Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Terapi Oksigen

Penyusun :
Eifraimdio Paisthalozie
11.2014.166
Dokter Pembimbing:
dr.Hari Krisdiyanto, SpAn

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi dan Reanimasi


Rumah Sakit Mardi Rahayu
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Periode 30 Mei 18 Juni 2016

BAB I
PENDAHULUAN
Pemberian oksigen terapeutik, selayaknya tetap dianggap sebagai salah satu metode
pengobatan yang bertujuan untuk mengkoreksi keadaan hipoksia pada individu. Oleh karena
pandangan oksigen sebagai suatu jenis obat, maka tentu memiliki efek samping dan risiko
toksisitas yang perlu diperhatikan, disertai dengan dosis dan rute yang berbeda untuk tiap-tiap
individunya. Keadaan hipoksia seringkali merupakan manifestasi klinis dari penyakit yang
mendasarinya, dan sekali lagi ditekankan bahwa pemberian oksigen layaknya dipandang
sebagai terapi yang bersifat simtomatik. Beberapa macam usaha sebaiknya dilakukan
sebelum memberikan terapi oksigen yang efektif, sebagai contoh keadaan obstruksi jalan
napas akan lebih buruk berespon terhadap peningkatan tekanan oksigen yang dihirup, oleh
karena itu perlu dilakukan usaha untuk mengatasi sumbatan sebelum memberi terapi oksigen.
Hipoksia yang terjadi akibat penyakit-penyakit paru pada umumnya dapat diredakan
setidaknya secara parsial oleh pemberian oksigen, sehingga dapat memberikan waktu untuk
terapi definitif agar dapat mengatasi proses primernya.
Terapi oksigen memiliki banyak efek terapeutik, selain daripada mengkoreksi keadaan
hipoksia, pemberian terapi oksigen juga dapat memberikan efek pada gas-gas inert yang ada
di dalam tubuh, salah satunya ialah nitrogen. Pemberian oksigen dalam konsentrasi tinggi,
dapat secara cepat menurunkan tekanan parsial total nitrogen dalam tubuh, dan memberikan
gradien yang substansial untuk pembuangan nitrogen dari dalam ruangan-ruangan udara ini.
Terapi oksigen dapat diberikan dalam metode yang berbeda dengan bantuan device atau alat
yang bervariasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan. Metode pemberian oksigen
ini selanjutnya akan berpengaruh besar untuk memenuhi demand atau kebutuhan oksigen
individu.
Selain efek terapeutiknya, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa oksigen
memiliki toksisitas tersendiri, yang akan semakin meningkat risikonya apabila diberikan
dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Toksisitas ini akan berkorelasi kuat dengan durasi
pemberian dan dosis yang diberikan. Salah satu organ yang paling rentan terhadap risiko
toksisitas ini, tentunya ialah organ paru; sebagai organ yang paling banyak menerima pajanan
terhadap oksigen, walau tidak menutup kemungkinan adanya cidera pada organ lain. Dengan
demikian, oksigen yang diberikan secara rasional dan penuh pertimbangan selayaknya dapat
memberikan efek terapeutik yang tepat guna bagi individu yang membutuhkannya.

BAB II
PEMBAHASAN
Oksigen ialah terapi rumah sakit yang paling umum diberikan. Di tahun-tahun
belakangan ini, oksigen aliran tinggi telah banyak digunakan sebagai terapi untuk kegawatan
medis dan kegawatan bedah dan sebagai bagian dari resusitasi awal. Saat ini sudah ada
pergerakan menuju tatalaksana yang lebih aman dengan terapi oksigen yang terkontrol.
Masalah-masalah yang umum ditemui pada pemberian terapi oksigen ialah kegagalan untuk
memberikan oksigen, kegagalan memeriksa analisis gas darah pada pasien yang
membutuhkan terapi oksigen, kegagalan mengamati atau mengkaji ulang pasien yang
mendapat terapi oksigen, pemberian gas lain yang tidak diperlukan di samping pemberian
oksigen, terputusnya hubungan dengan suplai oksigen, dan deplesi oksigen dalam tangki
oksigen selama pemindahan.1
Tujuan daripada terapi oksigen ialah untuk mengoptimalkan pemberian oksigen ke
jaringan dan meredakan hipoksemia dengan meningkatkan tekanan alveolar, dengan cara
mengurangi kerja pernapasan dan menurunkan kerja miokardium. Oksigen sebaiknya
diberikan dan dianggap sebagai obat dalam kondisi apapun sehingga dosisnya bervariasi
untuk tiap-tiap individu. Pemberian pulse oximetry ialah untuk memandu apakah pasien
membutuhkan oksigen suplemental sekaligus menentukan sistem aliran yang dipilih dan
kebutuhan untuk titrasinya.1,2
Mengikuti penemuan dari Joseph Priestley mengenai oksigen molekuler dan
demonstrasi pertukaran gas respiratorik oleh Lavoisier berikutnya, penggunaan dari oksigen
inhalasi di dalam tatalaksana dari sekian banyak kelainan klinisi telah berkembang dengan
sangat cepat selama periode abad ke-18. Namun, kembali kepada kritik yang kian
berkembang seiring dengan studi demonstrasinya, di bawah kondisi udara ruangan, kapasitas
pengangkutan oksigen oleh arteri yang hampir maksimal, dan lebih jauh peningkatan dari
fraksi oksigen murni tidak menghasilkan adanya keuntungan secara fisiologis. Lebih jauh di
tahun 1899, Lorrain-Smith mengkonfirmasi kecurigaan dini terhadap toksisitas potensial
oksigen inhalasi dari Priestley, Lavoisier dan yang lainnya, yang menjelaskan adanya
gangguan yang bersifat patologik oleh karena pajanan oksigen yang berlebihan. Sebagai hasil
dari pengamatan ini, dimulai dari abad ke-20, penggunaan oksigen sebagai modalitas
terapeutik mulai dipertimbangkan.3

Selama lebih dari 80 tahun, dengan peningkatan sistem pemberian oksigen, ventilasi
mekanik, unit perawatan intensif yang modern, dan pemberian oksigen jangka panjang
rumahan, oksigen telah secara luas tersedia dan mulai lebih sering diberikan. Walau dari
sekian banyak pengalaman klinis yang luas, banyak ketidaktentuan justru membatasi
penggunaan oksigen ini. Seperti pada sebagian besar obat, terdapat indikasi dan
kontraindikasi untuk terapi oksigen. Banyak konferensi-konferensi yang membentuk
konsensus dan banyak studi yang menghasilkan guideline yang cukup baik terkait dengan
kriteria penggunaan yang tepat terapi oksigen. Sayangnya, pada praktik saat ini, terapi
oksigen sering diberikan tanpa evaluasi yang teliti mengenai kemungkinan efek samping
yang ada dan supervisi yang adekuat. Pada studi retrospektif dari 90 pasien yang dirawat di
rumah sakit, terapi oksigen diberikan secara tidak pantas pada 21 persen pasien; pengamatan
tidak adekuat pada 85 persen pasien; dan dokumentasi kriteria fisiologis terminasi terapi
cenderung kurang pada 88 persen.3
Oksigen dapat diberikan sendiri, atau dalam campuran udara sebagai suplemen parsial
untuk volume tidal pasien atau volume semenit ataupun untuk sumber volume inspirasi.
Pertimbangan yang perlu dilakukan untuk memilih terapi mencakup kepatuhan pasien,
keberadaan dan tipe jalan napas artifisial, dan kebutuhan untuk humidifikasi sistem
pemberian aerosol.4

