Anda di halaman 1dari 27

Case Besar

Hiperbilirubinemia ec Kolestasis ec ISK

Disusun Oleh:
Yolanda Inggriani
11.2015.133

Pembimbing:
dr. Ivan Riyanto Widjaja, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD KOJA Jakarta Utara

1
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Kolestasis ec ISK
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA - JAKARTA
Nama Mahasiswa : Yolanda Inggriani Tanda Tangan :
NIM : 11.2015.133
Dokter Pembimbing : dr. Ivan Widjaja. Sp.A
___________________________________________________________________________
I. IDENTITAS PASIEN
PASIEN
Nama : By. AA Suku Bangsa : Betawi
Tanggal Lahir (Umur) : 16 April 2016 (7 bulan) Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan Tanggal Masuk RS : 22 Nov 2016
Alamat : Kp. Sukapura RT 004/RW 003

ORANG TUA/WALI
Ayah
Nama : Tn. AS Agama : Islam
Tanggal lahir/umur : 47 tahun Pendidikan : SMP
Suku Bangsa : Betawi Pekerjaan :Buruh Swasta
Alamat : Kp. Sukapura RT 004/RW 003
Ibu
Nama : Ny. NH Agama : Islam
Tanggal lahir/umur : 43 tahun Pendidikan : SD
Suku Bangsa : Jawa Pekerjaan : IRT
Alamat : Kp. Sukapura RT 004/RW 003
Hubungan dengan orang tua: Anak kandung

II. RIWAYAT PENYAKIT (ANAMNESA)


Diambil dari : Alloanamnesis dari Ibu pasien
Tanggal : 10 Desember 2016 Pukul : 12.30 WIB

2
Keluhan utama
Kedua mata dan badan terlihat kuning sejak anak usia 2 bulan
Keluhan Tambahan
Demam dan BAB dempul
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang bayi dibawa ibunya datang ke IGD dengan keluhan kedua mata dan badan
terlihat kuning sejak anak usia 2 bulan. Awal kuning yang terlihat hanya pada mata saja,
kemudian menjalar ke badan hingga ke kedua telapak tangan dan telapak kaki. Keluhan ini
disertai adanya demam 2 hari SMRS, demam yang dirasakan os naik turun saat diberikan
paracetamol. Ibu os mengaku tidak mengukur suhu anaknya saat itu. Keluhan lain yang
dirasakan os seperti mual, muntah, batuk, pilek tidak ada. Kebiasaan BAB pada anak os sehari
2x BAB dengan konsistensi lunak, berbentuk, berwarna dempul. BAK 3-4x/hari, berwarna
kuning keruh. Ibu os mengatakan, penggantian pampers dilakukan sehari 3x ketika anak rewel
dan pada saat pampers terasa penuh. Os setiap harinya mengkonsumsi ASI, air putih dan sudah
mulai memakan bubur nasi dan Promina sayuran.
Os masuk RS tanggal 22 November 2016, selama di rawat os sudah mendapatkan terapi
urdahex 3x50 mg PO, pct drop 3 x 0,7, elkana 1x ¼ cth PO, cetirizine 1x ½ cth PO, anbacim
3x 250 mg iv (22/11 – 1/12), meropenem 3x200mg iv (1/12 – 10/12), amikasin 3x40 mg iv
(1/12 – 10/12), neo k inj ( 1 mg 3 hari sekali) diberikan selama perawatan. Cairan infus yang
terpasang K1b 24 cc/jam, transfuse PRC 50 cc (23/11). Belum ada perbaikan klinis yang
signifikan, akan tetapi pada hasil pemeriksaan darah sudah menunjukkan adanya perbaikan.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Sepsis (-) Meningoencephalitis (-) Kejang Demam (-)
Tuberkulosis (-) Pneumonia (-) ISK (-)
Asma (-) Alergic Rhinitis (-) Amoebiasis (-)
Polio (-) Difteri (-) Sindrom Nefrotik (-)
Diare akut (-) Diare kronis (-) Disentri (-)
Kolera (-) Tifus abdominalis (-) DHF (-)
Cacar air (-) Campak (-) Batuk rejan (-)
Tetanus (-) Glomerulonephritis (-) Penyakit Jantung
Bawaan(-)
Lain-lain: Batuk pilek (-) Operasi (-) Kecelakaan(-)
3
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi √
Asma √
Tuberkulosis √
Hipertensi √
Diabetes √
Kejang Demam √
Epilepsi √

RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN


Kehamilan
Perawatan antenatal : Rutin kontrol ANC di Puskesmas, 4 kali selama kehamilan.
Penyakit kehamilan : Tidak ada penyakit kehamilan saat ibu mengandung pasien tersebut

Kelahiran
Tempat kelahiran : Puskesmas
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Spontan
Masa gestasi : 36 Minggu
Keadaan bayi : Berat badan lahir : 2700 gram
Panjang badan lahir : 47 cm
Lingkar kepala : Ibu lupa
Lingkar Lengan Atas: Ibu lupa
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada

4
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Sektor Sosio-Personal :
Sektor motor halus adaptif:
Sektor bahasa: bisa berkata “ma-ma-ma” “nen-nen”
Sektor motor kasar: os mulai belajar duduk dan tengkurep
RIWAYAT IMUNISASI
Waktu Pemberian
Imunisasi Dasar Booster
Imunisasi Bulan Tahun
0 1 2 3 4 5 6 9 12 18 2 3 5
Hepatitis B 1 2 3
Polio (OPV) 0 1 2 3

BCG 1

DPT 1 2 3

Campak
Hib 1 2 3
Riwayat imunisasi: Pasien telah mendapatkan imunisasi; Hepatitis B I dan Polio.

