PENDAHULUAN
Istilah cholelithiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang
dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus
koledokus, atau pada kedua-duanya (1). Lebih dari 20 juta orang di Amerika
Serikat memiliki batu empedu dalam kandung empedunya; sekitar
300.000 operasi dilakukan setiap tahunnya untuk penyakit ini; dan
setidaknya 6.000 kematian diakibatkan oleh komplikasi dari penyakit ini (2).
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia
Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Muangthai, dan Filipina (1).
Berdasarkan kandungan kolesterol dalam batu, batu empedu
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Batu
kolesterol adalah batu dengan kandungan kolesterol lebih dari 75%,
sedangkan batu pigmen adalah batu dengan kandungan kolesterol kurang
dari 25%(6).
Batu kolesterol terbentuk akibat sekresi cairan empedu yang
tersupersaturasi oleh kolesterol dari hepar (2). Batu pigmen hitam terbentuk
akibat supersaturasi kalsium bilirubinat, karbonat, dan fosfat, seringkali
terjadi akibat penyakit hemolitik seperti spherocytosis herediter dan
anemia sel sabit, serta sirosis. Batu pigmen coklat dapat terbentuk dalam
kandung empedu maupun dalam saluran empedu, biasanya terbentuk
akibat infeksi bakteri yang disebabkan oleh stasis cairan empedu (6).
Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu
adalah asimtomatik. Pada batu empedu simptomatis, gejala utamanya
yaitu colic bilier(1). Penatalaksanaan dari cholelithiasis dapat dibedakan
menjadi tatalaksana nonbedah dan tatalaksana pembedahan. Keduanya
memiliki indikasi masing-masing yang harus dipertimbangkan sebelum
terapi mulai diberikan.
Cholelithiasis
dapat
menimbulkan
berbagai
komplikasi
yang
BAB II
SISTEM SALURAN EMPEDU
2.1 Anatomi(5)
Vesica biliaris terletak pada fossa vesicae biliaris pada facies
visceralis hepar. Fossa yang dangkal ini terletak pada perbatasan antara
lobus dextra dan lobus sinistra hepar. Vesica biliaris berbentuk seperti
buah pir, memiliki panjang sekitar 7-10 cm, dan dapat menampung cairan
empedu hingga 50 mL. Peritoneum menutupi seluruh permukaan fundus
vesica biliaris dan melekatkan corpus dan collum vesica biliaris dengan
hepar. Vesica biliaris memiliki 3 bagian, yaitu:
a. Fundus : merupakan bagian ujung yang lebar dan tumpul, biasanya
terproyeksi dari margo inferior hepar dekat bagian ujung cartilago
costae IX dextra pada midclavicular line.
b. Corpus : bagian utama, berhubungan dengan facies visceralis hepar,
colon transversum, dan pars superior duodenum. Hubungannya
dengan duodenum sangat erat hingga seringkali pars superior
duodenum terwarnai hijau oleh empedu pada cadaver.
c. Collum : bagian yang sempit, mengarah menuju porta hepatis. Pada
umumnya collum vesica biliaris melekuk seperti huruf S dan
bergabungan dengan ductus cysticus.
Empedu yang disekresikan oleh hepar mengalir ke ductus hepaticus
dextra dan sinistra. Ductus hepaticus memiliki panjang sekitar 4 cm.
Kedua ductus ini bergabung stelah melewati porta hepatis, membentuk
ductus hepaticus communis, yang kemudian bergabung dengan ductus
cysticus di sebelah kanannya untuk membentuk ductus choledocus.
Ductus cysticus, yang memiliki panjang 3-4 cm, menghubungkan collum
vesica biliaris dengan ductus hepaticus communis. Lumen ductus cysticus
dipertahankan tetap terbuka oleh mucosa collum vesica biliaris yang
membentuk spiral (spiral valve).
Suplai darah untuk vesica biliaris dan ductus cysticus berasal dari
arteria cystica, yang umumnya berasal dari arteria hepatica dextra pada
segitiga di antara ductus hepaticus communis, ductus cysticus, dan facies
visceralis hepar. Segitiga ini disebut juga cystohepatic triangle dari Calot.
Akan tetapi asal dan perjalanan dari arteri ini bervariasi.
sedangkan aliran vena dari bagian distal ductus mengalir menuju vena
pancreaticoduodenal
superior
posterior.