Oksigenasi Jaringan
Oksigen membentuk 21% udara, dengan tekanan parsial 21 kPa (158 mmHg) pada
tingkat ketinggian laut. Tekanan parsial memberikan difusi oksigen; lebih jauh ketika terdapat
peninggian ketinggian, maka akan mengurangi uptake dan pengiriman oksigen ke jaringan.
Seiring dengan udara yang dikirimkan ke jalan napas distal dan alveoli, tekanan oksigen akan
menurun melalui dilusi dengan karbon dioksida, penguapan air dan oleh uptake darah. Di
bawah kondisi yang ideal, ketika ventilasi dan perfusi cocok, pO 2 alveolar akan setara dengan
14,6 kPa (110 mmHg). Tekanan parsial alveolar yang berkorespondensi dengan air dan
karbondioksida ialah sekitar 6,2 kPa (47 mmHg) dan 5,3 kPa (40 mmHg). Di bawah kondisi
yang normal, terdapat ekuilibrasi komplit udara alevolar dan darah kapiler. Pada beberapa
penyakit, barrier difusi untuk transpor udara mungkin meningkat, selama olahraga, ketika
volume sekuncupnya tinggi maka akan mengurangi waktu transit kapiler, ekuilibrasi penuh
mungkin tidak terjadi, dan gradien pO2 kapiler akhir alveolar mungkin meningkat.5

Oksigen yang dikirim ke kapiler jaringan oleh sirkulasi akan mengikuti gradien keluar
darah dan ke dalam sel. Ekstraksi jaringan oleh oksigen akan secara khas mengurangi pO 2
darah vena, sekitar 7,3 kPa (55 mHg).5
Di dalam darah, oksigen dibawa secara utama oleh hemoglobin dan ada sedikit
perluasan kecil akan terlarut di dalam cairan. Kuantitas oksigen yang terkombinasi
hemoglobin tergantung pada tekanan oksigen. Hemoglobin sekitar 98% tersaturasi dengan
oksigen ketika udara dihirup di bawah keadaan normal, dan akan berikatan dengan 1,3 mL
oksigen per gram ketika tersaturasi penuh. Peningkatan lebih jauh konten oksigen darah dapat
terjadi hanya dengan meningkatkan jumlah oksigen yang terlarut plasma. Oleh karena
solubilitas oksigen yang rendah, bernapas 100% oksigen dapat meningkatkan jumlah oksigen
yang terlarut di dalam darah hanya 15 mL/L, yang mana kurang dari sepertiga kebutuhan
metabolisme normal. Namun, bila tekanan oksigen inspirasi ditingkatkan dari 3 atm (304
kPa) pada ruangan hiperbarik, jumlah oksigen yang terlarut akan cukup untuk mencukup
kebutuhan metabolik normal bahkan bila dengan ketiadaan hemoglobin.5
Basis fisiologis dari terapi oksigen telah didokumentasikan dengan baik selama lebih
dari 40 tahun. Tatalaksana dan pencegahan hipoksemia arterial ialah indikasi sebagian besar
dari terapi oksigen, tujuan utamanya ialah penggunaannya untuk koreksi dan mencegah
hipoksia jaringan. Pada tahun 1965, Chance mendokumentasikan pertama kali bahwa tekanan
parsial oksigen (PO2) di dalam mitokondria yang berkisar antara 18 mmHg atau lebih,
dibutuhkan untuk melepaskan ikatan fosfat berenergi tinggi (sebagai adenosin trifosfat) yang
bersifat esensial untuk semua fungsi biokimia sel besar. Rata-rata dewasa mengkonsumsi
sekitar 225 hingga 250 ml oksigen per menit, taraf konsumsi ini dapat meningkat sampai
sebanyak 10 kali lipat selama beraktivitas. Pemahaman yang lengkap mengenai konsep
pemberian oksigen ini dan utilisasinya dibutuhkan untuk pengkajian secara hati-hati pasien
hipoksik dan implementasinya untuk terapi yang pantas.3-5

Inhalasi Oksigen
Inhalasi oksigen digunakan utamanya untuk membalikkan atau mencegah
perkembangan hipoksia. Namun, ketika oksigen dihirup pada jumlah yang berlebih atau pada
periode yang berkepanjangan, perubahan fisiologikal sekunder dapat berubah dan efek toksik
dapat terjadi.3
Sistem respiratorik. Inhalasi oksigen pada 1 atm atau di atasnya dapat menyebabkan
depresi ringan pernapasan pada pasien normal, dimungkinkan oleh karena hilangnya tonus
aktivitas kemoreseptor. Namun, ventilasi secara khas dapat meningkat dalam kurun waktu

beberapa menit setelah inhalasi oksigen oleh karena peningkatan paradoksikal karbon
dioksida di dalam jaringan, hasilnya ialah peningkatan oksihemoglobin di dalam darah vena,
yang dapat menyebabkan proses pembuangan karbondioksida yang berkurang efektifitasnya
dari jaringan.3
Pada sebagian kecil pasien, yang pusat pernapasannya terdepresi oleh retensi jangka
panjang karbon dioksida, cidera atau obat-obatan, maka ventilasi dijaga oleh stimulasi karotis
dan kemoreseptor aortik, yang secara khas disebut sebagai hypoxic drive. Pemberian oksigen
dalam jumlah banyak dapat mendepresi dorongan ini, yang menyebabkan asidosis
respiratorik. Pada kasus-kasus ini, oksigen suplemental sebaiknya dititrasi dengan teliti,
untuk memastikan saturasi arterial yang adekuat. Bila terjadi hipoventilasi, bantuan ventilator
mekanik dengan atau intubasi trakeal sebaiknya diberikan. Ekspansi alveoli yang terventilasi,
secara buruk dijaga oleh konten nitrogen dari udara alveolar. Nitrogen larut secara buruk dan
sehingga akan tersisa pada ruangan udara sedangkan oksigen akan diserap. Konsentrasi
oksigen yang diberikan pada regio paru yang terventilasi buruk, akan mendilusikan konten
nitrogen dan dapat menyebabkan atelektasis absorpsi, sehingga akan menghasilkan
peningkatan pirau dan perburukan paradoksikal setelah periode pemberian oksigen.3
Sistem kardiovaskuler. Di samping membalikkan efek hipoksia, konsekuensi
fisiologis inhalasi oksigen pada sistem kardiovaskuler memiliki signifikansi kecil. Frekuensi
jantung dan volume sekuncup akan sedikit berkurang, tekanan darah akan berubah sedikit.
Sedangkan, tekanan arterial pulmonal akan berubah sedikit pada subjek normal dengan
inhalasi oksigen, peningkatan tekanan arteri pulmonal pada pasien yang tinggal di ketinggian
tinggi yang memiliki hipertensi pulmoner hipoksik kronik dapat dibalikkan dengan terapi
oksigen atau ketika kembali ke permukaan laut. Pada neonatus dengan penyakit jantung
kongenital atau pirau kiri ke kanan, suplementasi oksigen harus diregulasi dengan teliti oleh
karena risiko mengurangi resistensi vaskuler pulmonal dan meningkatkan aliran darah
pulmoner.3-5

Pemberian Oksigen dan Utilisasi


Transpor oksigen dari udara atmosferik ke mitokondria jaringan membutuhkan fungsi
yang terintegrasi dari fungsi pulmoner, kardiovaskuler, dan sistem hematologik. Hipoksia
jaringan akan terjadi manakala pemberian oksigen tidak adekuat dan tidak mencukupi
kebutuhan metabolik. Pemberian oksigen ke jaringan perifer ditentukan oleh 2 faktor besar
(1) konten oksigen darah arterial dan (2) aliran darah (misalnya volume sekuncup).
Pengiriman oksigen dikalkulasi sebagai produk volume sekuncup dan konten oksigen arterial.