Riwayat Sosial Personal


Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya

II. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal: 10 Desember 2016, pukul 12.30 WIB

PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit sedang,
Kesadaran : Compos mentis, anak rewel
Tanda-tanda vital :
 Heart Rate : 120x / menit
 Suhu : 36,3o C
 Frekuensi Nafas : 26x / menit

5
Data Antropometri
 Berat badan : 7,5 kg
 Panjang badan : 58 cm
 Lingkar Kepala : 39 cm
 Lingkar Dada : tidak diukur cm
 Lingkar Lengan : 11 cm
 Status gizi menurut WHO:
1. Length for Age:
2. Weight for Age:
3. Weight for length:
4. Head Circumference for Age :
5. Arm Circumference for Age:
Kesan: Gizi baik

PEMERIKSAAN SISTEMATIS
Kulit : Teraba hangat, sianosis (-), ikterik (+)
Kepala & Kulit Kepala : Normosefali, caput suksadeneum (-), sefal hematom (-)
Mata : Konjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik(+/+), refleks cahaya
langsung +/+, reflex cahaya tidak langsung +/+,
Telinga : normotia, serumen -/-, sekret -/-
Hidung : cavum nasi lapang, sekret (-), septum deviasi (-), mukosa
hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB
Dada :
 Paru :
Inspeksi : pergerakan dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : tidak terdapat retraksi sela iga
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

6
 Jantung :
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus tidak teraba
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I-II murni reguler. Murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi : Sedikit membuncit, tidak tampak gambaran vena.
Palpasi : teraba agak keras, hepar teraba +/- 3 jari dibawah arc costae, konsistensi agak
keras, ujung tumpul, pernukaan licin tidak berbenjol.
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen.
Auskultasi : Bising usus (+)
Anus : Ada
Genitalia : Tidak ada kelainan
Tulang Belakang: Lurus, Benjolan (-), spina bifida (-)
Ekstremitas: Akral hangat, sianosis (-), CRT< 2 dtk, gerak aktif, tonus otot baik, ikterus (+)
Kulit : Kulit normal, tidak terdapat lesi di kulit, ikterik
Rambut: Pertumbuhan rambut merata, rambut berwarna hitam
Kelenjar Getah Bening: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Pemeriksaan Neurologis:
Kesadaran: Compos Mentis, mudah dibangunkan
Refleks Fisiologis: Refleks Rooting (+)
Refleks Sucking (+)
Grasp Refleks (+)
Saraf kranialis I-XII kesan dalam batas normal

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
24 November 2016
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
Hb 10,5 15,0 - 24,0 g/dL
Leukosit 19,67 6,0 - 14,00 103/uL
Hematokrit 31,1 32,0 - 42,0 %

7
Trombosit 199 182 – 369 103/uL

HASIL USG  25/11/2016


Kesan : - dilatasi gaster
- Hernia umbilikalis
- Splenomegaly
- Saat ini tak tampak adanya obstruksi pada saluran bilier

26 November 2016
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hb 9,0 g/dl 15,0 – 24,0
Leukosit 13,69 103/uL 6,0 - 14,00
Hematokrit 27,3 % 32,0 - 42,0
Trombosit 172 103/uL 182 – 369
MCV 79 fL 72-88
MCH 26 Pg 24–30
MCHC 33 g/dl 32-36
RDW-CV 21,4 % 11,5-15,0
LED 52 Mm/jam 0-20
BASOFIL 0,3 % 0,1-1,2
EOSINOFIL 3,7 % 0,7-5,8
NEUTROFIL 36,5 % 34,0-71,1
LIMFOSIT 52,4 % 19,3-51,7
MONOSIT 7,1 % 4,7-12,5
PROTEIN TOTAL 5,95 g/dl 6,30-8,60
ALBUMIN 2,77 g/dl 3,80-5,40
GLOBULIN 3,18 g/dl 3,10-3,50
BILIRUBIN TOTAL 18,64 Mg/dl <0,9
BILIRUBIN DIREK 16,01 Mg/dl <0,3
BILIRUBIN INDIREK 2,63 Mg/dl <0,75
SGOT 436 U/L <32
SGPT 251 U/L <33

8
27 November 2016
Urine Lengkap
Makroskopis
Warna Kuning
Kekeruhan Agak Keruh
Berat Jenis 1.005
pH 6,0
Protein Negatif
Glukosa Negatif
Keton Negatif
Bilirubin 2+
Darah samar Negatif
Leukosit esterase Negatif
Nitrit Negatif
Urobilinogen Negatif
Mikroskopis
Leukosit 0-1 LPB
Eritrosit 0-1 LPB
Silinder Negatif
Sel epitel 1+
Kristal Negatif
Bakteria +2
Jamur Negatif

29 November 2016
BILIRUBIN TOTAL 19,20 Mg/dl <0,9
BILIRUBIN DIREK 16,11 Mg/dl <0,3
BILIRUBIN INDIREK 3,09 Mg/dl <0,75
SGOT 417 U/L <32
SGPT 223 U/L <33

9
2 Desember 2016
Mikrobiologi
Biakan + Resistensi
Specimen : urin
Pewarnaan gram : Batang gram negative
Isolate 1 : Escherichia coli (ESBL)
Tes ESBL positif pada kuman biakan ini, kuman tersebut resisten terhadap semua
antibiotic golongan penisilin, cephalosporin dan aztreonam. Sensitive terhadap amikasin,
sulfamethoxazole/trimethoprim, meropenem.

