KEDOKTERAN INDUSTRI
CSSD
RSI SITI AISYAH MADIUN
Disusun Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
201 9
STATUS KEDOKTERAN INDUSTRI
A. Identitas
2
3. Pengeringan Doek - 1 pasang Mengelap bagian- Benda tajam
handscoen bagian alat dengan seperti
bahan nitril menggunakan doek gunting
- Gaun hingga kering
pelindung
(baju dalam
CSSD)
- Apron
- Masker
3
bunyi mendesis)
dan tekanan dalam
autoclave akan naik
dan dapat dibaca
pada alat pengukur
suhu
8. Mempertahankan
tekanan pada suhu
121°-126º C,
dengan cara
mengurangi
mengurangi
pemanasan untuk
mempertahankan
tekanan dan suhu
pada alat penunjuk
suhu dan tekanan
9. Menyeterilkan
peralatan dengan
cara
mempertahankan
tekanan pada suhu
121°C-126ºC
selama 1½ jam
2. Lingkungan Kerja
4
pelabelan, R. Namun petugas menunjukkan jam shift (I :
sterilisasi, R. menggunakan sudah 07.00-14.00
Penyimpanan APD (baju OK tersterilisasi & II : 14.00-
alat steril on, handscoon dengan baik 19.00)
- semua tempat on dan apron atau belum. dengan jam
menggunakan saat mengambil - petugas pengiriman
AC central, dan alat) yang berhak 2 shift (I
sejak di R. masuk ke :07.00-07.30
sterilisasi dan R. - setelah dalam ruang & II : 10.00-
Penyimpanan dekontaminasi, sterilisasi 10.30)
menggunakan pencucian hanya yang Dan jam
exhouse fan menggunakan menggunakan pengambilan
air yang baju OK, dan 2 shift (I :
mengalir, petugas yang 08.00-09.00
petugas belum memasuki R. & II: 11.00-
menggunakan Penyimpanan 12.00) sudah
kacamata alat steril sangat
pelindung harus mengurangi
karena risiko menggunakan beban kerja
terciprat bahan baju OK pegawai
kimia tersebut. khusus sekaligus
menertibkan
jadwal bagi
pekerja
lainnya.
3. Karyawan
Juml. Rata-
Status
Populasi rata Penanganan
No. Unit kerja Kesehat Resiko Kesehatan
L P Lama Resiko
an
kerja
1. Petugas - 2 7 jam Normal - Dermatitis Kontak Ada asuransi jika
CSSD Iritan karena bahan terjadi kecelakaan
dari handscone dan kerja
handrub yang di
pakai
- Low Back Pain
karena
memindahkan set
alat dari autoclave
ke ruang
penyimpanan alat
steril.
5
- Kecelakaan kerja
saat melakukan
dekontaminasi alat
resiko tertular
penyakit menular
(HIV,HepatitisB).
4.Sistem Manajemen
Problem K3 Kebijakan
No. Komponen
Internal Eksternal Manajemen
1 Proses Dalam proses - Berdasarkan SOP - Melakukan
Industri/Kerja industri kerja, RSI-SA/01/SPO. penyuluhan
petugas tidak KPPI/I/X1/2018 tentang
menggunakan sebelum pentingnya
penutup melakukan pemakaian
kepala (cap) tindakan dan APD secara
dalam rangka lengkap dan
melindungi benar
seseorang dalam
pekerjaannya
maka salah
satunya petugas
harus
menggunakan
topi karena
memungkinkan
pemakainya
terpercik bahan-
bahan kimia yang
ada
LingkunganKerja LingkunganKerja
Lingkungan - Setelah Penggunaan Lingkungan
kimia dekontaminasi, kacamata google kimia
pencucian dianggap penting,
menggunakan karena selain
air yang terciprat bahan
mengalir, kimia, juga
petugas belum berisiko mengusap
menggunakan mata saat hanya
kacamata terciprat air saja
pelindung dengan tangan
karena risiko atau pundak yang
terciprat bahan juga bisa sudah
6
kimia tersebut. terkena linen luar
bekas cairan tubuh
pasien.
- Sebagian Menambah
besar jumlah kursi
pekerjaan atau memberi
dilakukan ruang istirahat
dengan dengan yang
berdiri berbahan
empuk yang
digunakan
pekerja untuk
beristirahat
3 Karyawan - Resiko Promotif
terjadinya - Memberikan
penyakit edukasi dan
saat pelatihan
proses petugas
kerja : mengenai
Myalgia, pentingnya
Dermatiti universal
s Kontak precaution
Iritan, adalah alat
Hepatitis pelindung diri
B, HIV (APD) dan
- Jumlah juga
karyawan pentingnya
yang mengetahui
kurang cara yang
(hanya 2 benar
orang) mengangkat
barang untuk
7
menghindari
terjadinya
LBP.
