Anda di halaman 1dari 36

STATUS

KEDOKTERAN INDUSTRI
CSSD
RSI SITI AISYAH MADIUN

Disusun Oleh:

Devita Rizki Pratama Putri 201720401011170

Indira Selly Etikowati 201720401011164

Karina Cahya Widati 201720401011158

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
201 9
STATUS KEDOKTERAN INDUSTRI

I. STATUS UMUM TEMPAT KERJA (FACTORY VISIT)

A. Identitas

1. Nama Perusahaan : RSI Siti Aisyah Madiun

2. Alamat : JL Mayjen Sungkono No. 38-40 Kota Madiun

3. Jenis Usaha : CSSD

4. Jumlah Tenaga Kerja : 2 orang

B. Analisis Komponen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

1. Proses Industri/Proses Kerja

No Unit Kerja Bahan Alat Kerja Cara Kerja Bahan


Baku Berbahaya
1. Dekontaminasi Larutan - 1 pasang 1. Menerima Benda tajam
enzimatik handscoen instrumen kotor dari (gunting,
bahan nitril ruang rawat inap, pisau bedah,
- Gaun IBS, IGD jarum jahit)
pelindung 2. Pemakaian sarung
(pakaian tangan
dalam 3. Instrumen di
CSSD) dekontaminasi
- Apron dengan larutan
- Masker enzimatik selama 10
- Sepatu boot menit
tahan air

2. Pencucian Air mengalir - 1 pasang 1. Membuka kran Benda tajam


handscoen dengan tangan (gunting,
bahan nitril kanan pisau bedah,
- Gaun 2. Mengambil jarum jahit)
pelindung peralatan bekas
(pakaian pakai yang telah di
dalam dekontaminasi
CSSD) 3. Memisahkan alat
- Apron yang terbuat dari
- Masker logam, kaca, karet
- Sepatu boot 4. Membilas alat-alat
tahan air tersebut di bawah air
mengalir

2
3. Pengeringan Doek - 1 pasang Mengelap bagian- Benda tajam
handscoen bagian alat dengan seperti
bahan nitril menggunakan doek gunting
- Gaun hingga kering
pelindung
(baju dalam
CSSD)
- Apron
- Masker

4. Pelabelan dan Autoclave - 1 pasang 1. Bungkus alat-alat Uap


Sterilisasi handscoen yang telah bertekanan
bahan nitril dikeringkan tinggi
- Gaun menggunakan
pelindung sterilization
(pakaian pouchesyang
dalam sebelumnya telah
CSSD) diberi indikator
- Masker steril
2. Pasang indikator
steril pada bagian
luar sterilization
pouches
3. Menuangkan air
suling secukupnya
ke dalam autoclave
4. Menata peralatan
sedemikian rupa
hingga tersedia
ruangan untuk
bergeraknya uap air
secara bebas di
antara alat-alat
selama sterilisasi
5. Meletakkan tutup
autoclave pada
tubuh autoclave dan
meletakkan
pegangan tutup
sejajar dengan
pegangan tubuh
autoclave, pastikan
tertutup rapat dan
kuat
6. Colokkan autoclave
ke sumber listrik
7. Bila uap air mulai
keluar
(menimbulkan

3
bunyi mendesis)
dan tekanan dalam
autoclave akan naik
dan dapat dibaca
pada alat pengukur
suhu
8. Mempertahankan
tekanan pada suhu
121°-126º C,
dengan cara
mengurangi
mengurangi
pemanasan untuk
mempertahankan
tekanan dan suhu
pada alat penunjuk
suhu dan tekanan
9. Menyeterilkan
peralatan dengan
cara
mempertahankan
tekanan pada suhu
121°C-126ºC
selama 1½ jam

2. Lingkungan Kerja

Unit Ling. Sos- Ling.


No Ling. Fisik Ling. Biologi Ling. Kimia
Kerja Bud Ergonomi
1. CSSD -Tata ruang yang -Bahan baku -pembuangan -lokasi -Posisi
(Central sudah ada yang limbah dari CSSD dekat mengangkut
Sterile tersusun rapi menyebabkan CSSD ini dengan yang tidak
Supply - R sterilisasi peradangan sudah instalasi ergonomis
Departme dapat ditutup kulit seperti sistematis, bedah walaupun
nt) ruangannya Mylzime, jadi bahan sentral. hanya 5kg/
sehingga dapat Alkohol, dan alat sudah ikatan linen,
mengurangi Formalin. sesuai dengan tetapi
kebisingan - bahan baku prosedur dilakukan
-Ruangan tediri yang steril. berkali-kali.
menjadi 6 bilik, menyebabkan - ada - sebagian
R. penyakit resiko indikator strip besar
dekontaminasi menular seperti dalam label perkerjaan
(Spoel Hoek), R. percikan darah, pada tiap alat dilakukan
Cucialat, R. feces, cairan yang dengan
pengeringan R. tubuh di linen, disterilkan berdiri.
Pengepakan/ alat habis pakai. yang -shift kerja 2

4
pelabelan, R. Namun petugas menunjukkan jam shift (I :
sterilisasi, R. menggunakan sudah 07.00-14.00
Penyimpanan APD (baju OK tersterilisasi & II : 14.00-
alat steril on, handscoon dengan baik 19.00)
- semua tempat on dan apron atau belum. dengan jam
menggunakan saat mengambil - petugas pengiriman
AC central, dan alat) yang berhak 2 shift (I
sejak di R. masuk ke :07.00-07.30
sterilisasi dan R. - setelah dalam ruang & II : 10.00-
Penyimpanan dekontaminasi, sterilisasi 10.30)
menggunakan pencucian hanya yang Dan jam
exhouse fan menggunakan menggunakan pengambilan
air yang baju OK, dan 2 shift (I :
mengalir, petugas yang 08.00-09.00
petugas belum memasuki R. & II: 11.00-
menggunakan Penyimpanan 12.00) sudah
kacamata alat steril sangat
pelindung harus mengurangi
karena risiko menggunakan beban kerja
terciprat bahan baju OK pegawai
kimia tersebut. khusus sekaligus
menertibkan
jadwal bagi
pekerja
lainnya.

3. Karyawan

Juml. Rata-
Status
Populasi rata Penanganan
No. Unit kerja Kesehat Resiko Kesehatan
L P Lama Resiko
an
kerja
1. Petugas - 2 7 jam Normal - Dermatitis Kontak Ada asuransi jika
CSSD Iritan karena bahan terjadi kecelakaan
dari handscone dan kerja
handrub yang di
pakai
- Low Back Pain
karena
memindahkan set
alat dari autoclave
ke ruang
penyimpanan alat
steril.