Pengiriman oksigen dihitung sebagai produk dari cardiac output dan arterial oxygen content.
Total oxygen delivery dikalkulasi sebagai:

Konten oksigen darah arterial ditentukan oleh konsentrasi hemoglobin, derajat


saturasinya dengan oksigen molekuler, dan jumlah fraksional oksigen yang secara fisik larut
dalam cairan. Jumlah dari oksigen yang terikat dan yang terlarut berkaitan secara langsung
dengan tekanan oksigen di dalam darah arterial (PaO2), sedangkan persentasi hemoglobin
yang jenuh dengan oksigen ialah fungsi dari PaO 2, yang dijelaskan pada kurva disosiasi
oksihemoglobin. Sebaliknya, jumlah oksigen yang terlarut dalam cairan ialah fungsi dari
koefisien solubilitas oksigen dan PaO2. Lebih jauh, total arterial oxygen content dikalkulasi
sebagai:

Mekanisme Hipoksia
Metabolisme aerobik membutuhkan keseimbangan antara pengiriman oksigen (DO 2)
dan utilisasi oksigen (VO2). Hubungan bifasik antara DO2 dan VO2 dijelaskan pada gambar.
Selama metabolisme aerobik normal, transpor oksigen dan utilisasi oksigen ialah variabel
independen, sedangkan jumlah oksigen yang dikirimkan ke jaringan per satuan waktu
didefinisikan sebagai batas atas ketersediaan oksigen untuk kebutuhan metabolik total tubuh,
pengiriman oksigen di bawah kondisi normal selalu melebihi utilisasi oksigen perifer. Pada
daerah grafik supply-independent, konsumsi oksigen diukur dengan tingkat produksi
adenosin-5-trifosfat (ATP) dan mewakili pengukuran dari kebutuhan energi jaringan. Bila
pengiriman oksigen jatuh dalam ambang batas kritis (DO 2 kritis), atau bila utilisasi melebihi
pengiriman (misal selama olahraga yang berlebihan), jaringan harus berganti dari
metabolisme aerobik ke metabolisme anaerobik. Ketika terjadi imbalans, produksi asam

laktat yang berlebihan terjadi, sehingga akan menyebabkan asidosis, metabolisme sel yang
terganggu, dan secara potensial dapat menyebabkan kematian sel. Sebab-sebab utama dari
hipoksia jaringan yang secara mekanik dibagi menjadi 3 kategori besar (1) hipoksemia
arterial, (2) pengiriman oksigen yang berkurang, dan (3) utilisasi jaringan yang disfungsional
dan berlebihan. Pengaturan dari oksigenasi jaringan tergantung integrasi yang wajar dari 3
komponen terpisah (1) sistem kardiovaskuler, yang menentukan volume sekuncup dan
distribusi aliran darah; (2) darah, yang menentukan konsentrasi hemoglobin, dan (3) sistem
respiratorik, yang menentukan PaO2. Walaupun sebab hipoksemia secara utama
mencerminkan kegagalan loading oksigen dalam darah (PaO2 yang rendah) oleh karena
fungsi abnormal dari sistem respiratorik, defek pada transpor oksigen juga akhirnya dapat
menyebabkan disfungsi sistem kardiovaskuler atau hematologik. Pada akhirnya, penggunaan
yang salah dari oksigen yang telah dikirimkan, akan menyebabkan defek pada metabolisme
seluler, atau demand yang semakin bertambah.

Gambar 1. Korelasi antara konsumsi oksigen dan transpor oksigen3

Mengenali dan Mengkaji Hipoksia Jaringan


Penggunaan yang benar terapi oksigen membutuhkan pengenalan klinis hipoksia
jaringan, evaluasi yang teliti dari dasar patofisiologis hipoksia, pemahaman faktor-faktor
yang dapat memprediksi pasien hipoksik yang mungkin mendapat perbaikan setelah terapi,
dan pengkajian berkelanjutan dosis yang optimal. Keuntungannya harus seimbang dengan
potensi toksisitasnya. Dalam sebagian besar kasus, hipoksia jaringan tidak secara langsung
diukur, dan deteksi biasanya dicapai melalui kombinasi parameter klinis dan laboratorium.
Pada kasus hipoksemia arterial, awareness terhadap hipoksia jaringan sebaiknya mulai
dicurigai pada pengukuran saturasi oksigen yang abnormal.3

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari hipoksia, sangat bervariasi dan tidak spesifik, dan tergantung
dari durasi hipoksia (akut atau kronik) dan kebugaran individual. Tanda dan gejalanya
berkaitan dengan hipoksia akut, mencakup perubahan status mental, sesak napas, takipnea,
dan distres pernapasan, serta aritmia kardiak. Gangguan status mental dapat berupa impaired
judgement, hingga pada confusion atau koma. Sianosis, seringkali dipertimbangkan menjadi
hallmark hipoksia, terjadi hanya ketika konsentrasi hemoglobin yang tereduksi sekitar 1,5
g/dL atau lebih. Namun, tetap bukan merupakan tanda yang reliabel, karena dapat pula tidak
ada pada anemia, dan selama periode perfusi perifer yang buruk.3
Pengkajian Objektif dan Laboratorium
Oleh karena variabilitas gejala dan tidak spesifiknya tanda dan gejala hipoksia,
pengkajian lab oksigenasi jaringan sebaiknya dilakukan. Kuantifikasi dari derajat oksigenasi
jaringan seseorang cukup sulit.
Pada sebagian besar situasi klinis, pengukuran langsung PaO2, saturasi hemoglobin
arterial, dan kadar laktat serum ialah marker yang cukup baik untuk hipoksia jaringan. PaO 2
ditentukan secara invasif dengan sampel darah yang diambil dari pungsi arterial atau dari
kateter arterial yang sudah ada, sedangkan pengukuran yang noninvasif, dilakukan dengan
mengukur persentase saturasi hemoglobin darah yang secara rutin dinilai dari infrared pulse
oximetry. Keduanya berguna untuk menyingkirkan hipoksemia arterial. Pengiriman oksigen
ke jaringan yang inadekuat dapat dilihat pada penurunan moderat PaO 2, dan biasanya dapat
dilihat pada pasien yang secara akut sakit dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg atau yang mana
kadar laktar darahnya meningkat.3

