dengan hitung jenis bergeser ke kiri.
Penunjang - Bila fasilitas memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah
menunjukkan keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion
mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau meningkat
tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis
metabolik, dan gagal nafas.
- Kultur Darah
- Pada foto dada terlihat infiltrat alveolar yang dapat ditemukan di
seluruh lapangan paru. Luasnya kelainan pada gambaran radiologis
biasanya sebanding dengan derajat klinis penyakitnya, kecuali pada
infeksi mikoplasma yang gambaran radiologisnya lebih berat daripada
keadaan klinisnya. Gambaran lain yang dapat dijumpai :
o Konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada pneumonia lobaris
o Penebalan pleura pada pleuritis
o Komplikasi pneumonia seperti atelektasis, efusi pleura,
pneumomediastinum, pneumotoraks, abses, pneumatokel
-
BRONKITIS
1. Pengertian proses keradangan pada bronkus dengan manifestasi utama berupa batuk,
yang dapat berlangsung secara akut maupun kronis
2. Anamnesis batuk, pilek yang berlangsung beberapa hari, sesak, demam
3. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum baik, anak tidak tampak sakit
b. Panas sub febris seringkali terjadi
c. Tidak didapatkan adanya sesak, pada pemeriksaan paru didaptkan
ronki basah kasar, dapat terdengar ronki kering (coarse moist rales)
yang tidak tetap
d. Dapat ditemukan nasofaringitis, kadang conjunctivitis
4. Kriteria Diagnosis gejala klinis : batuk, pilek
foto Xray
5. Diagnosis Bronkitis
6. Diagnosis Banding Tuberkulosis
Alergi
Sinusitis
Tonsilitis adenoid
Bronkiektasis
Benda asing/corpus alienum
Kelainan kongenital
Defisiensi imun
Fibrosis kistik
7. Pemeriksaan - foto toraks dapat normal atau peningkatan corak bronkovaskuler.
Penunjang - pada pemeriksaan laboratorium lekosit dapat normal atau meningkat
8. Terapi • Mengontrol batuk agar sekret menjadi lebih encer/lebih mudah
dikeluarkan :
- Anak dianjurkan untuk minum lebih banyak
- Pemberian uap atau mukolitik, bila perlu diikuti fisioterapi dada.
- Hati-hati dalam pemberian antitusif dan antihistamin karena akan
mengakibatkan sekret menjadi lebih kental sehingga dapat
menimbulkan atelektasis atau pneumonia
• Antibiotika diberikan apabila didapatkan adanya kecurigaan infeksi
sekunder, dengan pilihan antibiotika : ampisilin, kloksasilin,
kloramfenikol, eritromisin
DEMAM DENGUE
1. Pengertian Salah satu varian klinik infeksi virus dengue, yang ditandai oleh gejala panas
2-7 hari
2. Anamnesis Keluhan
a. Demam tinggi, mendadak, terus menerus selama 2 – 7 hari.
b. Manifestasi perdarahan, seperti: bintik-bintik merah di kulit, mimisan,
gusi berdarah, muntah berdarah, atau buang air besar berdarah.
c. Gejala nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.
d. Gejala gastrointestinal, seperti: mual, muntah, nyeri perut
(biasanya di ulu hati atau di bawah tulang iga)
e. Kadang disertai juga dengan gejala lokal, seperti: nyeri menelan, batuk,
pilek.
f. Pada kondisi syok, anak merasa lemah, gelisah, atau mengalami
penurunan kesadaran.
g. Pada bayi, demam yang tinggi dapat menimbulkan kejang.
GASTROENTERITIS AKUT
1. Pengertian Gastroenteritis Akut (GEA) adalah peradangan mukosa lambung dan usus halus
yang ditandai dengan diare dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam
waktu 24 jam
2. Tujuan Sebagai acuan dalam tatalaksana Gastroenteritis Akut
3. Anamnesis Pasien datang ke dokter karena buang air besar (BAB) lembek atau cair, dapat
bercampur darah atau lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24
jam. Dapat disertai rasa tidak nyaman di perut (nyeri atau
kembung), mual dan muntah serta tenesmus
4. Pemeriksaan Fisik a. Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah.
b. Mencari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit
abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya: ubun-ubun besar cekung atau
tidak, mata: cekung atau tidak, ada atau tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut
dan lidah kering atau basah.
c. Pernapasan yang cepat indikasi adanya asidosis metabolik.
d. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemia.
e. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat
menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.
f. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara:
obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare.
Subyektif dengan menggunakan kriteria. Pada anak
menggunakan kriteria WHO 1995.
5. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (BAB cair lebih dari 3 kali sehari) dan
pemeriksaan fisik (ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan pemeriksaan
konsistensi BAB). Untuk diagnosis defenitif dilakukan
pemeriksaan penunjang.
6. Diagnosis Gastroenteritis akut
7. Diagnosis Banding Demam tifoid, Kriptosporidia (pada penderita HIV), Kolitis pseudomembran
8. Pemeriksaan - Darah lengkap
Penunjang - Feses lengkap
9. Terapi Penatalaksanaan :
1. Mencegah terjadinya dehidrasi
2. Tirah baring
3. Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral
4. Bila rehidrasi oral tidak mencukupi dapat diberikan cairan melalui infus
5. Diet, diberikan makanan lunak sampai frekuensi BAB kurang dari 5kali/hari,
kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
6. Farmakologis:
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien
diobati dengan antibiotik. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan
perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan,
antibiotik diganti dengan jenis yang lain.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal Fluorokuinolon seperti
Siprofloksasin atau makrolid Azithromisin ternyata berhasil baik untuk
pengobatan disentri basiler. Dosis Siprofloksasin yang dipakai adalah 2
x 500 mg/hari selama 3 hari sedangkan Azithromisin diberikan 1 gram
dosis tunggal dan Sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian
Siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak dan
wanita hamil.
Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriae tipe
1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik
dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada antibiotik yang
dianjurkan dalam pengobatan stadium karier disentri basiler.
Untuk disentri amuba diberikan antibiotik Metronidazol 500 mg 3x
sehari selama 3-5 hari
10. Edukasi 1. Penularan disentri amuba dan basiler dapat dicegah dan dikurangi
dengan kondisi lingkungan dan diri yang bersih seperti membersihkan tangan
dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi serta penggunaan jamban
yang bersih.
2. Keluarga ikut berperan dalam mencegah penularan dengan kondisi lingkungan
dan diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengansabun, suplai air
yang tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih.
3. Keluarga ikut menjaga diet pasien diberikan makanan lunak sampai frekuensi
BAB kurang dari 5 kali/hari, kemudian diberikan makanan
ringan biasa bila ada kemajuan.
DYSPEPSIA
1. Pengertian Kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual,
kembung,muntah, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sendawa.Dispepsia
diklasifikasikan menjadi dua golongan:
1. Dispepsia fungsional :adanya kumpulan gejala dispepsia tanpa ditemukan
kelainan strukturalyang dapat menjelaskan keluhan saat dilakukan pemeriksaan
endoskopisaluran cerna bagian atas.
2. Dispepsia organik :disebabkan oleh tukak peptikum, GERD, keganasan
lambung atauesofagus, kelainan pankreas atau bilier, intoleran makanan dan
obat,infeksi, atau penyakit sistemik
2. Anamnesis Terdapat satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan
digastroduodenal:
1. Nyeri epigastrium
2. Rasa terbakar di epigastrium (heartburn) 3.Rasa
penuh atau tidak nyaman setelah makan 4.Rasa cepat
kenyang
5. Kembung pada abdomen bagian atas
6. Gejala atipikal karena tumpang tindih dengan GERD seperti
faringitis,asma, batuk, bronkitis, suara serak, nyeri dada mirip angina.
Rujuk :
1. Bila ditemukan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas,
melena,anemia: Darah Rutin, Darah Samar Tinja.
2. Bila ditemukan kecurigaan infark miokard : EKG
3. Bila ditemukan keterlibatan atau kecurigaan penyakit sistemik:
a)Hati : SGPT
b) Ikterik : bilirubin
c) CKD : Creatinin
4. Bila ditemukan kecurigaan adanya batu atau radang saluran empedu
:USG Abdomen atas.
5. Bila ditemukan adanya kecurigaan keganasan pada saluran
cerna:Endoskopi, CT scan abdomen.
9. Edukasi 1. Perubahan gaya hidup : menghindari makanan yang pedas,
masam,berbumbu pedas atau tajam, alkohol, kopi, rokok, makan teratur
2. Terapi psikologis, ansietas
10. Prognosis Ad vitam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam Ad
fungsionam: dubia ad bonam
11. Refrensi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1186/2022
tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama
Catatan :
1. Kertas HVS 80 gram, folio/ F4 (215x330)
2. Font Arial 11 atau 12 dan fleksibel
3. Spasi 1-1,5
4. Ukuran kertas atas 2 cm, kanan 2 cm, kiri 3 cm, bawah 2,5 cm,
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
HIPERPIREKSIA
1. Pengertian Hiperpireksia adalah gejala demam dengan suhu diatas 40 derajat selsius dengan
temperatur aksila
2. Anamnesis keluhan menggigil disertai sulit makan minum, dan sering merupakan gejala dari
berbagai penyakit infeksi yang bersifat akut maupun kronis
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik umum tergantung etiologi penyakit
1. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Diagnosis Hiperpireksia
3. Diagnosis Banding Demam Berdarah
Demam tifoid
Kejang demam
Dll
4. Pemeriksaan Tidak diperlukan kecuali untuk mencari etiologi
Penunjang
5. Terapi Terapi diberikan paracetamol per oral 500-1000 mg setiap 4-8 jam atau
paracetamol IV 1000 mg setiap 8 jam
Banyak minum air putih
Tatalaksana lainnya sesuai dengan etiologi
1. Edukasi Menginformasikan kepada pasien atau keluarga untuk sering kompres badan
dengan air hangat disertai banyak minum air putih
2. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam/malam
3. Refrensi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1186/2022
tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital dan kesadaran. Pada kejang
demam tidak ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan umum ditujukan untuk
mencari tanda-tanda infeksi penyebab demam. Pemeriksaan neurologi meliputi
kepala, ubun-ubun besar, tanda rangsang
meningeal, pupil, saraf kranial, motrik, tonus otot, refleks fisiologis dan patologis.
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi
kejang demam terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Kejang demam sederhana
Kejang umum tonik, klonik atau tonik-klonik.
Durasi< 15 menit
Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks
Kejang fokal atau fokal menjadi umum.
Durasi> 15 menit
Kejang berulang dalam 24 jam.
5. Diagnosis Kejang Demam Sederhana
6. Diagnosis Banding Meningitis
Epilepsi
Gangguan metabolik, seperti: gangguan elektrolit
7. Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan untuk mencari penyebab demam.
Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan :
Pemeriksaan hematologi rutin dan urin rutin
Pemeriksaan lain atas indikasi : glukosa, elektrolit, pungsi lumbal (jika
tersedia)
8. Terapi Pemberian farmakoterapi untuk mengatasi kejang akut adalah dengan:
Diazepam per rektal (0,5mg/kgBB) atau BB < 10 kg diazepam rektal 5 mg ,
BB > 10 kg diazepam rektal 10 mg, atau lorazepam (0,1 mg/kg) harus
segera diberikan jika akses intravena tidak dapat diperoleh dengan mudah.