5
- Kecelakaan kerja
saat melakukan
dekontaminasi alat
 resiko tertular
penyakit menular
(HIV,HepatitisB).

4.Sistem Manajemen

 Upaya atau kebijakan pimpinan pada kegiatan K3

Problem K3 Kebijakan
No. Komponen
Internal Eksternal Manajemen
1 Proses Dalam proses - Berdasarkan SOP - Melakukan
Industri/Kerja industri kerja, RSI-SA/01/SPO. penyuluhan
petugas tidak KPPI/I/X1/2018 tentang
menggunakan sebelum pentingnya
penutup melakukan pemakaian
kepala (cap) tindakan dan APD secara
dalam rangka lengkap dan
melindungi benar
seseorang dalam
pekerjaannya
maka salah
satunya petugas
harus
menggunakan
topi karena
memungkinkan
pemakainya
terpercik bahan-
bahan kimia yang
ada
LingkunganKerja LingkunganKerja
 Lingkungan - Setelah  Penggunaan  Lingkungan
kimia dekontaminasi, kacamata google kimia
pencucian dianggap penting,
menggunakan karena selain
air yang terciprat bahan
mengalir, kimia, juga
petugas belum berisiko mengusap
menggunakan mata saat hanya
kacamata terciprat air saja
pelindung dengan tangan
karena risiko atau pundak yang
terciprat bahan juga bisa sudah

6
kimia tersebut. terkena linen luar
bekas cairan tubuh
pasien.

 Lingkungan - Posisi  Melakukan  Lingkungan


ergonomi mengangkut posisi ergonomi
yang tidak mengangkut
ergonomis barang yang
walaupun hanya benar, atau
5kg/ ikatan bisa juga
linen, tetapi menggunakan
dilakukan troli dorong
berkali-kali. yang tidak
perlu
menunduk.

- Sebagian  Menambah
besar jumlah kursi
pekerjaan atau memberi
dilakukan ruang istirahat
dengan dengan yang
berdiri berbahan
empuk yang
digunakan
pekerja untuk
beristirahat
3 Karyawan - Resiko Promotif
terjadinya - Memberikan
penyakit edukasi dan
saat pelatihan
proses petugas
kerja : mengenai
Myalgia, pentingnya
Dermatiti universal
s Kontak precaution
Iritan, adalah alat
Hepatitis pelindung diri
B, HIV (APD) dan
- Jumlah juga
karyawan pentingnya
yang mengetahui
kurang cara yang
(hanya 2 benar
orang) mengangkat
barang untuk

7
menghindari
terjadinya
LBP.

Preventif
- Penggunaan
alat pelindung
diri (APD)
yang sesuai
dengan standar
- Pemberian
vaksin pada
petugas dan
pengecekan
kesehatan
secara berkala
- Mempraktekka
n cara
mengangkan
barang yang
benar.

Kuratif
Memberi
pengobatan secara
menyeluruh sesuai
hasil pemeriksaan.

Rehabilitasi
Rehabilitasi dini
untuk
memperbaiki
kualitas hidup
pekerja agar
pekerjaan yang
dihasilkan lebih
efektif.

8
5. Regulasi/Undang-Undang

a. Lokal atau Regional :

 Menurut SOP RSI Siti Aisyah Madiun SA/014/SPO.KPPI/I/XI/2018 Alat

pelindung Diri (APD) merupakan seperangkat alat yang memiliki

kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaannya yang

mengisolasi tenaga kerja dari bahaya tempat kerja.

Tujuan dari pemakaian APD adalah agar tidak terjadi infeksi silang dari

pasien ke petugas maupun dari pasien ke pasien lewat petugas

 Menurut SOP RSI Siti Aisyah Madiun SA/014/SPO.KPPI/I/XI/2018

prosedur dalam menggunakan APD adalah sebagai berikut :

1. Baca basmallah

2. Lakukan hand hygiene

3. Pakai tutup kepala

- Pakailah topi selama melakukan tindakan yang

memungkinkan pemakainya terpercik atau tersemprot

darah atau cairan dari pasien

- Sesuaikan kerapatan topi dan kepala

- Topi harus cukup besar sehingga dapat menutupi seluruh

rambut

4. Pakai apron

- Pakai apron sesuai dengan kebutuhan (kain, plastik, kulit)

- Pakai apron hingga menutupi dada sampai paha

- Simpulkan tali/karet dengan rapat

5. Pakai Masker

9
- Genggamlah respirator/masker dengan satu tangan,

posisikan sisi depan bagian hidung pada ujung-ujung jari,

biarkan tali pengikat respirator menjuntai bebas di bawah

tangan

- Posisikan respirator di bawah dagu dan dan sisi untuk

hidung berada di atas

- Tariklah pengikat respirator yang atas dan posisikan tali

agak tinggi di belakang kepala di atas telinga

- Tariklah tali pengikat respirator yang bawah dan posisikan

tali di bawah telinga

- Letakkan jari-jari kedua tangan di atas bagian yang terbuat

dari logam. Tekan sisi logam tersebut (gunakan dua jari

dari masing-masing tangan) mengikuti bentuk hidung,

jangan menekan respirator dengan satu tangan karena

dapat mengakibatkan respirator bekerja kurang efektif

- Tutup bagian depan respirator dengan kedua tangan dan

hati-hati agar posisi respirator tidak berubah

6. Pakai pelindung mata/kaca mata goggle

- Pakai kacamata pelindung setiap melakukan pekerjaan

yang beresiko terkena percikan (air, kimia, cairan

infeksius)

- Pakai kacamata pelindung hingga menutup bagian depan

mata

- Kaitkan gagang kacamata hingga menempel rapat di

belakang daun telinga

10
7. Sepatu pelindung

- Pakai sandal/sepatu setiap melakukan pekerjaan yang

berhubungan dengan bahan kimia dan melaksanakan

pekerjaan di tempat yang terpapar dengan bakteri patogen

- Pakai sandal atau sepatu yang terbuat dari bahan lunak dan

kuat dan menutup seluruh permukaan kaki sampai mata

kaki.

8. Pakai sarung tangan

- Ambil sarung tangan satu sisi kenakan dengan

memegangnya dari dalam sesuai jari-jari sesuai tempatnya.