Indikasi Terapi Oksigen


Harus dicamkan bahwa oksigen ialah sama halnya dengan obat yang memiliki rentang
terapeutik, berdasarkan dosis dan durasi pemberian. Sebagai tambahan, perlu dipikirkan
biaya yang akan dikeluarkan untuk terapi oksigen baik berupa terapi jangka pendek atau
terapi jangka panjang. Oksigen sebaiknya diberikan pada kadar yang tepat, dan pasien
diamati baik untuk efikasi maupun toksisitas dari tatalaksana.3

Terapi Oksigen Jangka Pendek


Rekomendasi dari oksigen suplemental didasarkan pada guideline yang dikeluarkan
oleh the American College of Chest Physician, the National Heart, Lung and Blood Institute
dan organisasi lain. Beberapa hal yang memerlukan pemberian terapi oksigen jangka pendek,
ialah antara lain:

Gambar 2. Indikasi terapi oksigen akut3


Hipoksia Jaringan yang berkaitan dengan Hipoksemia Arterial
Pada settingan akut, sebagian besar kondisi yang mengharuskan pemberian oksigen
suplemental, tidak bergantung pada etiologi ialah hipoksemia arterial. Untuk dewasa muda,
dan normal, tingkat hipoksemia dimana terapi oksigen diberikan ialah pada yang memiliki
PaO2 kurang dari 60 mmHg. Ventilation-perfusion mismatch ialah sebab yang paling umum
dari hipoksemia arterial. Hipoksemia yang sekunder akibat pirau kanan ke kiri seringkali
jarang responsif terhadap pemberian oksigen suplemental, Campuran dari darah yang terpirau
dan yang tidak terpirau, menyebabkan penurunan drastis PaO 2. Hipoventilasi alveolar
seringkali mudah dikoreksi dengan oksigen suplemental. Namun walau begitu, pengenalan
dini dan koreksi sebab yang mendasari dengan restorasi yang cepat ventilasi ialah tujuan dari
tatalaksana.3
Hipoksia Jaringan dengan PaO2 Normal
Efikasi oksigen suplemental pada penyakit yang menyebabkan hipoksemia arterial
sebaiknya dikenali dengan baik. Walau begitu, pada kasus-kasus dimana hipoksia jaringan
dapat terjadi tanpa adanya hipoksemia arterial, terapi sebaiknya secara langsung ditekankan
untuk memperbaiki sebab yang mendasari. Pada kasus-kasus ini, PaO 2 kurang adekuat untuk
menentukan potensi manfaat terapi, dari terapi oksigen. Sehingga sebaiknya dicari indikator
lain. Namun, walau begitu seringkali terapi oksigen diberikan dengan tidak memperhatikan
PaO2.3
Infark Miokard Akut

Hipoksemia seringkali fatal pada kasus-kasus infark miokard akut. Pada pasien-pasien
seperti ini, pemberian oksigen ialah manfaat yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Volume Sekuncup Inadekuat
Oksigen telah direkomendasikan untuk tatalaksana temporer perfusi sistemik yang
inadekuat, oleh karena gagal jantung salah satunya. Walaupun praktek ini masih beralasan,
namun belum ada studi yang dapat membuktikan bahwa terapi oksigen bermanfaat pada
settingan ini. Terapi oksigen biasa diberikan bersamaan dengan agen inotropik dan alat-alat
yang membantu volume sekuncup sebagai terapi definitif.3
Syok Hipovolemik dan Trauma
Oksigen telah diberikan sebagai terapi tambahan pada settingan trauma akut. Keadaan
low-flow yang diinduksi oleh perdarahan akut, paling baik ditatalaksana dengan
meningkatkan suplai hemoglobin yang bersirkulasi. Namun, oksigen suplemental sebagai
terapi suportif nampaknya baru bisa digaransikan apabila sel darah merah sudah tersedia
untuk transfusi.3
Intoksikasi Karbon Monoksida
Pada keracunan karbon monoksida, PaO 2 ialah panduan yang buruk untuk kebutuhan
terapi oksigen. Walaupun PaO2 dapat normal atau supranormal, hipoksia jaringan yang
signifikan bukan tidak mungkin tidak terjadi, yang seringkali diindikasikan dengan keadaan
asidosis metabolik berat. Oleh karena tingginya kadar karboksihemoglobin, pemberian
oksigen suplemental tidak meningkatkan pengiriman oksigen ke jaringan. Pemberian oksigen
murni secara bermakna dapat memperpendek waktu paruh karbon monoksida yang
bersirkulasi. Lebih jauh, pemberian oksigen untuk keracunan karbon monoksida saat ini
menjadi terapi yang diterima. Pemberian terapi oksigen hiperbarik, mewakili standar yang
saat ini diterapkan untuk pasien-pasien dengan kadar karboksihemoglobin yang tinggi dan
pasien yang memiliki bukti kerusakan iskemia-reperfusi end-organ.3

Terapi Oksigen Jangka Panjang


Pada tahun-tahun belakangan ini, terapi oksigen jangka panjang pada pasien yang
sakit kronik semakin lama semakin meningkat. Di Amerika Serikat, selama lebih dari
800.000 pasien saat ini mendapatkan terapi oksigen jangka panjang, sebagian besar pasien
ialah pasien dengan hipoksemia arterial. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik,
mewakili kelompok pasien terbesar, dan sebagian besar data mewakili efikasi klinisi oksigen
suplemental yang berasal dari studi pasien-pasien ini.3

Terapi oksigen dini untuk pasien PPOK menunjukkan oksigen suplemental yang
diberikan selama 4 hingga 8 minggu, dapat menurunkan hematokrit, meningkatkan toleransi
olahraga, dan menurunkan tekanan vaskuler pulmoner. Terapi oksigen dengan aliran
berkelanjutan, diindikasikan pada pasien-pasien dengan hipoksemia yang diinduksi oleh
olahraga. Data saat ini menunjukkan bahwa oksigen suplemental dapat meningkatkan
ketahanan olahraga, seperti yang diukur pada berjalan treadmill atau ergometri sepeda.
Kelompok lain pasien, yang mendapatkan manfaat pemberian oksigen kronik ialah pasien
yang mengalami penurunan oksigen arterial selama tidur. Mencakup pasien-pasien dengan
pernapasan saat tidur yang terganggu (misalnya pada apnea obstruktif tidur dan sindroma
hipoventilasi obesitas) dan pasien dengan penyakit paru primer.3

Gambar 3. Indikasi terapi oksigen jangka panjang3

Teknik Pemberian Oksigen


Pada settingan akut atau kronik, sekali kebutuhan untuk oksigen suplemental sudah
ditetapkan, satu dari beberapa jenis alat dapat digunakan untuk memberikan suplai oksigen

pada pasien. Pilihan metode pengiriman oksigen didasarkan pada kriteria mencakup (1)
derajat hipoksemia, (2) kebutuhan pengiriman yang presisi (tepat), (3) kenyamanan pasien,
dan (4) biaya. Untuk keamanan, silinder oksigen dan pipanya diberi kode warna (hijau di
Amerika Serikat), dan beberapa bentuk katup mekanis digunakan untuk mencegah hubungan
dengan udara lain ke sistem oksigen. Oksigen dikirimkan untuk inhalasi kecuali pada saat
sirkulasi ekstrakorporeal, yang mana dilarutkan ke dalam darah yang bersirkulasi. Hanya
sistem pengiriman tertutup, dengan segel yang kedap udara ke jalan napas pasien dan
pemisahan penuh udara inspirasi dan ekspirasi dapat secara tepat mengkontrol F IO2. Pada
semua sistem lain, pemberian aktual FIO2, akan tergantung pada pola ventilasi dan
karakteristik sistem pengiriman.
Sistem Pemberian Oksigen pada Setting Akut