Jika akses intravena telah diperoleh diazepam lebih baik diberikan intravena
dibandingkan rektal. Dosis pemberian IV 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
maksimum pemberian
20 mg. Jika kejang belum berhenti diazepam rektal/IV dapat diberikan 2
kali dengan interval 5 menit. Lorazepam intravena, setara efektivitasnya
dengan diazepam intravena dengan efek samping yang lebih minimal
(termasuk depresi pernapasan) dalam pengobatan kejang akut.
Jika dengan 2 kali pemberian diazepam rektal/intravena masih terdapat
kejang dapat diberikan fenitoin IV dengan dosis inisial 20 mg/kgBB,
diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan pengenceran 10 mg fenitoin dalam
1 ml NaCl 0,9%, dengan kecepatan pemberian
1mg/kgBB/menit, maksimum 50 mg/menit, dosis inisial maksimum adalah
1000 mg. Jika dengan fenitoin masih terdapat kejang, dapat
diberikan fenobarbital IV dengan dosis inisial 20 mg/kgBB, tanpa
pengenceran dengan kecepatan pemberian 20 mg/menit. Jika kejang
berhenti dengan fenitoin maka lanjutkan dengan pemberian rumatan 12 jam
kemudian dengan dosis 5-7 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Jika kejang
berhenti dengan fenobarbital, maka lanjutkan dengan pemberian rumatan 12
jam kemudian denagn dosis 4-6 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis.
Pemberian farmakoterapi untuk profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang di
kemudian hari.
Profilaksis intermiten dengan diazepam oral/rektal, dosis 0,3 mg/kgBB/kali
tiap 8 jam, hanya diberikan selama episode demam, terutama dalam waktu
24 jam setelah timbulnya demam.
Profilaksis kontinyu dengan fenobarbital dosis 4-6 mg/kgBB/hari dibagi 2
dosis atau asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3
dosis. Profilaksis hanya diberikan pada kasus-kasus tertentu seperti kejang
demam dengan status epileptikus, terdapat
defisit neurologis yang nyata seperti cerebral palsy. Profilaksis diberikan
selama 1 tahun.
9. Edukasi Konseling dan edukasi dilakukan untuk membantu pihak keluarga mengatasi
pengalaman menegangkan akibat kejang demam dengan memberikan informasi
mengenai:
Prognosis dari kejang demam.
Tidak ada peningkatan risiko keterlambatan sekolah atau kesulitan
intelektual akibat kejang demam.
Kejang demam kurang dari 30 menit tidak mengakibatkan kerusakan otak.
Risiko kekambuhan penyakit yang sama di masa depan.
Rendahnya risiko terkena epilepsi dan tidak adanya manfaat menggunakan
terapi obat antiepilepsi dalam mengubah risiko itu.
DEMAM TIFOID
1. Pengertian Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan
dilepaskan ke aliran darah.
2. Anamnesis Keluhan :
a. Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola intermiten dan
kenaikan suhu step-ladder. Demam tinggi dapat terjadi terus menerus
(demam kontinu) hingga minggu kedua.
b. Sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di area frontal
c. Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau diare,
mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah
d. Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk, anoreksia,
insomnia
e. Pada demam tifoid berat, dapat dijumpai penurunan kesadaran atau kejang.
3. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum biasanya tampak sakit sedang atau sakit berat.
b. Kesadaran: dapat compos mentis atau penurunan kesadaran (mulai dari
yang ringan, seperti apatis, somnolen, hingga yang berat misalnya
delirium atau koma)
c. Demam, suhu > 37,5oC.
d. Dapat ditemukan bradikardia relatif, yaitu penurunan frekuensi nadi
sebanyak 8 denyut per menit setiap kenaikan suhu 1oC.
e. Ikterus
f. Pemeriksaan mulut: typhoid tongue, tremor lidah, halitosis
g. Pemeriksaan abdomen: nyeri (terutama regio epigastrik),
hepatosplenomegali
h. Delirium pada kasus yang berat
i. Pemeriksaan fisik pada keadaan lanjut dapat berupa penurunan kesadaran
ringan sering terjadi berupa apatis dengan kesadaran seperti berkabut.
Bila klinis berat, pasien dapat menjadi somnolen dan koma atau dengan
gejala-gejala psikosis (organic brain syndrome), pada penderita dengan
toksik, gejala delirium lebih
menonjol, dan nyeri perut dengan tanda-tanda akut abdomen
4. Kriteria Diagnosis Suspek demam tifoid (Suspect case) Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan gejala demam, gangguan saluran cerna dan petanda gangguan
kesadaran. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada pelayanan kesehatan
primer. Demam tifoid klinis (Probable case) Suspek
demam tifoid didukung dengan gambaran laboratorium yang menunjukkan
tifoid.
5. Diagnosis Demam Tifoid
6. Diagnosis Banding Demam berdarah dengue, Malaria, Leptospirosis, infeksi saluran kemih,
Hepatitis A, sepsis, Tuberkulosis milier, endokarditis infektif, demam rematik
akut, abses dalam, demam yang berhubungan dengan infeksi
HIV.
7. Pemeriksaan a. Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosis Dapat menunjukkan:
Penunjang leukopenia / leukositosis / jumlah leukosit normal, limfositosis relatif,
monositosis, trombositopenia (biasanya ringan), anemia.
b. Serologi
- IgM antigen O9 Salmonella thypi (Tubex-TF) hanya dapat mendeteksi
antibody IgM Salmonella typhi yang dilakukan pada 4- 5 hari pertama
demam
- Enzyme Immunoassay test (Typhidot®) 1. Dapat mendeteksi IgM dan
IgG Salmonella typhi 2. Dapat dilakukan pada 4-5 hari pertama demam
- Tes Widal tidak direkomendasi. Dilakukan setelah demam berlangsung 7
hari dengan interpretasi hasil positif bila titer aglutinin O minimal 1/320
atau terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang
dengan interval 5 – 7 hari.
c. Kultur Salmonella typhi (gold standard) Dapat dilakukan pada spesimen:
- Darah : Pada minggu pertama sampai akhir minggu ke-2 sakit,
saat demam tinggi
- Feses : Pada minggu kedua sakit
- Urin : Pada minggu kedua atau ketiga sakit
- Cairan empedu : Pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi carrier
typhoid
d. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, misalnya:
SGOT/SGPT, kadar lipase dan amilase
8. Terapi a. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:
- Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi
- Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral
maupun parenteral.
- Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein,
rendah serat.
- Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
- Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,
kesadaran), kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien
b. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi
keluhan gastrointestinal.
c. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik. Antibiotik lini pertama untuk
demam tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman
untuk penderita yang sedang hamil), atau Trimetroprim- sulfametoxazole
(Kotrimoksazol).
d. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat
diganti dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu
Seftriakson, Sefiksim, Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18
tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).
10. Prognosis Prognosis adalah bonam, namun ad sanationam dubia ad bonam, karena penyakit
dapat terjadi berulang.
VERTIGO
1. Pengertian Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau lingkungan
sekitarnya. Persepsi gerakan bisa berupa vertigo vestibular adalah rasa berputar
yang timbul pada gangguan vestibular dan vertigo non vestibular adalah rasa
goyang, melayang, mengambang yang timbul pada gangguan
sistem proprioseptif atau sistem visual
2. Anamnesis 1. Bentuk serangan vertigo:
Pusing berputar
Rasa goyang atau melayang
2. Sifat serangan vertigo:
Periodik
Kontinu
Ringan
berat
3. Faktor pencetus atau situasi pencetus dapat berupa:
Perubahan gerakan kepala atau posisi
Situasi: keramaian dan emosional
Suara
4. Gejala otonom yang menyertai keluhan vertigo:
Mual, muntah, keringat dingin
Gejala otonom berat atau ringan
5. Ada atau tidaknya gejala gangguan pendegaran seperti : tinitus atau tuli
6. Obat-obatan yang menimbulkan gejala vertigo seperti: streptomisin,
gentamisin, kemoterapi
7. Tindakan tertentu: temporal bone surgery, transtympanal treatment
8. Penyakit yang diderita pasien: DM, hipertensi, kelainan jantung
9. Defisit neurologis: hemihipestesi, baal wajah satu sisi, perioral numbness,
disfagia, hemiparesis, penglihatan ganda, ataksia serebelaris
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan umum
2. Pemeriksaan sistem kardiovaskuler yang meliputi pemeriksaan tekanan darah
pada saat baring, duduk dan berdiri dengan perbedaan lebih dari 30 mmHg.
3. Pemeriksaan neurologis
Kesadaran: kesadaran baik untuk vertigo vestibuler perifer dan vertigo non
vestibuler, namun dapat menurun pada vertigo vestibuler sentral.
Nervus kranialis: pada vertigo vestibularis sentral dapat mengalami
gangguan pada nervus kranialis III, IV, VI, V sensorik, VII, VIII, IX, X, XI,
XII.
Motorik: kelumpuhan satu sisi (hemiparesis).
Sensorik: gangguan sensorik pada satu sisi (hemihipestesi).
Keseimbangan (pemeriksaan khusus neurootologi):
- Tes nistagmus: Nistagmus disebutkan berdasarkan komponen cepat,
sedangkan komponen lambat menunjukkan lokasi lesi: unilateral, perifer,
bidireksional, sentral.
- Tes Romberg: Jika pada keadaan berdiri dengan kedua kaki rapat dan
mata terbuka pasien jatuh, kemungkinan kelainan pada serebelum. Jika
saat mata terbuka pasien tidak jatuh, tapi saat mata tertutup pasien
cenderung jatuh ke satu sisi, kemungkinan kelainan pada sistem vestibuler
atau proprioseptif (Tes Romberg positif).
- Tes jalan tandem: pada kelainan serebelar, pasien tidak dapat melakukan
jalan tandem dan jatuh ke satu sisi. Pada kelaianan vestibuler, pasien akan
mengalami deviasi.
- Tes Fukuda (Fukuda stepping test), dianggap abnormal jika saat berjalan
ditempat selama 1 menit dengan mata tertutup terjadi deviasi ke satu sisi
lebih dari 30 derajat atau maju mundur lebih dari satu meter.
- Tes past pointing, pada kelainan vestibuler ketika mata tertutup
maka jari pasien akan deviasi ke arah lesi. Pada kelainan serebelar akan
terjadi hipermetri atau hipometri.
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Klasifikasi
kejang demam terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Kejang demam sederhana
Kejang umum tonik, klonik atau tonik-klonik.
Durasi< 15 menit
Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks
Kejang fokal atau fokal menjadi umum.
Durasi> 15 menit
Kejang berulang dalam 24 jam.
