Anda di halaman 1dari 7

Definisi APSGN

Glomerulonefritis akut yang mengikuti infeksi dengan strain nephritogenic


dari grup A streptococcus -hemolyticus.
Contoh klasik dari sindrom nefritik akut.

Epidemiologi APSGN

Insiden menurun pada 3 dekade terakhir


Paling sering sporadic
epidemik dan kelompok kasus - di beberapa komunitas miskin atau
pedesaan
kejadian puncak pada usia: 5-12 tahun (sangat penting untuk diingat untuk
mengevaluasi diagnosis)
tidak umum pada usia < 3 tahun
rasio laki-laki: perempuan = 2:1

Etiologi APSGN
Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis mengikuti infeksi tenggorokan atau
kulit oleh beberapa strain nephritogenic dari group A streptococcus hemolyticus. Faktor-faktor yang memperbolehkan beberapa strain streptococci
menjadi nephritogenic masih belum jelas. Poststreptococcal glomerulonephritis
seringkali mengikuti streptococcal pharyngitis selama musim dingin dan
streptococcal skin infection / pyoderma selama musim panas. Meskipun
epidemic nephritis berhubungan dengan infeksi tenggorokan (serotype 12) dan
infeksi kulit (serotype 49), penyakit ini lebih sering sporadic.

Typical features/manifestation

Berkembangnya sindroma nefritis akut 1-2 minggu setelah antecedent


(riwayat sebelumnya) dari Streptococcal pharyngitis atau
3-6 minggu setelah Streptococcal pyodermia

Manifestasi Klinis APSGN


a. Edema: pada 75% pasien; wajah, area periorbital (terutama pada pagi
hari), ekstrimitas bawah, generalized (ascites), efusi pleura dypsneu,
pada perkusi: stony dullness, pada auskultasi: krepitasi
b. Proteinuri: biasanya kembali normal setelah 4 minggu
c. Tidak separah nephrotic syndrome (hanya <1/gram/m2/hari), sedangkan
pada nephrotic >1/gram/m2/hari

d. Oligouri: school child <400ml/hari, preschool child 300ml/hari, infant dan


toddler <200ml/hari; normal urine output pada anak-anak: 1-2ml/kg/jam
e. Gross hematuria
f. Hipertensi
Presentasi klinis dari APSGN berkisar dari asymptomatic microscopic
hematuria sampai nephritic syndrome yang terdiri dari hematuria, proteinuria,
edema, hipertensi, dan peningkatan level serum creatinine. Gross hematuria
dapat terjadi pada 50% pasien. Edema terjadi karena retensi dari Na dan cairan,
yang dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Penurunan Glomerular Filtration
Rate dapat meningkatkan konsentrasi serum creatinine; memungkinkan adanya
gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis.
Urinalysis menunjukkan adanya hematuria dengan atau tanpa cast sel darah
merah, proteinuria, dan sering pyuria. Nilai serum complement C3 rendah karena
aktivasi dari jalur complement alternatif. Kultur dari tenggorokan dan kulit
seringkali negatif pada saat diagnosa, dapat menunjukkan periode latent dari
onset infeksi sampai onset nephritis.

Diagnosis ASPGN
Diagnosis membutuhkan temuan klinis dari nefritis akut dengan adanya
infeksi GAS yang baru terjadi. Jika kultur tenggorok atau kulit negatif, konfirmasi
adanya infeksi GAS yang baru terjadi dapat diperoleh melalui test serologic. C3
rendah menunjukkan karakteristik PSGN, tapi tidak spesifik. Biopsi renal
biasanya tidak dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis PSGN.
Diagnostik dengan:

Riwayat
sakit
tenggorokan
sebelumnya
(mungkin
oleh
streptococcal)
Edema periferal
Meningkatnya
ASO
titre
(karena
infeksi
streptococcal
sebelumnya)
Level complement C3 rendah (karena pembentukan kompleks
antigen/antibodi yang terdeposit pada glomeruli, hanya saat fase
akut) kembali ke normal setelah 3-4 minggu
Level serum IgA dan albumin dalam batasan normal
Urine memperlihatkan granular cast

Abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium

Gross hematuria (red or smoky urine)


Urinary sediment
- Red cell cast
- Sel darah merah yang dismorphic
- Leukosit (kadang-kadang cast leukosit)
Proteinuria subnephrotic

Level complement C3 yang rendah


Serum kreatinin sering meningkat ringan

Patofisiologi APSGN
Deposisi dari antigen nephritogenic GAS pada glomerular subendothelium dapat
menyebabkan pembentukan immune complex, yang memicu aktivasi
complement dan inflamasi subsequent; deposisi pada glomerular subepithelium
dapat menyebabkan kerusakan sel epitel dan subsequent proteinuria.

