Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Vitiligo adalah kelainan pigmen yang didapat, kronis, dan mungkin


autoimun, yang ditandai dengan makula dan bercak putih, karena hilangnya
melanosit kulit secara progresif dan kelainan fungsi normalnya. (1) Vitiligo tidak
boleh dianggap sebagai penyakit kosmetik atau penyakit ringan, karena efeknya
dapat menghancurkan secara psikologis, dari sepuluh dengan beban yang cukup
besar pada kehidupan sehari-hari.(2) Vitiligo memiliki dampak yang nyata pada
kesehatan fisik dan mental pasien, termasuk hilangnya fotoproteksi kulit,
gangguan imunitas kulit, dan penurunan kualitas hidup yang secara langsung
berkorelasi dengan permulaan usia dini (biasanya dalam dua dekade pertama
kehidupan).(5)

Pada tahun 2011, sebuah konsensus internasional mengklasifikasikan


vitiligo menjadi dua bentuk utama yaitu nonsegmental vitiligo (NSV) dan vitiligo
segmental (SV). Istilah vitiligo didefinisikan untuk menunjuk semua bentuk NSV
(termasuk varian acrofacial, mucosal, generalized, universal, mixed dan rare).
Yang membedakan SV dari jenis vitiligo lainnya menurut keputusan dari
konsensus, terutama karena implikasi prognostiknya.(2) Penyebab patogen
mungkin multifaktorial, termasuk pengaruh genetik, gangguan biokimiawi, proses
autoimun, defisit adhesi melanosit, dan ketidakseimbangan sistem saraf.(3) Adanya
penyakit autoimun seperti tiroiditis autoimun, penyakit Grave’s, penyakit
Addison, diabetes melitus, alopesia areata, dan anemia pernisiosa pada pasien
mendukung etiologi autoimunnya. (4)

Vitiligo adalah gangguan kulit depigmentasi yang paling umum, dengan


perkiraan prevalensi 0,5-2% populasi pada orang dewasa dan anak-anak di seluruh
dunia. Salah satu survei epidemiologi paling awal dan terbesar yang pernah
dilaporkan dilakukan di Pulau Bornholm, Denmark, pada tahun 1977, di mana
vitiligo dilaporkan memengaruhi 0,38% populasi. Vitiligo mempengaruhi

1
kelompok etnis dan orang-orang dari semua jenis kulit tanpa predileksi. Namun,
tampaknya terdapat perbedaan geografis yang besar.(2)

Laki-laki dan perempuan sama-sama prevalensinya, meskipun perempuan


lebih sering melakukan konsultasi, kemungkinan karena dampak sosial negatif
yang lebih besar daripada laki-laki dan anak laki-laki. NSV berkembang pada
semua usia tetapi biasanya terjadi pada orang muda antara usia 10 dan 30 tahun.
25% pasien vitiligo mengalami penyakit ini sebelum usia 10 tahun, hampir
setengah dari pasien dengan vitiligo mengembangkan penyakit ini sebelum usia
20 tahun dan hampir 70-80% sebelum usia 30 tahun. SV cenderung terjadi pada
usia yang lebih muda dari NSV sebelum usia 30 tahun pada 87% kasus dan
sebelum usia 10 tahun pada 41,3% . Dalam laporan Hann dan Lee, usia rata-rata
onset adalah 15,6 tahun. Onset paling awal yang dilaporkan segera setelah lahir,
sedangkan yang terakhir adalah 54 tahun. Sebagian besar kasus berlangsung
kurang dari 3 tahun saat dirujuk, mulai dari 2 bulan hingga 15 tahun.(2)

Penelitian terbaru mulai mengungkap patofisiologi dari vitiligo. Peristiwa


pemicu dianggap memicu respons stres pada kulit yang menimbulkan respons
autoimun secara genetik. Pada vitiligo, melanosit dari pasien dengan vitiligo
mengalami penurunan daya tahan tubuh dan lebih rentan terhadap stres oksidatif.
Dengan adanya latar belakang genetik yang rentan, menyebabkan perubahan
sistem antioksidan secara luas. Mitokondria tampaknya menjadi penginduksi
utama ROS, dan pasien dengan vitiligo memiliki fungsi mitokondria yang
berubah. Stres oksidatif merusak fungsi lipid membran dan protein seluler.
Sintesis dan daur ulang biopterin juga berubah, menyebabkan stres oksidatif dan
kerusakan sel lebih lanjut. Produksi berlebih ROS mengaktifkan respons protein
yang tidak terlibat dan menyebabkan melanosit mengeluarkan eksosom yang
mengandung antigen spesifik melanosit, miRNA, protein kejutan panas, dan pola
molekuler terkait kerusakan. Eksosom deliver vitiligo ini menargetkan antigen ke
sel dendritik terdekat dan menginduksi pematangannya menjadi sel penyaji
antigen yang efisien.(2)

2
Untuk lebih memahami patogenesis vitiligo, suatu penelitian telah
mengungkapkan bahwa strategi pengobatan yang optimal harus
mempertimbangkan 3 aspek kunci dari penyakit ini: 1) menormalkan stres
melanosit, 2) menghambat autoimunitas, dan 3) mendorong regenerasi melanosit.
Terapi yang muncul berusaha untuk menargetkan jalur spesifik yang diidentifikasi
melalui studi penelitian dasar, translasi, dan klinis dalam vitiligo, untuk
meningkatkan efikasi dan keamanan pasien.(5)

Saat ini tidak ada pengobatan untuk vitiligo yang secara efektif
meningkatkan repigmentasi lengkap dengan efek jangka panjang sekaligus
mencegah kekambuhan. Terapi depigmentasi total menggunakan monobenzon
(untuk kasus yang parah) saat ini satu-satunya pengobatan yang disetujui oleh
Food and Drug Administration (FDA) AS untuk vitiligo yaitu pendekatan baru
untuk mencegah kehilangan lebih lanjut dan meningkatkan repigmentasi sedang
diselidiki dan dapat menghasilkan terapi yang efektif dan tahan lama. (6) Namun,
terapi medis dan bedah untuk vitiligo, terutama bila digunakan dalam kombinasi,
telah menunjukkan beberapa keberhasilan dalam stabilisasi dan repigmentasi
vitiligo. Penelitian lanjutan tentang patogenesis penyakit kompleks dan
multifaktorial ini akan membantu memberikan wawasan lebih lanjut tentang target
penyakit dan cara terbaik untuk mendekati pengobatan.(6)

Meskipun banyak terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti tersedia


untuk pengobatan vitiligo, dalam beberapa dekade terakhir obat-obatan
nonkonvensional baru telah diperkenalkan untuk perbaikan penyakit kulit seperti
Alpha lipoic acid, Flavonoid, Glutathione (GSH), L-DOPA, Levamisole,
Fluorouracil, dan beberapa jenis obat lainnya.(7)

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Vitiligo adalah kelainan kulit depigmentasi, ditandai dengan hilangnya
melanosit secara selektif, yang pada gilirannya menyebabkan pengenceran
pigmen di area kulit yang terkena. Lesi yang khas adalah makula amelanotik,
tidak berkapur, putih kapur dengan tepi yang berbeda.(8)
Ini juga dapat mempengaruhi rambut dan bagian dalam mulut. Biasanya
warna rambut dan kulit ditentukan oleh melanin. Vitiligo terjadi ketika sel-sel
yang memproduksi melanin mati atau berhenti berfungsi.(9)