Ambil sarung tangan satu sisinya lagi, pegang dari luar

dengan tangan yang sudah memakai sarung tangan (bila

memakai sarung tangan steril)

- Untuk sarung tangan bersih dan rumah tangga tidak perlu

dilakukan seperti cara di atas, cukup dikenakan dengan

cara yang biasa

b. Nasional

 Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi (Central Sterile Supply

Department/CCSD) Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun

2009 menyebutkan bahwa sterilisasi adalah suatu proses pengolahan alat

atau bahan yang bertujuan untuk menghancurkan semua bentuk kehidupan

mikroba termasuk endospora dan dapat dilakuakn dengan proses kimia

atau fisika.

 Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi (Central Sterile Supply

Department/CCSD) Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun

11
2009 menyebutkan bahwa pusat sterilisasi merupakan salah satu mata

rantai yang penting untuk pengendalian infeksi dan berperan dalam upaya

menekan kejadian infeksi.

 Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi (Central Sterile Supply

Department/CCSD) Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun

2009 menyebutkan bahwa CSSD memiliki fungsi utama yaitu menyiapkan

alat-alat bersih dan steril untuk keperluan perawatan pasien di rumah sakit.

Secara lebih rinci, fungsi dari pusat sterilisasi adalah menerima,

memproses, memproduksi, mensterilkan, menyimpan serta

mendistribusikan peralatan medis ke berbagai ruangan di rumah sakit

untuk kepentingan perawatan pasien.

 Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi (Central Sterile Supply

Department/CCSD) Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun

2009 menyebutkan kualifikasi tenaga CSSD adalah sebagai berikut pada

RS Kelas C, pendidikan terakhir minimal D3 di bidang kesehatan atau D3

umum dengan minimal masa kerja 5 tahun di bidang sterilisasi

 Menurut Permenkes No 18 Tahun 2018 persyaratan CSSD adalah terdapat

sumber daya manusia yang mengoperasionalkan, teknisi pemeliharaan,

ruangan yang memenuhi syarat, suplai listrik, uap yang dihasilkan dari

boiler (bila menggunakan boiler), menggunakan teknologi muktahir

(pertimbangan efisien, sterilitas, dan proses), terdapat program

pengendalian mutu pada saat sebelum dan sesudah proses sterilisasi,

terdapat moda transportasi dari dan ke CSSD yang memiliki jalur terpisah

(steril dan non steril).

12
 Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi (Central Sterile Supply

Department/CCSD) Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun

2009 menyebutkan bahwa desain ruang pusat sterilisasi terdiri dari ruang

bersih dan ruang kotor yang dibuat sedemikian rupa untuk menghindari

terjadinya kontaminsai silang dari ruang kotor ke ruang bersih. Selain itu

pembagian ruangan disesuaikan dengan alur kerja. Ruang pusat sterilisasi

dibagi atas 5 ruang, yaitu ruang dekontaminasi, ruang pengemasan alat,

ruang produksi, ruang sterilisasi, ruang penyimpanan barang steril

 Menurut Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi (Central Sterile Supply

Department/CCSD) Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun

2009 alur kerja pada CSSD digambarkan dengan gambar berikut ini :

13
II. OCCUPATIONAL DIAGNOSIS (DIAGNOSIS KESEHATAN

KERJA)

OCCUPATIONAL DISEASE /
JENIS PENYAKIT OCCUPATIONAL RELATED DISEASE
HIV Occupational Related Disease
HEPATITIS B, C Occupational Related Disease
NIHL Occupational Disease
Dermatitis Kontak Iritan Occupational Disease
LBP Occupational Disease
Dermatitis Kontak Alergen Occupational Related Disease
Heat exhaustion Occupational Disease

1.Penyakit Akibat Kerja :

Penyakit Akibat Kerja (PAK) (Occupational Diseases) adalah penyakit yang disebabkan

oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (Permennaker No. Per. 01/Men/1981) yang akan

berakibat cacat sebagian maupun cacat total.Cacat Sebagian adalah hilangnya atau tidak

fungsinya sebagian anggota tubuh tenaga kerja untuk selama-lamanya. Sedangkan Cacat

Total adalah keadaan tenaga kerja tiadak mampu bekerja sama sekali untuk selama-lamanya

(Anizar, 2012).

2.Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan :

Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work Related Diseases) yaitu penyakit

yang dicetuskan, dipermudah atau diperberat oleh pekerjaan. Penyakit ini disebabkan secara

tidak langsung oleh pekerjaan dan biasanya penyebabnya adalah berbagai jenis faktor

(Tawaka, 2012).

14
III. PEMBAHASAN

a. Tinjauan Pustaka

Sterilisasi adalah suatu proses pengolahan alat atau bahan yang bertujuan untuk

menghancurkan semua bentuk kehidupan mikroba termasuk endospora dan dapat dilakukan

dengan proses kimia atau fisika. CSSD (Central Sterille Supply Department) adalah instalasi

yang melayani sterilisasi. CSSD merupakan salah satu mata rantai yang penting untuk

pengendalian infeksi dan berperan dalam upaya menekan kejadian infeksi nosokomial di

rumah sakit. Bila ditinjau dari volume alat dan bahan yang harus disterilkan di rumah sakit,

maka rumah sakit dianjurkan mempunyai suatu instalasi pusat sterilisasi tersendiri (Pedoman

Instalasi Pusat Sterilisasi, 2009).

Instalasi pusat sterilisasi dipimpin oleh seorang kepala instalasi, dalam melaksanakan

tugasnya dibantu oleh tenaga-tenaga fungsional dan atau non medis.besar kecilnya instalasi

ditetapkan oleh beban kerja dan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pegawai pada instalasi

yang bersangkutan dalam jabatan fungsional.

Resiko pajanan yang berlebihan terhadap bahan kimia maupin bahan latex seperti

handscoon dapat menimbulkan iritasi maupun alergi kulit seperti dermatitis. Selain itu adanya

beban kerja yang cukup berat atau banyak bila dibandingkan dengan rasio jumlah tenaga

medis dapat menimbulkan stress akibat beban kerja berlebih dimana hal ini dapat

menurunkan kinerja dari para petugas medis. Mengingat peran rmah sakit dan jenis kegiatan

serta volume pekerjaan pada instalasi pusat sterilisasi demikian besar, maka hendaknya perlu

dipertimbangkan sebagai berikut :

1. Kecepatan Pelayanan

Diharapkan pelayanan penyediaan barang-barang steril yang diberikan oleh

CSSD menjadi lebih cepat sampai kepada unit pemakainnya, dengan mutu

yang dapat dipertanggungjawabkan dan memperpendek jalur birokrasi.