Preventif
- Penggunaan
alat pelindung
diri (APD)
yang sesuai
dengan standar
- Pemberian
vaksin pada
petugas dan
pengecekan
kesehatan
secara berkala
- Mempraktekka
n cara
mengangkan
barang yang
benar.
Kuratif
Memberi
pengobatan secara
menyeluruh sesuai
hasil pemeriksaan.
Rehabilitasi
Rehabilitasi dini
untuk
memperbaiki
kualitas hidup
pekerja agar
pekerjaan yang
dihasilkan lebih
efektif.
8
5. Regulasi/Undang-Undang
Tujuan dari pemakaian APD adalah agar tidak terjadi infeksi silang dari
1. Baca basmallah
rambut
4. Pakai apron
5. Pakai Masker
9
- Genggamlah respirator/masker dengan satu tangan,
tangan
infeksius)
mata
10
7. Sepatu pelindung
- Pakai sandal atau sepatu yang terbuat dari bahan lunak dan
kaki.
b. Nasional
atau fisika.
11
2009 menyebutkan bahwa pusat sterilisasi merupakan salah satu mata
rantai yang penting untuk pengendalian infeksi dan berperan dalam upaya
alat-alat bersih dan steril untuk keperluan perawatan pasien di rumah sakit.
ruangan yang memenuhi syarat, suplai listrik, uap yang dihasilkan dari
terdapat moda transportasi dari dan ke CSSD yang memiliki jalur terpisah
12
Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi (Central Sterile Supply
2009 menyebutkan bahwa desain ruang pusat sterilisasi terdiri dari ruang
bersih dan ruang kotor yang dibuat sedemikian rupa untuk menghindari
terjadinya kontaminsai silang dari ruang kotor ke ruang bersih. Selain itu
2009 alur kerja pada CSSD digambarkan dengan gambar berikut ini :
13
II. OCCUPATIONAL DIAGNOSIS (DIAGNOSIS KESEHATAN
KERJA)
OCCUPATIONAL DISEASE /
JENIS PENYAKIT OCCUPATIONAL RELATED DISEASE
HIV Occupational Related Disease
HEPATITIS B, C Occupational Related Disease
NIHL Occupational Disease
Dermatitis Kontak Iritan Occupational Disease
LBP Occupational Disease
Dermatitis Kontak Alergen Occupational Related Disease
Heat exhaustion Occupational Disease
Penyakit Akibat Kerja (PAK) (Occupational Diseases) adalah penyakit yang disebabkan
oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (Permennaker No. Per. 01/Men/1981) yang akan
berakibat cacat sebagian maupun cacat total.Cacat Sebagian adalah hilangnya atau tidak
fungsinya sebagian anggota tubuh tenaga kerja untuk selama-lamanya. Sedangkan Cacat
Total adalah keadaan tenaga kerja tiadak mampu bekerja sama sekali untuk selama-lamanya
(Anizar, 2012).
Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work Related Diseases) yaitu penyakit
yang dicetuskan, dipermudah atau diperberat oleh pekerjaan. Penyakit ini disebabkan secara
tidak langsung oleh pekerjaan dan biasanya penyebabnya adalah berbagai jenis faktor
(Tawaka, 2012).
