Anda di halaman 1dari 10

Nama : Faiza Khairunnisa

NIM : 04011282126108
Kelas : Alpha 2021
Kelompok : A3

Hasil Laporan Belajar Mandiri


PNEUMONIA

a. Diagnosis

Pemeriksaan Pneumonia Balita

- Anamnesis
Demam tinggi, batuk, gelisah, pusing, dan sesak napas adalah gejala umum. Pada bayi,
gejalanya tidak biasa dan sering tidak disertai demam. Sakit kepala dan diare dengan muntah
adalah keluhan umum di antara anak-anak. Anak-anak dengan riwayat batuk dan/atau
kesulitan bernapas selama kurang dari 14 hari, dengan atau tanpa gejala peringatan, lebih
mungkin menderita pneumonia.
- Pemeriksaan Fisik
Ketika anak itu tenang dan tidak menangis, pemeriksaan fisik paling efektif. Periksa dada
untuk melihat apakah ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK) dan
menghitung laju pernapasan. Lakukan pemeriksaan fisik susuai pedoman dari Depkes, yaitu:

1)Pemeriksaan Umum

a) Pemeriksaan kesadaran anak,


b) Pemeriksaan suhu tubuh anak,
c) Pengukuran berat badan dan tinggi badan anak,
d) Melihat apakah anak masih bisa minum,
e) Penentuan status nutrisi anak,
f) Pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oxymetri, dan
g) Pemeriksaan laju napas: menghitung frekuensi napas dengan cara mengamati selama 60 detik
atau 1 menit ketika anak dalam keadaan tidur, tenang atau sedang minum ASI.
Tabel 2.3. Batas Napas Cepat Sesuai Golongan Umur
2) Pemeriksaan Khusus
a) Napas cuping hidung,
b) Tanda kesukaran bernapas seperti merintih (grunting),
c) Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK),
d) Terdapat anggukan kepala (head nodding) pada anak,
e) Perubahan warna biru dilihat dari lidah,
f) Adanya kemungkinan tekanan vena jugularis yang meningkat, pada kecurigaan gagal jantung,
g) Suara pernapasan dengan frekuensi yang tinggi dan nyaring dalam keadaan istirahat,
h) Pergeseran trakea dari garis tengah: mediastinum menunjukkan gejala cairan atau udara di satu
sisi karena efusi pleura, empiema, atau pneumotoraks.
i) Napas dalam menunjukkan adanya pernapasan cepat, dan
j) Pada auskultasi: biasanya terdengar krepitasi, ronki basah halus (fine crackles), suara napas
bronkial atau mengi (wheezing).

3) Pemeriksaan Penunjang

a) Pulse oxymetri untuk melihat indikasi pemberian oksigen,


b) Foto toraks untuk membantu mengkonfirmasi diagnosis pneumonia, menyingkirkan kondisi
lain seperti gagal jantung, dan mengidentifikasi adanya komplikasi,
c) Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan hitung sel daerah putih. Pada pasien
pneumonia, jumlah leukosit dapat melebihi batas normal (10.000/mikroliter),
d) Pemeriksaan mikroskopis pada kuman atau kultur kuman, dan
e) Pengambilan sputum/ dahak untuk biakan dan uji resistensi bakterinya untuk mengidentifikasi
mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia.

b. Diagnosis Banding

1. Tuberculosis Paru (TB), adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M.
tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran
pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri
dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang
nafsu makan dan penurunan berat badan.
2. Atelektasis, adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan
arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps.

3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran
pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau bronkitis kronis. COPD lebih sering menyerang laki-
laki dan sering berakibat fatal. COPD juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga
ada faktor yang dirurunkan.

4. Bronkhitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru). Penyakit bronchitis
biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang
memiliki penyakit menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan pada usia lanjut,
bronchitis bisa bersifat serius.

5. Asma bronkhiale, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran pernapasan, sehingga
pasien yang mengalami keluhan sesak napas/kesulitan bernapas. Tingkat keparahan asma ditentukan
dengan mengukur kemampuan paru dalam menyimpan oksigen. Makin sedikit oksigen yang
tersimpan berarti semakin buruk kondisi asma.

c. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada pneumonia yang menyerang anak adalah:
1. Bakteremia (sepsis) jika bakteri yang menginfeksi paru masuk ke dalam aliran darah dan
menyebarkan infeksi ke organ lain
2. Pneumatokel yang disebabkan infeksi Stafilokokus
3. Komplikasi akibat pneumonia mikoplasma termasuk efusi pleura dan komplikasi ekstrapulmonal
termasuk radang sendi, meningitis, dan ruam dan mucositis yang diinduksi Mycoplasma (MIRM)
4. PneumoThoraks
5. Efusi pleura
6. Empiema
7. Abses