15
2. Pengendalian Infeksi Nosokomial

Bersama-sama dengan tim pengendalian infeksi nosokomial rumah sakit dapat

mengoptimalkan kerjasama dalam memantau produk-produk yang dikasilan

CSSD, memberikan masukan dan arahan pada pemakai di lapangan dalam

mengatasi atau menurunkan angka kejadian infeksi di rumah sakit.

3. Perkembangan ilmu dan teknologi

Dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi, maka komplesitas

peralatan medis dan teknis medis memerlukan prosedur sterilisasi yang

optimal sehingga keseluruhan proses menghasilkan kualitas steril terjamin.

4. Pendekatan Mutu

Produk-produk yang dihaasilkan CSSD harus melalui proses yang ketat sampai

menjadi produk yang steril. Setiap proses sterilisasi berjalan selalu dilengkapi

dengan indikator kimia, biologi, dan fisika. Secara berkala tiap 3 bulan

dilakukan tes mikrobiologi.

5. Efisien dan efektif

CSSD yang profesional, diharapkan mampu menyediakan prosuk streril yang

dapat dipertanggung jawabkan dengan menekan biaya operasional seminimal

mungki, mencegah terjadinya duplikasi proses sterilisasi, dan memeperpendek

jalur birokrasi. Dengan demikian dapat meningkatkan kecepatan pelayanan

dalam distribusi barang steril (Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi, 2009).

CSSD dipimpin oleh seorang kepala instalasi (dalam jabatan fungsional) dan bertanggung

jawab langsung kepada wakil direktuur penunjang medik. Hal ini perlu dilaksanakan agar

CSSD dapat berjalan sebagaimana mestinya adalah perlunya pembagian pekerjaan dalam

jabatan fungsional. Besar kecilnya instalasi ditetapkan berdasarkan beban kerja. Untuk dapat

16
memberikan pelayanan sterilisasi yang baik dan memenuhi kebutuhan barang steril rumah

sakit, kepala inslatasi CSSD dibantu oleh sekurang-kurangnya:

- Penanggung jawab administrasi

- Sub Instalasi Dekontaminasi, sterilisasi dan produksi

- Sub instalasi pengawasan mutu, pemeliharan sarana & peralatan, K3 dan diklat

- Sub Instalasi Distribus

Contoh struktur organisasi RSU tipe C (Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi, 2009).

Contoh struktur organisasi CSSD (Pedoman Instalasi Pusat Sterilisasi, 2009).

Di Indonesia, sampai saat ini belum banyak peraturan keselamatan dan kesehatan kerja

dilaksanakan di rumah sakit. Adanya asumsi bahwa tenaga kerja di rumah sakit dianggap

sudah tahu dan dapat mempertahankan kesehatan dan melindungi dirinya serta dianggap

17
lebih mudah melakukan konsultasi dengan dokter dan mendapatkan fasilitas perawatan secara

informal, menjadikan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit seolah-olah

dipinggirkan. Mengingat besarnya paparan dirumah sakit maka rumah sakit sebagai tempat

pelayanan kesehatan sangat perlu untuk diterapkan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan

Kerja (MK3) untuk memberikan perlindungan kepada para pegawai (Rahayuningsih, 2013).

Oleh karena itu, perlu dibentuknya suatu standar pelayanan keselamatan kerja dimana

pada prinsipnya mencakup pelayanan keselamatan bekerja mencakup sarana, prasarana, dan

peralatan kerja.

1. Bloodborne Pathogen Disease ( penyakit yang ditularkan melalui darah )

Bloodborne Pathogen merupakan suatu bakteri ataupun virus patogen yang dapat

ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui darah. Kuman Patogen bisa juga ditularkan

oleh cairan tubuh lainnya, dan sangat bervariasi tergantung pada jenis kuman patogen dan

jenis cairan tubuh (CDC, 2013).

Para tenaga medis yang meliputi dokter, dokter gigi, perawat, phlebotomist, paramedis,

petugas laboratorium, dan lain lainnya dapat berpotensi untuk terkotaminasi oleh darah

maupun cairan tubuh dari pasien. Walaupun luka yang diakibatkan oleh jarum suntik

merupakan paparan yang paling sering dilaporkan mengakibatkan penyakit - penyakit ini

dapat menular, namun “bloodborne disease” ini juga dapat menular melalui kontak dengan

mata, hidung, kulit yang luka (Ribeiro, 2014) (Gourni, 2014).

A. HIV (Human Immunodeficiency Virus)

Acquired Immunodeficien2cy syndrome (AIDS)yang pertama kali dilaporkan pada tahun

1981 telah berkembang menjadi suatu pandemi yang menyerang secara global dimana

kejadian tersebut tidak hanya menjadi masalah kesehatan namun juga menjadi permasalahan

di bidang ekonomi dimana penyebaran penyakit ini terbanyak berada di sub sahara - Afrika

(Bhise, 2015).

18
Diketahui diseluruh dunia, terdapat 33,4 juta orang yang telah terinfeksi HIV positif dan

52% diantaranya adalah wanita. Walaupun transmisi HIV dari ibu ke anak dapat

kemungkinan besar dicegah, dengan tingkat pencapaian kurang dari 2%, dan pada tahun 2009

diketahui terdapt 370.000 terinfeksi virus ini dan dinyatakan dengan infeksi baru (Colasanti,

2013)

Pada tahun 2010 sekitar 390.000 anak dibawah 15 tahun diketahui terinfeksi oleh

HIV/AIDS, kebanyakan diantara mereka dipercaya terjadi akibat transmisi selama kehamilan

atau saat persalinan serta post-partum akibat proses menyusui (Bhise, 2015).

Data United Nation of AIDS (UNAIDS) 2012 menunjukkan di Indonesia terjadi

peningkatan angka infeksi baru HIV lebih dari 25% dalam kurun waktu 2001-2011. Jumlah

kumulatif kasus AIDS di Indonesia sejak pertama kali ditemukan, 1 April 1987 sampai Juni

2013 sebesar 108.600 kasus HIV dan 43.667 untuk kasus AIDS, dengan kematian akibat

AIDS sebesar 8.340 kasus. Saat ini kasus HIV/AIDS telah tersebar di 341 dari 497

kabupaten/kota yang tersebar di seluruh Indonesia (Nurmasari, 2015).