B. EPIDEMIOLOGI
Umumnya vitiligo muncul setelah kelahiran, dapat berkembang di masa
anak-anak, onset usia rata-ratanya adalah 20 tahun. Sementara ahli berpendapat
vitiligo dijumpai baik pada pria maupun wanita, tidak berbeda signifikan dalam
hal tipe kulit atau ras tertentu. Pada 25% kasus, dimulai pada usia 14 tahun;
sekitar separuh penderita vitiligo muncul sebelum berusia 20 tahun.(10)
Vitiligo mempengaruhi orang-orang dari semua jenis kulit, tetapi
mungkin lebih terlihat pada orang dengan kulit yang lebih gelap. Vitiligo
biasanya menandai sekitar 1% dari penduduk dunia. Itu tidak merangkul
perbedaan ras, seksual atau regional di antara orang-orang. Kecerdasan tertentu
menyatakan bahwa kejadian Vitiligo di India, Mesir dan Jepang lebih tinggi.
Ini berkisar dari 1,25% hingga 6% dari populasi. Jenis yang paling umum
adalah vitiligo umum non-segmental (disebut sebagai vitiligo), yang muncul
dengan lesi yang tersebar luas, biasanya simetris, dan progresif. Vitiligo

4
memiliki dampak artikulatif pada kesehatan fisik dan mental pasien, termasuk
hilangnya perlindungan foto kulit, gangguan imunitas kulit, serta penurunan
kualitas hidup yang sangat terkait dengan onset usia dini.(9)
Secara klinis, ini ditandai dengan perkembangan makula depigmentasi dan
patch sekunder untuk kerusakan selektif melanosit. Secara klinis, dua subtipe
utama vitiligo telah dikenali dengan baik: non-segmental dan segmental.
Vitiligo non-segmental (NSV) adalah subtipe yang lebih umum, memiliki
distribusi asimetris, non-dermatomal biasanya dengan onset bertahap. Vitiligo
segmental (SV) lebih jarang dan ditandai dengan distribusi dermatomal
unilateral yang biasanya memiliki onset cepat awal dan stabil di lokasi terbatas
setelah berkembang sempurna. Prevalensi vitiligo tinggi berkisar antara 0,005
sampai 0,38% kasus di seluruh dunia. Gujarat, yang terletak di pantai barat
Semenanjung India, telah dilaporkan memiliki prevalensi 8,8%, tertinggi di
dunia. Meskipun prevalensi tinggi dan riwayat lama, etiopatogenesisnya rumit
dan membingungkan. Sebagian besar bukti yang tersedia saat ini mendukung
terjadinya fenomena autoimun pada pasien dengan predisposisi genetik yang
mendasari. Namun, dengan kemajuan dan penelitian lebih lanjut dalam
memahami patogenesis penyakit yang merusak secara psikologis ini, wawasan
baru tentang etiopatogenesisnya terus bermunculan.(11)

C. ETIOPATOGENESIS
Penyebab vitiligo masih belum diketahui, meskipun jelas bahwa
beberapa proses patofisiologis yang berbeda mungkin terlibat. Hipotesis
pendukung terbaik sejauh ini adalah hipotesis autoimun yang diikuti oleh teori
stres oksidatif. Teori yang lebih baru, seperti melanocytorrhagy, penurunan
kelangsungan hidup melanosit dan peran protein pengikat DNA HMGB-1,
homosistein dan kekurangan vitamin D baru-baru ini dikemukakan. Karena
semua teori ini tampaknya masuk akal, kemungkinan vitiligo memang
mencakup serangkaian kelainan dengan latar belakang patofisiologis yang
berbeda namun fenotipe yang umum.(11)

5
Respon stres pada kulit yang menimbulkan respon autoimun pada
individu yang rentan secara genetik dianggap dipicu oleh peristiwa pemicu
yang pada akhirnya menargetkan melanosit yang menjadi predisposisi individu
untuk mengembangkan viti- ligo. Meskipun penelitian terbaru telah mulai
mengungkapkan etiopatogenesis vitiligo, mekanisme yang menyebabkan
vitiligo masih menjadi topik yang bisa diperdebatkan. Namun, beberapa
hipotesis telah disajikan yang menandakan hubungannya dengan
perkembangan vitiligo. Di antara teori berbeda yang dikembangkan, yaitu,
autoimunitas, stres oksidatif, pertumbuhan melanosit dan adhesi melanosit
yang rusak, infeksi virus, dan mekanisme saraf, teori autoimun saat ini
dianggap dan diterima sebagai teori terkemuka secara global, yang telah
terbukti diamati oleh beberapa laporan tentang seringnya asosiasi vitiligo
dengan penyakit autoimun. Juga, hubungan viti- ligo dengan halo naevus, yang
ditandai dengan daerah depigmen seperti halo yang membatasi tahi lalat yang
meliputi infiltrat sel imun padat, selanjutnya mendukung pentingnya
mekanisme imun dalam perkembangan vitiligo.(13)

Gambar 2.1 Mekanisme etiopatogenesis pada vitiligo

a. Teori autoimun

6
Hilangnya toleransi diri dalam patogenesis vitiligo tidak jelas dan
belum dipahami dengan baik. Tingkat autoantibodi melanosit yang
bersirkulasi yang dikenali oleh sel T secara spesifik melawan tirosinase
(TRP-1 dan TRP-2) telah ditemukan pada banyak pasien vitiligo dengan
peran mereka terkait dengan penghancuran keratinosit dan metanosit.
Autoimunitas pada vitiligo telah disarankan untuk berkembang karena
kegagalan mekanisme inheren yang dimaksudkan untuk mengontrol
proliferasi melanosit. Protein antigenik lain yang berhubungan dengan
aktivitas penyakit, yaitu glikoprotein 100 (gp100) dan antigen melanoma
yang dikenali oleh sel T 1 (MART-1) juga telah terdeteksi dalam darah dan
jaringan pasien vitiligo. Beberapa penelitian telah menunjukkan akumulasi sel
T helper (TH) dan T sitotoksik (TC) yang menunjukkan pembentukan proses
inflamasi mikro diam-diam yang membunuh melanosit di persimpangan area
dermal dan epidermal lesi vitiligo yang menyiratkan mediasi sel. aktivitas
respon imun. Alel major histocompatibility complex (MHC) tertentu telah
disarankan untuk dikaitkan dengan vitiligo sebagai hubungan penting antara
etiologi penyakit dan presentasi antigen diri yang menyimpang ke sel T.
Selain itu, antigen leukosit manusia (HLA) -A2 terbatas, limfosit CD8 + T
spesifik melanosit yang diidentifikasi untuk membunuh melanosit di kulit
perilesional, telah terdeteksi pada pasien vitiligo. Juga, peran mendasar dari
sel T regulator (Treg) dalam patogenesis vitiligo telah terlibat dalam beberapa
laporan dengan penurunan jumlah mereka dalam darah perifer pasien viti-
ligo bersama dengan aktivitas disfungsional mereka. Juga dianggap sebagai
penyakit terkait Th1, peningkatan yang signifikan dalam konsentrasi sitokin,
yaitu, TNF-α, IFNG, IL-10, IL1B, dan IL-17 juga telah dilaporkan terkait
dengan onset sebagai serta persistensi vitiligo pada pasien. Oleh karena itu,
vitiligo berfungsi sebagai model penyakit unggulan untuk memahami
permulaan dan perkembangan penyakit autoimun spesifik organ.(13)
Ini diikuti oleh aktivasi sel T helper 17 yang digerakkan oleh sitokin
dan kemokin dan disfungsi sel pengatur T. Sel CD8 + T dari lesi vitiligo
menghasilkan beberapa sitokin seperti IFN-γ. Pengikatan IFN-γ ke