Gambar 4. Kategorisasi jenis pemberian oksigen3


Sejumlah besar sistem pemberian tersedia baik untuk terapi oksigen jangka pendek.
Sistem ini bervariasi dari segi kompleksitas, biaya yang dikeluarkan, efisiensi, dan ketepatan
pengiriman oksigen. Berlainan dari sirkuit pernapasan anestesi, secara virtual semua sistem
pengiriman oksigen pada dasarnya ialah non-rebreathing (full atau partial). Pada sirkuit nonrebreathing, gas inspiratorik tidak terbuat dari sebagian porsi volume yang diekspirasikan,
dan satu-satunya karbon dioksida yang diinhalasi ialah yang terkumpul di dalam ruangan
udara. Rebreathing dihindarkan melalui penggunaan katup satu jalur untuk memisahkan gas
yang diekspirasikan dengan gas yang diinspirasikan. Sebagai tambahan, pada semua sistem

ini, campuran udara yang diinspirasikan harus ada pada volume yang mencukupi dan pada
aliran yang dapat memberikan kompensasi untuk kebutuhan high-flow yang seringkali
terdapat pada pasien yang sakit kritis.
Variasi sistem pemberian oksigen dapat dibagi menjadi low-flow dan high-flow, di
setiap sistem ini dapat memberikan udara yang sudah dilembabkan, Setiap jenis memiliki
keuntungan dan kerugian masing-masing.
Low-Flow Oxygen Devices
Pada sistem pemberian oksigen alir
rendah, yang mana alirannya lebih rendah
dari kecepatan aliran inspiratorik, memiliki
kemampuan terbatas untuk meningkatkan
FIO2, oleh karena tergantung pada udara
ruangan

yang

dihirup

untuk

udara

yang

menyeimbangkan

diinspirasikan. FIO2 dari sistem ini sangat


sensitif terhadap perubahan kecil pola
ventilatorik. Alat-alat seperti face tents,
digunakan utamanya untuk memberikan
udara yang dilembabkan kepada pasien
dan

tidak

dapat

diandalkan

untuk

memberikan jumlah oksigen suplemental


yang dapat diperkirakan. Kanula nasal
ialah sebuah prong kecil dan fleksibel yang
dapat

dimasukkan

ke

dalam

lubang

hidung, dapat memberikan oksigen dalam


kecepatan

1-6

L.menit.

bertindak

sebagai

Nasofaring

reservoar

untuk

menyimpang oksigen, dan pasien dapat


bernapas baik melalui mulut ataupun
Gambar 5. Alat-alat pemberi oksigen3
hidung selama jalan napas nasal paten. Alat-alat ini memberikan 24-28% FIO2 pada kecepatan
2-3 L/menit. Dapat diberikan fraksi oksigen inspirasi 40% yang mungkin pada kecepatan alir
lebih tinggi, walaupun kurang dapat ditoleransi oleh karena pengeringan mukosa. Masker
sederhana, sebuah masker bening sederhana, dengan lubang di sisi untuk klirens udara
ekspiratorik dan udara inspiratorik. Maksimum fraksi oksigen inspirasi oleh masker wajah,

dapat ditingkatkan sekitar 60% pada kecepatan 6-15 L/menit sampai di bawah 85% dengan
memberikan 600-1000mL kantung cadang. Dengan masker partial rebreathing, sebagian
besar volume yang diinspirasikan diambil dari reservoar, menghindari dilusi oleh udara ruang
yang dihirup.4
Oksigen (biasanya 100%) disuplai pada aliran yang tetap yang hanya merupakan
seporsi udara yang diinspirasikan. Peralatan seperti ini, biasanya dibutuhkan untuk pasien
dengan pola pernapasan yang stabil. Seiring dengan kebutuhan ventilatorik yang berubah,
jumlah udara ruangan akan berdilusi dengan aliran oksigen. Sistem alir rendah cukup adekuat
untuk pasien dengan (1) ventilasi semenit kurang dari 8-10 L/menit, (2) frekuensi pernapasan
kurang dari 20 kali/menit, volume tidal kurang dari 0,8 L, dan aliran inspiratorik normal
(sekitar 10-30 L/menit).4
Sistem pemberian oksigen low-flow/aliran rendah memberikan fraksi kebutuhan
ventilatorik semenit pasien akan oksigen murni; sisa kebutuhan ventilatorik dipenuhi dengan
tambahan udara lain, yang biasanya didapatkan dari udara ruangan. Alirannya disuplai
melalui devices yang beralir rendah (kurang dari 6 L/menit), dan tidak dapat digunakan untuk
memberikan konsentrasi oksigen inspirasi yang konstan, oleh karena fluktuasi kecil pada
volume tidal dapat menyebabkan variasi pada jumlah udara ruangan yang dapat ditarik.
Akibatnya, pada pasien dengan pola ventilasi yang abnormal atau bervariasi, akan terdapat
perbedaan fraksi oksigen yang dihirup. Faktor yang terkait pasien yang dapat mempengaruhi
konsentrasi oksigen yang diinspirasikan ialah (1) pernapasan yang dangkal, yang
menyebabkan udara ruangan yang ditarik berkurang, dan karena itu konsentrasi oksigen yang
diinspirasikan lebih tinggi, (2) pernapasan hiperpneik dan dalam, yang menyebabkan udara
yang ditarik dari ruangan lebih banyak, dan (3) perubahan pada frekuensi pernapasan, yang
mempengaruhi waktu ekshalasi, sehingga menyebabkan pengisian reservoar inspiratorik alat
yang bervariasi. Ketika membutuhkan FIO2 yang konstan (misal pada pasien dengan retensi
karbondioksida yang kronik), maka sistem alir rendah sebaiknya tidak digunakan.3,5
Kanula Nasal
Kateter nasal dan kanula ialah alat yang paling banyak digunakan untuk memberikan
oksigen aliran rendah. Sederhana, tidak mahal, mudah digunakan, dan cukup baik ditoleransi.
Seperti pada semua sistem alir rendah, FIO2 dapat bervariasi, tergantung pada aliran oksigen,
aliran inspiratorik, dan ventilasi semenit. Dengan kanula nasal aliran rendah untuk
memberikan oksigen ke nasofaring pada aliran di antara 1 dan 6 L/menit, F IO2 yang diberikan
mulai dari 0,24 dan 0,44. Aliran di atas 6 L/menit tidak akan secara signifikan meningkatkan
FIO2 di atas 44 persen; aliran yang lebih tinggi akan menyebabkan pengeringan membran