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-

kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan namaLymphadenopathy Associated Virus (LAV),

sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas

kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. Virus ini

mempunyai dua tipe yaitu: HIV-1 dan HIV-2 (Siregar, 2014).

Transmisi virus HIV terutama melalui kontak seksual. Kontak seksual utama yang

menyebabkan kasus HIV yaitu pada populasi heteroseksual dan homoseksual. Transmisi HIV

utama lainnya terjadi di antara pengguna narkoba suntik. Pada anak-anak, penularan HIV

terutama melalui placcuta (Faunci et al, 2015).

19
Pada pengguna Narkoba Suntik yang penularannya langsung secara sistemik setelah HIV

masuk ke dalam tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada pada sel dendritik selam

beberapa hari. Kemudian terjadi syndrome retrovival acute seperti flu (serupa infeksi

mononucleosis). Pada tubuh timbul respon immune humoral maupun seluler. Pasien

kemudian akan memasuki tahapan tanpa gejala. Dalam tahap ini terjadi penurunan dalam

jumlah CD4+ (Faunci,et al : 2015).

Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, Transmisi HIV secara umum

dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu (Suhaimi, 2010):

a. Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan

ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual.

Kerusakan pada mukosa genitalia akibat penyakit menular seksual seperti sifilis

dan chancroid akan memudahkan terjadinya infeksi HIV.

b. Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah baik itu tranfusi whole blood,

plasma, trombosit, atau fraksi sel darah lainnya.

c. Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang

terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna obat-obatan

psikotropika.

d. Transmisi vertikal (perinatal): wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 15-40%

berkemung-kinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru dilahirkannya

melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air susu ibu.

20
B.Hepatitis

Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati. “Hepa” berarti kaitan dengan hati,

sementara “itis” berarti radang (seperti di artritis, dermatitis, dan pankreatitis). Radang hati –

hepatitis – mempunyai beberapa penyebab, termasuk:

 Racun dan zat kimia seperti alkohol berlebihan.

 Penyakit yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sehat dalam

tubuh, yang disebut sebagai penyakit autoimun.

 Mikroorganisme, termasuk virus (Greene, 2016).

Virus hepatitis yang transmisinya melalui darah yaitu terdiri atas virus hepatitis B

(HBV), virus hepatitis D (HDV), dan virus hepatitis C (HCV).

1).Virus Hepatitis B

Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). HBV adalah virus nonsitopatik,

yang berarti virus tersebut tidak menyebabkan kerusakan langsung pada sel hati. Sebaliknya,

reaksi yang bersifat menyerang oleh sistem kekebalan tubuh yang biasanya menyebabkan

radang dan kerusakan pada hati (Greene, 2016).

Penelitian di AS menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen orang dengan HIV pernah

terinfeksi dengan HBV pada suatu waktu dalam kehidupannya, dan 15 persen terinfeksi HBV

kronis. Keadaan di Indonesia belum jelas, tetapi Kemenkes menyatakan bahwa 3-33 orang

Indonesia terinfeksi HBV (Greene, 2016).

Masa inkubasi HBV 15 -180 hari (rata-rata 60 – 90 hari). Viremia berlangsung selama

beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut. Sebanyak 1-5% dewasa, 990% neonatus

dan 50% bayi akan berkembang menjadi hepatitis kronis dan viremia yang persisten. HBV

tidak patogenik terhadap sel hepatosit, tetapi respons imun terhadap virus ini yang bersifat

hepatotoksik. Kerusakan hepatosit menyebabkan peningkatan kadar ALT.

Cara transmisi:

21
 Melalui darah : penerima produk darah, IVDU, pasien hemodialisis, pekerja

kesehatan, pekerja yang terpapar darah

 Transmisi seksual

 Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa : tertusuk jarum, penggunaan

ulang peralatan medis yang terkontaminsi, penggunaan bersama pisau cukur dan

silet, tato, akupuntur, tindik, penggunaan sikat gigi bersama.

 Transmisi maternal – neonatal, maternal – infant

 Tak ada bukti penyebaran fekal – oral (Faunci et al, 2008)

Kurang dari 10 persen orang dewasa yang terinfeksi HBV mengalami infeksi HBV

kronis. Sebaliknya, kurang lebih 90 persen bayi yang terinfeksi HBV saat lahir mengalami

infeksi HBV kronis. Ada obat yang dapat diberikan pada bayi setelah lahir untuk membantu

mencegah hepatitis B. Anak muda yang terinfeksi HBV mempunyai risiko 25-50 persen

mengalami hepatitis B kronis (Greene, 2016). Resiko hepatitis akan meningkat pada

kelompok tertentu antara lain pada tenaga kesehatan, pekerja seksual, pengguna narkotika,

bayi dengan ibu yang menderita hepatitis B. Teanaga kesehatan termasuk orang yang

tergolong beresiko tertular penyakit hepatitis B, karena saat menjalani pekerjaan di Rumah

Sakit akan berinterakasilangsung dengan pasien. Resiko tertular hepatitis pada tenaga

kesehatan akan dapat dicegah jika melakukan perilaku pencegahan yangadekuat

(Rahmayanti, 2012).

2. Penyakit akibat pajanan bahan kimia atau akibat bahan Latex

Dermatitis KontakAkibat Kerja (DKAK)

Dermatitis merupakan peradangan kulit pada epidermis dan dermis sebagai

responterhadap pengaruh faktor eksogen dan endogen menyebabkan kelainan klinis berupa

efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenfikasi) dan keluhan

gatal. Penyebab dermatitis ini dapat berasal dari luar tubuh (eksogen), misalnya bahan kimia

22
(detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (sinar, suhu), mikroorganisme (bakteri, jamur), dapat

pula dari dalam tubuh (endogen), misalnya dermatitis atopik (Menaldi, 2015).

Dermatitis kontak ialah respon inflamasi akut ataupun kronis yang disebabkan oleh bahan

atau substansi yang menempel pada kulit (Fitzpatrick’s, 2009). Dermatitis kontak terdiri dari

dermatitis kontak iritan (DKI) yaitu dermatitis yang terjadi karena kulit berkontak dengan

bahan iritan dan yang kedua adalah dermatitis kontak alergik (DKA) yaitu dermatitis yang

terjadi karena kulit terpajan/berkontak dengan bahan-bahan yang bersifat sensitizer atau

alergen (Harahap, 2015).