7
reseptornya mengaktifkan jalur JAK-STAT dan mengarah ke sekresi CXCL9
dan CXCL10 di kulit. Melalui reseptor serumpun CXCR3, CXCL9
mempromosikan perekrutan massal sel T CD8 + spesifik melanosit ke kulit
sedangkan CXCL10 meningkatkan lokalisasi mereka di dalam epidermis dan
fungsi efektornya, yang meningkatkan peradangan melalui umpan balik
positif. 6BH4, 6-tetrahydrobiopterin; 7BH4, 7-tet-rahydrobiopterin; CXCL9,
ligan kemokin CXC 9; CXCL10, ligan kemokin CXC 10; CXCR3, reseptor
kemokin tipe 3; DAMP, pola molekuler terkait kerusakan; DC, sel dendritik;
IFN-γ, interferon-γ; JAK, Janus kinase; ROS, spesies oksigen reaktif; STAT1,
transduser sinyal dan penggerak transkripsi. (2)

b. Teori stres oksidatif


Stres oksidatif, yang merupakan hasil dari peningkatan tingkat spesies
oksigen reaktif (ROS) dan penurunan enzim antioksidan selanjutnya,
mengganggu fungsi protein seluler dan lipid membran, sehingga mengganggu
aktivitas sistem antioksidan di kedua lesi. dan kulit non-lesional. Status
sistem antioksidan in vitiligo yang tidak seimbang ini telah diindikasikan
menyebabkan peningkatan kepekaan melanosit terhadap stres oksidatif yang
menyebabkan kematian sel. Tingkat kelebihan ROS telah dilaporkan pada
kulit vitiligo aktif yang menunjukkan stres oksidatif sebagai penyebab
patogenesis vitiligo yang masuk akal. Superoksida dismutase, suatu enzim
antioksidan, telah dilaporkan diubah pada kulit vitiligo yang menunjukkan
bahwa pembentukan ROS menyebabkan perubahan ekspresi sistem
antioksidan yang mempengaruhi fungsi melanosit. Pengurangan ekspresi
TRP1 yang digerakkan oleh stres oksidatif memicu produksi obat-obatan
melanin toksik yang mengarah ke penghancuran melanosit yang dimediasi
oleh kekebalan berikutnya. Data eksperimental mengungkapkan hubungan
yang erat antara stres oksidatif dan respons imun yang mendorong kerusakan
intrinsik. Analisis histologis menunjukkan ekspresi domain pyrin keluarga
NLR yang mengandung 1 (NLRP1), IL-1, dan katalase (CAT) pada lesi yang
berkembang. Beberapa polimorfisme telah dilaporkan dalam gen CAT, yang

8
merusak fungsi enzim dari X-box binding protein 1 (XBP1) yang terutama
terlibat dalam mengurangi peradangan yang diinduksi stres. Faktor-faktor ini
terlibat dalam respons stres yang pada akhirnya memicu respons imun
bawaan.(13)

c. Teori adhesi melanosit dan pertumbuhan melanosit yang kurang


Bukti dari penurunan sifat adhesif melanosit in vitiligo telah
dilaporkan dalam penelitian sebelumnya. Tingkat ekspresi E-cadherin yang
berkurang telah diamati pada melanosit sebelum perkembangan depigmentasi
pada kulit vitiligo. Selama stres oksidatif atau mekanis, ekspresi E-cadherin
yang berubah memicu hilangnya adhesi pada melanosit epidermal karena
peningkatan level molekul anti-adhesi, tenascin. Hilangnya melanosit dari
lapisan epidermis karena kurangnya adhesi melanosit bisa menjadi fenomena
awal in vitiligo. Juga, perubahan dalam faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan diferensiasi dan proliferasi melanosit karena stres oksidatif,
seperti perubahan pensinyalan Wnt, juga dapat menyebabkan kerentanan
terhadap vitiligo.(13)

d. Teori virus
Beberapa penelitian telah menggambarkan hubungan yang kuat antara
vitiligo dan infeksi virus hepatitis C (HCV) dan virus hepatitis B (HBV) pada
pasien vitiligo. Juga, hubungan infeksi cytomegalovirus (CMV) dengan
vitiligo juga disarankan untuk memicu kerusakan kondisi kulit pada vitiligo.
Lebih lanjut, hubungan yang mencurigakan dari virus herpes dan infeksi
human immunodeficiency virus (HIV) dengan vitiligo juga telah dilaporkan.
(13)

e. Teori mekanisme saraf


Pengamatan klinis yang membahas korelasi kerusakan neurologis
lokal dengan depigmentasi kulit (pemutihan) menunjukkan bahwa mekanisme
neuronal memang memiliki peran untuk berperan dalam patogenesis vitiligo.

9
Bukti terkini dari deteksi neuropeptida pada lesi vitiligo mendukung hipotesis
saraf yang mungkin merupakan efek inflamasi daripada faktor pemicu.
Tingkat peningkatan neuropeptida seperti neuropeptida Y (NPY) telah
diamati di daerah marginal lesi vitiligo yang dipicu oleh kondisi stres
oksidatif yang dianggap sebagai alasan induksi vitiligo. (13)

D. KLASIFIKASI
Vitiligo dapat dibagi menjadi dua kelompok: segmental dan
nonsegmental. Penting untuk dicatat bahwa ada sistem klasifikasi lain yang
memilih untuk memecah jenis vitiligo berdasarkan distribusi yang terlokalisasi
atau digeneralisasi, dengan terlokalisasi yang menyiratkan lesi terbatas pada
area tertentu dan umum yang menyiratkan lebih dari satu area yang terlibat.
Namun, perbedaan antara segmental dan nonsegmental mungkin paling
berguna bagi dokter, karena berdampak pada progresi, prognosis, dan
pengobatan.(12)

Gambar 2.2 Klasifikasi vitiligo

1. Vitiligo segmental

10
Jenis ini bermanifestasi sebagai satu atau lebih makula yang mungkin
mengikuti garis Blaschko. Itu sepihak dan tidak melewati garis tengah. Vitiligo
segmental biasanya memiliki onset dini dan menyebar dengan cepat di daerah
yang terkena. Perjalanan penyakit vitiligo segmental dapat berhenti, dan bercak
depigmentasi dapat bertahan tidak berubah selama hidup pasien. Jenis vitiligo
ini tidak terkait dengan tiroid atau gangguan autoimun lainnya. Lihat gambar di
bawah.Dalam vitiligo segmental, pola distribusi khas pada wajah dan batang
tubuh telah dijelaskan, yang membantu dalam diagnosis banding.(12,13)