5. Diagnosis Vertigo
6. Diagnosis Banding Penyakit meniere
Migraine associated dizziness
Kecemasan
Neuritis vestibularis
Insufisiensi vertebrobasiler
Gangguan panik
Labirhinitis
Penyakit demielinisasi
Vertigo servikogenik
Superior canal dehi-scence syndrome
Lesi susunan saraf pusat
Efek samping obat Vertigo pasca trauma Hipotensi postural
7. Pemeriksaan Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan etiologi.
Penunjang
8. Terapi 1. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan metode Brand
Daroff.
2. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung,
dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke salah satu sisi,
pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali. Setelah 30 detik,
baringkan dengan cepat ke sisi lain. Pertahankan selama 30 detik, lalu duduk
kembali. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-
masing diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan
latihan pagi dan sore hari.
3. Farmakologi dengan menggunakan:
Antihistamin (Dimenhidrinat 25-50 mg 4x sehari, Difenhidramin HCL
25-50 mg 4x sehari, senyawa Betahistin (mesylate 12 mg dan HCL 8-24
mg 3x sehari)
Kalsium Antagonis Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi
vestibular dan dapat mengurangi respons terhadap akselerasi angular
dan linier. Dosis biasanya ialah 15-30 mg, 3
kali sehari atau 1x75 mg sehari.
VOMITING
1. Pengertian Muntah pada bayi dan anak dapat terjadi secara regurgitasi dari isi lambung sebagai
akibat refluks gastroesofageal atau dengan menimbulkan refleks emetik yang
menyebabkan mual, kontraksi dari diafragma, interkostal, dan otot abdomen
anterior serta ekspulsi dengan kekuatan isi lambung. Terdapat dua tipe muntah
yaitu yang akut dan kronis.Batasan muntah
kronis apabila muntah lebih dari 2 minggu.
2. Anamnesis Usia Anak
Minggu I
Obstruksi usus
Inborn metabolic error
Hiperplasia adrenal kongenital (CAH)
Sesudah minggu I
Stenosis pilorik
Hernia hiatur
Sesudah bulan I
Infeksi (ISK, meningitis dan sebagainya)
Gangguan metabolik
Intoleransi makanan
Hematoma sundural
Aerofagia
Anak besar
Muntah siklik (migren abdominal)
Apendisitis
Torsi testis
Gastritis
Keracunan makanan
Henoch schonlein
Ketoasidosis diabetik
Uremi
tukak peptik
Peningkatan tekanan intra kranial
Iritasi faring
Psikogenik
Sifat muntah
Proyektil : stenosis pilorik hipertrofi
Muntah nokturnal : hernia hiatal
Muntah disertai nyeri : esofagitis
3. Pemeriksaan Fisik Ikterus
Ubun-ubun tegang
Hipertensi arterial
Tumor abdomen
4. Kriteria Diagnosis - Anamnesis
- Pemeriksaan Fisik
5. Diagnosis Vomiting
HIPERTENSI
1. Pengertian Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik >140
(Definisi) mmHg dan/atau diastolik >90 mmHg.
DIABETES MELITUS
1. Pengertian Diabetes Melitus (DM) tipe 2, menurut American Diabetes
(Definisi) Association (ADA) adalah kumulan gejala yang ditandai oleh
hiperglikemia akibat defek pada kerja insulin (resistensi insulin) dan
sekresi insulin atau kedua-duanya.
HIV/AIDS
1. Pengertian (Definisi) Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS)
adalah sekumpulan gejala dan tanda infeksi yang
berhubungan dengan penurunan sistem kekebalan
tubuh yang didapat karena infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
2. Anamnesis Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan
gejala atau keluhan tertentu. Pasien datang dapat
dengan keluhan:
1. Demam terus menerus atau intermiten > 1 bulan
2. Diare terus menerus atau intermiten > 1 bulan
3. Kehilangan berat badan (BB) >10%
Adanya faktor risiko:
- penjaja seks laki-laki atau perempuan,
- pengguna NAPZA suntik,
- laki-laki yang berhubungan sengan sesama laki-
laki dan transgender,
- hubungan seksual yang berisiko atau tidak aman,
- pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi
menular seksual,
- pernah mendapatkan transfusi darah,
- pembuatan tato atau penggunaan alat medis/alat
tajam yang tercemar HIV,
- bayi dari ibu dengan HIV/AIDS,
- pasangan serodiskordan (salah satu pasangan
positif HIV)
3. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum: BB menurun, demam
2. Kulit: kulit kering, dermatitis seboroik,
herpes simpleks, herpes zoster, jaringan parut
bekas herpes zoster
3. Pembesaran kelenjar getah bening
4. Mulut: kandidiasis orat, oral hairy leukoplakia,
keilitis angularis
5. Dada: ronki basah akibat infeksi paru
6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau massa
7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh
vagina atau uretra
8. Neurologi: tanda neuropati dan
kelemahan neurologis
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Hasil tes HIV
5. Diagnosis Kerja HIV/AIDS
6. Diagnosis Banding Penyakit gangguan sistem imun
7. Pemeriksaan Penunjang a. Lab:
Hitung jenis leukosit: Limfopenia dan
CD4 hitung <350 (CD4 sekitar 30% dari
jumlah total limfosit
Tes HIV menggunakan strategi III yaitu
menggunakan 3 macam tes dengan titik
tangkap yang berbeda, umumnya
dengan ELISA dan dikonfirmasi
Western Blot
Pemeriksaan DPL
b. Radiologi: X-ray thoraks (bila tersedia)
Sebelum melakukan tes HIV perlu
dilakukan konseling sebelumnya.
8. Tata laksana Rekomendasi lini I untuk pasien treatment naïve
(tabel 1 terlampir)
9. Edukasi (Hospital Health 1. Tes HIV pada pasien TB, IMS dan
Promotion) kelompok risiko tinggi beserta pasangan
seksual
2. Penjelasan penyakit HIV/AIDS
3. Bergabung dengan kelompok
penanggulangan HIV/AIDS
10. Prognosis dubia ad malam.
11. Tingkat Evidens -
12. Tingkat Rekomendasi -
13. Penelaah Kritis 1. SMF Ilmu Penyakit Dalam
2. SMF Ilmu Kesehatan Anak
14. Indikator 1. Pemantauan klinis: setiap minggu 2, 4, 8, 12, dan
24 minggu sejak memulai ARV dan kemudian tiap
6 bulan bila pasien telah stabil.
2. Pemantauan laboratorium
- CD4
- Viral load
- Enzim transaminase
- Fungsi ginjal
15. Kepustakaan 1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa.Jakarta:
Kemenkes.2011.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th
Ed. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. hlm 1825-30
3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 90 Tahun
2019 tentang PNPK Tata Laksana HIV
Lampiran
Tabel 1 Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
mendapat terapi ARV (treatment naïve)
Dispepsia
1. Pengertian (Definisi) Dispepsia adalah proses inflamasi pada lapisan
mukosa dan submucosa lamubung sebagai mekanisme
proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi bakteri
atau bahan iritan lainnya. Proses inflamasi dapat
bersifat akut, kronis, difus ataupun local.
2. Anamnesis 1. Nyeri dan panas seperti terbakar pada
perut bagian atas
2. Mual
3. Muntah
4. Kembung
5. Pola makan yang kurang baik
6. Sering konsumsi kopi dan the
7. Infeksi bakteri atau parasite
8. Penggunaan obat analgetik dan steroid
9. Usia lanjut
10. Alkoholisme
11. Stress
12. Penyakit lainnya: refluks empedu, autoimun,
HIV/AIDS, Crohn disease
3. Pemeriksaan Fisik 1. Nyeri tekan epigaster
2. Peningkatan bising usus
3. Perdarahan saluran atas berupa
hematemesis dan melena pada kondisi
kronis
4. Konjungtiva anemia pada kondisi kronis
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Diagnosis definitive dengan pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja 1. Dyspepsia
2. Gastritis
6. Diagnosis Banding 1. Kolesistitis
2. Kolelitiasis
3. Crohn disease
4. Kanker lambung
5. Gastroenteritis
6. Limfoma
7. Ulkus peptikum
8. Sarcoidosis
9. GERD
7. Pemeriksaan Penunjang Jarang diperlukan, jika kondisi kronis dan ada tanda
perdarahan serta anemia maka diperlukan:
1. Darah rutin
2. Urea breath test dan feses (curiga H.pilory)
3. Rontgen dengan barium enema
4. Endoskopi
8. Tata laksana 1. H2 receptor blocker 2x/hari
- Ranitidine 150mg/kali
- Famotidine 20mg/kali
- Simetidin 400-800 mg/kali
2. PPI 2x/hari
- Omeprazo 20 mg/kali
- Lanzoprazol 30 mg/kali
3. Antasida 3x500-1000 mg/hari
9. Edukasi (Hospital Health 1. Makan tepat waktu
Promotion) 2. Makan sering dengan porsi kecil
3. Hindari makanan yang meningkatkan asam
lambung atau perut kembung seperti kopi, the,
makanan pedas dan kol.
10. Prognosis Bonam
11. Tingkat Evidens -
12. Tingkat Rekomendasi -
13. Penelaah Kritis 1. SMF Ilmu Penyakit Dalam
2. SMF Psikiatri
14. Indikator Keluhan (-)
15. Kepustakaan Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M.
Setiati, S. eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed.
Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. 2006.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
Skizofrenia
1. Pengertian (Definisi) Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang
kompleks yang ditandai dengan gangguan kognitif,
persepsi, emosi, dan perilaku yang abnormal.
2. Anamnesis 1. Sulit berpikir/sulit berkonsentrasi
2. Tidak dapat tidur, tidak mau makan
3. Perasaan gelisah, tidak dapat tenang,
ketakutan (Gaduh gelisah)
4. Bicara kacau yang tidak dapat dimengerti
5. Mendengar suara orang yang tidak
dapat didengar oleh orang lain
(Halusinasi)
6. Adanya pikiran aneh yang tidak sesuai
realita (waham)
7. Marah tanpa sebab yang jelas, kecurigaan yang
berat,
8. Perilaku kacau, perilaku kekerasan
9. Menarik diri dari lingkungannya dan tidak
merawat diri dengan baik
10. Perilaku kekerasan
11. Perilaku melukai diri
12. Perilaku bunuh diri
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pengukuran berat badan, lingkar pinggang,
tekanan darah perlu dilakukan berkala, untuk
menapis risiko adanya gangguan
kardiometabolik terkait penggunaan
antipsikotik (awal, 3 bulan pertama, dan tiap 6
bulan).
2. Pemeriksaan Extrapyramidal Symptom Rating
Scale (ESRS) untuk menapis adanya EPS
(parkinsonisme, akatisia dan distonia) pada
pasien dengan riwayat pernah atau sudah
menjalani pengobatan skizofrenia.
