Oksigen mempunyai peranan yang penting dalam proses metabolisme dalam tubuh. Oksigen dibutuhkan
untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan akan oksigen sangat dipengaruhi oleh
fungsi dari sistem pernapasan seseorang, apabila fungsi tersebut baik maka oksigen dan karbondioksida
dapat bertukar secara normal, akan tetapi bila fungsi tersebut mengalami gangguan, maka oksigen dan
karbondioksida tidak dapat bertukar secara normal dan mengalami gangguan. Pada saat seseorang
mengalami gangguan dalam bernapas / ganguan dalam pemenuhan oksigen, bantuan terapi oksigen
sangat diperlukan. Dalam uraian ini akan dibahas tentang apa itu terapi oksigen dan dalam keadaan
apakah seseorang membutuhkan terapi oksigen dan apa resiko dari pemberian terapi oksigen.
Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui saluran pernafasan
dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan. (Standar Pelayanan Keperawatan di ICU, Dep.Kes. RI,
2005)
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
oksigen di atmosfer. Konsentrasi oksigen dalam udara ruangan adalah 21%. Tujuan terapi oksigen adalah
memberikan transport oksigen yang adekuat dalam darah sambil menurunkan upaya bernafas dan
mengurangi stres pada miokardium. (Brunner & Suddarth,2001)
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen pada konsentrasi yang lebih timggi dari udara bebas untuk
mencegah terjadinya hipoksemia dan hipoksia yang akan mengakibatkan terjadinya kematian sel. (Patria
& Fairuz,2012)
Oksigen secara terpisah ditemukan oleh Carl Wilhelm Scheele di Uppsala pada tahun 1773 dan Joseph
Priestley di Wiltshire pada tahun 1774. Temuan Priestley lebih terkenal oleh karena publikasinya
merupakan yang pertama kali dicetak. Istilah oxygen diciptakan oleh Antoine Lavoisier pada tahun 1777.
Alvan Barach tahun 1920 mengenalkan terapi oksigen pasien hipoksemia dan terapi oksigen jangka
panjang pasien penyakit paru obstruktif kronik. Chemiack tahun 1967 melaporkan pemberian oksigen
melalui kanula hidung dengan aliran lambat pasien hiperkapnia dan memberikan hasil yang baik tanpa
retensi CO2.
Oksigen adalah unsur kimia, yang mempunyai lambang O dan nomor atom 8, dapat bereaksi dengan
hampir semua unsur lainnya (utamanya menjadi oksida). Pada temperatur dan tekanan standar, dua
atom ini berikatan menjadi dioksigen, yaitu senyawa gas diatomik dengan rumus O2, tidak berwarna,
tidak berasa dan tidak berbau. Di alam semesta, oksigen merupakan unsur paling melimpah ketiga
berdasarkan massa dan unsur. Gas oksigen diatomik mengisi 20,9% volume atmosfer bumi. (Wikipedia)
3. TUJUAN PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN
a. Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan untuk memfasilitasi
metabolisme aerob.
b. Mempertahankan PaO2 > 60 mmhg atau SaO2 >90 % untuk mencegah dan mengatasi hipoksemia /
hipoksia serta mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Menurunkan kerja nafas dan
miokard. Menilai fungsi pertukaran gas. (Patria & Fairuz,2012)
Oksigen dalam darah akan berikatan dengan hemoglobin dan akan diedarkan ke seluruh tubuh. Apabila
terjadi gangguan pada sistem respirasi, maupun pada hemoglobin, mengakibatkan gangguan pada
jaringan.
Hb + 4O2 Hb(O2)4
Kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia yaitu kondisi di mana berkurangnya suplai
oksigen ke jaringan di bawah level normal yang tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh.
Hipoksia merupakan salah satu masalah gawat darurat karena dapat merusak organ vital. Selain itu
dapat juga mengancam kehidupan. Salah satu cara mencegah hipoksia dengan memberikan terapi
oksigen. (William, dan Pageu, 2013)
Kebutuhan akan terapi oksigen sangatlah berguna, tetapi pada sebagian lainnya cukup berguna dan
pada yang lainnya lagi hampir tidak berguna. Oleh karena itu, perlu mengetahui dan mengerti berbagai
jenis hipoksia. Klasifikasi deksriptif macam-macam penyebab hipoksia, yaitu : (Guyton,2014)
a. Oksigenasi darah di dalam paru yang tidak memadai karena keadaan ekstrinsik
- Hipoventilasi karena peningkatan tahanan saluran napas atau penurunan komplians paru.
- Kelainan rasio ventilasi-perfusi alveolus (termasuk peningkatan ruang rugi fisiologis atau pintasan
fisiologis).
- Edema jaringan.
- Penurunan kapasitas metabolik selular untuk meggunakan oksigen, karena toksisitas, defisiensi
vitamin atau faktor-faktor lain.