14
III. PEMBAHASAN
a. Tinjauan Pustaka
Sterilisasi adalah suatu proses pengolahan alat atau bahan yang bertujuan untuk
menghancurkan semua bentuk kehidupan mikroba termasuk endospora dan dapat dilakukan
dengan proses kimia atau fisika. CSSD (Central Sterille Supply Department) adalah instalasi
yang melayani sterilisasi. CSSD merupakan salah satu mata rantai yang penting untuk
pengendalian infeksi dan berperan dalam upaya menekan kejadian infeksi nosokomial di
rumah sakit. Bila ditinjau dari volume alat dan bahan yang harus disterilkan di rumah sakit,
maka rumah sakit dianjurkan mempunyai suatu instalasi pusat sterilisasi tersendiri (Pedoman
Instalasi pusat sterilisasi dipimpin oleh seorang kepala instalasi, dalam melaksanakan
tugasnya dibantu oleh tenaga-tenaga fungsional dan atau non medis.besar kecilnya instalasi
ditetapkan oleh beban kerja dan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pegawai pada instalasi
Resiko pajanan yang berlebihan terhadap bahan kimia maupin bahan latex seperti
handscoon dapat menimbulkan iritasi maupun alergi kulit seperti dermatitis. Selain itu adanya
beban kerja yang cukup berat atau banyak bila dibandingkan dengan rasio jumlah tenaga
medis dapat menimbulkan stress akibat beban kerja berlebih dimana hal ini dapat
menurunkan kinerja dari para petugas medis. Mengingat peran rmah sakit dan jenis kegiatan
serta volume pekerjaan pada instalasi pusat sterilisasi demikian besar, maka hendaknya perlu
1. Kecepatan Pelayanan
CSSD menjadi lebih cepat sampai kepada unit pemakainnya, dengan mutu
15
2. Pengendalian Infeksi Nosokomial
4. Pendekatan Mutu
Produk-produk yang dihaasilkan CSSD harus melalui proses yang ketat sampai
menjadi produk yang steril. Setiap proses sterilisasi berjalan selalu dilengkapi
dengan indikator kimia, biologi, dan fisika. Secara berkala tiap 3 bulan
CSSD dipimpin oleh seorang kepala instalasi (dalam jabatan fungsional) dan bertanggung
jawab langsung kepada wakil direktuur penunjang medik. Hal ini perlu dilaksanakan agar
CSSD dapat berjalan sebagaimana mestinya adalah perlunya pembagian pekerjaan dalam
jabatan fungsional. Besar kecilnya instalasi ditetapkan berdasarkan beban kerja. Untuk dapat
16
memberikan pelayanan sterilisasi yang baik dan memenuhi kebutuhan barang steril rumah
- Sub instalasi pengawasan mutu, pemeliharan sarana & peralatan, K3 dan diklat
Contoh struktur organisasi RSU tipe C (Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi, 2009).
Di Indonesia, sampai saat ini belum banyak peraturan keselamatan dan kesehatan kerja
dilaksanakan di rumah sakit. Adanya asumsi bahwa tenaga kerja di rumah sakit dianggap
sudah tahu dan dapat mempertahankan kesehatan dan melindungi dirinya serta dianggap
17
lebih mudah melakukan konsultasi dengan dokter dan mendapatkan fasilitas perawatan secara
informal, menjadikan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit seolah-olah
dipinggirkan. Mengingat besarnya paparan dirumah sakit maka rumah sakit sebagai tempat
pelayanan kesehatan sangat perlu untuk diterapkan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (MK3) untuk memberikan perlindungan kepada para pegawai (Rahayuningsih, 2013).
Oleh karena itu, perlu dibentuknya suatu standar pelayanan keselamatan kerja dimana
pada prinsipnya mencakup pelayanan keselamatan bekerja mencakup sarana, prasarana, dan
peralatan kerja.
Bloodborne Pathogen merupakan suatu bakteri ataupun virus patogen yang dapat
ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui darah. Kuman Patogen bisa juga ditularkan
oleh cairan tubuh lainnya, dan sangat bervariasi tergantung pada jenis kuman patogen dan
Para tenaga medis yang meliputi dokter, dokter gigi, perawat, phlebotomist, paramedis,
petugas laboratorium, dan lain lainnya dapat berpotensi untuk terkotaminasi oleh darah
maupun cairan tubuh dari pasien. Walaupun luka yang diakibatkan oleh jarum suntik
merupakan paparan yang paling sering dilaporkan mengakibatkan penyakit - penyakit ini
dapat menular, namun “bloodborne disease” ini juga dapat menular melalui kontak dengan
1981 telah berkembang menjadi suatu pandemi yang menyerang secara global dimana
kejadian tersebut tidak hanya menjadi masalah kesehatan namun juga menjadi permasalahan
di bidang ekonomi dimana penyebaran penyakit ini terbanyak berada di sub sahara - Afrika
(Bhise, 2015).