mukosa. Pasien yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang sebaiknya menggunakan
kanula nasal. Oleh karena aliran udara mengalir secara berkelanjutan, maka sekitar 80%
udara terbuang selama ekspirasi.3
FIO2 yang diberikan kepada dewasa dengan kanula nasal ditentukan aliran oksigen,
volume nasofaringeal, dan aliran inspiratorik pasien (yang tergantung pada baik V T dan
waktu inspiratorik). Oksigen dari kanula, dapat mengisi nasofaring setelah ekshalasi, juga
dengan inspirasi, oksigen dan udara yang dihirup kemudian ditarik ke dalam trakea. Aliran
lebih dari 5 L/menit biasanya kurang ditoleransi oleh karena ketidaknyamanan akibat jettinggas ke dalam kavitas nasal.3
Masker Oksigen
Masker oksigen plastik sederhana, yang menyelimuti hidung dan mulut dapat
digunakan untuk memberikan konsentrasi oksigen di atas 50 hingga 60 persen. Tergantung
pada ukuran masker, alat-alat ini dapat memberikan kantung cadang udara hingga 100-200 ml
udara tambahan, sehingga dapat memfasilitasi peningkatan fraksi oksigen inspirasi hingga di
atas 0,44. Masker wajah sederhana, membutuhkan aliran oksigen yang diberikan hingga 5-6
L/menit untuk menghindari akumulasi karbondioksida di dalam masker.3,5
Masker oksigen konvensional mungkin memiliki keterbatasan dari semua masker
wajah. Misalnya, dapat mengganggu minum, makan, dan batuk-batuk dan tidak dapat
dipindahkan, khususnya pada malam hari misal pada saat tidur. Sebagai tambahan,
penggunaan masker wajah meningkatkan risiko aspirasi oleh karena muntahan dan material
regurgitasi tidak dapat dikeluarkan. Karena itu, ketika menggunakan alat-alat ini, rasio risiko
dan keuntungan sebaiknya dipertimbangkan. Seperti pada kanula nasal, membran mukosa
respiratorik yang mengering akibat campuran udara yang diinspirasikan mungkin terjadi.
Melembabkan udara yang diinspirasikan akan mengurangi masalah ini.
Masker dengan Kantung Cadang
Untuk memberikan FIO2 yang lebih dari 0,6 untuk pasien yang tidak memiliki jalan
napas artifisial, kantung cadang (600-1000cc) dapat dilekatkan dengan masker wajah
sederhana. Sumber oksigen berkelanjutan pada aliran 5 hingga 8 L/menit dibutuhkan untuk
memastikan distensi adekuat kantung dan untuk membuang keluar karbondioksida dari
masker. Bila tidak terdapat katup satu arah pada kantung cadang, aparatus ini dapat disebut
sebagai masker partial non-rebreathing. Masker partial non-rebreathing dapat memberikan
oksigen dengan konsentrasi 80 hingga 85 persen. Masker non-rebreathing sejati
menggunakan katup satu arah di antara masker dan kantung cadang sehingga dapat
menghirup dari kantung cadang dan diekshalasi melalui katup terpisah di bagian lain masker.

FIO2 yang sangat tinggi dapat dicapai ketika masker ini dipakai dengan ketat dan baik. Walau
begitu, masker yang terpakai dengan erat, mencakup pada mereka yang harus menggunakan
continuous positive airway pressure (CPAP) sering tidak nyaman dan tidak cocok untuk
penggunaan berjam-jam.3
High-Flow Oxygen Delivery Devices
Alat pemberian oksigen dengan aliran tinggi yang sering digunakan ialah masker
Venturi, yang menggunakan masker yang didesain khusus untuk memberikan rasio tetap dan
cenderung relatif konstan dari FIO2 pada kecepatan yang tinggi.3
Sistem pemberian oksigen high-flow menjaga FIO2 dengan menggabungkan kantung
cadang yang memiliki volume melebihi ruang mati anatomis pasien, atau dengan
memberikan oksigen pada aliran yang sangat tinggi. Pada istilah kuantitatif, aliran dari semua
sistem aliran tinggi,4 kali lipat lebih daripada volume semenit aktual pasien, di samping itu
hirupan udara dari udara ruangan pada puncak inspirasi juga meningkat.
Indikasi klinis paling umum dari penggunaan sistem pemberian oksigen aliran tinggi
ialah (1) tatalaksana pasien hipoksik yang tergantung pada dorongan hipoksiknya untuk
bernapas namun membutuhkan FIO2 yang terkontrol, dan (2) pasien yang muda dan bugar
dengan hipoksemia dimana memiliki pola ventilatorik yang abnormal dan kebutuhan
ventilatoriknya mungkin melebihi kapasitas yang bisa diberikan sistem alir rendah. Ketika
indikasi klinis tersebut ada untuk penggunaan aliran tinggi yang terkontrol, fraksi oksigen
yang tinggi atau dibutuhkan aliran tinggi, maka sistem aliran tinggi ini dapat diberikan.3,5
Udara yang diinspirasikan pada FIO2

yang sudah disesuaikan disuplai secara

berkelanjutan pada aliran yang tinggi atau dengan memberikan cadangan udara yang cukup
besar. Idealnya, FIO2 yang diberikan tidak dipengaruhi oleh variasi pada kadar ventilatorik
atau pola pernapasan. Pasien yang dispneik dan hipoksemik, mungkin membutuhkan aliran
100% oksigen dengan aliran 100 L/menit. Sistem aliran tinggi diindikasikan untuk pasien
yang membutuhkan (1) FIO2 yang konsisten, (2) aliran udara inspiratorik yang besar (> 40
L/menit).
Jet-Mixing Venturi Masks
Alat pemberian oksigen aliran tinggi lain ialah masker Venturi, yang beroperasi di
bawah modifikasi Venturi menurut prinsip Bernoulli mengenai fisika cairan untuk udaraudara jet-mixing. Seiring dengan aliran udara inspirasi meningkat, tekanan lateral sekitar dan
perpendikuler kepada aliran vektor menurun, menyebakan hirupan udara. Pada masker
Venturi, sebuah jet oksigen 100 persen, mengalir melalui orifisium yang terkonstriksi,
melewati sisi port yang terbuka, sehingga menyebabkan hirupan udara ruangan. Aliran udara