2. Vitiligo nonsegmental

Pada vitiligo non-segmental (umum), yang merupakan bentuk paling


umum dari vitiligo, bercak depigmentasi berkembang di kedua sisi tubuh dan
biasanya berkembang perlahan. Sedangkan pada vitiligo segmental, bercak
terbatas hanya pada satu sisi tubuh, terutama pada area wajah dan batang
tubuh, dan biasanya tidak melewati garis tengah tubuh. Ini awalnya
berkembang pesat yang secara spontan menjadi stabil setelah jangka waktu 6
bulan.(13)

Contoh vitiligo nonsegmental termasuk yang berikut (lihat gambar di


bawah):

a. Vitiligo fokal: Ini ditandai dengan satu atau lebih makula di area terbatas
yang tidak mengikuti distribusi segmental.
f. Vitiligo umum: Ini mengikuti distribusi nonsegmental dan lebih luas
daripada vitiligo lokal atau fokal. Subtipe vitiligo umum meliputi:
 Vitiligo akrofasial: Depigmentasi terjadi pada jari-jari distal dan area
periorificial.
 Vulgaris vitiligo: Ini ditandai dengan bercak yang tersebar dan
tersebar luas.
 Vitiligo universal: Terjadi depigmentasi total atau hampir sempurna
pada tubuh.(12)

11
Gambar 2.3 Distribusi bentuk lesi amelanotic pada vitiligo

3. Vitiligo campuran

Vitiligo campuran, di sisi lain, telah digambarkan sebagai kombinasi


langka dari vitiligo segmental dan vitiligo non-segmental. Timbulnya vitiligo
campuran sama dengan vitiligo segmental yang akhirnya berkembang menjadi
vitiligo non-segmental, sehingga dinamakan vitiligo campuran. Pola distribusi
yang sangat berbeda membantu dalam mengenali jenis vitiligo sebagai evolusi
dan jenis pengobatan yang berbeda untuk subtipe vitiligo yang berbeda.(13)

E. MANIFESTASI KLINIS
Diagnosis vitiligo umumnya mudah, dibuat secara klinis berdasarkan
temuan makula didapat, amelanotik, nonscaly, kapur putih dengan margin yang
berbeda dalam distribusi yang khas: periorificial, bibir dan ujung ekstremitas
distal, penis, segmental dan daerah gesekan.(8)
Lesi vitiligo ditandai sebagai berikut:
 Makula dan bercak putih atau depigmentasi Biasanya berbatas tegas
 Bentuknya bulat, oval, atau linier

12
 Perbatasan mungkin cembung
 Berukuran berkisar dari milimeter hingga sentimeter
 Memperbesar secara sentrifugal dari waktu ke waktu dengan kecepatan
yang tidak dapat diprediksi
Lesi awal paling sering terjadi pada tangan, lengan bawah, kaki, dan
wajah, mendukung distribusi perioral dan periocular. Gejala yang paling
penting dari vitiligo yang diketahui adalah depigmentasi bercak kulit.
Awalnya, lesi itu kecil tapi akan memperbesar dari waktu ke waktu. Seringkali
pasien yang menderita penyakit ini juga mengalami depresi.(12,14)

F. DIAGNOSIS

Vitiligo dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada


anamnesis biasanya tidak dtemukan keluhan subjektif penderita, tetapi pada
kasus tertentu dapat ditemukan keluhan gatal dan sensasi terbakar. Keluhan
lainnya yang pasti ditemukan yaitu gambaran hipopigmentasi atau patch
depigmentasi. Predileksi utama yaitu pada kulit yang sering terkena matahari,
lipatan tubuh dan area periofisial. Pada kasus tertentu, perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk membantu menyingkirkan diagnosis banding
dan menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
antara lain pemeriksaan lampu Wood, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan histopatologik.
1. Anamnesis
 Timbul bercak putih seperti susu/kapur onset tidak sejak lahir.(15,16)
 Tidak ada gejala subjektif, kadang sedikit terasa gatal.(15,16)
 Progresivitas lesi: Dapat bertambah luas/menyebar, lambat/menetap,
kadang timbul bercak putih pada lesi tanpa diberikan pengobatan
(repigmentasi spontan).(15,17)
 Bisa didapatkan riwayat vitiligo pada keluarga (10-20%).(18)

13
 Bisa didapatkan riwayat penyakit autoimun lain pada pasien atau
keluarga (10-25%).(18)
2. Pemeriksaan Fisik
Terdapat makula depigmentasi berbatas tegas dengan distribusi sesuai
klasifikasi sebagai berikut:
a. Vitiligo non-segmental (VNS)/generalisata/vulgaris
 Merupakan bentuk vitiligo paling umum. Lesi karakteristik
berupa makula berwarna putih susu yang berbatas jelas,
asimtomatik, melibatkan beberapa regio tubuh, biasanya simetris.
(15,17)

 VNS terdiri dari vitiligo akrofasial, vitiligo mukosal, vitiligo


universalis, dan vitiligo tipe campuran yang berhubungan dengan
vitiligo segmental.(19)
b. Vitiligo segmental (VS)(20)
Pada tipe ini lesi biasanya muncul pada anak-anak, berkembang
dengan cepat (dalam waktu beberapa minggu atau bulan), kemudian
menjadi stabil dan biasanya lebih resisten terhadap terapi. Vitiligo tipe
ini sering dihubungkan dengan hipotesis neurokimia.
c. Undetermined/Unclassified Vitiligo(15)
 Vitiligo fokal
Merupakan lesi patch yang tidak memenuhi kriteria ditribusi
segmental, dan tidak meluas/berkembang dalam waktu 2 tahun.
Vitiligo tipe ini dapat berkembang menjadi tipe VS maupun VNS.
 Mukosal: hanya lesi di mukosa tanpa lesi di kulit.
Dikenal istilah vitiligo stabil, yaitu bila memenuhi kriteria:(15,21)
1. Lesi lama tidak berkembang atau bertambah luas selama 2 tahun
terakhir.
2. Tidak ada lesi baru yang timbul pada periode yang sama.
3. Tidak ada riwayat fenomena Koebner baik berdasarkan anamnesis
maupun tampak secara klinis.
4. Tidak ada repigmentasi spontan atau repigmentasi setelah terapi.

14
5. Tes minigrafting positif dan tidak tampak fenomena Koebnerisasi
pada lokasi donor.
Vitiligo stabil ini tidak efektif diterapi dengan berbagai modalitas terapi,
sehingga merupakan indikasi utama pembedahan (melanocyte grafting).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis
dan menyingkirkan diagnosis banding pada vitiligo dapat dilakukan
pemeriksaan lampu Wood, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
histopatologik.