Pengaruh hipoksia pada tubuh, bila cukup berat, dapat menyebabkan kematian sel-sel seluruh tubuh,
tetapi pada derajat yang kurang berat terutama akan mengakibatkan penekanan aktivitas mental,
kadang-kadang memberat sampai koma, dan menurunkan kapasitas kerja otot.
Keadaan lain yang menandakan kekurangan oksigen dalam tubuh yaitu sianosis. Sianosis berarti
kebiruan pada kulit, penyebabnya adalah hemoglobin yang tidak mengandung oksigen jumlahnya
berlebihan dalam pembuluh darah kuliy, terutama dalam kapiler. Sianosis terjadi pada apabila darah
arteri mengandung > 5 gram hemoglobin yang tidak mengandung oksigen dalam setiap 100 ml darah.
Pada pasien dengan anemia hampit tidak pernah mengalami sianosis karena tidak terdapat cukup
banyak hemoglobin untuk dioksigenasi sebanyak 5 gram dalam 100 ml darah arteri. Tetapi, pada pasien
dengan polisitemia vera (kelebihan sel darah merah), hemoglobin yang jumlahnya banyak itu dapat
dioksigenasi sehingga sering kali menyebabkan sianosis bahkan dalam keadaan normal.
Suatu kondisi lain yang disebut dengan istilah dispnea, berarti penderitaan mental yang diakibatkan oleh
ketidakmampuan ventilasi untuk memenuhi kebutuhan udara. Istilah lain yang sering digunakan yaiu
‘lapar udara’. Faktor yang menyertai keadaan ini adalah :
- Kelainan gas-gas pernapasan dalam cairan tubuh, terutama hiperkapnia dan hipoksia (dengan porsi
yang jauh lebih sedikit)
- Jumlah kerja yang harus dilakukan oleh otot-otot pernapsan untuk menghasilkan ventilasi yang
memadai
Keadaan ini akan menjadi lebih berat karena pembentukan karbondioksida yang berlebihan dalam
cairan tubuh, akan tetapi dalam suatu waktu kadar karbondioksida dan oksigen dalam cairan tubuh
berada dalam batas normal, namun dibutuhkan usaha bernapas yang kuat. Keadaan inilah yang sering
menimbulkan dispnea pada orang tersebut. Ada juga suatu keadaan yang mana fungsi pernapasannya
sudah kembali normal, akan tetapi masih mengalami dispnea karena perasaannya yang masih abnormal,
disebut dispnea neurogenik atau dispnea emosional.
Faktor perkembangan yang terganggu juga merupakan suatu indikasi yang memerlukan terapi oksigen.
Misalnya pada bayi premature berisiko terkena penyakit membrane hialin karena belum matur dalam
menghasilkan surfaktan. Bayi dan toddler berisiko mengalami infeksi saluran pernafasan akut. Pada
dewasa, mudah terpapar faktor risiko kardiopulmoner. Sistem pernafasan dan jantung mengalami
perubahan fungsi pada usia tua / lansia.
Perilaku atau gaya hidup. Nutrisi mempengaruhi fungsi kardiopilmonar. Obesitas yang berat
menyebabkan penurunan ekspansi paru. Latihan fisik meningkatkan aktivitas fisik metabolisme tubuh
dan kebutuhan oksigen. Gaya hidup perokok dikaitkan dengan sejumlah penyakit termasuk penyakit
jantung, PPOK, dan kanker paru (Potter&Perry,2006).
Oksigen pada pasien dengan hipoksia dapat diberikan dengan beberapa cara, yaitu :
- meletakkan kepala pasien di dalam suatu “tenda” (tempat tertutup) berisi udara yang mengadung
oksigen
- pasien bernapas dengan oksigen murni atau oksigem dengan konsentrasi tinggi dan sebuah masker,
atau
Terapi oksigen pada jenis hipoksia atmosferik dapat memperbaiki kekurangan kadar oksigen dalam
udara inspirasi secara sempurna dan oleh karena itu memberi hasil terapi 100% efektif. Pada hipoksia
hipoventilasi, seseorang yang bernapas dengan oksigen 100 %, setiap kali bernapas dapat mengalirkan
oksigen ke dalam alveoli lima kali lebih banyak daripada bila bernapas dengan udara normal.
Pada hipoksia disebabkan karena gangguan difusi membran alveolus, terjadi efek yang sama seperti
hipoksia hipoventilasi, karena terapi oksigen dapat meningkatkan PO2 dalam alveoli paru dari nilai
normal 100 mmHg sampai setinggi 600 mmHg. Hal ini meningkatkan gradient tekanan oksigen untuk
difusi oksigen dari alveoli ke darah dari nilai normal 60 mmHg hingga menjadi 560 mmHg, atau
peningkatan yang lebih dari 800%. Manfaat terapi oksigen terhadap hipoksia difusi, seperti pada gambar
dibawah ini yang memperlihatkan bahwa darah paru pada pasien dengan edema paru mengambil
oksigen tiga sampai empat kali lebih cepat daripada tanpa terapi.