Aliran
limfe
dari
ductus
Pertama,
empedu
memainkan
peranan
penting
dalam
memproduksi
mengekskresikannya
empedu
melalui
secara
kanalikuli
terus
empedu.
menerus
Sekresi
dan
empedu
menyebabkan
penurunan
aliran
empedu.
Asam
empedu.
Obat-obatan
parasimpatomimetik
menyebabkan
terjadi
peningkatan
kecenderungan
kontaminasi
bakteri.
Sumber dari kontaminasi bakteri ini masih belum jelas. Akan tetapi,
sebagian besar bakteri yang mengkontaminasi adalah bakteri aerob gram
negatif, sehingga penjelasan yang sering dikemukakakan sebagai sumber
kontaminasi adalah masuknya bakteri ke dalam biliary tree dari
duodenum. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada infeksi bilier yaitu
10
Kista choledocus
b. Trauma Hepatobilier
c. Tumor Ganas
d. Cholelithiasis
e. Cholecystitis
f. Hydrops Kandung Empedu
g. Obstruksi Saluran Empedu
h. Fistel Bilioenterik
11
BAB III
CHOLELITHIASIS
3.1 Definisi
Cholelithiasis adalah adanya batu dalam kantong empedu atau
dalam saluran empedu(7). Istilah cholelithiasis dimaksudkan untuk penyakit
batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di
dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya (1).
3.2 Epidemiologi dan Faktor Predisposisi
Di Amerika Serikat, lebih dari 20 juta orang memiliki batu empedu
dalam kandung empedunya; setiap tahun sekitar 300.000 operasi
dilakukan untuk penyakit ini, dan sekitar 6000 kematian terjadi setiap
tahunnya akibat komplikasi atau terapi dari penyakit ini. Insidensi batu
empedu meningkat bersama dengan usia, dimana pada usia 50-65 tahun
sekitar 20% wanita dan 5% pria mengalami penyakit ini (2).
Prevalensi batu empedu terkait oleh banyak faktor, termasuk usia,
jenis kelamin, dan latar belakang etnis. Wanita tiga kali lebih beresiko
mengalami batu empedu dibandingkan pria, dan keluarga dekat dari
pasien dengan batu empedu memiliki prevalensi dua kali lipat lebih tinggi.
Beberapa kondisi yang merupakan predisposisi dari terbentuknya batu
empedu yaitu obesitas, kehamilan, faktor diet, penyakit Crohn, reseksi
ileum terminal, pembedahan gaster, spherocytosis herediter, penyakit sel
sabit, dan thalassemia(6).
Meskipun batu empedu paling banyak ditemukan dalam kandung
empedu, namun sepertiga dari batu saluran empedu merupakan batu
duktus koledokus. Di negara barat, 80% dari batu empedu adalah batu
kolesterol,
sebaliknya
di Asia
Timur
lebih
banyak
batu
pigmen
12
13
14
a. Batu Kolesterol
Batu kolesterol terbentuk akibat sekresi cairan empedu yang
tersupersaturasi oleh kolesterol dari hepar. Kolesterol tidak larut dalam air
dan dalam cairan empedu harus ditransport melalui misel dan vesikel
fosfolipid. Jika kadar kolesterol dalam empedu melebihi kapasitas, kristal
kolesterol mulai mengalami presipitasi dalam vesikel fosfolipid. Kristalkristal kolesterol ini lama kelamaan menjadi batu makroskopik (2).
Penjenuhan kolesterol dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi
kolesterol
atau
penurunan
relatif
asam
empedu
atau
fosfolipid.
faktor
pronukleasi
(seperti
immunoglobulin,
mucus
15
bilirubin
menyebabkan
yang
tidak
peningkatan
terkonjugasi.
sekresi
bilirubin
Sirosis
tidak
juga
dapat
terkonjugasi.
16
17
BAB IV
DIAGNOSIS
4.1 Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu
adalah asimtomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa dispepsia yang
kadang disertai intoleransi terhadap makanan berlemak (1).
Pada batu empedu simptomatis, gejala utamanya yaitu colic bilier.
Karakteristik dari colic bilier yaitu nyeri dengan intensitas berat, hilang
timbul, dirasakan selama 30 menit hingga beberapa jam, berlokasi di
epigastrium atau kuadran kanan atas (8). Nyeri dapat menyebar ke
punggung bagian tengah, skapula, atau puncak bahu. Disertai mual dan
muntah. Jika terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik napas dalam dan sewaktu kandung empedu
tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas, yang
merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat (1).