Patofisiologi APSGN
Infeksi streptococcus

pembentukan kompleks imun + terdeposit di GBM

sistem komplemen teraktivasi

low serum complement

Immune injuries

Proliferasi seluler

Fraktur GBM

Penyempitan lumen kapiler

Hematuria
Proteinuria

Aliran darah glomerular

GFR

Reabsorbsi sodium distal

Oliguria
Aktivasi R-A-A-S

Retensi air dan sodium

Volume darah

Edema

Hipertensi

Indikasi dan Anti-streptolysin O Titer (ASOT)


Indikasi dari tes ini digunakan secara primer untuk menentukan apakah
sebelumnya ada infeksi Streptococcus, seperti glomerulonephritis, demam
rematik, bacterial endocarditis, dan demam scarlet. Level tertinggi terletak pada
glomerulonephritis dan demam rematik.
ASO titer adalah prosedur serologis yang menunjukkan reaksi tubuh
terhadap infeksi yang disebabkan oleh Grup A Streptococcus -hemoliticus.
Organisme Streptococcus memproduksi enzim yang disebut streptolysin O, yang
dapat menghancurkan (lysis) eritrosit. Karena streptolysin O bersifat antigenik,
tubuh bereaksi dengan memproduksi ASO (antibody yang menetralisir). ASO
muncul pada serum dalam waktu 1 minggu 1 bulan ( di buku lain 1-2 minggu,
puncaknya 2-4 minggu dan kembali normal sekitar 6 bulan-1 tahun) setelah
onset dari sebuah infeksi streptococcus; titer yang tinggi tidak spesifik untuk
beberapa tipe penyakit poststreptococcal (cth: rheumatic fever vs
glomerulonephritis) tetapi hanya mengindikasikan apakah infeksi streptococcal
sedang terjadi atau sudah ada. ASO tidak mempunyai nilai untuk mendiagnosa
infeksi streptococcus akut. Kultur dari streptococcus dibutuhkan untuk itu.
Bagaimanapun kultur tidak berguna selama periode laten dari poststreptococcal
disease (sekitar 2-3 minggu setelah initial infection). ASO sangat membantu
pada tahap ini.
Serial ASO testing mungkin dapat dilakukan untuk mendeteksi perbedaaan
antara sampel darah dari pasien akut dan yang sedang dalam masa pemulihan
(covalecence blood sample). Peningkatan serial titer atau ASO selama lebih dari
beberapa minggu, diikuti dengan penurunan titer yang lambat, lebih signifikan
dalam mendiagnosa previous streptococcal infection daripada single titer.
Insiden tertinggi dari hasil yang positif adalah selama minggu ketiga setelah
onset dari gejala akut streptococcal disease. Selama 6 bulan, hanya sekitar 30%
pasien yang memiliki titer abnormal. Pada glomerulonephritis akut, sebanyak 5075% tidak akan memiliki ASO titer yang tinggi.
Tes immunologis lainnya yaitu antideoxyribonuclease-B (anti DNase-B), juga
mendeteksi antigen yang diproduksi oleh grup A Streptococci. Ketika tes ASO
dan anti DNase-B dilakukan bersama-sama, 95% previous streptococcal infection
dapat dideteksi. Jika keduanya hasilnya negative berulang, tidak ada alasan
untuk
mensuspek
gejala
tersebut
timbul
karena
disebabkan
oleh
poststreptococcal disease.
Tes-tes yang paling sering digunakan adalah ASO dan anti DNase-B
Kadar normal: 160 todd unit/ml

Differential diagnosis acute post-streptococcal


glomerulonephritis

Syndrome glomerulonephritis akut meliputi:


a. Penyakit-penyakit
bacterial
lainnya
(eg.
Streptococcus
pneumonia,
Staphylococcus
aureus
dan
S.epidermidis,
Ricketsia rickettsiae, Mycoplasma species, Meningococcus
species, Leptospira species)
b. IgA- associated glomerulonephritis
c. Mesangiocapillary
atau
membranoproliferative
glomerulonephritis (MPGN) (Peningkatan serum creatinine)
d. Crescentic glomerulonephritis
e. Nephritis, Lupus
f. Cryoglobulinemia
Selama rawat inap, kondisi Mia tidak membaik dan ia menderita kejang (fits) dan
koma. Pemeriksaan funduscopy menunjukkan bilateral papilloedema. Krepitasi
terdengar melalui lapangan paru. Tekanan darah meningkat menjadi 190/150
mmHg. Haemoglobin menurun sampai 2,5 g/dl dan hematokritnya 0,25. Dia
dirujuk ke nephrologist, pulmonologist, cardiologist untuk konsultasi. Karena
kondisinya semakin memburuk, dia dibawa ke UGD, tetapi sayangnya dia
meninggal setelah 24 jam dirawat.

Problem pada kasus


a. Dia menderita kejang (fits) dan koma
b. Pemeriksaan fundi menunjukkan bilateral papilloedema
c. Krepitasi halus terdengar melalui lapangan paru (efusi pleura)
d. Haemoglobin menurun sampai 2,5 g/dl (anemia berat) dan hematokrit 0,25
e. Tekanan darah meningkat 190/150 mmHg (hipertensi krisis)
mengapa bisa berakibat fatal? Karena pasien mengalami anemia parah, gagal
ginjal dan hipertensi encephalopathy

Komplikasi APSGN
1. Gagal ginjal
2. Gagal jantung dengan atau tanpa hipertensi
3. Hypertensive encephalopathy (paling serius)

Penyebab yang sesuai pada APSGN


Penyebab yang sesuai adalah krisis hipertensi dan edema cerebral
daripada peningkatan urea darah.