Gambar : Absorbsi oksigen ke dalam darah kapiler paru pada edema paru dengan dan tanpa terapi
oksigen (Guyton)
Pada hipoksia karena anemia, kelainan transpor oksigen oleh hemoglobin, defisiensi sirkulasi, atau
pintasan fisiologis, maka terapi oksigen nilainya jauh lebih rendah, karena dalam alveoli telah terdapat
oksigen yang normal. Salah satu atau lebih mekanisme untuk mengangkut oksigen dari paru ke jaringan
menjadi berkurang. Walaupun demikian, sejumlah kecil oksigen tambahan 7-30%, dapat diangkut dalam
keadaan terlarut dalam darah apabila oksigen alveolus ditingkatkan hingga mencapai maksimum,
walaupun jumlah yang diangkut oleh hemoglobin sangat berubah. Jumlah oksigen tambahan yang
sedikit ini, menjadi penentu hidup dan mati seseorang.
Pada jenis hipoksia akibat penggunaan oksigen jaringan yang tidak adekuat, abnormalitas yang terjadi
bukan pada pengambilan oksigen oleh paru ataupun transportnya ke jaringan, melainkan karena sistem
enzim, metabolik jaringan yang tidak mampu menggunakan oksigen yang dikirimkan, karena itu masih
diragukan apakah terapi oksigen bermanfaat untuk keadaan ini.
Merupakan terapi oksigen dengan durasi 1-3 bulan pada pasien dalam kondisi klinis yang tidak stabil,
misalnya serangan asma akut, PPOK eksaserbasi, gagal jantung akut dan pneumotoraks. Pedoman
indikasi terapi oksigen berdasarkan rekomendasi dari American College of Chest Physician dan National
Heart Lung and Blood Institute :
Merupakan pemberian oksigen yang lama pada kondisi klinis pasien yang stabil yang di indikasikan pada
beberapa penyakit tertentu. Pemberian oksigen jangka panjang dibedak menjadi dua, yaitu :
Diberikan pada pasien yang mengalami hipoksia saat istirahat (tidak dalam kondisi tidur). Indikasi
pemberiannya adalah
® PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau SaO2 89% pada keadaan edema karena CHF, pulmonal karena EKG
dan eritrositemia (hematokrit >56%).
® PaO2 >59 mmHg atau SaO2 >89% dengan bukti terapi lain yang lebih konservatif gagal memperbaiki
kondisi pasien.
v Pemberian oksigen secara tidak terus menerus, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
® Short burst oxygen therapy (secara umum pada serangan dispneu), diberikan untuk preoksigenasi
sebelum olahraga, untuk pasien yang mengalami sesak napas setelah olahraga dan sebagai terapi
paliatif.
® Terapi oksigen ambulatori diberikan pada kondisi desaturasi yang disebabkan karena olahraga atau
pada pasien PPOK dalam terapi oksigen jangka panjang yang sering berpergian.
® Terapi oksigen malam diberikan pada kondisi desaturasi yang terjadi saat tidur. Terapi diberikan
dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) pada pasien obesitas, penyakit neuromuskular atau
dinding dada dan apneu tidur obstruktif (obstructive sleep apneu).
Analisa gas darah (AGD) merupakan modalitas utama dalam penentuan dan pemilihan teknik pemberian
oksigen. Namun dalam kondisi tidak terdapat fasilitas AGD, maka ketajaman dalam mengenali tanda dan
gejala hipoksemia dan hipoksia menjadi modal utama melalui pemeriksaan fisik dan anamnesis.
® Sumber oksigen
Aliran oksigen yang keluar dari silinder adalah konstan, digunakan regulator untuk menghindari aliran
oksigen yang berlebihan dan mengatur kecepatan aliran oksigen (oksigen disimpan di bawah tekanan
dalam silinder).
Tipe tangki
Volume (L)
450
3,5
650
5,0
5600
44,0
H, K
6900
58,0
· Oksigen cair
Oksigen berubah secara fisik dari gas menjadi cair pada temperatur yang rendah. Oksigen ini akan
dihangatkan dan berubah menjadi gas agar bisa digunakan oleh pasien, metode yang digunakan rumah
sakit untuk menyediakan oksigen secara besar, selain itu didesain khusus seperti termos dan digunakan
di beberapa negara sebagai konsep terapi oksigen dirumah.
· Konsentrator oksigen
Metode ini menggunakan penyalur konsentrator dengan operasi aliran listrik, dan akan memisahkan
oksigen dari komponen udara yang lain dan menyimpannya. Oksigen yang diperoleh dapat langsung
dialirkan melalui kanula nasal, keuntungannya adalah oksigen bisa dialirkan kapan pun karena
konsepnya yang menggunakan aliran udara dari sekitar, namun alat ini jarang digunakan di Indonesia.