18
Diketahui diseluruh dunia, terdapat 33,4 juta orang yang telah terinfeksi HIV positif dan
52% diantaranya adalah wanita. Walaupun transmisi HIV dari ibu ke anak dapat
kemungkinan besar dicegah, dengan tingkat pencapaian kurang dari 2%, dan pada tahun 2009
diketahui terdapt 370.000 terinfeksi virus ini dan dinyatakan dengan infeksi baru (Colasanti,
2013)
Pada tahun 2010 sekitar 390.000 anak dibawah 15 tahun diketahui terinfeksi oleh
HIV/AIDS, kebanyakan diantara mereka dipercaya terjadi akibat transmisi selama kehamilan
atau saat persalinan serta post-partum akibat proses menyusui (Bhise, 2015).
peningkatan angka infeksi baru HIV lebih dari 25% dalam kurun waktu 2001-2011. Jumlah
kumulatif kasus AIDS di Indonesia sejak pertama kali ditemukan, 1 April 1987 sampai Juni
2013 sebesar 108.600 kasus HIV dan 43.667 untuk kasus AIDS, dengan kematian akibat
AIDS sebesar 8.340 kasus. Saat ini kasus HIV/AIDS telah tersebar di 341 dari 497
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-
kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan namaLymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. Virus ini
Transmisi virus HIV terutama melalui kontak seksual. Kontak seksual utama yang
menyebabkan kasus HIV yaitu pada populasi heteroseksual dan homoseksual. Transmisi HIV
utama lainnya terjadi di antara pengguna narkoba suntik. Pada anak-anak, penularan HIV
19
Pada pengguna Narkoba Suntik yang penularannya langsung secara sistemik setelah HIV
masuk ke dalam tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada pada sel dendritik selam
beberapa hari. Kemudian terjadi syndrome retrovival acute seperti flu (serupa infeksi
mononucleosis). Pada tubuh timbul respon immune humoral maupun seluler. Pasien
kemudian akan memasuki tahapan tanpa gejala. Dalam tahap ini terjadi penurunan dalam
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, Transmisi HIV secara umum
a. Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan
Kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual seperti sifilis
b. Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah baik itu tranfusi whole blood,
c. Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang
psikotropika.
melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air susu ibu.
20
B.Hepatitis
Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati. “Hepa” berarti kaitan dengan hati,
sementara “itis” berarti radang (seperti di artritis, dermatitis, dan pankreatitis). Radang hati –
Penyakit yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sehat dalam
Virus hepatitis yang transmisinya melalui darah yaitu terdiri atas virus hepatitis B
1).Virus Hepatitis B
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). HBV adalah virus nonsitopatik,
yang berarti virus tersebut tidak menyebabkan kerusakan langsung pada sel hati. Sebaliknya,
reaksi yang bersifat menyerang oleh sistem kekebalan tubuh yang biasanya menyebabkan
Penelitian di AS menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen orang dengan HIV pernah
terinfeksi dengan HBV pada suatu waktu dalam kehidupannya, dan 15 persen terinfeksi HBV
kronis. Keadaan di Indonesia belum jelas, tetapi Kemenkes menyatakan bahwa 3-33 orang
Masa inkubasi HBV 15 -180 hari (rata-rata 60 – 90 hari). Viremia berlangsung selama
beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut. Sebanyak 1-5% dewasa, 990% neonatus
dan 50% bayi akan berkembang menjadi hepatitis kronis dan viremia yang persisten. HBV
tidak patogenik terhadap sel hepatosit, tetapi respons imun terhadap virus ini yang bersifat
Cara transmisi:
21
Melalui darah : penerima produk darah, IVDU, pasien hemodialisis, pekerja
Transmisi seksual
ulang peralatan medis yang terkontaminsi, penggunaan bersama pisau cukur dan
Kurang dari 10 persen orang dewasa yang terinfeksi HBV mengalami infeksi HBV
kronis. Sebaliknya, kurang lebih 90 persen bayi yang terinfeksi HBV saat lahir mengalami
infeksi HBV kronis. Ada obat yang dapat diberikan pada bayi setelah lahir untuk membantu
mencegah hepatitis B. Anak muda yang terinfeksi HBV mempunyai risiko 25-50 persen
mengalami hepatitis B kronis (Greene, 2016). Resiko hepatitis akan meningkat pada
kelompok tertentu antara lain pada tenaga kesehatan, pekerja seksual, pengguna narkotika,
bayi dengan ibu yang menderita hepatitis B. Teanaga kesehatan termasuk orang yang
tergolong beresiko tertular penyakit hepatitis B, karena saat menjalani pekerjaan di Rumah
Sakit akan berinterakasilangsung dengan pasien. Resiko tertular hepatitis pada tenaga
(Rahmayanti, 2012).
responterhadap pengaruh faktor eksogen dan endogen menyebabkan kelainan klinis berupa
efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenfikasi) dan keluhan
gatal. Penyebab dermatitis ini dapat berasal dari luar tubuh (eksogen), misalnya bahan kimia
22
(detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (sinar, suhu), mikroorganisme (bakteri, jamur), dapat
pula dari dalam tubuh (endogen), misalnya dermatitis atopik (Menaldi, 2015).