5 Desember 2016
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hb 9,6 g/dl 15,0 – 24,0
Leukosit 14,41 103/uL 6,0 - 14,00
Hematokrit 29,4 % 32,0 - 42,0
Trombosit 146 103/uL 182 – 369
BILIRUBIN TOTAL 17,51 Mg/dl <0,9
BILIRUBIN DIREK 15,35 Mg/dl <0,3
BILIRUBIN INDIREK 2,16 Mg/dl <0,75
SGOT 286 U/L <32
SGPT 146 U/L <33

8 Desember 2016
BILIRUBIN TOTAL 17,02 Mg/dl <0,9
BILIRUBIN DIREK 15,07 Mg/dl <0,3
BILIRUBIN INDIREK 1,95 Mg/dl <0,75
SGOT 305 U/L <32
SGPT 131 U/L <33

10
RESUME
Pasien bayi perempuan berusia 7 bulan datang dibawa ibunya datang ke IGD dengan
keluhan kedua mata dan badan terlihat kuning sejak anak usia 2 bulan. Awalnya kuning pada
os hanya terdapat pada mata yang kemudian menjalar hingga ke telapak tangan dan kaki.
Keluhan lain demam naik turun, BAB dempul (+), BAK 3-4x/hari, mual (-), muntah (-), batuk
(-), pilek (-).Os setiap harinya mengkonsumsi ASI, air putih dan sudah mulai memakan bubur
nasi dan Promina sayuran.
Os masuk RS tanggal 22 November 2016, selama di rawat os sudah mendapatkan terapi
urdahex 3x50 mg PO, pct drop 3 x 0,7, elkana 1x ¼ cth PO, cetirizine 1x ½ cth PO, anbacim
3x 250 mg iv (22/11 – 1/12), meropenem 3x200mg iv (1/12 – 10/12), amikasin 3x40 mg iv
(1/12 – 10/12), neo k inj ( 1 mg 3 hari sekali) diberikan selama perawatan. Cairan infus yang
terpasang K1b 24 cc/jam, transfuse PRC 50 cc (23/11). Belum ada perbaikan klinis secara
signifikan akan tetapi pada hasil lab sudah terlihat adanya perbaikan.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan sklera ikterik (+/+), kulit ikterik (+), hepatomegaly
(+) 3 jari dibawah arc, konsitensi agak keras, permukaan licin tidak berbenjol. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan hasil usg terdapat dilatasi gaster, splenomegaly, hernia
umbilikalis dan tidak terdapat obstruksi bilier. Hasil test darah didapatkan peningkatan
bilirubin total, direk, indirek, peningkatan SGOT/SGPT, dan juga kadar albumin dalam darah
serta didapatkan adanya leukositosis. Urine : terdapat bilirubin dan bakteri. Biakan bakteri dari
specimen urin, kuman sensitive terhadap amikasin, meropenem, sulfamethoxazole.

DIAGNOSIS KERJA
 Hiperbilirubinemia ec Kolestasis ec ISK

DIAGNOSIS BANDING
 Hiperbilirubinemia ec BFJ
ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Bilirubin Serial
PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

11
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
- Urdahex 3x 50 mg PO
- elkana 1x ¼ cth
- PCT drop 3x 0,7cc
Non-medika mentosa :
- Rujuk spesialis hepatologi anak

ANALISA KASUS
Pada kasus di dapatkan bahwa, bayi perempuan dengan umur 7 bulan datang dengan
ibunya. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan sklera ikterik pada mata kanan dan kiri dan kulit
sampai telapak tangan dan kaki ikterik (kramer 5). Pada pemeriksaan lab awal pasien masuk
(22/11) didapatkan peningkatan leukosit yang bermakna (19.670). dari hasil anamesis, PF dan
juga pemeriksaan darah, dapat diperkirkan penyebab kuning yang terjadi pada os bisa
disebabkan karena adanya kolestasis yang disebabkan oleh infeksi saluran kencing. Hal ini
dapat diperkuat dengan pasien yang berjenis kelamin perempuan, dimana pasien perempuan
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terkena infeksi pada saluran kencing dan juga BAB
dempul yang merupakan salah satu gejala adanya kolestasis. Adanya dugaan infeksi saluran
kencing karena traktus urinarius yang dimiliki perempuan lebih pendek ketimbang laki-laki.
Dan didukung adanya kebiasaan ibu os yang hanya mengganti pampers 3x sehari pada saat saat
tertentu, yang dapat menyebabkan bakteri banyak berkembang dan dengan mudah masuk ke
dalam saluran kencing os. Setelah dicurigai pada os terkenna ISK, dilakukan pemeriksaan urine
dan darah untuk menegakkan diagnosis menjadi lebih pasti. Hasil tes darah lengkap (26/11)
dan lainnya menunjukkan adanya penurunan Hb (9,0) penurunan Ht (27%), peningkatan LED
(52mm/jam), penurunan albumin (2,77), peningkatan bilirubin total (18,64), direk (16,01) dan
indirek (2,63), peningkatan SGOT (436)/ SGPT (251). Pemeriksaan urine: urin berwarna agak
keruh, terdapat bilirubin +2, leukosit esterase (-), nitirit (-), bakteria (+2).
Adanya penurunan Hb pada os bisa dikarenakan penghancuran eritrosit yang terjadi pada bayi
lebih cepat sehingga produksi bilirubin meningkat akan tetapi tidak bisa diekskresi dikarenakan
adanya kolestasis yang disebabkan oleh ISK bawah. Peningkatan LED menunjukkan adanya
inflamasi. Pada pemeriksaan urine ditemukan adanya bilirubin (+2) dan bakteri, tidak
ditemukan adanya leukosituria. Akan tetapi leukosituria bukanlah petanda yang sensitive pada
bayi. Infeksi maupun non-infeksi menyebabkan aktivasi sitokin proinflamsi yang dapat
menyebabkan peradangan/inflamasi yang dapat menyebabkan kolestasis hepatoselular. Sitokin
12
proinflamasi adalah inhibitor yang poten untuk ekspresi gen transporter hepatobilier yang
menyebabkan gangguan fungsi transport empedu dan menyebabkan terjadinya
hiperbilirubinemia (kolestasis). Pada hasil pemeiksaan USG, hanya ditemukan dilatasi gaster,
hernia umbilikalis, splenomegaly, tidak ditemukannya obstruksi bilier. Obat-obatan yang
diberikan seperti urdahex untuk menstimulasi aliran empedu, suplemen empedu untuk absorbs
lemak, dan juga sebagai hepatoprotektor, pemberian antibiotic pada kasus ini dapat diberikan
sesuai dengan hasil kultur bakteri. Setlah dilakukannya penanganan di RSUD KOJA, ada
baiknya untuk kita merujuk kasus ini ke bagian hepatologi anak, untuk mendapatkan
pengobatan yang lebih sesuai.