3. Kriteria Diagnosis Pedoman PPDGJ/ICD10
a. Pikiran bergema (thought echo) penarikan
pikiran atau penyisipan (thought withdrawal
atau thought insertion), dan penyiaran
pikiran (thought broadcasting)
b. Waham dikendalikan (delusion of being
control delusion of being control), waham
dipengaruhi (delusion of being delusion of
being influenced), atau “passivity”, yang jelas
merujuk pada pergerakan tubuh atau
pergerakan anggota gerak, atau pikiran,
perbuatan atau perasaan (sensations) khusus:
waham persepsi.
c. Halusinasi berupa suara yang berkomentar
tentang perilaku pasien atau sekelompok orang
yang sedang mendiskusikan pasien, atau
bentuk halusinasi suara lainnya yang datang
dari beberapa bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang
menurut budayanya dianggap tidak wajar serta
sama sekali mustahil, seperti misalnya
mengenai indentitas keagamaan atau politik,
atau kekuatan dan kemampuan “manusia
super” (tidak sesuai dengan budaya dan sangat
tidak mungkin atau tidak masuk akal,
misalnya mampu berkomunikasi dengan
makhluk asing yang datang dari planit lain).
e. Halusinasi yang menetap pada berbagai
modalitas, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang/melayang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif
yang jelas, ataupun oelh ide-ide berlebihan
(overvaluedideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus atau yang
mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat
inkoheren atau pembicaraan tidak relevan atau
neologisme
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan
gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas
serea, negativism, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gelaja negatif, seperti sikap masa bodoh
(apatis), pembicaraan yang terhenti, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak
wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
i. Perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek
perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas,
sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.
Pedoman Diagnosis
1. Minimal satu gejala yang jelas (dua atau lebih,
bila gejala kurang jelas) ayng tercatat pada
kelompok a dampai d diatas,atau paling sedikit
dua gejala dari kelompok e sampai h, yang
harus ada dengan jelas selama kurun waktu
satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang
memenuhi persyaratan pada gejala tersebut
tetapi lamanya kurang dari satu bulan (baik
diobati atau tidak) harus didiagnosis sebagai
gangguan psikotik lir skizofrenia akut.
2. Karena sulitnya menentukan onset, kriteria
lamanya 1 bulan berlaku hanya untuk gejala-
gejala khas tersebut di atas dan tidak berlaku
untuk setiap fase nonpsikotik prodromal.
3. Diagnosis skizofrenia tidak dapat ditegakan
bila terdapat secara luas gejala-gejala depresif
atau manic kecuali bila memang jelas, bahwa
gejala-gejala skizofrenia itu mendahului
gangguan afektif tersebut.
4. Skizofrenia tidak dapat didiagnosis bila
terdapat penyakit otak yang nyata, atau dalam
keadaan intoksikasi atau putus zat.
4. Diagnosis Kerja 1. Skizofrenia
2. Skizofrenia paranoid
3. Skizofrenia hebefrenik
4. Skizofrenia katatonik
5. Skizofrenia tak terinci
6. Depresi pasca skizofrenia
7. Skizofrenia residual
8. Skizofrenia simpleks
9. Skizofrenia YTT
5. Diagnosis Banding 1. Epilepsy lobus temporalis
2. Tumor lobus temporalis atau frontalis
3. Stadium awal sclerosis multiple
4. SLE
5. Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif
6. Gangguan Skizoafektif
7. Gangguan Afektif berat
8. Gangguan Waham
9. Gangguan perkembangan pervasif
10. Gangguan perilaku, kognitif, sosial, dan
bahasa terjadi sejak masa kecil
11. Gangguan Kepribadian Skizotipal
12. Gangguan Kepribadian Skizoid
13. Gangguan Kepribadian Paranoid
6. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Rutin
- Pemeriksaan laboratorium DPL, fungsi
liver, profil lipid, fungsi ginjal, glukosa
sewaktu, elektrolit
- Penilaian PANSS
2. Pemeriksaan atas indikasi
- Pemeriksaan urin
- Pemeriksaan kemungkinan IMS
- Pemeriksaan elektrofisiologi dan radiologi
- Extrapyramidal Syndrome Rating
Scale (ESRS)
7. Tata laksana 1. Nonfarmakologis
- Home visit, home care
- Konseling
- Psikoedukasi
- Modifikasi lingkungan
- Kegiatan bersama
2. Farmakologis
dosis dan obat antipsikotika terlampir di
tabel 1
3. Penatalaksanaan EPS
- Difenhidramin
- Sulfas atropine
- Triheksifenidil
- Propranolol
rujuk jika tidak membaik dalam 1x24 jam
8. Edukasi (Hospital Health 1. Kontrol rutin
Promotion) 2. Kepatuhan meminum obat
3. Jelaskan mengenai skizofrenia pada keluarga
pasien
4. Tanda dan gejala
5. Penyebab penyakit
6. Hasil pemeriksaan fisik dan diagnosis
7. Psikoterapi dan pencegahan bunuh diri
8. Efek samping obat
9. Prognosis 1. Prognosis baik berkaitan dengan
a. Onset akut
b. Pencetus psikosis jelas
c. Penyesuaian premorbid baik
2. Prognosis buruk berkaitan dengan
a. Onset lambat, insidious
b. Durasi psikosis tak tertangani lama
c. Penyesuaian premorbid buruk
d. Predoinan gejala negatif
10. Tingkat Evidens -
11. Tingkat Rekomendasi -
12. Penelaah Kritis SMF Psikiatri
SMF Neurologi
SMF Ilmu Penyakit Dalam
13. Indikator 1. Perbaikan gejala positif maupun negatif
2. EPS
3. Fungsi Sosial
14. Kepustakaan 1. Kusumawardhani, A., Diatri, H. and
Anindyajati, G., 2021. Panduan Praktik Klinis
Skizofrenia. Jakarta: RSCM.
2. American Psychiatric Association. Major
Depressive Episode. Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, 4th
Ed.Text Revision, DSM-IV-TR. American
Psychiatric Association, 2000, hal. 365-376.
3. Sadock BJ, Sadock JA. Mood Disorder.
Dalam: Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry Behavioral Science/Clinical
Psychiatry, 10th Ed. Wolters Kluwer,
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia
2007, hal. 527-462
Lampiran
Tabel 1. Dosis dan Pilihan Obat Antipsikotika
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
PKA
1. Pengertian (Definisi) Peradangan kulit imunologik karena reaksi
hipersensitivitas.
2. Anamnesis 1. Gatal
2. Bercak kemerahan
3. Riwayat pemakaian obat, kosmetik
4. Riwayat pekerjaan
5. Hobi
6. Riwayat sering cemas, egois, frustasi, agresif,
merasa tertekan.
7. Riwayat alergi
3. Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi lokasi dan pola kelaiana kulit
4. Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamesis dan pemeriksaan
fisik
5. Diagnosis Kerja 1. PKA
2. Dermatitis
6. Diagnosis Banding 1. Dermatitis kontak iritan
7. Pemeriksaan Penunjang tidak diperlukan
8. Tata laksana 1. Hindari alergen
2. Betametason valerat krim 0.1% 2 kadi sehari
3. Apabila ada infeksi sekunder pertimbangkan
antibiotic topical
4. Loratadine 1x10 mg perhari maksimal 2
minggu atau antihistamin lainnya
9. Edukasi (Hospital Health 1. Identifikasi factor risiko
Promotion) 2. Hindari allergen
3. Memakai sabun dengan pH netral
4. Gunakan pelembab
10. Prognosis Bonam
quo sanationam adalah dubia ad malam jika sulit
menghindari kontak dan menjadi kronis
11. Tingkat Evidens -
12. Tingkat Rekomendasi -
13. Penelaah Kritis SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
14. Indikator resolusi gejala
15. Kepustakaan 1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi
kelima, Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
2. James, W.D., Berger, T.G, Elson, D.M. 2000.
Andrew’s Disease of Skin: Clinical
Dermatology. 10th edition. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin. 2011. Pedoman Pelayanan Medik.
Jakarta.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
Artritis
1. Pengertian (Definisi) Penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan
kerusakan kartilago sendi. Pasien sering datang
berobat pada saat sudah ada deformitas sendi yang
bersifat permanen.
2. Anamnesis 1. Nyeri sendi
2. Hambatan gerak sendi
3. Kaku pagi
4. Krepitasi
5. Pembesaran sendi
6. Perubahan gaya berjalan
7. Usia
8. Riawayat menopause
9. Obesitas
10. Pekerja berat terutama dengan satu sendi
terus menerus
3. Pemeriksaan Fisik 1. Hambatan gerak
2. Krepitasi
3. Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
4. Tanda-tanda peradangan sendi
5. Deformitas sendi yang permanen
6. Perubahan gaya berjalan
4. Kriteria Diagnosis 1. Gambaran klinis
2. Radiologis
5. Diagnosis Kerja 1. Artritis
2. Osteoarthritis
6. Diagnosis Banding 1. Gout artritis
2. Rheumatoid artritis
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Radiologis
8. Tata laksana 1. Modifikasi gaya hidup, menurunkan
berat badan
2. Rehabilitasi medik/fisioterapi
3. Medikamentosa:
- Analgesic topical
- NSAID oral: nonselective (diklofenak,
ibuprofen, piroksikam, mefenamat,
metampiron); selective COX2 (meloxicam)
9. Edukasi (Hospital Health 1. Modifikasi gaya hidup
Promotion) 2. Turunkan berat badan
10. Prognosis Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun
fungsi sering terganggu dan sering mengalami
kekambuhan.
11. Tingkat Evidens -
12. Tingkat Rekomendasi -
13. Penelaah Kritis SMF Ortopedi
14. Indikator - Gejala klinis
- Radiologis
15. Kepustakaan 1. Braunwald. Fauci. Hauser. Eds. Harrison’s
Principals of Internal Medicine. 17th Ed. USA:
McGraw-Hill. 2008.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
Febris
1. Pengertian (Definisi) Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal (≥37.5)
2. Anamnesis 1. Merasa panas
2. Menggigil
3. Berkeringat
4. Tanggal dan perkiraan jam dimulainya demam
5. Pola demam
6. Lemas
7. Rasa nyeri pada lokasi tertentu (missal nyeri
berkemih, nyeri telinga, nyeri kepala)
8. Jam terakhir berkemih
9. Intake cairan dan makanan
10. Lokasi tempat tinggal atau riwayat
bepergiann dalam 2 minggu (terutama ke
daerah endemis malaria)
3. Pemeriksaan Fisik 1. Tanda vital: suhu tubuh, tekanan darah, nadi,
frekuensi napas
2. Kulit kemerahan dengan ruam kulit
(maculopapular, purpura, ptekie)
3. Selulitis atau pustule kulit
4. Pemeriksaan otoskopi
5. Tanda dehidrasi
6. Kaku kuduk
7. nyeri sendi atau anggota gerak
8. nyeri tekan lokal
4. Kriteria Diagnosis temperatur aksila ≥37.5
5. Diagnosis Kerja Febris
6. Diagnosis Banding 1. Demam karena infeksi tanpa tanda local
(demam dengue, malaria, demam tifoid,
ISK, sepsis, infeksi HIV, TB)
2. Demam karena infeksi disertai tanda
local (ISPA, pneumonia, otitis media,
sinusitis, mastoiditis, abses coli,
meningitis, infeksi jaringan lunak dan
kulit seperti selulitis, demam rematik
akut)
3. Demam dengan ruam (campak, rubella,
eksantema subitem, demam scarlet, dengue,
infeksi virus lain seperti cikungunya)
7. Pemeriksaan Penunjang 1. DL
2. Widal
3. UL
4. NS1, IgG dengue, IgM dengue
8. Tata laksana 1. antipiretik paracetamol sesuai dosis
2. observasi suhu tubuh berkala tiap 4-6 jam
3. minum 2-3 L/hari
4. kompres air hangat di dahi, ketiak, lipat paha
9. Edukasi (Hospital Health 1. gunakan pakaian yang tipis
Promotion) 2. jangan gunakan selimut tebal
3. memperhatikan aliran udara dalam ruangan
4. istirahat cukup
5. Prognosis Bonam
6. Tingkat Evidens -
7. Tingkat Rekomendasi -
8. Penelaah Kritis SMF Ilmu Kesehatan Anak
SMF Ilmu Penyakit Dalam
9. Indikator suhu tubuh <37.5
10. Kepustakaan WHO Indonesia, Departemen Kesehatan RI.
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
WHO Indonesia.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
ISPA
1. Pengertian (Definisi) Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) adalah
infeksi pada hidung, sinus paranasalis, nasofaring,
epiglottis, atau laring yang disebabkan oleh infeksi
organisme
pathogen.