Patofisiologi papilledema pada APSGN


Papilledema (atau papilloedema) adalah pembengkakan optic disc yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan intracranial. Pembengkakan ini biasanya
bilateral dan dapat timbul dalam beberapa jam sampai beberapa minggu.

Penampakan unilateral sangat jarang. Papilledema paling sering terlihat sebagai


symptom yang dihasilkan dari proses patofisiological lain. Pada hipertensi
intracranial, papilledema paling sering tampak secara bilateral. Saat papilledema
ditemukan pada fundoscopy, evaluasi lebih lanjut dibutuhkan karena kehilangan
pengelihatan dapat tejadi jika kondisi yang mendasari tidak diobati. Evaluasi
lebih lanjut dengan CT atau MRI dari otak dan/atau spine biasanya dilakukan.

Patofisiologi anemia pada APSGN


Anemia pada APSGN terjadi karena peningkatan volume plasma /
volume overload. Bagaimanapun juga, autoimun hemolytic anemia (AIHA)
seringkali dilaporkan pada pasien dengan APSGN. AIHA adalah kondisi klinis
dimana antibody IgG dan/atau IgM berikatan dengan antigen permukaan sel
darah merah dan menginisiasi destruksi sel darah merah melalui sistem
komplemen dan sistem reticuloendothelial.

Manajemen APSGN dan komplikasinya


Tujuan managemen dan treatment:
Untuk menurunkan tekanan darah
Penggunaan profilaxis penisilin jangka panjang tidak dianjurkan
Serangan kedua dari akut glomerulonephritis jarang.
Steroid tidak ada keuntungannya.
Pengobatan antiobiotik yang rasional
Karena faringitis streptococcal adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri pada
banyak kasus, pertanyaan yang rasional adalah apakah bermanfaat untuk
melakukan test diagnostic dan memberikan antibiotik pada kasus yang dicuragai
(suspected cases) atau pada kasus yang sudah pasti (confirmed cases).
Meskipun poststreptococal glomerulonephritis tidak dapat dicegah dengan
pengobatan antibiotic untuk faringitis streptococcal, beberapa keuntungan lain
telah disarankan untuk keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotic juga
mengurangi resiko komplikasi supuratif dari infeksi streptococcal.

Pengobatan untuk PSGN difokuskan pada manajemen pendukung


dari manifestasi klinis
Loop diuretic seperti furosemide dapat diberikan pada hipertensi dan
edema sebagai tambahan dari restriksi intake air dan natrium. Hypertensi
urgency dan emergency, walaupun jarang, membutuhkan perhatian
segera.
Beberapa pasien membutuhkan dialysis selama penyakit akut karena
berkurangnya fungsi ginjal. Terdapat bukti bahwa infeksi GAS yang
persisten membutuhkan treatment antibiotic.

Hipertensi Encephalopathy
Management dari kejang adalah emergent, diazepam, midazolam

Obat yang efektif untuk menurunkan BP sangat dibutuhkan,


seperti Sodium Nitroprusside, Calcium channel antagonist.

Terapi diuretic dan steroid yang dapat meringankan encephaledema


dianjurkan. Tetapi mannitol, dextrose atau albumin dilarang (tidak
dianjurkan).
-

Saluran nafas harus dijaga tetap terbuka dan oksigen harus


diberikan
Sedasi (Phenobarbital, chloralhydrate)

Prognosis APSGN
Manifestasi klinik APSGN dapat diatasi dengan cepat. Biasanya diuresis
dimulai dalam 1 minggu, dengan konsentrasi serum kreatinin kembali ke kondisi
awal dalam 3 atau 4 minggu dan hematuria kembali normal dalam 3 sampai 6
bulan. Proteinuria kembali normal saat kondisi pasien mulai pulih, tetapi lambat,
dan dapat persisten hingga 3 tahun. Kegagalan untuk mengobati infeksi primer,
jika terus-menerus, mungkin menunda penyembuhan. Prognosis untuk
kebanyakan anak-anak dengan APSGN sangat baik. Meskipun jarang,
proteinuria yang berulang, hipertensi, dan insuffciency ginjal dapat berkembang
hingga beberapa tahun setelah penyakit awal.
Tetapi sayangnya, pasien tersebut meninggal karena gagal ginjal dan gagal
jantung dan yang paling fatal: hypertensive encephalopathy. Mengapa fatal?
Posterior reversible encephalopathy syndrome
Posterior reversible encephalopathy syndrome (PRES), juga dikenal sebagai
reversible posterior encephalopathy syndrome (RPES), adalah gangguan otak
yang berhubungan dengan edema white-matter, terutama di daerah posterior
dari region parietal-temporaloccipital di otak. Namun, lesi radiologis pada PRES
jarang terisolasi ke area tersebut, dan seringkali melibatkan korteks, lobus
frontal, ganglia basalis dan batang otak.

Anda mungkin juga menyukai