Pemberian oksigen, berdasarkan aliran oksigen yang diberikan, dibedakan menjadi dua teknik yaitu :
· Sistem aliran rendah (low flow oxygen device)
- Ditujukan untuk pasien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu bernapas dengan pola perapasan
normal, misalnya pasien dengan volume tidal 500 mL dengan kecepatan pernapasan 16-20 x/menit.
- Kateter nasal
- Kanula nasal
- Alat yang digunakan yaitu sungkup muka dengan ventury. Prinsipnya adalah gas yang dialirkan dari
tabung akan menuju sungkup kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tekanan
positif, akibatnya udara luar tidak masuk dan aliran udara yang diberikan lebih tepat. Aliran udaranya 4-
14 L/menit, FiO2 30-55%.
FiO2 (% oksigen)
Keuntungan
Kerugian
Lain-lain
1. Nasal Kanula
25
29
33
37
41
45
- Iritasi lokal dan kekeringan mukosa (bila kecepatan aliran>4L/menit) pada aliran tinggi, pasien tidak
nyaman dan harus digunakan bersama sistem humidifikasi/pelembaban.
- Alat dibersihkan setiap hari. Evaluasi luak akibat tekanan di telinga dan pipi.
>5
(5-15)
35-50
- Harus ditutup ke wajah dengan kuat dan ketat : panas dan terasa mengikat
5-15
Aliran oksigen harus terus diberikan untuk memastikan kantung senantiasa terisi sepertiga atau separuh
pada saat inspirasi.
4. Non-rebreathing mask
10
10-12
95
10
24-28
31
35-40
50
Konsentrasi oksigen akhir dapat dimonitor dengan lebih ketat dan lebih tepat
6. Head box
6
7
>7
- Meningkatkan O2
- Perlu kecepatan aliran tinggi untuk mencapai konsentrasi O2 yang adekuat dan mencegah
penumpukan CO2
- Pemberian O2 dengan sistem tertutup memberikan tekanan positif pada inspirasi dan ekspirasi
PERSIAPAN
® Regulator/flowmeter
® Humidifier
® Masker-masker oksigen
1. Cek atau periksa adanya instruksi medis pada rekam medis tentang jumlah pemberian oksigen.
5. Masukan flowmeter ke dalam outlet dinding untuk oksigen atau atur tangki oksigen jika
menggunakan tangki.
Prosedur
2. Atur posisi klien secara semifowler/fowler dan yakinkan ekspansi paru sudah maksimal.
5. Pastikan posisi selang terjaga posisinya. Pastikan aliran oksigen adekuat dengan memelihara selang
tidak terlipat.
8. Berikan rasa aman pada klien yang mengalami ketakutan atau kecemasan sampai klien terbiasa
menggunakan masker oksigen.
9. Lepas masker oksigen dang anti dengan nasal kanul pada saat klien makan.
- Auskultasi paru untuk memastikan jalan napas bebas dari obstruksi. Jika terdapat obstruksi, bebaskan
terlebih dahulu.
- Jangan hanya memberikan oksigen. Penyebab hipoksia harus dicari sebelum terjadi perbaikan yang
bermakna setelah pemberian terapi oksigen.
- Kanula nasal merupakan sistem aliran rendah, pemebrian lebih dari 6L/menit tidak meningkatkan
FiO2 yang bermakna, tetapi mengakibatkan membran mukosa menjadi sangat kering sehingga pasien
merasa tidak nyaman. Gunakan sistem aliran tinggi jika pasien mempunyai indikasi secara klinis atau
dengan parameter lain.
- Oksigen terapi memperbaiki oksigenasi bukan hiperkarbia. Jika pasien mengalami hipoventilasi
berada dalam kondisi dispneu atau menunjukkan perubahan statis mental yang tidak membaik dengan
pemberian oksigen, lakukan pemeriksaan AGD. (Patria & Fairuz. 2012)
- Periksa selang plastik pada nasal kanula dan tali pada sungkup muka agar tidak terlalu ketat (tekanan
yang berlebihan pada kulit dapat mengakibatkan luka).
- Perhatikan jika terjadi iritasi akibat pemakaian sungkup muka dan nasal kanul di sekitar daerah wajah
dan telinga. Jika terdapat iritasi, maka dapat diberikan kapas pada daerah tersebut, pastikan kulit pada
daerah tersebut selalu kering.
- Pastikan pasien mendapat cairan yang cukup karena oksigen bersifat ‘mengeringkan’ jaringan. Pasien
sering merasakan mulutnya kering dan tidak nyaman.