2. Anamnesis 1. Rinorea
2. Kongesti nasal
3. Bersin
4. Nyeri tenggorok
5. Batuk
6. Demam
7. Lemas
8. Bersin-bersin
9. Nyeri tenggorok/nyeri telan
10. Batuk
11. Post nasal drip
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan tanda vital (suhu, nadi, frekuensi
napas, tekanan darah)
2. Eritema/edema mukosa nasal
3. Rinorea
4. Halitosis
5. Suara serak
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
5. Diagnosis Kerja ISPA
6. Diagnosis Banding 1. Rhinitis alergi
2. Rhinosinusitis alergi
3. Asma
4. Tuberculosis
7. Pemeriksaan Penunjang tidak rutin dilakukan
1. Swab nasal/tenggorok
2. DL
8. Tata laksana 1. Irigasi nasal
2. Kompres hangat
3. Perbanyak konsumsi cairan
4. Antihistamin oral seperti
chlorpheniramine maleate
5. Guaifenesin
6. Ambroxol
7. Vitamin C
8. Antibiotik apabila disebabkan oleh
bakteri, amoxicillin, eritromisin
9. Edukasi (Hospital Health 1. Istirahat yang cukup
Promotionasma) 2. Intake cairan yang cukup
3. Pakai masker
4. Jaga sanitasi
5. Konsumsi makan bergizi
10. Prognosis Bonam
11. Tingkat Evidens -
12. Tingkat Rekomendasi -
13. Penelaah Kritis SMF THT
14. Indikator follow up berdasarkan atas keluhan dan pemeriksaan
fisik
swab nasal/tenggorok
DL
15. Kepustakaan 1. Simoes EAF, Cherian T, Chow J, Salles SAS,
Laxminarayan R, John TJ. Acute respiratory
infection in children. Chapter 25. Disease Control
Priorities in Developing Countries.p.483-499
Myalgia
1. Pengertian (Definisi) Mialgia adalah sindroma nyeri dengan manifestasi
nyeri muskuloskeletal non-artikular tanpa
ditemukan kelainan pada sistem
musculoskeletal.
2. Anamnesis 1. Rasa kaku, kram, tertarik, berat atau
lemah pada otot
2. Pegal
3. Aktivitas sehari-hari (postur yang buruk,
teknik olahraga yang salah)
4. Aktivitas yang dilakukan sebelum nyeri
muncul
5. Riwayat trauma
6. Lokasi nyeri
7. Onset, durasi, pola dan kualitas nyeri
3. Pemeriksaan Fisik 1. Tanda vital (tensi, nadi, suhu, frekuensi
napas)
2. ROM
3. Motoric
4. Sensorik
5. Tnada radang pada sendi
6. Tanda-tada infeksi sistemik
4. Kriteria Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
- Rasa pegal atau kaku, kram, pada otot tanpa
disertai keterlibatan sendi dan tidak
ditemukan kelainan pada muskuloskeletal
5. Diagnosis Kerja Myalgia
6. Diagnosis Banding 1. Penyakit autoimun (lupus, dermatomiosis,
polimiositis)
2. Penyakit tiroid (hipertiroidisme,
hipotiroidisme)
3. Rheumatoid artritis
4. Dystonia
5. Rabdomyolisis
6. Sindrom kompartemen
7. Infeksi virus (polio, flu)
8. Infeksi bakteri (lyme disease)
9. Gangguan elektrolit
10. PAD
11. Efek samping obat (statin, ACE-I)
7. Pemeriksaan Penunjang Jarang diperlukan
8. Tata laksana 1. Nonfarmakologis: istirahat, perbaiki postur
tubuh, kompres, pijat, olahraga rutin, lakukan
pemanasan dan pendinginan sebelum dan
setelah olahraga, cukup nutrisi dan cairan
harian
2. Farmakologis: analgetik (parasetamol atau
NSAID)
9. Edukasi (Hospital Health 1. Istirahat yang cukup
Promotion) 2. Kelola stress
3. Istirahatkan bagian tubuh yang nyeri
4. Memijat bagian tubuh yang nyeri
5. Mengompres bagian tubuh yang nyeri
6. Perbaiki postur
7. Hindari mengangkat beban berat, olahraga
berat atau aktivitas yang
membutuhkan banyak kerja otot sampai otot
benar-benar pulih.
10. Prognosis Bonam
11. Tingkat Evidens -
12. Tingkat Rekomendasi -
13. Penelaah Kritis SMF Ortopedi
SMF Ilmu Penyakit Dalam
14. Indikator Keluhan yang tertangani
15. Kepustakaan 1. Atharik Eka Putri, dkk. 2018. Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan Kejadian Myalgia
pada Nelayan di Batukaras Pangandaran Jawa
Barat. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Jakarta
2. Rimas Billihantomo. 2013.
Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Pasien
Myalgia Subscapularis Dektra di BBRSBD
Surakarta. Jurnal Kesehatan Program Studi D3
Fisioterapi Universitas Muhammadiyah
Surakarta
3. Sumardiyono, et al. 2017. Kejadian Myalgia
Pada Lansia Pasien Rawat Jalan. Jurnal Riset
Sains dan Teknologi, 1(2), Pp. 59-63
4. Mogole, et al. 2017. The Management Of
Muscle Pain. South African Pharmaceutical
Journal, 84(1), Pp. 15-23
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
1. Pengertian Rasa nyeri pada abdomen yang sifatnyahilang timbul dan bersumber dari
organberongga yang terdapat di dalamnya.
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk
diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
9. Edukasi Menginformasikan kepada pasien untuk rutin memeriksaan diri, karena kolik
abdomen merupakan gejala suatu penyakit yang mendasari, sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyakit yang mendasari.
ANEMIA
1. Pengertian Secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke
jaringan perifer.
2. Anamnesis Keluhan
1. Lemah
2. Lesu
3. Letih
4. Lelah
5. Penglihatan berkunang-kunang
6. Pusing
7. Telinga berdenging
8. Penurunan konsentrasi
9. Sesak nafas
10. Perdarahan
Faktor Risiko
1. Ibu hamil
2. Remaja putri
3. Status gizi kurang
4. Faktor ekonomi kurang
5. Infeksi kronik
6. Vegetarian
4. Kriteria Diagnosis Suatu sindrom yang dapat disebabkan oleh penyakit dasar sehingga penting
menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan darah dengan
kriteria Hb darah kurang dari kadar Hb normal.
5. Diagnosis Anemia
6. Diagnosis Banding 1. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Anemia aplastik
3. Anemia hemolitik
4. Anemia pada penyakit kronik
8. Terapi Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan anemia harus berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan. Setelah penegakan diagnosis dapat diberikan sulfas ferrosus 3 x 200 mg
(200 mg mengandung 66 mg besi elemental).
Rencana Tindak Lanjut
Untuk penegakan diagnosis definitif anemia defisiensi besi memerlukan
pemeriksaan laboratorium di layanan sekunder dan penatalaksanaan selanjutnya
dapat dilakuakn di layanan tingkat pertama.
Kriteria Rujukan
1. Anemia tanpa gejala dengan kadar Hb <8 g/dL
2. Anemia dengan gejala tanpa melihat kadar Hb segera dirujuk
3. Anemia berat dengan indikasi tranfusi (Hb <7 g/dL)
4. Anemia karenan penyebab yang tidak termasuk kompetensi dokter di
layanan tingkat pertama misalnya anemia aplastik, anemia hemolitik dan
anemia megaloblastik.
5. Jika didapatkan kegawatan (misal perdarahan aktif atau distres pernafasan)
pasien segera dirujuk.
10. Prognosis Pada umumnya dubia ad bonam karena sangat tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Bila penyakit yang mendasarinya. Bila penyakit yang mendasarinya
teratasi, dengan nutrisi yang baik anemia dapat teratasi.
BRONKOPNEUMONIA
Ada beberapa hal yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak
adalah:
1. Imaturitas anatomik dan imunologik.
2. Mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang- kadang
tidak khas terutama pada bayi.
3. Etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering.
4. Faktor patogenesis.
5. Kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang mnyebabkan
karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dpertimbangkan dalam
tatalaksana pneumonia.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau
diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
2. Hejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil,
gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada
perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.
5. Diagnosis Bronkopneumonia
6. Diagnosis Banding 1. Bronkitis
2. Bronkiolitis
3. Efusi Pleura
4. Emfisema Subkutis
5. Asma Bronkhiale
8. Terapi Dasar tatalaksana adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai dan
pengobatan suportif yang meliputi :
1. Pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asma-basa, elektrolit, dan gula darah
2. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik
3. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif
4. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat
5. Komplikasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi
Kriteria rujukan
1. Pneumonia berat
2. Pneumonia rawat inap
10. Prognosis Prognosis tergantung pada beratnya penyakit dan ketepatan penanganan
CHEST PAIN
1. Pengertian Nyeri dada adalah kondisi dimana pasien merasakan nyeri di area dada baik
sisi kiri dan kanan yang biasanya disebabkan akibat gangguan jantung, nyeri otot,
akibat trauma langsung, atau gangguan lainnya.
2. Anamnesis Pasien datang dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau
terasa seperti tertimpa beban yang sangat berat.
Diagnosis seringkali berdasarkan keluhan nyeri dada yang mempunyai ciri khas
sebagai berikut:
1. Letak
Daerah sternum atau di bawah sternum (substernal: tidak dapat
melokalisasi), atau dada sebelah kiri dan kadang-kadang menjalar ke
lengan kiri, dapat menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan
kanan. Nyeri dada juga dapat timbul di tempat lain seperti di daerah
epigastrium, leher, rahang, gigi, dan bahu.
2. Kualitas
Pada angina seperti tertekan benda berat atau seperti diperas atau terasa
panas, kadang-kadang hanya mengeluh perasaan tidak enak di dada karena
pasien tidak dapat menjelaskan dengan baik.