1) Lampu Wood
Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengevaluasi makula,
khususnya pada tipe kulit yang lebih terang dan untuk mengidentifikasi
makula pada area yang terlindungi dari sinar matahari tetapi tipe kulit
yang gelap. Lampu wood dapat menentukan luas area depigmentasi dan
monitoring respon terapi serta progresivitas lesi. Area vitiligo tampak
lebih terang dibandingkan dengan area kulit normal yang tampak lebih
gelap.(15)

A B

Gambar 2.4 Pemeriksaan lampu Wood. (A). Lampu Wood merefleksikan


cahaya yang terang pada patch depigmentasi. (B). Permeriksaan
menggunakan cahaya putih.(15)

15
2) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu menyingkirkan
diagnosis banding dan menegakkan diagnosis vitiligo, antara lain
pemeriksaan T4, thyroid-stimulating hormone, antinuclear antibodies
dan pemeriksaan darah lengkap. Pada beberapa kasus juga diperlukan
pemeriksaan serum antithyroglobulin dan antithyroid peroxidase
antibodies apabila pasien memiliki tanda dan gejala penyakit tiroid.(15)

3) Histopatologik
Biopsi kulit jarang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
vitiligo. Pada pemeriksaan histopatologik, didapatkan gambaran infiltrat
limfosit minimal pada vaskular superfisial, penurunan jumlah atau tidak
adanya melanosit pada dermoepidermal junction, serta penurunan jumlah
melanin pada lapisan epidermis (Gambar 8).(15)

A B

Gambar 2.5 Histopatologik vitiligo. (A). Jumlah infiltrat limfosit yang


sedikit di lapisan dermis. (B). Tidak terdapat melanosit pada lapisan
epidermis.(22)

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Pitiriasis Versikolor
Pitiriasis versikolor (PV) adalah infeksi kulit superfisial kronik,
disebabkan oleh ragi genus Malassezia, umumnya tidak memberikan

16
gejala subyektif, ditandai oleh area depigmentasi atau diskolorasi
berskuama halus, tersebar diskret atau konfluen, dan terutama terdapat
pada bagian atas.(23)
Pitiriasis versikolor memberikan gambaran efloresensi yang
hampir sama dengan vitiligo berupa lesi makula hipopigmentasi yang
berbatas tegas. Bedanya, pada pitiriasis versikolor selain dapat berupa
makula hipopigmentasi, lesi juga dapat berupa makula hiperpigmentasi
dan kadang eritematosa, dan berskuama halus. Umumnya ada pruritus
ringan yang dirasakan terutama bila pasien berkeringat. Tempat
predileksinya terutama terdapat pada badan bagian atas, leher, perut, dan
ekstremitas sisi proksimal, kadang ditemukan juga pada wajah, aksila,
lipat paha genitalia.(23,24) Sedangkan, pada vitiligo, tempat predileksinya
dapat muncul dimana saja, tetapi umumnya di daerah peregangan dan
tekanan, misalnya lutut, siku, punggung tangan, dan jari-jari.(25)

Gambar 2.6 Pitiriasis versikolor pada leher dan punggung(24)

2. Piebaldism
Piebaldism adalah bercak kulit yang tidak mengandung pigmen
yang ditemukan sejak lahir dan menetap seumur hidup. Penyakit ini
diturunkan secara dominan autosomal, akibat diferensiasi dan mungkin
migrasi melanoblas.(4)
Piebaldism memberikan gejala klinis yang hampir sama dengan
vitiligo berupa bercak hipopigmentasi. Bedanya, pada piebaldism terdapat
warna kulit normal atau hipermelanosis yang terdapat di dalam daerah

17
yang hipomelanosis dan tempat predileksinya biasanya pada dahi, median
atau paramedian, disertai pula rambut yang putih, kadang-kadang
ditemukan pula di dada bagian atas, perut dan tungkai.(26,27)

Gambar 2.7 Piebaldism

3. Pitiriasis Alba
Pitiriasis alba merupakan bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan
belum diketahui penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan
dan skuama halus yang akan menghilang serta meninggalkan area yang
depigmentasi.(28)
Pitiriasis alba memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan
vitiligo yaitu berupa adanya area depigmentasi. Bedanya, pada pitiriasis
alba, terdapat skuama halus, sebelum menjadi area depigmentasi, lesi
dapat berupa eritema atau sesuai dengan warna kulit dan tempat predileksi
biasanya paling sering di sekitar mulut, dagu, pipi serta dahi. Sering

18
dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%).(28)

Gambar 2.8 Pitiriasis alba

4. Hipomelanosis Gutata Idiopatik


Idiopathic guttate hypomelanosis (IGH) adalah dermatosis
leukodermik jinak, biasanya asimtomatik, dengan etiologi tidak jelas yang
terlihat pada lansia, individu berkulit putih, dan sering tidak dikenali atau
tidak terdiagnosis.(28)
IGH memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan vitiligo yaitu
berupa makula hipopigmentasi. Bedanya, pada IGH, makula bersifat
multipel kecil, tersebar, diskret, bulat atau oval yang secara klasik
berukuran 2-6 mm. Kadang-kadang, ada campuran lesi yang lebih besar
hingga 2,5 cm. Lesi biasanya halus, meskipun varian berskuama dan
bahkan hiperkeratotik telah dilaporkan. Tempat predileksi paling sering
adalah area yang terpapar sinar matahari, seperti ekstremitas, terutama
pada bagian distal. Namun, area yang terlindung dari sinar matahari,
termasuk batang, dan jarang bagian wajah, juga dapat terkena.(29)

19
Gambar 2.9 Hipomelanosis gutata

H. PENGOBATAN
1) Di tingkat pelayanan dasar (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK 1):(30)
Jenis Terapi: Topikal
2) Di tingkat pelayanan lanjut (Pemberi Pelayanan Kesehatan/PPK 2/3):(30)
Jenis terapi: Topikal, fototerapi, fotokemoterapi, pembedahan
a. Non-medikamentosa:(30)
1) Menghindari trauma fisik baik luka tajam, tumpul, ataupun tekanan
repetitif yang menyebabkan fenomena Koebner, yaitu lesi
depigmentasi baru pada lokasi trauma. Trauma ini terjadi umumnya
pada aktivitas sehari-hari, misalnya pemakaian jam tangan, celana
yang terlalu ketat, menyisir rambut terlalu keras, atau menggosok
handuk di punggung.
2) Menghindari stres.
3) Menghindari pajanan sinar matahari berlebihan.
b. Medikamentosa:
1) Lini pertama:(30)
1. Topikal: Kortikosteroid topikal, Calcineurin inhibitor (takrolimus,
pimekrolimus).
2. Fototerapi: Narrowband ultraviolet B (NBUVB, 311 nm), Excimer
lamp atau laser 308 nm.
3. Fotokemoterapi: Kombinasi psoralen dengan Phototherapy
Ultraviolet A (PUVA).

20
2) Lini kedua:(30)
1. Topikal: Kombinasi kortikosteroid topikal dengan analog vitamin
D3 topikal.
2. Sistemik (untuk menahan penyebaran lesi aktif dan progresif pada
VNS yang akut/aktif) berupa pemberian betametason 5 mg dosis
tunggal, dua hari berturut-turut per minggu selama 16 minggu.
3. Excimer lamp atau laser 308 nm.
4. Fotokemoterapi:(30)
 Kombinasi psoralen dengan Phototherapy Ultraviolet A
(PUVA).
 Kombinasi NBUVB dengan calcineurin inhibitor topikal
 Kombinasi NBUVB dengan kortikosteroid sistemik.

1) Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk vitiligo lokalisata,
dan sangat dianjurkan untuk lesi kecil daerah wajah, juga pada anak-
anak. Pemakaian preparat ini menguntungkan pasien karena, murah,
mudah penggunaannya dan efektif. Repigmentasi umumnya bersifat
difus, potensi kortikosteroid. Pemakaian kortikosteroid topikal dengan
potensi sedang maupun kuat. Keberhasilan terapi terlihat dari
repigmentasi perifolikuler atau dari tepi lesi.(31)
Berbagai kortikosteoid topikal telah digunakan: Triamsinolon
asetonid 0,1%, flusinolon asetat 0,01%, betametason valerat 0,1-0,2%,
halometason 0,05%, fluticason propionat 0,05%, dan klolbetasol
propionat 0,05%. Karena pemakaian terapi jangka panjang
(dianjurkan tidak melebihi 3 bulan), maka perlu diperhatikan efek
samping kortikosteroid. Pemakaian topikal ditakutkan terjadi
dermatitis perioral, dermatitis kontak, reaksi iritatif, pruritus, reaksi
terbakar, folikulitis, penyembuhan luka yang memanjang, infeksi
kulit, atrofik, telangektasis, striae, hipertrikusis, purpura, dan mudah
perdarahan. Efek samping kortikosteroid oral, antara lain sindroma

21
Cushing, bertambahnya ukuran berat badan, gangguan epigastrium,
nyeri abdominal, kehilangan nafsu makan, dizzines, diare, dan
menstruasi tidak teratur.(31)
2) Topikal lainnya
Takrolimus, adalah macrolide immunosuppressant berasal dari
jamur Streptomyces tsukubaensis merupakan obat relatif baru untuk
vitiligo. Obat ini disetujui oleh US Food and Drug Administration
sebagai profilaksis penolakan transplantasi ginjal dan hati pada
resepien. Secara struktural berbeda dengan siklosporin, takrolimus
menghambat aktivitas limfosit T. Takrolimus berikatan dengan
imunofilin, suatu FK-binding protein, berlokasi pada sitoplasma
limfosit T. Kompleks ini menghambat kalsineurin fosfatase,
mencegah jalur transduksi, yang pada akhimya menahan transkripsi
berbagai sitokin interleukin (IL) 2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-8, tumor
necrosis factor a, dan interferon.(31)
Kerja lainnya menghambat pelepasan histamin dari sel mast,
melumpuhkan sintesis prostaglandin D2 menurunkan regulasi reseptor
sel T pada sel Langerhans dan menghambat migrasi limfosit CD4 dan
CD8. Kalsineurin inhibitor ini baik untuk pemakaian di wajah dan
leher. Melanosit mengekspresikan reseptor 1,25 dihidroksivitamin D3,
dengan demikian diperkirakan analog vitamin D3 memegang peranan
dalam regulasi kalsium selanjutnya pada metabolism melanogenesis.
(31)

3) Narrowband Ultraviolet B (NBUVB)(31)


Mekanisme kerja pengobatan ini berdasarkan sifat imunomodulator
yang mengatur abnormalitas lokal maupun sistemik imunitas seluler
dan humoral. NBUVB menstimulasi melanosit yang terdapat pada
lapisan luar helai rambut. Dengan demikian repigmentasi terdapat
pada perifolikuler tidak ditemukan pada lesi putih amelanosis.
Gelombang UVB spektrum sempit (310-315 nm) dan gelombang
maksimal adalah 311. Dosis awal yang dipakai untuk semua tipe kulit

22
250 mj dan ditingkatkan 10-20% setiap kali pengobatan sampai lesi
eritema minimal pada lesi putih depigmenatsi dalam 24 jam. Terapi
dilakukan 2 kali seminggu, jangan setiap hari berturut-turut.(31)
Keuntungan NBUVB tidak ada pemakaian obat topikal ataupun
sistemik, kurang mudah terbakar, tidak ada hiperkeratosis, tidak ada
perbedaan warna kontras antara kulit normal dan kulit pasca terapi,
tidak perlu kaca mata pelindung pasca radiasi, aman dipakai anak-
anak dan dewasa.(31)

Gambar 2.10 Narrowband Ultraviolet B


4) Terapi laser 308 nm
Saat ini dianggap sebagai pilihan pengobatan untuk vitiligo lokal.
Perawatan laser/cahaya 308 nm excimer dapat membantu
repigmentasi dengan meningkatkan migrasi dan proliferasi melanosit,
dan dapat meningkatkan respon imun. Dipercayai bahwa melanosit
yang tidak aktif dalam selubung akar luar folikel rambut distimulasi
untuk berkembang biak dan bermigrasi dengan radiasi dari perawatan,
yang mengarah ke repigmentasi. Laser/cahaya excimer baru-baru ini
diperkenalkan untuk memberikan pengobatan vitiligo yang akurat dan
ditargetkan. Namun, monoterapi laser/cahaya excimer tidak efektif
pada semua pasien dengan vitiligo, strategi pengobatan kombinasi
dengan obat topikal disarankan.(32)

23
Gambar 2.11 laser 308 nm3
5) Psoralen dan PUVA (Phototherapy Ultraviolet A) (31)
Merupakan pengobatan kombinasi psoralen sebagai fotosensitizer
kimiawi dengan ultraviolet A (UVA). Pengobatan gabungan ini
bertujuan meningkatkan efek terapi dari keduanya dibandingkan bila
dipakai masing-masing. Psoralen adalah furokumarin, yaitu obat
bersifat fotodinamik yang berkemampuan menyerap energi radiasi.
PUVA masih merupakan obat yang dipercaya efektivitasnya untuk
vitiligo generalisata. Psoralen yang sering dipakai adalah metoksalen
(8-metoksipsoralen), derivat lainnya: bergapten (5 metoksi psoralen),
trioksalen (4,5,8 trimetilpsoralen) dan psoralen tak bersubstitusi.(31)
Radiasi ultraviolet yang dipakai adalah 320-400 nm, untuk
mencegah efek fototoksik pengobatan dilakukan 2-3 kali seminggu.
PUVA memicu hipertrofik, proliferasi, adanya aktivitas enzimatik
melanosit pada bagian pinggir lesi depigmentasi. Repigmentasi
merupakan hasil migrasi pigmen dari tempat terpicunya melanosit ke
daerah depigmentasi.(31)
Psoralen sediaan oral, seperti metoksalen: 0,3-0,6 mg/KgBB,
trioksalen: 0,6-0,9 mg/KgBB ataupun bergapten 1,2mg/KgBB dapat
diminum 1,5-2 jam sebelum radiasi UVA. Pajanan UVA dimulai
dengan dosis 0,5 J/cm2 untuk semua tipe kulit dan meningkat 0,5-1

24
J/cm2. Dosis awal ini kemudian ditingkatkan 0,5-1,0 J/cm 2.
Pengobatan dapat dilakukan 2-3 kali seminggu, dengan dosis tertinggi
8-12 J/cm2.(31)