13
Tinjauan Pustaka
HIPERBILIRUBINEMIA ec KOLESTASIS

Pendahuluan

Sering terjadi informasi yang kurang tepat kepada orang tua baik dari teman, keluarga,
dan petugas kesehatan bahwa penyakit kuning bayi adalah normal, tidak memerlukan
pemeiksaan atau pengobatan, dan akan sembuh tanpa konsekuensi yang merugikan. Namun,
kesalahan diagnosis kolestasis sering terjadi sebagai ikterus fisiologis, sehingga identifikasi
penyakit hati yang penting dan mengganggu kesehatan jangka panjang tertunda dan terdapat
keterlambat merujuk bayi dengan kolestasis.1
Kolestasis yang ditandai dengan tingginya serum bilirubin terkonjugasi (bilirubin
direk) merupakan keadaan yang cukup serius dan menunjukan adanya disfungsi hepatobilier.
Sedangkan pada ikterus fisiologis dan karena ASI yang dapat terjadi pada minggu-minggu
pertama kehidupan disebabkan oleh tingginya kadar serum bilirubin tidak terkonjugasi
(bilirubin indirek). Deteksi dini penyakit kuning kolestasis ini oleh tenaga pelayanan kesehatan
dan tepat waktu serta diagnosis yang akurat oleh dokter ahli pencernaan anak akan memberikan
prognosa yang lebih baik.2
Hiperbilirubinemia terkonjugasi (bilirubin direk), urin gelap dan tinja berwarna pucat
adalah tanda yang khas dari sindrom hepatitis neonatal yang harus segera diselidiki. Kondisi
yang paling penting dalam diferensial diagnosis adalah atresia bilier dan bayi yang terkena
memerlukan portoenterostomi Kasai yang dilakukan oleh ahli bedah berpengalaman dan
idealnya sebelum bayi berusia 60 hari.3
Kolestasis neonatal adalah kondisi serius yang memerlukan investigasi lebih lanjut dan
segera. Rujukan yang terlambat masih merupakan masalah yang bermakna. Setiap bayi yang
mengalami penyakit kuning melampaui usia 2 minggu harus dievaluasi dengan pemeriksaan
bilirubin. Dalam kasus kolestasis neonatal setiap bayi yang mengalami tinja akholik (pucat
seperti dempul) harus dirujuk ke unit hepatologi anak untuk mengkonfirmasi atau
menyingkirkan atresia bilier, karena prognosis setelah portoenterostomi berhubungan dengan
usia yang lebih muda pada saat operasi. Pendekatan dilakukan berdasarkan temuan diagnostik
anamnesis, klinis dan pemeriksaan penunjang. Selain terapi medis atau bedah khusus untuk
penyakit-penyakit tertentu, awal terapi suportif bertujuan untuk pertumbuhan dan
perkembangan serta pencegahan komplikasi yang berat.4

14
Definisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah
normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari hepatosit sampai tempat
masuk saluran empedu ke dalam duodenum.5
Hambatan aliran empedu menyebabkan retensi berbagai substansi yang seharusnya
dieksresikan ke kandung empedu dengan bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total <5 mg/dL
atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total >5
mg/dL.6 Berdasarkan the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology
and Nutrition Indikator kolestasis:2

 Bilirubin direk >17μmol/L(1,0 mg/dL)

Bilirubin direk >20% darikonsentrasiserum bilirubintotal,jikajumlahbilirubin >85μmol/L(5,0


mg/dL)

Etiologi
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi, yakni:5
a. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering
disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal,
tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus
hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada animea sel sabit),
sel darah merah abnormal (sterositosis herediter), antibodi dalam serum (Rh atau
autoimun), pemberian beberapa obat-obatan. Sebagian kasus ikterus hemolitik dapat di
akibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum
tulang (talasemia, anemia persiosa). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif.
b. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati dilakukan
dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya
beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin
oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), nofobiosin, dan
beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus
biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab di hentikan.