jetting akan bergerak melewati, dan kemudian keluar dari orifisum sentral masker, yang
kemudian kecepatannya akan meningkat, dan tekanan resultannya akan jatuh di sisi jet yang
menarik udara ruangan ke dalam kasker melalui sisi port. Jumlah udara yang dihirup, dan
karena itu FIO2 resultannya, tergantung dari ukuran sisi port, dan aliran oksigen. Oleh karena
kedua parameter ini sifatnya tetap, campuran ratio udara ruangan-oksigen resultan tetap
dipertahankan, maka akan emnghasilkan FIO2 yang konstan, dan terkontrol baik. Ekshalasi
terjadi melalui katup port ekshalasi. Rentang F IO2 yang didapat melalui pengaturan jumlah
udara ruangan yang terhirup dan aliran oksigen cukup luas. Masker saat ini digunakan untuk
memberikan udara inspirasi dengan fraksi oksigen di antara 0,24 dan 0,50.3
Oleh karena masker Venturi dapat secara baik memberikan F IO2 mencapai 0,50 maka
ini adalah alat yang ideal untuk digunakan dalam tatalaksana pada pasien dengan COPD dan
gagal napas kronik yang dicirikan dengan dorongan respiratorik hiperkarbik yang tumpul.
Walaupun FIO2 biasanya dapat diregulasikan secara tepat, faktor-faktor teknis dapat
mengganggu nilai ini. Sebagai contoh, tetesan air dapat menyumbat alat injektor oksigen,
menyebabkan perubahan aliran udara. Sebagai tambahan, perkembangan tekanan balik oleh
port ekshalasi yang teroklusi dapat menyebabkan penurunan volume yang udara ruangan
dihirup dan peningkatan fraksi oksigen sebagai resultannya.3
Sistem Aliran Tinggi Lainnya
Nebulizer reservoar, dan pelembabnya dapat digunakan untuk memberikan oksigen
suplemental atau udara yang dilembabkan secara baik (mencakup udara ruangan).
Penyediaan humidifikasi tinggi seringkali penting sebagai manajemen adjuvan untuk
peningkatan sekresi jalan napas. Biasanya, sistem pengiriman oksigen ini dikombinasikan
dengan pipa endotrakeal atau tracheostomy collars, dan karena itu penggunaannya terbatas
pada pasien dengan jalan napas artifisial. Namun walau begitu, sistem pengiriman seperti ini,
juga telah digunakan sebagai kombinasi dengan masker aerosol, dan masker CPAP. Bila
aliran tinggi (yang melebihi 40 L/menit) diberikan, maka dapat digunakan untuk memberikan
fraksi oksigen yang konstan dan dapat diprediksi.3
Blender oksigen-udara terdiri atas alat metering yang tepat yang mengkonversikan
sumber dinding tekanan tinggi udara dan oksigen yang terkompresi (pada 50 hingga 70 psi),
menjadi aliran yang dapat diprediksi dan dapat digunakan, hingga 100 L/menit dengan fraksi
oksigen inspirasi mulai dari 0,21 hingga 1,0. Alat-alat ini juga membutuhkan katup reduksi
tekanan, dan sebuah inlet monitor tekanan untuk memastikan konsistensi fraksi oksigen
inspirasi melawan fluktuasi minor tekanan dinding. Walaupun dapat memberikan F IO2 yang

dapat diprediksi, alat-alat ini memiliki kerugian. Alat ini mengeluarkan bising, dan
membutuhkan personel yang terspesialisasi untuk mengatur dan memonitor instrumentasi.
Sistem Pengiriman Oksigen Jangka Panjang
Sejumlah mode pemberian oksigen dan alat-alat pemberi oksigen tersedia untuk
pemakaian di rumah dan settingan pelayanan kronik lainnya. Suplai udara untuk terapi
oksigen jangka panjang mencakup konsentrator oksigen dan udara terkompresi atau sumber
oksigen cair. Sebagian besar pasien membutuhkan sumber stasioner oksigen suplemental
yang menggunakan konsentrator oksigen. Kerugian terbesar oksigen cair ialah harganya yang
cukup mahal dan membutuhkan venting untuk memulihkan tekanan.
Alat-alat yang digunakan untuk terapi oksigen jangka panjang mencakup sebagian
besar alat-alat alir rendah yang dideskripsikan sebelumnya. Sebagian besar pasien yang
mendapat terapi oksigen kronik menggunakan kanula nasal dan oksigen dengan aliran 2
hingga 4 L/menit.3,5
Untuk meningkatkan efisiensi pemberian oksigen dan untuk membatasi baik
pengiriman rumah berulang dan biaya, maka sebagian besar alat sudah didesain untuk tetap
ada di rumah. Mencakup kanula nasal dengan reservoar, dan kateter transtrakeal.
Kanula nasal reservoar memiliki kantung yang dapat menyimpan 20 ml oksigen
ekstra selama ekspirasi dan memberikan oksigen sebagai bolus pada inspirasi selanjutnya.
Kateter transtrakeal meningkatkan pemberian oksigen dengan membuat bypass dari
ruang mati anatomis jalan napas atas, secara efektif menggunakan jalan napas atas sebagai
reservoar oksigen selama inspirasi dan ekspirasi. Oksigen transtrakeal diberikan secara
langsung melalui trakea melalui kateter hollow yang ditanam secara bedah dengan anestesia
lokal atau dimasukkan secara per kutan menggunakan teknik Seldinger.

Pengamatan Oksigenasi
Pengamatan dan titrasi dibutuhkan untuk mencukup tujuan terapeutik terapi oksigen
dan untuk menghindari komplikasi dan efek samping. Terapi oksigen sebaiknya diberikan
secara berkelanjutan dan tidak dihentikan secara tiba-tiba hingga pasien pulih, oleh karena
penghentian tiba-tiba dapat membersihkan simpanan kecil oksigen dalam tubuh yang
menyebabkan jatuhnya tekanan oksigen alveolar. Walaupun sianosis ialah temuan klinis yang
penting, namun pada kondisi awal, bersifat tidak sensitif dan tidak reliabel sebagai indeks
oksigenasi. Monitoring yang non-invasif dari saturasi oksigen arterial sekarang ini sudah
tersedia melalui pulse oximetry transkutan, dimana saturasi oksigen diukur dengan mengukur
diferensial absorpsi cahaya dari oksihemoglobin dan deoksihemoglobin dan saturasi arterial

ditentukan oleh komponen pulsatil dari sinyal ini. Oksimetri pulse mengukur saturasi
hemoglobin dan bukan tekanan oksigen, sehingga bersifat tidak sensitif untuk pengukuran
tekanan oksigen di atas batas yang dibutuhkan untuk menyaturasikan darah secara penuh.
Namun, alat ini cukup berguna untuk mengamati adekuat tidaknya oksigenasi selama
prosedur yang membutuhkan sedasi atau anestesi, evaluasi cepat dan pengamatan pasien yang
berpotensi buruk, dan mentitrasi terapi oksigen dimana toksisitas oksigen atau efek samping
kelebihan oksigen menjadi perhatian.3-5

Komplikasi Terapi Oksigen dan Toksisitas Oksigen


Pemberian oksigen suplemental bukan tanpa komplikasi. Di samping potensinya
untuk menyebabkan atelektasis absorpsi dan mendepresi ventilasi, aliran tinggi oksigen
kering dapat mengeringkan dan mengiritasi permukaan mukosal jalan napas dan mata, juga
dapat menurunkan transpor mukosilier, dan klirens sekresi. Oksigen yang dilembabkan
sebaiknya untuk penggunaan yang berkelanjutan (> 1 jam). Akhirnya, apapun yang diperkaya
dengan oksigen bersifat mudah terbakar,sehingga perlu dilakukan pengawasan yang tepat
pada ruang operasi dan untuk pasien dengan oksigen di rumah. Hipoksemia masih dapat
terjadi walaupun sudah diberikan suplementasi oksigen. Lebih jauh, ketika oksigen
suplemental diberikan, desaturasi dapat terjadi pada waktu kemudian setelah obstruksi jalan
napas atau hipoventilasi, secara potensial memperlambat deteksi keadaan kritis. Karena itu,
penting untuk selalu mengkaji saturasi oksigen dan adekuat tidaknya ventilasi berkala.1,3,5
Toksisitas oksigen mungkin terjadi akibat peningkatan produksi hidrogen peroksida
dan agen reaktif seperti anion superoksida, oksigen singlet, dan radikal hidroksil yang
menyerang dan meruskan lipid, protein, dan makromolekul lainnya, khususnya pada
membran biologis. Sejumlah faktor yang membatasi toksisitas agen reaktif turunan oksigen,
mencakup enzim seperti superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan katalase yang
dapat memakan produk sampingan oksigen dan mengurangi agen-agen seperti besi, glutation
dan askorbat. Faktor-faktor ini, namun tidak cukup untuk membatasi aksi destruktif oksigen
ketika pasien terpajan pada konsentrasi tinggi melebihi periode waktu yang ditentukan.
Jaringan akan menunjukkan sensitivitas yang berbeda terhadap toksisitas oksigen, yang
paling mungkin ialah hasil dari perbedaan baik produksi komponen reaktif dan mekanisme
protektifnya. Menurunkan konsentrasi oksigen yang diinspirasikan masih menjadi terapi
terhadap toksisitas oksigen.
Sistem pulmoner, yang secara berkelanjutan terpajan pada tekanan oksigen paling
tinggi dalam tubuh, biasanya paling pertama menunjukkan gejala toksisitas; perubahan yang