Gambar 2.12 Psoralen dan PUVA (Phototherapy Ultraviolet A)


 Sistemik
Terapi sistemik yang dapat diberikan pada penderita vitiligo yaitu
kortikosteroid sistemik seperti deksametason. Antioksidan sistemik
dan topikal juga berguna bagi penderita vitiligo yang dalam fototerapi.
(33)

 Lini Ketiga: (30)


Terapi intervensi/pembedahan: untuk vitiligo stabil, segmental,
rekalsitran, dan yang memberikan respons parsial terhadap terapi non-
bedah. Tujuan dasar dari perawatan bedah adalah untuk mencapai
repigmentasi yang dapat diterima secara kosmetik lengkap dan
permanen terhadap warna kulit normal di sekitarnya dalam waktu
sesingkat mungkin dengan efek samping minimal/tanpa efek samping.
Prinsip dasar adalah untuk memperkenalkan melanosit aktif ke lesi
yang kemudian akan membentuk dan berfungsi sebagai unit melanin
epidermal. Pemindahan melanosit aktif dapat dilakukan baik melalui
cangkok jaringan atau cangkok seluler.(34)
Terapi pembedahan dapat berupa :

25
1. Minipunch grafting(30,35)
Teknik ini paling mudah dan murah serta dapat dilakukan
pada semua daerah selain puting susu dan sudut bibir dimana
kontraksi otot dapat mengganggu penyerapan graft. Teknik ini
juga dapat dilakukan pada daerah yang sulit untuk diobati seperti
jari-jari kaki, telapak tangan dan kaki. Kekurangannya, teknik ini
tidak dapat digunakan pada lesi vitiligo yang luas dimana
pigmentasi yang seragam tidak selalu dapat dicapai. Kekurangan
penting lainnya adalah lepasnya cangkokan serta munculnya
cobblestoning dan polka dot appearance.(35)

Gambar 2.13 Minipunch grafting


2. Split-skin graft(30,35)
Keuntungan: pigmentasi langsung dapat mencakup daerah
yang lebih luas dalam periode waktu yang singkat dibandingkan
dengan teknik lain. Daerah yang sulit seperti kelopak mata,
kantus medial mata, areola, putting susu, dan daerah genital dapat
diterapi dengan mudah. Pigmentasi yang dihasilkan seragam dan
cobblestoning yang umum ditemukan pada punch grafting tidak
terlihat. Kekurangan: hiperpigmentasi yang lama biasa terlihat.
Teknik ini membutuhkan keterampilan operator untuk
mendapatkan cangkok kulit yang translusens. Jika donor yang
diambil tidak cukup tipis, kulit donor banyak yang terbuang dan
akan menyisakan parut pada penyembuhan luka donor. (35)

26
Gambar 2.14 Split-skin graft

3. Suction Blister Epidermal Grafts (SBEG)


Merupakan pilihan terapi bedah yang sangat efektif dan
paling aman jika dibandingkan dengan prosedur lain. Teknik
pencangkokan kulit/epidermal diambil dari atap bula yang dibuat
dengan menggunakan tekanan negatif pada kulit normal,
kemudian ditempelkan pada lesi akromik. Kontraindikasi: pasien
riwayat hiperpigmentasi setelah trauma, riwayat keloid, usia < 10
tahun, memiliki area depigmentasi luas, dan memiliki penyakit
sistemik berat. Jika ragu terhadap kemungkinan munculnya
keloid, bisa dilakukan tes minigrafting sebelum prosedur. Efek
samping: nyeri, keloid, hiperpigmentasi, infeksi sekunder dan
dermatitis kontak. Fenomena Koebner bisa terjadi di lokasi donor.
Hiperpigmentasi merupakan keluhan terbanyak, sedangkan skar
hipertropik dan keloid sangat jarang terjadi. Hiperpigmentasi
ringan tampak jelas di daerah donor pada bulan ke 3-4 setelah
tindakan dan akan makin samar setelah 6 bulan-2 tahun. (36)

27
Gambar 2.15 Suction Blister Epidermal Grafts (SBEG)

I. PROGNOSIS
Vitiligo adalah kondisi kulit kronis dengan perjalanan penyakit yang
tidak dapat diprediksi dan beberapa pasien mungkin melihat repigmentasi
spontan di area depigmentasi. Prognosis tergantung pada usia onset dan
luasnya penyakit. Onset penyakit dini biasanya dikaitkan dengan keterlibatan
area permukaan tubuh yang lebih luas dan kecepatan perkembangan. Beberapa
jenis dan lokasi tertentu mungkin responsif terhadap pengobatan. Kasus
refraktori telah dicatat pada pasien dengan vitiligo segmental dan lebih muda
dari 14 tahun. Sebagian besar pasien yang menjalani pengobatan biasanya
mengalami siklus intermiten kehilangan pigmen dan stabilisasi penyakit.(37)
Perjalanan penyakit vitiligo pada seseorang tidak dapat diduga,
dapat stabil selama beberapa tahun, dapat pula membesar, sementara lesi lain
muncul atau menghilang. Repigmentasi spontan dapat terjadi terutama pada
anak-anak, tetapi juga tidak menghilang sempurna terutama pada daerah
terpajan matahari. Pada kenyataan repigmentasi berlangsung lambat tidak
sempurna dan tidak permanen, keadaan ini terutama bila menggunakan
fototerapi. Ketiadaan rambut sebagai sumber pigmen diperkirakan terjadi
kegagalan terapi. Misalnya pada jari-jari tangan dan kaki. (38)

28
Perjalanan penyakit vitiligo anak kebanyakan stabil atau regresif;
hanya sedikit pasien yang mengalami penyakit yang progresif atau rekuren.
Repigmentasi spontan lengkap pada vitiligo non segmental jarang terjadi.
Namun bila dibandingkan dengan dewasa, tingkat repigmentasi spontan lebih
sering terjadi pada anak. Beberapa parameter klinis seperti durasi penyakit
yang lama, terjadinya fenomena Koebner, leukotrikia, dan keterlibatan mukosa
menunjukkan prognosis yang lebih buruk Selain itu lokasi lesi juga
menentukan respon terapi. Lokasi lesi yang berespon baik terdapat pada wajah,
respon sedang pada badan dan respon kurang pada tangan dan kaki. Sedangkan
area resisten pada wajah yaitu preaurikuler, post aurikuler, bibir dan sudut
mulut.(39)
Vitiligo tidak mengancam nyawa, tetapi mengganggu secara estetika
dan menimbulkan beban psikososial. Respons terapi berbeda-beda, terutama
bergantung pada jenis vitiligo, tetapi terapi VNS memberikan respons yang
lebih baik dibandingkan pada VS.(30)
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

29
BAB III

KESIMPULAN

Vitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit, disebabkan


factor genetic dan non genetic yang berinteraksi dengan kehilangan atau
ketahanan fungsi melanosit dan pada kenyataannya merupakan peristiwa
autoimun.