Dermatitis kontak ialah respon inflamasi akut ataupun kronis yang disebabkan oleh bahan
atau substansi yang menempel pada kulit (Fitzpatrick’s, 2009). Dermatitis kontak terdiri dari
dermatitis kontak iritan (DKI) yaitu dermatitis yang terjadi karena kulit berkontak dengan
bahan iritan dan yang kedua adalah dermatitis kontak alergik (DKA) yaitu dermatitis yang
terjadi karena kulit terpajan/berkontak dengan bahan-bahan yang bersifat sensitizer atau
Dermatitis kontak iritanpaling banyak disebabkan oleh air, pekerjaan yang basah, sabun
dan detergen(Cahillet al, 2012 dalam Fitria dkk., 2015). Sedangkan pada bahan alergen
berupa handscoon latex, karena handscoon dari bahan latex adalah alergen yang potensial
mengakibatkan DKA pada petugas kesehatan (Buss, 2007 dalam Rizadin dkk. 2016).Paparan
antigen lateks terjadi melalui kontak langsung dengan membran mukosa kulit yang dibawa
oleh partikel protein serbuk sarung tangan lateks.Penyerapan protein lateks melalui kulit
merupakan jalur utama sensitisasi, dan bertanggungjawab atas munculnya manifestasi lokal
urtikaria yang akhirnya dapat menjadi sistemik. Peristiwa ini terkait dengan pemakaian
sarung tangan lateks jangka panjang (Taylor, 2004 dalam Rizadin dkk. 2016).
Pekerjaan yang berisiko penyakit ini sering terjadi pada tenaga kesehatan misalnya
perawat adalah penyakit dermatitis pada tangan karena disebabkan paparan oleh bahan iritan
(Visser et al., 2013). Peningkatan risiko dermatitis kontak pada tenaga medis karena
frekuensi cuci tangan, tetapi pada penggunaan gel alkohol juga dapat meningkat dikarenakan
kontak dengan alergen dan penggunaan sarung tangan (Malik dan English, 2015).
Sabun, detergen, sarung tangan dan air merupakan agen basa lemah yang akan
menimbulkan gangguan atau kerusakan pada kulit secara perlahan setelah paparan yang
berulang(Cahillet al, 2012 dalam Fitria dkk., 2015). Petugas Kesehatan wajib mencuci tangan
23
dan menggunakan handscoon sebelum tindakan terhadap pasien, sedangkan mencuci tangan
sehingga kejadian DKAK pada Petugas Kesehatan sulit untuk dihindari (Smith, 2005 dalam
DKAK dapat disebabkan olehfaktor predisposisi individu seperti kapasitas toleransi kulit,
genetik, umur, dan riwayat atopi. Kemampuan untuk mereduksi radikal bebas, perubahan
kadar enzim antioksidan, dan kemampuan melindungi protein dari trauma panas, semuanya
diatur oleh genetik.Umur memiliki hubungan terhadap pertahanan kulit karena orang yang
berusia lebih muda atau lebih tua akan lebih rentan terhadap dermatitis kontak. Sedangkan
riwayat atopi sebelumnya memberikan kerentanan terhadap dermatitis kontak alergik oleh
karena dimediasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat (IV) yang terbatas pada sejumlah orang
tertentu setelah terpapar satu atau beberapa substansi antigen. Individu yang telah mengalami
Faktor individu juga ikut berperan, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (utuh,
terluka, kering, tebal epidermis bergantung pada lokasinya) dan status imunologik (sedang
Dermatitis kontak merupakan bagian dari eksim atau eksema, di mana kulit bisa menjadi
memerah, kering dan pecah-pecah. Dermatitis kontak bisa terjadi pada kulit di bagian tubuh
mana pun, tapi umumnya dermatitis kontak menyerang kulit tangan dan wajah. Agar
pengobatan bisa berjalan sukses, penderita harus mengidentifikasi dan menghindari penyebab
3. Penyakit Muskuloskeletal
Low back pain (LBP) atau nyeri punggung bawah (NPB) merupakan keluhan yang sering
dijumpai dan umum dalam masyarakat. Hampir setiap orang pernah merasakan LBP dalam
24
hidupnya. LBP termasuk salah satu gangguan muskuloskeletal yang sering terjadi dan
Low Back Pain (LBP) atau yang sering disebut dengan nyeri punggung bawah (NPB)
merupakan keluhan yang sering dijumpai. NPB adalah nyeri yang dirasakan di daerah
punggung bawah, dapat berupa nyeri lokal maupun nyeri radikular atau keduanya. Nyeri ini
terasa di antara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau
lumbosakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki
(Mahadewa, 2009).