tidak terlalu signifikan pada fungsi paru dalam kurun waktu 8-12 jam setelah pajanan oksigen
100%. Peningkatan permeabilitas kapiler dan penurunan fungsi paru dapat terlihat dalam 18
jam setelah pajanan. Cidera yang serius dan kematian membutuhkan pajanan yang lebih lama
lagi. Kerusakan pulomner secara langsung berkaitan dengan tekanan oksigen yang dihirup
dan konsentrasi di atas 0,5 atm nampaknya cukup untuk periode waktu yang sama.
Endotelium kapiler ialah jaringan yang paling sensitif pada paru.3-5
Fibroplasia retrolental, dapat terjadi pada neonatus yang terpajan pada tekanan
oksigen yang meningkat dan dapat menyebabkan kebutaan. Insidens dari kelainan ini sudah
menurun seiring dengan peningkatan aplikasi dan penghindaran penggunaan oksigen
inspirasi yang berlebihan. Dewasa nampaknya tidak akan mengalami penyakit ini.
Problem sistem saraf pusat cukup jarang dan toksisitas terjadi hanya ketika dalam
kondisi hiperbarik > 200kPa (2 atm). Gejalanya mencakup kejang dan perubahan visual, yang
akan membaik dengan tekanan oksigen yang dikembalikan ke normal. Masalah ini ialah
alasan lebih lanjut digantikannya oksigen dengan helium di bawah kondisi hiperbarik.
Toksisitas oksigen dapat bersifat respiratorik dan non-respiratorik. Faktor-faktor yang
penting, mencakup kerentanan pasien, FIO2, dan durasi terapinya.
Komplikasi hipoventilasi terutama dilihat pada pasien dengan COPD yang mengalami
retensi kronik karbondioksida. Pasien-pasien ini selanjutnya akan mengalami dorongan
respiratorik yang terganggu, yang akan sebagian bergantung pada hipoksemia relatifnya.
Elevasi tekanan arterial oksigen ke normal oleh karena itu dapat menyebabkan hipoventilasi
berat pada pasien. Terapi oksigen dapat secara tidak langsung berbahaya pada pasien yang
dimonitor dengan pulse oximetry sembari menerima opiod untuk nyerinya. Hipoventilasi
sebagai akibat opioid mungkin gagal untuk memberikan perubahan pada pemeriksaan
saturasi oksigen walaupun frekuensi napasnya bisa sekitar 2 per menit, yang menjadi alasan
keterlambatan diagnosis.3,5
Konsentrasi tinggi oksigen dapat menyebabkan atelektasis pulmoner di area dengan
ratio V/Q yang rendah. Seiring dengan nitrogen yang dibuang keluar dari paru, tekanan udara
yang lebih rendah pada pembuluh darah kapiler pulmonal, akan menyebabkan peningkatan
uptake udara alveolar dan atelektasis absorpsi. Bila area masih terperfusi namun tidak
terventilasi, pirau intrapulmoner akan menyebabkan pelebaran gradien alveolar ke arterial
(A-a).
Konsentrasi tinggi oksigen yang berkepanjangan juga akan merusak paru.
Toksisitasnya tergantung baik pada tekanan parsial oksigen yang diinspirasikan dan durasi
pajanan. Alveoler dibandingkan tekanan arterial oksigen paling penting untuk perkembangan

toksisitas oksigen. Walaupun 100% oksigen selama lebih dari 10-20 jam umumnya
cenderung aman, konsentrasi lebih dari 50-6-% kurang begitu disukai untuk periode yang
panjang karena dapat menyebabkan toksisitas pulmoner.3,5
Toksisitas oksigen dipikirkan oleh karena pembentukan intraseluler metabolit oksigen
yang reaktif (radikal bebas), seperti superoksida dan ion hiroksil yang teraktivasi, dan
hidrogen peroksida.

Trakeobronkitis dapat diamati pada beberapa pasien. Toksisitas

pulmoner oksigen pada bayi baru lahir bermanifestasi sebagai bronkopulmoner displasia.3,5

BAB III
PENUTUP

Terapi oksigen ialah terapi yang bermanfaat dalam mengatasi hipoksia pada beberapa
kasus, dan dapat diaplikasikan dalam kondisi akut maupun kondisi kronik, perannya dalam
keadaan kegawatan cukup fundamental. Tanda-tanda hipoksia dini seringkali sulit untuk
dideteksi oleh karena itu diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang diharapkan berguna
untuk menilai keadaan hipoksemia pasien, salah satunya ialah aplikasi pulse oximetry.
Pemberian terapi oksigen yang tepat, baik tepat dari segi metode, tepat dari segi dosis, dan
tepat dari segi durasi diharapkan dapat membantu memaksimalkan efek terapeutik yang
dimiliki oleh oksigen. Oksigen selayaknya dipandang sama seperti obat-obatan pada
umumnya, yang memiliki indikasi pemberian, efek samping dan risiko toksisitas.
Pertimbangan untuk memberi terapi oksigen juga memerlukan pertimbangan untuk
menghentikan dan menurunkan konsentrasi oksigen murni yang diberikan secara berkala.
Sehingga, penting untuk mengetahui batasan-batasan yang diperlukan bagi seorang klinisi
dalam memberikan terapi oksigen ini. Pemberian terapi oksigen sebaiknya bersifat rasional
dan efektif, sehingga dapat meminimalkan efek samping dan risiko toksisitas yang mungkin
terjadi ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wyatt JP, Illingworth RN, Graham CA, Hogg K. Oxford handbook of emergency
medicine. 4th ed. New York: Oxford University Press; 2012.p.95.
2. Singh CP, Singh N, Singh J, Brar GK, Singh G. Oxygen therapy. Indian Academy of
Clinical Medicine 2001;2(3):178-84.
3. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Senior RM, Pack AI. Fishmans
pulmonary disease and disorders. 4th ed. New York: McGraw-Hill Medica;
2008.p.2613-30.
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & mikhails clinical
anesthesiology. New York: McGraw-Hill Education; 2013.p.1282-88.
5. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman & gilmans: manual of
pharmacology of therapeutics. New York: McGraw-Hill; 2008.p.253-8.

Anda mungkin juga menyukai