- Pastikan posisi pasien saat duduk atau tidur tidak menekuk selang oksigen sehingga mengganggu
aliran oksigen. (Patria & Fairuz. 2012)
- Pasien mengeluh seolah-olah hendak pingsan (gangguan fungsi kesadaran). (Patria & Fairuz. 2012)
a) Kondisi yang tidak membutuhkan suplemen oksigen pada pasien dewasa kecuali pasien mengalami
hipoksemia, tetapi pasien harus dimonitor ketat. Target saturasi 94-98% : jika hipoksemia (SpO2 <94%),
berikan aliran oksigen pada dosis inisial untuk mencapai target saturasi 94-98%.
Kondisi pasien
Dosis inisial
Metode administrasi
- Stroke
15 liter/menit
Reservoir mask
(nin-rebreath mask)
- Perdarahan vagina
2-6 liter/menit
Nasal kanul
Sindrom hiperventilasi
Nyeri abdomen
Pascakejang
Perdarahan gastrointestinal
SpO2 ≥ 85-93%
5-10 liter/menit
Kondisi pasien
Dosis inisial
Metode administrasi
PPOK
4 liter/menit (jika RR > 30x/menit, menggunakan sungkup venturi, aliran oksigen diberikan 50% lebih
tinggi daripada aliran oksigen yang dispesifikasi untuk sungkup tersebut)
- Penyakit kronik
- Neuromuskular
- Morbid obesity
4 liter/menit
Jika saturasi oksigen tetap berada di bawah 88%, tukar ke sungkup muka sederhana
5-10 liter/menit
c) Kondisi penyakit serius yang membutuhkan suplemen oksigen tingkat sedang (moderat) jika pasien
mengalami hipoksemia. Target saturasi : 94-98%, berikan oksigen dengan dosis inisial hingga diperoleh
SpO2 yang stabil, setelah itu diberikan aliran oksigen dengan target saturasi 94-98%.
Kondisi pasien
Dosis inisial
Metode administrasi
SpO2 <85%
10-15 liter/menit
- Asma akut
- Pneumonia
- Efusi pleura
- Pneumotoraks
- Anemia berat
SpO2 ≥85-93%
2-6 liter/menit
SpO2 ≥85-93%
5-10 liter/menit
Nasal kanul
Sungkup muka sederhana
d) Kondisi yang membutuhkan suplemen oksigen tingkat tinggi untuk pasien dewasa dengan penyakit
kritis (critical illness). Target saturasi : 94-98%, berikan oksigen dengan dosis inisial sehingga tanda vital
normal, setelah itu kurangi dosis oksigen dan target saturasi 94-98% tercapai.
Kondisi pasien
Dosis inisial
Metode administrasi
- Resusitasi maternal
Trauma mayor :
- Trauma abdomen
- Luka bakar
- Renjatan listrik
- Trauma kepala
- Trauma tungkai
- Trauma leher/spinal
- Trauma pelvis
- Trauma thoraks
Anafilaksis
Septisemia
Syok
Konvulsi aktif
Hypothermia
15 liter/menit
- Apabila saturasi oksigen pasien lebih rendah dari yang diharapkan (target range), periksa sistem
pengaliran oksigen jika mungkin terdapat masalah.
- Jika saturasi oksigen pasien rendah secara konsisten dari yang diharapkan, harus dievaluasi ulang
kondisi medis pasien dan terapi oksigen ditingkatkan sesuai hasil perhitungan. Langkah-langkah
menghitung dosis oksigen yang diberikan yaitu :
iii. dengan persamaan no (3) dapat ditentukan PAO2 yang baru untuk menentukan
besarnya FiO2 yang akan diberikan untuk mengoreksi hipoksemia/hipoksia yang terjadi.
4. Jika sudah mendapat PAO2 yang baru, selanjutnya hitung FiO2 baru dengan rumus :
760
Ket :
FiO2 = fraksi oksigen pada pasien saat diambil AGD, jika tidak menggunakan oksigen dianggap 21%
(Patria & Fairuz. 2012)
- Pasien diobservasi 5 menit setelah terapi oksigen ditingkatkan dan jika saturasi tetap tidak meningkat
serta terdapat kondisi klinis setelah dievaluasi, AGD harus diulang.
- Jika sasaran saturasi diantara 88-92%, AGD harus diulang 30-60 menit jika dilakukan peningkatan
terapi oksigen untuk memastikan agar CO2 tidak meningkat.
- Pasien stabil secara klinis dan saturasi oksigen sudah berada pada batas atas sasaran (upper bodder
of the target range) sekitar 4-8 jam.
- Jika sasaran saturasi dipertahankan, metode pemberian dan aliran oksigen yang baru dapat
dilanjutkan. Pengulangan AGD tidak dibutuhkan.
- Jika kondisi pasien stabil, langkah diatas dapat diulangi, sehingga akhirnya dilakukan penyapihan.