15
c. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan (< 12,9/100 ml) yang mulai terjadi pada
hari ke dua sampai ke lima lahir disebut ikterus fisiologis pada neonatus. Ikterus neonatal
yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase.
Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai
sekitar minggu ke dua, dan setelah itu ikterus akan menghilang.Kern ikterus atau bilirubin
enselopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada daerah basal ganglia
yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi kematian atau
kerusakan neorologik berat.
d. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor fungsional maupun
obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi.Karena bilirubin
terkonjugasi larut dalam air,maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering
berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu
dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh
hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda
atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu perubahan ini
merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus
obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau
kolangiola) atau ekstra hepatik (mengenai saluran empedu di luar hati).

Tabel 1. Etiologi Hiperbilirubinemia Tidak Terkonjugasi.


Ada Hemolisis Tidak Ada Hemolisis
Umum Inkompabilitas golongan Ikterus fisiologis, ikterus ASI,
darah; ABO. Rh, Kelly, Duffy perdarahan interna, polisitemia,
Infeksi bayi dari ibu diabetes.
Jarang Defek enzim eritrosit: glukosa- Mutasi enzim glukorinil
6-fosfat dehidrogenase, piruvat transferase (Sindrom Crigler
kinase Najjar, penyakit Gilbert),

16
Gangguan membran eritrosit: stenosis pilorus, hipotiroidisme,
sferositosis, ovalositosis trombositopenia imun
Hemoglobinopati: thalasemia

Tabel 2. Etiologi Hiperbilirubinemia Terkonjugasi.


Umum
- Kolestasis Hiperalimentasi
- Infeksi CMV
- Infeksi Kongenital Perinatal lain (TORCH)
- Pengentalan empedu akibat hemolisis yang lama
- Hepatitis Neonatus
- Sepsis
Tidak Umum
- Infark hati
- Kesalahan metabolisme bawaan (galaktosemia, tirosinosis)
- Fibrosis kistik
- Atresia Biliaris
- Kista koledokus
- Defisiensi alfa1-antitripsin
- Penyakit penyimpanan besi neonatus
- Sindrom Alagile (displasia arteriohepatika)
- Penyakit Byler

Epidemiologi
Angka kejadian pada kolestasis pada bayi atau sindrom hrpatitis neonatal dapat
mencapai 1 dari 2500 kelahiran hidup. Hepatitis neonatal idipoatik merupakan penyebab
tersering (49%) dengan perkiraan angka kejadian sebanyak 1 dari 5.000 kelahiran hidup.
Penyebab kedua terbanuak adalah defisiensi α-1-antitripsin (28%) yang memang banyak
dilaporkan pada ras kulit putih, dengan angka kejadian diperkirakan sebanyak 1 dari 20.000
kelahiran hidup. Di Asia, tidak ada satupun defisiensi α-1-antitripsin diantara 300 kolestasis
pada bayi. Di Sub Divisi Hepatologi Anak FKUI/RSCM, dalam kurun waktu 2 tahun (2001-
2003) telah dirawat sebanyak 119 (73,5%) kasus kolestasis intrahepatic dari 162 kasus
kolestasis intrahepatic pada bayi.6

17
Patofisiologi
Pembentukan bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari
pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi.Langkah oksidasi yang
pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase
yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi
tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk pembentukan haemoglobin dan
karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui
reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin
dan sisanya (25%) disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin
karena eritropoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung
protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase) dan heme bebas.
Bayi akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-
4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup
eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari),
peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorpsi dari usus
yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).
Dalam keadaan normal, sejumlah kecil bilirubin direabsorpsi oleh usus untuk kembali ke
darah, dan sewaktu akhirnya dikeluarkan melalui urin.7

Gambar 1. Pembentukan bilirubin.1

18
Transportasi Bilirubin

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial (RES), selanjutnya


dilapaskan kesirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam
sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan
bersifat nontoksik.Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat-
obatan yang bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat-obat tersebut akan
menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta
dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat- obat yang dapat melepaskan
ikatan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan afinitas albumin adalah digoksin,
gentamisin, furosemide.7

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu :


1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian besar
bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2. Bilirubin bebas
3. Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukuronida dan diglukuronida) yaitu bilirubin
yang siap dieksresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (α-bilirubin). Pada 2 minggu
pertama kehidupan, α-bilirubin tidak tampak. Peningkatan α-bilirubin secara signifikan
dapat ditemukan pada bayi baru lahir normal yang lebih tua dan pada anak.
Konsentrasinya meningkat bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia terkonjugasi
persisten karena berbagai kelainan pada hati.

Asupan bilirubin
Saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin terikat ke
reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel membran yang terikat
dengan ligandin (protein Y), dapat juga dengan protein lainnya.Keseimbangan antara jumlah
bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubn oleh sel hati dan konjugasi bilirubin akan
menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal
ataupun tidak.Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.7

19
Konjugasi bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam
air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucuronosyl
tranferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Enzim
ini akan memindahkan satu molekul asam glukuronida dari satu molekul bilirubin
monoglukuronida ke yang lain dan menghasilkan pembentukan satu molekul bilirubin
diglukuronida. Bilirubin ini kemudian dieksresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan
satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk
rekonjugasi berikutnya.7
Eksresi bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan dieksresi ke dalam kandung empedu,
kemudian memasuki saluran cerna dan dieksresikan melalui feses. Proses eksresinya sendiri
merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang
terkonjugasi tidak langsung direabsorpsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk
tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali
bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi
enterohepatik.
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus halus
dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang
selanjutnya dapat diabsorpsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya
steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang
tidak dapat diabsorbsi).7