Gejala klinis yang sering didapatkan pada vitiligo antara lain makula
berwarna putih dengan diameter beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter,
bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis yang lain.
Kadang-kadang terlihat makula hipomelanotik selain makula apigmentasi

Pengobatan vitiligo bervariasi anatara lain tabir surya, kortikosteroid


topikal, imunumodulator topikal, kalsipotrial topikal, pseudokatalase,
kortikosteroid sistemik, PUVA, NBUVB, Laser excimer, bioskin, L-fenilalanin,
antioksidan, depigmentasi, autolagous, kamuflase, inhibitor tumor necrosis factor-
a, dan immunosupresan sistemik.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Gianfaldoni S, et al. Vitiligo in Children: A Review of Conventional Treatments.


Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences. Januari:2018. 6(1):213-
217.

2. Bergqvist C. Ezzedine K. Vitiligo: A Review. Department of Dermatology, AP-


HP, Henri Mondor University Hospital, UPEC, Creteil, France. March 2020

3. Dillo AB, Sideris A, Hadi A, Elbuluk E. Advances in Vitiligo : An Update on


Medical and Surgical Treatments. Journal of Clinical dan Aesthetic
Dermatology. Januari:2017. Vol. 10. No. 1

4. Mahajan VK et al. Clinico-Epidemiological Profile of Patient with Vitiligo: A


Retrospective Study from a Tertiary Care Center of North India. Indian
Dermatology Online Journal. 2019. 10(1): 38-44

5. Rashigi M, Harris JE. Vitiligo pathogenesis and emerging treatments. University


of Massachusetts Medical School Worcester, Massachusetts, USA. Dermatol
Clin. Author manuscript. April 2017. 35(2): 257-267

6. Manga P, Elbuluk N, Orlow SJ. Recent advances in understanding vitiligo


[version 1; referees: 3 approved]. F1000Research 2016, 5(F1000 Faculty
Rev):2234. The Ronald O. Parelman Department of Dermatology, New York
University School of Medicine, New York, NY, 10016, USA.

7. Gianfaldoni S et al. Unconventional Treatments for Vitiligo: Are They (Un)


Satisfactory?. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences.
Januari:2018. 6(1):170-175

8. Bergqvist C, Ezzedine K. Vitiligo: A Review. Dermatology. 2020;1–22.


9. Nisha SN, Swedha AANU, Rahaman JSN. International Journal of
Pharmaceutical Research and Bio-Science Pathogens. 2013;2(5):1–13.
10. Anurogo D, Ikrar T. Vitiligo and Clinical. Cdk. 2014;Volume 41(September
2014):666–75.
11. Arora A, Kumaran M. Pathogenesis of vitiligo: An update. Pigment Int.
31
2017;4(2):65.
12. Roncone K, Editor C. Vitiligo. 2019;
13. Rahman R, Hasija Y. Exploring vitiligo susceptibility and management: a brief
review. Biomed Dermatology. 2018;2(1):1–13.
14. Ghafourian A, Ghafourian S, Sadeghifard N, Mohebi R, Shokoohini Y,
Nezamoleslami S, et al. Vitiligo: symptoms, pathogenesis and treatment. Int J
Immunopathol Pharmacol. 2014;27(4):485–9.
15. Birlea SA, Spritz RA, Norris DA. Vitiligo. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General. Medicine. 8th edition. New York: McGrawHill; 2012. p. 792-803.
16. Prcic S, Duran V, Katanic D. Clinical features of vitiligo in children and
adolescent. Paediatr Today. 2012;8(1):32-9.
17. Habib A, Raza N. Clinical pattern of vitiligo. Jour College Physic Surg.
2012;22(1):61-2.
18. Spritz RA. Modern vitiligo genetics sheds new light on an ancient disease. Jour
Dermatol.2013;40:310-8.\
19. Ezzedine K, Gauthier Y, Leaute-Labreze C, Marquez S, Bouchtnei S, Jouary T,
Taieb A. Segmental vitiligo associated with generalized vitiligo (mixed type): a
retrospective case series of 19 patients. J Am Acad Dermatol. 2012;65:965-71.
20. Kim DY, Oh SH, Hann SK. Classification of segmental vitiligo on the face: clues
for prognosis. Br J Dermatol. 2011;64:1004-9.
21. Majid I, Mysore V, Salim T, Lahiri K, Chatterji M, et al. Is lesional stability in
vitiligo more important than disease stability for performing surgical
interventions? J Cutan Aesthet Surg.2016;9:13-9.
22. Picardo, M, Taieb, A. Vitiligo. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 2010.
23. Bramono K, Budimulja U. Nondermatofitosis. In: Menaldi SLS, Bramono K,
Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2017. p. 103–4.
24. Arifin EM, Amin S, Bubakar AR, Kadir D, Silviana A, Adriani A. Efektivitas
Itrakonazol Dosis Tunggal Dan Ketokonazol Dosis Kontinyu Pada Pitiriasis
Versikolor : Laporan Kasus Serial. 2010;69–73.
25. Jacoeb TNA. Vitiligo. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017. p. 353.

32
26. Soepardiman L. Kelainan Pigmen. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2017. p. 350.
27. Primary Care Dermatology Society. Piebaldism [Internet]. 2016. 2017 [cited
2020 Aug 21]. Available from: http://www.pcds.org.uk/clinical-
guidance/piebaldism1
28. Soepardiman L. Pitiriasis Alba. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W,
editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2017. p. 403.
29. Brown F, Crane JS. Idiopathic Guttate Hypomelanosis [Internet]. 2020 [cited
2020 Aug 21].
30. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (PERDOSKI). 2017. Vitiligo.
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta.
31. Menaldi, Sri LSW. Jacoeb, Tjut NA. dkk. 2016. Vitiligo. Buku Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi Ke-7 Cetakan Kedua. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 352-358.
32. Jingji Jin, Sanwu Zeng. Review Article: Efficacy and Safety of Combination
Therapy of Excimer Laser/Light and Drugs for Vitiligo: A Meta-Analysis.
Department of Dermatology, Tianjin First Center Hospital, China 2016;9 (10):
18780-18798.
33. Nurhadi, Stefani. 2019. Vitiligo Fokal pada Anak yang Diterapi dengan Target
Excimer Light 308 nm. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 8 (2).
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Ciputra Surabaya. Hal. 23-34.
34. Swetalina Pradhan, Somesh Gupta. Chapter 28: Vitiligo Management Procedural
Option. Melasma and Vitiligo in Brown Skin. Springer, New Delhi, India. 2017:
281, 284.
35. Salim, Yessy Farina. Lestari, Sri. 2018. Terapi Bedah pada Vitiligo. Majalah
Kedokteran Andalas Vol. 41 No. 2. PPDS Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas, RSUP dr. M. Djamil Padang. Hal. 88-93.
36. Cahyono, A. Ilona, SE. Sulaikha, KR. Mochtar, M. 2018. Suction Blister Skin
Graft Vol. 45 No. 10. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas

33
Kedokteran Universitas Sebelas Maret, RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Indonesia. Hal. 778, 781, 782.
37. Ahmed jan DN, Masood S. Vitiligo. [Updated 2020 Aug 10]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
38. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke 7, Cetakan ketiga 2016.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
39. Nurhadi S. Vitiligo Fokal pada Anak Yang Diterapi dengan Target Excimer Light
308 nm. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 8(2) : 23-34, September 2019.

34

Anda mungkin juga menyukai