(Patria & Fairuz. 2012)
10. PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN PADA NEONATUS
Pada neonatus pemberian terapi oksigen direkomendasikan pada beberapa keadaan, yaitu :
a) Frekuensi respirasi > 60 x/menit atau sianosis atau terlalu tampak sakit untuk diberikan makan
(fasilitas pulse oximetry tidak tersedia).
b) SpO2 < 90% atau dapat disesuaikan pada kondisi tertentu, misalnya di ketinggian (fasilitas pulse
oximetry tersedia).
Dalam pemberian terapi oksigen, monitoring merupakan hal yang penting, agar terapi oksigen yang
diberikan bisa efisien, efektif dan optimal serta efek samping dapat seminimal mungkin. Rekomendasi
monitoring terapi oksigen, yaitu :
b) AGD atau oksimetri harus dilakukan dalam waktu dua jam setelah pemberian terapi oksigen dan
FiO2 diatur sesuai kebutuhan, respon yang adekuat adalah apabila PaO2 > 7,8 kPa (7,8 kPa ≈ 60mmHg)
atau SaO2 > 90%.
c) Pasien hipoksemik yang beresiko aritmia atau gagal napas harus dimonitor terus-menerus dengan
pulse oximetry.
d) Pada pasien dengan resiko gagal napas tipe 2, AGD harus dilakukan lebih sering untuk menilai PaO2
dan SaO2 harus dimonitor terus-menerus dengan pulse oximetry.
(N.T.Bateman.1998)
Kegunaan Dari Analisa Gas Darah (AGD) Dan Pulse Oximetry (Po)
Analisa gas darah (AGD) arteri merupakan pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada sampel darah
arteri. AGD digunakan untuk mengukur kapabilitas paru untuk menyediakan oksigen untuk mencukupi
kebutuhan tubuh dan mengeluarkan karbon dioksida, membantuk mengevaluasi status metabolik dan
respirasi pasien, selain untuk mengukur pH darah dan integritas keseimbangan asam-basa pada tubuh.
(Patria & Fairuz. 2012)
- Status asam-basa
Intervensi yang cepat harus diberikan apabila hasilnya aseidemia (pH<7,20) dan alkalemia (pH>7,6)
karena akan terjadi efek simpang pada sistem kardiovaskular dan saraf pusat.
- Status ventilasi
Jika terdapat kelainan pada status asam-basa, maka harus diperhatikan status ventilasi karena status
ventilasi mempengaruhi status asam-basa pasien. Harus dicari yang menjadi dasar penyebab. PaCO2
merupakan indikator kecukupan dari ventilasi alveolar yang terkait dengan produksi CO2. Peningkatan
PaCO2 akan merangsang peningkatan ventilasi untuk mengembalikan PaCO2 ke nilai normal, jika fungsi
respiratori masih baik. Tetapi, jika hiperkapnia dan asidosis respiratori, maka kegagalan pada ventilasi
sudah terjadi. Salah satu penyebabnya yaitu pada penyakit paru obstruktif.
- Oksigenasi arteri
Apabila PaO2 dibawah normal, terjadi desaturasi proposional yang bermakna selama terjadi penurunan
pada PaO2 dan kadar oksigen arterial. Apabila pengiriman oksigen berkurang akibat kadar oksigen
arterial yang rendah atau keluaran jantung inadekuat, hipoksia kritis terjadi di jaringan. Oleh karena itu,
tujuan terapi adalah untuk memastikan nilai PaO2 berada dalam rentang normal (60-80mmHg).
Pulse oximetry (PO) sebagai alat monitoring oksigenasi yang tidak invasive, tidak memerlukan petugas
dengan kemampuan khusus, murah, dapat mengestimasi SaO2 pada saat diukur (dalam rentang 80-
100%), dan menghindari ketidaknyamanan seperti pada AGD. Prinsip kerjanya adalah mengukur
konsentrasi zat terlarut berdasarkan absorbsi cahaya. PO menggunakan probe dengan 2 sumber cahaya,
yaitu cahaya merah (660nm) dan cahaya inframerah (900-940nm), juga fotodetektor. Menggunakan
kedua cahaya karena absorbsi dari oksihemoglobin dan hemoglobin tereduksi sangat berbeda pada
kedua panjang gelombang tersebut.
Sebagian besar cahaya diserap secara konstan oleh jaringan ikat, kulit, tulang dan darah vena.
Sedangkan, darah arteri cukup terpengaruh dengan siklus jantung. Saat darah dipompa, cahaya akan
diserap akan meningkat. Dengan membandingkan rasio antara absorbs saat terdapat pulsasi dan tidak
pada kedua panjang gelombang tersebut, rasio oksihemoglobin dan hemoglobin tereduksi dapat
dihitung. Presentasi SaO2 adalah rasio antara oksihemoglobin dan jumlah oksihemoglobin dan
hemoglobin tereduksi. Kelemannya adalah karboksihemoglonin dan methemoglobin tidak digunakan
sebagai denominator. (Patria & Fairuz. 2012)
Aplikasi klinis dari pulse oximetry, yaitu :
Ø Membantu dalam weaning terapi oksigen tetapi tidak pada ventilator mekanis.