3. Hubungan dengan aktivitas
Pada angina biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas, misalnya
sedang berjalan cepat, tergesa-gesa, atau sedang berjalan mendaki atau naik
tangga. Pada kasus yang berat aktivitas ringan seperti mandi atau
menggosok gigi, makan terlalu kenyang atau emosi, sudah dapat
menimbulkan nyeri dada. Nyeri tersebut dapat seketika hilang saat aktivitas
berhenti. Serangan angina yang timbul pada waktu istirahat atau pada
waktu tidur malam sering akibat angina pektoris tidak stabil.
4. Lamanya serangan
Lamanya nyeri dada biasanya berlangsung 1-5 menit, kadang- kadang
perasaan tidak enak di dada masih terasa setelah nyeri hilang. Bila nyeri
dada berlangsung lebih dari 20 menit, mungkin pasien mengalami sindrom
koroner akut dan bukan angina pektoris biasa. Pada angina pektoris dapat
timbul keluhan lain seperti sesak napas, perasaan lelah, kadang-kadang
nyeri dada disertai keringat dingin.
5. Nyeri dada bisa disertai keringat dingin, mual, muntah, sesak, dan pucat
Faktor Risiko
1. Usia
Meningkat pada pria di atas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun (umumnya
setelah menopause).
2. Jenis kelamin
Morbiditas akibat penyakit jantung koroner (PJK) pada laki-laki dua kali
lebih besar dibandingkan perempuan, hal ini berkaitan dengan estrogen
endogen yang bersifat protektif pada perempuan. Hal ini terbukti insidensi
PJK meningkat dengan cepat dan akhirnya setara dengan laki-laki pada
wanita setelah masa menopause.
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga PAK (Penyakit Arteri Koroner) dini yaitu ayah usia
< 55 tahun dan ibu < 65 tahun.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Sewaktu terjadi serangan angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Walau
jarang pada auskultasi dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan
murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat menurun,
menetap atau meningkat pada waktu serangan angina.
2. Dapat ditemukan perbesaran jantung.
3. Dapat ditemukan jejas jika terjadi pada pasien post trauma tumpul dada.
4. Kriteria Diagnosis Klasifikasi Angina:
1. Stable Angina Pectoris (angina perktoris stabil)
Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan suatu pekerjaan, sesuai
dengan berat ringannya pencetus, diabgi atas beberapa tingkatan:
a. Selalu timbul sesudah latihan berat.
b. Timbul sesudah latihan sedang (jalan cepat ½ km)
c. Timbul waktu latihan ringan (jalan 100 m)
d. Angina timbul jika gerak badan ringan (jalan biasa)
2. Unstable Angina Pectoris (angina pektoris tidak stabil/ATS)
Angina dapat terjadi pada saat istirahat maupun bekerja. Pada patologi
biasnanya ditemukan daerah iskemik miokard yang mempunyai ciri sendiri.
3. Angina Prinzmetal (Variant angina)
Terjadi tanpa peningkatan jelas beban kerja jantung dan sering timbul pada
waktu beristirahat atau tidur. Pada angina ini terjadi spasme arteri koroner
yang menimbulkan iskemi jantung di bagian hilir. Kadang-kadang tempat
spasme berkaitan dengan aterosklerosis.
7. Pemeriksaan 1. EKG
Penunjang Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina sering
masih normal. Gambaran EKG dapat menunjjukkan bahwa pasien pernah
mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang- kadang menunjukkan
pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina, dapat pula
menunjukkan perubahan segmen ST atau gelombang T yang tidak khas.
Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan depresi segmen ST dan
gelombang T dapat menjadi negatif.
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa dpresi segmen ST, inversi
gelombang T, sepresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi
segmen ST, hambatan cabang berkas His dan bisa tanpa perubahan ST dan
gelombang T. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi
evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai infark Miokard Akut (IMA).
2. X Ray Thoraks
X raya thoraks sering menunjukkan bentuk jantung normal. Pada pasien
hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang- kadang tampak
adanya kalsifikasi arkus aorta.
9. Edukasi Menginformasikan individu dan keluarga untuk melakukan modifikasi gaya hidup
antara lain:
1. Mengontrol emosi dan mengurangi kerja berat dimana
membutuhkan banyak oksigen dalam aktivitasnya.
2. Mengurangi konsumsi makanan berlemak
3. Menghentikan konsumsi rokok dan alkohol
4. Menjaga berat badan ideal
5. Mengatur pola makan
6. Melakukan olah raga ringan secara teratur
7. Jika memiliki riwayat diabetes tetap melakuakn pengobatan diabetes secara
teratur
8. Melakukan kontrol terhadap kadar serum lipid
9. Mengontrol tekanan darah
10. Prognosis Pada umumnya dubia ad bonam jika dilakukan tatalaksana dini dan tepat
1. Pengertian Tipe cedera kepala yang paling sering terjadi dan memiliki gejala paling ringan.
Cedera ini terjadi ketika seseorang mengalami benturan langsung dan tiba-tiba di
kepala. Pada sebagian besar kasus, cedera kepala ringan terjadi akibat terjatuh.
Gejala Mental
a. Suasana hati yang mudah berubah
b. Mudah merasa cemas dan depresi
c. Gangguan mengingat dan konsentrasi
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan tanda-tanda vital mulai tekanan darah, suhu, nadi, laju napas,
dan saturasi oksigen
2. Pemeriksaan Inspeksi pada kepala dan wajah untuk melihat apakah ada
tanda luka baik tertutup maupun terbuka atau jejas
3. Pemeriksaan palpasi dengan tangan pada area kepala dan wajah untuk
menilai terdapat atau tidaknya cephal hematome atau bahkan fraktur
calvaria
4. Pemeriksaan reflek pupil dan reflek konsensuil
5. Pemeriksaan pada wajah dan liang telinga apakah ditemukan rhinorea,
otorea, racoon eye, bettle sign, atau fraktur
4. Kriteria Diagnosis Dalam penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Selain itu penentuan tingkat keparahan dari cidera kepala
biasanya dilihat dari penilaian tingkat kesadaran yaitu dari GCS (Glasgow Coma
Scale) sebagai berikut:
a. Cidera Kepala Ringan (CKR): GCS 13-15
b. Cidera Kepala Sedang (CKS): GCS 9-12
c. Cidera Kepala Berat (CKB): GCS < 8
Medikamentosa
1. Analgetik
2. Antibiotik jika diperlukan
3. Terapi simptomatis
Kriteria Rujukan
1. Amnesia post traumatika lebih dari 1 jam
2. Riwayat kehilangan kesadaran lebih dari 15 menit
3. Penurunan tingkat kesadaran yang mengarah ke CKB
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Mual hingga muntah proyektil
6. Adanya kecurigaan kearah fraktur atau perdarahan aktif
7. Otorhea, Rhinorea
8. Semua cedera tembus
9. Indikasi sosial (tidak ada pendamping di rumah)
10. Kejang post trauma
9. Edukasi Penderita yang tidak memiliki gejala di atas diperbolehkan pulang setelag dilakukan
pemantauan di Unit Gawat Darurat dengan catatan harus kembali ke Unit Gawat
Darurat bila timbul gejala-gejala (observasi 1-24 jam) seperti:
a. Mengantuk dan sukar dibangunkan
b. Mual dan muntah hebat/proyektil (terus menerus)
c. Kejang
d. Nyeri kepala bertambah hebat
e. Bingung, tidak mampu berkonsentrasi
f. Gelisah
10. Prognosis Pada umumnya dubia ad bonam jika dilakukan tatalaksana dini dan tepat
DYSPNEU
2. Anamnesis a. Terdapat lebih dari satu gejala (mengi, sesak, dada terasa berat) khususnya
pada dewasa muda
b. Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi dini hari
c. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan allergen, perubahan cuaca,
tertawa atau iritan seperti asap kendaraan, rokok ataubau yang sangat tajam
3. Pemeriksaan Fisik Abnormalitas yang paling sering ditemukan adalah mengi ekspirasi saat
pemeriksaan auskultasi, tetapi ini bisa saja hanya terdengar saat ekspirasi paksa.
Mengi dapat juga tidak terdengar selama eksaserbasi asma yang berat karena
penurunan aliran napas yang dikenal dengan “silent chest”.
5. Diagnosis Dyspneu
6. Diagnosis Banding a. Disfungsi pita suara
b. Hiperventilasi
c. Bronkiektasis
d. Kistik Fibrosis
e. Gagal Jantung
f. Defisiensi benda asing
9. Edukasi a. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk
penyakit, sifat penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk),
jenis dan mekanisme kerja obat-obatan dan mengetahui kapan harus meminta
pertolongan dokter.
b. Kontrol secara teratur antara lain untuk menilai dan monitor berat asma
secara berkala (asthma control test/ACT).
c. Pola hidup sehat.
d. Menjekaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan :
a) Menghindari setiap pencetus.
b) Menggunakan bronkodilator/steroid inhalasi sebelum melakukan exercise
untuk mencegah exercise induced asthma.
FEBRIS
1. Pengertian Febris atau yang lebih kita kenal demam merupakan peningkatan temperature suhu
tubuh diatas kisaran normal (36-37.5oC)
3. Pemeriksaan Fisik Karena febris merupakan gejala dari suatu penyakit diperlukan anamnesis yang
tajam dan terarah serta pemeriksaan fisik head to toe untuk menentukan penyakit
yang mendasari.
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis febris ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk
diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
5. Diagnosis Febris
6. Diagnosis Banding Infeksi
Penyakit kolagen
Keganasan
Penyakit metabolik
Kelainan dalam otak
Zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu
Tumor otak atau dehidrasi
9. Edukasi Menginformasikan kepada pasien untuk rutin memeriksakan diri tetutama jika
muncul keluhan lain atau demam tidak turun selama 3 hari, karena demam
merupakan gejala suatu penyakit yang mendasari, sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyakit yang mendasari.
10. Prognosis a. Ad sanasionam : bonam
b. Ad fungsionam : bonam
c. Ad vitam : bonam
FRAKTUR
1. Pengertian Terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik
yang bersifat total maupun parsial.
2. Anamnesis Dalam fraktur dapat dibagi menjadi fraktur terbuka dan tertutup
1. Adanya patah tulang terbuka/tertutup setelah terjadinya trauma
2. Nyeri
3. Sulit digerakkan
4. Deformitas
5. Bengkak
6. Perubahan warna
7. Gangguan sensibilitas
8. Kelemahan otot
Faktor Risiko
1. Direct Trauma (berupa benturan keras terhadap benda yang keras)
2. Osteoporosis
5. Diagnosis Fraktur
6. Diagnosis Banding 1. Fraktur et causa osteoporotic bone
2. Fraktur et causa keganasan
Penatalaksanaan
1. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan cara irigasi dengan NaCl
fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
2. Balut luka untuk menghentikan perdarahan, pada fraktur dengan tulang
menonjol keluar sedapat mungkin dihindarai memasukkan komponen
tulang tersebut kembali kedalam luka.
3. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.
4. Pemberian antibiotika: merupakan cara efektif mencegah terjadinya infeksi
pada fraktur terbuka. Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan dosis
yang besar. Untuk fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah
golongan cephalosporin, dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida.