NPB dapat dibedakan menjadi NPB akut dan kronik. Definisinya bervariasi, tetapi gejala
yang berlangsung selama lebih dari 12 minggu umumnya disebut sebagai NPB kronik, dan
disebut NPB akut bila gejala berlangsung selama kurang dari enam minggu. Selain NPB akut
dan kronik, ada juga yang disebut dengan NPB sub akut yang gejalanya berlangsung selama
lebih dari enam minggu dan kurang dari 12 minggu (Anthony, 2010).
Faktor yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja seperti nyeri punggung
bawahtersebut antara lain adalah faktor fisiologis, faktor usia, dan faktor aktivitas (Azize,
satu intervensi yang sering dilakukan perawat adalah memobilisasi pasien seperti
mengangkat, mendorong, serta memindahkan pasien. Posisi yang salah atau tidak ergonomis
dalam melakukan pekerjaan sering menimbulkan ketidaknyamanan, dan kondisi yang sering
4. Heat Exhaustion
Heat-related illness (penyakit akibat panas) merupakan keluhan atau kelainan klinis yang
akibatkan oleh paparan panas. Penyakit ini muncul jika terdapat gangguan regulasi suhu
tubuh akibat input panas dan metabolisme tubuh meningkat namun tidak diimbangi dengan
pengeluaran panas dari kulit secara radiasi, evaporasi, dan konveksi (Ashar, 2017). Heat
25
exhaustion berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu deplesi air (hypernatremia) yang
cepat timbul akibat penambahan cairan yang inadekuat dan deplesi garam (hiponatremia)
akibat pemberian pengganti air yang berkepanjangan dengan masukan sodium yang
insufisien. Suhu tubuh dalam keadaan ini berkisar antara 37°C-40°C . Gejala yang muncul
berupa malaise, fatigue, sakit kepala, peningkatan rasa haus, mual, muntah, kram otot, kulit
yang dingin atau berkerut, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan takikardi ringan,
ortostasis, takipnea, membran mukosa mengering, kulit memerah, dan muscle tenderness
(Ashar, 2017).
Gangguan pendengaran akibat bising (NIHL) adalah tuli syaraf yang terjadi akibat
terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya
jenis kelamin pada usia tertentu. Batas pendengaran normal akan meingkat sejalan dengan
peningkatan usia yaitu sekitar 3-8 kHz dan jenis kelamin laki-laki lebih sering kehilangan
Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh berbagai macam hal
mulai dari kurangnya kewaspadaan petugas medis maupun minimnya sarana dan prasarana
APD yang ada. Sehingga memudahkan terjadinya penyakit akibat kerja. Untuk mengatasi
permasalah ini maka langkah awal identifikasi bahaya yang bisa timbul. Kemudian dilakukan
26
a. Pengenalan Lingkungan kerja
Pengenalan lingkungan kerja ini dapat dilakukan dengan cara melihat serta mengenal, ini
merupakan langkah dasar yang dilakukan dalam upaya pengendalian kesehatan kerja. Dalam
masalah ini para petugas di CCSD perlu memahami lingkungan kerja CSSD. Hal ini
bertujuan agar petugas mengetahui alur kerja dari sterilisasi, terhindar dari faktor resiko yang
Evaluasi lingkungan kerja merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-
potensi bahaya yang mungkin timbul di dalam melakukan pekerjaan, hal ini dapat
dipraktekkan misalnya staf yang memiliki masalah pernapasan (misalnya asma) harus di
evaluasi oleh team kesehatan dan keamanan serta keselamatan sebelum bekerja pada saat
resiko penyakit akibat kerja, diantaranya adalah penggunaan APD dalam melakukan segala
tindakan. Dalam hal ini, petugas kurang dalam pengendalian lingungan kerja seperti
pengunaan APD dengan baik, yaitu sering tidak menggunakan APD kacamata goggle dan
penutup kepala. Kedua APD ini dapat mencegah terperciknya petugas dari bahan-bahan
kimia di CSSD.