Patofisiologi Kolestasis Intrahepatik


Kolestasis intrahepatic terjadi akibat gangguan sintesis dan atau seksresi asam empedu
akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatic serta mekanisme transportasinya dalam
hati. Sekresi empedu yang normal tergantung dari fungsi beberapa transporter pada membrane
hepatosit dan sel epitel duktus biliaris (kolangiosit) dan pada struktur integritas fungsi
apparatus sekresi empedu. Akibatnya, berbagai keadaan/ penyakit mempengaruhi fungsi
normal tersebut akan menimbulkan kolestasis. Pathogenesis kolestasis intrahpatik tersebut
dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:6

20
1. Gangguan transporter (Na+K+ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein- NCTP)
pada membrane hepatosit sehingga ambilan asam empedu pada membrane tersebut akan
berkurang. Keadaan ini dapat terjadi misalnya pada penggunaan esterogen atau akibat
endotoksin.
2. Berkurangnya transport intraselular karena perubahan keseimbangan kalsiumatau
kelainan mikrotubulus akibat toksin atau penggunaan obat.
3. Berkurangnya sekresi asam empedu primer atau terbentuknya asam empedu atipik di
kanalikulis biliaris yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel
hati, keadaan ini dapat terjadi akibat penyakit inborn error, kerusakan mikrofilamen
perkanalikulus atau berkurangnya transporter MDR3 akibat pemakaian androgen, atau
pengaruh endotoksin.
4. Meningkatnya permeabilitas jalur para selular sehingga terjadi regurgitasi bahan empedu
akibat lesi tight junction misalnya pada pemakian estrogen.
5. Gangguan pada biliaris hepatic.

KLASIFIKASI NEONATAL KOLESTASIS


a. Kolestasis intrahepatik → terdapat kelainan pada hepatosit atau elemen duktus
biliaris intrahepatik.
b. Kolestasis ekstrahepatik → terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran
empedu ekstrahepatik.
Kolestasis intrahepatik merupakan 68% dari kasus kolestasis sedangkan
ekstrahepatik 32% dan sebagian besar adalah atresia biliaris.8

Gambar 4. Klasifikasi Kolestasis neonatal

21
c. AtresiaBiliaris
Atresia biliaris ditandai dengan tidak terbentuknya sistem bilier ekstrahepatik,
sehingga terjadi obstruksi aliran empedu. Terjadi peningkatan kadar bilirubin direk
dan gama glutamiyl transferase >10 kali. Gangguan tersebut merupakan penyebab
paling umum pembedahan pada kolestasis yang ditemui selama periode baru lahir.
Jika tidak dikoreksi melalui pembedahan, dapat terjadi sirosis bilier dan hipertensi
potral.18 Prognosis atresia bilier tergantung pada beberapa faktor. Prosedur Kasai
dilakukan pada bayi usia sebelum 6 minggu akan memberikan 80% probabilitas
survival rate 5 tahun jaundice-free, dengan tingkat kelangsungan hidup 10-tahun
adalah 90% hingga dilakukan prosedur transplan hati.2
Obstruksi intrahepatik yang terjadi biasanya jarang seberat obstruksi ekstrahepatik, sehingga
kolestasis intrahepatik umumnya hanya meningkatkan alkali fosfatase yang tidak begitu
tinggi, dan hanya terdapat sedikit pigmen dalam feses atau bilirubin urin bila dibandingkan
dengan kolestasis ekstrahepatik.9

Tabel 4. Pembagian derajat ikterus menurut Kramer


Derajat Ikterus Daerah Ikterus Perkiraan Kadar Bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg%
II Sampai badan atas (diatas umbilikus) 9,0 mg%
III Sampai badan bawah (dibawah 11,4 mg%
umbilikus hingga tungkai atas diatas
lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg%
V Sampai telapak tangan dan telapak 16,0 mg%
kaki

Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana kolestasis intrahepatic adalah memperbaiki aliran empedu dengan
cara : mengobati etiologi kolestasis dengan medikamentosa pada kolestasis hepatoselular yang
dapat diobati dan menstimulasi aliran empedu dengan fenobarbital, asam ursodeoksikolat,
kolestiramin, dan rifampisin.2