4.2 Pemeriksaan Fisik
Pada batu kandung empedu, jika ditemukan kelainan pada
pemeriksaan fisik, biasanya berhubungan dengan komplikasi. Pada
pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri
tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari pemeriksa dan
pasien berhenti menarik napas(1).
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda pada
fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik.
Apabila ditemukan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan
ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial
nonpiogenik yang ditandai dengan trias Charcot, yaitu demam dan
menggigil, nyeri di daerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis,
18
19
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitivitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik(1). Prosedur ini noninvasif,
tidak nyeri, tidak memaparkan pasien pada radiasi, dan dapat dilakukan
pada pasien dengan kondisi kritis. Sensitivitas dan spesifisitas USG untuk
batu empedu bernilai >90%(6).
Batu empedu memiliki densitas akustik yang baik. Batu juga
menghambat gelombang suara ke daerah di belakangnya, sehingga
menghasilkan suatu acoustic shadow. Batu ikut bergerak bersama dengan
perubahan posisi, berbeda dengan polip yang nampak seperti batu namun
tidak ikut bergerak pada perubahan posisi (6).
dengan
malabsopsi
intestinal,
muntah,
obstructive
jaundice,
dan
21
masuk
ke
dalam
duodenum
menimbulkan :
a. Kolik
b. Iritasi duodenum
c. Perlukaan mukosa duodenum
d. Peradangan duodenum
e. Edema
f. Striktur papila Vater(1).
22
melalui
papila
Vater
dan
BAB V
PENATALAKSANAAN
Pada pasien asimtomatis, tindakan operatif tidak disarankan, namun
dapat dipertimbangkan pada :
1) Pasien dengan usia muda;
2) Pasien diabetik, karena kondisi ini memiliki resiko komplikasi yang
lebih tinggi; dan
3) Adanya fistula cholecystenteric yang teridentifikasi (4).
Cholelithiasis dapat ditangani baik secara nonbedah maupun dengan
pembedahan. Tata laksana nonbedah terdiri atas :
1) Lisis batu;
2) Litotripsi dengan ESWL; dan
3) Pengeluaran secara endoskopik(1).
Pembedahan laparascopic cholecystectomy dapat dilakukan pada
pasien dengan batu empedu yang simtomatik (6).
5.1 Tatalaksana Nonbedah
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu koletolitik mungkin
berhasil pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita
dengan pengobatan selama satu sampai dua tahun. Lisis kontak melalui
kateter perkutan ke dalam kandung empedu dengan metilbutil eter
berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif tetapi
kerap disertai penyulit(1). Agen yang biasa digunakan untuk disolusi batu
secara oral yaitu asam ursodeoxycholic atau asam cheneodeoxycholic.
Kriteria untuk keberhasilan dalam melakukan terapi ini yaitu batu
radioluscent dengan diameter kurang dari 1 cm, dan fungsi kandung
empedu baik. Angka kekambuhan yaitu 50% dalam 5 tahun (4).
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) memfokuskan
gelombang ultrasonic pada batu dan dapat berhasil memecah beberapa
batu. Teknik ini tidak nyeri, tidak memerlukan anestesi, dan dapat
dilakukan secara rawat jalan. Terapi disolusi oral sebagai adjuvan
23
24
a. Persiapan operasi
Setelah dilakukan anamnesa dan assessment, penting untuk
melakukan pemeriksaan darah lengkap, renal function test, liver function
time, faal hemostasis, foto thorax dan EKG. Antibiotik profilaksis
sebaiknya diberikan, dapat berupa cephalosporin generasi kedua. Pasien
harus menandatangani suatu formulir informed consent (11).
b. Laparoscopic Cholecystectomy
Laparoscopic cholecystectomy kini menjadi pilihan bagi banyak
dokter bedah, karena memerlukan insisi yang lebih kecil, rasa nyeri yang
lebih sedikit, dan masa rawat inap yang lebih singkat. Untuk melakukan
operasi ini diperlukan anestesi general, sehingga kontraindikasi untuk
operasi ini yaitu pasien yang tidak dapat mentoleransi anestesi general.
Kontraindikasi lainnya antara lain penyakit hepar end-stage dengan
hipertensi portal, dan koagulopati. Selain itu, karena untuk operasi ini
diperlukan pembentukan pneumoperitoneum dengan karbondioksida,
maka penyakit paru obstruktif kronis yang berat dan gagal jantung
kongestif merupakan kontraindikasi relatif operasi ini (10).