Dermatitis kontak iritanpaling banyak disebabkan oleh air, pekerjaan yang basah, sabun

dan detergen(Cahillet al, 2012 dalam Fitria dkk., 2015). Sedangkan pada bahan alergen

berupa handscoon latex, karena handscoon dari bahan latex adalah alergen yang potensial

mengakibatkan DKA pada petugas kesehatan (Buss, 2007 dalam Rizadin dkk. 2016).Paparan

antigen lateks terjadi melalui kontak langsung dengan membran mukosa kulit yang dibawa

oleh partikel protein serbuk sarung tangan lateks.Penyerapan protein lateks melalui kulit

merupakan jalur utama sensitisasi, dan bertanggungjawab atas munculnya manifestasi lokal

urtikaria yang akhirnya dapat menjadi sistemik. Peristiwa ini terkait dengan pemakaian

sarung tangan lateks jangka panjang (Taylor, 2004 dalam Rizadin dkk. 2016).

Pekerjaan yang berisiko penyakit ini sering terjadi pada tenaga kesehatan misalnya

perawat adalah penyakit dermatitis pada tangan karena disebabkan paparan oleh bahan iritan

(Visser et al., 2013). Peningkatan risiko dermatitis kontak pada tenaga medis karena

frekuensi cuci tangan, tetapi pada penggunaan gel alkohol juga dapat meningkat dikarenakan

kontak dengan alergen dan penggunaan sarung tangan (Malik dan English, 2015).

Sabun, detergen, sarung tangan dan air merupakan agen basa lemah yang akan

menimbulkan gangguan atau kerusakan pada kulit secara perlahan setelah paparan yang

berulang(Cahillet al, 2012 dalam Fitria dkk., 2015). Petugas Kesehatan wajib mencuci tangan

23
dan menggunakan handscoon sebelum tindakan terhadap pasien, sedangkan mencuci tangan

dan penggunaan handscoon merupakan faktor yang mengakibatkan terjadinya DKAK,

sehingga kejadian DKAK pada Petugas Kesehatan sulit untuk dihindari (Smith, 2005 dalam

Rizadin dkk. 2016).

DKAK dapat disebabkan olehfaktor predisposisi individu seperti kapasitas toleransi kulit,

genetik, umur, dan riwayat atopi. Kemampuan untuk mereduksi radikal bebas, perubahan

kadar enzim antioksidan, dan kemampuan melindungi protein dari trauma panas, semuanya

diatur oleh genetik.Umur memiliki hubungan terhadap pertahanan kulit karena orang yang

berusia lebih muda atau lebih tua akan lebih rentan terhadap dermatitis kontak. Sedangkan

riwayat atopi sebelumnya memberikan kerentanan terhadap dermatitis kontak alergik oleh

karena dimediasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat (IV) yang terbatas pada sejumlah orang

tertentu setelah terpapar satu atau beberapa substansi antigen. Individu yang telah mengalami

sensitisasi dapat menderita dermatitis kontak alergik (Fitria dkk., 2015).

Faktor individu juga ikut berperan, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (utuh,

terluka, kering, tebal epidermis bergantung pada lokasinya) dan status imunologik (sedang

sakit, atau terpajan matahari) (Balgis, 2015).

Dermatitis kontak merupakan bagian dari eksim atau eksema, di mana kulit bisa menjadi

memerah, kering dan pecah-pecah. Dermatitis kontak bisa terjadi pada kulit di bagian tubuh

mana pun, tapi umumnya dermatitis kontak menyerang kulit tangan dan wajah. Agar

pengobatan bisa berjalan sukses, penderita harus mengidentifikasi dan menghindari penyebab

munculnya dermatitis kontak pada kulit mereka (Menaldi, 2015).

3. Penyakit Muskuloskeletal

Low Back Pain (LBP)

Low back pain (LBP) atau nyeri punggung bawah (NPB) merupakan keluhan yang sering

dijumpai dan umum dalam masyarakat. Hampir setiap orang pernah merasakan LBP dalam

24
hidupnya. LBP termasuk salah satu gangguan muskuloskeletal yang sering terjadi dan

menyebabkan penurunan produktivitas kerja dan disabilitas (Sari, 2015).

Low Back Pain (LBP) atau yang sering disebut dengan nyeri punggung bawah (NPB)

merupakan keluhan yang sering dijumpai. NPB adalah nyeri yang dirasakan di daerah

punggung bawah, dapat berupa nyeri lokal maupun nyeri radikular atau keduanya. Nyeri ini

terasa di antara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau

lumbosakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki

(Mahadewa, 2009).

NPB dapat dibedakan menjadi NPB akut dan kronik. Definisinya bervariasi, tetapi gejala

yang berlangsung selama lebih dari 12 minggu umumnya disebut sebagai NPB kronik, dan

disebut NPB akut bila gejala berlangsung selama kurang dari enam minggu. Selain NPB akut

dan kronik, ada juga yang disebut dengan NPB sub akut yang gejalanya berlangsung selama

lebih dari enam minggu dan kurang dari 12 minggu (Anthony, 2010).

Faktor yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja seperti nyeri punggung

bawahtersebut antara lain adalah faktor fisiologis, faktor usia, dan faktor aktivitas (Azize,

2009).Perawat merupakan tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien.Salah

satu intervensi yang sering dilakukan perawat adalah memobilisasi pasien seperti

mengangkat, mendorong, serta memindahkan pasien. Posisi yang salah atau tidak ergonomis

dalam melakukan pekerjaan sering menimbulkan ketidaknyamanan, dan kondisi yang sering

dikeluhkan adalah NPB (Azize, 2009).

4. Heat Exhaustion

Heat-related illness (penyakit akibat panas) merupakan keluhan atau kelainan klinis yang

akibatkan oleh paparan panas. Penyakit ini muncul jika terdapat gangguan regulasi suhu

tubuh akibat input panas dan metabolisme tubuh meningkat namun tidak diimbangi dengan

pengeluaran panas dari kulit secara radiasi, evaporasi, dan konveksi (Ashar, 2017). Heat

25
exhaustion berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu deplesi air (hypernatremia) yang

cepat timbul akibat penambahan cairan yang inadekuat dan deplesi garam (hiponatremia)

akibat pemberian pengganti air yang berkepanjangan dengan masukan sodium yang

insufisien. Suhu tubuh dalam keadaan ini berkisar antara 37°C-40°C . Gejala yang muncul

berupa malaise, fatigue, sakit kepala, peningkatan rasa haus, mual, muntah, kram otot, kulit

yang dingin atau berkerut, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan takikardi ringan,

ortostasis, takipnea, membran mukosa mengering, kulit memerah, dan muscle tenderness

(Ashar, 2017).

5. Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Gangguan pendengaran akibat bising (NIHL) adalah tuli syaraf yang terjadi akibat

terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya

diakibatkan oleh bising lingkungan kerja (Fatimah, 2008). Menurut International

Organization of Standardization (ISO) 1999, batas pendengaran normal bergantung pada

jenis kelamin pada usia tertentu. Batas pendengaran normal akan meingkat sejalan dengan

peningkatan usia yaitu sekitar 3-8 kHz dan jenis kelamin laki-laki lebih sering kehilangan

pendengaran (Lie et al., 2016).

IV. INTERVENSI (menggunakan 5 langkah penatalaksanaan gangguan

kesehatan akibat kerja)

Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dapat disebabkan oleh berbagai macam hal

mulai dari kurangnya kewaspadaan petugas medis maupun minimnya sarana dan prasarana

APD yang ada. Sehingga memudahkan terjadinya penyakit akibat kerja. Untuk mengatasi

permasalah ini maka langkah awal identifikasi bahaya yang bisa timbul. Kemudian dilakukan

pengendalian untuk mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya dilingkungan kerja.

26
a. Pengenalan Lingkungan kerja

Pengenalan lingkungan kerja ini dapat dilakukan dengan cara melihat serta mengenal, ini

merupakan langkah dasar yang dilakukan dalam upaya pengendalian kesehatan kerja. Dalam

masalah ini para petugas di CCSD perlu memahami lingkungan kerja CSSD. Hal ini

bertujuan agar petugas mengetahui alur kerja dari sterilisasi, terhindar dari faktor resiko yang

di timbulkan akibat pekerjaannya, dan mencegah tertularnya penyakit dari alat-alat

kedokteran ke pasien. Contohnya, seperti mengikuti orientasi kerja sehingga petugas

mengetahui medan pekerjaannya kemudian saat bekerja petugas memakai APD.

b. Evaluasi Lingkungan kerja

Evaluasi lingkungan kerja merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi-

potensi bahaya yang mungkin timbul di dalam melakukan pekerjaan, hal ini dapat

dipraktekkan misalnya staf yang memiliki masalah pernapasan (misalnya asma) harus di

evaluasi oleh team kesehatan dan keamanan serta keselamatan sebelum bekerja pada saat

menggunakan bahan desinfektan atau bahan pembersih kimia.

c. Pengendalian lingkungan kerja

Didalam pengendalian lingkungan kerja merupakan faktor penting dalam mengurangi

resiko penyakit akibat kerja, diantaranya adalah penggunaan APD dalam melakukan segala

tindakan. Dalam hal ini, petugas kurang dalam pengendalian lingungan kerja seperti

pengunaan APD dengan baik, yaitu sering tidak menggunakan APD kacamata goggle dan

penutup kepala. Kedua APD ini dapat mencegah terperciknya petugas dari bahan-bahan

kimia di CSSD.

Selain 3 langkah diatas terdapat 5 tahapan penatalaksaan gangguan kesehatan akibat kerja

yang meliputi diantaranya adalah :

27
Proses Kerja

Dalam proses kerja, petugas CSSD RSI Siti Aisyah Madiun masih tidak patuh dalam

menggunakan APD yang lengkap. Petugas sering tidak menggunakan kacamata goggle serta

penutup kepala dimana tujuan menggunakan APD secara lengkap adalah untuk menghindari

percikan bahan kimia.

Lingkungan Kerja

Pada lingkungan kerja CSSD dapat dilakukan intervensi, yaitu melakukan posisi

mengangkut barang yang benar, atau bisa juga menggunakan troli dorong yang tidak perlu

menunduk. Selain itu, menambah jumlah kursi atau memberi ruang istirahat dengan yang

berbahan empuk yang digunakan pekerja untuk beristirahat dan shift kerja yang disesuaikan.

Ruangan sterilisasi yang dapat ditutup juga mampu untuk mengurangi kebisingan alat

sterilisasi.

Kondisi Karyawan

Kondisi karyawan hingga saat ini masih belum ditemukan masalah yang berkaitan dengan

kesehatan kerja baik dari penularan penyakit dari alat-alat kedokteran. Pada langkah ini dapat

di lakukan intervensi dengan diadakanya penyuluhan/pelatihan khusus bagi petugas tentang

cara pengendalian infeksi dan juga di adakan cek kesehatan rutin bagi petugas CSSD agar

dapat diketahui status kesehatan para petugas sehinga dapat dilakukan tindakan jika

membutuhkan. Sehingga dapat mengurangi angka kejadian kecelakaan akibat kerja.

Kebijakan Manajemen

Mensosialisasikan mengenai undang-undang yang mengatur perlindungan kesehatan

kerja dan mewajibkan seluruh karyawan untuk mentaati peraturan sesuai SOP di RS yang

berlaku serta Pedoman Instalasi Sterilisasi mengenai APD yang digunakan saat tindakan, dan

dilakukannya peneguran atau sanksi bagi karyawan yang tidak melakukan sesuai prosedur

yang sudah ada.

28
Regulasi yang Berlaku

Regulasi yang dipakai tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam

penyelenggaraan keselamatan kerja dapat mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi No 02/MEN/1980. Selain itu juga dipakai strategi penatalaksanaan dalam

regulasi ini yaitu dengan mengusulkan untuk ditinjau kembali kelengkapan alat, fasilitas, dan

alat kebutuhan serta keamanan dan keselamatan kerja sesuai peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No 411/MENKES/PER/98/2010.