22
Fenobarbital
Sebagai antipruritus dan dapat mengurangi kuning. Mekanisme kerjanya yaitu
meningkatkan aliran empedu dengan cara menginduksi enzim UDP-glukoronil transferase,
sitokrom P-450 dan NA+K+ATP-ase. Tetapi pada bayi jarang dipakai karena efek sedasinya
dan mengganggu metabolism beberapa obat diantaranya vitamin D, sehingga dapat
mengeksaserbasi rickettsia. (3-10mg/kgBB/hari dalam 2 dosis)
Asam ursodeoksikolat
Asam empedu tersier yang mempunyai sifat lebih hidrofilik serta tidak hepatotoksik
dibandingkan dengan asam empedu primer serta sekunder sehingga merupakan competitive
binding terhadap asam empedu toksik. Selain itu asam ursodeoksikolat juga sebagai suplemen
empedu untuk mengabosrbsi lemak. Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena
dapat menstabilkan dan melindungi membrane sel hati serta sebagai bile flow inducer karena
meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas transporter pada membrane sel hati ( 10-
20mg/kgBB/hari)
Kolestiramin
Digunakan untuk menyerap asam empedu yang toksik sehingga juga untuk
menghilangkan gatal. Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus sehingga dapat
menghalangi sirkulasi enterhepatik asam empedu serta meningkatkan ekskresinya. Selain itu
kolestiramin juga dapat menurunkan umpan balik negative ke hati, emmacu konversi kolesterol
menjadi bile acids like cholic acid yang berperan sebagai koleretik. Kolestiraminbiasanya
digunakan sebagai manajemen jangka panjang kolestasis intrahepatal dan hiperkolesterolemia.
(0,25-0,5 g/kgBB/hari)
Rifamipisin
Dapat meningkatkan aktivitas mikrisom serta menghambat ambilan asam empedu oleh
sel hati dan mengubah metabolism nya, sehingga dapat menghilangkan gatal pada 50% kasus.
Efeksampingnya adalah trombositopenia dan hepatotoksisitas. (5-10mg/kgBB/hari)
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hiperbilirubinemia neonatus adalah toksisitas
bilirubin yang berupa bilirubin enselopati akut dan bilirubin enselopati kronik (kernikterus).
Agen Bilirubin tak terkonjugasi adalah agen neurotoksisitas bilirubin. Anion yang
mengikat fosfolipid (gangliosida) dari membran plasma neuron menyebabkan cedera, yang
kemudian memungkinkan lebih anion untuk masuk neuron.Intraseluler anion bilirubin
berikatan dengan membran fosfolipid organel subselular, menyebabkan gangguan
metabolisme energi dan kematian sel. Sawar darah-otak diragukan lagi memiliki peran dalam
23
melindungi bayi dari kerusakan otak, tetapi integritas tidak mungkin untuk mengukur secara
klinis. Jumlah albumin yang tersedia untuk mengikat bilirubin tak terkonjugasi anion dan
adanya anion lain yang dapat menggantikan bilirubin dari situs albumin mengikat juga penting.
Tidak diketahui apakah ada tingkat tetap bilirubin di atas yang kerusakan otak selalu
terjadi.Kernikterus menggambarkan temuan patologis dari pewarnaan basal ganglia dan batang
otak inti, serta sindrom klinis cedera otak kronis akibat hiperbilirubinemia. Istilah ensefalopati
bilirubin akut menggambarkan tanda dan gejala berkembang kerusakan otak pada bayi baru
lahir.
Risiko bilirubin ensefalopati kecil di bayi sehat yang tidak mempunyai faktor resiko,
neonatus jangka bahkan pada tingkat bilirubin 25-30 mg/dL (430-516 mmol / L).Risiko
tergantung pada durasi hiperbilirubinemia, konsentrasi serum albumin, penyakit terkait,
asidosis, dan konsentrasi anion bersaing seperti sulfisoxazole dan ceftriaxone.Bayi prematur
memiliki risiko lebih besar daripada bayi cukup bulan karena frekuensi yang lebih besar dari
penyakit yang terkait mempengaruhi integritas sawar darah-otak, mengurangi tingkat albumin,
dan penurunan afinitas pengikatan albumin.Untuk alasan ini, "tingkat pertukaran" (tingkat di
mana bilirubin encephalopathy diperkirakan mungkin terjadi) pada bayi prematur mungkin
lebih rendah daripada bayi aterm.
Hubungan antara tingkat total bilirubin serum dan neurotoksisitas lemah. Meskipun
65% dari baru-baru ini melaporkan kasus kernikterus memiliki kadar total bilirubin serum di
atas 35 mg / dL, 15% memiliki tingkat di bawah 30 mg / dL, dan 8% berada di bawah 25
mg/dL. Pada pasien yang tidak mempunyai faktor resiko, neurotoksisitas baru terlihat ketika
kadar total bilirubin serummencapai 31.5 mg / dL. Sedangkan pada bayi yang mempunyai
faktor resiko, neurotoksisitas terlihat di kadarbilirubin 25.4 mg/dL. Resiko hearing loss juga
bergantung dari kadar bilirubin, semakin rendah kadar bilirubin saat diterapi, maka
kemungkinan terkena akan juga semakin kecil. Pengukuran bebas, tidak terikat, bilirubin tak
terkonjugasi mungkin menjadi prediktor yang lebih bermakna dari risiko untuk cedera otak,
meskipun tes ini belum tersedia secara klinis.10
Secara umum, maka dapat dibagi menjadi 2, yaitu periode akut (tahap awal) dan periode kronik
(berkelanjutan):11
1. Ensefalopati bilirubin akut
Bayi dengan disfungsi neurologik oleh karena bilirubin setidaknya sekitar 20-30%
memperlihatkan beberapa abnormalitas neurologik dan 15% bahkan tidak menunjukkan
pertanda neurologik berarti. Ada 3 tahap, yaitu:
a. Fase 1 (beberapa hari kehidupan)
24
Kesadaran menurun, hipotoni, dan pola makan yang buruk menjadi pertanda khas,
walaupun ketiga gejala klinis ini berisfat non-spesifik dan dapat diindikasikan untuk
abnormalitas neonatal lain. Kecurigaan tinggi pada fase ini dapat membantu menekan
progresivitas penyakit dan dapat secara signifikan mengurangi gejala sisa yang
berkelanjutan. Kejang, tidak selalu dikaitkan dengan ensefalopati bilirubin akut.
b. Fase 2 (onset dan durasi yang bervariasi)
Hipertoni pada otot ekstensor adalah tanda khasnya. Pasien umumnya menampilkan
kondisi retrocollis (leher menekuk ke belakang), opistotonus (punggung menekuk ke
arah berlawanan) atau bahkan keduanya. Bayi yang sampai pada fase ini akan mulai
mengalami defisit neurologik jangka panjang.
c. Fase 3 (bayi dengan usia di atas 1 minggu)
Hipotoni ialah tanda khasnya.
Tabel 9. Skor BIND (Bilirubin Induced Neurologic Dysfunction)
0 Poin 1 Poin 2 Poin 3 Poin
Status Normal Mengantuk, makan Letargi + irritability Semi-koma, kejang,
Mental sedikit apnea
Tonus Otot Normal Perlahan menurun Hipertonus ayau Meningkat
hipotonus, tergantung (opistotonus) atau
status kegairahan menurun.
Atau Atau
Kaku pada leher dan Seperti mengayuh
batang tubuh sepeda
(membusur)
Tangisan Normal Tangisan dengan Tangisan yang Tangisan tidak dapat
suara tinggi melengking ditenangkan atau
menangis lemah atau
tidak menangis lagi