Pasien berbaring dalam posisi supinasi diatas meja operasi dengan
dokter bedah berdiri di sebelah kiri pasien. Dibuat pneumoperitoneum
dengan gas karbondioksida, baik dengan open technique ataupun closed
needle technique. Pada open technique, dibuat insisi supraumbilicus yang
diteruskan hingga fascia dan peritoneum, setelah itu dimasukkan suatu
cannula tumpul khusus yang dikenal sebagai Hasson cannula kedalam
cavum peritoneum. Sedangkan pada closed technique, jarum khusus
yang disebut Veress needle dimasukkan melalui insisi supraumbilical ke
dalam cavum peritoneum. Setelah terbentuk pneumoperitoneum yang
adekuat, trocar ukuran 10 mm dimasukkan melalui insisi supraumbilical
yang telah dibuat. Laparoscope yang dilengkapi dengan video camera
dimasukkan melalui port pada umbilicus dan abdomen diinspeksi. Tiga
port tambahan dipasang, yaitu port 10 mm pada epigastrium, port 5 mm
25
cholecystectomy
kini
telah
jarang
dilakukan.
Open
26
cystica. Setelah itu, ductus cysticus dan arteria cystica diligasi dan
dipotong(6).
5.3 Prevensi
Pencegahan cholelithiasis dapat dilakukan pada orang dengan
kecenderungan empedu yang litogenik, dengan cara mencegah infeksi
dan menurunkan kadar kolesterol serum dengan cara mengurangi asupan
atau menghambat sintesis kolesterol. Obat golongan statin dikenal dapat
menghambat sintesis kolesterol karena mengambat enzim HMG-CoA
reduktase(1).
5.4 Prognosis
Komplikasi serius dan kematian yang terkait dengan tindakan
operatif sangat jarang. Angka kematian akibat operasi adalah 0,1% pada
pasien berusia dibawah 50 tahun dan 0,5% pada pasien berusia diatas 50
tahun. Operasi dapat mengurangi gejala pada 95% kasus (2).
27
DAFTAR PUSTAKA
1. de Jong, Wim dan Sjamsuhidayat R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi
2. EGC, Jakarta.
2. Doherty , Gerard M and Way, Lawrence W. 2006. In Doherty, Gerard
M, editor. Current Surgical Diagnosis and Treatment, 12 th Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc., USA.
3. Guyton, Arthur C dan Hall, John E. 2008. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Edisi 11. EGC, Jakarta.
4. Henry, Michael M and Thompson, Jeremy N. 2005. Clinical Surgery 2 nd
Edition. Elsevier Saunders, London.
5. Moore, Keith L, Dalley, Arthur F and Agur, Anne M. 2010. Clinically
Oriented Anatomy 6th edition. Lippincott Williams and Wilkins, USA.
6. Pham, Thai H and Hunter, John G. 2015. In Brunicardi, Charles F et
al., editors. Schwartz Principles of Surgery 10 th Edition. The McGrawHill Companies, Inc., USA.
7. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr
Soetomo. 2008. Universitas Airlangga, Surabaya.
8. Pierce, Richard A and Strasberg, Steven M. 2008. Biliary Surgery. In
Klingensmith, Mary E, et al., editors. The Washington Manual of
Surgery, 5th Edition. Lippincott Williams and Wilkins, USA.
9. Snell, Richard S. 2008. Clinical Anatomy by Regions. Lippincott
Williams and Wilkins, USA.
10. Jackson, Patrick G and Evans, Steven RT. 2012. Biliary System. In
Townsend, Courtney M, et al., editors. Sabiston Textbook of Surgery
19th edition. Elsevier Saunders, Canada.
11. Conlon, Kevin. 2012. The gall bladder and bile ducts. In Williams,
Norman S., et al., editors. Bailey & Loves Short Practice of Surgery
26th edition. CRC Press.
12. https://www.flickr.com/photos/jian-hua_qiao_md/4329255270
13. http://medpics.ucsd.edu/index.cfm?
curpage=image&course=path&mode=browse&lesson=21&img=516
28
14. https://www.flickr.com/photos/jian-hua_qiao_md/3953725570
15. http://infosehatmedis.blogspot.co.id/2013/08/dikira-maag-ternyatabatu-empedu.html
16. http://alfianfreezone.blogspot.co.id/2013/03/makalah-kmb-i-kolelitiasis-
batu-kantung.html
29