29
DAFTAR PUSTAKA

Anizar, 2012. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Anthony EC,et al.2010. Acute Low Back Pain. Available from:
http://www.med.umich.edu/1info/FHP/practiceguides/back/back.pdf.
Asdie AH, W. P, 2012. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-13. Jakarta:
EGC.
Ashar TD, Saftarina F, Wahyudo R. 2017. Penyakit Akibat Panas. Medula : 7 (5) : 219-223.
Azize K, Sultan K, Aysel A, Nevin D. 2009..Low Back Pain: Prevalence and Associated
Risk Factors among Hospital Staff. 2009;65(3):516-24
Balgis, V. R, 2015. Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Pekerja Kebun Anggrek. Jakarta:
Media Dermato Venerelogica Indonesia.
Bhise, JD., Deo D. (2015). Awareness and Knowledge of Mother to Child Transmission of
HIV/AIDS among Pregnant Woman of Rural Tertiary Care Hospital. National
Journal of Community Medicine Vol. 6 Issue 4. pISSN 0976 3325, eISSN 2229 6816.
Ambajogai, India.
Buss, Z.S., & Frode, S.S. 2007. Latex Allergen Sensitization and Risk Factor Due To Glove
use by Health Care Workers at Public Health Units in Florianopolis Brazil, J Investig
Allergol Clin Immunol 2007; Vol. 17(1):27-33.
Cahill J, et al. 2012. Occupational contact dermatitis: a review of 18 years of data from
occupational dermatology clinic in Australia. Australia: Safe Work Australia.
Colasanti, J., Rugama, M. L., Lifschitz, K., et al. (2013). HIV testing rates among
pregnantwomen in Managua, Nicaragua, 2010-2011. Revista Panamericana de Salud
Publica/Pan American Journal of Public Health, 33(1), 15-21.
Communication Disease Control. Blood or Body Fluid Exposure Option. January: 2013
Communication Disease Control.HIV AIDS. March : 2004
Depkes, 2009. Pedoman Instalasi Sterilisasi (CSSD)
English J dan Malik M, 2015. Irritant Hand Dermatitis in Health Care Workers. pp.474-76.
Fatimah S. 2008. Pengaruh kebisingan terhadap Noise Induced Hearing Loss (NIHL)
Karyawan di PT SCTI Jakarta Timur Tahun 2008. Tesis Magister Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Faunci, Braunwald, Kasper et al. 2015. Acute Viral Hepatitis.in Harrison’s Princples
ofInternal Medicine 17th edition ch 298. USA : McGraw-Hill Companies.

30
Faunci, Braunwald, Kasper et al. 2015. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
Related Disorders.in Harrison’s Princples of Internal Medicine 17th edition ch 1076,
2372-2390. USA : McGraw-Hill Companies.
Faunci, Braunwald, Kasper et al.2015. Tuberculosis.in Harrison’s Princples of Internal
Medicine 17th edition ch 158,. USA : McGraw-Hill Companies.
Fitria dkk., 2015. Prevalensi Dermatitis Kontak Akibat Kerja dan Faktor yang
Mempengaruhinya pada Pekerja Cleaning Service di Rumah Sakit Umum Abdul
Moeloek. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.
Ganem D, Prince AM. 2004. Hepatitis B virus infection- natural history and clinical
consequences. N Engl J Med. 2004;350:1118-29.
Gourni, Paraskeui. 2014.Occupational Exposure to Blood and Body Fluids of nurses at
Emergency Department. Health Science Journal Volume 6 Issue 1 ( January – March
2014).
Greene C. 2016. Hepatitis dan Virus HIV. Yayasan Spiritia, Jakarta Pusat.
Harahap, M., 2015. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Hardjoeno. 2007. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil laboratorium. Makassar:
Cahaya Dinan Rucitra.
Kumar V, C. R. 2012. Buku ajar patologi Robbins, edisi ke-7.Jakarta: EGC.
Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan Tulang
Belakang (1st ed). Jakarta: CV Agung Seto, 2009; p. 156-88Menaldi, S. L. 2015.
Atlas Berwarna dan Sinopsis Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FK
UI.
Mustafa S, K. E. 2013. Manajemen gangguan saluran cerna panduan bagi dokter umum.
Lampung: Anugrah Utama Raharja(Aura).
Rahmayanti. 2012. Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dengan Perilaku Pencegahan
Hepatitis B. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Rina dkk., 2014. Faktor Risiko Hepatitis B Pada Tenaga Kesehatan Kota Pekanbaru. Fakultas
Kedokteran Universitas Riau.
Rizadin dkk. 2016. Hubungan Pekerja Basah Dengan Kejadian Dermatitis Kontak Akibat
Kerja pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit X Tanjung, Tabalong, Kalimantan
Selatan. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sari, N. P. L. N. I., Theresia I. M., Engeline A., 2015. Hubungan Lama Duduk dengan
Kejadian Low Back Pain pada Operator Komputer Perusahaan Travel di Manado.
Jurnal e-Clinic, volume 3, nomor 2.

31
Seo Y, Yoon S. Hamano K, 2004. Early response to interferon (treatment and long term
clinical outcome in Japanese patients with chronic HBV genotype C infection. Int J
Mol Med. 2004;13:75- 9.
Smith, R.D., Wei, N., Zhao, L., & Wang, S.R. 2005.Hand Dermatitis Among Nurses In A
Newly Developing Region Of Mainland China. International Journal Of Nursing
Studies. Vol 42: (13-19).
Standar Operasional Prosedur RSI Siti Aisyah Madiun, 2018
Taylor, J. S., Erkek, E. 2004. Latex Allergy: Diagnosis and Management. Dermatol Ther.;
17:289-301.
Tawakka. 2012. Dasar-dasar Keselamatan Kerja Serta Pencegahan Kecelakaan di Tempat
Kerja. Surakarta: Harapan Press.
UL., H. 2017. Kapita selekta hepatitis virus dan interpretasi hasil laboratorium. Makassar:
Cahya Dinan Rucitra.
Vergani D, Mieli-Vergani G., 2004. Viral hepatitis: virus/host interaction. J Gastroenterol
Hepatol. 2004;19:S307-10.
Visser, et al. 2013. Impact of Atopic Dermatitis and Loss-of-Function Mutations in the
Filaggrin Gene on the Development of Occupational Irritant Contact
Dermatitis.British Journal Dermatology, pp.326-32.
Wolff K, Johnson RA, Saavedra A., 2009. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of clinical
dermatology. Edisi ke6. New York: McGrawHill.
Z, D. 2013. Tata Laksana Respirologi Respirasi Kritis. Jakarta: PERPARI.

32
DOKUMENTASI

A.Pintu masuk penerimaan alat steril B.Ruang pencucian alat steril

C.Ruang pengemasan dan pelabelan alat D.Ruang sterilisasi alat

33
E.Alat yang direndam dengan larutan enzimatik F.Proses pencucian alat

G.Proses pengeringan alat H.Pengemasan dan pelabelan alat

34
I.Proses sterilisasi alat J.Alat yang telah disterilisasi

K. Ruang penyimpanan alat steril

35
L.Denah CSSD

36

Anda mungkin juga menyukai