Skor BIND (Bilirubin Induced Neurologic Dysfunction) adalah skor yang digunakan untuk
melakukan pengawasan terhadap perkembangan ensefalopati bilirubin. Skor 4-6
menggambarkan ensefalopati yang progresif, dimana masih bisa reversible jika diberikan
terapi yang agresif. Skor 7-9 menggambarkan ensefalopati lanjut yang mungkin tidak bisa
kembali normal.
2. Ensefalopati bilirubin kronik

25
Gejala klinis pada tipe kronik biasanya berkembang secara lambat selama tahun-tahun
pertama bayi yang terkena. Penampakan klinis yang dapat terlihat, antara lain:
a. Abnormalitas ekstrapiramidal, berupa atetosis yang seringkali muncul sebagai kelainan
pergerakan, walaupun korea juga dapat muncul. Ekstremitas atas lebih sering terkena
dibandingkan ekstremitas bawah. Hal ini disebabkan oleh kerusakan pada ganglia
basalis.Abnormalitas penglihatan, berupa kelainan pergerakan okuler yang dikarenakan
kerusakan pada nukleus nervus kranial yang bersangkutan.
b. Abnormalitas pendengaran, berupa kehilangan kemampuan untuk mendengar bunyi
dengan frekuensi tinggi yang bisa bersifat ringan maupun berat. Hal ini dikarenakan
rusaknya nukleus koklearis pada batang otak yang sensitif terhadap toksisitas bilirubin.
Secara klinis, gangguan dapat pula bermanifestasi sebagai keterlambatan anak dalam
berbahasa.
c. Defisit kognitif, dengan penurunan fungsi kognitif yang relatif, dapat ringan maupun
sedang dan jarang sekali terjadi penurunan fungsi kognitif yang berat. Walaupun
hampir sebagian besar anak dengan ensefalopati bilirubin kronik dianggap mengalami
retardasi mental oleh karena pergerakan koreaoatetoidnya dan fungsi pendengarannya
yang buruk.
Prognosis
Tergantung penyakit dasar, prognosis umumnya baik 60% sembuh pada kasus sindrom
hepatitis neonatal yang sporadic, sementara pada kasus yang bersifat familial, prognosisnya
buruk (60% meninggal). Prognosis hepatitis neonatal idiopatik biasanya baik dengan mortalitas
13-25%. Predictor prognosis buruk adalah kuning hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan,
tinja dempul, hepatomegaly persisten, dan terdapatnya inflamasi hebat pada hasil biopsy hati.2
Kesimpulan
Kolestasis intrahepatic pada umumnya tejadi dalam 3 bulan pertama kehidupan. Hal ini
dapat kita teliti dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien serta dibantu
dengan pemeriksaan penunjang. Ketika kita sudah menegakan diagnosis, kita juga perlu
memikirkan jenis terapi apa yang akan diberikan kepada pasien, sesuai dengan kriteria atau
kondisi-kondisi yang sudah dijelaskan pada makalah ini. Namun kita juga harus memikirkan
komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi baik dari penyakit itu sendiri maupun dari
pengobatan yang terjadi. Pencegahan-pencegahan juga harus dipikirkan sedemikian rupa
sehingga tidak timbul komplikasi lebih lanjut dan mencapai prognosis yang lebih baik disertai
dukungan kecepatan dan ketepatan dari diagnosa dan tatalaksana yang diberikan.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Eric I. Benchimol et al. Early diagnosis of neonatal cholestatic jaundice Test at 2
weeks, Can Fam Physician. December 2009; 55:1184-92.
2. Moyer V, Freese DK, Whintington PF, Olson AD, Brewer F, Colleti RB, et
al. Guidelines for the evaluation of cholestatic jaundice in infants : recommendation
of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and
Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2004;39:115-128.
3. J. Mckiernan. Neonatal cholestasis in Seminars in Neonatology, Elsevier,
Birmingham, UK, April 2002; 7(2): 153–65.
4. De Bruyne R, Van Biervliet S, Vande Velde S, Van Winckel M. Clinical practice:
neonatal cholestasis, Eur J Pediatr. 2011 Mar;170(3): 279-84.
5. Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal cholestasis. Clin
Perinatol. 2002;29:159-80.
6. Juffrie M, Oswari H, Soenarto,S, dkk. Buku ajar gastroenterology-hepatologi 2015.
Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 2015. h. 365-81.
7. Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, dkk. Buku ajar neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta :
Badan penerbit IDAI ; 2008 .h. 147-68.
8. Suchy FJ at all. Approach to the infant with cholestasis.Liver disease in
children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001:187–94.
9. Tadataka Yamada, David H Alpers; et al Liver: Anatomy, microscopic structure, and
cell type. Textbook of Gastroenterology. Chichester, West Sussex; Hoboken, NJ:
Blackwell Pub., 2009; 79(2):2059-72
10. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current diagnosis and
treatment: pediatrics. Colorado: Lange; 2010.
11. Behrman RE, Kliegman RM. Nelson esensi pediatri. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2010.
h. 244-7.

27

Anda mungkin juga menyukai