d. Tatalaksana
Prinsip dasar tatalaksana pneumonia anak adalah eliminasi mikroorganisme penyebab dengan
antibiotik yang sesuai disertai dengan tatalaksana supportif lainnya. Tata laksana supportif meliputi
terapi oksigen, pemberian cairan intravena dan koreksi gangguan elektrolit pada dehidrasi serta
pemberian antipiretik untuk demam. Obat penekan batuk tidak dianjurkan. Komplikasi yang mungkin
terjadi harus ditangani secara adekuat selama masa perawatan.
Pneumonia pada anak tidak harus selalu dirawat inap. Pneumonia diindikasikan untuk rawat
inap apabila dijumpai pada anak usia 3-6 bulan, adanya distress pernapasan (retraksi, nafas cuping
hidung), takipneu sesuai usia, saturasi oksigen <92%, anak tidak mau makan/minum serta terdapat
tanda adanya dehidrasi. Tingkat sosial ekonomi keluarga serta ketidakmampuan keluarga merawat
anak di rumah juga menjadi pertimbangan anak dirawat inap.

e. Pencegahan
Pencegahan pneumonia selain dengan menghindarkan atau mengurangi faktor risiko dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu dengan pendidikan kesehatan di komunitas, perbaikan
gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan pedoman diagnosis dan pengobatan
pneumonia, penggunaan antibiotika yang benar dan efektif, dan waktu untuk merujuk yang tepat dan
segera bagi kasus yang pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI eksklusif dan
asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan polusi udara didalam ruangan dapat
pula mengurangi faktor risiko. Penelitian terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat
mengurangi kejadian pneumonia.
Usaha untuk mencegah pneumonia ada 2 menurut Kementerian Kesehatan RI, yaitu:

a. Pencegahan Non spesifik, yaitu:

1) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi


2) Lingkungan yang bersih, bebas polusi

b. Pencegahan Spesifik

1) Cegah BBLR
2) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang
3) Berikan imunisasi

f. Prognosis
Prognosis pneumonia pada umumnya baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab
dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Pneumonia virus cenderung sembuh tanpa
pengobatan. Gejala sisa jangka panjang jarang terjadi. Namun, baik pneumonia stafilokokus dan
varisela diperlukan adanya pemantauan pada anak-anak. Perawatan yang baik dan intensif sangat
mempengaruhi prognosis penyakit penderita yang dirawat.

g. SKDI
Tingkat Kemampuan 4: Lulusan dokter mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara mandiri dan tuntas. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang, serta mengusulkan penatalaksanaan
penyakit atau melakukan penatalaksanaan penyakit secara mandiri sesuai tugas klinik yang
dipercayakan (entrustable professional activity) pada saat pendidikan dan pada saat penilaian
kemampuan.

Analisis Masalah
1. Apa tatalaksana awal untuk pasien S?
Terapi Oksigen
a. Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
b. Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen
(Berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang cukup). Lakukan
periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila
saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna
c. Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal. Penggunaan nasal prongs adalah
metode terbaik untuk menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala
tidak direkomendasikan. Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap waktu. Perbandingan
terhadap berbagai metode pemberian oksigen yang berbeda dan diagram yang menunjukkan
penggunaannya.
d. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak ditemukan lagi.

2. Bagaimana mekanisme pilek disertai demam sejak 2 hari yang lalu?


Pilek terjadi Infeksi karena paparan patogen meningkatkan sekresi mucus di saluran pernapasan
terutama mukosa nasal sehingga menimbulkan gejala pilek. Demam muncul saat mikroorganisme
masuk ke alveoli makrofag akan datang dan mengaktivasi sitokin-sitokin termasuk TNF α dan IL-1
yang menyebabkan terjadinya respon demam. Sitokin juga menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas vaskular sehingga plasma yang berasal dari pembuluh darah masuk ke alveoli.

3. Apa saja kemungkinan faktor resiko dari keluhan yang dialami S?


Faktor Resiko sesuai dari skenario adalah :

1)Status Imunisasi

Status imunisasi adalah kondisi yang menggambarkan kelengkapan lima jenis imunisasi dasar
yang diwajibkan untuk balita. Imunisasi tersebut terdiri atas imunisasi BCG, DPT, Polio, Hepatitis B,
dan Campak. Status imunisasi balita yang tidak lengkap dapat meningkatkan risiko terkena
pneumonia sebesar 2,769 kali. Vaksin DPT-HB-HIB adalah suatu vaksin kombinasi yang
mengandung lima jenis vaksin dari difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, dan Haemophilus influenzae
type B dan Bakteri Haemophilus influenzae type B (HIB) sebagai penyebab pneumonia pada anak.
Imunisasi memiliki keuntungan mencegah beberapa penyakit menular dan mengurangi penyebaran
infeksi. (Sugihartono and Nurjazuli, 2018).
Ketika vaksinasi terjadi, sistem pertahanan humoral dan seluler membuat molekul yang
dikenal sebagai imunoglobulin (IgA, IgM, IgG, IgE, dan IgD), dan sistem pertahanan seluler terdiri
dari limfosit B dan limfosit T, serta pembentukan sel memori. Imunisasi merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kekebalan pada anak dengan cara menyuntikkan vaksin ke dalam tubuh, yang
menyebabkan tubuh memproduksi antibodi untuk menghindari penyakit tertentu (Supriandi and
Mansyah, 2018).