5. Pencegahan tetanus: semua penderita dengan fraktur terbuka perlu
diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat
imunisasi aktif cukup dengan pemberian tetanus toksoid tapi bagi yang
belum , dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin.
6. Lakukan stabilisasi fraktur tertutup dengan bidai, waspadai adanya tanda-
tanda compartemen syndrome seperti edema, kulit yang mengkilat dan
adanya nyeri tekan.
Kriteria Rujukan
Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil dengan tetap mengawasi tanda
vital
9. Edukasi Memberikan pengertian kepada pasien dan keluarga tentang perjalanan penyakit
dan tata laksananya (medikamentosa dan fisioterapis), sehingga meningkatkan
kesadaran dan kepatuhan dalam berobat serta meningkatkan kualitas hidup pasien.
10. Prognosis Pada fraktur terbuka biasanya Dubia ad bonam, tergnatung pada kecepatan dan
ketepatan tindakan yang dilakukan.
PENURUNAN KESADARAN
1. Pengertian Sebuah kondisi medis yang mengacu pada situasi di mana seseorang tidak dapat
sepenuhnya terjaga atau menyadari lingkungan sekitarnya.
2. Anamnesis Pasien mengalami disorientasi waktu, tempat, dan orang. Biasanya
disebabkan oleh berbagai faktor seperti gangguan sistem saraf pusat, trauma,
hipoksia, infeksi, serta racun atau obat-obatan tertentu.
3. Pemeriksaan Fisik Kondisi ini dapat dinilai dari skor penilaian kesadaran atau dikenal dengan
Glasgow Coma Scale. Dimana dilakukan penilaian pada mata, verbal, dan
motorik. Selain itu dapat dilakukan Primary Survey berupa Airway,
Breathing, dan Circulation.
4. Kriteria Diagnosis a. Mata (Eye)
Membuka mata spontan 4
Membuka mata karena diajak berbicara/di panggil 3
Membuka mata karena diberi rangsangan nyeri 2
Tidak ada respon (mata menutup) 1
b. Perkataan (Verbal)
Orientasi baik dapat berbicara dengan lancar 5
Bingung 4
Kata-kata tidak sesuai 3
Suara tidak jelas (bergumam) 2
Tidak ada respon 1
c. Gerakan (Motorik
Mematuhi perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada respon 1
Pemeriksaan Vital Sign :
a. Pemeriksaan Tensi
b. Pemeriksaan Suhu
c. Pemeriksaan Nadi
d. Pemeriksaan Laju Nafas
e. Pemeriksaan Saturasi Oksigen
5. Diagnosis Penurunan Kesadaran
6. Diagnosis Banding Apatis (GCS 12-13)
Somnolen (GCS 10-11)
Delirium (GCS 9-7)
Stupor (Soporus Coma 4-6)
Koma (GCS 3)
Cidera Kepala Sedang/Berat
Stroke Non Hemoraghic
Stroke Hemoraghic
Meningoencepalitis
Fraktur Femoralis dengan active bleeding
7. Pemeriksaan Darah Lengkap
Penunjang Urin Lengkap
Feses Lengkap
Gula Darah Sewaktu dan atau Puasa
8. Terapi Pemberian oksigen via nasal canul dan sungkup jika indikasi pasien
mengalami desaturasi oksigen
Pemasangan Infus Kristaloid jika indikasi pasien mengalami
penurunan kesadaran
Pemberian terapi nebulizer jika terjadi takipnea dan desaturasi
9. Edukasi Pemberian informasi mengenai kondisi pasien, penyebab terjadinya, penanganan
yang telah diberikan, serta kemungkinan terburuk yang bisa
terjadi terhadap pasien.
10. Prognosis a. Ad sanasionam : bonam
b. Ad fungsionam : bonam
c. Ad vitam : bonam
1. Pengertian Stroke merupakan defisit neurologis fokal atau global yang terjadi mendadak,
berlangsung lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor-faktor vaskuler.
2. Anamnesis Kelemahan atau kelumpuhan salah satu sisi wajah, lengan, dan tungkai
(hemiparesis, hemiplegia)
Gangguan sensorik pada salah satu sisi wajah, lengan, dan tungkai
(hemihipestesi, hemianesthesi)
Gangguan bicara (disatria)
Gangguan berbahasa (afasia)
Gejala neurologik lainnya seperti jalan sempoyongan (ataxia), rasa berputar
(vertigo), kesulitan menelan (disfagia), melihat ganda (diplopia),
penyempitan lapang penglihatan (hemianopsia, kwadranopsia)
Catatan:
Kebanyakan penderita stroke mengalami lebih dari satu macam gejala diatas.
Terkadang pada beberapa penderita ditemukan gejala nyeri kepala, mual, muntah,
penurunan kesadaran, bahkan kejang.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan tanda vital berupa laju nafas, nadi, suhu, tekanan darah
lengan kanan dan kiri
2. Pemeriksaan jantung paru
3. Pemeriksaan bruitkarotis dan subklavia
4. Pemeriksaan abdomen
5. Pemeriksaan ekstremitas
6. Pemeriksaan neurologis
a. Pemeriksaan Glassgow Coma Scale (GCS)
b. Meningeal Sign (kaku kuduk, tanda Laseque, Kerning, dan
Brudzinski)
c. Saraf Kranialis terutama nervus VII, XII, IX/X, dan lainnya
d. Motorik berupa kekuatan, tonus, refleks fisiologis, reflek patologis
e. Sensorik
f. Tanda serebelar berupa dismetria, disdiadokokinesia, ataksi,
nistagmus
g. Pemeriksaan fungsi luhur, terutama fungsi kognitif (bahasa, memori)
h. Pada pasien penurunan kesadaran, perlu dilaksanakan refleks batang
otak:
Pola pernafasan: Cheyne-Stokes, hiperventilasi neurogenik
sentral, apneustik, ataksia
Refleks cahaya (pupil)
Refleks kornea
Refleks muntah
Refleks okulo-sefalik (doll’s eyes phenomenon)
4. Kriteria Diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Cara skoring ROSIER
(Recognition of Stroke in Emergency Room)
Kriteria rujukan
Semua pasien stroke setelah ditegakkan diagnosis secara klinis dan diberikan
penangan awal, segera mungkin harus dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf, terkait dengan angka kecacatan dan
kematian yang tinggi. Dalam hal ini, perhatian terhadap theraupetic window untuk
penatalaksanaan stroke akut sangat
diutamakan.
9. Edukasi 1. Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya agar tidak terjadi
kekambuhan atau serangan stroke ulang.
2. Jika terjadi serangan stroke ulang, harus segera mendapat
pertolongan segera.
3. Mengawasi agar pasien teratur minum obat.
4. Membantu pasien menghindari faktor resiko.
10. Prognosis Prognosis adalah dubia, tergantung luas dan letak lesi. Untuk stroke hemoragik
sebagian besar dubia ad malam. Penanganan yang lambat berakibat angka kecacatan
dan kematian tinggi.
ASMA
2. Anamnesis 1. Terdapat lebih dari satu gejala (mengi, sesak, dada terasa berat) khususnya
pada dewasa muda
2. Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi dini hari
3.Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya
4.Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan allergen, perubahan cuaca,
tertawa atau iritan seperti asap kendaraan, rokok atau bau yang
sangat tajam
3. Pemeriksaan Fisik Abnormalitas yang paling sering ditemukan adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan
auskultasi, tetapi ini bisa saja hanya terdengar saat ekspirasi
paksa. Mengi dapat juga tidak terddengan selama eksaserbasi asma yang berat
karena penurunan aliran napas yang dikenal dengan “silent chest
4. Kriteria Diagnosis Berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) 2010, adanya tanda dan gejala
berikut ini meningkatkan kemungkinan diagnosis asma, antara lain : Wheezing
(suara napas mengi).
Riwayat salah satu dari hal berikut : batuk yang bertambah terutama malam hari,
mengi berulang, kesulitan bernapas yang berulang.
Gejala timbul atau memburuk pada malam hari sehingga pasien terbangun dari
tidur.
Gejala timbul atau memburuk pada musim musim tertentu.
Pasien memiliki riwayat ekzema atau riwayat keluarga dengan asma atau
dermatitis atopi
Gejala timbul atau memburuk dengan adanya:
1.Hewan berbulu.
2.Kimia aerosol.
3.Perubahan temperatur.
4.Obat-obatan (aspirin, penyekat betha).
5.Latihan atau olah raga.
6. Serbuk.
7. Infeksi (virus) saluran napas.
8.Asap.
9.Stress emosi.
Gejala berkurang dengan pemberian terapi asma.
5. Diagnosis Asma Bronkiale
6. Diagnosis Banding 1. PPOK (Bronkitis kronis, Bronkiektasis)
2. Gagal Jantung
3. Bronkopneumonia
4. Bronkiolitis
7. Pemeriksaan 1. Foto toraks
Penunjang 2. Darah Rutin.
3. Eosinofil sputum
4. Skin prick test.
5. Uji bronchodilator atas indikasi (peningkatan Forced Expiratory Volume 1
(FEV 1) ≥ 12%)
6. Uji provokasi bronkus atas indikasi.
7. AGD (analisa gas darah) atas indikasi.
8. Terapi Terapi Konservatif :
1. Tirah baring
2. Oksigen
Terapi Farmakologi :
1. Inhalasi agonis beta-2 tiap 20 menit sampai 3 kali. (Salbutamol, Combivent,
Theobron, Ventolin, Bricasma)
2. Inhalasi antikolinergik tiap 4-6 jam dapat diberikan bersama dengan agonis
beta-2. (Combivent)
3. Kortikosteroid oral atau parenteral sampai 40-60 mg/hari. (Prednison,
Pehacort, Methylprednisolon, Sanexon, Medixon, Intidrol)
4. Observasi 1-3 jam, bila baik pulang dengan pengobatan 3-5 hari, bila tidak
membaik pasien dirawat di Rumah Sakit dengan resiko tinggi.
5. Antibiotik bila ada indikasi
6. Gunakan skema pengobatan berdasarkan GINA 2010
c. Tindakan Operatif : -
d. Konsultasi : Bedah bila ada indikasi (Pneumothorax)
e. Lama Perawatan :
3 hari
9. Edukasi 1. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai penyakit Asma
2. Kontrol secara teratur antara lain untuk menilai dan monitor berat asma secara
berkala (Asthma Control Test)
3. Pola hidup sehat
4. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan:
- Menghindari setiap pencetus
- Menggunakan bronkodilator/steroid inhalasi sebelum melakukan exercise
untuk mencegah exercise induced asthma
DISPEPSIA
1. Pengertian Dispepsia adalah rasa tidak nyaman di ulu hati karena proses inflamasi pada
lapisan mukosa dan submukosa lambung sebagai mekanisme
proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi bakteri atau bahan iritan lain. Proses
inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal
2. Anamnesis Rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut bagian atas. Keluhan mereda
atau memburuk bila diikuti dengan makan, mual, muntah dan
kembung.
3. Pemeriksaan Fisik Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat.
Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat ditemukan pendarahan saluran
cerna berupa hematemesis dan melena.
Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak
anemis.