Selain 3 langkah diatas terdapat 5 tahapan penatalaksaan gangguan kesehatan akibat kerja
27
Proses Kerja
Dalam proses kerja, petugas CSSD RSI Siti Aisyah Madiun masih tidak patuh dalam
menggunakan APD yang lengkap. Petugas sering tidak menggunakan kacamata goggle serta
penutup kepala dimana tujuan menggunakan APD secara lengkap adalah untuk menghindari
Lingkungan Kerja
Pada lingkungan kerja CSSD dapat dilakukan intervensi, yaitu melakukan posisi
mengangkut barang yang benar, atau bisa juga menggunakan troli dorong yang tidak perlu
menunduk. Selain itu, menambah jumlah kursi atau memberi ruang istirahat dengan yang
berbahan empuk yang digunakan pekerja untuk beristirahat dan shift kerja yang disesuaikan.
Ruangan sterilisasi yang dapat ditutup juga mampu untuk mengurangi kebisingan alat
sterilisasi.
Kondisi Karyawan
Kondisi karyawan hingga saat ini masih belum ditemukan masalah yang berkaitan dengan
kesehatan kerja baik dari penularan penyakit dari alat-alat kedokteran. Pada langkah ini dapat
cara pengendalian infeksi dan juga di adakan cek kesehatan rutin bagi petugas CSSD agar
dapat diketahui status kesehatan para petugas sehinga dapat dilakukan tindakan jika
Kebijakan Manajemen
kerja dan mewajibkan seluruh karyawan untuk mentaati peraturan sesuai SOP di RS yang
berlaku serta Pedoman Instalasi Sterilisasi mengenai APD yang digunakan saat tindakan, dan
dilakukannya peneguran atau sanksi bagi karyawan yang tidak melakukan sesuai prosedur
28
Regulasi yang Berlaku
penyelenggaraan keselamatan kerja dapat mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
regulasi ini yaitu dengan mengusulkan untuk ditinjau kembali kelengkapan alat, fasilitas, dan
alat kebutuhan serta keamanan dan keselamatan kerja sesuai peraturan Menteri Kesehatan
29
DAFTAR PUSTAKA
Anizar, 2012. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Anthony EC,et al.2010. Acute Low Back Pain. Available from:
http://www.med.umich.edu/1info/FHP/practiceguides/back/back.pdf.
Asdie AH, W. P, 2012. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-13. Jakarta:
EGC.
Ashar TD, Saftarina F, Wahyudo R. 2017. Penyakit Akibat Panas. Medula : 7 (5) : 219-223.
Azize K, Sultan K, Aysel A, Nevin D. 2009..Low Back Pain: Prevalence and Associated
Risk Factors among Hospital Staff. 2009;65(3):516-24
Balgis, V. R, 2015. Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Pekerja Kebun Anggrek. Jakarta:
Media Dermato Venerelogica Indonesia.
Bhise, JD., Deo D. (2015). Awareness and Knowledge of Mother to Child Transmission of
HIV/AIDS among Pregnant Woman of Rural Tertiary Care Hospital. National
Journal of Community Medicine Vol. 6 Issue 4. pISSN 0976 3325, eISSN 2229 6816.
Ambajogai, India.
Buss, Z.S., & Frode, S.S. 2007. Latex Allergen Sensitization and Risk Factor Due To Glove
use by Health Care Workers at Public Health Units in Florianopolis Brazil, J Investig
Allergol Clin Immunol 2007; Vol. 17(1):27-33.
Cahill J, et al. 2012. Occupational contact dermatitis: a review of 18 years of data from
occupational dermatology clinic in Australia. Australia: Safe Work Australia.
Colasanti, J., Rugama, M. L., Lifschitz, K., et al. (2013). HIV testing rates among
pregnantwomen in Managua, Nicaragua, 2010-2011. Revista Panamericana de Salud
Publica/Pan American Journal of Public Health, 33(1), 15-21.
Communication Disease Control. Blood or Body Fluid Exposure Option. January: 2013
Communication Disease Control.HIV AIDS. March : 2004
Depkes, 2009. Pedoman Instalasi Sterilisasi (CSSD)
English J dan Malik M, 2015. Irritant Hand Dermatitis in Health Care Workers. pp.474-76.