- Monitor oksigenasi
Ø Monitor pasien dengan disfungsi paru untuk keadaan hipoksia yang tidak disangka.
Ø Monitor oksigenasi di rumah sakit dan saat pasien dikirim ke rumah sakit lain,
- Wrap style : lebih sesuai digunakan pada jari tangan (termasuk ibu jari), ibu jari kaki dan hidung.
- Clip style : lebih sesuai digunakan pada jari tangan (kecuali ibu jari) dan telinga.
Prosedur menghentikan terapi oksigen disebut penyapihan (weaning), dapat dilakukan secara bertahap
dengan menurunkan konsentrasi oksigen selama periode waktu yang ditetapkan sambil dievaluasi
parameter klinis dan SpO2 atau dapat juga langsung dihentikan. Awalnya penghentian oksigen dilakukan
selama 30 menit dan dilanjutkan untuk waktu yang lama, jika tidak terdapat deteriorasi, penghentian
dapat dilakukan secara total. Tanda-tanda deteriorasi, yaitu peningkatan RR (terutama >30x/menit),
penurunan SpO2, peningkatan dosis oksigen dibutuhkan untuk memastikan SpO2 berada pada target
range, rasa mengantuk, nyeri kepala, muka kemerahan, dan tremor. (Muttaqin Arif,2008)
Pada pasien dengan penyakit respirasi yang kronis akan membutuhkan oksigen dalam konsentrasi yang
rendah untuk jangka waktu yang lebih lama. Pemberian oksigen harus dihentikan apabila oksigenasi
arteri sudah adekuat dengan keadaan bernapas pada udara kamar (PaO2 >60 mmHg, SaO2 >90%).
Weaning dipertimbangkan apabila pasien sudah merasa nyaman, penyakit dasar sudah terstabilisasai,
tekana darah, nadi, frekuensi napas, warna kulit dan oksimetri dalam batas normal, serta hasil AGD
dalam batas normal. (Muttaqin Arif,2008)
Terapi yang diberikan pastinya akan memiliki resiko tersendiri, sama halnya dengan terapi oksigen,
adanya resiko dalam pemberian terapi oksigen dibedakan menjadi tiga area, yaitu :
a) Disfungsi respirasi
- CO2 penting dalam stimulasi bernapas. Pada kadar PaO2 200 mmHg, maka kemampuan bernapas
spontan akan hilang.
- Atelektasis (pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara, bronkus
maupun bronkiolus, atau akibat pernapasan yang sangat dangkal.
- Mekanisme terjadinya atelektasis diduga karena nitrogen berperan penting dalam mempertahankan
alveoli tetap mengembang. Pada kondisi terapi oksigen, khususnya O2 100% proporsi nitrogen menjadi
jauh berkurang dibandingkan keseluruhan udara dalam alveoli yang sebagian besar digantikan oleh
oksigen yang digunakan dalam difusi gas. Akibatnya terjadi kolaps alveoli. (Patria & Fairuz,2012)
b) Kerusakan sitotoksik
- Sistem respirasi
Terjadi karena produksi radikal bebas sehingga mengakibatkan trakeobronkitis dan ARDS yang
dimanifestasi dengan edema pulmo dan kolaps paru fokal yang diikuti denga fibrosis. Derajat
toksisitasnya tergantung dari beberapa faktor yaitu toleransi terhadap O2 (tergantung dari pertahanan
antioksidan, usia, faktor nutrisi dan hormonal), kadar O2 yang diberikan dan durasi pemberian O2.
Karena itu, tujuan pemberian terapi O2 merupakan pemberian O2 dengan kadar seminimal mungkin
namun diperoleh kadar yang adekuat dalam jaringan. Selama resusitasi dan perawatan
kegawatdaruratan 100% O2 dapat diberikan secara aman kepada hampir semua pasien tanpa takut akan
adanya efek sitotoksik. (Patria & Fairuz. 2012)
Efek toksik yang dimediasi oleh reactive oxygen species (ROS) berpotensi mempunyai resiko. ROS
diproduksi secara berlebihan pada keadaan PO2 yang tinggi di jaringan dalam bentuk hidrogen
peroksida dan superoksida yang akan menyebabkan stres oksidatif dan kerusakan jaringan. Pada tingkat
fisiologis, ROS berperan sebagai signaling molecules, tetapi pada tingkat yang tinggi akan menyebabkan
sitotoksik, yang disebabkan oleh neutrofil sebagai host defence mechanism. ROS juga bertanggung
jawab pada perkembangan displasi bronkopulmonal pada bayi premature yang mendapat ventilasi
hiperoksigenasi (ventilated hyperoxygeneted premature infants) dan reperfusin injury pada pasca infark
miokardium.