4. Kriteria Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk
Diagnosis diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
5. Diagnosis Dispepsia
6. Diagnosis Banding Kolesistitis
Kolelitiasis
Chron disease
Kanker lambung
Gastroenteritis
Limfoma
Ulkus peptikum
Sarkoidosis
GERD
7. Pemeriksaan Tidak diperlukan
Penunjang
8. Terapi Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain:
H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/kali, Famotidin 20 mg/kali,
Simetidin 400-800 mg/kali)
PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, Lansoprazol 30 mg/kali)
Antasida dosis 3 x 500- 1000 mg/hari.
9. Edukasi Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari pemicu terjadinya keluhan,
antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil dan hindari
dari makanan yang meningkatkan asam lambung atau
perut kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam Ad
fumgsionam : dubia ad bonam
11. Refrensi Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1186/2022
tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama
PANDUAN PRAKTIK KLINIS
FEBRIS
1. Pengertian Febris atau yang lebih kita kenal demam merupakan peningkatan temperature suhu
tubuh diatas kisaran normal (36-37.5oC)
2. Anamnesis 1. Suhu lebih tinggi 37.5oC-40oC
2. Tekanan darah normal atau hipotensi
3. Nadi meningkat > 100 x /menit
4. Kulit kemerahan
5. Hangat pada sentuhan
6. Peningkatan frekuensi pernafasan
7. Menggigil
8. Dehidrasi
9. Kelemahan
3. Pemeriksaan Fisik Karena febris merupakan gejala dari suatu penyakit diperlukan anamnesis yang
tajam dan terarah serta pemeriksaan fisik head to toe untuk
menentukan penyakit yang mendasari.
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis febris ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk
diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
5. Diagnosis Febris
6. Diagnosis Banding 1.Infeksi 2.Penyakit
kolagen
3.Keganasan
4. Penyakit metabolik
5. Kelainan dalam otak
6. Zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu
7. Tumor otak atau dehidrasi
7. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan DL dan UL
Penunjang 2. Pemeriksaan foto abdomen
3. Pemeriksaan USG
4. CT Scan / MRI Abdomen
8. Terapi Obat-obatan antipiretik
a. Berikan Paracetamol dosis 10-15 mg/KgBB, 3 kali sehari atau sesuai dosis
dokter
b. Berikan cairan parenteral jika diperlukan
Secara Fisik
a. Observasi suhu tubuh secara berkala setiap 4-6 jam
b. Gunakan pakaian yang tipis
c. Jangan gunakan selimut tebal
d. Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan
e. Berikan minum 2-3 L/ hari
f. Istirahat yang cukup
g. Kompres dengan air biasa atau hangat (suam-suam kuku pada dahi, ketiak,
lipatan paha)
9. Edukasi Menginformasikan kepada pasien untuk rutin memeriksakan diri tetutama jika
muncul keluhan lain atau demam tidak turun selama 3 hari, karena demam
merupakan gejala suatu penyakit yang mendasari, sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyakit yang
mendasari.
10. Prognosis Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi, dan
pengobatannya.
GASTRITIS
1. Pengertian Gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung
sebagai mekanisme proteksi mukosa apabila terdapat akumulasi
bakteri atau bahan iritan lain. Proses inflamasi dapat bersifat akut, kronis, difus,
atau lokal.
2. Anamnesis Pasien datang berobat karena rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut
bagian atas. Keluhan mereda atau memburuk bila diikuti dengan makan, mual,
muntah dan kembung.
Faktor Risiko
1. Pola makan yang tidak baik: waktu makan terlambat, jenis makanan pedas, porsi
makan yang besar
2. Sering minum kopi dan teh
3.Infeksi bakteri atau parasit
4.Pengunaan obat analgetik dan steroid
5.Usia lanjut
6.Alkoholisme
7.Stress
8.Penyakit lainnya, seperti: penyakit refluks empedu, penyakit autoimun,
HIV/AIDS, Chron disease
3. Pemeriksaan Fisik 1. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat.
2. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat ditemukan pendarahan saluran cerna
berupa hematemesis dan melena.
3. Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva tampak anemis.
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Untuk
diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
5. Diagnosis Gastritis
6. Diagnosis Banding 1.Kolesistitis
2.Kolelitiasis
3.Chron disease
4.Kanker lambung
5.Gastroenteritis
6.Limfoma 7.Ulkus
peptikum
8.Sarkoidosis
9.GERD
7. Pemeriksaan Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis dengan melakukan
Penunjang pemeriksaan:
1. Darah rutin.
2. Untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori: pemeriksaan Ureabreath test dan
feses. Rontgen dengan barium enema
3. Endoskopi
8. Terapi Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain:
1. H2 Bloker 2x/hari (Ranitidin 150 mg/ kali, Famotidin 20 mg/kali, Simetidin 400-
800 mg/kali) atau PPI 2x/hari (Omeprazol 20 mg/kali, Lansoprazol 30 mg/kali),
2. Antasida dosis 3 x 500-1000 mg/hari.
KRISIS HIPERTENSI
1. Pengertian .
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas
pengobatan, sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg,
disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut .
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran.
KOLIK ABDOMEN
1. Pengertian Rasa nyeri pada abdomen yang sifatnyahilang timbul dan bersumber dari
organberongga yang terdapat di dalamnya.
2. Anamnesis 1. Onset dan durasi
2. Letaknya (menetap atau berpindah)
3. Seberapa parah dan sifatnya (sepertiditusuk,terbakar atau irisan)
4.Hubungan dengan makan dan buang air besar-
5.Apakah disertai muntah? demam?- 6.Faktor
pemicu termasuk alkohol, trauma 7.Adakah
riwayat gastritis/dispepsia
9. Edukasi Menginformasikan kepada pasien untuk rutin memeriksaan diri, karena kolik
abdomen merupakan gejala suatu penyakit yang mendasari, sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyakit yang mendasari.
10. Prognosis Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, komplikasi, dan
pengobatannya.
PNEUMONIA
5. Diagnosis Pneumonia
6. Diagnosis Banding 1. Bronkiolitis
2. Payah jantung
3. Aspirasi benda asing
4. Abses paru
7. Pemeriksaan 1.Pewarnaan gram
Penunjang 2.Pemeriksaan lekosit
3. Pemeriksaan foto toraks jika fasilitas tersedia
4. Kultur sputum jika fasilitas tersedia
5.Kultur darah jika fasilitas tersedia
10. Prognosis Prognosis tergantung pada beratnya penyakit dan ketepatan penanganan.
VULNUS APPERTUM
1. Pengertian Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan, dapat ditimbulkan oleh berbagai macam
akibat yaitu trauma yang menyebabkan luka terbuka
2. Anamnesis Terjadi trauma, ada jejas, luka terbuka yang dapat disertai memar atau tidak
3. Pemeriksaan Fisik Inspeksi: adanya kerusakan jaringan didaerah trauma, ada perdarahan, edema
sekitar area trauma, melepuh, kulit warna kemerahan sampai kehitaman.
Palpasi: nyeri tekan, atau anestesi.
VULNUS ICTUM
1. Pengertian Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan, yang disebabkan oleh tertusuk benda
yang runcing, lukanya kecil, dasar sukar dilihat yang masuk kedalam kulit
9. Edukasi 1. Edukasi dan promosi kesehatan luka terkait cara perawatan luka dan
pencegahan komplikasi.
2. Minta pasien untuk tidak menggaruk luka atau menyentuh bagian luka
dengan tangan yang kotor.
3. Sampaikan untuk jaga kebersihan luka dan kontrol dengan teratur
10. Prognosis Tergantung dari luas, kedalaman dan penyebab dari trauma, serta kebersiham luka.
VULNUS MORSUM
1. Pengertian Keadaan terjadinya diskontinuitas jaringan, dapat ditimbulkan oleh berbagai macam
akibat gigitan hewan atau manusia.
2. Anamnesis Terjadi trauma, ada jejas, luka terbuka yang disebabkan oleh gigitan hewan atau
manusia
3. Pemeriksaan Fisik Inspeksi: adanya kerusakan jaringan didaerah trauma, ada perdarahan, edema sekitar
area trauma, kulit warna kemerahan sampai kehitaman.
Palpasi: nyeri tekan, atau anestesi.
4. Kriteria Diagnosis Adanyan riwayat luka karena gigitan hewan
1.Gejala Lokal
a.Nyeri terjadi karena kerusakan ujung- ujung saraf sensoris.
Intensitas atau derajat rasa nyeri berbeda-beda tergantung pada berat/ luas kerusakan
ujung-ujung saraf dan lokasi luka.
b.Perdarahan, hebatnya perdarahan tergantung pada lokasi luka, jenis pembuluh
darah yang rusak.
c.Diastase yaitu luka yang menganga atau tepinya saling melebar d.Gangguan fungsi,
fungsi anggota badan akan terganggu baik oleh karena rasa nyeri atau kerusakan
tendon.
2.Gejala umum
Gejala/tanda umum pada perlukaan dapat terjadi akibat penyulit/komplikasi yang
terjadi seperti syok akibat nyeri dan atau perdarahan yang hebat.
Pada kasus vulnus diagnosis pertama dilakukan secara teliti untuk memastikan
apakah ada pendarahan yang harus dihentikan. Kemudian ditentukan jenis trauma
apakah trauma tajam atau trauma tumpul, banyaknya kematian jaringan, besarnya
kontaminasi dan berat jaringan
luka.
5. Diagnosis Vulnus Morsum
6. Diagnosis Banding 1.Vulnus Punctum (Luka Tusuk) 2.Vulnus
Scissum/Insivum (Luka Sayat) 3.Vulnus
Schlopetorum (Luka Tembak) 4.Vulnus
Apertum (Luka Terbuka) 5.Vulnus
Perforatum (Luka Tembus) 6.Vulnus
Laceratum (Laserasi/Robek) 7.Vulnus
Excoriasi (Luka Lecet) 8.Vulnus
Contussum (Luka Kontusio)
9.Vulnus Combustion (Luka Bakar)
7. Pemeriksaan -
Penunjang
8. Terapi 1. Pencucian luka dengan menggunakan sabun merupakan hal yang sangat penting
dan harus segera dilakukan setelah terjadi pajanan (jilatan, cakaran atau gigitan)
terhadap riwayat gigitan hewan, untuk membunuh virus rabies yang berada sekitar
luka gigitan. Pencucian luka dilakukan sesegera mungkin dengan sabun dibawah air
mengalir selama kurang lebih 15 menit
2. Pemberian Antiseptik
Setelah dilakukan pencucian luka sebaiknya diberikan antiseptik untuk membunuh
virus rabies yang masih tersisa di sekitar luka gigitan. Antiseptik yang dapat
diberikan diantaranya povidon iodine, alkohol 70%, dan zat antiseptik lainnya.
3. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) Dan Serum Anti Rabies (SAR) Tujuan
pemberian vaksin anti rabies adalah untuk membangkitkan sistem imunitas
dalam tubuh terhadap virus rabies dan diharapkan antibodi yang
terbentuk akan menetralisasi virus rabies
Tatacara Pemberian VAR:
Jika Pasien sebelumnya pernah mendapatkan VAR dan saat ini kembali digigit
maka :