2) Riwayat Pemberian ASI Eksklusif

ASI memiliki sifat anti infeksi seperti sterilitas, antibodi maternal atau immunoglobulin (Ig)
A, laktoferin, lisozim, interferon, dan mendukung kolonisasi laktobasilus serta bifidobakter. ASI hari
pertama sampai hari ketiga mengandung kolostrum, yang dianggap sebagai “imunisasi” pertama yang
diterima bayi saat lahir karena mengandung protein untuk sistem kekebalan tubuh yang berfungsi
untuk membunuh kuman. Balita yang tidak mendapatkan ASI secara eksklusif memiliki resiko 4,429
kali lebih besar terkena pneumonia (Siregar et al., 2017).
Penelitian di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan anak-anak yang diberi ASI eksklusif
menjadi jarang sakit daripada anak yang tidak disusui. Kematian pneumonia tertinggi pada rentang
usia 0–5 bulan karena tidak diberikan ASI eksklusif (Sutriana et al., 2021).

3) Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga

Merokok di rumah meningkatkan risiko pneumonia pada anak di bawah usia lima tahun
sebesar 3.619 kali. Asap rokok mencakup sekitar 4.000 komponen, setidaknya 200 di antaranya telah
dibuktikan merugikan kesehatan. Racun dalam rokok termasuk tar, nikotin, dan karbon monoksida.
Kehadiran perokok di rumah dapat membuat anggota keluarga lainnya terpapar lebih banyak asap
rokok. Uap beracun dapat mengiritasi sistem pernapasan jika terhirup.
Anggota keluarga yang merokok lebih cenderung merokok di luar rumah daripada di dalam,
namun hal ini tetap dapat membahayakan kesehatan balita karena ketika perokok masuk ke dalam
rumah, asap rokok menempel pada pakaian dan dapat terhirup oleh anak.
4) Usia
Usia merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia. Anak-anak
berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibanding anak-anak berusia di atas 2
tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan saluran pernapasan yang relatif sempit.

5) Jenis kelamin
Anak laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya pneumonia. Hal ini
disebabkan diameter saluran pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak
perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh anak laki-laki dan perempuan.

4. Apa akibat dari anak yang tidak mendapatkan imunisasi dan ASI eksklusif?

Pemberian imunisasi lengkap pada anak bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan,
kecacatan, dan kematian bayi akibat berbagai penyakit, termasuk Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I). Jika anak tidak diberi imunisasi lengkap, maka ia akan memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami terkena penyakit, seperti Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I) bahkan bisa mengalami kecacatan dan kematian. Pasien pada kasus ini juga tidak
mendapatkan ASI eksklusif, hal ini tentunya berpengaruh terhadap pembentukan sistem imunnya.
Bayi baru lahir secara alamiah mendapat imunoglobulin dari ibunya melalui plasenta. Namun, kadar
zat ini akan cepat sekali menurun segera setelah bayi lahir. Tubuh bayi sendiri baru membuat zat
kekebalan cukup banyak sehingga mencapai kadar protektif pada saat berusia sekitar 9-12 bulan.
Maka, diperlukan pemberian ASI karena kandungan dalam ASI yang diminum bayi selama pemberian
ASI Eksklusif dapat mencukupi kebutuhan bayi dan sesuai dengan kondisi kesehatan bayi. Tidak
diberikannya ASI Eksklusif pada pasien menyebabkan sistem imunnya tidak berkembang sebaik
anak-anak yang mendapat ASI Eksklusif, hal ini menyebabkan pasien lebih mudah terinfeksi
penyakit-penyakit yang sering menyerang anak-anak, dalam hal ini adalah pneumonia.
Kerangka Konsep
Daftar Pustaka

Astika, N., KGER, S. P., Gozali, T. O., & Fahlevie, A. PPOK EKSASERBASI AKUT EC
COMMUNITY AQUIRED PNEUMONIA PSI CLASS III.

Konsil Kedokteran Indonesia . 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia, 1–90.

Gupta, R. A. (2019). HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK ORANG TUA DENGAN KEJADIAN


PNEUMONIA PADA BALITA DI RSUD WANGAYA TAHUN 2019 (Doctoral dissertation, Politeknik
Kesehatan Kemenkes Denpasar Jurusan Keperawatan).

NADA, K. I. (2022). HUBUNGAN FAKTOR PEJAMU (HOST) TERHADAP KEJADIAN


PNEUMONIA PADA BALITA USIA 12-59 BULAN DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS
RAWA TEMBAGA KOTA BEKASI (Doctoral dissertation, Universitas Siliwangi).

Anda mungkin juga menyukai