Fatimah S. 2008. Pengaruh kebisingan terhadap Noise Induced Hearing Loss (NIHL)
Karyawan di PT SCTI Jakarta Timur Tahun 2008. Tesis Magister Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Faunci, Braunwald, Kasper et al. 2015. Acute Viral Hepatitis.in Harrison’s Princples
ofInternal Medicine 17th edition ch 298. USA : McGraw-Hill Companies.
30
Faunci, Braunwald, Kasper et al. 2015. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
Related Disorders.in Harrison’s Princples of Internal Medicine 17th edition ch 1076,
2372-2390. USA : McGraw-Hill Companies.
Faunci, Braunwald, Kasper et al.2015. Tuberculosis.in Harrison’s Princples of Internal
Medicine 17th edition ch 158,. USA : McGraw-Hill Companies.
Fitria dkk., 2015. Prevalensi Dermatitis Kontak Akibat Kerja dan Faktor yang
Mempengaruhinya pada Pekerja Cleaning Service di Rumah Sakit Umum Abdul
Moeloek. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.
Ganem D, Prince AM. 2004. Hepatitis B virus infection- natural history and clinical
consequences. N Engl J Med. 2004;350:1118-29.
Gourni, Paraskeui. 2014.Occupational Exposure to Blood and Body Fluids of nurses at
Emergency Department. Health Science Journal Volume 6 Issue 1 ( January – March
2014).
Greene C. 2016. Hepatitis dan Virus HIV. Yayasan Spiritia, Jakarta Pusat.
Harahap, M., 2015. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Hardjoeno. 2007. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil laboratorium. Makassar:
Cahaya Dinan Rucitra.
Kumar V, C. R. 2012. Buku ajar patologi Robbins, edisi ke-7.Jakarta: EGC.
Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan Tulang
Belakang (1st ed). Jakarta: CV Agung Seto, 2009; p. 156-88Menaldi, S. L. 2015.
Atlas Berwarna dan Sinopsis Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FK
UI.
Mustafa S, K. E. 2013. Manajemen gangguan saluran cerna panduan bagi dokter umum.
Lampung: Anugrah Utama Raharja(Aura).
Rahmayanti. 2012. Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dengan Perilaku Pencegahan
Hepatitis B. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Rina dkk., 2014. Faktor Risiko Hepatitis B Pada Tenaga Kesehatan Kota Pekanbaru. Fakultas
Kedokteran Universitas Riau.
Rizadin dkk. 2016. Hubungan Pekerja Basah Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Akibat
Kerja pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit X Tanjung, Tabalong, Kalimantan
Selatan. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sari, N. P. L. N. I., Theresia I. M., Engeline A., 2015. Hubungan Lama Duduk dengan
Kejadian Low Back Pain pada Operator Komputer Perusahaan Travel di Manado.
Jurnal e-Clinic, volume 3, nomor 2.
31
Seo Y, Yoon S. Hamano K, 2004. Early response to interferon (treatment and long term
clinical outcome in Japanese patients with chronic HBV genotype C infection. Int J
Mol Med. 2004;13:75- 9.
Smith, R.D., Wei, N., Zhao, L., & Wang, S.R. 2005.Hand Dermatitis Among Nurses In A
Newly Developing Region Of Mainland China. International Journal Of Nursing
Studies. Vol 42: (13-19).
Standar Operasional Prosedur RSI Siti Aisyah Madiun, 2018
Taylor, J. S., Erkek, E. 2004. Latex Allergy: Diagnosis and Management. Dermatol Ther.;
17:289-301.
Tawakka. 2012. Dasar-dasar Keselamatan Kerja Serta Pencegahan Kecelakaan di Tempat
Kerja. Surakarta: Harapan Press.
UL., H. 2017. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil laboratorium. Makassar:
Cahya Dinan Rucitra.
Vergani D, Mieli-Vergani G., 2004. Viral hepatitis: virus/host interaction. J Gastroenterol
Hepatol. 2004;19:S307-10.
Visser, et al. 2013. Impact of Atopic Dermatitis and Loss-of-Function Mutations in the
Filaggrin Gene on the Development of Occupational Irritant Contact
Dermatitis.British Journal Dermatology, pp.326-32.
Wolff K, Johnson RA, Saavedra A., 2009. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of clinical
dermatology. Edisi ke6. New York: McGrawHill.
Z, D. 2013. Tata Laksana Respirologi Respirasi Kritis. Jakarta: PERPARI.
32
DOKUMENTASI
33
E.Alat yang direndam dengan larutan enzimatik F.Proses pencucian alat
34
I.Proses sterilisasi alat J.Alat yang telah disterilisasi
35
L.Denah CSSD
36