Terjadi apabila oksigen yang diberikan bertekanan kurang dari 2 atmosfer. Toksisitas pada SSP terjadi
pada penggunaan aplikasi terapi oksigen hiperbarik (hyperbaric oxygen therapy). Toksisitas pada SSP
lebih dahulu dibanding dengan toksisitas pada paru apabila oksigen diberikan pada tekanan melebihi 2,5
atmosfer dengan gejala konvulsi yang didahului dengan penglihatan kabur atau muscular twitching.
Gejala toksisitas oksigen pada SSP, antara lain : mual muntah, dizziness, gangguan penglihatan (tunnel
vision) da gangguan pendengaran (tinnitus), iritabilitas, bingung, kesulitan bernapas, ansietas,
inkoordinasi, serta konvulsi.
- Mata
Daya penglihatan akan terganggu dengan adanya peningkatan tekanan atmosfer. Gejalanya meliputi
fotofobia, ambliopia dan midriasis yang ditemukan setelah pasien bernapas dengan oksigen murni
selama 4,5 jam pada tekanan atmosfer normal.
c) Bahaya fisik
Meliputi ledakan tangki, kebakaran, iritasi lokal dan pengeringan membran mukosa, Akan terjadi
penurunan mucociliary clearance sebesar 40% bila digunakan FiO2 75% selama lebih dari 9 jam dan
penurunan sebesar 50% bila digunakan selama lebih dari 30 jam. (Patria & Fairuz. 2012)
KESIMPULAN
Terapi oksigen dapat diartikan sebagai suatu terapi yang memasukkan O2 kedalam paru-paru melalui
saluran pernapasan dengan menggunakan alat khusus, yang bertujuan untuk membantu menambah
kekurangan O2 dan menghindari serta memperbaiki hipoksia, meningkatkan tekanan alveolar.
Terjadinya hipoksia dipengaruhi oleh beberapa sistem organ yang saling terkait baik itu sistem respirasi,
kardiovaskuler dan hematologi. Gangguan dari salag satu atau lebih dari sistem tersebut akan
mengakibatkan manifestasi klinis hipoksia bila tidak ditangani dengan tepat. Suatu obat dalam terapi
oksigen diberikan apabila terdapat indikasi, dalam dosis tertentu dan harus dievaluasi pemberiannya.
Kondisi hipoksemia dan hipoksia merupakan dasar dari diberikannya terapi oksigen, karena itu harus
diketahui dan diatasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut. Sehingga menjadi
sangat penting untuk mengatasi penyakit dasar yang mengakibatkan hipoksemia dan hipoksia apabila
parameter tidak menunjukkan perbaikan setelah diberikan terapi oksigen. Semua faktor yang
mempeengaruhi yaitu pH, temperatur, PaCO2, SaO2 harus dievaluasi untuk mendapatkan hasil terapi
yang optimal.
Metode dalam pemberian terapi oksigen disesuaikan dengan gejala klinis pasien, AGD, dan pulse
oximetry. Sedangkan, kapan dosis terapi oksigen harus mengalami proses peningkatan, penurunan
ataupun penyapihan harus berdasarkan pada gejala klinis ataupun hasil laboratorium. Ada empat kunci
yang harus dipahami dan diingat dalam pemberian terapi oksigen yaitu siapa yang memerlukan,
bagaimana cara pemberian dan bagaimana cara memonitor serta haruslah diwaspadai akan terjadinya
resiko toksisitas.
DAFTAR PUSTAKA
Asih dan effendi. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Guyton & Hall. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi XII. Saunders Elsevier.
Muttaqin Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasan.Jakarta :
Salemba medika.
N.T.Bateman, R.M. Leach. 1998. ABC of oxygen, Acute Oxygen Therapy. BMJ.
Patria & Fairuz. 2012. Terapi Oksigen Aplikasi Klinis. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Potter, P.A, Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik.Edisi
4.Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
- Neuromuskular
- Morbid obesity
Penyakit kritis dan faktor Pemberian oksigen sesuai kondisi klinis bagian (d)
resiko lain untuk hiperkapnia
- Stroke
SpO2 < 85% Reservoir mask
- Gangguan ritme jantung
15 liter/menit (nin-rebreath mask)
- Nyeri dada non-traumatik
Kehamilan dan gawat darurat
obstetrik :
- Perdarahan sewaktu
SpO2 ≥ 85-93%
kehamilan
2-6 liter/menit
- Hipertensi saat kehamilan
Sindrom hiperventilasi
Nyeri abdomen
Perdarahan gastrointestinal